top of page

Sejarah Indonesia

Seteru Dua Menteri Soeharto

Seteru Dua Menteri Soeharto

Lasijah Soetanto menolak pengiriman TKW tanpa keahlian. Memicu konflik dengan Menteri Tenaga Kerja Sudomo.

Oleh :
8 Juni 2018

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Kiri-kanan: R.M. Soetanto, Lasijah Soetanto, dan tamu dari Pakistan. (Dok. Lasijah Soetanto).

TRI Utami Satriastuti atau Tuti, menantu Menteri Urusan Peranan Wanita (UPW) Lasijah Soetanto, masih ingat ketika suatu hari mertuanya berselisih dengan Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Sudomo. Lasijah tak setuju dengan pengiriman tenaga kerja wanita (TKW, kini disebut Pekerja Migran Indonesia) ke luar negeri yang jadi program Sudomo.


“Ibu ribut dengan Pak Domo. Ibu tidak setuju pengiriman TKW. Pak Domo memberi penghargaan, ya diterima di depan orang-orang tapi lalu disobek sama ibu dan dibuang. Penolakan ibu tegas,” kata Tuti kepada Historia.


Sejak 1970, pemerintah mengirim tenaga kerja secara besar-besaran ke Malaysia, Hongkong, Filipina, dan Arab Saudi. Tingginya permintaan membuat pemerintah meresponnya dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 4 tahun 1970. PP ini mengatur pengiriman tenaga kerja melalui program Antar Kerja Antar Daerah dan Antar Kerja Antar Negara.


Setelah PP ini keluar, gelombang pengiriman TKI dan TKW semakin besar, bahkan pihak swasta ikut-ikutan menjadi penyalur tenaga kerja. Dalam waktu singkat pemerintah bisa mengrekrut 1.500 TKI untuk diberangkatkan. Sejak 1979 pemerintah berupaya mengirimkan tenaga kerja secara langsung lewat program Government to Government (G to G).


Tenaga kerja yang dikirim pemerintah merupakan tenaga bukan ahli. Mereka tak diberi pembekalan keterampilan terlebih dahulu. Mereka dikirim untuk dipekerjakan di sektor informal seperti pembantu rumahtangga.


Hal itu menjadi pangkal protes dari berbagai pihak di tanah air, salah satunya dari Lasijah. Lasijah berpendapat, tenaga kerja yang dikirim seharusnya tenaga kerja ahli. Para TKW yang akan dikirim seharusnya dibekali keterampilan terlebih dulu oleh pemerintah sehingga tenaga kerja yang dikirim adalah tenaga yang terampil sesuai bidang yang dibutuhkan, bukan tenaga kerja nirkemampuan. Dengan mengirim tenaga ahli, representasi Indonesia sebagai sebuah bangsa akan naik di mata negara lain dan memiliki posisi tawar.


“Ibu itu dimusuhi sama menteri-menteri di sini. Ibu maunya yang dikirim ke negara luar itu dokter, suster, orang-orang yang punya keahlian,” kata Tuti.


Mengirimkan warga negara untuk bekerja di luar negeri pada sektor informal tanpa pembekalan, menurut Lasijah, membuat mereka mudah mengalami pelecehan dan kekerasan. Terlebih bila tenaga kerja yang menjadi korban adalah perempuan, itu bakal menjadi urusan Lasijah sebagai menteri UPW.


Pada pemberangkatan TKW kloter pertama, Lasijah menolak datang. “Ibu tidak mau, kecuali sebelum diberangkatkan ke luar negeri calon-calon TKW dibikin terampil dulu,” kata Duswanto Harimurti, anak kedua Lasijah.


Pemerintah akhirnya berupaya mengurangi pengiriman tenaga kerja berpendidikan rendah. Depnaker, sebagaimana ditulis Ana Sabhana Azmy dalam Negara dan Buruh Migran Perempuan, membentuk Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga kerja Indonesia (APJATI) pada 1981. Tujuannya, untuk mengurus dan menyeleksi pengiriman TKI ke ke berbagai negara.


Namun, upaya tersebut mengendur pada pertengahan 1980-an ketika angka pengangguran tinggi. Pengiriman TKW ke luar negeri dianggap sebagai solusi mengurangi pengangguran. Pemerintah meloloskan begitu saja tenaga kerja berpendidikan rendah untuk bekerja di negeri orang.


Hal yang dikhawatirkan Lasijah terjadi. Beberapa TKW mengalami masalah, seperti penyiksaan, pelecehan seksual, dan kekerasan yang dilakukan atasan. “Penolakan ibu tentang pengiriman TKW tantangannya berat. Dulu masih dibelain sama Pak Harto,” kata Tuti. Namun, setelah digencet oleh Fraksi ABRI dan kalah adu argumen melawan menteri lain, Lasijah kalah.


Pengririman TKW tanpa keterampilan alih-alih mengurangi angka pengangguran malah menimbulkan masalah baru. Pemerintah pusing. Menaker pengganti Sudomo, Cosmas Batubara akhirnya mengeluarkan Peraturan Menteri No. 5 tahun 1988 yang mengatur pengiriman tenaga kerja ke luar negeri.


“Ketika pengiriman TKW itu ramai, ibu dikirimi uang. Itu per kementerian dikirimi semua. Tapi ibu menolak,” kata Duswanto. “Sampai mati saya tak mau terima,” kata Duswanto menirukan ucapan ibunya.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page