Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Jakmania Milik Semua Masyarakat Ibukota
PADA 22 Juni nanti, Jakarta akan menginjak usia 491 tahun. Ibukota makin disesaki manusia dari berbagai daerah. Sejak masih bernama Sunda Kelapa pun, kota ini sudah jadi tempat mukim orang dari bermacam etnis, mulai Sunda, Jawa, Melayu, Ambon, Tionghoa hingga Eropa. Dari percampuran banyak etnis itu, muncullah etnis baru bernama Betawi. James Minahan dalam EthnicGroupsofSouthAsiaandthePacific : AnEncyclopedia menyebutkan, percampuran itu terjadi sejak 1619 ketika VOC, kongsi Dagang Belanda, berkuasa dan menamakan daerah itu Batavia. Etnis Betawi mendominasi Batavia pasca-Geger Pecinan 17 Oktober 1740. Semasa kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin (1966-1977), etnis Betawi dan budayanya dijadikan identitas Jakarta. Seiring putaran waktu dan kencangnya arus urbanisasi, Jakarta tak lagi “milik” masyarakat Betawi saja. Jakarta menjadi etalase slogan Bhinneka Tunggal Ika. Jakarta bukan milik satu etnis. Pun Persija Jakarta sebagai klub kebanggaan ibukota. Prinsip itu yang ingin digulirkan Tauhid Ferry Indrasjarief ke dalam Jakmania, suporter setia Persija. Bung Ferry, begitu dia biasa disapa, ingin masyarakat Ibukota yang berbeda-beda suku tetap satu dukungan, untuk Persija. Ferry pertama kali jadi panglima saat menggantikan Gugun Gondrong. Pria bernomor anggota JM 002 itu lalu bertahan sebagai tampuk pimpinan berturut-turut mulai 1999-2001, 2001-2003, dan 2003-2005. Lewat Musyawarah Luar Biasa Jakmania Januari 2017 lalu, Ferry kembali terpilih sebagai ketua umum (ketum) periode 2017-2020. Kecintaan putra Betawi namun kelahiran Bandung, 18 Februari 1965, itu terhadap tim Macan Kemayoran bersemi seiring seringnya diajak menonton tim nasional main oleh sang kakek, Mujeran. “Kakek orang Betawi asli Petojo. Dulu dia yang sering ajak nonton timnas (Indonesia). Di timnas saat itu ada sembilan pemain Persija. Dari situ gue mulai suka dengan Persija,” ungkap Bung Ferry kala ditemui Historia di kediamannya, Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Diakui Bung Ferry, sejak masa sekolah hingga kuliah, belum ada pendukung Persija yang terorganisir. Baru di era 1990-an muncul Persija Fans Club, berasal dari kalangan artis dan keluarga pemain Persija. “Tapi kemudian hilang begitu saja,” lanjutnya. Kawan suporter asal ibukota Bung Ferry pun hanya dari Commandos, kelompok pendukung Pelita Jaya. Bersama sebagian dari mereka, Bung Ferry mendirikan The Jakmania pada 19 Desember 1997. Dengan markas pertama di Stadion Menteng, mereka beberapa kali kena gusur sehingga pindah ke Stadion Lebak Bulus, GOR Ciracas, dan kini Stadion Soemantri Brodjonegoro di Kuningan, Jakarta Selatan. Menembus Sekat Kultural Diakui Ferry, Jakmania sebagaimana gambaran masyarakat di ibukota “demografinya” sangat heterogen. Itu yang membedakan dari Persija Fans Club yang kental unsur ke-Betawi-annya. Semasa PFC, Persija sempat berganti julukan jadi “Si Jampang”. Oleh karena itu, Ferry menegaskan, Jakmania tak terbentur sekat-sekat kesukuan atau budaya laiknya Bobotoh yang kental dengan nyunda -nya atau Bonek yang identik dengan Arek-Arek Suroboyo. “Jakmania itu mendobrak kultur dan mengusung kultur baru. Tidak harus sepakbola itu dijadikan perang antarsuku (di lapangan). Tidak harus orang Sunda (di ibukota) dukung Persib. Ketika elo tinggal di Jakarta, cari makan di Jakarta, ayo kita sama-sama dukung Persija, tim yang ada di kota elo. Kita didik generasi kedua para pendatang dengan pendekatan itu dan itu berhasil. Kulturnya jadi nyatu semua, karena mereka semua kan tinggal di Jakarta,” tuturnya lagi. Tauhid Ferry Indrasjarief, Ketua Umum The Jakmania/Foto: Randy Wirayudha Oleh Ferry dan jajarannya, prinsip itu terus “dipropagandakan” dengan slogan yang tertera di kaos-kaos Jakmania. Dalam kaos angkatan pertama, “Gue Anak Jakarta”, bukan “Gue Anak Betawi”, pimpinan menyemai prinsip Persija bukan milik orang Betawi saja tapi milik orang Jakarta. Lewat kaos di tahun kedua, “Satu Jakarta Satu”, pimpinan Jakmania bertujuan menghilangkan tawuran. “Sesama The Jak dilarang tawuran, tabu buat kita. Alhamdulillah dampak tawuran antarsekolah ikut berkurang, tinggal tawuran antarkampung yang belum,” imbuh Ferry. Seiring bertambahnya massa Jakmania, Ferry mengakui tugasnya kian berat di periode keempat. Tantangan terberatnya, menjaga kesolidan Jakmania di tengah bermunculan kelompok-kelompok anyar. “Heterogennya makin kuat di Jakmania. Tapi yang penting bagaimana caranya agar tetap nyatu , walau dia alirannya Ultras, Hooligans atau apa. Makanya gue bikin lagu, “Persija Menyatukan Kita Semua”. Karena menurut gue di Jakarta harus tetap ada satu payung yang mengayomi mereka semua,” tambah Bung Ferry. Jakmania, sebagaimana diinginkan Ferry, mesti jadi jembatan antara suporter, klub, dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Selain tetap kritis terhadap prestasi klub, Jakmania juga sudah lama menantikan janji-janji birokrat terkait stadion pasca-digusurnya Stadion Menteng (2006) dan Lebak Bulus (2015). “Sudah kenyang janji. Dari zaman Bang Yos (Gubernur DKI Sutiyoso) sampai Anies (Baswedan), dibilangnya akan ada stadion baru, tapi tetap nggak ada realisasinya. Mungkin kalau ada gubernur yang namanya Bandung Bondowoso, mungkin. Dia kan bikin seribu candi aja bisa dalam satu malam. Dia bikin stadion, nggak pake izin pasti langsung bangun, hahaha …,” canda Bung Ferry menutup obrolan.
- Seteru Dua Menteri Soeharto
TRI Utami Satriastuti atau Tuti, menantu Menteri Urusan Peranan Wanita (UPW) Lasijah Soetanto, masih ingat ketika suatu hari mertuanya berselisih dengan Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Sudomo. Lasijah tak setuju dengan pengiriman tenaga kerja wanita (TKW, kini disebut Pekerja Migran Indonesia) ke luar negeri yang jadi program Sudomo.
- Lakon Soeharto, Si Jenderal Kepala Batu
SUKARNO lahir pada 6 Juni 1901. Soeharto lahir pada 8 Juni 1921. Keduanya terlahir di bawah rasi bintang yang sama. Takdir hidup pula yang menentukan mereka sebagai persona paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia. Kendati demikian, dalam kehidupan nyata hubungan keduanya tak bisa dikatakan rapat. Si Bung Besar dan The Smiling General acap kali bertentangan.
- Tempat Menyepi dan Belajar Agama
I-TSING, pendeta asal Tiongkok, tinggal selama enam bulan di Sriwijaya untuk memperdalam bahasa Sanskerta sebelum bertolak ke India. Dia menyaksikan banyak pusat keagamaan berbentuk wihara di Sriwijaya, khususnya sebagai tempat menuntut ilmu. Selain kabar dari I-Tsing, keberadaan institusi pendidikan pada era Hindu-Buddha tercatat dalam prasasti, relief dan karya sastra. Pada masa itu, pendidikan erat kaitannya dengan agama. Misalnya, di lingkungan penganut Hindu, pendidikan didominasi oleh kaum brahmana. Paling tidak ada dua sistem pengajaran, yaitu di dalam lingkungan keraton dan di dalam sistem pertapaan. Sistem pendidikan keraton dilakukan dengan cara guru mendatangi murid. Sementara dalam sistem pertapaan, murid biasanya yang mendatangi gurunya. Gambaran mengenai pendidikan di dalam istana bisa ditemukan lewat kisah pewayangan. Dalam kitab Mahabharata , dikenal tokoh Drona yang merupakan guru Kurawa dan Pandawa. Dia mengajarkan seni peperangan, di mana Arjuna menjadi murid favoritnya. Di Nusantara, keberadaan guru di lingkungan keraton, paling banyak diketahui setelah masuk periode Jawa Timur. Misalnya, pada masa Kadiri, Raja Jayabhaya diketahui memiliki seorang pendamping yang menjadi gurunya. Keterangan ini terdapat dalam Prasasti Hantang (1135 M). Sang guru, menurut Supratikno Rahardjo dalam PeradabanJawa , disebut pangajyansrimaharajampungkunaiyayikadarsana - samreddhi - karanabhairawa - margga - nugamandha - yogiswara . Artinya “guru dari raja, empu yang mahir menjalankan yoga dengan jalan bhairawa, yang menyebabkan tercapainya kesempurnaan sesuai dengan aliran Nyaya.” Begitu juga Raja Kertanagara. Raja terakhir Singhasari itu mati diserang penguasa Glang Glang, Jayakatwang, saat tengah bermabuk-mabukan. Menurut Suwardono, sejarawan Malang, Kertanegara ketika itu sedang melangsungkan upacara Tantrayana. Sulitnya upacara tantra ini membuat para penganutnya harus diawasi oleh guru sebagai pendamping. “Baca Prasasti Gajah Mada, banyak pendeta dan patih yang mati bersama Kertanagara. Pendeta siapa? Ya itu mereka yang ikut upacara,” jelasnya. Agaknya, guru-guru di lingkungan istana punya fungsi berbeda-beda, sebagaimana Drona sebagai guru seni perang. Menurut Supratikno di dalam karya sastra terdapat istilah untuk menyebut orang yang menjalankan tugas di bidang agama. Misalnya, wikuhaji dalam Nagarakrtagama , diperkirakan menunjuk kepada para wiku yang bertugas di dalam keraton. Kedudukan ini tidak didapat karena kelahiran, melainkan pilihan hidup. “Bagi setiap orang yang ingin menjadi wiku , dia dituntut menjalani semacam inisiasi di bawah pimpinan seorang yang telah maju dalam kehidupan rohani,” jelas Supratikno. Ada pula istilah kawi , yaitu golongan penyair. Secara lebih luas lagi, sebutan kawi merujuk pada mereka yang mempelajari kitab-kitab dan mahir dalam hal itu. Di luar keraton, dalam teks kuno, ada yang disebut karsyan , patapan , dan mandala . Dalam Nagarakrtagama , ketiga istilah itu merujuk pada kelompok bangunan yang berfungsi sebagai pusat pendidikan agama. Ketiganya tempat menyepi serta tempat memuja leluhur dan dewa. Agus Aris Munandar, arkeolog Universitas Indonesia, dalam ArkeologiPawitra mengartikan karsyan sebagai tempat bertapa para rsi , yang letaknya biasanya di lereng gunung atau tempat sunyi lainnya. Sementara mandala merupakan perkampungan para rsi . Dwi Cahyono, pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang mengatakan, areal mandalakadewagurwan biasanya dilengkapai bangunan semi permanen ( srama atau asrama) untuk para siswa ( sisya ) dan guru ( acarya ). “Apabila lokasinya di dalam hutan, maka muncul sebutan wanasrama ,” jelas Dwi. Di antara para rsi , banyak yang berusia lanjut. Dalam konsep ajaran Weda, seseorang yang sudah mempunyai cucu pertama dianjurkan untuk meninggalkan dunia ramai menjadi pertapa. Ketika itu mereka masuk dalam fase kehidupan wanaprastha (tinggal di hutan). Tak hanya orang lanjut usia yang menyepi demi memperdalam ilmu. Anak muda juga melakukan hal serupa. Seperti Airlangga, penguasa Kahuripan. Prasasti Pucangan (1042 M) menguraikan, sang raja memulai karier politiknya setelah menjalani kehidupan di lingkungan pertapa. Selama dua tahun dia mendalami latihan rohani di Gunung Pucangan, yang ada di perbatasan Lamongan dan Jombang. Pucangan merupakan salah satu di antara tujuh tempat rsi bersemadi pada era Majapahit sebagimana disebut dalam Nagarakrtagama . Enam lainnya adalah Gunung Penanggungan (Pawitra), Sampud, Rupit, Pilan, Jagadhita, dan Butun. Wanasrama juga dilukiskan dalam relief candi. “Pada relief cerita Parthayajna di teras 2 candi Jajaghu misalnya, digambarkan wanasrama pada lereng gunung khusus untuk para pertapa wanita atau tapini , tapasi ,” ujar Dwi. Baik dalam karsyan maupun mandalakadewaguruan , tapa merupakan materi pokok pelajaran. Karenanya tempat itu kemudian pada masa yang lebih muda dikenal dengan “tempat persamadian” atau yang menjadi cikal-bakal dari padepokan. Bukan cuma urusan agama, mandalakadewaguruan juga mengajarkan ilmu kehidupan. Misalnya, keterampilan dan kebijakan hidup sebagai bekal menjalani kehidupan sosial. Pun juga adaptasi terhadap lingkungan, olah pikir, seni, kanuragan, olah batin, dan sebagainya. Dalam Menelusuri Figur Bertopi dalam Relief Candi Zaman Majapahit , Lydia Kieven menulis bahwa tradisi pertapa yang tinggal di daerah terpencil mengalami peningkatan pada akhir periode Majapahit. Status sosial mereka pun melambung. “Kemungkinan besar, peziarah dari semua bagian masyarakat, khususnya anggota aristokrasi dan bahkan raja-raja, menyepi ke pertapa guna mencari pengetahuan dan kekuatan spiritual,” tulis Lydia. Keterpencilan gunung menarik peziarah yang mencari kesunyian untuk inspirasi dan memahami pengetahuan religius. Misalnya, di Gunung Penanggungan, selain bertapa setelah mundur dari keduniawian, para rsi juga menerima peziarah yang mencari wejangan religius. Sementara dari lingkungan peziarah, banyak di antaranya merupakan anggota keluarga kerajaan atau keluarga kaya yang mungkin juga pendonor tempat suci. “Pertapaan menjadi pusat untuk menyepi dari dunia dan pusat pengajaran agama,” tegasnya.
- Menteri Peranan Wanita Pertama
DUSWANTO Harimurti masih ingat ketika suatu hari di tahun 1978 diminta orangtuanya mengantarkan ke kediaman Presiden Soeharto. Dia tak tahu ibunya, Lasijah Soetanto, punya urusan apa sehingga diundang Ibu Negara Tien Soeharto. Alih-alih ingin mengetahuinya atau sekadar ingin tahu isi kediaman presiden, Duswanto pilih menunggu di mobil ketimbang ikut masuk. Tak ada kejanggalan sedikit pun yang dia dapati sampai kedua orangtuanya keluar dari rumah presiden. Pun ketika mereka dalam perjalanan pulang. Tak ada sedikit pun cerita dari orang tuanya. Keanehan justru muncul di rumah mereka, rangkaian bunga berjajar menutupi pagar rumah. “Tahu-tahu sudah ada pos di depan rumah, ada ajudan, ada polisi untuk berjaga,” kata Duswanto, putra kedua Lasijah, kepada Historia . Duswanto baru belakangan tahu undangan ibu negara dimaksudkan untuk menanting Lasijah menduduki jabatan baru dalam Kabinet Pembangunan III yang sedang dibentuk Presiden Soeharto. Pecinta Pendidikan Lahir di Bantul, Yogyakarta pada 13 Agustus 1924, sedari kecil hasrat Lasijah pada ilmu pengetahuan begitu tinggi. Setelah menamatkan pendidikan dasar di HIS Yogyakarata tahun 1937, dia melanjutkan pendidikannya ke MULO di kota yang sama dan lulus tiga tahun berikutnya. Menginjak remaja, Lasijah masuk kepanduan –tempat dia bertemu dan berkenalan dengan RM Soetanto Reksopertomo, pria yang kelak menjadi teman kuliah dan suaminya– di Yogyakarta. Pada 1941, dia menjadi guru di Christelijke Schakel School Wonogiri. Tak lama di sana, dia lalu mengajar di SD-SMP Puro Pakualaman, SGA Stella Duce, dan di SMA Bopkri Yogyakarta. Semasa Perang Kemerdekaan, Lasijah ikut berjuang dengan menjadi kurir yang menyamar sebagai tukang jamu. Sementara, Soetanto menjadi gerilyawan di gunung. Pertemuan-pertemuan singkat dan semangat senasib seperjuangan menumbuhkan bibit cinta di antara mereka. Usai perang, sembari mengajar di SMA Bopkri Lasijah melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum UGM dan lulus tahun 1962. Dia menjadi asisten dosen riset Hukum Adat dan menjadi dosen Ilmu Hukum di UGM beberapa tahun setelahnya. Sebagai poliglot, Lasijah lalu diminta FKIP dan Fakultas Sastra UGM mengampu bahasa Prancis. Keuletannya dalam belajar membuat De Sorbonne Trois, Prancis menghadiahinya beasiswa diploma pada 1972. Sepulang dari Prancis, dia mengajar di Lembaga Pendidikan ABRI dan mendapat penghargaan Satyalancana Dwidya Sistha pada 1983. Dewinya Perempuan Segudang kesibukan tak membuat Lasijah meninggalkan gerakan perempuan. Di kantor suaminya, Dit. Lalu Lintas PJKA Balai Besar Bandung, Lasijah menjabat sebagai ketua Ikatan Wanita Kertea Api (IWKA). Keaktifan berorganisasi itu juga untuk memenuhi kewajiban dari pemerintah. Di masa Soeharto, istri pegawai negeri diwajibkan aktif berorganisasi. Bila ketahuan melanggar, sanksinya jabatan suami bisa diturunkan. Struktur organisasi pun mengikuti jabatan suami. Sama seperti organisasi perempuan lain di era itu, IWKA juga masuk ke dalam Kowani. Lasijah otomatis menjadi anggota Kowani. “Ibu lama aktif di Kowani. Kowani itu sudah diakui secara internasional, jadi sering dapat undangan konferensi internasional tentang peranan perempuan dan kesetaraan gender,” ujar Sri Utami Sastriastuti atau Tuti, menantu Lasijah, kepada Historia . Tuti mengenang keaktifan Lasijah dalam berbagai kongres internasional. Lasijah kerap mengikuti kongres perempuan internasional di India atau Nairobi (Kenya). “Ibu pernah jadi pembicara di UNDP tahun 1970-an,” sambung Tuti yang rajin mengkliping pemberitaan tentang mertuanya. Keaktifan Lasijah dalam forum perempuan internasional membuatnya terpilih menjadi ketua umum Kowani pada 1974. Sejak masuk Kowani, karier politik Lasijah meningkat signifikan. Pada 1977, dia terpilih menjadi anggota DPR/MPR dari unsur Golongan Karya. Ketika pemerintah membentuk Kementerian Muda Urusan Peranan Wanita (UPW) pada 1978, sebagai pemenuhan syarat guna mendapatkan bantuan finansial dari Amerika Serikat, nama Lasijah jadi pilihan pemerintah untuk menjadi nahkoda pertama institusi itu. Selain karena ketua Kowani, Lasijah dipilih karena sepak-terjangnya di dalam gerakan perempuan. Untuk memastikan kesediaannya, Nyonya Tien Soeharto mengundang Lasijah ke Cendana. Lasijah bersedia, dia pun menjadi Menteri Muda UPW pertama. Dalam memimpin insitusinya, Lasijah berprinsip bahwa penanganan perempuan di Indonesia dititikberatkan pada integritas wanita dalam pembangunan. Hal ini sejalan dengan konsep WID (Woman in Development, di masa berikutnya WID dikritik karna banyak cela) yang menjadi pegangan PBB kala itu. Perempuan mesti dibentuk sebagai individu yang mampu berperan ganda, sabagai ibu rumahtangga sekaligus sumberdaya manusia dalam pembangunan. Ketika masa kerja Kabinet Pembangunan III berakhir, Lasijah tak berharap kembali menjadi menteri. Sebelumnya, Ibu Negara Tien juga mengingatkan dirinya harus legowo bila jabatan itu tak diberikan lagi padanya. Maka ketika pengumuman menteri baru disiarkan TVRI, Lasijah santai mengajak anak-anaknya menontonnya sambil menimati singkong goreng. Namun, dia terkejut ketika namanya muncul kembali sebagai Menteri Negara Urusan Peranan Wanita. “Lho kok ibu ya?” kata Duswanto menirukan ucapan ibunya yang kaget.
- Menu Sederhana Presiden Pertama
MUSLIH bin Risan hafal salah satu santapan favorit Presiden Sukarno. Apalagi kalau bukan sambal pecel. Ia hampir selalu ada di meja makan keluarga sang presiden. “Kalau enggak ada, pasti Bapak menanyakan,” ujar Muslih (70), bekas pelayan pribadi keluarga Sukarno, kepada Historia .
- Demi Ibu Pertiwi
JAUH sebelum uang “mengintervensi”, bulutangkis putri Indonesia justru berprestasi. Para srikandi bulutangkis berkonsentrasi memenangkan pertandingan bukan untuk bonus, tapi demi menjaga nama baik bangsa. Target juara sudah harga mati. “Saya hanya ingin membawa nama Indonesia,” ujar Regina Masli, srikandi bulutangkis Indonesia era 1970-an, kepada Historia . Regina ingat betul dia selalu menguras energi dan putar otak setiap kali melakoni sebuah pertandingan internasional. Terlebih, kala memperkuat tim Indonesia di Uber Cup 1975, 5-6 Juni di Jakarta. Bagi para srikandi bulutangkis Indonesia, turnamen itu sekaligus untuk ajang pembuktian mereka bisa menyamai prestasi para pebulutangkis pria yang sejak 1958 berhasil memboyong Thomas Cup. Tim Uber Cup Indonesia akhirnya berhasil mencapai final setelah sebelumnya mengalahkan Inggris. Di final, Indonesia berhadapan dengan Jepang, jawara bulutangkis putri kala itu. Pertandingan berjalan seru sejak hari pertama. Jepang sempat unggul 2-1. Indonesia akhirnya menyamakan kedudukan 2-2 setelah pasangan Regina/Minarni Soedarjanto menekuk pasangan Etsuko Takenaka/Machiko Aizawa 16-16, 6-15, dan 15-9 di partai keempat. “Itu pertandingan terkuat (yang dihadapi) waktu Uber Cup lawan double Jepang, Etsuko Takenaka dan Michico Aizawa,” imbuhnya. Hari kedua, pertandingan makin seru. Kedua tim bermain sama kuat. Di partai keenam, penentuan, Regina dan Minarni memikul beban berat mesti mengalahkan pasangan Hiroe Yuki/Mika Ikeda. Bila kalah, Indonesia gagal mewujudkan mimpi. Bersama seniornya, Regina akhirnya konsentrasi pada mempertaruhkan nama besar Indonesia. Keduanya tak hanya menguras energi, tapi terus memutar otak selama pertandingan. Regina/Minarni akhirnya berhasil membayar kepercayaan rakyat Indonesia lewat kemenangan 15-8 dan 15-11. Regina Masli (kanan) saat berpasangan dengan Minarni Soedarjanto/Foto: Dok Pribadi Regina Masli “Pada waktu penentuan Uber Cup 1975 bersama Almarhumah Minarni, di hati saya hanya ingin bermain mati-matian untuk membawa nama Indonesia,” kenang Regina kepada Historia . Kemenangan Regina/Minarni mengantar Indonesia memboyong Uber Cup untuk pertamakali. Bersamaan dengannya, Indonesia menjadi negara pertama yang bisa mengawinkan Uber Cup dengan Thomas Cup. Keberhasilan itu mendapat sambutan semarak para pendukung yang utamanya warga Jakarta. Meski tak mendapat bonus uang, para pemain amat senang bisa memboyong trofi Uber Cup dan masing-masing mendapat medali. “Alangkah senangnya kita berdua dapat membawa nama Indonesia,” ujar Regina menutup pembicaraan.
- Bung Karno dan Buku
RACHMAWATI Soekarnoputri acapkali melihat pemandangan ganjil saat masih tinggal di Istana Negara. Kamar tidur ayahnya, Presiden Sukarno, penuh dengan buku-buku. Buku menjejali tiap sudut ruang. Tempat tidur, kursi, dan kamar mandi berubah fungsi menjadi perpustakaan. “Bapak sangat kaya pengetahuan karena membaca,” kenang Rachma dalam memoar Bapakku Ibuku: Dua Manusia yang Kucinta dan Kukagumi . Tak melulu buku bertema berat. Bung Karno juga melahap bacaan populer semisal majalah terbitan Amerika macam Vogue hingga Nugget . Dokter pribadi Mahar Mardjono turut menyaksikan kegandrungan Sukarno terhadap buku. Mahar pertama kali memasuki Istana pada awal Agustus 1965. Ketika itu kondisi kesehatan Sukarno mulai menurun. Mahar dipanggil untuk mengobati Sukarno yang sedang pusing, sempoyongan, dan kerap muntah. Mahar berada di serambi Istana yang penuh dengan buku-buku berbagai bidang. Di serambi belakang Istana, tempat Sukarno bercelana pendek dan berbaring di atas tempat tidur, Mahar melihat berbagai surat kabar dan majalah, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. “Dari keterangan Mahar Mardjono, disimpulkan bahwa Presiden Sukarno sangat berminat membaca dan mengoleksi sejumlah buku,” tulis sejarawan Peter Kasenda dalam Bung Karno Panglima Revolusi . Kutu Buku Ketertarikan Sukarno membaca buku berawal dari perkenalannya dengan Haji Oemar Said Tjokroaminoto, pemimpin organisasi Sarekat Islam. Takala menempuh pendidikan HBS (setara SMA) di Surabaya, Sukarno mondok di kediaman Tjokroaminoto. Di bawah gemblengan Tjokro, pengembangan intelektual Sukarno terpupuk. “Aku duduk dekat kakinya (Tjokroaminoto) dan diberikannya kepadaku buku-bukunya, diberikannya kepadaku miliknya yang berharga,” tutur Sukarno dalam otobiografinya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia . Selain pengaruh figur Tjokro, kemiskinan jadi pintu masuk bagi Sukarno menggumuli dunia literasi. Perpustakaan theosofi di Surabaya adalah tempat yang kerap disambangi Sukarno untuk menghabiskan waktu melahap buku politik. Kemudahan memperoleh bacaan di perpustakaan tersebut karena ayahnya, Raden Sukemi adalah seorang anggota perkumpulan theosofi. Di sana, dia mendapat kepuasan pengganti kondisi kekecewaan dalam pergaulan melalui bacaan. “Buku-buku menjadi temanku. Dengan dikelilingi oleh kesadaranku sendiri aku memperoleh kompensasi untuk mengimbangi diskriminasi dan keputus-asaan yang terdapat di luar. Dalam dunia kerohanian dan dunia yang lebih kekal inilah aku mencari kesenanganku. Dan di dalam itulah aku dapat hidup dan sedikit bergembira, ” ujar Sukarno. Menurut Peter Kasenda, kesenangan Sukarno membaca mengantarkannya berbincang secara mental dengan pemikiran bermacam ideologi. Mulai dari paham kebebasan ala Barat Thomas Jefferson hingga kesadaran kelas yang didengungkan Karl Marx. Sementara dalam kehidupan nyata, Sukarno menyaksikan negerinya yang miskin dan terhina karena terjajah. Bacaannya secara tak langsung membawa Sukarno ke gelanggang pergerakan. “Sukarno mulai memperbincangkan antara perdaban yang megah dari pikirannya dan tanah airnya sendiri yang sudah bobrok. Pemikiran ini akhirnya menyadarkan Sukarno menjadi seorang nasionalis yang menyala-nyala,” ujar Peter Kasenda. Dari membaca Sukarno menuangkan gagasan menjadi beberapa artikel untuk majalah Oetusan Hindia. Dalam berkala milik Sarekat Islam itu, Sukarno mengambil nama tokoh pewayangan Bima yang artinya “Prajurit Besar” sebagai nama pena. Menurut pengakuannya, Sukarno telah menulis lebih dari 500 karangan. Penulis Buku Data selanjutnya tentang kegemaran membaca buku Sukarno dapat dilihat berbagai buku karangannya. Sepanjang hidupnya, Sukarno tergolong penulis produktif yang membukukan buah pikirannya. Beberapa diantara seperti Mencapai Indonesia Merdeka (1933), Lahirnya Pancasila (1945), Sarinah (1951), dan yang terpenting kumpulan tulisannya dalam Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 1 (1959) dan Jilid 2 (1960). Dalam buku-buku tersebut, Sukarno selalu memberikan rujukan, baik nama pengarang maupun judul bukunya. Suyatno, kepala Perpustakaan Proklamator Bung Karno, mencatat, dalam Sarinah ditemukan 153 orang laki-laki dan 71 orang perempuan yang pendapatnya digunakan sebagai rujukan. “Berarti jumlah pengarang/penulis yang dikutip Sukarno dalam buku Sarinah sebanyak 224 orang baik laki-laki maupun perempuan,” ujar Suyatno dalam Buletin Perpustakaan Bung Karno Vol. 2/2014. Berapa jumlah koleksi buku Bung Karno? Ketika diasingkan pemerintah Belanda ke Bengkulu jelang kedatangan Jepang, Sukarno memiliki 12 peti buku koleksi. Dalam buku Kisah Istimewa Bung Karno , rumah pengasingan Bung Karno di Bengkulu menyimpan sebanyak 400 buku. Seluruhnya berbahasa Belanda meliputi genre politik, seni, agama, sastra, dan kesehatan. Pada 1968, Sukarno dipaksa rezim Orba meninggalkan Istana. Kolonel Maulwi Saelan, salah seorang ajudan Sukarno, melakukan inventarisasi terhadap koleksi buku di Istana. Dalam buku Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa , Maulwi mencatat koleksi buku Sukarno yang berjumlah hampir seribu buah.*
- Dari Kilang Jadi Kolak
KOLAK merupakan menu buka puasa yang paling sering disajikan. Karena identik dengan Ramadan, ada yang berpandangan penganan ini punya arti lebih dari sekadar menu berbuka. Sebagaimana kuliner yang berkenaan dengan ritual Islam, seperti apem dan kupat, sebutan kolak juga dikaitkan dengan bahasa Arab. Dwi Cahyono, arkeolog dan dosen sejarah Universitas Negeri Malang, mengutip pendapat Kyai Hasbullah dari Pondok Pinang, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, bahwa kata kolak berasal dari bahasa Arab, yaitu kullaka artinya makanlah, untukmu. Pendapat lain dari kata khala atau kholaqo . Kata ini bisa diturunkan menjadi kholiq atau khaliq yang berarti pencipta, pencipta alam semesta yang menunjuk kepada Allah Swt. “Selain berarti pencipta, dapat pula berarti: Tuhan yang disembah, Pengatur dan Pemelihara, Pemberi bentuk, dan Tuhan Yang Maha Perkasa. Sebutan ini dijadikan media untuk mendekatkan diri kepada Allah,” ujar Dwi. Unsur-unsur kolak pun dikaitkan dengan ajaran Islam. Pisang kepok yang paling umum digunakan merujuk pada kapok, dalam bahasa Jawa berarti jera. Penganan ini mengingatkan agar manusia jera berbuat dosa dan segera bertobat kepada Allah Swt. Isian lainnya, ubi, dalam bahasa Jawa disebut telopendem . Filosofinya manusia harus mengubur kesalahannya dalam-dalam. Ada juga yang menghubungkan dengan kematian. Kolak adalah media pengingat, suatu saat manusia pasti mati dan kemudian dikubur ( dipendem ). Unsur lain dalam kolak adalah santan. Dalam bahasa Jawa disebut santen , kependekan dari pangapunten . Orang Jawa menggunakan kata ini sebagai permohonan maaf. Kolak pun menjadi media pengingat agar manusia seantiasa meminta maaf atas kesalahannya. Dwi menilai, etimologi dan tafsir terhadap penganan kolak semacam ini merupakan ikhtiar baik untuk menjadikan makanan sebagai media pembelajaran budi pekerti dan penguat keyakinan keagamaan. “Namun, bukan berarti bahwa muasal kolak dari bahasa Arab. Etimologis yang demikian hanya mendasarkan pada keserupaan istilah, dan terkesan dipas-paskan,” ujar Dwi. Pasalnya, menurut Dwi, jika didasarkan pada keserupaan istilah padanan kata serupa ditemukan pula dalam bahasa Jawa Kuno. Kata kula dalam bahasa Jawa Kuno berarti kawanan, pasukan, kumpulan, orang banyak, jumlah, suku, keluarga, rumpun, kasta, rombongan, keluarga bangsawan atau unggul, keluarga, keturunan, asal-usul. Jadi, kula sebagai kumpulan berarti kolak adalah penganan yang terdiri dari sekumpulan bahan makanan, seperti ubi dan pisang, yang dicampur di dalamnya. Dengan membuat asal-usul kolak dari bahasa Arab, penganan ini kemudian diyakini berasal dari Timur Tengah. “Alasannya karena orang Timur Tengah suka makanan manis, maka mungkin kolak dari sana,” lanjut Dwi. Padahal, masyarakat Nusantara sudah mengonsumsi minuman manis sejak masa Hindu-Buddha. Menurut arkeolog senior Puslit Arkenas, Titi Surti Nastiti dalam “Minuman Pada Masyarakat Jawa Kuno” termuat di PertemuanArkeologiV , keterangan soal minuman masa Jawa Kuno muncul dalam naskah maupun prasasti. Dalam prasasti jenis minuman umumnya disebut pada bagian yang menuliskan tentang upacara peresmian sima. Setelah upacara sima selesai, biasanya diadakan pesta dengan menyuguhkan berbagai macam makanan dan minuman untuk dinikmati oleh hadirin. Di antaranya, ada yang disebut juruh , yaitu minuman yang terbuat dari tanaman jenis palem. Ada pula kilang , minuman dari sari tebu, yang disukai rakyat hingga bangsawan. Dwi menguraikan kilang disebut dalam Prasasti Watukura (902 M) dan Prasasti Alasantan (939 M). Dalam naskah Jawa Kuna dan Tengahan, minuman ini muncul dalam kitab BrahmandaPurana , Sumanasantaka , Arjunawijaya , Nagarakrtagama , Partayajna , SubhadraWiwaha , KidungHarsawijaya , KidungMalat , dan WangbangWideya . Kilang juga digunakan untuk menyebut nira kelapa, aren atau tal yang direbus. Bila direbus terus menerus, teksturnya akan mengental, kemudian bisa dijadikan gula merah. Adapun pemanis berupa gula, dalam bahasa Jawa Kuna dan Tengahan disebut gendis . “Ini telah lama digunakan, jadi kolak yang berasa manis karenanya termasuk kuliner yang disukai dari masa ke masa,” jelas Dwi. Di samping pemanis, santan pun sudah biasa dipakai untuk memasak. “Bila santan dicampurkan ke dalam kilang, maka jadilah kuah kolak,” lanjutnya. Kuah kolak dibuat dari campuran santan dan gula merah direbus hingga mendidih. Kemudian dimasukkan buah-buahan, biji-bijian atau bahan makanan lainnya. “Terbayang bahwa kegemaran mengonsumsi kolak adalah kelanjutan dalam bentuk lain dari kesukaan meminum kilang ,” kata Dwi. Sebutan kolak memang tak dijumpai dalam sumber tertulis masa Hindu-Budha. Ia mungkin baru muncul pada masa yang lebih modern. Dengan kreativitas, penganan itu diterjemahkan dalam bahasa yang bisa membuatnya menjadi media dakwah.
- Dari Perbaikan Kampung sampai Kampung Pelangi
Kampung pelangi. Begitu sebutan kampung elok berwarna-warni di Malang, Semarang, Surabaya, dan Jakarta. Kampung-kampung itu tadinya kumuh dan suram. Tapi prakarsa warga, penggiat kota, pemerintah, dan perusahaan swasta mengecat segala isi kampung mengubahnya jadi lebih bersih dan ceria. Bahkan menarik banyak orang datang berekreasi. Pengecatan kampung menjadi salah satu upaya memperbaiki keadaan kampung. Upaya ini tidak bermula dari kemarin sore, melainkan bertapak pada masa kolonial. Mohammad Husni Thamrin, anggota Dewan Kota Batavia, meminta pemerintah kota mencurahkan perhatiannya untuk memperbaiki kondisi kampung kumuh pada 1920-an. “Ia menyarankan untuk memperbaiki pengelolaan distribusi beras, mengadakan fasilitas drainase yang layak serta pasokan air bersih ke kampung-kampung,” tulis Bob Hering dalam Mohammad Hoesni Thamrin . Pemerintah Kota Batavia mengiyakan permintaan Thamrin. “Program perbaikan kampung pun berlangsung dengan dana patungan dari pemerintah pusat dan kota,” tulis Freek Colombijn dalam Under Construction: The Politics of Urban Space and Housing during Decolonization of Indonesia 1930-1960. Program perbaikan kampung ( kampongs verbetering ) mewujud di tiga kota besar: Batavia, Semarang, dan Surabaya. Perbaikan menyentuh kualitas jalan, gang, selokan, dan pembangunan fasilitas mandi dan kakus umum. Tapi perbaikan kampung berjalan setengah hati. Thamrin memandang program ini hanya menyentuh segi fisik dari kampung. Belum sampai meresap ke dalam perbaikan kualitas hidup warga kampung. Laporan Komisi Perbaikan Kampung pada 1939 turut menyimpulkan program perbaikan kampung telah gagal. “Diduga biang keladi kegagalan program tersebut adalah karena pesatnya pertambahan jumlah penduduk,” tulis Amir Karamoy dalam “Program Perbaikan Kampung: Harapan dan Kenyataan”, termuat di Prisma , No. 6, 1984. Zaman pendudukan Jepang menghentikan kampongs verbetering . Masa ini penghuni kampung-kampung kumuh justru jadi sasaran eksploitasi Jepang menjadi romusha. Setelah Indonesia merdeka, upaya memperbaiki kampung muncul lagi seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perluasan kampung-kampung kumuh di kota-kota besar Indonesia. Di Jakarta, Walikota Sjamsuridjal mengupayakan pembelian tanah-tanah partikelir yang dihuni oleh pemukim liar. Mereka mendirikan gubuk-gubuk reot dengan jarak yang rapat satu sama lain. Pendudukan tanah nganggur ini bermula pada masa Jepang dan terus berlanjut pada 1950-an sehingga kawasan tersebut menjadi kampung kumuh ilegal. Pembelian tanah partikelir merupakan langkah awal bagi Sjamsuridjal untuk memperbaiki kampung. Langkah kedua berupa pembongkaran bangunan-bangunan liar. “Kemudian akan dilakukan pembangunan dalam arti perbaikan kampung sebagaimana layaknya untuk tempat manusia merdeka sekarang ini,” tulis Sjamsuridjal dalam Karya Jaya . Pada masa Sudiro, Soemarno, dan Henk Ngantung menjabat kepala daerah Jakarta, perbaikan kampung tak banyak dilakukan oleh pemerintah. Menurut Amir Karamoy, masa-masa itu perbaikan kampung lebih sering berasal dari inisiatif warga. “Pemerintah kota hanya membantu penyediaan sebagian dana atau fasilitas. Baru sekitar tahun 1966, program perbaikan kampung dimulai lagi secara lebih terorganisir di Jakarta, ketika Ali Sadikin baru saja menjadi gubernur DKI Jakarta,” catat Amir. Ali Sadikin menaruh prioritas tinggi pada upaya memperbaiki kampung-kampung kumuh. Sebab di kampung-kampung kumuh itulah pertaruhan Jakarta sebagai ibukota negara. “Di mana martabat bangsa dipertaruhkan di dalamnya,” tulis Djaja , 15 Februari 1969. Ali menamakan program ini “Proyek Muhammad Husni Thamrin” untuk mengenang ikhtiar Thamrin mengupayakan perbaikan kualitas hidup penghuni kampung kumuh pada masa kolonial. Prinsip dan langkah perbaikan kampung termaktub dalam Surat Keputusan Gubernur No. Ab. 13/1/2/1969 tanggal 17 Januari 1969. Prinsip dasarnya ialah pemerintah kota membantu penghuni kampung kumuh dalam menciptakan lingkungan kehidupan yang sehat agar mendorong pertumbuhan kegiatan sosial, ekonomi, dan spiritual. Muara program ini terletak pada maujudnya kesejahteraan semua warga kota. Langkah perbaikan kampung antara lain memperbaiki jalan, jembatan, listrik, irigasi, drainase, sanitasi, penyediaan balai pengobatan, sumur air, fasilitas Mandi Cuci Kakus (MCK) umum, bak sampah, dan rehabilitasi fasilitas pendidikan. Ali Sadikin membagi kampung-kampung kumuh dalam ukuran tertentu. Dia mendahulukan perbaikan pada kampung paling kumuh di antara kampung-kampung kumuh. Kriteria kampung terkumuh antara lain terlihat dari kondisi lingkungan terburuk, kepadatan penduduk yang tinggi, potensi dinamika penduduk untuk melanjutkan dan memelihara hasil perbaikan kampung, usia kampung, dan pengaruh perbaikan suatu kampung dengan kegiatan kota secara keseluruhan. “Atas dasar kriteria tersebut di atas dipilihlah kampung-kampung yang akan diperbaiki. Selama Pelita I (Pembangunan Lima Tahun) mencakup 87 kampung, umumnya terdiri dari kampung-kampung yang dibangun sebelum tahun 1956,” tulis Ali Sadikin dalam Gita Jaya . Luas area perbaikan kampung tahap pertama mencapai 2.400 hektar. Area seluas itu menampung sekira 1.2 juta penghuni kampung kumuh. Sebagian besar mereka menyambut baik program perbaikan kampung. “Hal ini ditunjukkan dengan partisipasi mereka di dalam pembuatan jalan-jalan. Misalnya tanah yang diperlukan untuk pembuatan jalan, mereka serahkan umumnya secara sukarela tanpa mendapatkan ganti rugi,” ungkap Ali. Tapi program perbaikan kampung bukan tanpa hambatan dan kritik. Hambatan terbesar berupa dana. Kas pemerintah kota tidak mampu membiayai perbaikan kampung kumuh di seluruh wilayah Jakarta. Maka dana perbaikan digenjot dari pajak judi dan hiburan malam. “Dan buntutnya dari segi uang pembiayaan tak pernah sepi dari gugatan,” tulis Ekspres , 5 April 1971. Masalah pembiayaan perbaikan kampung mulai terpecahkan ketika lembaga internasional seperti Persatuan Bangsa-Bangsa dan Bank Dunia memberikan nilai positif. Bank Dunia bahkan mengucurkan kredit berjangka 15 tahun untuk membiayai perbaikan kampung. “Bantuan Bank Dunia meliputi 50% dari biaya yang dibutuhkan untuk perbaikan tahap berikutnya, yang meliputi pelaksanaan perbaikan selama 5 tahun,” tulis Ali. Hingga akhir masa jabatannya pada 1977, Ali menghitung bahwa perbaikan kampung telah mencakup area seluas 4.694 hektar dengan penghuni sebanyak 1.9 juta orang. “Tinggalah kini kewajiban dari masyarakat untuk dapat memelihara keadaan perkampungan yang telah diperbaiki,” pesan Ali. Gubernur Jakarta selepas Ali Sadikin berupaya melanjutkan program perbaikan kampung. Mereka melengkapi kekurangan program sebelumnya seperti pembangunan sarana bermain anak, penyediaan penerangan jalan, dan perawatan hasil perbaikan. Sekarang perbaikan kampung diwujudkan secara berbeda melalui inisiatif konsep kampung warna-warni. Tapi semangatnya tetap sama: perbaikan kualitas hidup penghuni kampung kumuh.
- Dari Dalam Kampung Kumuh Ibukota
BANYAK kampung kumuh di beberapa kota besar Indonesia berubah jadi warna-warni selayak pelangi. Mengecat kampung kumuh jadi tren untuk mengubah citra kampung yang muram dan kusam. Bagaimana sebenarnya citra itu berkembang? Kemunculan kampung-kampung kumuh di kota-kota besar Indonesia bukan hal baru. Kampung-kampung kumuh telah ada sejak masa kolonial pada 1910-an. Amir Karamoy dalam “Program Perbaikan Kampung: Antara Harapan dan Kenyataan” termuat di Prisma No. 6, 1984, menyebut dua publikasi orang Belanda yang menggambarkan kampung kumuh di sejumlah kota Hindia Belanda. Publikasi pertama berasal dari Westerveld pada 1914. “Di situ gubuk-gubuk sangat tidak layak disebut tempat tinggal manusia,” tulis Westerveld ketika mendeskripsikan kampung kumuh di kota-kota Hindia Belanda, sebagaimana dikutip Amir. Publikasi kedua berasal dari Hendrik Freek Tillema pada 1920-an. Dia menyatakan kota-kota di Jawa perlu banyak perbaikan. Mulai segi kesehatan, sanitasi, penataan daerah padat, saluran tanah, pembuangan kotoran, sampai penerangan. Zaman telah masuk masa merdeka, tapi kampung-kampung kumuh di kota tetap bertahan. Di Jakarta, misalnya, kampung-kampung kumuh itu tersebar di banyak wilayah. Kampung-kampung kumuh itu terbagi dua jenis: legal ( slums area ) dan liar ( squatters area ). Tapi keduanya memiliki ciri-ciri yang sama. Antara lain padat, kotor, jorok, dan kurang fasilitas. “Jalan-jalannya tidak diaspal, sehingga musim kemarau berdebu dan di musim hujan sukar dilalui karena becek dan berlumpur, di sana-sini terdapat comberan yang baunya menusuk hidung,” tulis Sjamsuridjal, walikota Jakarta 1951-1953 dalam Karya Jaya. Ajip Rosidi, sastrawan sohor Sunda yang pernah tinggal di Jakarta pada 1950-an, menggambarkan keadaan kampung kumuh Jakarta masa itu dalam sajaknya, “Jembatan Dukuh”, termuat di Tjari Muatan . “Ada daerah bersesakkan gubug-gubug, gelap dan melarat dari bocah-bocah yang tersita daerah mainnya, menghitung jam di jari-jari tangannya, gosong, dan terasing,” ungkap Ajip. Kebanyakan penghuni kampung-kampung kumuh berlatar belakang ekonomi dan pendidikan rendah. Mereka bekerja sebagai buruh kasar, penarik becak, dan pedagang kecil. Sebagian mereka telah menempati kampung itu beberapa lama. Lainnya baru datang dari desa di luar Jakarta. Kedatangan mereka menambah kepadatan kampung. Para penghuni kampung kumuh biasanya membangun hunian dari kayu, tripleks murah, atau kardus bekas. Pokoknya segala bahan yang mudah terbakar. Jarak satu hunian dengan lainnya begitu rapat. Ketika kebakaran melanda, tak satupun hunian mereka selamat. Majalah Kotapradja , Januari 1953, melaporkan bahwa kebakaran yang melanda Jakarta ratusan kali dalam rentang 1951-1953 sebagian besar terjadi di kampung-kampung kumuh. Kebakaran terbesar terjadi pada 28 Juli 1952 di Krekot Bunder. Kebakaran menghanguskan 600 hunian dalam wilayah seluas 60.000 meter persegi. Sekira 10.000 orang kehilangan hunian dan mencari tempat hunian baru. Beberapa wilayah yang sebelumnya lengang dan penuh pohon mulai berubah menjadi kampung-kampung padat dengan hunian sederhana dan berjarak rapat. “Wilayah ini dapat dijumpai di Pedurenan, tepatnya di selatan Jalan Kawi,” tulis Firman Lubis dalam Jakarta 1950-an . Kebakaran terus mengancam penghuni kampung-kampung kumuh. Misalnya pada 7 Desember 1954, kebakaran melalap tiga kampung di Kecamatan Sawah Besar. Kotapradja , Desember 1954, menyebut ribuan rumah hangus dan 10.000 penghuni kampung kumuh terancam menggelandang. Saking seringnya kebakaran melanda kampung-kampung kumuh di Jakarta, Ajip Rosidi mengabadikannya dalam sajak. Pengalaman para penghuni kampung kumuh berhadapan dengan kebakaran pada 1950-an terekam dalam Djakarta dalam Puisi . “...Kami bicara tentang kebakaran Ibu hangus ayah tertembak Kampung habis dan kota kepadatan Namun kami tak menangis Kan menangis air mata habis ...” Selain lingkungan yang tidak sehat, fasilitas yang kurang mendukung hidup layak, dan kebakaran, para penghuni kampung kumuh juga kenyang dengan ancaman pembongkaran dari pemerintah. Pembongkaran oleh pemerintah tidak hanya berangkat dari pandangan soal legalitas, melainkan juga dari pandangan bahwa kampung kumuh merupakan sumber penyakit sosial di kota seperti pelacuran, pengangguran, dan kriminalitas. Biasanya pembongkaran lebih menyasar area kampung kumuh yang liar, yang di atasnya berdiri gubuk-gubuk tanpa izin, ketimbang kampung kumuh legal. Misalnya pembongkaran gubuk-gubuk di daerah Senen pada Februari 1954. Tak ada ganti rugi dan relokasi bagi penghuni gubuk. Mereka dibiarkan terkatung-katung. Tapi pada 1960-an, Gubernur Soemarno mulai menimbang kepentingan dan kebutuhan para penghuni permukiman kumuh ilegal sebelum membongkarnya. “Pembongkaran-pembongkaran tidak nanti akan kami lakukan begitu saja... Living mereka akan kami perhatikan dan sekali-kali tak boleh dihentikan. Juga soal pemindahannya senantiasa akan kami perhatikan,” kata Soemarno dalam Star Weekly , 4 Februari 1961. Pembongkaran-pembongkaran kampung kumuh terus berlangsung pada tiap dekade. Sebab kekumuhan di Jakarta terus meluas. Dalam Gita Jaya , Ali Sadikin, gubernur Jakarta 1966-1977, menyebut 60 persen penduduk Jakarta tinggal di kampung kumuh nan padat. Sementara Wiyogo Atmodarminto, gubernur Jakarta 1987-1992, menulis dalam Catatan Seorang Gubernur , “Pertumbuhan daerah-daerah kumuh, yang luasnya mencapai 40% dari seluruh daerah permukiman, akhirnya menimbulkan masalah-masalah sosial. Jakarta is a big village .” Sekarang kampung-kampung kumuh masih tersua di sudut-sudut Jakarta, di tengah-tengah ambisi Jakarta menjadi megapolitan terbesar kedua di dunia pada 2045.





















