Hasil pencarian
9590 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Habis Gelap Terbitlah Sekolah
DALAM surat-suratnya, RA Kartini meratapi buta huruf di kalangan perempuan karena tidak tersedianya peluang pendidikan bagi mereka. “Kami, gadis-gadis Jawa, tidak boleh memiliki cita-cita, karena kami hanya boleh mempunyai satu impian, dan itu adalah dipaksa menikah hari ini atau esok dengan pria yang dianggap patut oleh orangtua kami,” tulis Kartini dengan getir kepada Rosa Manuela Abendanon-Mandri, 8/9 Agustus 1901. Setelah Kartini meninggal pada 1904, perjuangannya untuk menyediakan pendidikan bagi perempuan dilanjutkan teman-teman Belandanya.
- Maois Tetap Eksis
LANTARAN diserang, polisi India terlibat adu tembak dengan gerilyawan Maois di distrik Sukma, selatan negara bagian Chhattisgarh, India. “Mereka menembak mati sedikitnya sembilan gerilyawan Maois,” demikian diberitakan bbc.co.uk (16/4/2013). Konflik bersenjata bukan kali ini saja terjadi. Pada April 2010, gerilyawan Maois menyergap patroli tentara di sebuah hutan di Chhattisgarh, menewaskan 76 tentara. Ini dianggap serangan terburuk Maois terhadap pasukan keamanan India.
- Jala Polisi Susila
Jika Aceh memiliki polisi syariah yang bertugas mengawasi pelaksanaan syariat Islam dan moral masyarakat, pemerintah kolonial Belanda punya polisi susila (zedenpolitie). Pemerintah Hindia Belanda menganggap mengadabkan dan mengontrol masyarakat, tidak terkecuali masalah moral, merupakan tanggung jawab pemerintah. Untuk itu, pemerintah Hindia Belanda mendirikan polisi susila untuk mengawasi kesusilaan umum dan menegakkan moral masyarakat. Tujuannya menjaga rust en orde (ketentraman dan ketertiban).
- Dari Telinga Turun Ke Mata
SIAPA tak kenal Brama Kumbara dengan ajian serat jiwanya? Atau Mantili dengan pedang setannya? Karakter utama dalam sandiwara radio Saur Sepuh karya Niki Kosasih ini begitu ditunggu-tunggu para pendengarnya pada 1980-an. Sandiwara radio ini diproduksi Sanggar Prativi. “Setiap sore, saya membawa radio transistor rumah, saya kalungkan di leher sembari mencari gelombang radio yang menyiarkan sandiwara radio Saur Sepuh ,” ujar Devi, salah satu pengunjung acara nonton bareng dan diskusi film Saur Sepuh 3, yang digelar Komunitas Pecinta Film Indonesia Jadul di Pisa Kafe Jalan Mahakam, Jakarta (16/4).
- Dari Kina Ke Artemisia
BARU-BARU ini, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merilis hasil penelitian unggulannya mengenai kandungan Artemisia annua , tumbuhan yang dapat menggantikan kina sebagai obat malaria. Menurut peneliti LIPI, Wiguna Rahman, kadar artemisinin , zat yang terdapat dalam tanaman Artemisia , terbukti lebih mujarab mengobati malaria ketimbang zat yang dihasilkan kina. Karenanya, Artemisia sanggup menggantikan kina. “Apalagi menurut WHO (World Health Organization), banyak temuan plasmodium (parasit penyebab malaria) mulai resisten terhadap kina,” ujar Wiguna.
- Pertunjukan Propaganda untuk Anak-Anak
Bagi pemerintah militer Jepang pemuda adalah aset yang dapat dimobilisasi untuk kepentingan perang Asia Timur Raya. Pemuda berusia 15-20 tahun digerakkan mengikuti pelatihan semimiliter Seinendan (Barisan Pemuda). Bagaimana dengan anak-anak berusia 8-15 tahun? “Perlu sekali satu badan yang memperhatikan mereka bukan saja yang di kota dan anak-anak sekolah, tetapi terutama juga anak-anak yang tidak bersekolah dan anak-anak di desa,” tulis Sinar Baroe , 15 Juni 1945.
- Siapa Menyimpan Perempuan Simpanan
Elizabeth Abbott tahu soal perempuan simpanan dari olok-olok ibunya kepada kakeknya, seorang pembuat bir kaya dan politikus kota Detroit, Amerika Serikat. Sang kakek disebutnya memelihara “sarang cinta” yang dihuni perempuan-perempuan cantik. Abbott mengenal lebih jauh setelah berkenalan dan berteman dengan dua perempuan simpanan, Katerina dari Jerman Timur dan Ghislaine Jeudi dari Haiti –keduanya nama samaran untuk menghindari kemungkinan mempermalukan keduanya, tanpa mengurangi kebenaran kisah mereka. Dari situlah dia menulis buku ini. “Bahan yang begitu banyak, termasuk dalam suratkabar, menunjukkan bahwa wanita simpanan ada di mana saja,” tulis Elizabeth Abbott .
- Mengawasi Kaum Pergerakan
SELESAI berpidato, Sukarno bergegas. Seorang Belanda gemuk, agen Politiek Inlichtingen Dienst (PID) atau Dinas Intelijen Politik, mengikutinya dengan sepeda. Sadar diikuti, Sukarno tetap tenang dan justru berpikir untuk mengerjainya. Dia sengaja melewati kubangan sawah sehingga agen itu harus menenteng sepedanya. Sukarno gembira melihat itu. ”Padahal PID, dinas intelijen yang didirikan pada Mei 1916, nama yang menakutkan bagi banyak kaum pergerakan,” kata Bondan Kanumoyoso, sejarawan Universitas Indonesia, dalam diskusi buku Memata-Matai Kaum Pergerakan, Dinas Intelijen Politik Hindia Belanda 1916-1934 karya wartawan majalah Historia Allan Akbar, di Universitas Indonesia (11/4/13). Buku ini mengungkap aktivitas intelijen masa kolonial, termasuk keberhasilan dan kegagalannya.
- Antara Sukarni dan Sukarno
Sukarni Kartodiwirjo bersama Adam Malik, Chaerul Saleh, dan Wikana “menculik” Sukarno dan Mohammad Hatta ke Rengasdengklok sehari sebelum proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 . Peran istrinya, Nursjiar Machmoed, tak bisa diabaikan begitu saja. “Di rumah ada dua anak. Bapak berani bilang saya begini, saya begitu itu karena di rumah ada mama. Kalau mama nggak ada, dengan anak dua, apa berani Bapak? Nggak berani,” kata Emalia Iragiliati Sukarni, putri Sukarni, dalam peluncuran bukunya, Sukarni dan Actie Rengasdengklok, di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jakarta (20/4/2013).
- Soerat Makan Kolonial
BELAKANGAN ini, wisata kuliner menjadi tren. Media cetak maupun elektronik menyediakan ruang untuk icip-icip makanan. Sebenarnya, wisata kuliner bukan barang baru. Ia telah hadir di zaman kolonial. Untuk memfasilitasi wisatawan asing, pemerintah Hindia Belanda mendirikan perhimpunan turisme, Vereeniging Toeristenverkeer (VTV) di Batavia, pada 1908. Anggotanya para pengusaha yang berhubungan dengan turisme, seperti perusahaan transportasi, perhotelan, pemilik toko, dan perbankan. Kantor ini bertugas untuk mempromosikan, memberikan informasi, dan membuat reklame turisme.
- Mula Pedagang Kaki Lima
PKL bukan pedagang kemarin sore. Kehadiran mereka di Jakarta bisa dirunut hingga ke zaman Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1811-1816). Saat itu, Raffles memerintahkan beberapa pemilik gedung di jalanan utama Batavia untuk menyediakan trotoar selebar lima kaki (five foot way) untuk pejalan kaki. Menurut William Liddle dalam “Pedagang yang Berkaki Lima”, termuat 111 Kolom Bahasa Kompas , saat bertugas di Singapura pada 1819, Raffles kembali menerapkan kebijakan ini di Chinatown.
- Bukan Bawang Putih Biasa
BAWANG putih ( Allium sativum) sudah dimanfaatkan sejak ribuan tahun silam. Tidak hanya sebagai bumbu masak, tapi juga obat mujarab. Sebagai makanan, menurut Jethro Kloss dalam Back to Eden , bawang putih telah lama tertulis dalam berbagai catatan sejarah. Dia memperkirakan bawang putih berasal dari Asia Tengah, kemudian dibudidayakan di banyak negara, dan juga tumbuh di Italia dan Eropa Selatan. Sementara itu, menurut Trina Clikner dalam A Miscellany of Garlic: From Paying Off Pyramids and Scaring Away, bawang putih sudah digunakan sebagai obat herbal di berbagai belahan dunia sejak 3000 tahun SM.





















