Hasil pencarian
9598 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Teman Lama Ternyata CIA
UPAYA pemerintah pusat meredam pergolakan di Sumatra dan Sulawesi menemui jalan buntu. Pemerintah tak bisa memenuhi tuntutan para panglima daerah. Mereka juga tak mau berkompromi dengan tuntutannya, terutama pulihkan dwitunggal Sukarno-Hatta, ganti pimpinan TNI AD (KSAD Mayjen TNI A.H. Nasution diganti sebagai langkah pertama stabilisasi TNI), otonomi daerah yang luas, dan melarang komunisme yang hakikatnya berorientasi internasional.
- Film Indonesia Pertama yang Menggunakan Efek Khusus
Babi kecil itu ditaruh di atas meja untuk disembelih. Ketika sang jagal sedang mengambil kapak, si babi berubah menjadi seorang manusia berkepala babi. Sang jagal kaget dan ketakutan. Manusia babi itu lalu menghilang. Tie Pat Kai namanya, siluman babi itu hendak memperistri Tjoei Lan, anak gadis seorang hartawan. Ia berubah menjadi pemuda tampan untuk mengelabui Tjoei Lan dan keluarganya. Setelah berhasil menikah, mereka dikaruniai seorang anak berwujud babi. Akhirnya, penyamaran Tie Pat Kay terbongkar. Tie Pat Kay Kawin (1935) merupakan film besutan The Teng Chun produksi Java Industrial Film. Film ini merupakan koleksi film tertua yang dimiliki Indonesia, yang saat ini tersimpan di Sinematek. Namun, dari durasi 43 menit, hanya 21 menit yang bisa ditonton. Sebagian film telah rusak. “Itu yang bisa diselamatkan, sisanya kondisinya tidak memungkinkan. Ada pula yang semacam mengkristal,” kata Budi Ismanto, pekerja Sinematek. Film ini merupakan salah satu film era awal yang menggunakan efek khusus untuk memvisualisasikan filmnya. Efek-efek khusus digunakan pada adegan perkelahian, perubahan wujud atau bentuk, serta jurus-jurus yang menunjukkan kesaktian. Misalnya pada saat babi berubah menjadi manusia berkepala babi, terdapat kilatan putih pada tubuh babi lalu membesar hingga berubah menjadi siluman babi. Siluman babi mengeluarkan jurus berwujud kilatan putih. Jika saat ini efek khusus menggunakan CGI atau Computer Generated Image , seperti pada film-film superhero , film Tie Pat Kay Kawin ternyata hanya menggunakan teknik sederhana dan sangat manual. Agustinus Dwi Nugroho, pengajar di Program Studi Media Rekam, Jurusan Film dan Televisi Institut Seni Yogyakarta (ISI), dalam "Special Effect Technology in Film Tie Pat Kay Kawin (1935) and Tengkorak Hidoep (1941)" yang dipresentasikan di International Conference for Asia Pasific Art Studies (ICAPAS) 2017 menyebut bahwa efek-efek khusus tersebut dibuat dengan teknik scratch atau goresan untuk merusak lapisan emulsi pada pita seluloid. Frame demi frame dirusak lapisannya dengan bentuk gambar berbeda untuk menghasilkan gambar bergerak. Teknik untuk menggerakkan efek goresan ini biasanya disebut teknik stop motion . “Untuk menghasilkan efek berdurasi 1 detik maka harus secara manual menggores 24 frame sesuai gambar yang diinginkan. Namun ada pula frame yang hanya digores kurang dari 24 frame , maka efek yang dihasilkan terlihat bergerak sangat cepat, dengan motivasi membentuk efek kecepatan,” jelas Dwi. Warna putih menunjukkan goresan pada frame. (Dok. Agustinus Dwi Nugroho). Bentuk-bentuk seperti kilatan cahaya dan seperti kobaran api akan dihasilkan dari teknik ini. Goresan pada lapisan emulsi seluloid mengakibatkan warna yang muncul di frame berwarna putih. Efek scratch tidak hanya muncul di shot statis, namun juga muncul di shot dengan pergerakan kamera dengan teknik pan. Efek scratch dikombinasikan transisi editing (transisi cut ) untuk menghasilkan efek khusus yang kompleks. Transisi editing dipakai pada adegan Tie Pat Kay yang ketika menghilang ( out frame ) ataupun muncul ( in frame ) di frame secara tiba-tiba. Visualisasi efek khusus lainnya juga terdapat pada perubahan bentuk karakter, dan obyek. Perubahan bentuk atau wujud ini memberikan efek transisi jump cut . Menurut Dwi, teknik-teknik efek khusus yang dipakai Tie Pat Kay Kawin ini belum ditemui di film-film era selanjutnya dan perlu diteliti lebih lanjut. “Saat ini yang saya tau belum ada. Saya tanya petugas Sinematek sepertinya juga nggak ada film sejenis. Di film Tengkorak Hidoep yang saya teliti pun tekniknya sangat sederhana dan tidak ada teknik scratch effect -nya,” kata Dwi kepada Historia . Penggunaan efek khusus pada era early cinema bisa dijumpai pada karya-karya George Melies, sutradara asal Prancis. Melies membuat ratusan film pendek pada 1896-1913 yang penuh trik dan efek khusus. A Trip to the Moon (1902) adalah salah satu karyanya yang kental akan efek khusus. Namun belum diketahui apakah George Melies yang menginspirasi The Teng Chun. “Kesimpulan sementara, dilihat dari tekniknya, di film-film George Melies menggunakan teknik-teknik seperti transisi editing dan properti asli dalam filmnya, sedangkan di film Tie Pat Kay Kawin juga menggunakan hal yang sama namun juga ada satu teknik lagi yang dinamakan scratch effect (menggores seluloid) di film ini yang secara dominan dipakai,” ungkap Dwi. Film-film George Melies lebih banyak menggunakan trik-trik serta ilusi sulap mengingat ia juga merupakan seorang pesulap. “Di film-film George Milies sepertinya jarang menggunakan scratch ini,” sebut Dwi. Selain Tie Pat Kay Kawin , Dwi juga meneliti film Tengkorak Hidoep . Penggunaan efek khusus film ini terdapat pada adegan bangkit dari kubur yang memperlihatkan properti asli berupa bentuk kerangka tengkorak berubah menjadi manusia. Efek ini dibuat mengunakan transisi dissolve . Properti berbentuk kerangka dimungkinkan merupakan replika kerangka manusia. ”Transisi editing dissolve yang secara perlahan mengubah sosok kerangka menjadi Maha Daru mampu memberikan efek kengerian. Transisi dissolve macam ini tidak muncul dalam Tie Pat Kay Kawin . Teknik ini selalu digunakan pada adegan yang menunjukkan perubahan wujud karakter serta muncul/hilangnya tokoh dalam frame ,” jelas Dwi.
- Habibie, Menhankam dan Tank Korea
SUATU hari di tahun 1995, Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) B.J. Habibie mengajak Letnan Jenderal (Purn) Sintong Panjaitan berdiskusi. Dia mengeluhkan soal seringnya Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam) Edi Sudradjat absen dalam berbagai rapat mengenai “sistem senjata Hankam” yang dipimpinnya. “Padahal ada yang ingin sekali saya diskusikan dengan Pak Edi mengenai rencana pembelian tank buat ABRI,” ujar Habibie kepada staf ahli Menristek itu. Sebagai orang yang merasa dekat dengan kedua lelaki yang secara politik bersebrangan itu, beberapa hari kemudian Sintong berinsiatif menemui Edi yang tak lain adalah seniornya di ABRI tersebut. Dia mendatangi Kantor Departemen Hankam dan menyatakan kekecewaan dirinya secara langsung kepada Menhankam. “Kenapa sih Mas, selalu tidak hadir dalam rapat itu?” tanya Sintong. Edi langsung menukas,” Maksudnya apa kau, ngomong begitu?” “Mas, kita ini kan tentara. Yang memerintahkan soal itu kan Pak Harto, Panglima Tertinggi. Apa kata orang jika Mas “membangkang” perintah Panglima Tertinggi? Saya rasa itu tidak benar. Boleh tidak menyukai seseorang, tetapi sebagai bawahan Panglima Tertinggi kita harus ikut garis komando. Datanglah ke rapat itu nanti, Mas. Kalau tidak, enggak enaklah nanti sama Pak Harto,” ungkap Sintong. Menhankam tidak bereaksi. Wajahnya datar saja. Lama sekali mereka saling berdiam diri, hingga akhirnya Sintong merasa tidak enak hati lalu pamit dan kembali ke kantor. Namun baru saja dia sampai di ruangannya, tetiba ada telepon untuk dirinya. Siapa lagi kalau bukan dari Menhankam Edi Sudradjat. “Ya sudahlah Tong, kau yang atur supaya saya langsung bertemu Habibie. Saya tidak mau menunggu lama,” katanya. Edi menegaskan “tidak mau menunggu lama” karena saat itu semua orang sudah pada mafum jika ingin menemui Habibie maka seseorang harus ekstra sabar. Bisa jadi itu disebabkan oleh begitu banyaknya tamu yang datang ke Habibie setiap harinya. Selesai bicara dengan Edi, Sintong langsung bergegas menuju ruangan Habibie. Ia menceritakan perihal pertemuan itu. Sintong menyarankan Habibie agar langsung menjemput Edi begitu dia tiba di kantor Kemenristek. Tanpa banyak pertimbangan, Habibie langsung menyanggupi. Singkat cerita, bertemulah kedua “seteru politik” itu dalam suasana yang ramah dan akrab. Ketika rapat berlangsung, Habibie membahas masalah rencana pembelian beberapa unit tank. Pilihannya ada tiga: K200 KIPV (Korean Infantry Fighting Vehicle) buatan Korea Selatan sesuai permohonan yang diajukan oleh Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung kepada Presiden Soeharto pada 25 Januari 1995 atau tank jenis FV 101 Scorpion dan FV 103 Stormer buatan Inggris. Secara kualitas dan harga, Habibie menyatakan setuju dengan pilihan ABRI itu. Selain harganya murah (3 KIFV=1 Scorpion), KIFV sudah teruji di berbagai medan dan lebih sesuai dengan situasi di alam Indonesia. Persoalannya, pemegang tender proyek tersebut yakni Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut (putri sulung Presiden Soeharto) dan Jenderal Hartono lebih cenderung memilih Scorpion dan Stormer. Edi mendukung keinginan Habibie. Terlebih setelah Habibie memberikan uraian tentang keunggulan dan kelemahan dua jenis tank itu, Edi semakin mantap untuk memilih KIFV sebagai tank yang akan dipergunakan ABRI. “Pak Edi dan Pak Habibie itu sebetulnya sama-sama orang yang lebih mengutamakan kepentingan negara. Jadi ya keduanya bisa kompak kalau terkait soal itu,” ujar Sintong Panjaitan. Sejarah mencatat, pilihan keduanya kandas. Tanpa sepengetahuan Menhankam, Scorpion dan Stormer terlanjur dibeli. Padahal menurut Sintong, Korea Selatan sudah berniat untuk membeli lagi pesawat CN-235-200 lewat cara imbal beli dengan peralatan militer dari Korea Selatan. “Tetapi karena kita sudah membeli 50 tank Scorpion dan Stormer dari Inggris, maka Indonesia tidak jadi membeli tank dan ranpur dari Korea Selatan,” ujar Sintong dalam biografinya yang ditulis Hendro Subroto, Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando. Menurut Sintong, pilihan Habibie dan Edi sebenarnya sudah tepat. Andaikan Indonesia jadi membeli K200 KIFV (berharga di bawah 1 juta dollar AS) dan tidak menggunakan FV 101 Scorpion dan FV 103 Stormer (berharga 2,5 juta dollar AS), maka ABRI akan memiliki 150 tank dan ranpur atau setengah dari kebutuhan Angkatan Darat. “Jadinya kita hanya dapat 50 tank buatan Inggris,” ujar Sintong.
- Kisah Garda Bahari di Awal Revolusi
KETIKA berpidato menyambut HUT TNI AL ke-74 pada Selasa, 10 September 2019, KSAL Laksamana Siwi Adji menekankan fakta historis bahwa TNI AL berembrio dari kekuatan rakyat. “Bersama rakyat, TNI AL siap membangun SDM unggul, pondasi Indonesia Maju,” ujar Laksamana Adji di dermaga Koarmada I Pondok Dayung, Jakarta Utara. Eksisnya TNI AL, 10 September 1945, berangkat dari lahirnya Badan Keamanan Rakyat (BKR) Laut. Sejalan dengan pembentukan tentara resmi oleh pemerintah, nama itu pun selanjutnya berubah secara berurutan menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Laut, Tentara Republik Indonesia (TRI) Laut, Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), dan terakhir TNI AL. Ia merupakan badan perjuangan yang diisi para pelaut yang digembleng sejak zaman Belanda, Jepang, ditambah para pemuda dan buruh pelabuhan di kota-kota pesisir. “Selama 74 tahun TNI Angkatan Laut menunjukkan jati dirinya sebagai komponen pertahanan negara yang tangguh di tengah perubahan lingkungan strategis yang kian dinamis,” lanjut Adji dalam amanatnya selaku inspektur upacara. Selaras dengannya, maka defile kali ini tak hanya diikuti satuan-satuan di TNI AL, namun juga satu barisan BKR Laut lengkap dengan atribut masa 1945. Pasukan BKR Laut memang bukan diisi para pejuang sebenarnya, namun oleh puluhan reenactor (pereka ulang sejarah) dari Jakarta, Bekasi, Bogor, Bandung, dan Surabaya. Kehadiran para reenactor justru mendapat tepuk tangan riuh, termasuk dari KSAL, lantaran mencerminkan pasukan laut di masa awal kemerdekaan. Berdirinya BKR Laut Pusat, menurut Zamzulis Ismail dan Burhanuddin Sanna dalam Siapa Laksamana R.E. Martadinata, dibidani sejumlah pelaut di kantor bekas gedung Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT) Kali Besar Barat yang lantas disahkan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Markas pertamanya di gedung SMA Budi Utomo, Jalan Budi Utomo (kini SMA Negeri 1 Jakarta). “Dipelopori oleh kelompok pemuda pelaut bekas siswa dan guru SPT serta pelaut-pelaut dari Jawatan Pelayaran Jawa Unko Kaisha , Akatsuki Butai yang antara lain dikoordinasikan oleh Mas Pardi, Adam, RE Martadinata, R. Soerjadi, Oentoro Koesmardjo dan Jasanatakoesoemah, pada tanggal 10 September 1945 berhasil dibentuk BKR Laut Pusat.” Bara di Utara Jakarta Kedaulatan republik yang baru beberapa pekan lahir mulai terusik dengan kedatangan Sekutu, 16 September 1945. Adalah BKR Laut dan para pemuda pelabuhan yang pertamakali berkontak dengan Sekutu di Tanjung Priok. Mereka datang disertai Belanda (NICA). “Karena sikap serdadu-serdadu Inggris dan NICA sangat angkuh dan sama sekali tidak mau menghargai aparatur pelabuhan RI, maka terjadilah bentrokan senjata antara mereka dengan para pemuda pejuang (BKR Laut, red.) di sekitar Menara Air, Stasion (Stasiun Tj. Priok), dan Zeeman’s Huis (mess pelaut),” ungkap tim Dinas Sejarah Militer Kodam V Jaya dalam Sejarah Perjuangan Rakyat Jakarta, Tanggerang dan Bekasi dalam Menegakkan Kemerdekaan R.I. Barisan BKR Laut di HUT TNI AL ke-74 oleh puluhan reenactor Bekasi, Jakarta, Bogor, Bandung dan Surabaya. (Ist/Indra Eka Saputra). Pasukan BKR Laut di Utara Jakarta dipimpin Matmuin Hasibuan, pemuda Batak yang sebelumnya “bos” buruh pelabuhan. Oleh Letkol Moeffreni Moe’min, pemimpin BKR Jakarta Raya, Hasibuan dan Martadinata ditunjuk jadi penanggungjawab pengamanan wilayah Utara Jakarta merangkap BKR Laut Cabang Jakarta. Hasibuan bersama pasukannya baku-tembak dengan pasukan Inggris dan NICA mengakibatkan markas BKR Laut terpaksa dipindah. Menukil Sejarah Teluk Jakarta karya Dinas Museum Sejarah dan DKI Jakarta, markas BKR Laut dipindah dari gedung SMA Budi Utomo ke Gang Z, mengungsi ke kantor Jawatan Pelabuhan dan lantas ke Cilincing. Sampai awal Oktober 1945, Inggris dan NICA sudah menguasai Priok dan kemudian memperluas basis hingga ke Cilincing. Hasibuan dan pasukannya mendapat bantuan serdadu dari segala pelosok Utara Jakarta dan Bekasi untuk membuat perimeter pertahanan di sekitar Jembatan Kali Kresek, Cilincing. Di Jembatan Kali Kresek inilah sekira 6 Oktober 1945 pecah pertempuran pertama antara serdadu laut republik (per 5 Oktober BKR Laut berubah menjadi TKR Laut) dengan Sekutu dan NICA. Meski skala kecil, pertempuran tergolong sengit lantaran berlangsung sehari semalam. Inggris sampai mengerahkan pesawat-pesawat P-40-nya untuk mematahkan perlawanan kaum republik. “Cilincing merupakan medan pertempuran yang menguntungkan pihak RI karena daerah penuh ditumbuhi pepohoan mangrove, banyak sungai kecil, jalannya tak beraspal, sempit dan berbelok-belok,” lanjut tim Kodam Jaya. Perimeter di Jembatan Kali Kresek akhirnya jebol juga. Pada 10 November, Sekutu dan NICA sudah merangsek ke arah Koja, Jembatan Tinggi, dan Pasar Ikan. Sejak jebolnya “gerbang” Priok, teror-teror terhadap rakyat meningkat di berbagai pelosok Jakarta. Kondisi tersebut membuat PM Sutan Sjahrir mengeluarkan maklumat pada 19 November 1945. Seluruh satuan TKR diperintah meninggalkan Jakarta. Sisa TKR Laut pimpinan M. Hasibuan yang sebelumnya berbasis di Priok dan Cilincing, pun menyingkir ke Babelan, Bekasi. Mereka mengonsolidasikan kekuatan dengan Laskar Hisbullah pimpinan KH. Noer Ali di Utara Bekasi. Sementara, Martadinata dan KSAL Laksamana III Mas Pardi sudah pindah ke Yogyakarta pada 15 November 1945. Di Bekasi, pasukan Hasibuan lagi-lagi terlibat pertempuran sengit. Bersama Laskar Hisbullah, TKR Laut terjun di Palagan Sasak Kapuk (kini Pondok Ungu), 29 November 1945. Tiada yang menang dalam palagan ini. Beberapa hari setelahnya, KH Noer Ali prihatin dengan tertangkapnya Hasibuan oleh NICA. Hasibuan ditangkap pada 5 Desember 1945 saat berperjalanan bersama wedana Priok Hindun Witawinangun ke kantor penghubung TKR di Jalan Cilacap, Jakarta. “Mereka ditahan dan disiksa NICA di Kamp Polonia hingga Hindun Witawinangun tewas. Madnuin (Hasibuan) juga disiksa, namun selamat. Ia baru dibebaskan 15 Desember 1945,” tulis Ali Anwar dalam biografi KH Noer Ali, Kemandirian Ulama Pejuang menyebut. Setelah Agresi Militer Belanda I, KH Noer Ali dan Hasibuan terus mundur dari Bekasi. KH Noer Ali akhirnya menyingkir ke Yogyakarta dan pasukan Hasibuan hijrah ke Tegal.
- Langsa Diancam, Gubernur Hasan Bertindak Cepat
SUATU hari seorang opsir Jepang datang tergesa-gesa menghadap Gubernur Sumatra Teuku Mohammad Hasan. Dia menyampaikan pesan Panglima Tentara Jepang di Pematang Siantar. Isinya, mendesak Hasan supaya meninjau Kota Langsa karena keadaan sangat genting: akan terjadi pertempuran antara pihak militer Jepang dengan para pejuang Indonesia. “Mengingat kepentingan keamanan umum dan kepentingan negara, maka desakan Jepang ini saya setujui,” kenang Hasan dalam memoarnya Mr. Teuku Hasan dari Aceh ke Pemersatu Bangsa . Pada 29 Desember 1945, rombongan Hasan berangkat menuju Langsa. Setengah perjalanan tibalah di Kuala Simpang. Hasan menemui pimpinan tentara Jepang, Mayor Jenderal Sawamura. Laporan Sawamura menyebutkan kejahatan orang-orang Langsa. Mereka telah merampas senjata milik Jepang. Padahal, tentara Jepang telah menyerahkan senjatanya kepada TKR, pimpinan Letkol Bachtiar. Selain itu, TKR merampas pula obat-obatan, uang, beras, pakaian, makanan, kendaraan dan kendaraan Jepang. Perampasan yang terjadi membuat tentara Jepang siap siaga menggempur Langsa. Moncong meriam telah diarahkan. Sawamura menuntut senjata yang dirampas dikembalikan. Hasan meneruskan perjalanannya ke Langsa. Tiba di Langsa, Hasan bertemu dengan T. Hasan Ibrahim, pemimpin laskar rakyat. Dari Ibrahim didapati keterangan tentang tindakan Jepang yang kejam dan kasar. Makanya rakyat Aceh dari seluruh penjuru berduyun-duyun ke Langsa. Bersenjatakan tombak, rencong, bambu runcing, mereka hendak menggempur tentara Jepang. Pada 30 Desember 1945, diadakanlah rapat antara Gubenur Sumatra dengan pemuka rakyat bertempat di rumah asisten residen. Sepanjang jalan dipenuhi oleh laskar rakyat yang membawa aneka senjata tajam. Mereka berjalan sambil melantunkan kalimat syahadat dan ayat-ayat Al- Qur’an. “Keadaan suasana waktu itu sangat seram dan tegang, seolah-olah hendak menyerbu saja tentara Jepang yang kejam itu,” kata Hasan.Setelah dengar pendapat, Hasan berkesimpulan pertempuran dengan Jepang buang-buang tenaga dan waktu. Tengah hari, Hasan berangkat dari Langsa menuju Kuala Simpang untuk berunding dengan Sawamura. Reaksi Sawamura tidak disangka-sangka. Dia tetap bersikukuh agar senjata Jepang dikembalikan. Sawamura lantas memanggil opsir-opsirnya dan memberikan perintah. Seorang kolonel yang bertugas sebagai penerjemah memberi tahu Hasan bahwa Sawamura marah. Ultimatum dilontarkan: besok pagi pukul 6 meriam-meriam akan ditembakan ke Kota Langsa sampai hancur. Hasan melobi pihak Jepang untuk mengulur waktu. Waktu tambahan diberikan hingga pukul 12 untuk pengembalian senjata. Kembali ke Langsa, Hasan bertindak cepat. Dia meminta komandan TKR dan kepala polisi setempat untuk mencari beberapa pucuk senapan rampasan, lalu menyerahkannya langsung kepada Sawamura. Hasan juga membujuk Hasan Ibrahim agar menyerahkan senjata yang dirampas oleh para laskar. Mendengar anjuran Hasan, Ibrahim menyadari bahaya yang akan menimpa Kota Langsa. Dia berjanji menyerahkan beberapa pucuk senjata kepada Hasan untuk dikembalikan kepada pihak Jepang. Pagi hari, tanggal 31 Desember 1945, sudah terkumpul puluhan pucuk senapan di kediaman Hasan. Pukul 9 pagi, semua barang itu diantar oleh staf Hasan, Abdul Xarim MS ke Kuala Simpang. Sebelum jam 12, sampailah senjata rampasan itu kepada pihak Jepang. Kepada rakyat di Langsa, Hasan memberi penjelasan tentang keputusannya untuk mengembalikan senjata rampasan. Maka terhindarlah Kota Langsa dari amukan balatentara Jepang.
- Pencarian Minyak di Kutai Kartanegara
JACOBUS Hubertus Menten seorang pensiunan Dinas Pertambangan Belanda. Dia pernah bekerja di Kalimantan Timur, Buitenzorg (sekarang Bogor), dan Sumatra (1860—1882). Dia bisa saja kembali ke negerinya menikmati masa pensiun, tetapi minyak Kalimantan Timur membuatnya penasaran sehingga harus tinggal lebih lama di koloni.
- Warisan Habibie untuk Indonesia
INDONESAI baru saja beduka. Bangsa ini kembali harus kehilangan salah satu putra terbaiknya . Rabu (11/9), pukul 18.05 WIB di Rumah Sakit Gatot Subroto, Bacharuddin Jusuf Habibie tutup usia. Menurut keterangan Thareq Kemal Habibie, putra kedua Habibie, penurunan fungsi jantung menjadi sebab Habibie meninggal. Ucapan duka cita untuk Presiden RI ke-3 itu terus berdatangan dari seluruh lapisan masyarakat. Di lini masa Twitter doa terus mengalir dari warganet. Melalui akun pribadinya @jokowi , Presiden Joko Widodo pun ikut mengirim . “Bangsa ini kehilangan seorang putra terbaik, yang hidupnya didedikasikan bagi kemajuan Indonesia. Semoga kita dapat melanjutkan cita-cita Pak Habibie membawa Indonesia menjadi bangsa yang maju,” tulisnya. Presiden Joko Widodo saat melepas jenazah B.J. Habibie (Fernando Randy/Historia) Semasa menjabat presiden, Habibie berusaha sekuat tenaga melakukan stabilisasi di dalam negeri. Kekacauan yang diwariskan pemerintah sebelumnya menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi Habibie. Ia pun menyelesaikannya dengan mengeluarkan sejumlah kebijakan penting, yang dampaknya masih bisa kita rasakan hingga hari ini. Demokratisasi Pemilihan Umum Tertutup. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan pemilihan kepala negara dan para pendampingnya semasa Soeharto menjabat sebagai presiden RI. Keadaan yang telah puluhan tahun dirasakan masyarakat ini berakhir setelah Habibie dengan berani menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu). Baginya pemilu merupakan wujud demokrasi yang sesuai dengan nilai dasar Indonesia. “Sebab, pemilu adalah cara terpenting untuk menyelamatkan dan merehabilitasi bangsa akibat peroalan-persoalan berat. Karena itu, saya benar-benar berharap agar pemilu dapat berlangsung dengan jujur, adil, dan demokratis mengingat begitu sentralnya peran pemilu,” kata Habibie dalam otobiografinya Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia menuju Demokrasi . Habibie juga menghapus peran Menteri Dalam Negeri sebagai penyelenggara pemilu, dan menggantinya dengan mendirikan lembaga politik yang demokratis, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU). Selain itu Pegawai Negeri, TNI, dan POLRI diatur supaya tidak memihak kepada salah satu kekuatan. Peningkatan Peran Legislatif Pada era Pemerintahan Habibie, presiden bersama pimpinan DPR dan pimpinan fraksi dapat mengatur suatu agenda pertemuan. Secara bergantian, mereka akan melaksanakan jajak pendapat di Istana Negara dan Gedung DPR/MPR. Langkah itu, menurut Habibie, ditempuh agar kebijakan-kebijakan pemerintah dapat segera diketahui oleh anggota DPR, maupun sebaliknya pemerintah dapat cepat memproleh masukan dan pengawasan dari DPR. “Pemerintah menyambut baik digunakannya hak-hak DPR seperti hak inisiatif dalam mengajukan Rancangan Undang-Undang dan hak untuk meminta keterangan dari pemerintah untuk mendapatkan penjelasan secara langsung dari Presiden di depan Sidang Paripurna DPR, sebagaimana telah dilaksanakan pada 21 September 1999,” ungkap Habibie. Pemulihan Ekonomi Krisis yang melanda negeri pasca pemerintahan Orde Baru dianggap sebagai pekerjaan terberat pemerintahan Habibie. Dalam Reformasi Visi dan Kinerja BJ Habibie karya A. Watik Pratiknya, dkk dikatakan bahwa sejak Habibie pertama membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan, upaya memulai proses pemulihan ekonomi nasional telah dilakukan. Pemerintahan Habibie berusaha keras mencegah krisis di tahun-tahun sebelumnya terulang kembali. “Untuk mendukung terwujudnya perekonomian nasional tersebut, dan sejalan dengan tantangan perkembangan dan pembangunan ekonomi yang semakin kompleks, maka sistem keuangan yang semakin maju perlu dikembangkan. Kebijakan moneter harus dititikberatkan pada upaya memelihara stabilitas nilai rupiah,” kata Habibie. Satu kebijakan utama yang diambil oleh Habibie untuk mengatasi persoalan ini adalah memperkuat kedudukan Bank Indonesia (BI). Melalui UU No. 23 Th. 1999 BI mendapat kekuatan mengatur pengendalian jumlah uang yang beredar dan penetapan suku bunga. Berkat itu, kondisi ekonomi di Indonesia perlahan membaik. Bahkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika pernah menyentuh angka kurang dari Rp. 6. 500,00 pada era itu. Membuka Keran Kebebasan Pers Selain pemulihan ekonomi makro, era pemerintahan Habibie juga diakui sebagai salah satu tonggak terpenting dalam terbebasnya pers dari kekangan penguasa. Bila sebelumnya banyak lembaga pers yang merasa takut mengungkap data dan fakta, pada masa Habibie mereka mendapat hak untuk bersuara. Keran kebebasan pers di Indonesia ini diakui oleh Stanley Roth, Asisten Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (1997-2001), sebagai langkah terpenting Habibie dalam merealisasikan gagasan reformasi yang sedang dibangun oleh bangsa Indonesia. “Pers yang merdeka, bermoral, dan professional diharapkan dapat memelihara dinamika masyarakat yang tercermin pada keseimbangan pemerintaan informasi antara pelaku pembuat kebijakan dengan pembentuk pendapat publik, baik perorangan maupun organisasi,” ungkap Habibie. Pemanfaatan BUMN Habibie menempatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai salah satu pemecah masalah ekonomi masa reformasi. Ia berusaha memberdayakan BUMN agar dapat berkontribusi dalam mengeluarkan Indonesia dari krisis yang saat itu sedang melanda. Upaya pertama Habibie dalam mereformasi BUMN ini adalah dengan membuat tiga kebijakan pokok, yaitu restrukturisasi (peningkatan daya saing perusahaan melalui penajaman fokus bisnis), profitisasi (peningkatan efesiensi perusahaan hingga nilai yang optimum), dan privatisasi (peningkatan kepemilikan kepada masyarakat dan swasta asing guna terbukanya pendanaan, pasar, dsb). Habibie berusaha menciptakan perusahaan Indonesia yang berdaya saing dan berdaya cipta tinggi. “Jika program swastanisasi BUMN dan optimalisasi penerimaan pajak dapat kita lakukan dengan efisien dan berkesinambungan, maka Indonesia secara bertahap akan mampu mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri, dan bahkan mampu membiayai pembangunan secara lebih mandiri,” kata Habibie. Otonomi Daerah Pemerataan pembangunan kembali menjadi duri di era kekuasaan Habibie. Sejak masa kepemimpinan Presiden Soeharto, yang memang menjadikan pembangun merata sebagai program utamanya, penyelesaian masalah ini tidak kunjung usai. Pemerintah menginginkan pembangunan tidak hanya dinikmati oleh sekelompok masyarakat dalam wilayah tertentu saja. Namun dalam prakteknya hal itu sangat sulit terwujud. Menanggapi permasalah ini, Habibie membuat usulan agar secepatnya dibuat undang-undang baru yang dapat mendorong inisiatif pembangunan dari tatanan terendah dan memperkuat peran politisi lokal di dalam mengatur rumah tangganya sendiri. Akhirnya dibentuk undang-undang baru yang menjelaskan hakikat otonomi di Indonesia yang bentuk negaranya kesatuan, yakni UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah. “Kedua undang-undang ini sungguh merupakan terobosan pemerintahan BJ. Habibie untuk mengatasi persoalan-persoalan yang selama ini membelenggu daerah untuk mengembangkan otonominya,” tulis Watik, dkk. Perlindungan Konsumen dan Usaha Rakyat Satu dari sekian banyak agenda reformasi yang disusun Habibie adalah memulai langkah-langkah untuk membangun sistem ekonomi kerakyatan. Sasaran dari program itu adalah memperkuat dasar ekonomi rakyat (pengusaha kecil dan menengah), yang memang menjadi kekuatan bagi dunia usaha. Pada masa Habibie, program pemerintah tentang ekonomi rakyat baru menyentuh permukaannya saja. Pelaku usaha dan koperasi, bahkan masyarakat belum banyak yang menerima dampaknya saat itu. Namun konsep dasar yang dibawa oleh Habibie dan jajarannya saat itu terus berkembang dan akhirnya dapat dirasakan hari ini. Guna menjaga program ekonomi rakyat terus berjalan baik, Habibie mengesahkan undang-undang untuk mengaturnya. Dalam UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, Habibie berusaha mencegah terjadinya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku ekonomi tertentu. Untuk melindungi kebutuhan konsumen, pemerintahan Habibie mengesahkan UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang mewajibkan produsen mencantumkan informasi yang lengkap tentang produk yang dihasilkannya. Kebebasan Berpendapat Bebas mengutarakan pendapat menjadi hal yang tabu pada era Orde Baru. Mereka yang dianggap berbeda dengan pemerintah akan dicap pemberontak. Tak ayal banyak tokoh yang ditangkap saat itu. Wujud lain dari terkekangnya rakyat dengan aturan berpendapat ini adalah kewajiban para abdi negara mendukung Golongan Karya (Golkar). Habibie berusaha menghindari kemungkinan terburuk dari dosa masa lalu itu. “Peralihan dari suatu sistem otoriter ke suatu sistem demokrasi yang bertanggung jawab dan berbudaya, secara damai dalam waktu sesingkat-singkatnya, adalah satu-satunya jalan yang meyakinkan untuk menyelesaikan masalah multikompleks dan implementasi program reformasi yang sedang kita hadapi dan harus lalui,“ ucap Habibie. Pada masa ini rakyat telah bebas mendirikan organisasi tanpa perlu menghadapi peraturan yang memberatkan. Menurut Habibie, masyarakat Indonesia diberikan kebabasan mengutarakan pendapat, sepanjang tidak mengganggu ketertiban umum, dan dalam batas hukum yang diatur konstitusi. Demi memperkuatnya, Habibie mengesahkan UU No.9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyempaikan Pendapat di Muka Umum. Berkat kebebasan berpendapat ini jugalah partai-partai politik bermunculan. Habibie menyerukan agar semua orang berlomba-lomba membentuk partai dan mengikutsertakannya ke dalam pemilihan umum 1999. Terbukti, sebanyak 48 partai politik mengikuti pemilu tersebut. Permasalahan Aceh Habibie mencoba membuat kunci penyelesaian berbagai konflik, melalui peraturan konkret berdasarkan hukum berkeadilan, yang diyakini akan terus muncul selama negara ini berdiri. Ia ingin segala macam konflik kebangsaan diselesaikan secara demokratis, terbuka, dan bermartabat. Untuk itu Habibie memulainya dengan menyelesaikan permasalahan di Aceh. “Saya mengajak seluruh masyarakat Aceh untuk menyelesaikan semua persoalan secara damai, demokratis, transparan, tulus, adil dan beradab, dengan tetap memelihara persatuan dan kesatuan bangsa,” ucap Habibie. Masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Aceh memang menjadi soal sejak era pemerintahan Soeharto. Untuk mengatasinya, Habibie membentuk Komisi Independen Pengusutan Tindakan Kekerasa di Aceh. Pemerintahannya mencoba memerhatikan aspirasi masyarakat Aceh tentang berbagai masalah di daerahnya. Selain itu, melalui UU No.44 tentang Keistimewaan Provinsi Istimewa Aceh rakyat di sana memperoleh keleluasaan yang luas untuk mengurus sendiri kehidupan keagamaan, pendidikan, dan adat istiadat. Kebijakan otonomi daerah pada era ini juga membantu masyarkat Aceh mengembangkan kehidupannya. Menyelenggarakan Rekonsiliasi Upaya Habibie membuka jalan demokrasi di Indonesia dilakukan dengan membebaskan para tahanan politik (tapol) Orde Baru. Dalam B.J. Habibie Si Jenius: Sehimpun Cerita, Cita, dan Karya , Jonar T.H. Situmorang menyebut jika langkah Habibie memberikan amnesti dan abolisi kepada mereka yang diasingkan pemerintahan sebelumnya merupakan langkah penting menuju keterbukaan dan rekonsiliasi. Habibie tidak membebaskan para tapol itu dalam waktu yang bersamaan. Pada 22 Mei 1998, amnesti diberikan kepada Sri Bintang Pamungkas (dipenjara karena mengkritik Soeharto), Mochtar Pakpahan (dipenjara karena dianggap memicu kerusuhan Medan tahun 1994), para aktivis petisi 50, para tarahan insiden Tanjung Priok, mantan jenderal, mereka yang dianggap PKI, dsb. Pada 10 Juni 1998 giliran para demonstran yang menentang kebijakan Orde Baru di Timor Timur dibebaskan. Pada 24 Juli 1998, 50 tapol, termasuk terduga pelaku pemberontakan PKI, dibebaskan. Sementara para tokoh Partai Rakyat Demokratik (PRD), seperti Budiman Sudjatmiko, Dita Indah Sari, dan pemimpin gerakan kemerdekaan Timor Leste Xanana Gusmao dibebaskan ikut dibebaskan pula. Khusus untuk PRD, para aktivisnya dibebaskan setelah partai itu secara terbuka menerima Pancasila.
- Mencari Sriwijaya di Jambi
Beberapa ahli ragu kalau pusat Kedatuan Sriwijaya ada di Palembang. Mereka yakin lokasi Sriwijaya harus dicari di Jambi. Salah satunya arkeolog R. Soekmono yang mengemukakan pendapatnya dua kali dalam dua seminar berbeda. Pada 1958, Soekmono menyampaikannya lewat tulisan “Tentang Lokasi Sriwijaya” yang terbit dalam Laporan Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional I . Pendapatnya kembali dia perkuat pada 1979 lewat tulisan “Sekali Lagi Tentang Lokasi Sriwijaya” di Pra Seminar Penelitian Sriwijaya . Berdasarkan kajian geomorfologis, dalam tulisannya itu, dia menyimpulkan kalau Sriwijaya tak tepat berlokasi di Palembang sekarang. Namun, lebih tepat di Jambi, di tepian Sungai Batanghari. Menurutnya, letak Jambi istimewa. Lokasinya ada di dalam teluk yang dalam dan terlindung. Namun, ia langsung menghadap ke lautan lepas tempat persimpangan jalan pelayaran antara Laut Cina Selatan di timur, Laut Jawa di Tenggara, dan Selat Malaka di barat laut. “Maka dibanding dengan Palembang dahulu. Jambi memiliki unsur-unsur yang lebih menguntungkan untuk menjadi pusat kegiatan kerajaan maritim Sriwijaya itu,” tulis Soekmono. Pendapat Soekmono sepertinya tak mendapat pembuktian lebih lanjut. Banyak ahli yang kemudian tetap percaya bahwa ibu kota Sriwijaya berada di Palembang. Padahal, bukan hanya Soekmono yang berpendapat bahwa Sriwjaya berlokasi di Jambi. Sejarawan O.W. Wolters berpendapat Sriwijaya sempat berpindah ibu kota dari Palembang ke Jambi. Berdasarkan kajian ulang terhadap sumber-sumber yang ada, Wolters berkesimpulan bahwa antara 1079 dan 1082 pusat Sriwijaya pindah ke Jambi sekarang. Sementara pemikiran yang terbaru meyakini kalau ibu kota Sriwijaya berada di Jambi sejak awal berdiri hingga keruntuhannya pada abad ke-12. Dengan kata lain, ibu kota Sriwijaya tak pernah berpindah. Arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar dalam Kaladesa menjelaskan, hipotesis itu sebenarnya mendukung pendapat Soekmono. Pendapat Agus didasarkan pada catatan biksu Tiongkok, I-Tsing. Ketika singgah di Sriwijaya, dia menyaksikan ada ribuan biksu yang belajar di kota Foshi. I-Tsing pun menganjurkan agar para pendeta Tiongkok untuk belajar terlebih dulu bahasa Sanskerta di Sriwijaya sebelum melanjutkan ziarah ke India. Berita I-Tsing itu didukung oleh temuan arkeologis di situs Muarojambi. Di sana, terdapat gugusan monumen Buddhis dengan kolam buatan, saluran air, bukit buatan simbol Mahameru (Bukit Perak), fragmen arca pantheon Buddha, dan ribuan pecahan keramik Tiongkok. Kesaksian I-Tsing menunjukkan adanya aktivitas agama Buddha yang luas dan ramai. Menurut Agus, ribuan biksu itu harus meminta sedekah makan sehari dua kali kepada penduduk desa. Artinya, di dekat pusat keagamaan Muarojambi harus ada permukiman penduduk yang ramai atau kota sehingga dapat menyongkong kegiatan para biksu. “Kota besar itu tidak lain adalah Sriwijaya,” tulis Agus. Di Sriwijaya pun, menurut I-Tsing, seseorang yang berdiri tidak mempunyai bayangan. Itu berarti matahari tepat di atas kepala. Sementara di Palembang, seseorang masih punya bayangan jika berdiri di tengah hari. “Tidak ada bayangan apapun, apalagi jika orang itu berdiri di situs Bukit Perak yang terletak di ujung rangkaian paling barat gugusan monumen Buddha di situs Muarojambi,” tulis Agus. Jambi, lanjut Agus, merupakan kawasan pilihan dalam konsep Buddhisme. Beberapa toponimi dapat dikaitkan dengan konsep keagamaan. Misalnya, Sungai Batanghari yang berarti sungai milik Avalokiteswara. “Kata hari berasal dari mantra pemujaan kepada Avalokiteswara yang berbunyi ' hrih …',” lanjutnya. Salah satu aspek Awalokiteswara ialah Hariharihariwahanodhbawa-Lokeswara. Ia merupakan Dhyani Bhoddisattwa dalam agama Buddha Mahayana yang dipuja oleh kaum Tantra. Nama Sungai Batanghari jelas berasal dari pemujaan Awalokiteswara Dhyani Bhoddisattwa yang welas asih. “Dapat diibaratkan bahwa aliran Sungai Batanghari yang tidak pernah berhenti mengalir seakan-akan mantra yang terus menerus dikumandangkan untuk memujanya,” tulis Agus. Adapun kata jambi atau jambe adalah nama lain tanaman pinang. Dalam kajian relief candi Jawa Kuno, diketahui kalau penggambaran pohon pinang penting dalam pemujaan dewa. Menurut Agus, pohon pinang atau jenis tanaman yang mirip dengan tal sangat disenangi para dewa. Berdasarkan mitologi, kekuatan dewa-dewa dapat bersemayan di daun tal. Karenanya, ketika para pujangga mengguratkan karya sastranya, pohon pinang, enau, kawung, lontar, dan sejenisnya dapat dianggap sebagai penghubung antara dunia manusia dan dewa-dewa. Dengan begitu, jika suatu daerah banyak ditumbuhi pohon pinang dan sejenisnya, maka daerah itu dianggap akan menjadi kesenangan para dewa. Di daerah itulah kekuatan dewata dapat turun naik dari bumi ke dunia kedewataan. “Jadi, Jambi merupakan kawasan yang dipilih bagi pengembangan agama Buddha pada zaman Sriwijaya di Sumatra, bahkan di Asia Tenggara,” tulis Agus. Ditambah lagi, di Pulau Sumatra tak ada kompleks bangunan suci Buddha seluas Muarojambi. "Karenanya, pusat Sriwijaya haruslah berlokasi di Jambi, tak jauh dari pusat keagamaan, Situs Muarojambi," tulis Agus. Sementara itu, Palembang kedudukannya pada masa itu sama dengan Bangka, Lampung, dan daerah Merangin, Jambi. Semuanya didatangi oleh balatentara Sriwijaya untuk kemudian dikuasai dan ditancapkan prasasti Jayastambha . Isinya, kutukan bagi siapapun yang coba-coba melawan raja. “Raja Sriwijaya tidak pernah mengeluarkan Jayastambha yang mengutuk penduduk kotanya sendiri,” tulis Agus.
- Gelegar Senjata Biologis Cacar
Sebelum vaksinnya ditemukan, penyakit cacar amat mematikan. Daya mematikannya makin bertambah karena virusnya mudah menyebar. Wabah cacar pun menjadi teror mengerikan bagi penduduk. Kengerian inilah yang dimanfaatkan para komandan perang untuk melemahkan pasukan lawan. Pada awal abad ke-14, tentara Tartar melempari musuhnya dengan mayat penderita cacar untuk melemahkan lawan. Praktik ini jadi salah satu contoh penggunaan cacar sebagai senjata biologis untuk membunuh sebagian besar populasi. Dalam “Smallpox: a Disease and a Weapon”, fisikawan Rusia Dr. Ken Alibek menyebut cacar dijadikan senjata biologis dalam perang antara Prancis dan Inggris di Amerika Utara (kini Kanada) pada 1754-1767. Sebagian penduduk Indian di Amerika Utara berada di pihak Prancis. Banyaknya pasukan dari pihak Prancis membuat Inggris putar otak untuk mencari siasat. Dalam laporan kepada atasannya Colonel Hendry Bouquet di Markas Philadelphia, pemimpin Fort Pitt Kapten Inggris Simeon Ecuyer menyatakan keadaan Inggris di Amerika Utara terdesak. Rumahsakit di Fort Pitt sedang sibuk menangani kasus cacar. Sementara, benteng di Fort Pitt berhasil diduduki pribumi (Indian) dan Prancis. Bouquet kemudian meneruskan laporan ini ke Sir Jeffery Amherst, panglima pasukan Inggris di Amerika Utara. Amherst yang berdarah dingin langsung membalas surat itu. “Apakah ada kemungkinan untuk menyebarkan cacarnya ke orang-orang Indian? Dalam situasi ini kita harus menggunakan segala strategi untuk melemahkan mereka,” kata Amherst dalam suratnya, dikutip History.com. “Bagaimanapun, saya akan menjaga diri sendiri supaya tidak tertular,” balas Bouquet dalam suratnya, menyanggupi perintah Amherst. Para serdadu Inggris lalu ditugaskan mendistribusikan selimut bekas penderita cacar dari rumahsakit ke penduduk Amerika. Cacar pun mewabah. Orang Amerika yang tidak pernah bersinggungan dengan cacar, tidak punya imunitas. Epidemi ini membunuh setengah dari populasi. Cacar juga digunakan sebagai senjata selama Perang Revolusi Amerika pada 1775-1783. Selama musim dingin 1775, tentara Amerika berusaha membebaskan Quebec dari pengaruh Inggris. Setelah berhasil merebut Montreal, usaha ini hampir berhasil. Namun pada Desember 1775, pempimpin pasukan Inggris mengirim warga yang terkena cacar untuk menulari pasukan Amerika. Cara ini berhasil membunuh 10 ribu orang Amerika. Wabahnya menimbulkan kekacauan. Ancaman cacar sebagai senjata biologis baru bisa diredam ketika dokter Inggris Edward Jenner menemukan vaksin cacar pada Mei 1796. Jenner menemukan seorang pemerah susu bernama Sarah Nelms yang terserang cacar sapi. Sarah punya bintil-bintil cacar sapi di tangan dan lengannya. Ketika merawat Sarah, Jenner mengambil kesempatan untuk menguji teorinya. Jenner mengambil nanah cacar sapi di lengan sarah dan memindahkannya (inokulasi) ke tubuh James Phipps, anak tukang kebunnya yang baru berumur delapan tahun. James lalu mengalami demam ringan dan bintil-bintil di sekitar area yang diberi nanah cacar sapi. Namun setelah beberapa hari, anak itu pulih. Dua bulan kemudian, Jenner kembali menginokulasi James pada kedua lengan dengan bahan dari cacar. Teorinya terbukti, James tidak merasakan efek apa pun. Anak itu sudah kebal terhadap cacar. Dalam “Smallpox as Biological Weapon”, Donald A Handerson, dokter yang melakukan kampanye internasional pemberantasan cacar bersama rekan-rekannya, menyebut Uni-Soviet berusaha mengolah virus cacar selama 1930-an. Dengan melakukan serangkaian percobaan, pada 1980-an pemerintah Uni Soviet mencanangkan program produksi virus cacar dalam skala besar. Mereka berencana membuat bom cacar atau misil balistik antarbenua. Program ini tidak berhasil karena kekurangan dana. Pertentangan pada penggunaan cacar sebagai senjata biologis muncuat pada 1967. WHO pada 1980 menyarankan agar seluruh negara berhenti mengembangkan virus cacar. WHO kemudian merekomendasikan agar seluruh virus dihancurkan pada Juni 1999. Negara yang meneliti cacar sebagai senjata biologis diminta menyerahkan seluruh sampel virus cacar ke WHO atau mengirimnya ke lembaga yang ditunjuk, seperti Institute of Virus Preparation Laboratories di Moskow, Rusia atau Centers for Disease Control and Prevention di Atlanta, Amerika Serikat.
- Habibie Disayang Lalu Tidak Diacuhkan
Habibie terkenal karena kejeniusannya. Hal itu pula yang membuat Soeharto tertarik padanya. Ketika pulang dari Jerman tahun 1974, Habibie diminta membantu pembangunan industri. Dia diserahi tanggung jawab membangun industri pesawat di Industri Pesawat Terbang Nusantara/IPTN (kini PT Dirgantara Indonesia/PT DI). Selain itu, Habibie juga dipercaya mengelola industri-industri strategis: Galangan kapal, senjata ringan, pemetaan dari udara oleh Angkatan Udara, baja, pusat reaktor energi nuklir, dan pembentukan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). “Tahun 1974, ketika Habibie kembali ke Indonesia dari Jerman, Presiden Soeharto menganggapnya sebagai seorang genius yang harus dilindungi demi masa depan Indonesia. Soeharto menugaskan Benny untuk menjaga Habibie,” kata Jusuf Wanandi dalam bukunya Menyibak Tabir Orde Baru . Sejak itu, karier Habibie terus naik. Dia makin dekat dengan Soeharto. Bahkan menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi selama 20 tahun dari 1978 hingga 1998. “Habibie sudah menggantikan Benny sebagai orang yang paling didengar Soeharto,” sebut Jusuf Wanandi. Setelah menjabat menteri, Habibie pun hendak dicalonkan sebagai wakil presiden oleh Soeharto. Bahkan keinginan Soeharto itu sudah sejak Pemilu 1983. Pemilu di era Orde Baru biasanya bukan ramai karena pemilihan presiden baru, melainkan karena siapa calon wakil presidennya. Pemilihan Habibie sebagai wakil presiden pun demikian. Sofjan Wanandi, pengusaha yang pernah dekat dengan Soeharto adalah salah satu yang ‘bergerilya’ mengusulkan wakil presiden lain. Dia mendatangi beberapa tokoh, seperti Wiranto yang saat itu menjabat Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Panglima Kostrad Letjen TNI Soegijono, dan Komandan Kopassus Mayjen TNI Prabowo Subianto. Ketika menemui Prabowo misalnya, Sofjan mengatakan kalau wakil presiden yang paling baik adalah perwira ABRI. “Kalau memang mau ABRI lagi, orang yang paling tepat adalah Sudharmono karena dia mantan wakil presiden. Kalau mau yang lebih muda, beri kesempatan kepada Pak Try Sutrisno. Tapi kalau yang lebih muda lagi, kasihlah ke Pak Wiranto,” kata Sofjan dalam Sofjan Wanandi dan Tujuh Presiden. Namun, Prabowo justru mengatakan bahwa ABRI akan mengusulkan Habibie sebagai wakil presiden. Tahun 1998, Habibie menjadi wakil presiden di masa krisis. Baik krisis moneter maupun krisis politik. Rakyat menuntut Soeharto mundur. Sedangkan Soeharto masih tetap ingin jadi presiden. Pada sebuah pertemuan di Cendana, 20 Mei 1998, Soeharto mengatakan pada Habibie bahwa dia hendak mengundang DPR/MPR ke Istana Merdeka untuk menyampaikan pengunduran dirinya sebagai presiden setelah Kabinet Reformasi dilantik. Namun, Soeharto sama sekali tidak menyinggung sama sekali kedudukan Habibie sebagai wakil presiden. “Apa yang sebenarnya dikehendaki Pak Harto tentang saya? Apakah saya juga diminta ikut mundur? Pertanyaan ini muncul karena pernyataan Pak Harto sehari sebelumnya di hadapan sejumlah tokoh masyarakat seolah 'meragukan' kemampuan saya. Demikian sejumlah pertanyaan berkecamuk di benak saya,” ungkap Habibie dalam Detik-Detik yang Menentukan . Setelah beberapa saat diam, Habibie pun terpaksa bertanya, “Pak Harto, kedudukan saya sebagai Wakil Presiden bagaimana?” “Terserah nanti. Bisa hari Sabtu, hari Senin, atau sebulan kemudian, Habibie akan melanjutkan tugas sebagai Presiden,” jawab Soeharto spontan. Habibie tak menduga jawaban Soeharto tersebut. Dia berpikir mana mungkin sempat terjadi kevakuman dalam pimpinan negara. Namun, dia memilih mengalihkan pembicaraan yang dianggapnya “tidak lazim” itu. Masih di malam yang sama, sekitar pukul 11 malam, semuanya berubah. Di rumahnya, Habibie baru saja menggelar Sidang Ad Hoc terbatas Kabinet Pembangun IV. Habibie menghubungi Soeharto hendak melaporkan hasil sidang. Namun Soeharto ternyata enggan berbicara dengan Habibie. Menteri Sekretaris Negara Saadilah Mursyid justru memberi kabar mengejutkan. Bahwa esok hari pukul 10.00 pagi, Soeharto akan mundur sebagai presiden. Tanggung jawab diserahkan kepada wakil presiden. Habibie sangat terkejut. Dia meminta bicara langsung dengan Soeharto namun tidak dikabulkan. Semalaman, Habibie tak bisa tidur. Esoknya, pertemuan yang direncanakan di Cendana tidak terlaksana. Pertemuan empat mata direncanakan lagi di Istana Merdeka. Namun, ketika Habibie menunggu bertemu, justru Ketua Mahkamah Agung dan anggotanya yang diminta ke ruangan Soeharto. Setelah itu, giliran Ketua DPR/MPR yang dipersilakan menemui Soeharto. “Perasaan saya makin penuh dengan kekecewaan, ketidakadilan, dan ‘penghinaan’, sehingga kemudian saya memberanikan diri untuk berdiri dan melangkah ke Ruang Jepara ingin bertemu langsung dengan Presiden Soeharto,” ungkap Habibie. Namun, tepat ketika sampai di depan pintu ruangan, pintu itu terbuka dan Soeharto keluar. “Saya tercengang melihat Pak Harto melewati saya terus melangkah ke ruang upacara dan ‘melecehkan’ keberadaan saya di depan semua yang hadir,” sebut Habibie. Jenazah BJ Habibie saat tiba di Taman Makam Pahlawan Kalibata. (Foto:Fernando Randy/Historia) Pungunduran diri Soeharto sebagai presiden sekaligus upacara pelantikan Habibie sebagai presiden baru itu berlangsung cepat. Soeharto memberi salam kepada Habibie tanpa senyum maupun sepatah kata. Soeharto lalu meninggalkan ruangan. Sejak itu, Habibie tak pernah bertemu Soeharto lagi hingga Soeharto meninggal dunia.
- Habibie Kecil dan Soeharto Muda
BACHARUDDIN Jusuf Habibie tak dibiarkan menunggu terlampau lama di ruang tamu kediaman Soeharto, Jalan Cendana. Hanya berselang beberapa menit setelah tiba pada pukul 7 malam, 28 Januari 1974 itu, ia bersua (kembali) dengan sosok Bapak Pembangunan itu.
- Kekejaman Bangsa Mongol di Rusia
Pada paruh pertama tahun 1200-an, pemimpin Mongol, Batu Khan, cucu Jenghis Khan, menaklukkan bagian-bagian Rusia modern, Eropa Timur, dan Kaukasus. Dia menambahkan wilayah-wilayah itu ke kawasan yang kemudian dikenal sebagai Golden Horde atau Kekhanan Mongol-Turki. Batu Khan menyapu ke barat dengan pasukan 130.000 tentara. Bagi kota-kota yang berada di jalurnya, satu-satunya pilihan adalah menyerah atau disembelih. Smolensk, salah satu kota di Rusia, memilih menyerah dan membayar upeti kepada Khanate. Namun, 18 kota lain, termasuk Moskow dan ibu kota kerajaan itu, yang pada saat itu memerintah Yaroslavl, jatuh ke dalam api dan kibasan pedang. Banyak orang mati mengenaskan dalam serangan itu. Mereka lalu dimakamkan di kuburan massal. Para ahli kemudian menghubungkan peristiwa brutal itu dengan situs di Yaroslavl, Rusia. Beberapa tahun lalu, sebuah kuburan massal penuh dengan mayat ditemukan di sana.Salah satu liang kuburan masal yang berusia 780 tahun itu berisi 15 korban. Dari hasil tes DNA yang awal September 2019 dipublikasikan oleh Moscow Institute of Physics and Technology dan Russian Academy of Sciences Institute of Archaeology, terbukti bahwa pembantaian itu terjadi pada seluruh keluarga: seorang nenek (55 tahun atau lebih), putrinya berusia (30-40 tahun), dan cucunya, seorang pemuda (sekira 20 tahun). "Selain menciptakan kembali gambaran jatuhnya seluruh kota pada 1283, kita sekarang melihat tragedi satu keluarga," kata Asya Engovatova dari Institute of Archaeology, RAS, lewat laman resmi Moscow Institute of Physics and Technology . “Analisis DNA telah menunjukkan bahwa masih ada individu-individu yang terkait secara genetik yang mewakili tiga generasi.” Penemuan Kuburan Massal Yaroslavl hancur selama pasukan Batu Khan berperang melawan Grand Duchy of Vladimir pada awal abad ke-13. Skala kehancuran pun menjadi jelas dengan temuan ini. Berawal dari penggalian di situs gereja emas Assumption Cathedral di kota Yaroslavl yang dibangun pada abad ke-13 dan dihancurkan pada 1937. Katedral itu dipulihkan kembali pada 2004-2010. Lebih dari lima tahun, sembilan kuburan massal digali. Di dalamnya, lebih dari 300 orang dimakamkan. Mereka mati akibat kekerasan. Jumlah ini lebih banyak daripada di kota-kota lain yang juga porak poranda dalam ekspedisi Mongol itu. Laman The Sun melaporkan, tulang belulang yang ditemukan membawa tanda-tanda bekas tertusuk dan terpotong. Beberapa tulang juga menunjukkan tanda-tanda pembakaran menunjuk ke bekas-bekas api yang menghancurkan kota. Pada 2005, kuburan massal yang diidentifikasi sebagai No. 76 ditemukan. Letaknya di tengah benteng kota Yaroslavl. Di sana, jenazah dimakamkan di lubang dangkal di areal rumah yang dibakar selama penyerangan. Dari sisa bangunan dan artefak yang tertinggal, diketahui pemiliknya punya status sosial yang tinggi. Bukti kekayaan keluarga yang terbunuh itu salah satunya terlihat dari gigi mereka. Gigi-gigi mereka menunjukkan kerusakan yang lebih parah dibandingkan orang-orang di kota lainnya. Itu pertanda bahwa keluarga itu mengkonsumsi gula dan madu secara teratur. Hanya orang berstatus tinggi yang mampu begitu. Kuburan itu secara khusus menarik perhatian para peneliti karena digali dengan sengaja. Sementara kuburan massal lain di dekatnya terletak di ruang bawah tanah rumah dan bangunan kecil di dekat rumah yang terbakar. Pemakaman semacam itu, menurut para ahli, bertentangan dengan norma yang berlaku pada masanya. Itu tidak mematuhi ritual. Lima belas orang yang dimakamkan di lubang dangkal terbaring dalam berbagai pose. Beberapa mayat telah membusuk dengan kondisi yang buruk pada saat mereka dikebumikan. Pemandangan ini menunjukkan bahwa mereka telah dikubur dengan asal-asalan. Itu terutama untuk alasan sanitasi. Buktinya ada banyak belatung terawetkan di sekitar sisa-sisa mayat. Indikasinya, lalat bertelur di atas mayat dalam cuaca hangat. Mayat-mayat itu mungkin kemudian membusuk di tempat terbuka selama berbulan-bulan sebelum dikuburkan. "Orang-orang ini terbunuh, dan tubuh mereka tetap terbaring di salju untuk waktu yang cukup lama," kata Asya Engovatova."Pada bulan April atau Mei, lalat mulai berkembang biak dan pada akhir Mei atau awal Juni, mereka dimakamkan di sebuah lubang di rumah, yang merupakan tempat di mana mereka mungkin tinggal.” Pekerjaan penggalian di Yaroslavl dari 2005 hingga 2006 itu pun akhirnya memastikan kalau pembantaian terjadi pada Februari 1238. Penaklukkan Batu Khan itu, menurut Asya, adalah tragedi nasional terbesar. Ini melampaui peristiwa lainnya dalam hal kekejaman dan kehancuran. Menurut Asya bukan kebetulan peristiwa itu masuk di antara beberapa peristiwa yang kemudian menjadi cerita rakyat Rusia. "Apa yang sekarang kita ketahui tentang serangan itu menunjukkan bahwa deskripsi kronik tentang 'sebuah kota yang tenggelam dalam darah' bukan sekadar kiasan,” lanjutnya. Padahal beberapa catatan sejarah selama ini mengisahkan masuknya Rusia ke dalam Golden Horde bangsa Mongol dengan jalan damai dan sukarela. Bukti baru ini pun menunjukkan sebaliknya. Kekejaman besar telah dilakukan sebagai bagian dari ekspedisi Mongol. Yaroslavl dan kerajaan yang menaunginya pun harus menghabiskan 250 tahun ke depan sebagai negara bawahan Golden Horde. Namun, bukannya tanpa lebih banyak konflik dan kematian. Sepupu Batu Khan, Mongke Khan, menyapu wilayah itu lagi pada 1257. Diikuti oleh Black Death pada 1278, dan lebih banyak serangan Mongol pada 1293 juga 1322. Wilayah itu kemudian kembali tersapu gelombang Black Death pada 1364.






















