Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Perempuan-Perempuan Bersenjata
Dewi Drupadi, istri Prabu Yudistira versi wayang Jawa, bersumpah tidak akan mengonde rambutnya sebelum bermandikan darah Raden Dursosono, seorang Kurawa yang pernah menghinanya. Dewi Woro Srikandi, istri Arjuna, dengan panahnya mencabut nyawa Resi Bisma, guru para Kurawa. Dalam Perang Bharatayuddha, dia tampil sebagai panglima terkemuka Pandawa. Pada masa lalu, perempuan punya ruang yang besar dalam dunia militer. Ann Kumar, sejarawan Australian National University, menyebut sumber paling penting tentang korps perempuan dari keraton Jawa adalah buku harian yang ditulis seorang anggota prajurit éstri Mangkunegaran. Buku itu ditulis pada dasawarsa terakhir pemerintahan Mangkunegara I yang bertakhta tahun 1757-1795. “Mempertahankan korps prajurit seperti ini bukanlah inovasi atau idiosinkrasi Mangkunegara I sendiri. Dia hanya meneruskan adat yang sudah lama dianut,” tulis Ann Kumar dalam Prajurit Perempuan Jawa . Orang-orang Belanda yang berkunjung ke istana raja-raja Jawa, pada masa jaya Sultan Agung, menyebut dikawal oleh ajudan perempuan. Sultan Yogyakarta kedua juga memiliki korps prajurit éstri . Rijklof van Goens, duta besar luar biasa Belanda diutus lima kali ke Keraton Mataram pada pertengahan abad ke-17. Dia menyebut sekira 150 perempuan muda tergabung dalam korps prajurit éstri. Tiga puluh di antaranya mengawal raja saat muncul di depan orang banyak. Sepuluh dari mereka mengusung perkakas raja, seperti bejana air minum, perkakas sirih, pipa tembakau, keset, payung, kotak minyak wangi, dan pakaian-pakaian yang akan diberikan kepada tamu yang disukainya. Sementara 20 orang lain, lengkap dengan senjata tombak dan tulup, mengawalnya dari semua sisi. Van Goens juga mencatat para prajurit itu tidak hanya dilatih menggunakan senjata. Mereka juga menari, menyanyi, dan memainkan alat musik. Sejarawan asal Inggris, Peter Carey, menulis seorang penyewa tanah kesultanan dari Prancis, Joseph Donatiёn Boutet menyaksikan Korps Srikandi di Surakarta, saat berkunjung pada masa Pakubuwono V (1820-1823). Sebanyak 40-an perempuan duduk berbaris di bawah takhta sunan. Mereka dibekali persenjataan lengkap, berikat pinggang dengan sebilah keris. Masing-masing memegang sebilah pedang atau sepucuk bedil. “Harus diakui mereka pasukan kawal yang mengagumkan,” catat Peter Carey dalam Perempuan Perempuan Perkasa . Kebiasaan merekrut perempuan dalam satuan militer juga dijumpai di luar Jawa. Laksamana Prancis, Augustin de Beaulieu yang datang ke Aceh pada 1620-1621, melaporkan bahwa Sultan Aceh konon memiliki 3.000 prajurit perempuan yang bertugas mengawal istana. Mereka tidak diperbolehkan keluar dari kompleks istana dan laki-laki tidak diperbolehkan menemui mereka. “Tak seorang pun boleh masuk ke tempat itu kecuali para kasim yang kabarnya berjumlah 500 orang,” catat Beaulieu. Mereka punya pasar sendiri sebagaimana pasar biasa di kota, di mana mereka memperdagangkan hasil kerja mereka sendiri. Mereka juga memiliki pengadilan sendiri dan beberapa kelompok dengan kapten masing-masing. Bahkan mereka punya jabatan perwira jaga sendiri. Ini seperti di luar istana. Peter Mundy, seorang Inggris, saat mengunjungi Aceh pada 1637, juga sempat melihat pengawal perempuan berjalan membawa busur dan panah. “Mungkin juga di istana-istana lain di Indonesia, perempuan juga dipekerjakan sebagai pengawal istana,” kata Ann Kumar.
- Bangkit dari Kondisi Keuangan yang Sakit
HEMBUSAN angin menambah kenyamanan di Pendopo Ageng, Pura Mangkunegaran siang (18 Maret 2019) itu. Tingginya langit-langit dan luasnya bangunan membuat terik kota Solo tak masuk ke dalamnya. Kendati berasitektur Jawa, banyak ornamen di Pendopo Ageng merupakan ornamen khas Eropa. Selain patung singa berwarna emas yang didatangkan dari Jerman, ada sederetan lampu gantung antik. “Ini dulunya belum pakai listrik,” kata Doni Irawan, tour guide , kepada Historia . Pendopo Ageng dan isinya menambah panjang deretan benda bersejarah yang mengiringi perjalanan sejarah Mangkunegaran sejak didirikan oleh RM Said pada abad ke-18. Seiring perjalanan waktu, kerajaan berstatus kadipaten itu terus berkembang. Perkembangan penting berlangsung sejak modernisasi ekonomi digulirkan Mangkunegara IV. “Awal mula berdirinya Mangkunegaran itu hanya (ada, red .) Dalem Ageng, tempat museum itu,” ujar Supriyanto, dari Dinas Urusan Istana Mangkunegaran, kepada Historia . Bangkit Warisan kekayaan yang ditinggalkan Mangkunegara IV ternyata tak bertahan lama. “Kehancuran keuangan Praja Mangkunegaran itu, di samping karena faktor resesi ekonomi dunia, juga akibat rusaknya tanaman kopi dan tebu milik Mangkunegaran karena diserang hama. Selain itu, juga akibat kesalahan manajemen keuangan praja dari Sri Mangkunegara V sendiri, yakni masih besarnya pengeluaran keuangan praja seperti ketika Mangkunegara IV berkuasa,” tulis Wasino dalam Modernisasi di Jantung Budaya Jawa: Mangkunegaran 1896-1944. “Keuangan Praja Mangkunegaran menjadi sangat kacau dan mencapai tingkat defisit, hingga terlihat banyak utang kepada Pemerintah Kolonial Belanda. Bahkan, pengelolaan keuangan praja diambil alih oleh Residen Surakarta dengan bantuan superintendent. ” Menghadapi keadaan carut-marut itu, Mangkunegara VI langsung mengeluarkan kebijakan pembaruan begitu naik takhta. Langkah pertama yang diambilnya, memisahkan keuangan negara dengan keuangan pribadi dan keluarga. Lewat pranatan tanggal 4 Maret 1911, dia mengatur bahwa uang yang diperoleh dari laba perusahaan-perusahaan, pabrik-pabrik, dan harta milik lain yang akan diurus tersendiri dari sewa tanah, dan semua penerimaan sejenis, termasuk bunga dari modal yang didepositokan, dikelola langsung serta digunakan semata untuk kepentingan praja. Untuk keperluan itu, Mangkunegaran membentuk Kas Praja. Badan yang dikepalai patih Mangkunegaran dan diawasi superintendent ini menjadi pintu keluar-masuk seluruh keuangan Mangkunegaran. Untuk mengawasinya, sesuai tuntutan pemerintah, Mangkunegaran membuat anggaran penerimaan dan pengeluaran tahunan yang terlebih dulu disetujui Residen Surakarta. Langkah pembaruan kedua yang diambil Mangkunegara VI adalah penghematan dan efisiensi penggunaan aset praja. Penghematan itu antara lain berupa pemotongan papanci (uang jatah/semacam gaji tetap). Berdasarkan kebijakan yang dibuatnya itu, Mangkunegara VI hanya menerima papanci sebesar f 3000, lebih sedikit dibanding pendahulunya yang menerima f 5000. Mangkunegara VI juga menghapus sejumlah tunjangan di luar papanci (uang jatah) yang diterima para anggota keluarga raja. Bukan hanya itu, Mengkunegara VI juga menyederhanakan atau mengurangi berbagai upacara –semisal upacara inaugurasi– dan pesta yang dianggap pemborosan, atau pertunjukan seni. Pementasan wayang untuk memperingati hari lahir raja yang berkuasa, misalnya. Pertunjukan itu biasanya berlangsung semalam suntuk. Namun demi penghematan dan menjaga kondisi kesehatan para pegawai keraton, Mangkunegara VI mengubahnya jadi hanya empat jam, pukul 20.00-24.00. Sementara, wayang orang hanya boleh dipertunjukkan dalam bentuk fragmen. Wayang kulit hanya diperbolehkan dipentaskan pada peristiwa-peristiwa besar. Klenengan yang merupakan kebiasaan di Mangkunegaran, hanya diadakan setiap Jumat. Sejalan dengan itu, reorganisasi dan rasionalisasi juga digulirkan. Jumlah pegawai yang dinilai kurang fungsional dikurangi, dan pegawai yang kurang cakap diganti dengan yang lebih kompeten. Di bidang militer, Mangkunegara VI merombak Legiun Mangkunegaran dengan penghapusan pasukan artileri dan pengurangan jumlah personil pasukan kavaleri. “Kebijakan penghematan dan efisiensi seperti terurai di atas merupakan gejala baru dalam budaya politik Jawa, sebab dalam banyak kasus justru seorang raja itu ingin menunjukkan kebesarannya di hadapan rakyatnya,” tulis Wasino. Akibat pembaruan yang dilakukan Mangkunegara VI, banyak pihak yang tidak siap merasa tertekan dan kecewa atau merasa jadi korban. Dari kalangan keluarga raja Mangkunegara V, jumlahnya tidak sedikit. Mereka itulah yang kemudian berupaya menumbangkan sang raja dengan cara mengadukan kepada pemerintah Hindia Belanda bahwa RM Soejono bukan anak sah Mangkunegara V. Alasan mereka, Soejono lahir sebelum ibunya menjadi istri resmi Mangkunegara V. “Pemerintah Belanda pun termakan hasutan ini sehingga tidak mau mengakui,” tulis Wasino. Mangkunegara VI pun malu dan mengundurkan diri. Namun, dia telah mewariskan beberapa fondasi penting di samping kekayaan sebesar f 10 juta kepada praja dan mengembalikan kondisi keuangan praja menjadi sehat.
- Awal Mula Jalur Layang Kereta di Indonesia
Kereta Rel Listrik (KRL) atau Commuter Line Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) akan mempunyai jalur layang ( elevated ) lagi. Pembangunan jalur layang menyasar rute melingkar ( loop line ) mulai 2020. Dari Stasiun Manggarai, Tanah Abang, Kampung Bandan, Kemayoran, hingga ke Jatinegara. Panjangnya 24 kilometer dengan nilai investasi Rp16 triliun. Jika terwujud, jalur layang KRL loop line melengkapi jalur layang pertama untuk KRL rute tengah ( central line ) Manggarai–Kota. Jalur layang pertama ini beroperasi sejak 1992. Tapi perencanaannya telah bermula pada dekade 1970-an. Seiring dengan keinginan pemerintah memperbaiki pelayanan KRL untuk mendukung penerapan konsep Jabotabek. KRL beroperasi di Batavia sejak 6 April 1925. Melintas pada rel ganda ( double track ) listrik Tanjung Priok (utara) ke Jatinegara (timur) sejauh 15,6 kilometer. Kemudian jalur listrik berkembang (elektrifikasi) ke Manggarai (selatan), Kota (barat), Kampung Bandan (utara), dan kembali ke Tanjung Priok pada Mei 1927. Inilah jalur awal KRL di pusat kota Batavia. Bentuknya melingkari kota. Karena itu ia disebut Ring Baan . Semula akan Bawah Tanah Pemerintah kolonial meneruskan jalur KRL dari Manggarai hingga ke Buitenzorg (selatan) pada 1930. Tujuannya untuk melayani kebutuhan penumpang untuk keluar-masuk kota. Tapi jalur ini masih rel tunggal ( single track ). Demikian catatan buku Sejarah Perkeretaapian di Indonesia . KRL menjadi transportasi publik andalan warga hingga 1965. Utamanya kaum pedagang. Menurut Soemarno, gubernur Jakarta 1960–1964, KRL melayani sekira 80.000 orang sehari. Penumpang terpadat berada pada jalur Manggarai–Kota. Soemarno menginginkan jalur ini masuk ke perut bumi. Sebab jalur permukaan “menimbulkan kemacetan lalu-lintas,” kata Soemarno dalam Djaja , 15 Februari 1964. Tapi gagasan itu meluntur. Seiring dengan pergantian kekuasaan dan merosotnya pelayanan KRL pada 1965. KRL sempat berhenti operasi sampai 1972. Masa ini konsep pengembangan wilayah Jakarta dan pinggirannya (Jabotabek) muncul. Pengembangan ini perlu didukung oleh transportasi publik yang memadai. Pilihannya jatuh pada KRL yang lagi mati suri. Untuk menghidupkan kembali layanan KRL, pemerintah daerah dan Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) beroleh bantuan dari konsultan transportasi asal Jerman Barat. Kajian konsultan Jerman Barat terangkum dalam tiga bagian: Jakarta Metropolitan Area Transportation Study (JMATS), Jakarta Mass Rapid Transit Study (JMRTS), dan Jakarta Rapid Transit Study Eastern Corridor (JRTSEC). “Studi tim mengisyaratkan bahwa untuk membangun sistem angkutan umum cepat dibutuhkan waktu lama,” tulis Clayperon No. 28, 1989. Pembangunan itu menyangkut perubahan sistem jalur KRL dan integrasinya dengan angkutan umum lain. Jalur KRL nantinya bukan hanya harus dipendam dalam perut bumi, tapi sebagian juga perlu diangkat ke udara. Biayanya terlalu tinggi. Tak terjangkau kocek pemerintah. Bahkan untuk meninggikan peron stasiun sejajar dengan pintu KRL pun, tak ada dana dari pemerintah. Zaman itu naik-turun KRL perlu usaha sedikit melelahkan. Sebab celah antara peron stasiun dan pintu masuk KRL terlalu tinggi. Peran Jepang Maka pemerintah mengambil jalan tengah berupa meningkatkan fasilitas kelistrikan, memanfaatkan kembali jalur yang ada ( existing ), dan mendatangkan rangkaian KRL baru dari Jepang. Dari sinilah Jepang mulai menjajaki kemungkinan kerja sama dengan pemerintah untuk turut memperbaiki layanan KRL Jabotabek. Japan International Cooperation Agency (JICA), lembaga kerja sama teknik punya Jepang, dan Japan Railway Technical Services (JARTS), mengusulkan pembangunan jalur layang KRL pada rute tengah dari Manggarai sampai Kota sejauh 9,5 kilometer pada 1977. Mereka menyatakan siap membantu pengerjaan desain dan pencarian dananya. Pemerintah menyepakati saran JICA dan JARTS. Kemudian mereka membuat panitia pengarah bersama. Terdiri atas Departemen Perhubungan, Bappenas, Departemen Keuangan, Departemen Pekerjaan Umum, Pemerintah DKI Jakarta, dan PJKA. Tugasnya membuat rencana induk ( master plan ) pengembangan KRL Jabotabek hingga tahun 2000 bersama JICA dan JARTS. “Rencana induk ini dimaksudkan agar tercapai peran serta jalan kereta api dengan menyediakan sarana angkutan yang cocok bagi rakyat di kawasan yang tercakup dalam proyek ini,” tulis Clayperon No. 18, 1984 . Rencana itu terbit pada 1981. Salah satu rencananya memasukkan pula pembangunan jalur layang rute tengah. Pembangunan ini menjadi prioritas. Sebab rute ini begitu padat penumpang. Untuk mengurangi kepadatan, armada KRL harus bertambah sehingga selang waktu keberangkatan bisa berkurang. Tapi rute tengah mempunyai 19 persilangan dengan jalan kendaraan bermotor. Menambah armada kereta berarti menciptakan masalah baru selama jalur tersebut masih berada di permukaan. Misalnya masalah antrean kendaraan bermotor selagi menunggu di perlintasan dan kemungkinan kecelakaan antara KRL dengan kendaraan bermotor. Kajian JICA dan JARTS menawarkan tiga pilihan kepada pemerintah terkait pembangunan jalur layang KRL. Pertama , pembangunan jalur layang tepat di atas jalur lama. Konsekuensinya seluruh perjalanan KRL harus dihentikan. Lamanya waktu pengerjaan 6 tahun 1 bulan dengan biaya Rp82,7 miliar. Kedua , pembangunan jalur layang berada di atas satu lajur KRL lama. Cara ini berbiaya lebih mahal, tetapi memiliki keuntungan pada waktu pengerjaan lebih singkat dan tidak menggangu perjalanan KRL. Ketiga , pembangunan jalur layang cukup di samping jalur lama. Biayanya memang mencapai Rp103,4 miliar, tetapi waktu pengerjaan hanya 4 tahun, dan KRL tetap beroperasi normal. Pemerintah akhirnya memilih opsi terakhir. Lebih mahal, tetapi tidak banyak menimbulkan masalah. Pembangunan jalur layang KRL berlangsung dalam beberapa tahap: kajian awal, pembebasan lahan, konstruksi, penambahan dua stasiun (Mangga Besar dan Jayakarta), pengangkatan stasiun, pemasangan teknologi kelistrikan dan persinyalan, dan uji coba KRL. Dimulai pada Februari 1988 dan berakhir pada awal 1992. Jalur layang KRL rute tengah kali pertama beroperasi pada 5 Juni 1992. Presiden Soeharto meresmikan jalur ini dengan menjajal naik KRL buatan Jepang dari Gambir menuju Kota. Berkat jalur layang ini, perjalanan KRL bisa lebih aman dan frekuensinya akan bertambah. Turut pula membantu naik-turun penumpang sebab tinggi peron dan pintu masuk kereta hampir sejajar.
- Langganan Mengiringi Benyamin
GARA-gara sehelai selendang, kemelut terjadi dalam rumah tangga. Norma (Connie Sutedja) menuduh suaminya, Johan (A. Hamid Arif), main gila dengan wanita lain. Dalam kekacauan nan jenaka itu, sebuah lemparan kue tart melayang ke wajah sopir mereka, Pengki (Benyamin S). Sontak, Pengki pun mengerang bak cacing kepanasan dan mengancam akan lapor polisi. Norma bersama ibunya (Wolly Sutina/Mak Wok) pun merayu Pengki untuk tak mempolisikannya. “Sekarang lebih baik kita damai aja ya. Ini saya kasih seribu (rupiah) untukmu,” bujuk Norma. Pengki menolak. Norma pun terpaksa menambahkan Rp1.500 lagi uang damainya. Norma pun masuk perangkap Pengki. Sedari awal, uang damai itu yang diinginkan sang sopir dengan akal-akalannya untuk mengelabui tuan dan nyonyanya. Adegan intrik jenaka itu hanya satu dari sekian intrik kocak dalam film legendaris garapan sutradara Nawi Ismail, Benyamin Biang Kerok (1972). Film ini jadi awal Connie mengiringi mendiang Benyamin dalam film-film komedinya. Musuh dalam Film, Bersahabat di Balik Layar Masih terngiang dalam ingatan Connie tentang bagaimana film Benyamin Biang Kerok jadi salah satu pemicu kebangkitan film nasional di awal 1970-an. “Film Biang Kerok pertama sukses besar. Bayangin, film Indonesia saat itu lagi sekarat banget. Begitu keluar Biang Kerok , meledak di mana-mana,” ujarnya saat berbincang dengan Historia di kediamannya di Cilandak, 11 April 2019. Mengutip Majalah Film volume 236 tahun 1995, Benyamin Biang Kerok juga jadi tonggak kepopuleran film-film bertema komedi Betawi. “Lalu berlanjut dengan belasan film sejenis. Rata-rata Benyamin berperan sebagai pemuda Betawi yang cerdik, rada nakal, iseng. Yang paling sering jadi korban kejahilannya Hamid Arif, Wolly Sutinah, Connie Sutedja, Farouk Afero, Ratmi B-29 dan Eddy Gombloh. Sedangkan lawan-lawannya biasa diperankan oleh Mansyur Syah atau Muni Cader. Pasangan mainnya yang paling pas jelas Ida Royani.” Salah satu adegan kocak antara Benyamin S (kiri), Mak Wok dan Connie Sutedja dalam Biang Kerok (Foto: Youtube Falcon Pictures) Buat Connie sendiri, dia tak pernah menyangka Benyamin Biang Kerok akan jadi pijakan tangga lainnya dalam kariernya, di mana namanya kian dikenal. Sebelumnya, dia jadi pemeran utama dalam Singa Betina dari Marunda (1971). “Sama kayak film pertama saya ( Anak-Anak Revolusi produksi 1964, red. ). Saya pikir satu saja main bareng Benyamin, sudah selesai. Tapi sesudah sukses besar, langsung ada lagi terlibat di Benyamin Tukang Ngibul , Benyamin Berengsek , Ratu Amplop , Benyamin Koboi Ngungsi , banyak deh ,” sambung Connie. Connie pertamakali kenal dengan Benyamin saat main bareng dalam film action -drama Banteng Betawi (1971) meski tak satu frame. Keduanya lalu kembali main bareng di Honey, Money and Djakarta Fair (1970) yang jadi debut Benyamin dalam perfilman nasional. “Film pertama Ben (Benyamin S, red. ) itu disutradarai Misbach Yusa Biran. Para pemainnya Connie Sutedja, Tan Tjeng Bok, Ratno Timoer, Nani Wijaya, Rita Zahara, Ellya Khadam dan Mansyur Syah,” tulis Wahyuni dalam Kompor Mleduk Benyamin S: Perjalanan Karya Legenda Pop Indonesia. Namun, Connie jadi lawan main Benyamin yang satu frame baru dalam Benyamin Biang Kerok . Setelah itu, terhitung enam film sejenis yang menampilkan keduanya sebagai lawan main. Semuanya booming . Maka, Connie pun merupakan salah satu elemen terpenting dalam semesta komedi Benyamin, selain Hamid Arif, Edi Gombloh, Mak Wok, Ida Royani, atau Grace Simon. Meski acap bermusuhan dalam film, Connie menjalin persahabatan erat dengan Benyamin. Saking karibnya, Benyamin punya julukan khusus buat Connie. “Yang paling diingat tentang Benyamin itu, karena memang banyak filmnya, sampai Benyamin itu manggil saya kuntilanak. hahaha… Biasanya kalau saya telat datang untuk dubbing , dia pasti nyeletuk ke Om Nawi (sutradara): ‘ Tuh , kuntilanak baru dateng!’ hahaha …” ujar Connie seraya tertawa lepas. Connie Sutedja kerap tertawa jika mengenang kiprahnya bersama mendiang Benyamin S (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Namun, Benyamin di mata Connie tak hanya humoris. “Dia orangnya rajin, on time. Selain humoris, dia jiwa kemanusiaan dan sosialnya tinggi, enggak sombong, benar-benar merakyat. Kalau lagi nunggu syuting di mana gitu, dia enggak segan duduk-duduk dan ngobrol sama orang-orang kampung setempat,” ujar Connie. Sebagaimana Benyamin yang kadang mengajak anaknya datang ke lokasi syuting, Connie pun setali tiga uang. Tidak jarang Agus Sutedja, putranya, ikut ke lokasi dan bahkan pernah ikut dilibatkan sebagai figuran di Biang Kerok Beruntung (1973). “Muncul dua kali di awal film bareng anaknya Benyamin, almarhum Beib (Habbani) Benyamin. Pas adegan nyelepet Benyamin sama lagi makan bakso,” kata Agus menimpali ibunya.
- Kerah Baju Tanda Status Sosial
KERAH baru benar-benar muncul khususnya di dunia barat pada pertengahan 1400-an. Hingga pertengahan abad ke-15, nampaknya orang-orang cenderung mengenakan pakaian yang punya garis leher rendah tanpa kerah. Menariknya, kerah juga digunakan sebagai simbol status. Kerah Mandarin Kerah mandarin, kerah tegak, atau kerah choker adalah gaya kerah pendek yang tidak dilipat pada kemeja atau jaket. Gaya ini berasal dari sebutan orang barat pada birokrat Tiongkok era Dinasti Qing. Mereka yang menggunakan pakaian berkerah seperti ini sebagai bagian dari seragam mereka. The Ruff Portrait of a Woman oleh Michiel Jansz van Miereveldt dari 1628 yang menampilkan perempuan berkerah ruff Kerah model ini pada 1500-an mungkin seperti memakai arloji seharga ratusan juta pada masa kini. Itu semacam fesyen yang tak perlu, tapi penting untuk menunjukkan status pemakainya. Kebangkitan model kerah ini beriringan dengan kemajuan pembuatan tepung pati. Bahan ini digunakan untuk membantu terciptanya bentuk kerah ruff yang sempurna. Model kerah semacam ini makin naik daun pada 1580-an dan 1590-an. Ada yang sampai memakai kerah semacam ini dengan bahan sepanjang enam meter. Bahan itu menghasilkan kerah ruff berkerut dengan 600 lipatan. Pemakainya tak cuma perempuan, tetapi juga pria. Namun tak semua rupanya menyukai model kerah ruff . Sekira 1585, kerah ini di London disebut-sebut sebagai mode Prancis. Namun, ketika orang Inggris datang ke Paris, orang Paris yang tak tahu mode akan meledeknya dengan bilang “monster Inggris”. Kegandrungan akan model kerah ruff ini tak bertahan lama. Pasalnya ia sulit dirawat dan mahal. Kerah Medici potret Mariacutea de Meacutedici dalam lukisan Frans Pourbus the Younger Kerah ini berdiri kaku di belakang leher dengan bentuk yang membuka dan meninggi. Model kerah ini populer di kalangan para bangsawan. Ia biasanya dipakai bersama gaun berpotongan leher terbuka dan rendah yang memperlihatkan sebagian dada pemakainya. Agar tetap tegak, kerah ini biasanya diberi kanji dan terkadang kawat. Bahan renda, satin bersulam, atau bahan ringan lainnya dapat membuatnya mencapai ketinggian yang lebih menjulang di atas bahu dan kepala pemakainya. Ia terkadang bertakhtakan permata kecil. Jenis ini diperkenalkan di Prancis oleh Marie de’ Medici, keponakan dari Grand Duke of Tuscany, pada abad ke-16 M. Dia mengimpornya dengan harga luar biasa mahal dari negara asalnya, Italia, karena harus menabrak hukum yang membatasi segala urusan dengan Italia. Sebutan atas kerah ini memakai nama belakangnya dua abad kemudian. Kerah Golila Potret Raja Philip IV dari Spanyol (1601-1665) mengenakan pakaian berkerah golila dalam lukisan karya Diego Velaacutezquez Kerah ini juga merupakan salah satu jenis kerah yang kaku dan melebar di bawah dagu. Ia banyak dipakai selama beberapa dekade awal abad ke-17 di Spanyol. Ia menjadi begitu populer pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17. Namun kemudian digantikan oleh tren kerah tegak yang lebih praktis dan berbahan ringan, karena model ini sering membuat pemakainya tidak nyaman dan kepala sulit bergerak. Kerah vandyke Model kerah vandyke dalam lukisan karya Sir Anthony Van Dyck (1641-1641) yang berjudul Charles I (1600-49) Kerah besar dengan sisi di dekat leher yang tinggi, lalu mengelepak sampai ke atas bahu. Biasanya dibuat dengan renda atau brokat. Model ini dikenakan pada kuartal kedua abad ke-17. Kerah itu seperti terlihat dalam lukisan karya Sir Anthony Van Dyck yang berjudul Charles I. Kerah Bertha Kerah bertha dalam lukisan karya Adriaen Hanneman dari 1650 Kerah ini melebar dan berpotongan leher rendah, sehingga menonjolkan bahu perempuan yang memakainya. Biasanya terbuat dari bahan brokat, renda atau kain tipis lainnya. Gaun berkerah bertha sangat populer pada abad ke-17 dan ke-19. Kini, model gaun berkerah semacam ini masih sering dipakai, terutama untuk variasi gaun pengantin. Kerah bongkar pasang Pada 1820-an, Hannah Montague merumuskan gagasan untuk menciptakan kerah yang bisa dilepas dari kemeja. Suaminya, Orlando Montague adalah orang pertama yang memakai model ini. Kerah ruff juga sebenarnya bisa dilepas. Namun kali ini bentuknya hanyalah seperti kerah kemeja masa kini. Tujuannya, supaya mudah untuk dicuci. Biasanya kerah baju lebih cepat kotor dibanding bagian lainnya. Segera setelah model kerah ini lahir, Ebenezer Brown dan Orlando Montague mulai memproduksi masal kerah ini di Troy, New York. Kerah yang bisa dilepas biasanya terbuat dari bahan yang berbeda dari kemeja, dari katun hingga linen, dan dibuat hanya dalam satu warna, putih. Karena mereka bisa dilepas, kerahnya biasanya kaku seperti karton. Kerah melekat pada baju dengan satu set kancing, satu di depan dan satu lagi di belakang. Popularitas kerah yang dapat dilepas ini mulai memudar pada 1920-an dan 1930-an. Pemanasan global, kain yang berbobot lebih ringan, dan sikap sosial yang lebih santai mendukung kondisi itu. Kerah Pelaut Pangeran Albert Edward (kelak menjadi Raja Edward VII) dalam pakaian pelaut, lukisan karya Franz Xaver Winterhalter (1846) Kerah ini mungkin menjadi yang paling diingat dari seragam Angkatan Laut Kerajaan Inggris ( Royal Navy ). Kerah ini berbentuk V di bagian depan leher, tidak kaku, dan persegi di bagian punggung. Bentuk kerah ini terus dipertahankan meski model seragamnya terus berubah sejak diperkenalkan pertama kali pada tahun 1857. Kerah semacam ini kemudian banyak diadopsi untuk tak hanya seragam angkatan laut. Contohnya seragam sekolah di beberapa negara. Kerah Pendeta Kerah putih yang bisa dibongkar pasang Kerah pendeta yang dapat dilepas diciptakan pada 1865 oleh Donald Mcleod, pendeta Gereja Skotlandia (Presbyterian) di Glasgow. Kerah ini menutup bagian leher dengan bagian kotak kecil berwarna putih pada pangkal tenggorokan. Bagian putih inilah yang bisa dilepas dari bagian kemeja pendeta. Setelah bagian ini dilepas, kemeja pendeta sama saja dengan kemeja-kemeja biasa. Awalnya bagian kerah ini selalu terbuat dari linen atau katun. Namun kini sering dibuat dari plastik. Kerah gaya Edwardian Hakim Mary Margaret Bartelme (1866 - 1954) dalam setelan berkerah yang lazim pada masa Raja Edward Kerah ini digunakan baik oleh laki-laki maupun perempuan kelas atas pada masa Raja Edward VII (1901-1910) di Britania Raya. Pakaian dengan kerah ini biasa dipakai untuk sehari-hari, maupun setelan resmi. Kerah bergaya ini sangat tinggi, menempel pada garis leher, lalu meluas sampai ke dagu. Ia menutupi bagian depan dan belakang leher. Di bagian depan memanjang hingga tenggorokan dan di belakang memanjang hingga garis rambut. Kerah HRH Kerah ini juga lahir pada masa Edward VII. Permbuatnya adalah Charvet, rumah mode ternama asal Prancis, yang merancangnya untuk penguasa Britania Raya itu. Kerah ini pun menjadi populer pada akhir abad ke-19. Kerah Peter Pan Maude Adams sebagai Peter Pan Kerah ini berbentuk pipih dengan sudut bulat. Diberi nama kerah Peter Pan berkat kostum Maude Adams, aktris Amerika ketika memerankan Peter Pan pada 1905. Walaupun sebelum dia pun kerah model semacam ini sudah banyak digunakan. Ketika dipakai sebagai kostum Peter Pan, kerah ini dirancang oleh John White Alexander dan istrinya, bekerja sama dengan Maude Adams di New York. Baik buku atau drama J. M. Barrie, yang menggambarkan Peter Pan memakai jaring laba-laba dan daun, maupun produksi London 1904 asli yang dibintangi Nina Boucicault, memiliki desain kerah yang serupa. Kendati penggambaran Peter Pan berikutnya tidak mengenakan kerah, kerah Adams membuktikan kesuksesan mode di Amerika Serikat dan Inggris dalam mempertahankan hubungannya dengan seni peran. Meskipun telah menjadi bagian dari busana wanita sejak tahun 1900-an, termasuk detail gaun pengantin yang populer pada pertengahan abad ke-20, kerah ini terutama dikaitkan dengan pakaian anak-anak sejak tahun 1920-an. Kerah Peter Pan juga memiliki kemiripan dengan sejumlah desain sebelumnya. Itu terutama kerah col Claudine atau Claudine dari Paris. Kerah ini berbentuk bundar dan biasa dikenakan dengan syal. Kerah Claudine diberi nama sesuai dengan karakter dalam novel Colette pada1900 , berjudul Claudine à l'école , yang digambarkan mengenakannya. Claudine menginspirasi berbagai aksesoris bertuliskan namanya, termasuk claudinet, kerah bundar untuk wanita dan anak-anak, juga parfum. Kerah polo Rene Lacoste mengenakan kaus tenisnya Pada 1933, bintang tenis René Lacoste ingin mengubah pakaian olahraganya menjadi lebih nyaman. Para pemain saat itu mengenakan kemeja katun Oxford dengan lengan yang digulung. Lacoste pun merancang apa yang kini dikenal sebagai kaos polo modern. Dia mendapat ide dari kemeja yang dikenakan oleh teman bermain polonya. Karena itulah namanya kemudian disebut kaos polo ( polo shirt ). Kemeja ini melalui debutnya di lapangan tenis AS pada 1926. Pada 1927 Lacoste menambahkan logo legendarisnya ke kemejanya sebagai penghormatan atas nama panggilannya, le Crocodile. Setelah pensiun dari tenis pada 1932, Lacoste mendirikan perusahaannya yang bernama Eponymous pada 1933. Dia pun mulai menjual kemeja tenisnya kepada publik. Gaya ini dengan cepat diadopsi oleh pemain tenis lainnya serta pemain polo dan golf. Dalam perkembangannya, kaos polo sudah merambah dunia mode dan jadi pakaian serba guna. Kini bukan lagi kaos untuk olahraga saja. Kerah kekinian Rupa-rupa kerah pada masa kini Pada masa yang lebih modern bentuk kerah makin bebas, bentuknya beraneka ragam. Kerah-kerah yang berkembang pada masa lalu tak jarang menjadi inspirasi bentuk kerah masa kini.
- Mencintai Tubuh dan Sejarah Kelamnya
SAMBIL duduk santai di halaman rumahnya, Juno (diperankan Rianto) bermonolog, menceritakan masa kecilnya dengan bahasa Jawa logat Banyumas. “ Uripku isa dideleng sekang leng (hidupku bisa dilihat dari sebuah lubang),” katanya. Dari sanalah kisah hidup Juno mulai diceritakan. Juno kecil (Raditya Evandra) tinggal bersama ayahnya. Ketika bermain di hutan, Juno mendapati ayahnya sedang mandi di sungai sambil meluapkan emosi. Ada kesedihan dan kemarahan. Di pertengahan film, terungkap tentang sejarah keluarga dan trauma sang ayah. Tak lama kemudian, sang ayah pergi. Juno dirawat seorang guru tari lengger (Sujiwo Tedjo) yang menjelaskan arti lengger. Leng berarti lubang dan ngger berarti jengger, jambul pada ayam jago. Penari lengger adalah orang yang berdandan seperti perempuan (leng, lubang) namun sejatinya lelaki (jengger). Si guru tari lengger menyadari ada sisi feminin dan maskulin dalam tubuh Juno, bekal seorang penari lengger. Tapi tak berapa lama kemudian Juno harus pindah lantaran guru tarinya membunuh penari yang meniduri perempuannya. Juno lantas dirawat oleh bibinya yang berjualan ayam. Juno sering membantu bibinya mengecek ayam-ayam yang akan bertelur. Saking ahlinya, dia jadi dukun ayam, melewatkan jam sekolah dengan mlipir ke pasar, tempat warga desa mengantri untuk mengecek ayam-ayam mereka. “ Piye, arep ngendog ora (Bagaimana, akan bertelur kah)?” “Isih suwi, Pakdhe (Masih lama, Pakdhe),” kata Juno setelah memasukkan jarinya ke dubur ayam. Malang bagi Juno, dia ketahuan membolos oleh bibinya. Selain dimarahi, jarinya ditusuk dengan jarum. Ketika cerita beralih pada masa remaja, konsep feminin-maskulin makin kuat. Juno remaja (Muhammad Khan) tinggal bersama pakdhenya (Fajar Suharno), seorang penjahit. Di sinilah ia bertemu dengan seorang petinju (Randy Pangalila) yang menganggapnya seperti adik sendiri. Namun hanya si petinju yang berpikir demikian, lain halnya dengan Juno. Petinju (Randy Pangalila) dan Juno (Muhammad Khan). Penuh Simbol Ada banyak simbol dalam Kucumbu Tubuh Indahku . Selepas filosofi lengger dijelaskan di awal film, bentuk-bentuk lubang dan jengger kerap muncul. Misal, ketika Juno kecil menggulung kaset dengan pulpen, kemunculan alu dan lumpang, merogoh dubur ayam, atau adegan tertusuk jarum yang berkali-kali ditampilkan. Simbol-simbol ini dimasukkan dengan halus hingga memperkuat jalan cerita. Pemilihan nama Juno pun agaknya tak sembarangan. Juno dari Arjuna, salah satu Pandawa. Dalam Mahabarata, Arjuna penah menyamar sebagai perempuan pengajar tari bernama Wrehatnala ketika diasingkan. Melalui Juno, sineas seakan ingin menggambarkan tokoh lelaki berkuasa seperti Arjuna punya sisi feminin. Namun, saling silang dalam Kucumbu Tubuh Indahku tidak hanya ada pada tokoh Juno. Tokoh-tokoh perempuan seperti istri bupati (Queen Dorotea) dan asistennya (Anneke) juga digambarkan punya sisi maskulin dan penuh kontrol. Latar suara yang dengan mulus dihadirkan Mondo Gascaro berhasil menguatkan kesan romantis nan menyayat hati dalam film. Pilihan lagunya, seperti “Rindu Lukisan”, “Apatis”, dan “Hanya Semalam” juga berfungsi jadi penanda zaman yang mengiringi tiap perubahan hidup Juno yang penuh trauma, air mata, dan darah. Akting Raditya Evandra patut diacungi jempol. Lewat ekspresi dan gerak tubuhnya, dia berhasil menampilkan beragam emosi Juno kecil yang polos. Endah Laras pun begitu luwes memerankan warga dusun yang lepas dari stereotip orang kampung, seperti caranya berdandan sebelum ke pasar, memegang dan membawa ayam ketika naik motor, makan di tengah pasar yang penuh ayam tanpa rasa jijik, juga caranya nggembol duit (menyimpan uang dalam lipatan kain batik) seperti yang dilakukan ibu-ibu penjual zaman dulu. Meski ia digambarkan hidup sendiri (tanpa suami dan anak), aura keibuannya begitu kuat ketika berinteraksi dengan Juno. Muhammad Khan dengan sukses menampilkan feminitas seorang remaja lelaki yang mulai paham tentang tubuh dan seksualitasnya. Usut punya usut, Rianto sendiri yang mementori Khan tentang gerak-gerak feminin hingga bisa ditampilkan dengan natural. Luapan emosi yang ia tampilkan di pemandian mengajak penonton bersimpati. Kondisi penuh pertumpahan darah di sekitar Juno memang mungkin memancing frustasi. Adegan kilas balik tentang perjalanan hidup Juno pun diceritakan dengan apik lewat monolog dan tarian penuh emosi oleh Rianto yang memang seorang penari dan koreografer profesional. Meski mayoritas pemeran bukan aktor dan aktris terkenal, Garin Nugroho berhasil mengarahkan pemainnya untuk bisa berekspresi lewat bahasa tubuh. Namun ada yang sedikit mengganjal, logat yang tidak konsisten. Rianto dan guru SD Juno berlogat Banyumas, tempat lengger berasal. Sementara Juno kecil, guru tari lengger, bibi, dan pakdhe berlogat Yogyakarta, dus manajer tim lengger (Mbok Tun) berlogat Jawa Timuran. Melihat inti ceritanya tentang lengger namun ada tokoh-tokoh yang berbahasa Jawa non-Banyumas mengingatkan pada adagium, “Ora ngapak, ora kepenak.” Tubuh yang Menyimpan Trauma Lewat film kesembilanbelasnya ini, Garin Nugroho mengajak penonton untuk memahami sejarah lewat ingatan yang tersimpan dalam tubuh. Karena lewat tubuh, segala realitas hidup dialami secara langsung. Lewat tokoh Juno, Garin menceritakan tentang sejarah kekerasan dan pertumpahan darah dalam setiap peralihan hidupnya. Kakeknya dibunuh karena dituduh PKI, sementara guru tari lenggernya melakukan pembunuhan dengan amat dingin. Tubuhnya menyimpan banyak trauma dan kepedihan yang bila tidak diselesaikan akan menggerogoti jiwa si pemilik tubuh. Seperti biasa, Garin mengusung banyak pesan dalam film ini. Yang terpenting, bagaimana tubuh dan seksualitas dimaknai seiring zaman dan bagaimana kondisi sosial-politik memengaruhi sejarah ketubuhan Juno. Garin menantang ide kolot untuk tidak membahas apa yang mestinya dibahas. Sebaliknya, dia hendak mengajarkan penonton untuk berdialog dengan tubuhnya, tentang sejarah hidup, dan sejarah bangsa. Kucumbu Tubuh Indahku menjadi film yang amat puitis. Juno menjadi simbol bahwa manusia atau bangsa punya trauma mendalam dalam tubuh yang mestinya diselesaikan. Kalau tidak, seperti dipesankan pakdhe penjahit sebelum meninggal, akan menjadi “Bencana neng jero awak.”
- Kekuatan yang Mengancam Sriwijaya
Kesuksesan Sriwijaya memperluas pengaruhnya tidak diraih dengan mudah. Penguasanya harus banyak melancarkan pertempuran melawan pemberontak dari lingkungan internal. Lewat prasasti, filolog asal Belanda, J.G. de Casparis menganalisis ancaman-ancaman itu bahkan terjadi kala kebijakan ekspansi Sriwijaya sedang getol-getolnya. Itu sekira pada masa awal berdiri, akhir abad ke-7 M. Ninie Susanti, arkeolog Universitas Indonesia mengatakan, kekuatan Sriwijaya terlihat dari daerah-daerah yang mengakui kedaulatannya, yaitu Kedah, Ligor, Semenanjung Melayu, Kota Kapur, Jambi, Lamoung, dan Baturaja. Mereka kemudian berdiri sebagai mandala bagi Sriwijaya. “Kedatuan dari kata datu atau orang yang dituakan. Dalam prasastinya tidak pernah menyebutnya sebagai kerajaan,” kata Ninie. Baca juga: Sistem Politik yang Membuat Sriwijaya Bertahan Lebih dari Lima Abad Untuk mempertahankan hegemoninya itu, Sriwijaya mengeluarkan enam prasasti kutukan. Paling tidak itu yang sampai saat ini sudah ditemukan. Isinya adalah ancaman bagi mereka yang berani melawan raja. Pun ada lebih dari 25 prasasti Jayasiddhayatra , yang memuat perjalanan suci menaklukkan daerah-daerah sekitar. Namun, Sriwijaya tampaknya masih harus berbagi otoritas dengan para datu. Itu baik para datu lokal yang mendiami daerah di sekitar Kedatuan Sriwijaya, maupun datu pangeran di daerah mandala-mandala luar. Hermann Kulke, sejarawan Jerman, di Kedatuan Sriwijaya menulis bahwa telah terbukti kalau kontrol Sriwijaya terhadap mandala-mandala -nya tetap rawan selama berabad-abad. Sriwijaya tak pernah berhasil, atau bahkan berusaha, untuk menganeksasi sepenuhnya mandala-mandala itu. Semua mandala tampaknya mampu mempertahankan otonomi mereka sebagai replika kecil Sriwjaya. Itu lengkap dengan struktur vanua (satuan beberapa desa dan lahannya) dan samaryyada (satuan yang terdiri dari beberapa vanua ). Bedanya, Sriwijaya punya pusat urban yang besar, staf administrasi, dan balatentara yang kuat, juga hubungan dagang internasional. Setidaknya, ada dua bahaya yang mengintai keutuhan Kedatuan Sriwijaya terutama terkait dengan kebijakan ekspansi yang dianut pemerintahan itu. Baca juga: Tiga Faktor yang Membuat Sriwijaya Jadi Kerajaan Kuat Pertama, para anggota keluarga raja Sriwijaya yang muncul menjadi datu yang kuat di mandala-mandala menciptakan ancaman langsung terhadap sang datu Sriwijaya di pusat. Pasalnya, kedudukan mereka menjadi hampir sekuat kedudukan datu Sriwijaya. Kedua , bahaya berupa perlawanan di dalam kawasan-kawasan yang diserangnya. Kemungkinan besar, kata Kulke, prasasti-prasasti mandala yang isinya kurang lebih identik, yang ditemukan di daerah-daerah luaran berfungsi untuk mengatasi perlawanan lokal di dalam mandala-mandala itu. “Prasasti-prasasti itu dengan jelas mengatakan ‘orang di segenap wilayah bhumi kekuasaan kadatuan -ku yang memberontak’,” jelas Kulke. Dari pusat Kedatuan Sriwijaya pun ancaman itu ada seperti disebut dalam Prasasti Sabokingking (SKK). Prasasti kutukan paling lengkap memuat nama-nama pejabat pemerintahan itu disebutkan mulai dari putra raja ( rājaputra ), menteri ( kumārāmātya ), bupati ( bhūpati ), panglima ( senāpati ), pembesar atau tokoh lokal terkemuka ( nāyaka ), bangsawan ( pratyaya ), raja bawahan ( hāji pratyaya ), hakim ( dandanayaka ), ketua pekerja atau buruh ( tuhā an vatak = vuruh ), pengawas pekerja rendah ( addhyāksi nījavarna ), ahli senjata ( vāsīkarana ), tentara ( cātabhata ), pejabat pengelola ( adhikarana ), karyawan toko ( kāyastha ), pengrajin ( sthāpaka ), kapten kapal ( puhāvam ), peniaga ( vaniyāga ), pelayan raja ( marsī hāji ), dan budak raja ( hulun hāji ). Casparis pernah menulis dalam Prasasti Indonesia , orang-orang yang disebut pada prasasti itu adalah orang-orang yang dikategorikan berbahaya dan berpotensi melawan Kedatuan Sriwijaya. Mereka itu perlu disumpah. “Maksud Prasasti SKK adalah memberikan ancaman sebesar-besarnya kepada semua lawan, dan bukan melegitimasi klaim Sriwijaya untuk memerintah mereka,” kata Kulke. Menurut Kulke, sebagaimana yang tertulis dalam prasasti, orang-orang berbahaya di imperium ini bukan saja para pangeran dan komandan tentara yang dapat menggalang pemberontakan ketika mereka jauh dari pusat. Tetapi juga sejumlah abdi rendahan yang mudah menjangkau raja, seperti juru tulis, tukang cuci, budak, pelaut, dan pedagang bisa sangat berbahaya. Baca juga: Penaklukkan Sriwijaya di Pulau Bangka dan Jawa “Karena mereka menjalin hubungan dengan kekuatan asing. Disebutnya secara khusus kelompok-kelompok terakhir ini pas sekali dengan kekuatan bahari dan niaga Sriwijaya,” lanjut Kulke. Dengan struktur politik begitu, sekali Sriwijaya kehilangan keunggulan dalam mengontrol sejumlah pos penting di pelosok, ia kehilangan posisinya sebagai primus inter pares di antara mandala dan para datu -nya. “Sriwijaya pada gilirannya mungkin menjadi sebuah mandala dari salah satu bekas mandala -nya,” kata Kulke. Baca juga: Bentuk Kerajaan Sriwijaya Berdasarkan Catatan I-Tsing Namun, itu bukan berarti akhir sebuah negara bernama Sriwijaya. Bukan pula berarti jatuhnya kadatuan dan vanua -nya yang, menurut Kulke, berada di Palembang masa kini. Seiring perjalanan waktu, Sriwijaya mungkin kembali menjadi penguasa dalam perjuangan kekuasaan yang berlangsung terus-menerus.
- Histori Inflasi Jelang Pemilu
Pemilihan umum (Pemilu) sangat penting untuk menentukan perjalanan bangsa. Situasi ekonomi, dalam hal ini inflasi, selalu membayangi setiap Pemilu yang pernah diadakan di negeri ini. “Cuma memang pada Pemilu kali ini, lonjakan inflasi terhitung rendah –atau hampir bisa dibilang tidak signifikan. Inflasi terbesar tahun 2019 ini muncul pada Januari 2019 (0,32%) tapi ini juga masih terhitung wajar karena volume uang memang biasa meningkat pada awal tahun, terkait pembagian bonus, THR, serta pelaksanaan proyek pemerintah dan Pemda yang biasa ‘kejar tayang’ di akhir Desember,” ujar Poltak Hotradero, Senior Researcher Bursa Efek Indonesia, kepada historia.id . Menurut Data Strategis BPS yang terbit 2008, makna inflasi adalah persentase tingkat kenaikan harga sejumlah barang dan jasa yang secara umum dikonsumsi rumah tangga. Inflasi memang menjadi momok disetiap perhelatan Pemilu. Pemilu pertama tahun 1955,pemilu pertama di pemerintahan Soeharto tahun 1971, dan Pemilu pasca Reformasi juga dibayangi inflasi dengan naiknya harga barang-barang. Inflasi di Pemilu 1955 Pemilu pertama tahun 1955 dibawah kabinet Burhanuddin Harahap. Kabinet koalisi ini terbentuk pada 11 Agustus 1955, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 141 Tahun 1955, dan mulai bekerja setelah dilantik keesokan harinya. Salahsatu program kerjanyamelaksanakan Pemilu sesuai rencana yang sudah ditetapkan dan menyegerakan terbentuknya Parlemen baru. Kabinet ini hanya memiliki waktu sebulan untuk menyiapkan Pemilu. Pemilu pertama ini berlangsung tanggal 29 September 1955 (memilih anggota DPR) dan 15 Desember 1955 (memilih anggota Konstituante). “Partai-partai politik bekerja keras beberapa minggu menyelenggarakan kampanye terakhir mereka. Pada hari Pemilu sekolah negeri ditutup dua hari, dipakai untuk tempat pemungutan suara. Toko dan pasar ditutup pada hari Pemilu meninggalkan suasana liburan hingga ke dapur,” kenang Molly Bondan dalam Molly Bondan: P engabdian Pada Bangsa, Penuturan dalam Kata-katanya sendiri . Pemilu pertama berlangsung dalam suasana inflasi sebesar 33%. Pada akhir tahun 1955, seperti tertulis dalam Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir 2 terbitan ISEI, tingkat harga naik dengan cepat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Jajasan Urusan Bahan Makanan (JUBM) bahkan mengeluarkan stok beras 400ribu ton dan menaikkan impor beras dari 125ribu ton pada 1955 menjadi 800ribu ton pada tahun berikutnya. JUBM (1953-1956) merupakan lembaga tunggal yang diberi wewenang oleh pemerintah untuk pengadaan beras nasional. Meski diliputi suasana inflasi yang cukup tinggi, Pemilu terselenggara dengan baik. Kampanye partai-partai politik ramai dengan adu ideologi. Akhirnya, PNI menjadi kampiun dalam perolehan suara untuk kursi di DPR, disusul Masyumi, NU, dan PKI. Pemilu = Harga Naik Jelang Pemilu 1971, ibukota sepi. Banyak orang pulang ke tempat asalnya untuk mencoblos. Akibatnya, banyak usaha jasa yang menaikkan harga karena permintaan yang tinggi. Salahsatunya tarif becak. “Biasanya dari rumah ke kantor cuma Rp40, sekarang menjadi Rp80. Gila juga bung,” gerutu seorang pekerja kantoran, seperti dikutip Kompas , 5 Juli 1971. Para penarik becak itu kebanyakan berasal dari daerah. Mereka sudah pulang kedaerahnya masing-masing sejak 28 Juni 1971, seminggu sebelum Pemilu dihelat. Menyusutnya jumlah penarik becak di ibukota ini yang memicu ongkos naik becak menanjak. Para penarik becak yang berasal dari Jakarta pun tampak santai, sebab mereka mencoba tahan harga. “Maklum pak, deket Pemilu,” ujar seorang penarik becak. Menumpang becak dari Jatinegara ke Tebet Utara dari Rp35 menjadi Rp60; dari Lapangan Banteng ke Gedung Kesenian dari Rp15 menjadi Rp25; dan dari Blok M ke Blok P dari Rp35 menjadi Rp60. Selain ongkos becak, harga minyak tanah di ibukota juga naik. Namun kenaikan harga ini ada di tukang pikul, sementara harga di grosir sudah ditetapkan oleh Pertamina. Harga minyak tanah dari tukang pikul pada akhir Juni hingga awal Juli 1971 mencapai Rp17,50 per liter dari harga yang ditetapkan Pertamina Rp13 per liter. “Pemerintah dapat mengendalikan harga minyak tanah hanya terhadap para grosir, dealer dan subdealer , tetapi tukang pikul sulit untuk diawasi,” tulis Kompas , 30 Juni 1971. Kenaikan ongkos becak dan minyak tanah membuat barang-barang semua naik. Harga beras dari Rp40 menjadi Rp60; gula pasir dari Rp95 menjadi Rp110; daging sapi dari Rp350 menjadi Rp450; bahkan sepiring nasi goreng dari Rp150 menjadi Rp175. “Kenaikan yang menyolok ini membuat para ibu rumah tangga bersungut, karena biasanya dengan Rp300 sudah cukup belanja sehari, sementara sebelum pelaksanaan Pemilu harus mengeluarkan Rp500,” tulis Kompas . Padahal sejak tahun 1969, seperti ditulis dalam Media Keuangan Vol . XII No. 121/Oktober 2017, pada umumnya perkembangan harga-harga cukup terkendali. Selama 26 tahun, infasi di atas 10 persen (dua digit) hanya terjadi sebanyak sembilan tahun: 1972-1977, 1979, 1980, dan 1983. Inflasi terendah terjadi pada 1971 sebesar 2,47 persen. Seperti tak ingin kecolongan dalam Pemilu kedua tahun 1977, pemerintah mencoba bersiap dengan kenaikan harga jelang Pemilu. “Kestabilan harga barang di masyarakat selama periode 6-9 bulan mendatang diberikan perhatian khusus. Tidak hanya menghadapi hari raya Ied, Natal dan Tahun Baru, melainkan juga hingga Pemilu,” ujar Josef Muskita, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan, seperti dikutip dari Kompas , 28 Agustus 1976. Langkah pengamanan harga ini dilakukan dengan cara peningkatan suplai bahan dan penyediaan stok bahan. Meski sudah dirancang langkah pengamanan, kenaikan harga jelang Pemilu 1997, yang digelar 2 Mei 1977, tetap saja terjadi. Kenaikan harga ini terjadi di beberapa jenis beras, gula dan minyak goreng. Minggu terakhir April 1977, tulis Kompas, 29 April 1977, beras Pelita dari Rp11.500 per kuintal menjadi Rp12.700 per kuintal, gula pasir impor dari Rp18.000 per karung menjadi Rp18.150 per karung. Kabar kenaikan barang tersebut seperti angin lalu ditengah gempita kampanye. Suara Indonesia , 24 April 1977 , mencatat slogan “Aku Nyoblos Golkar!”; “Yang Apatis Terhadap Pemilu Adalah Pengkhianat”; “Hanya Dengan Pelita Yang Berlanjut, Kebodohan Dan Kemiskinan Bisa Diatasi” menjadi propaganda politik Orde Baru pada masa kampanye Pemilu 1977 untuk mengatrol suara Golkar. Meski ‘diganggu’ dengan kenaikan harga barang, Soeharto tetap melenggang menjadi presiden untuk yang kedua kalinya. Pada Pemilu berikutnya (1982, 1987, 1992, hingga 1997), isu seputar inflasi tak mempengaruhi elektabilitas Soeharto. Dalam Pemilu 1992, misalnya, kabar inflasi memang tak terdengar, larut dalam hingar-bingar kampanye. Kenaikan harga yang justru muncul adalah harga bahan kain TC, dengan campuran polyester dan katun, yang naik dari Rp8.800 per kilogram menjadi Rp9.500 per kilogram. Hal ini terjadi karena permintaan atribut kampanye untuk partai politik. “Pesanan paling banyak berasal dari Golongan Karya (Golkar). Sedang pesanan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dapat dikatakan tidak ada. Kalau ada pesanan, pasti kita terima. Namanya juga bisnis,” ujar pemilik industri pakaian, seperti dikutip dalam Kompas , 1 Juni 1992. Pemilu 1997 adalah Pemilu terakhir Orde Baru. Perhelatan lima tahunan yang digelar 29 Mei 1997 ini masih memenangkan Soeharto. Namun dua bulan kemudian, Indonesia diterpa krisis moneter yang membuat Soeharto mundur pada Mei 1998. Mengendalikan Inflasi Jika pada Pemilu 1955, isu ideologi menjadi bahan kampanye, maka pada Pemilu-Pemilu pasca Reformasi, isu inflasi menjadi isu yang patut dihindari oleh pemerintah yang sedang berkuasa. “Memang setiap pemerintahan petahana paling takut soal inflasi jelang Pemilu, karena bisa timbulkan chaos /ketidakpuasan voter ,” kata Bhima Yudhistira Adhinegara, ekonom muda dari INDEF, kepada historia.id . Petahana akan mati-matian menjaga isu ekonomi jelang Pemilu, apalagi jika perhelatan Pemilu berbarengan dengan situasi ekonomi global yang tidak menentu. Bhima menyontohkan seperti pada Pemilu 2004, Indonesia menghadapi harga minyak dunia yang melonjak dari US$45 menjadi US$68 per barel. Kemudian jelang Pemilu 2009, harga minyak dunia juga sedang mencapai posisi tertinggi di US$162 per barel. “Peristiwa 2009 memang tidak terlepas dari apa yang terjadi tahun sebelumnya. Pada 2008 ada lonjakan inflasi sampai double digit sebagai imbas dari krisis global Lehman Brothers, yang di Indonesia juga berimbas pada guncangan di perbankan, termasuk di dalamnya kasus Bank Century,” kata Poltak. Pada Pemilu 2014, pemilihan legislatif (Pileg) digelar lebih dahulu pada 9 April 2014, sedangkan pemilihan presiden (Pilpres) diselenggarakan pada 9 Juli 2014. Saat itu, menurut Poltak, inflasi saat Pileg lebih tinggi daripada saat Pilpres. “Perputaran uang sepertinya lebih besar terjadi di Pemilu Legislatif ketimbang Pemilu Presiden. Bisa ditafsirkan, money politics lebih kencang di Pemilu Legislatif ketimbang Pemilu Eksekutif,” ujar ekonom jebolan University of Bristol itu. Dan pada Pemilu 2019, menurut Poltak, ada anomali yang positif yaitu meskipun Pileg dan Pilpres dilakukan serentak, inflasi cuma di angka 2,48%. Tahun lalu, seperti dimuat dalam setkab.go.id , 26 Juli 2018, Presiden Joko Widodo menyampaikan apresiasi kepada seluruh kepala daerah dan anggota tim pengendali inflasi baik di pusat ataupun daerah karena selama empat tahun mampu menekan inflasi pada angka di bawah 4%. “Untuk tahun ini sepertinya sejarah inflasi jelang Pemilu tidak berulang, data BPS menunjukkan dari Januari-Maret 2019 komponen harga yang bergejolak ( volatile food ) alami deflasi -0,37%. Inflasi secara umum di periode y an g sama hanya 0,35%,” kata Bhima.
- Black Hole Terlalu Aneh untuk Dipercaya
Berkat Katie Bouman, astronom sekaligus ilmuwan komputer, gambar lubang hitam ( black hole ) bisa ditangkap untuk pertama kali oleh Teleskop Event Horizon. Gambar ini tak hanya mengonfirmasi teori Albert Einstein, tapi juga memberikan bukti tak terbantahkan kalau monster gravitasi itu ada. Menurut laman resmi NASA , lubang hitam bukanlah lubang sama sekali. Lubang hitam adalah wilayah di ruang angkasa di mana gaya tarikan gravitasi begitu kuat. Bahkan cahaya pun tak bisa lepas dari jeratannya. Jika bintang yang terang bersinar tepat di sebelah lubang hitam, lubang hitam itu akan menelan cahaya bintang selamanya. “Apa pun yang terlalu dekat dengan lubang hitam akan tertelan,” tulis laman itu. Gravitasi yang kuat terjadi karena materi telah ditekan ke dalam ruang kecil. Kompresi ini dapat terjadi pada akhir kehidupan sebuah bintang. Beberapa lubang hitam adalah hasil dari bintang yang sekarat. Karena tak ada cahaya yang bisa lolos, lubang hitam tidak terlihat. Namun, teleskop ruang angkasa dengan instrumen khusus dapat membantu menemukan lubang hitam. Mereka dapat mengamati perilaku material dan bintang yang sangat dekat dengan lubang hitam. Jauh sebelum gambar yang baru-baru ini dirilis NASA, fisikawan termasyur asal Jerman, Albert Einstein (1879-1955) lewat teori relativitasnya membuka jalan bagi penemuan konsep lubang hitam. Namun, konsep di balik itu sempat dinilai begitu aneh. Karenanya, bahkan ilmuwan yang visioner pun tak yakin akan keberadaan lubang hitam. Mengenai idenya itu, Einstein pun punya kekhawatiran yang besar karena konsep yang menjelaskan soal lubang hitam begitu radikal pada masanya. “Dia menyimpulkan dalam sebuah makalah 1939 di Annals of Mathematics bahwa idenya ‘tidak meyakinkan’ dan fenomena itu tidak ada di dunia nyata,” catat Ian O’Neill, ahli astrofisika dan sains dalam laman. Teori Ruang-Waktu Menurut Ian O’Neill, lebih dari seabad yang lalu Einstein mengejutkan dunia dengan menjelaskan alam semesta lewat teorinya soal relativitas umum. Teori ini tidak hanya menggambarkan hubungan antara ruang, waktu, gravitasi, dan materi. Namun juga membuka pintu bagi kemungkinan teoretis akan fenomena yang sangat membingungkan yang kemudian disebut lubang hitam. Dilansir dari Space , teori relativitas umum menyebutkan, gravitasi muncul sebagai konsekuensi adanya pembengkokan waktu dan ruang. Objek yang sangat besar menciptakan lengkungan dalam ruang kosmik ( event horizon ), yang membuat objek lain tertarik ke dalamnya ketika ia melewati lengkungan itu. Ilustrasi Gambar Blackhole Teori ini juga membuat prediksi yang spesifik tentang cara kerja bagaimana objek tertarik ke dalam lengkungan itu. Misalnya, teori itu menyatakan kalau lubang hitam ada. Itu bahwa si monster gravitasi punya ruang di mana tak ada satupun objek bisa melepaskan diri dari daya tariknya, bahkan cahaya. Mengutip fisikawan Amerika, John A. Wheeler, O’Neill menjelaskan, teori relativitas umum mengatur sifat ruang-waktu. Terutama bagaimana ia bereaksi di hadapan materi. “Materi memberi tahu ruang-waktu bagaimana cara melengkung, dan ruang-waktu memberitahu materi bagaimana bergerak,” ujarnya. Ruang dan waktu tak punya arti lagi menurut relativitas Einstein ketika gaya gravitasi menjadi tak terhingga pada pusat singularitas. Singularitas adalah kumpulan materi dalam seluruh jagat-raya, dengan kerapatan, temperatur, dan tekanan yang tak terhingga. Fenomena Big Bang (Ledakan Dahsyat) juga diawali dari suatu singularitas semacam ini. Sementara jika gravitasi tak terhingga, sebagaimana yang terjadi pada singularitas, maka ruang-waktu akan terbengkokkan ke pusat singularitas dengan kepadatan yang tak terhingga. Inilah yang terjadi dalam fenomena singularitas pada sebuah lubang hitam. Fisikawan teoretis Jerman Karl Schwarzschild menemukan bahwa hipotesis soal singularitas akan benar-benar menembus ruang-waktu. Dia menyadari, singularitas dalam astrofisika akan membelokkan ruang-waktu sedemikian parahnya sehingga bahkan cahaya tidak akan cukup cepat untuk keluar dari lubang ruang-waktu yang akan diciptakan singularitas. Kendati dalam matematika, singularitas adalah solusi numerik yang menarik. Namun, singularitas dalam astrofisika, pada waktu itu begitu dihindari, karena tidak ada mekanisme yang diketahui yang dapat menghasilkannya. Namun, Schwarzschild bertahan dengan pemikirannya itu hingga kematiannya pada 1916. “Meskipun ini adalah konsep yang menarik, tidak ada mekanisme yang diketahui yang dapat menciptakan singularitas di alam, sehingga gagasan itu sebagian besar diabaikan,” catat O’Neill. Konsep Lubang Hitam Lahir Kamudian pada 1935, astrofisikawan India, Subrahmanyan Chandrasekhar menyadari, jika sebuah bintang masif kehabisan bahan bakar, tekanan gravitasi dari massa itu akan terkonsentrasi pada suatu titik. Ini menyebabkan ruang-waktu runtuh dengan sendirinya. “Chandrasekhar telah menjembatani kesenjangan antara keingintahuan matematis dan kemungkinan ilmiah. Ia menempatkan teorinya di balik pembentukan singularitas dengan konsekuensi yang ekstrem bagi susunan ruang-waktu,” kata O’Neill. Bahkan dengan kontribusi Chandrasekhar itu terhadap pemahaman modern tentang sifat black hole , singularitas astrofisika tetaplah dianggap sangat ganjil. Dan ini tetap seperti itu sampai 1960-an ketika fisikawan teori Inggris dan Amerika Stephen Hawking dan Roger Penrose membuktikan kalau itu hal yang wajar terjadi. Bintang yang hancur, bernama N6946-BH1, 25 kali lebih besar dari matahari. Ia melemah pada2009 dan pada 2015, sudah tidak ada lagi. Dengan proses eliminasi yang cermat, berdasarkan pengamatan, para peneliti akhirnya menyimpulkan bintang itu pasti telah menjadi lubang hitam. Ini mungkin nasib bintang-bintang yang sangat masif di alam semesta. (NASA, ESA, DAN P. Jeffries (STScl) Berdasarkan pendapat keduanya, singularitas adalah bagian dari ekosistem kosmik. Fenomena ini merupakan bagian dari evolusi alami bintang-bintang masif setelah mereka kehabisan bahan bakar dan mati. Baru pada 1967, 12 tahun setelah kematian Einstein pada 1955, singularitas astrofisika ini dikenal sebagai “lubang hitam”. Ini adalah sebuah istilah yang diciptakan oleh fisikawan Amerika John A. Wheeler selama konferensi di New York, untuk menggambarkan nasib suram sebuah bintang masif setelah kehabisan bahan bakar dan runtuh dengan sendirinya. “Lubang hitam mengajarkan kita bahwa ruang dapat diremas-remas seperti selembar kertas menjadi titik yang sangat kecil, bahwa waktu dapat dipadamkan seperti nyala api yang dipadamkan, dan bahwa hukum fisika yang kita anggap sebagai suci, kekal, ternyata tidak,” tulis Wheeler dalam otobiografinya pada 1999, dikutip O’Neill.
- Agus Hernoto, Legenda Kopassus
April 1962, bertepatan dengan Hari Kopassus. Pasukan gabungan, 30 prajurit Resimen Para Komando Angkatan Darat (kemudian menjadi Kopassus), 18 anggota Pasukan Gerak Tjepat TNI AU, dan dua prajurit Zeni, diterjunkan di sebelah utara Fakfak, Irian Barat. Operasi Banteng I ini dipimpin oleh anggota RPKAD, Letda Agus Hernoto. Agus bergabung dengan RPKAD pada awal tahun 1956. Dia menerima pelatihan langsung dari Mayor Idjon Djanbi. Mantan anggota Korps Speciale Troepen bernama Rokus Bernardus Visser itu ditunjuk sebagai komandan RPKAD pertama. Setelah digembleng untuk menjadi pasukan elite, Agus dan pasukan RPKAD diterjunkan menumpas DI/TII di Jawa Barat. Agus kemudian membuat geger kompleks asrama RPKAD di Batujajar, Jawa Barat. Dia akan menangkap Komandan RPKAD, Mayor Djaelani, karena terlibat dalam Gerakan Zulkifli Lubis. Gerakan yang akan menculik KSAD Kolonel A.H. Nasution itu gagal. Penugasan berikutnya menumpas pemberontakan PRRI/Pesmesta. Agus bergabung dengan Kompi A RPKAD dalam Operasi Tegas. Berhasil dalam operasi itu membuat Agus dianugerahi Satyalancana Saptamarga. Selain itu, saat operasi Agus mendapat jodoh, Wirda, yang memberikan tiga putra: Army Suharyo Hernoto, Bob Heryanto Hernoto, dan Charly Hernoto. Bob menceritakan perjalanan hidup ayahnya sebagai anggota Kopassus dalam biografi Legenda Pasukan Komando: Dari Kopassus sampai Operasi Khusus. Operasi Infiltrasi Misi berikutnya yang dijalani Agus adalah Operasi Banteng I ke Irian Barat. Dia memimpin pasukannya sebagai tim advance atau tim pendahuluan sebelum Operasi Naga di bawah Kapten Benny Moerdani yang diterjunkan di Merauke. Infiltrasi ini dilakukan dengan pertimbangan Belanda tidak akan mengira pasukan Indonesia melakukan penyerangan melalui udara mengingat hutan Irian Barat yang sangat sulit dan berbahaya . Para penerjun kemudian diinstruksikan untuk menyusup ke daerah lawan. Tujuannya mengacaukan situasi dari dalam sekaligus menarik perhatian Belanda agar tertuju ke wilayah daratan (tengah) sehingga pasukan TNI yang akan mendarat di pantai (daerah pinggir) dapat masuk lebih leluasa. Operasi Banteng I sangat berat bahkan menjadi operasi terakhir Agus sebagai anggota RPKAD. Sebelum operasi, Agus mengikuti pendidikan komando di Amerika Serikat. Seluruh anggota tim kemudian menjalani latihan selama tiga bulan di Nusa Kambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Dalam operasi itu, Agus kehilangan banyak anak buah. Dia sendiri tertembak kaki kirinya. Pecahan granat tertancap di punggung kanannya. Anak buahnya berusaha menyelamatkannya. Namun, di tengah situasi krisis itu, Agus memilih jalannya sendiri. Dia memaksa anak buahnya pergi ke tempat yang lebih aman, meninggalkannya sendirian di hutan. Dia tak ingin pergerakan pasukannya menjadi terhambat gara-gara harus membopongnya. Setelah berdebat, akhirnya anak buahnya pergi meninggalkannya sendirian di tengah hutan. Beberapa hari kemudian, pasukan Marinir Belanda yang sedang melakukan pembersihan daerah pertempuran, mendapati Agus tergeletak bersimbah darah. Mereka membawanyake kamp militer Belanda di Sorong,sumber lain menyebut di Hollandia (sekarang Jayapura). “Saat kakinya terluka karena tertembak Belanda, teman-temannya sempat berupaya menyelamatkannya. Namun, karena terdesak, dia ditinggalkann dengan harapan akan dirawat tentara Belanda yang memiliki satuan medis lengkap. Pak Agus kemudian dibawa oleh pasukan Belanda ke Hollandia (sekarang Jayapura),” kata Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri dalam Timor Timur The Untold Story . Di kamp Belanda, Agus hanya mendapat pengobatan ala kadarnya. Malah terkadang, di tengah interogasi, luka di kakinya ditusuk bayonet agar dia mau membocorkan posisi prajurit TNI lainnya. Dia juga diinterogasi soal kapan pasukan TNI akan menyerang Irian Barat. Agus memegang teguh prinsip “lebih baik mati daripada membocorkan rahasia negara!” Kaki kiri Agus yang hancur karena peluru masih bersarang mulai membusuk hingga muncul belatung. Tentara Belanda memutuskan untuk mengamputasinya. Amputasi kedua untuk merapikan dilakukan di RSPAD Gotot Subroto. Agus Hernoto dan Presiden Soeharto dalam suatu acara. (Dok. Bob H. Hernoto) Presiden Sukarno memberikan penghargaan Bintang Sakti kepada para pejuang pembebasan Irian Barat pada 19 Februari 1963 di Istana Merdeka Jakarta. Namun, Agus tidak mendapatkan Bintang Sakti karena tertangkap pasukan Belanda. Selain mendapatkan kenaikan pangkat dua tingkat dari letnan dua menjadi kapten, dia juga mendapat Satyalancana Satya Dharma yang disematkan oleh Jenderal TNI A.H. Nasution. Agus baru menerima Bintang Sakti pada 5 September 1987, tiga tahun setelah dia meninggal. Ida, istri Agus, menerima Bintang Sakti dari Presiden Soeharto dalam sebuah upacara khusus di Istana Negara. “Dia pantas mendapat penghargaan ini. Saya tahu betul dia sudah berjuang secara tulus dan ikhlas untuk Republik Indonesia,” kata Ida. Penghargaan militer tertinggi ini diberikan kepada Agus setelah Panglima ABRI Jenderal TNI Benny Moerdani berkunjung ke Belanda dan bertemu Kolonel (Purn.) Jan Willem de Leeuw, pemimpin pasukan Belanda yang melawan Agus dan pasukannya di hutan Irian Barat. Dia mengungkapkan rasa hormatnya kepada Agus. “Dia orang yang tidak pernah menyerah. Kami sangat kagum dan menghormati sikapnya yang tidak mau kompromi kendati sudah menjadi tawanan kami. Dia pantas mendapat bintang penghargaan di negara Anda,” kata De Leeuw. “Pak Agus saya kenal dan dikenal banyak orang sebagai perwira yang mendapat anugerah Bintang Sakti. Satu anugerah yang bagi saya sebagai sesama pejuang sangat saya pandang tinggi. Sebab hanya mereka yang menunjukkan pengabdian dan jasa dalam pertempuran yang luar biasa yang akan memperoleh anugerah itu. Jumlah orang yang mendapat anugerah Bintang Sakti sangat sedikit. Sebagai seorang anggota TNI saya amat bangga bahwa salah seorang anak saya kemudian menjadi menantu seorang pemegang Bintang Sakti,” kata Letjen TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo. Anaknya, Umi Riyanti menikah dengan Bob Heryanto Hernoto. Agus itu Opsus Sebagai tentara invalid (cacat tubuh), Agus ditawari pensiun dini. Namun, dia menolak dan masih ingin mengabdi di RPKAD. Namun, Komandan RPKAD, Kolonel Moeng Parhadimoeljo mengeluarkan kebijakan untuk mengeluarkan semua anggota yang invalid. Benny Moerdani membela Agus dengan menentang keras kebijakan itu. Akibatnya, Benny juga dikeluarkan dari RPKAD. Benny masuk Kostrad, sementara Agus bergabung dengan Resimen Tjakrabirawa, pasukan pengawal Presiden Sukarno. Resimen Tjakrabirawa terdiri dari satu batalion prajurit terbaik dari tiap-tiap angkatan: RPKAD, Korps Komando (KKO) Angkatan Laut, Pasukan Gerak Tjepat (PGT) Angkatan Udara, dan Brigade Mobile (Brimob) Angkatan Kepolisian. “RPKAD dipimpin oleh Soetaryo. Dia kemudian mengajak Agus bergabung dengan Tjakrabirawa. Agus bertugas seperti Dandenma (Komandan Detasemen Markas) untuk mengurusi tamu, mobil, dan lain-lain,” kata Letkol Cdm. (Purn) dr. Joseph Halim, perwira kesehatan dan anggota Opsus. Agus tak betah di Tjakrabirawa. Dia dan Benny kemudian bergabung dengan Operasi Khusus (Opsus) yang dipimpin oleh Ali Moertopo dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Soeharto. Sebagai Dandenma, Agus memegang peran penting dalam mengatur dan menyediakan berbagai kebutuhan untuk operasi-operasi rahasia. Di Opsus, Agus menjadi orang kepercayaan Ali dan Benny. Bahkan siapa pun yang ingin bertemu dengan Ali dan Benny harus melalui Agus sehingga ada ungkapan: "Agus itu Opsus, Opsus itu Agus." “Begitu istimewanya Opsus, semua instansi meminta bantuan Pak Agus, sampai ada ungkapan Agus itu Opsus,” kata Joseph Halim. Setelah Peristiwa Malari 15 Januari 1974, Opsus dibubarkan. Agus dan semua rekannya di Opsus ditarik ke Bakin di mana Ali menjabat sebagai Deputi Kepala Bakin. “Opsus itu bubar karena saking berkuasanya, orang menganggap Opsus sebagai pemerintah dalam pemerintah,” kata Joseph Halim. Pada akhir 1970-an, Agus terkena kanker hati. Dia rutin menjalani pengobatan di rumah sakit di Singapura. Sampai akhirnya dia meninggal dunia pada 4 September 1984. Dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
- Connie Sutedja Si Singa Betina dari Marunda
SI Mirah, jagoan cantik yang lihai “maen pukulan” alias silat, beraksi lagi. Cerita rakyat tentang perempuan pendekar berjuluk “Singa Betina dari Marunda” yang populer di masyarakat Betawi itu dipentaskan kembali oleh Sanggar Margasari. Adalah Unit Pengelola Museum Kesejarahan Jakarta yang mengangkat kisah yang pernah populer saat difilmkan tahun 1971 itu untuk memperingati Hari Kartini pada Sabtu, 13 April 2019. Dalam dongeng-dongeng rakyat Betawi, sosok Mirah laiknya sosok Si Pitung, jawara silat yang acap diceritakan memberantas kesewenang-wenangan. Gelaran yang dipentaskan Sanggar Margasari itu seolah memutar kembali ingatan akan sosok Mirah yang diperankan Connie Sutedja dalam film Si Mirah racikan sineas Sofia WD, istri aktor WD Mochtar. Dalam film itu pula nama Connie Sutedja untuk kali pertama melejit di belantika perfilman nasional –sebelumnya, Connie sudah main di film Anak-Anak Revolusi garapan sutradara Usmar Ismail (1964) namun hanya sebagai pemeran pembantu. Di film Singa Betina dari Marunda, Connie tampil sebagai pemeran utama, memainkan karakter si Mirah. Perannya dalam film-film bertema silat Betawi sudah dirintisnya di film Si Pitung (1970) dan Banteng Betawi (1971) sebagai pemeran pembantu. “Iya, Singa Betina dari Marunda itu film saya yang paling meledak. Itu saya dapat (honor) Rp500 ribu. Heboh rasanya, sampai saya bisa beli rumah walau kecil di Polonia (Jakarta Timur). Di film itu jadi peran utama perempuan pertama. Biasanya kan peran utama (film bertema silat) itu laki-laki,” ujar Connie kala ditemui Historia di kediamannya di Cilandak, Jakarta Selatan, Kamis, 11 April 2019. Connie dipilih sutradara Sofia WD lantaran sudah tampil di dua film yang mengangkat kisah jagoan Betawi, Si Pitung. Selain karena paras cantiknya yang natural, Connie juga sudah fasih berlogat Betawi meski lahir di Tasikmalaya, 10 November 1944. “Saya banyak belajar saat ikut lenong, termasuk di TVRI. Ya karena lenong ngomongnya (dialognya) harus Betawi sesuai tuntutan skenario,” sambungnya. Mengutip Ensiklopedi Jakarta: Culture & Heritage, Volume 3 , film yang diproduksi PT Sumandra Film itu berkisah tentang sosok si Mirah yang keahlian silatnya menurun dari ayahnya, Bodong. Bersama ayahnya, Mirah rutin menjaga kampung Marunda dari berbagai gangguan keamanan yang dilakukan para bandit jago silat. Lantaran berwajah cantik, si Mirah ditaksir banyak pria. Namun, Mirah hanya mau dipersunting pria yang mampu mengalahkannya. Akibatnya, banyak pria datang melamar tapi harus gigit jari lantaran keok saat beradu silat oleh Mirah. Connie Sutedja mengisahkan pengalamannya syuting film Singa Betina dari Marunda. (Randy Wirayudha/Historia.ID) Behind the Scene Singa Betina dari Marunda Connie masih ingat betul kala ia harus memerankan Mirah. Lantaran sama sekali tak punya bekal beladiri, Connie lebih dulu mesti mempelajarinya. Hampir sebulan dia dilatih praktisi pencak silat sebelumsyuting. “Belajar silat khusus. Gurunya itu Octav Dirgantara (Setiadji). Sejak 1980 dia buka sekolah silat di Jerman. Kita diajari gerakan-gerakan silat kombinasi, enggak silat Betawi justru. Karena saya diperlukan fighting- nya saja. Jadi yang penting kuda-kudanya harus mantap. Fighting- nya juga dicampur karate,” ungkap Connie. Selain dengan Oktav Dirgantara, beberapakali juga Connie berkonsultasi dengan salah satu seniornya, Raden Mochtar. “Dia juga berjasa mengajari saya karena rumahnya tetanggaan sama saya di Polonia. Dia mengajari saya agar kuda-kuda dan bagian di sini nih , harus kuat juga karena ada adegan saya harus ‘ ngelempar’ WD Mochtar,” sambungnya sambil menunjuk pundak dan leher bagian belakangnya. Di film itu pun Connie mendapat pengalaman pertama film action tanpa pemeran pengganti. Semua adegan, termasuk adegan berbahaya, dilakoni Connie sendiri sesuai permintaan Sofia WD. “Ada adegan saya terjun dua meter, itu dilakukan sendiri, enggak pakai stand-in (pemeran pengganti) untuk diambil gambar pakai kamera low angle . Sofia WD kalau merayu saya untuk melakoni,’ Aduh Connie, kamu cantik, geulis , enggak apa-apa. Di bawah kan ada Om Parya (staf art ) dijagain pakai kasur’. Saya gilanya, nekat saja, hahahaha,” ujarnya sambil tertawa lepas. Lantaran melakukan adegan berbahaya itulah Connie sampai terluka di bagian kaki. Tapi itu bukan halangan, Connie tetap melanjutkan syuting dengan kaki diperban. “Waktu ada adegan di kali, saya juga kena celaka. Kaki saya kena paku dan beling. Akhirnya dibawa ke dokter, suntik tetanus. Dikasih libur hanya sehari, besoknya syuting lagi. Ya syutingnya pakai perban tapi didampingi dokter. Ya itulah bedanya dengan layar lebar sekarang ya. Lebih enak, semuanya juga lebih canggih. Kalau adegan-adegan berbahaya sekarang mah bisa pakai (efek visual) komputer,” tutupnya.
- Kriteria Pemimpin Ideal Menurut Konghucu
SEBELUM dalam debat terakhir calon presiden (capres) Indonesia yang dihelat pada Sabtu (13/4) malam kemarin menyeru “kita harus contoh ... Republik Rakyat Tiongkok”, Prabowo Subianto pernah mengakui bahwa “dalam menjalankan kepemimpinan, saya banyak sekali dipengaruhi oleh sejarah Tiongkok, oleh filosofi Tiongkok, oleh pelajaran-pelajaran Tiongkok.” Demikian dinyatakan capres nomor urut 02 itu di hadapan para pengusaha Tionghoa yang mengundangnya makan malam bersama pada penghujung tahun 2018 silam.





















