Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Majapahit Menguasai Daratan dan Lautan
MAJAPAHIT menancapkan hagemoninya tak melulu lewat kekerasan. Meski letaknya di pedalaman Jawa, ia mampu menjadi besar karena menguasai lautan dan daratannya. Kakawin Nagarakrtagama menyebut wilayah-wilayah yang terpengaruh Majapahit, seperti Pahang, Melayu, Gurun, Bakulapura, Sunda, dan Mandura. Prasasti-prasasti juga menyebut luasnya pengaruh Majapahit. Terutama Prasasti Tuhanaru (1245 Saka/1323 M) menyebut wilayah yang menjadi pumpunan dan angsana . Pumpunan adalah daerah di sekitar keraton dan angsana merupakan wilayah luas di luarnya. Sedangkan mitra satata atau rekan yang setara adalah negara-negara di Asia Tenggara. “Kebesaran Majapait tercatat di prasasti dan naskah yang dikeluarkan raja-rajanya, bahkan sampai masa Demak dan Mataram juga menceritakan kebesarannya," kata Ninie Susanti, arkeolog Universitas Indonesia. Sebagai penerus Kerajaan Singhasari, Majapahit mewarisi cita-cita raja terakhirnya, Kertanagara, yaitu cakrawala mandala atau perluasan wilayah ke seluruh Dwipantara . Majapahit juga mewarisi pelabuhan-pelabuhan besar di pantai utara Jawa, tempat persinggahan kapal-kapal dagang asing akibat jalur rempah yang terbentuk pada masa sebelumnya. Jalur-jalur pelayaran itu dari emporium Malaka menuju Maluku dan sebaliknya. Dari segi kekayaan alam, wilayah Majapahit menghasilkan rempah, beras, dan garam yang berasal dari pantai utara Jawa dan Madura. “Hal itu merupakan awal proses perkembangan kesadaran bagi Majapahit untuk menjadi kerajaan maritim pada masanya,” kata Ninie. Hal itu juga yang dijadikan modal bagi Majapahit menancapkan hagemoninya. Dari sisi politik, Majapahit memperkuat wilayahnya dengan memegang kedaulatan atas negara-negara daerah. Ia menjaga cita-cita cakrawala mandala . Ia juga bersahabat dengan mitra satata, yaitu Semenanjung Malaya, Temasik, Ceylon, Siam, Burma, Campa, Kamboja, India, Annam, dan Cina. Secara ekonomi, Majapahit menghidupkan pelabuhan penting di sepanjang pantai utara Jawa sebagai pelabuhan transit, seperti di Gresik, Tuban, Jepara, Lasem, Bali, Surabaya, dan Jaratan. “Ini untuk mengambil alih fungsi pelabuhan transit setelah runtuhnya Sriwijaya,” kata Ninie. Majapahit juga memaksimalkan hasil alamnya. Seperti beras, rempah dan garam sebagai komoditas dagang yang dibutuhkan dunia. Mereka membuat regulasi perdagangan, perpajakan, dan mengoptimalkan pelabuhan-pelabuhan di dua sungai Brantas dan Solo. “Sungai besar sebagai penghubung hasil bumi di pedalaman ke perdagangan maritim di pantai-pantai,” ujar Ninie. Untuk mengelola daerah-daerah, ditempatkan seorang penguasa lokal atau Bhattara. Mereka diberi hak membuat regulasi pajak masing-masing. Majapahit juga menyebarkan pengaruhnya lewat kebudayaan. Hingga kini dikenal berbagai cerita Panji di berbagai daerah di Indonesia maupun Asia Tenggara. Di Indonesia, cerita Panji dikenal di Palembang, Jambi, Sunda, dan lainnya yang alur ceritanya disesuaikan dengan adat setempat. Cerita Panji juga dikenal dan diadopsi oleh negara-negara di Asia Tenggara, seperti Malaysia, Thailand, dan Kamboja, dengan digubah sesuai adat setempat. “Majapahit menjalankan hegemoninya tidak hanya dengan kekerasan," kata Ninie. "Ia menyebarkan pengaruh untuk mengukuhkannya menjadi negara bercorak maritim yang disegani oleh dunia pada masanya.”*
- Terbentuknya Peradaban Kepulauan
Para penutur Austronesia yang berlayar ke berbagai tempat yang jauh selalu kembali ke tempat asalnya ( homeland) . Ada proses migrasi balik. Terciptalah jejaring tanpa melupakan asalnya. Proses globalisasi ini hanya bisa terjadi dengan teknologi kelautan yang maju. “Mereka tidak pernah betul-betul terpisah tapi kembali kepada hubungan di antara mereka. Dengan cara ini mereka menjalin jaringan yang tidak pernah putus dengan asalnya,” kata Daud Aris Tanudirjo, arkeolog Universitas Gajah Mada. Mereka pun menjadi perantara pertukaran jarak jauh berbagai komoditas. Awalnya jejaring mereka untuk menjamin ketersediaan barang dan jasa. Dengan melibatkan banyak pihak, kemudian menumbuhkan watak partisipatoris. Menurut Daud, hal itu yang memunculkan peradaban kepulauan, yaitu bukan semata-mata kepada laut, tapi keseimbangan daratan dan lautan. Karenanya orang Indonesia sering menyebut tempat hidupnya sebagai tanah air. “Bukan father land dan mother land ? Tanah dan air adalah kesatuan tidak bisa dipisahkan,” ujar Daud. Terkait dengan itu, Daud berpendapat, sebetulnya Indonesia merdeka dua kali: 17 Agustus 1945 merdeka secara teritorial daratan dan 13 Desember 1957 dengan Deklarasi Juanda menandai merdekanya perairan Indonesia. “Jadi ada dua tahapan seperti itu, tapi ini barangkali tentu saja bukan pandangan yang biasa, karena 17 Agustus lautnya masih sebagian internasional bukan milik Indonesia,” kata Daud. Pengaruh Majapahit Karakter lainnya, sebagai komunitas penjelajah, bangsa Austronesia lebih mengutamakan kuasa kelola daripada kuasa terhadap suatu wilayah. Ini muncul dalam sikap politis Majapahit. Kerajaan itu tak pernah benar-benar menguasai teritorial. Namun pengaruhnya begitu luas sebagaimana disebut dalam Kakawin Nagarakrtagama. “Jadi peradaban kita itu menundukkan dengan pengaruh bukan menjajah. Ia (Majapahit, red. ) kemampuannya mengelola tidak perlu teritorial,” jelas Daud. Mereka juga punya sikap multikultur. Sikap toleran tetapi tetap memegang kecerdasan lokal ( local genius ) . Sebabnya mereka selalu dalam kondisi persilangan budaya. Hal ini tampak dari hasil budaya materinya, misalnya pura di Bali, wayang Tiongkok-Jawa, dan arsitektur menara Masjid Kudus. Ciri peradaban kepulauan lainnya, kata Daud, adanya harmoni antara manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan alam. Sebagai bangsa penjelajah, kehidupan para penutur Austronesia seringkali menghadapi bahaya. Mereka harus membaca alam sebagai petunjuk. “Itu masih banyak ditemui di masyarakat tradisional kita,” kata Daud. Terakhir, Daud menegaskan bahwa peradaban kepulauan tidak pernah lupa kepada daratan. “Kalau hanya fokus pada laut kita akan mengalami kegagalan. Jika sedang getol memperkuat di laut, jangan lupa daratan,” ujar Daud.
- Secuil Kiprah Politik-Budaya Seorang Raja Jawa
RAMAINYA hilir mudik kendaraan seolah meninggalkan bangunan beratap limas di sebelah timur Pendopo Mangkunegaran itu dalam kesepian. Siang 18 Maret 2019 itu, tak ada orang apalagi kegiatan di Dalem Prangwedanan, nama bangunan itu. Gerbangnya terkunci. Kondisi itu berbeda jauh dari masa ketika Prangwedanan dihuni RM Sosro Soeparto, pangeran Prangwedana yang kemudian menjadi Mangkunegara VII pada 1916. Prangwedanan jadi tempat diskusi mengasyikan bagi para cendekiawan yang diundang tuan rumah. Etnomusikolog asal Belanda Jaap Kunst, sahabat sekaligus partner diskusi Mangkunegara VII via surat, sampai memuji suasananya setelah dua kali mengunjunginya. Tapi yang paling sering mengunjunginya tentu para aktivis pergerakan nasionalisme seperti dokter Soetatmo Soerjokoesoemo atau dokter Tjipto Mangoenkoesoemo. “Beliau (Mangkunegara VII, red .) juga di satu sisi kaum pergerakan,” ujar Supriyanto dari Dinas Urusan Istana Mangkunegaran kepada Historia . Mangkunegara VII tak hanya menyediakan tempat dalam mendukung para aktivis, tapi juga membantu dalam gagasan dan dana. "Mau adain perjalanan ke mana, rapat-rapat ke Sulawesi, Kalimantan, ke Indonesia Timur dibiayai beliau. Beliau ya total," sambung Supriyanto. Pemfasilitasan gerakan itu ditempuh Mangkunegara VII, yang bergabung dengan Boedi Oetomo cabang Surakarta, untuk menghindari kecurigaan pemerintah kolonial Hindia Belanda. “Kalau rapat di luar kan ditangkap Belanda. Karena yang mengundang raja, Belanda nggak marah. Kan sini wilayah kekuasaan raja. (Mereka, red .) diundang ke sini itu ternyata rapat.” Di Prangwedanan, Mangkunegara VII dan rekan-rekan cendekiawannya mendisuksikan politik dan seni-budaya. Mangkunegara VII aktif menyuarakan pemikiran politiknya lewat Dharmo Kondo . Saat pemerintah pusat di Batavia hendak membuat Kongres Bahasa Jawa dan menunjuk Mangkunegara VII sebagai ketua panitia, yang bersangkutan justru lebih antusias mendiskusikan perlunya diadakan kongres tentang kebudayaan. “Mereka berpendapat bahwa yang perlu diselenggarakan bukan Kongres Bahasa jawa seperti yang dikehendaki pihak Batavia, tetapi Kongres Kebudayaan untuk memperbincangkan masalah kebudayaan Jawa,” tulis Nunus Supardi dalam Bianglala Budaya: Rekam Jejak 95 Tahun Kongres Kebudayaan 1918-2013 . Diskusi itu kemudian melahirkan Kongres Kebudayaan pada 1918 –embrio nasionalisme Indonesia. Sebagai kelanjutan dari kongres, dengan bantuan dari Samuel Koppeberg, dibentuklah Java Instituut pada 1919. Mangkunegara VII didapuk menjadi ketua kehormatannya. Lembaga ini kemudian mengadakan konferensi pada 1921 yang di dalamnya memuat lomba pembuatan sistem notasi untuk musik di Jawa. “Sebagai hasil dari perlombaan ini adalah pengembangan notasi angka Jawa Kepatihan. Sistem notasi ini bersifat absolut, seperti notasi balok Barat; misalnya nada yang disebut nem di suatu perangkat gamelan tertentu selalu dinotasikan dengan angka 6, meskipun diketahui bahwa tinggi nada ( pitch ) nem tidak persis sama untuk semua perangkat gamelan,” tulis Madelon Djajadiningrat dan Clara Brinkgreve dalam “Persahabatan Musik: Surat-Menyurat Mangkunegoro VII dengan Etnomusikolog Jaap Kunst, 1919 Sampai 1940”, dimuat dalam Merenungkan Gema: Perjumpaan Musikal Indonesia-Belanda . Mangkunegara VII (wikipedia.org) Untuk lebih mempopulerkan kesenian Jawa, Mangkunegara VII dan teman-temannya lalu mendirikan stasiun radio. “Pada tahun 1930, Mangkunegara VII memberikan pemancar kecil ke kunstkring (lingkaran seni) para aristokrat, yang menggunakannya untuk menyiarkan konser gamelan dari Mangkunegaran setiap 35 hari,” tulis Philip Yampolsky dalam “Music on Dutch East Indies Radio in 1938: Representations of Unity, Disunity, and the Modern”, dimuat di Sonic Modernities in the Malay World . Upaya tersebut efektif. Guna lebih meningkatkan pemancar dan rencana pembuatan siaran reguler, didirikanlah Solosche Radio Vereeniging, stasiun radio bumiputra pertama, pada 1 April 1933. “Pertama kali di Prangwedanan sini mengudara,” ujar Supriyanto. SRV digunakan Mangkunegara VII untuk menyiarkan seni-budaya dan juga politik. “Jadi siaran radio lewat kebudayaan disisipi pesan-pesan pergerakan. Live gending-gending Jawa, cuma tembangnya disisipi atau digubah liriknya, isinya pesan pergerakan,” ujar Supriyanto sambil mengepulkan asap rokoknya. Mangkunegara VII tak peduli adanya larangan dari Netherlandsch Indische Radio Omroop Maatschappij selaku pemegang izin resmi radio dari pemerintah. “Awalnya Belanda nggak mudheng , akhirnya kan tau. Akhirnya radionya dipindah, ada orang-orangnya beliau yang ngurusi alat itu biar nggak disita. Lha, setelah republik berdiri kan jadi RRI, (radio) itu di Balapan.”
- Jejak Prabowo di Papua
SETELAH menyambangi Manado, tanah kelahiran ibunya, kali ini Prabowo berkunjung ke Papua. Di lapangan Mandala Merauke, Prabowo berkampanye sekaligus temu kangen dengan para sahabatnya dulu. Seperti di Manado, Prabowo merasa safari politiknya ke Papua seolah dia balik ke kampung halaman sendiri.
- Mula Operasi Plastik
KRISDAYANTI, Mpok Atiek, dan Nikita Mirzani mengaku melakukan operasi plastik. Para selebriti tersebut menjalani bedah estetis (kosmetik) untuk memperindah penampilan. Operasi plastik juga dilakukan pasien penderita tumor kulit, bibir sumbing, atau luka bakar. Operasi plastik golongan terakhir ini disebut bedah konstruktif. Tujuannya untuk menangani bagian tubuh yang cedera. Praktik operasi plastik di Indonesia bermula dari masuknya pengetahuan medis Barat. Mulanya, bedah plastik ditujukan hanya untuk perbaikan, khususnya pada korban perang yang mengalami luka bakar atau kerusakan di bagian wajah. Pengetahuan tentang prosedur rekonstruksi ini dibawa oleh para ahli bedah Austro-Hungaria yang tinggal di Hindia-Belanda. Mereka datang karena bergabung dengan Korps Medis Angkatan Darat (KNIL) setelah Perang Dunia I. Mereka berpengalaman melakukan operasi pada korban perang selama beberapa tahun. Kasus-kasus yang mereka temui waktu itu umumnya kerusakan wajah yang sudah parah karena dibiarkan, luka bakar, kanker kulit, dan bibir sumbing. Sayangnya, publikasi tentang operasi plastik di Hindia Belanda sangat minim, namun jejaknya bisa ditelusuri dari kedatangan para dokter bedah. Barend Haesekaer dalam “A Brief History of the Development of Plastic Surgery in the Netherlands East-Indies” menyebut Robert Lesk sebagai profesor bedah (diangkat 1927) dan ortopedi pertama di Batavia. Lesk, seorang Austro-Hongaria yang lahir di Trautenau (kini Trutnov di Republik Ceko), belajar kedokteran di Wina, Austria. Di Wina pula Lesk dilatih sebagai ahli bedah. Pada 1909, Lesk masuk (KNIL) dan ditugaskan di Jawa. Dia diminta untuk mengajar bedah dan dermatologi di sekolah kedokteran, STOVIA, hingga 1914. Selama mengajar, Lesk menerbitkan tulisan tentang bedah plastik untuk menangani kanker kulit, operasi kepala dan leher, serta pengobatan bibir sumbing dan langit-langit mulut di Jurnal Medis Hindia Belanda Timur . Lesk juga bertugas keliling mengikuti pasukan Belanda yang berperang di Ambon, Manado, dan Aceh. Seperti dimuat dalam obituari Lesk di De Sumatra Post pada 1937, Lesk setidaknya mengoperasi 30 orang di tiap kota yang dikunjunginya. Saking terkenalnya sebagai dokter bedah, sampai-sampai ada kalimat penyemangat: “Jangan takut perang, kalau usus putus, Dr. Lesk samboeng!". Lukisan Profesor Robert Lesk oleh O.F.van Dijk. Kasus lain yang jamak ditemui ialah pencangkokan kulit dan rekonstruksi wajah. Operasi kasus ini banyak ditangani oleh Tiddo Reddingius, yang menjadi profesor setelah Lesk meninggal dan bertugas di Centrale Burgerlijke Ziekenhuis (CBZ, kini RS Cipto Mangunkusumo). Selain berkontribusi pada pengobatan para tentara yang membutuhkan operasi bedah serta perawatan luka bakar, Reddingius berjasa memperkenalkan anestesi dengan gas tawa (nitro oksida) di klinik bedah Batavia. Reddingius juga berjasa dalam menyiapkan tenaga medis (baik kulit putih maupun pribumi) untuk keperluan perang. Sebelum 1930-an, dokter bedah berkutat pada masalah perbaikan anggota tubuh yang rusak dan pengobatan yang dianggap mendesak. Belum ada catatan tentang operasi plastik untuk tujuan estetis, yang ada hanya sebatas meminimalisasi bekas operasi. Bibit bedah kosmetik baru keluar pada 1915 ketika Herman Cornelis van den Vrijhoef menulis tentang aspek kosmetik dari bekas luka bedah. Ia memberi aturan dasar operasi plastik tentang bahan jahitan halus, juga teknik menyambung kulit agar tidak menimbulkan bekas luka parah. Salah satu operasi bedah yang dilakukan di zaman kolonial untuk pengangkatan kanker di pipi pasien. Bedah estetis baru mulai diperbincangkan setelah 1930. Adalah Suzanne Noel, dokter asal Paris yang pernah berkunjung ke Batavia untuk tur dunia, yang memperkanlkannya. Pada 19 Mei, Suzanne berbicara di pertemuan medis di Batavia tentang bedah estetika. Isi ceramah Suzanne menarik perhatian Annie Mulder van de Graaf, seorang neurolog dan psikiatris lulusan Universitas Utrecht. Annie yang tinggal di Surabaya pada akhir tahun 1920-an hingga 1930-an, kemudian menemui Suzanne di Paris dan berguru bedah kosmetik padanya. Pada 1936, Annie menerbitkan buku tentang bedah estetika dan efek psikologisnya yang dedikasikan untuk Suzanne. Sejauh itu, bedah kosmetik yang paling sering ditemui adalah perawatan bedah keloid daun telinga pada pasien Jawa. T. Rado dalam tulisannya “Cosmetische operaties in Indie” menyebut kasus yang ia tangani di Hindia-Belanda, seperti pengangkatan benjolan di permukaan kulit ( kista sebaceous ), perawatan pada telinga caplang dan hidung pesek orang Jawa. Ia mengoperasi hidung pesek dengan mengebor lubang hidung untuk mencangkok tulang rawan. Meski demikian, di zaman itu jarang sekali pasien minta dioperasi.
- Kabut Golput yang Menggelayut
FRANZ Magnis-Suseno atau biasa disapa Romo Magnis bikin heboh lewat tulisannya tentang golput di Koran Kompas , 12 Maret 2019. “Anda bodoh, just stupid ; atau Anda berwatak benalu, kurang sedap; atau Anda secara mental tidak stabil, Anda seorang psycho-freak …tanda kebodohan,” demikian mantan guru besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara itu menulis. Ada yang setuju, tapi banyak pula yang balik mengkritiknya di media-media sosial. Soal kata-kata yang dinilai keras, Romo Magnis mengaku semestinya bisa memilih kata-kata yang lebih lembut namun tetap tidak menyesal “menyerang” kaum golput yang enggan memilih. “Saya memang mengecewakan mereka. Tapi mereka juga mengecewakan saya. Secara prinsipal saya sulit mengerti jika ada orang yang mengatakan tidak ingin memilih. Sikap abstain karena kecewa entah dengan orang atau sistem, saya rasa suatu sikap yang tidak bisa dipertanggungjawabkan!,” ujar Romo Magnis di laman Deutsche Welle , 14 Maret 2019. Kritikan Romo Magnis itu tentu punya niat mulia, di mana kedua kubu capres juga menegaskan masyarakat untuk tidak golput. Terlebih, bila berkaca pada angka golput yang mencapai 30,42 persen di Pilpres 2014. Angka itu cukup tinggi jika dibandingkan pemilu pertama pada 1955 atau Pemilu 1971, di mana untuk kali pertama golput menjadi gerakan politik. Masyarakat diimbau menggunakan hak pilihnya dengan benar (Dok. KPU RI) Para pakar politik dari masa ke masa sudah menjabarkan sejumlah varian golput. Namun sederhananya, golput jadi “hantu” tersendiri akibat dua faktor: teknis dan ideologis. Faktor teknis lantaran perkara administratif dan ideologis lantaran memang tidak mau menggunakan hak pilih atau menggunakan hak pilih tapi secara tidak sah karena alasan kecewa. Dalam Pemilu kali ini, kekecewaan banyak berasal dari anggapan bahwa siapapun yang terpilih memimpin Indonesia, kondisi si empunya hak pilih bakal sama saja. Iskandar, pedagang martabak di Bekasi yang ditemui Historia pada malam akhir pekan lalu, salah satunya. Ia menggerutu pada kawannya pedagang jus di booth sebelah gerobaknya yang enggan mengganti channel di pesawat TV mini kala beberapa stasiun TV swasta menayangkan debat cawapres, 17 Maret 2019. “Debat terus nontonnya itu teman saya, Mas. Dari tadi sok paham. Padahal saha nu menang mah sarua wae . Ya kita mah begini-begini weh ,” ujarnya dengan logat Sunda seraya membuatkan pesanan best-seller martabak manis coklat-keju. Pernyataan Iskandar memang tak sepenuhnya mewakili suara rakyat kecil. Pun begitu, toh ia tetap punya hak untuk tidak menjatuhkan pilihan antara Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin atau Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno. Ia dan entah berapa kaum golput lainnya tetap bukan pelanggar hukum, mengingat UU No. 39/1999 tentang HAM. Tapi jangan sekali-kali memaksa orang untuk golput karena ada konsekuensi pidananya, diatur dalam UU No. 8/2012 tentang Pemilu. Mula “Hantu” Golput Golput sebagai gerakan politis muncul pertamakali pada 1971. Namun, golput sebagai non gerakan telah ada sejak Pemilu 1955. Di masa itu, seorang yang apatis saja bisa diperkarakan oleh aparat. Hal itu dialami antara lain oleh seorang yang ditemui Arief Budiman, aktivis 66 yang juga kakak Soe Hok Gie. “Ekonomi diabaikan total sampai pada titik rakyat tak lagi mampu beli beras. Suatu hari seseorang mengatakan: ‘Tuan, saya lapar. Saya tidak ingin menghabiskan waktu ikut kampanye politik, saya ingin makan.’ Tanpa ditanya dengan sopan, orang ini ditahan dan dituduh berpolitik, lebih tepatnya politik anti-pemerintah,” ujar Arief dalam catatannya bertajuk “The Moral Force” yang dihimpun David Bourchier dan Vedi Hadiz di Indonesian Politics and Society: A Reader. Di Pemilu 1955, angka golput termasuk tinggi. Mendiang KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mencatat dalam Mengapa Kami Memilih Golput , pada 1955 angka golput mencapai 12,34 persen. Sebagian besar dari 12,34 persen yang golput di Pemilu 1955 itu, kata Arief, terdorong dari kekecewaan terhadap rezim yang menyengsarakan perut rakyat. Tingginya angka golput sampai membuat Wapres Moh. Hatta menghimbau masyarakat agar mempergunakan hak pilih. “Memilih itu bukanlah suatu kewajiban yang ditimpakan kepada Saudara melainkan adalah hak Saudara sendiri, harus ikut serta menentukan nasib sendiri sebagai warga bangsa yang merdeka dan berdaulat. Apabila hak pemilih itu tidak Saudara pergunakan, tanggung jawab tentang buruk atau baiknya nasib kita bersama sebagai bangsa tetap terletak di bahu Saudara. Oleh karena itu, pergunakanlah hak memilih itu,” kata Hatta, dikutip Indonesia Raya (29/9/55). Saat itu orang-orang yang apatis memang belum disebut golput. Istilah “golput” baru mengemuka jelang Pemilu 1971. Arief Budiman pula dengan beberapa rekannya di Angkatan 66 yang mengusung gerakannya, sebagai bentuk protes terhadap rezim Orde Baru Soeharto. “Pemilu 1971 diikuti 10 partai yang diperbolehkan hidup oleh Soeharto. Setelah itu pemilu jumlah partai tinggal tiga: Golkar, PPP dan PDI. Bagi saya, dengan membatasi jumlah partai, pemerintah sudah melanggar asas demokrasi yang paling mendasar…Golput di tahun 1971 merupakan protes terhadap UU Pemilu yang tidak demokratis. Kita dipaksa memilih partai yang diizinkan hidup pemerintah,” tulisnya dalam Kebebasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan Tulisan 1965-2005. Istilah “golput” dicetuskan Imam Waluyo. Menurut Arbi Sanit dalam Golput: Aneka Pandangan Fenomena Politik , manifesto “Penjelasan Tentang Golongan Putih” tertanggal 28 Mei 1971, dijelaskan atributnya menghadirkan lambang perisai segilima dengan warna putih polos di tengahnya. Dalam manifesto itu juga disebutkan golput tidak melanggar hukum karena tujuan gerakannya justru menegakkan hukum terkait pemilu. Dikecam, Dipersekusi Gerakan yang merugikan Soeharto dan Golkar itu mulanya hanya ditanggapi celaan oleh beberapa pejabat. Mendagri Amir Machmud, sebagaimana dikutip A Samsuddin dalam Pemilihan Umum 1971, menyebut golput sebagai “gerakan kentut.” Mendikbud Mashuri Saleh mencibirnya sebagai “gerakan putus asa”. Sedangkan Menlu Adam Malik mendampratnya “golongan setan.” Namun, kian hari kampanye-kampanye golput Arief Budiman dkk. bikin resah penguasa. Aparat pun turun tangan melarang diskusi-diskusi terkait golput. Tak berhenti di situ, sejumlah pentolan golput, termasuk Arief, ditahan untuk pasca-Pemilu 1971 yang menghasilkan angka golput 6,67 persen. Jelang Pemilu 1982, kabut golput kembali menggelayut. Jumlah pendukungnya makin banyak dengan masuknya Petisi 50 pimpinan mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. “Ali Sadikin tidak hanya protes terhadap regulasi tapi juga menyatakan kelompoknya tidak akan ikut-ikutan dalam pemilu,” tulis Leo Suryadinata dalam Political Parties and the 1982 General Election in Indonesia . Mendagri Amir Machmud pun memperingatkan, siapapun yang memboikot pemilu adalah musuh bagi Pancasila. Senada dengan Amir, Ketua DPR Darjatmo juga memberi sikap keras. “Ada sekelompok orang yang tidak ingin menggunakan hak pilihnya? Silakan saja. Tapi jika mereka memengaruhi rakyat untuk golput, itu sama saja dengan agitasi dan tidak akan ditolelir,” ujar Darjatmo. Tekanan keras terhadap kalangan golput tetap tak mampu mencegah kemunculan golput yang angkanya terus meningkat di setiap pemilu. Pada Pemilu 1982 dan 1987, angka golput mencapai 8,53 persen. Angka itu naik menjadi 9,05 persen pada Pemilu 1992 dan naik lagi jadi 10,07 persen di Pemilu 1997. Di pemilu pertama era reformasi, Pemilu 1999, angka golput-nya 10,40 persen. Jumlah itu melonjak di Pilpres 2004, yakni 23,47 persen di Putaran I dan 24,95 persen di Putaran II. Di Pilpres 2009, angkanya 28,30 persen, dan Pilpres 2014 meningkat jadi 30,42 persen.
- Dilema Nasution
MENJELANG senjakala, Omon Abdurachman kerap mengisahkan “perseteruannya” dengan A.H. Nasution pada awal revolusi berkecamuk di Bandung. Omon yang saat itu masih berpangkat letnan kolonel dan merupakan komandan Resimen ke-8 TRI (Tentara Republik Indonesia) membawahi Bandung dan sekitarnya, sempat melakukan aksi desersi karena merasa tidak setuju dengan keputusan Komandan Divisi III TRI Kolonel A.H. Nasution. “Ya waktu itu saya yang masih muda tak habis pikir, mengapa komandan divisi mau menyerahkan begitu saja kota Bandung kepada Inggris,” kenang lelaki yang pernah memimpin kompi pasukan PETA (Pembela Tanah Air) di Pandeglang tersebut. Dikisahkan oleh Mohammad Rivai (sejawat Omon di Divisi Siliwangi), kedua maung ngora (artinya: harimau muda, sebutan untuk anggota Divisi Siliwangi era revolusi) sempat berdebat keras dan saling gebrak meja. Bahkan kata Rivai, Omon sempat mencopot tanda pangkatnya sendiri di depan Nasution. “Baik Kolonel, kalau kami tidak boleh melaksanakan pembakaran dan perusakan, maka sekarang juga saya meletakan jabatan sebagai Komandan Resimen Kedelapan, “ demikian seperti dikisahkan Rivai dalam otobiografinya, Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dua Perintah Bandung, 23 Maret 1946. Sebuah pesawat angkut milik RAF (Angkatan Udara Kerajaan Inggris) melayang-layang di atas Kota Bandung. Alih-alih melemparkan bom, justru dakota tersebut menurunkan ribuan surat ultimatum yang langsung ditandatangani oleh Panglima Tentara Inggris untuk wilayah Jawa, Madura dan Bali Mayor Jenderal D.C. Hawtorn. Isinya, ancaman agar orang-orang Indonesia bersenjata harus mengosongkan Bandung selambat-lambatnya pada 24 Maret 1946, jam 24.00 dan wajib mundur sejauh 11 km dari tanda kilometer nol,” ungkap John RW Smail dalam Bandung Awal Revolusi 1945-1946. Terkait dengan ultimatum tersebut, Perdana Menteri Sutan Sjahrir memerintahkan agar TRI mengikutinya. Kepada Panglima Komandemen Jawa Barat Jenderal Mayor Didi Kartasasmita dan Kolonel A.H. Nasution, Sjahrir menyatakan agar TRI bersikap taktis dan tidak menghambur-hamburkan kekuatan untuk melawan Inggris yang sebenarnya bukan musuh Republik Indonesia. “Kerjakan saja. TRI kita adalah modal yang harus dipelihara, jangan sampai hancur dahulu. Harus kita bangun untuk kelak melawan NICA,” ujarnya seperti dikutip A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid III: Diplomasi Sambil Bertempur . Hal sebaliknya justru diserukan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman. Lewat MBT (Markas Besar Tentara) di Yogyakarta, diserukan agar TRI Jawa Barat menolak ultimatum Inggris tersebut. “Tiap sejengkal tumpah darah harus dipertahankan,” demikian bunyi kawat dari MBT itu. Sebagai bawahan, Nasution menghadapi dilema. Sementara waktu terus berjalan, para komandan di lapangan secepatnya meminta dia untuk membuat keputusan. Didi-MBT vs Nasution Sekira jam 14.00 pada 24 Maret 1946, Nasution membuat suatu keputusan yang berisi empat perintah Panglima Divisi III TRI. Perintah itu adalah: Semua pegawai dan rakyat harus keluar kota sebelum jam 24.00. TRI harus menjalankan aksi bumihangus terhadap semua bangunan yang ada. Sesudah matahari terbenam, Bandung Utara harus diserang dari utara dan sedapat mungkin harus pula dijalankan aksi bumi hangus di sana. Begitu pula dari selatan harus ada penyusupan ke utara. Pos komando dipindahkan ke Kulalet (Dayeuhkolot) Perintah Nasution sepertinya dibuat tanpa koordinasi dengan Jenderal Mayor Didi Kartasasmita. Sementara Nasution memerintahkan pelaksanaan empat klausul itu, Didi secara tegas menolak perintah Hawtorn. Kepada Letnan Kolonel van der Post, ajudan Hawtorn) yang sempat mengancam dengan pamer kekuatan alat militer di sepanjang kota Bandung, Didi menyatakan bahwa mundur dari kota Bandung adalah sebuah kemustahilan bagi TRI. “Tidak bisa! Saya tidak bisa menyuruh mereka mundur dari kota Bandung!” ungkap Didi seperti dikisahkan dalam biografinya Didi Kartasasmita, Pengabdian bagi Kemerdekaan karya Tatang Sumarsono. Sejarah mencatat, justru perintah Nasutionlah yang dilaksanakan di lapangan. Soal itu sempat membuat berang Didi. Usai pembumihangusan Bandung, Didi memerintahkan Kolonel Hidajat Martaatmadja untuk “mengadili” Nasution. “Panglima Komandemen dan MBT harus tahu… Saya tak mungkin mengorbankan 4 batalyon saya dengan persenjataan tak lebih dari 100 pucuk senapan untuk menangkis sebuah divisi Inggris berjumlah 12.000 prajurit itu ,” demikian tangkis Nasution kepada Hidajat. Perseteruan Didi dan MBT dengan Nasution kemudian ditengahi oleh Kepala Staf TRI Letnan Jenderal Oerip Sumohardjo. Dalam suatu kunjungan ke markas Komandemen Jawa Barat di Purwakarta pada Mei 1946, Oerip menyatakan bahwa keputusan yang telah diambil Nasution terkait Bandung adalah keputusan terbaik.
- Tiga Faktor yang Membuat Sriwijaya Jadi Kerajaan Kuat
Kerajaan Sriwijaya berkuasa dari tahun 683 M sampai kira-kira tahun 1183 M. Ia pernah menjadi kerajaan yang kuat karena letak geografis, sumber daya alam, dan jejaring perdagangan. Ninie Susanti, arkeolog Universitas Indonesia, menguraikan ketiga faktor tersebut. Pertama , letak pantai timur Sumatra sangat strategis ditambah angin musim yang bertiup secara teratur menjadikannya jalur perdagangan penting sejak awal abad Masehi. Jalur ini menghubungkan Samudra Hindia, Laut Cina Selatan, dan Samudra Pasifik. “Sriwijaya menguasai sisi Selat Malaka yang merupakan lalu lintas strategis jalur perdagangan masa lalu,” kata Ninie dalam acara International Forum on Spice Route (IFSR) di Museum Nasional, Jakarta. Kedua , hasil alam berupa rempah, kayu cendana, kapur barus, kemenyan, besi, timah, emas telah disebut di dalam kitab-kitab sastra dari India sebagai komoditas yang dicari dalam perdagangan. “Sriwijaya mengeluarkan sekira 100-an prasasti dari timah, pasti karena hasil timahnya yang melimpah,” kata Ninie. Ketiga , Sriwijaya menjalin perdagangan dengan pedagang dari India dan Arab, kemudian Tiongkok. Waktu itu India dan Tiongkok merupakan bagian dari kekuatan dunia. Berdasarkan kronik Tiongkok, hubungannya dengan Sriwijaya baru mulai terjadi pada abad ke-5 M. “Tiga dasar yang kuat itu merupakan awal dari proses perkembangan kesadaran yang mendorong munculnya Sriwijaya yang kuat sebagaimana disebut di dalam prasasti-prasastinya dari abad ke-7 M,” kata Ninie. Prasasti Telaga Batu yang berisi kutukan. Prasasti Kutukan Kekuatan Sriwijaya juga terlihat dari kerajaan-kerajaan yang mengakui kedaulatannya, yaitu Kedah, Ligor, Semenanjung Melayu, Kota Kapur, Jambi, Lamoung, dan Baturaja. “Kedatuan dari kata datu atau orang yang dituakan. Dalam prasastinya tidak pernah menyebutnya sebagai kerajaan,” kata Ninie. Mandala-mandala yang di bawahinya itu memiliki kepentingan yang sama. Kepentingan utamanya, yaitu berdagang, menjadi konsesus bersama di antara masyarakat sipil yang ada di wilayah Kedatuan Sriwijaya. Menurut Ninie, tokoh intelektual pembentukan pemerintahan maritim adalah para datu (pemimpin mandala, red . ) yang mempunyai konsensus bersama dengan Sriwijaya. Ini muncul dalam Prasasti Karangberahi, Kotakapur 1 dan 2, Ligor, Baturaja, Palas Pasemah, Boom Baru. Di samping itu, untuk menancapkan hegemoninya, Sriwijaya mengeluarkan enam prasasti kutukan. Isinya adalah ancaman bagi mereka yang berani melawan raja. Pun ada lebih dari 25 prasasti Jayasiddhayatra, yang memuat perjalanan suci menaklukkan daerah-daerah sekitar. “Ini sebagai bukti bagaimana ia diakui,” kata Ninie. Sriwijaya juga menunjukkan kebesarannya dengan mendirikan bangunan untuk agama Buddha di Ligor, Thailand Selatan pada 775 M. Ia juga mendirikan asrama di perguruan Nalanda, India. Asramanya, yang dibangun atas perintah Balaputradewa menjadi salah satu yang terpenting dan masih bisa disaksikan hingga kini.
- Dokter Indonesia Pertama Lulusan Belanda
Pada 1904, Menteri Urusan Daerah Jajahan Dirk Fock mengizinkan lulusan Stovia (Sekolah Dokter untuk Bumiputera) untuk melanjutkan pendidikan kedokteran di Belanda. Abdul Rivai yang pertama memanfaatkan kesempatan itu. Sebelumnya, Rivai yang tiba di Belanda tahun 1899, menempuh pendidikan kedokteran di Univeritas Utrecht. Namun hanya setahun karena lulusan Stovia tidak bisa mengikuti ujian dokter ( arts ) sebelum memiliki ijazah sekolah menengah atas Belanda. Dua orang lulusan Stovia, yaitu Mas Boenjamin dan Mas Asmaoen, menyusul kuliah kedokteran di Universitas Amasterdam. Keduanya mahasiswa yang cemerlang. Kendati Rivai yang pertama masuk Universitas Amsterdam, namun Mas Asmaoen yang pertama lulus. “Karena Rivai sibuk menulis untuk majalah Bintang Hindia , Asmaoen menjadi pribumi pertama yang menerima gelar dokter Belanda,” tulis Hans Pols dalam Nurturing Indonesia: Medicine and Decolonisation in the Dutch East Indies . Rivai lulus pada Juli 1908 sedangkan Boenjamin pada Oktober 1908. Rivai kemudian menjadi orang Indonesia pertama yang menjadi doktor dari Universitas Gent, Belgia. Boenjamin mengikuti langkah Rivai dengan mengambil gelar doktor bidang ilmu kedokteran di Universitas Gent pada 9 Oktober 1909. “Dengan demikian, Boenjamin menjadi orang Indonesia kedua dan orang Jawa pertama yang meraih gelar itu,” tulis Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah . Abdul Rivai merupakanorang Indonesia pertama yang menjadi doktor dari Universitas Gent, Belgia.(Repro Di Negeri Penjajah) Abdul Rivai merupakan orang Indonesia pertama yang menjadi doktor dari Universitas Gent, Belgia. (Repro Di Negeri Penjajah ). Menurut Hans Pols, Mas Asmaoen selama beberapa bulan bekerja di Institute of Naval dan Tropical Medicine di Hamburg, Jerman. Setelah kembali ke Hindia Belanda, dia masuk Kristen, memperoleh kewarganegaraan Belanda, menikahi perempuan Belanda, dan bekerja sebagai perwira kesehatan di pasukan kolonial. “Dia diangkat menjadi perwira kesehatan KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda). Dia menjadi orang Indonesia pertama dalam kedudukan itu,” tulis Poeze. Beberapa perwira militer keberatan dengan pengangkatan Asmaoen. "Apakah mereka harus memperlakukan petugas medis ini seperti orang Eropa? Bisakah pribumi diandalkan untuk mempertahankan tatanan kolonial? Asmaoen pun kecewa dan frustrasi," tulis Hans Pols. Karier Asmaoen dalam pasukan KNIL kandas karena para perwira Belanda menolak memperlakukan dia sebagai rekan yang setara. Dia dipindahkan ke Irian, tapi di sana jatuh sakit. Sebagai orang yang kecewa, dia kembali ke Negeri Belanda. Menurut Poeze, tidak mengherankan Asmaoen sukar menyesuaikan diri di Indonesia sesudah tinggal di Negeri Belanda. Di Indonesia berlaku hambatan warna kulit, yang mengharuskan setiap orang masuk pihak sini atau pihak sana. Hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain pada umumnya ditentukan oleh warna kulit. "Sementara di Negeri Belanda, tidak demikian halnya: di sana orang Indonesia didekati dan diperlakukan sebagai seorang pribadi; para mahasiswa barangkali bahkan mendapat perlakukan istimewa sebagaimana didambakan oleh para Ethici (pendukung politik etis)," tulis Poeze. Mas Asmaoen meninggal dunia pada 1916 (sumber lain tahun 1917).
- Skandal Pernikahan Raden Saleh
Pada 25 Maret 1904, Constancia von Mansfeldt meninggal dunia di Kupang dalam usia 78 tahun. Istri pertama pelukis Raden Saleh ini seakan terselubung misteri. Dia tak pernah disebut dalam surat-surat Raden Saleh, dalam laporan-laporan kontemporer, dan berita-berita dari banyak kunjungan ke sanggarnya. “Gambar atau potretnya pun tidak ada,” tulis Werner Kraus dalam Raden Saleh dan Karyanya. Constancia merupakan keturunan Jerman yang lahir di Semarang pada 1826. Pada 3 Juli 1840, di usia 14 tahun dia menikah dengan pengusaha keturunan Jerman, Christoffel Nicolaas Winckelhaagen (1802-1850) di Semarang. Mereka dikaruniai lima orang anak. Setelah Christoffel meninggal dunia pada 1850, Constancia mendapatkan warisan yang sangat banyak, antara lain tanah luas di Gemoelak, sebelah timur Semarang, yang menghasilkan keuntungan melimpah. “Ketika Christoffel meninggal dunia pada 1850, jandanya yang masih muda mengambil alih kepemilikan perkebunan terbesar dan terkaya di Jawa, lebih dari delapan ribu hektar tanah pertanian dengan irigasi yang baik digarap oleh sekitar enam ribu orang, yang hampir seperti budak. Pertanian itu sumber kekayaan bagi pemiliknya,” tulis Jamie James dalam The Glamour of Strangeness: Artists and the Last Age of the Exotic . Werner Kraus menjelaskan lahan di Gemoelak itu sebuah particuliere landerijen yang terdiri dari lahan sawah basah. Namun, sebagian besar lahan itu ditanami tanaman produk ekspor seperti kopi, gula, dan nila. Pemilik lahan menguasai petani yang hidup di sana, produk pertanian, dan hanya membayar pajak yang sangat kecil kepada pemerintah. Hal ini membuat lahan itu menjadi “tambang emas.” Ketika dilelang dan jatuh ke tangan elite administrasi Belanda, luas Gemoelak mencapai 8.043,5 hektar dan dihuni oleh 6.098 jiwa di 29 desa. Raden Saleh dan istri keduanya, Raden Ayu Danoediredjo. (Repro Raden Saleh dan Karyanya) “Dia perempuan pengusaha yang menonjol dan menanamkan modalnya di berbagai cabang ekonomi,” tulis Werner Kraus. Selain mewarisi lahan pertanian, Constancia juga mempekerjakan banyak perempuan dan lelaki di pabrik batiknya, memiliki toko kosmetik, dan toko pandai emas dengan lebih dari 30 pengrajin untuk membuat cincin, anting-anting, penjepit rambut, dan berbagai macam perhiasan lainnya. Tak lama menjanda, Constancia berkenalan dengan Raden Saleh di Semarang sekitar 1853/1854. Mereka menikah sekitar 1855/1856 dan tinggal di Kampung Gunung Sari, di utara kota, di sisi Sungai Ciliwung. Dengan kekayaan istrinya, Raden Saleh membangun sebuah rumah besar di Cikini (kini menjadi Rumah Sakit PGI Cikini) pada 1857/1858. Menurut Werner Kraus Raden Saleh ingin hidup sejajar dengan orang-orang Belanda. Secara budaya, dia memahami dirinya sebagai “orang Eropa” dan ingin dihormati sebagaimana mestinya. Dengan demikian, hubungannya dengan Constancia merupakan serangan secara sadar terhadap landasan rasialisme sistem kolonial. Sebuah hubungan antara seorang lelaki berkulit cokelat dan seorang perempuan berkulit putih merupakan sesuatu yang luar biasa. Masyarakat Batavia bereaksi terhadap keganjilan itu. Sanksinya mengisolasi secara total perempuan itu dari masyarakatnya karena telah melewati batas-batas perkawinan. “Hubungan Constancia dengan Raden Saleh merupakan sebuah skandal sosial yang juga membuat usaha manufakturnya merugi,” tulis Werner Kraus. “Karena itu tak mengherankan segera terjadi kerenggangan di antara keduanya dan diakhiri dengan perceraian.” Pasangan itu tak punya keturunan. Penyebabnya mungkin mengejutkan. “Saya berkesimpulan bahwa Raden Saleh, selama di Belanda atau di Dresden, terkena penyakit sifilis sehingga dia mandul,” tulis Werner Kraus. Pada 1867, Raden Saleh menikah lagi dengan Raden Ayu Danoediredjo dari keluarga Keraton Yogyakarta.
- Darah Minahasa di Tubuh Prabowo
Dengan logat Minahasa ala kadarnya, Prabowo berseru , “ Torang semua basaodara ”. Dalam bahasa Indonesia berarti, “Kita semua bersaudara.” Di lapangan Ternate Baru, Manado, Prabowo menyampaikan orasi politik. Kehadiran Prabowo di ibu kota Sulawesi Utara itu dalam rangka kampanye pemilihan presiden mendatang. Ribuan warga Manado datang menyaksikan calon presiden Republik Indonesia ini berpidato.
- Orang Indonesia yang Jadi Korban Nazi
Nazi-Jerman menduduki Belanda pada 10 Mei 1940. Mahasiswa Indonesia dalam Perhimpunan Indonesia ikut melakukan verzet atau perlawanan. Beberapa dari mereka tertangkap bahkan mati di kamp konsentrasi Nazi, seperti Sidartawan dan Moen Soendaroe. Sedangkan Irawan Surjono tewas ditembak Nazi ketika berusaha melarikan diri dari razia. Penangkapan Soendaroe berawal dari tertangkapnya Stijntje "Stennie" Gret, kekasih Djajeng Pratomo di Rotterdam. Polisi politik Nazi (Sicherheitsdienst) pun mengetahui alamat Djajeng Pratomo di Den Haag. “Tanggal 18 Januari 1943 Sicherheitsdienst melancarkan penggerebekan. Djajeng dan teman sekamarnya, Moen Soendaroe ditahan,” tulis Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah . Djajeng kuliah kedokteran sedangkan Soendaroe studi di Sekolah Tinggi Tekstil di Enschede sejak tahun 1939. Dalam penggeledahan ditemukan sejumlah majalah ilegal. Bukti ini menjadi alasan kuat untuk menahan kedua mahasiswa itu. Dua orang buruh Indonesia, Kajat dan Hamid, yang sedang bertamu juga ikut ditahan. Kedua buruh yang tak tahu apa-apa itu kemudian dilepaskan. Meskipun menjalani interogasi yang lama dan berat, Djajeng dan Soendaroe tak mengungkapkan apapun tentang kegiatannya dan Perhimpunan Indonesia. Mereka kemudian dimasukkan ke Kamp Vught di Belanda. Pada Maret 1943, Djajeng lewat kurir ilegal, dapat menyampaikan informasi tentang interogasi kepada kawan-kawannya di Perhimpunan Indonesia. Kegiatan Perhimpunan Indonesia di Rotterdam dan Den Haag ditangguhkan. Para pemimpinnya bersembunyi. Djajeng berhasil menenangkan mereka dengan menyatakan bahwa orang Jerman tak tahu apapun tentang kegiatan Perhimpunan Indonesia. Djajeng dan adiknya, Gondo Pratomo yang belajar di Sekolah Tinggi Dagang, kemudian dikirim ke Kamp Dachau; Stennie ke Kamp Ravenbruck, dan Soendaroe ke Kamp Neuengamme. “Djajeng Pratomo berhasil bertahan hidup di Dachau dan bebas dari sana, sedang Moen Soendaroe meninggal di Neuengamme,” tulis Poeze. Patung Le Deporteacute karya Francediloise Salmon diresmikan pada 1965 sebagai pengingat penderitaan korban di Kamp Konsentrasi Neuengamme. (Egon Holzmann/kz-gedenkstaette-neuengamme.de) Kamp Neuengamme merupakan bagian dari jaringan kamp konsentrasi Nazi, yang terdiri dari kamp utama dan lebih dari 85 subkamp. Didirikan pada 1938 di dekat Desa Neuengamme, Bergedorf, Hamburg, Kamp Neuengamme menjadi kamp konsentrasi terbesar di Jerman Barat Laut. Lebih dari 100.000 tahanan di kamp utama Neuengamme dan subkamp, 24 subkamp di antaranya untuk tahanan perempuan. Korban tewas yang terverifikasi adalah 42.900: 14.000 di kamp utama Neuengamme, 12.800 di subkamp, dan 16.100 karena pemboman selama minggu-minggu terakhir Perang Dunia II. Data kematian Soendaru tercatat di kz-gedenkstaette-neuengamme.de. Disebutkan nomor tahanannya 59167, lahir di Surabaya pada 17 Maret 1919, dan meninggal di kamp utama Neuengamme pada 22 Januari 1945. Di Dachau, Djajeng melihat tumpukan mayat setiap hari. Dia bekerja paksa di pabrik pesawat terbang Messerschmitt. Setiap hari dia juga menyaksikan orang digantung. Jika ada peluang, dia mencoba menyelamatkan tawanan. Di Kamp Ravenbruck, Stennie berusaha menyelamatkan tahanan perempuan dengan mencat hitam rambut mereka agar tampak muda. Sebab tahanan jompo akan dibinasakan. Djajeng, Gondo, dan Stennie dapat bertahan dari penderitaan di kamp konsentrasi sampai dibebaskan Sekutu. Djajeng dan Stennie baru bertemu kembali pada September 1945. Mereka menikah pada Februari 1946. Stennie meninggal pada 2010 sedangkan Djajeng meninggal di usia 104 tahun pada 2018.





















