top of page

Hasil pencarian

9594 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Ratu Sima dalam Catatan Tiongkok

    PADA zaman dulu, hiduplah seorang ratu yang memerintah negerinya dengan tegas. Dia diingat dengan nama Ratu Sima. Saking tegasnya, barang yang tergeletak di jalan tak kan ada yang berani mengambilnya.  Penasaran dengan ketegasan sang ratu, Raja Da-zi mengirimkan sebuah tas yang berisi uang. Tas itu diletakkan di perbatasan negara sang ratu. Meski melihat tas itu, orang-orang hanya melewatinya. Tak ada yang berani menyentuhnya. Tas itu tetap di sana hingga tiga tahun lamanya. Suatu hari, putra mahkota tanpa sengaja menyentuh tas itu. Ratu Sima pun marah besar sampai ingin membunuh putranya itu. Namun, dia keburu dicegah para menterinya. “Kesalahanmu terletak di kakimu, karena itu sudah memadai jika kakimu dipotong,” kata sang ratu. Para menteri kembali menghalanginya. Akhirnya, Ratu Sima memotong ibu jari kaki sang pangeran. Dengan sikapnya, dia ingin memberi contoh kepada rakyatnya. Raja Da-zi pun takut dan tak berani menyerang negara sang ratu. Penguasa Kerajaan Ho-ling Begitulah kisah tentang Ratu Sima dalam Catatan Dinasti Tang . Dia merupakan penguasa Kerajaan Ho-ling yang terletak di Jawa bagian tengah. Menurut catatan itu, sang ratu naik takhta pada 674 M. Dengan demikian, Ho-ling menjadi kerajaan pertama di Jawa bagian tengah. Sayangnya, tak begitu banyak sumber sejarah yang menyebutkan soal keberadaannya. Arkeolog Agus Aris Munandar dalam Kaladesa Awal Sejarah Nusantara menerangkan, selama periode awal masa sejarah hingga 700 M, sumber-sumber sejarah Indonesia utamanya berasal dari Tiongkok. Mereka biasanya adalah duta dari raja-raja kepulauan di selatan yang mempersembahkan upeti kepada para kaisar. Soal Ho-ling, berita Tiongkok menyebutkan di Jawa pada sekira abad yang sama dengan berdirinya Kerajaan Tarumanegara terdapat kerajaan lain. Penyebutan Ho-ling seringkali disamakan dengan She-po (Cho-po) atau Jawa. W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa menjelaskan, ada dua versi catatan Dinasti Tang yang menyebut soal Ho-ling. Pertama adalah Sejarah Lama Dinasti Tang (618-907) yang dianggap kurang benar. Sedangkan Sejarah Baru Dinasti Tang berisi informasi yang lebih lengkap terutama soal Jawa. "Nama Jawa sudah mulai menggantikan nama Ka-ling,” tulis Groeneveldt. Mirip dengan penjelasan di Sejarah Lama Dinasti Tang , Ho-ling disebutkan terletak di sebuah pulau di samudra selatan. Posisinya di sebelah timur Sumatra dan di sebelah barat Bali. Jika ke utara menuju Kamboja dan jika ke selatan menuju lautan. Penduduknya membuat pertahanan dengan kayu. Bahkan bangunan terbesar juga ditutupi oleh daun palem. Mereka punya balai-balai dari gading. Pun tikar yang terbuat dari kulit terluar bambu. Di bangunan ini raja bertakhta. Kalau makan, penduduknya tak menggunakan sendok atau sumpit. Mereka memasukkan makanan ke mulut dengan jari-jari mereka. Disebutkan juga masyarakat Ho-ling sudah mengenal aksara. Mereka pun telah mengetahui sedikit ilmu astronomi. Negara itu disebut sangat kaya. Terdapat sebuah gua yang airnya mengandung garam dan keluar dengan sendirinya. Raja tinggal di kota Java (Ja-pa). Dia dibantu oleh 32 menteri tinggi.  Di sekeliling negara ini terdapat 28 negara kecil yang mengakui kekuasaan Java. Pendahulu sang raja, Ji-yan, tinggal di sebuah kota di sebelah timur yang bernama Bu-lu-ga-si. Sang raja seringkali memandangi lautan dari pegunungan di Distrik Lang-bi-ya. Catatan itu juga mengabarkan utusan dari Ho-ling rutin datang ke Tiongkok yang tercatat hingga abad ke-9 M.  Berita lain tentang Ho-ling menuturkan adanya aktivitas agama Buddha di She-po. Ini, kata Agus, mungkin juga terjadi dalam periode pemerintahan Ratu Sima.  Menurut Catatan Tripittaka , kitab suci Buddha berbahasa Tionghoa yang disusun sekira 720 M, ada seorang Biksu Buddha bernama Gunawarman. Sang Biksu datang dari Kashmir ke Kerajaan Jawa pada permulaan abad ke-5 M atas undangan ibu suri. Gunawarman tinggal di Jawa selama kurang dari 25 tahun (396-424 M).  Disebutkan pula, pada pertengahan abad ke-7 M, seorang pendeta Buddha bernama Hui-ning belajar di Ho-ling selama tiga tahun, sejak 664 sampai 667 M. Dia berguru kepada seorang biksu Jawa bernama Jnanabhadra. I-Tsing, seorang biksu dari Tiongokok yang pernah bermukim di Sumatra (Sriwijaya) pada pertengahan abad ke-7 M, juga pernah menyebutkan keberadaan kerajaan itu. Dia mencatat adanya kerajaan Ho-ling sebagai negeri yang memiliki pusat pendidikan agama Buddha Hinayana. Setelah berita adanya utusan pada abad ke-9 M, kerajaan ini tak lagi diketahui beritanya. “Mungkin keluarga Kerajaan Ho-ling kemudian bersatu dengan Wangsa Sailendra. Atau malah mungkin saja Sailendrawangsa itu sebenarnya penerus Kerajaan Kalingan,” tulis Agus. Bagaimanapun, seperti kata Groeneveldt, berkat Ho-ling dan Ratu Sima, Jawa memiliki reputasi sebagai negara yang kuat dan terorganisasi. Pun dia memiliki kebudayaan yang memadai.

  • Depati Amir, Pahlawan Nasional dari Pulau Timah

    UNTUK kali pertama, Provinsi Bangka Belitung menyumbangkan seorang pahlawan nasional. Ini terjadi setelah Presiden Joko Widodo menetapkan enam nama baru pada tahun ini. Salah satu di antaranya ialah tokoh asal Pulau Bangka, Depati Amir.  “Secara kultural, Depati Amir sebenarnya telah diakui sebagai pahlawan bagi masyarakat Bangka. Namanya diabadikan sebagai nama bandar udara di sana,” kata sejarawan dan peneliti senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Erwiza Erman kepada Historia . Depati Amir lahir di Mendara, Bangka tahun 1805. Leluhurnya merupakan bangsawan Bangka yang mengabdi pada Kesultanan Pelembang. Amir berayahkan Depati Barin, pemimpin lokal dengan wilayah kekuasaan Kampung Mendara dan Mentandai. Istilah depati sendiri mengacu pada jabatan tradisional setara kepala sebuah atau beberapa desa. “Depati adalah gelar yang diberikan Sultan Palembang kepada para elite di Bangka,” tulis Erwiza dalam Dari Pembentukan Kampung ke Perkara Gelap: Menguak Sejarah Timah Bangka-Belitung. Pada 1830, Amir diangkat sebagai depati menggantikan Barin, ayahnya. Pengangkatan itu, menurut Erwiza, bukanlah posisi yang didamba Amir. Dia lalu minta berhenti dan memilih jadi orang biasa yang bebas. Meski demikian, Amir tetap memiliki pengaruh besar di kalangan masyarakat Bangka. Ketokohan Amir ini menyebabkan pemerintah kolonial Belanda kerap menaruh curiga. Perlawanan Amir kepada Belanda beranjak dari persoalan pribadi. Ini menyangkut urusan kocek dan kepentingan keluarga. Kehadiran Belanda yang mengeruk timah di wilayah kekuasaan ayahnya menyulut bara api bagi Amir sekeluarga. Amir kecewa ketika tuan kongsi (juragan dagang) Belanda di Sungailiat enggan memenuhi tuntutan Amir sebesar 150 gulden, yakni utang pemerintah Belanda kepada ayahnya. Menurut A.A. Bakar dalam Barin, Amir, Tikal: Pahlawan Nasional Yang Tak Boleh Dilupakan , utang Belanda tersebut merupakan sisa harga timah yang dijual oleh Barin kepada tuan kongsi namun belum dilunasi. Kejadian ini bersamaan waktunya ketika parit-parit timah swasta masih banyak. Parit milik Barin adalah yang terbesar di daerah Merawang. Permintaan Amir dimentahkan pemerintah Belanda. Amir mengancam akan menyerang dan menghancurkan Sungailiat dan Merawang. Amir bahkan menambah tuntutannya menjadi 600 gulden setahun dengan alasan ia berhak mendapatkannya selaku putra depati. Residen Belanda di Bangka, F. van Olden, menilai sikap Amir hanya untuk memprovokasi situasi di kawasan itu. Sejumlah pejabat penting dikerahkan untuk meringkus Amir. Mereka antara lain, Kepala Polisi Letnan Campbell, kepala kongsi Belanda di Pangkal Pinang De Bley, dan Kepala Jaksa Demang Arifin. Semuanya tak mampu menangkap Amir.   Tak dinyana, rakyat Bangka mendukung Amir. Banyak dari penduduk kampung Bangka yang mengalami tekanan akibat kerja rodi membangun infratruktur untuk kepentingan birokrasi kolonial. Selain warga Melayu Bangka, kuli-kuli parit timah asal Tionghoa ikut berjuang bersama Amir. Lewat jaringan ini, penyelundupan senjata lewat Singapura yang dibarter dengan timah dapat diperoleh pasukan Amir untuk mempersenjatai diri. Sejumlah demang (pemimpin lokal) dan batin (penghulu adat) berpegaruh juga jadi sekutu Amir. Demang Suramenggala dan Terentang membantu dalam penyediaan senjata, lembing, dan keris. Haji Abubakar, pemuka masyarakat, secara terang-terangan memihak Amir. Urusan tempur, Amir dibantu para panglima seperti Budjang Singkip, Kai Sam, Bangul, Tata, Darip, dan Dahan. Mereka secara tegas melawan beberapa penguasa lokal yang memihak Belanda. Anak-anak buah Amir ini pada 19 Desember 1848 berhasil menangkap putra Batin Mendo Timur di kampung Lukok. Kampung Lukok ikut dibakar. Perlawanan Amir lantas meluas ke berbagai wilayah di sepanjang pantai timur Bangka: Terentang, Ampang, Toboali, Jebus, Sungailiat. Amir dan pasukannya terus bertahan dari buruan dengan menggalakkan pertempuran kecil satu demi satu. Pemberontakan Amir menjadi isu yang cukup serius di Hindia Belanda seperti dicatat pejabat kolonial dalam Koloniaal Verslaag tahun 1851 dan 1852. Belanda yang kewalahan sampai harus mendatangkan pasukan tambahan dari Palembang dan Batavia. Residen van Olden dalam bukunya De Muiterij van Amir op Banka 1850 menulis satu kisah lengkap tentang perlawanan Amir. Banyak tentara Belanda yang menemui ajal lantaran jebakan-jebakan tak terduga, seperti termakan racun. Selain itu, pasukan Amir diuntungkan dengan mewabahnya penyakit disentri yang saat itu disebut “Demam Bangka” di kalanganan tentara Belanda.     Perlawanan Amir baru dapat ditumpas sesudah dilakukan taktik menohok dari belakang.  Belanda menyuap uang sebesar 1000 dollar Spanyol kepada 7 orang panglima dan 36 pasukan. Mereka terpaksa menyerah lantaran kekurangan logistik dan kelelahan fisik dalam menjalankan perang gerilya. Pada 7 Januari 1851, Amir berhasil ditangkap dalam kondisi sakit di distrik Sungaiselan.  Seperti halnya Pangeran Diponegoro di Jawa, Depati Amir harus mengalami nasib pengasingan karena dianggap pemberontak yang meresahkan. Berdasarkan keputusan tanggal 11 Februari 1851, pemerintah mengasingkan Amir ke Kupang, Nusa Tenggara Timur. Sebagian pengikut setia Amir juga diasingkan ke  Ambon, Banda, dan Ternate. Setelah pengasingan Amir, Belanda semakin leluasa menjarah timah di bumi Bangka. Ditumpasnya perlawanan Amir mempertegas pembentukan dan pengawasan wijken (kampung) di Bangka dan Belitung. Sistem perkampungan ( Wijkenstelsel ) demikian, kata sejarawan Universitas Indonesia, Servulus Erlan de Robert melokalisasi wilayah berdasarkan etnis untuk memudahkan pengawasan dan meminimalisasi konflik sosial di kawasan tertentu sebagaimana telah dijalankan sejak masa VOC. Amir tak berhenti. Selama di pengasingan, dia tetap berjuang sebagai penasihat perang bagi raja-raja Timor yang juga sedang berjuang melawan penguasaan kolonial. Pada 28 September 1869, Amir wafat dan dimakamkan di Pemakaman Muslim Batukadera, Kupang.

  • Momok Nazi dan Mitos Indonesia dalam Fantastic Beasts

    DI suatu malam tahun 1927, Gellert Grindelwald (Johnny Depp) menghirup udara bebas. Sang penyihir hitam kelas kakap itu melarikan diri dibantu para pengikutnya saat MACUSA atau Kongres Sihir Amerika Serikat berusaha membawanya ke London untuk diadili. Dengan bebasnya Grindelwald, momok teror kejahatan tumbuh lagi dan mengancam, tak hanya dunia sihir, tapi juga dunia manusia biasa. Prolog itu disajikan sutradara David Yates sebagai pengantar sejumlah premis dan klimaks film Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald , seri kedua dari trilogi Fantastic Beasts yang juga masih bagian dari “semesta” Harry Potter karya JK Rowling. Plotnya terkonsentrasi pada upaya tokoh utama Newt Scamander (Eddie Redmayne) bersama seorang muggle (sebutan manusia di dunia sihir) yang juga veteran Perang Dunia I, Jacob Kowalski (Dan Fogler). Keduanya berupaya membantu saudaranya, Theseus Scamander (Callum Turner) dan gadis pujaannya, Tina Goldstein (Katherine Waterstone), dua Auror Kementerian Sihir Inggris, untuk menangkap kembali Grindelwald sebelum terlambat. Grindelwald berambisi menciptakan perang, tidak hanya melawan otoritas-otoritas sihir namun juga para manusia dengan goal yang mainstream : menguasai dunia. Premisnya bersengkarut dengan eksistensi Credence Barebone (Ezra Miller) bersama Nagini (Claudia Kim) yang baru saja melarikan diri dari seorang pemilik sirkus. Credence yang penasaran mencari asal-usul dirinya, didekati Grindelwald yang menganggapnya punya kemampuan sihir tinggi. Grindelwald ingin memanfaatkan kemampuan Credence untuk menghabisi musuh bebuyutannya, Profesor Albus Dumbledore (Jude Law). Sebab, Dumbledore diam-diam membantu Newt berangkat dari London ke Paris untuk mencari Grindelwald meski Newt tengah “dicekal” ke luar negeri lantaran acap tak patuh pada Kementerian Sihir Inggris. Klimaksnya, Grindelwald mampu mengumpulkan massa penyihir berdarah murni dan campuran hingga lantas memperlihatkan betapa kejamnya para Auror (aparat otoritas sihir) terhadap para penyihir berdarah murni. Grindelwald kemudian mampu meloloskan diri dari kepungan para Auror setelah membunuh Leta Lestrange (Zoë Kravitz), tunangan Theseus yang juga penyihir berdarah murni, keturunan penyihir ternama Corvus Lestrange. Di ending -nya, David Yates memberi sedikit spoiler tentang kaitan dan apa yang akan terjadi pada seri ketiga Fantastic Beasts 2020 mendatang lewat dua adegan terpisah. Pertama , saat otoritas Kementerian Sihir Inggris bersama Newt mendatangi Dumbledore di Hogwarts jelang perang besar. Kedua , perihal Grindelwald yang mengumpulkan massa dan pasukan sekaligus juga mampu membuat dua sosok berkemampuan dahsyat, Credence dan Queenie Goldstein (Alison Sudol) alias adik Tina Goldstein, berpihak padanya. Bagaimana kisah lengkapnya, tentu Anda mesti menonton sendiri seri The Crimes of Grindelwald ini. Sensasi action dengan efek-efek sihirnya, yang dibangun dengan efek-efek visual ciamik garapan Fremestore dalam porsi besar, akan lebih terasa jika ditonton di bioskop 3D. Terlebih tata suaranya digarap James Newton Howard dengan apik sehingga menambah feel adegan per adegan. Mitos Indonesia dan Perang Dunia Terlepas dari beberapa kritik terkait penulisan dan jalan cerita yang minim twist , The Crimes of Grindelwald cukup menarik, terutama bagi penonton asal Indonesia. Pasalnya, film ini menampilkan makhluk mitos Indonesia bernama Nagini, yang diperankan oleh aktris Korea Selatan Kim Soo-hyun alias Claudia Kim. Rowling sendiri dengan bangga menyebut Nagini merupakan makhluk maledictus, manusia yang dikutuk sebagai siluman binatang yang diambil dari mitologi Indonesia. “Naga adalah makhluk mitos seperti ular dalam mitologi Indonesia, karenanya (dalam film) dinamai Nagini. Kadang mereka digambarkan punya sayap, kadang berwujud manusia setengah ular. Indonesia terdiri dari ratusan kelompok etnis, termasuk Jawa, Tionghoa, dan Betawi,” kicaunya di akun Twitter @jk_rowling, 26 September 2018. Karakter Nagini yang diperankan aktris Korea Selatan, Kim Soo-hyun alias Claudia Kim (Foto: Warner Bros Pictures) Karakter Nagini juga diambil dari tokoh pewayangan Dewi Nagagini yang kisahnya bertautan dengan Mahabharata asal India. Menurut Henri Chambert-Loir dalam Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah , Nagagini merupakan putri raja ular Antaboga yang dikawini untuk jadi salah satu tokoh Pandawa, Bima. Selain pengaitan dengan mitologi Nusantara, dalam The Crimes of Grindelwald sineas amat kentara mengaitkannya dengan fakta historis Naziisme dan Perang Dunia II. Hal itu bisa dilihat dari penyebutan tokoh Grindelwald dengan logat Jermanik (Grindelvald), dan dikaitkan dengan tokoh Adolf Hitler, atau tokoh Albus Dumbledore yang akan menghadapi Grindelwald diibaratkan PM Inggris Winston Churchill, serta markas Grindelwald di Nurmengard diumpamakan seperti Nürnberg/Nuremberg. “Aksi-aksi Grindelwald serupa dengan tahun-tahun di mana Hitler menikmati kekuasaan singkat. Hitler meraih massa dengan menyalahkan kekalahan Perang Dunia I kepada komunis dan Yahudi. Grindelwald juga mengampanyekan perang dengan memanfaatkan mobilisasi massa penyihir berdarah murni, serupa dengan Hitler yang memerangi ras inferior serta mengagungkan darah murni Ras Arya,” tulis Cecilia Konchar Farr dalam A Wizard of Their Age: Critical Essays from the Harry Potter Generation. Sementara, Sara Buttsworth dalam Monsters in the Mirror: Representations of Nazism in Post-war Popular Culture menambahkan, “Grindelwald adalah salah satu figur Hitler (dalam popculture ). Dia menggunakan simbol mistik Deathly Hallows menjadi simbol yang ditakuti sebagaimana Hitler menggunakan simbol mistik Swastika.” Adegan Gellert Grindelwald mengumpulkan massa penyihir berdarah murni (Foto: Warner Bros Pictures) Dalam PD II, Hitler dikalahkan Churchill (Sekutu) pada 1945. Grindelwald juga akan dikalahkan Dumbledore dengan latar belakang era 1945. Lantas, Grindelwald bakal kembali dipenjara di Nurmengard, nama sebuah kastil di Austria yang diibaratkan Nuremberg. Permainan simbol itu makin jelas lewat ironi Kastil Nurmengard, yang dibangun oleh Grindelwald. Hal itu mewakili fakta Nuremberg yang sejak 1933-1938 acap jadi tempat rapat raksasa istimewa Nazi  tapi setelah PD II jadi tempat pengadilan para penjahat perang Nazi. “Grindelwald juga punya slogan ‘For the Greater Good’ (demi kebaikan bersama). Sangat mirip dengan slogan kamp konsentrasi Nazi, ‘Arbeit Macht Frei’ (bekerja untuk kebebasan). Dalam kasus ini, slogan (Grindelwald) bermaksud untuk memperbudak para muggles (manusia),” tandas Christopher E. Bell dalam From Here to Hogwarts: Essays on Harry Potter Fandom and Fiction .

  • Buku Harian yang Hilang

    DARI sebuah lemari, Thea Susetia Kusumo mengambil sebuah buku tebal bersampul coklat muda. Buku itu diperlihatkan kepada Historia kala bertamu ke kediaman sederhanya di Perumahan Dosen Universitas Negeri Surabaya. Di atas meja kayu tua bertaplak putih sederhana motif renda kembang, buku yang sampulnya mulai lapuk itu diletakkan Thea. Di sampul buku itu tertulis: Gatoet Koesoemohadi’s Dagboek: 12-06-1947 – 20-07-1948. Bersama beberapa foto, buku harian milik suami Thea, Gatut Kusumo Hadi, itu salah satu warisan suami paling berharga. Keseharian Gatut di masa revolusi fisik diabadikan dalam buku itu. Sayang, saat dibuka lembar per lembar, hanya tampak tulisan-tulisan tangan cursive atau huruf-huruf sambung di atas kertas kopian. “Aslinya hilang entah ke mana. Sempat hilang selama 50 tahun. Tapi ya masih bersyukur walau hanya kopian. Tulisan di sampul itu yang menuliskannya rekan almarhum semasa TRIP, Pak Sangki namanya,” jelas Thea kepada Historia. Tutup Buku, Usung Senjata Lahir di Purwokerto, 12 Februari 1928, Gatut termasuk beruntung bisa makan bangku sekolahan sejak kecil lantaran ayahnya seorang wedana. Namun, sejak usia 10 tahun dia sudah harus jadi anak yatim. Setelah ayahnya meninggal dan keluarganya tercerai-berai, Gatut pindah bersama saudara tirinya dan melanjutkan sekolah di Malang. Tetapi situasi pelik di Surabaya sejak akhir 1945 membuat Gatut mesti menutup buku pelajarannya dan menggantinya dengan memanggul senjata. Berangkatlah Gatut ke Surabaya untuk menggabungkan diri ke Badan Keamanan Rakyat (BKR) Pelajar 49 Darmo yang lantas melebur ke dalam Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) Jawa Timur lewat ketetapan Kongres Ikatan Pelajar Indonesia di Madiun, 21 Juli 1946. Mengutip Sagimun Mulus Dumadi dalam Mas TRIP: Dari Brigade Pertempuran ke Brigade Pembangunan , TRIP berkekuatan lima batalyon di lima kota:  Yon 1000 Mojokerto, Yon 2000 Madiun, Yon 3000 Kediri, Yon 4000 Besuki, dan Yon 5000 Malang. Gatut Kusumo sendiri bertanggung jawab mengasuh Yon 1000. Gatut Kusumo Hadi, Komandan TRIP Komando I. (Dok. Thea Susetia Kusumo) Ketika Belanda merangsek sampai ke Mojokerto pada 17 Maret 1947, Gatut bersama Yon 1000 mengungsi sampai ke Madiun untuk bergabung dengan Yon 2000. Kedua batalyon kemudian melebur jadi TRIP Komando I. Gatut dipercaya jadi komandannya. Di Madiun, TRIP Komando I tak hanya harus waspada terhadap Belanda, tetapi juga dari “saudara” sendiri, Laskar Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). “Dulu Pak Gatut aslinya sosialis, pengagum Sutan Sjahrir dari Partai Sosialis Indonesia. Tapi Pesindo itu justru di bawahnya PKI (Partai Komunis Indonesia) dan di Madiun (dia) ikut melawan Pesindo yang melebur ke Front Demokrasi Rakyat/FDR PKI, membantu TNI Divisi Siliwangi,” lanjut Thea. Kembalinya Dagboek yang Hilang Tak sampai tiga bulan setelah Madiun Affair September 1948, giliran Belanda menggulirkan Agresi Militer II (19 Desember 1948). “Satu saat, kira-kira di daerah Blitar, waktu gerilya pas Pak Gatut dan kawan-kawannya sedang istirahat di satu desa, ternyata desanya ikut dioperasi (penyisiran) Belanda. Buru-buru mereka kabur dan ini ( dagboek ) ketinggalan. Lalu ditemukan tentara Belanda,” imbuhnya. Sampai revolusi selesai, buku harian itu tetap dibawa sang serdadu Belanda yang tak diketahui namanya pulang ke negaranya. Lima puluh tahun kemudian (1999), buku itu baru dikembalikan sang veteran Belanda via Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Belanda. KBRI lalu mengirim buku itu ke Lembaga Veteran Republik Indonesia (LVRI), kemudian dioper lagi ke Pusat Paguyuban Mas (Markas) TRIP. “Tentara Belanda itu tahu, ini (buku harian) Tentara Pelajar. Wong tulisane boso londo (tulisannya bahasa Belanda). Zaman itu kan yang biasanya fasih tulis bahasa Belanda pasti pelajar. Lalu dikirim ke Jakarta ke LVRI,” sambung Thea. Sempat lama buku itu tersimpan di LVRI Jakarta. Maklum, kata Thea, saat itu di LVRI isinya lebih banyak eks-TNI, bukan Tentara Pelajar, maka tak ada yang mengenal nama Gatut Kusumo. Buku itu baru bisa “teridentifikasi” oleh GS Joewono, rekan sejawat Gatut yang akrab disapa Sangki. Thea Susetia Kusumo, istri mendiang Gatut Kusumo Hadi. (Randy Wirayudha/Historia) “Pak Sangki yang mengetahui itu punya Pak Gatut ketika diperlihatkan ke Paguyuban Mas Trip di Jakarta. Sebetulnya sempat hilang betulan. Entah waktu masih di LVRI atau Paguyuban Mas Trip. Tapi Alhamdulillah, bukunya sebelum hilang sempat di- copy dan makanya copy inilah yang diberikan Pak Sangki kepada kami di Surabaya,” tambahnya. Kendati sulit dibaca isinya oleh orang awam lantaran berbahasa Belanda dan tulisan tangannya yang juga sulit terbaca, Thea pernah mencoba menerjemahkannya. “Tidak hanya bahasa Belanda, bahkan di beberapa lembar ada yang bahasa Inggris dan Jerman,” ujar Thea. “Isinya lebih kepada curhat-nya Pak Gatut. Kebanyakan ya cerita tentang keluh-kesahnya tentang percintaan sama pacarnya. Tidak ada tentang urusan ketentaraan. Dia ini kan sebelum nikah sama saya punya pacar juga. Tapi pacarnya dilamar tentara yang berpangkat kolonel. Lha , dia (Gatut) enggak punya pangkat, mana ada Tentara Pelajar punya pangkat, jadi pacarnya yang anak seorang bupati dicuri orang, hahahaha …,” kata Thea sambil tertawa lepas. Sayangnya, Gatut tak pernah tahu buku hariannya yang hilang sudah kembali. (Kopian) buku itu baru sampai ke Surabaya pada 1999, sementara Gatut sudah mangkat pada 19 Juni 1996.

  • Candi-candi Kerajaan Sunda Kuno

    MASA Mataram Kuno meninggalkan monumen-monumen yang spektakuler. Beberapa di antaranya Candi Prambanan, Candi Sewu, dan Candi Sambisari. Begitu pula di Jawa Timur, candi-candi peninggalan Kerajaan Singhasari dan Majapahit, masih relatif utuh dan bisa dikagumi keindahannya. Di Jawa Barat tak begitu. Beberapa sisa bangunan masa Hindu Buddha memang berhasil ditemukan. Namun letaknya tersebar dan kondisinya tinggal serakan batuan andesit atau bata. Misalnya Kerajaan Sunda Kuno yang berkembang setelah Kerajaan Tarumanegara runtuh pada abad ke-7 M hingga abad ke-16. Tak mudah menyebutkan di mana saja mereka membangun monumennya. Padahal, menurut arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar dalam Tatar Sunda Masa Silam Kerajaan Sunda, Kerajaan Sunda Kuno mendirikan banyak bangunan terutama untuk keagamaan. Tempat-tempat suci itu beberapa kali disebut dalam naskah-naskah keagamaan yang hingga kini masih bertahan. Sayangnya, lokasinya belum diketahui secara pasti. Bangunan Tak Beratap Bangunan yang didirikan kerajaan-kerajaan di Jawa Barat tak sama dengan bangunan yang dibangun oleh Mataram Kuno, Singhasari, dan Majapahit. Kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur itu membangun monumen biasanya berupa candi dan petirtaan. Arsitektur candinya mempunyai bentuk baku, seperti kaki, tubuh, dan atap.  Berbeda dengan bangunan di Tatar Sunda. Kebanyakan bangunan yang ditemukan tak menunjukkan bentuk lengkap: kaki, tubuh, atap, dan bilik serta relung untuk menempatkan arca dewa.  Candi Cangkuang di Garut memang menunjukkan bentuk kaki, tubuh, dan atap. Namun, menurut Agus, candi itu tak bisa dirujuk karena hasil rekonstruksi yang belum pasti kebenarannya. Karenanya candi itu bukan bukti kalau dulu pernah didirikan bangunan candi baku di wilayah Jawa Barat. Dalam makalah “Bangunan Suci pada Masa Kerajaan Sunda: Data Arkeologi dan Sumber Tertulis”, yang terbit dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi VI, Agus Aris Munandar menyebutkan kalau batur tunggal merupakan bentuk dasar bangunan suci pada masa Kerajaan Sunda Kuno. Ciri arsitekturnya hanya satu teras, terbuat dari batu polos, balok batu atau bata. Biasanya mempunyai tangga atau tak mempunyai tangga.  Kemudian ada pula berupa punden berundak. Bentuknya berteras dua, tiga, atau lebih. Terasnya tersusun dari batu polos atau blok batu. Di bagian tengah teras, terdapat tangga menuju teras teratas. Pada kasus situs di puncak Gunung Tampomas, Sumedang, teras teratas dari pundennya dibatasi pagar batu polos.   Ada juga bangunan pertapaan yang belum diketahui secara pasti. Itu bisa berupa gua-gua yang mirip dengan yang ada di Gunung Penanggungan, Jawa Timur, atau bangunan pertapaan yang terbuat dari bahan mudah lapuk.  “Apa yang disebut kabuyutan dalam naskah Sunda Kuno sebenarnya adalah bangunan yang mempunyai bentuk dasar demikian, tapi sangat mungkin dilengkapi dengan arca dari pantheon Hindu atau arca bercorak megalitik yang menggambarkan perwujudan leluhur,” tulis Agus. Kalau dibandingkan, bentuk bangunan era Sunda Kuno justru mirip bangunan era akhir Majapahit. Khususnya jika membandingkan beberapa bangunan suci dari masa yang relatif sama. “Terutama ketika Majapahit sedang berjaya, sebagai negara adikuasa di Nusantara saat itu, tak heran kalau Majapahit menjadi acuan bagi wilayah lain di Nusantara, termasuk bagi Kerajaan Sunda,” jelas Agus.  Bahan Tak Tahan Lama Pada masa akhir Hindu-Buddha berkembang bentuk punden berundak yang banyak dipakai sebagai tempat pemujaan. Bangunan-bangunan di Gunung Penanggungan, misalnya, bentuknya punden berundak atau gua pertapaan.  Umumnya, mereka terbuat dari balok batu yang terdiri atas empat teras yang dibangun bersandar pada kemiringan lereng. Gunanya sebagai karsyan , di mana para agamawan atau rsi bermukim dan mengasingkan diri dari keramaian dunia.  Mirip dengan itu, Situs Astana Gede, Kawali, Ciamis (abad ke-14 M) juga memiliki halaman yang berundak-undak. Di sana ditemukan batu-batu bagian dari suatu bangunan yang tahan lama.  Sangat mungkin di kompleks itu terdapat bangunan-bangunan yang terbuat dari bahan yang tak tahan lama. Sebab Prasasti Kawali I menyebut Raja Wastu Kancana pernah bertapa di sana. Padahal, di Kawali tidak ditemukan gua untuk bertapa seperti di Gunung Penanggungan. Jadi, tempat bertapanya kemungkinan bangunan sederhana.  “Jelas di Situs Kawali ada bangunan pertapaan. Bangunan itu tidak permanen, mungkin hanya berbentuk rumah panggung yang ditutup dinding kayu atau terbuka,” jelas Agus.  Banyaknya bangunan yang dibuat dengan bahan mudah lapuk itu juga yang menjadikannya tak lagi tersisa. Misalnya Situs Batu Kalde, menurut BPCB Serang, diperkirakan memiliki arsitektur yang dikelilingi pagar berdenah persegi panjang. Struktur pecahan batu kapur dipakai sebagai pondasi dan balok-balok batu di bagian atasnya. Di sana, tak dijumpai batu-batu yang menunjukkan bekas bagian tubuh atau atap candi. Menurut Agus, candi di daerah Pananjung, Pangandaran itu mungkin dulunya batur terbuka. Lalu di atasnya diletakkan objek pemujaan. Struktur atapnya menggunakan bahan yang cepat rusak. Misalnya tiang dari bambu atau kayu, dan penutup atap dari ijuk. Tentu saja yang bertahan hingga sekarang hanya bagian baturnya.  Meski begitu, menurut Agus, bukan berarti tak ada bangunan candi yang bertubuh lengkap di Jawa Barat. Namun, jika melihat hanya dari penyebutannya di karya sastra keagamaan dan sumber tertulis lainnya dari masa Sunda Kuno, agaknya pencarian terhadap bangunan candi utuh seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur akan menjadi sia-sia.

  • Pemerintah Hindia Belanda Fobia pada Diponegoro

    MUHAMMADIYAH pernah mengadakan kongres di Jogjakarta pada 8—16 Mei Mei 1931. Selain mengajak segenap kader untuk ikut, terselip pesan propaganda yang unik. Salah satu pamfletnya memajang gambar Pangeran Diponegoro tengah menunjuk sebuah masjid. “Itu adalah Diponegoro karya lukisan Bik yang menunjukkan jalan ke Masjid Agung,” kata sejarawan Peter Carey seraya menunjuk pamflet tadi dalam pameran pendahuluan “Kamar Diponegoro” di Museum Sejarah Jakarta, Kota Tua, Jakarta Pusat, 12 November 2018. Pemerintah Hindia Belanda menjadi fobia. Sosok Diponegoro seakan hidup kembali. Untuk mencegah gerakan massa, aparat kolonial yang jengkel membakar semua pamflet atau apapun yang berbau Diponegoro. Adalah Suwardi Suryaningrat orang pertama yang “membangkitkan” Diponegoro setelah wafat di Makassar 8 Januari 1855. Suwardi dikenal sebagai aktivis Indische Partij yang mendirikan sekolah bumiputra Taman Siswa. Sebagai seorang nasionalis, Suwardi menanggalkan status kebangsawannya dan lebih kondang dengan nama Ki Hadjar Dewantara. Pada awal 1923, Suwardi pernah menulis surat terbuka tentang pentingnya memperingati hari wafatnya Pangeran Diponegoro. Surat itu ditujukannya kepada pemimpin dan pengusaha bumiputra. Menurut Suwardi, seyogianya hari wafat Diponegoro jadi memori bersama bagi semua anak negeri di Hindia Belanda. Seruan dalam suratnya pun cukup berani. “Saudara-saudara yang dimuliakan! Bagi kita semua, tanggal 8 Februari adalah tanggal yang amat penting. Hari itu adalah hari peringatan, hari kesedihan bagi anak negeri ini. Khusus untuk orang Jawa. Kenapa? Karena pada tanggal 8 Februari Pangeran Diponegoro yang agung meninggal,” demikian kata Suwardi Suryaningrat dilansir suratkabar Het Nieuws van het Dag voor Nederlandsch-Indie , 12 Maret 1923. Cuplikan seruan Suryadi Suryaningrat untuk memperingati hari wafatnya Pangeran Diponegoro dalam suratnya yang diwartakanHet Nieuws van het Dag voor Nederlandsch-Indie, 12 Maret 1923. (Martin Sitompul/Historia). Suwardi mengajak agar organisasi kepanduan, sekolah Taman Siswa, ataupun semua orang pergerakan mengabadikan hari wafatnya Diponegoro sebagai hari peringatan umum. Himbauan ini cukup radikal. Di bawah kuasa pemerintahan kolonial, Suwardi melontarkan gagasan untuk menghormati hari wafatnya musuh pemerintah sebagai hari libur nasional.  “Mari kita semua mengingat hari itu dalam emosi - mari kita istirahatkan urusan kita sementara - seperti sekolah, dan mengatakan pentingnya hari ini kepada semua teman-teman,” demikian Suwardi mengakhiri suratnya. Menurut Peter Carey, Suwardi salah menuliskan tanggal kematian Diponegoro (8 Februari). Yang benar adalah 8 Januari. Kesalahan ini mungkin muncul karena kabar simpang siur dari pers Hindia Belanda perihal berita meninggalnya Diponegoro di Makassar. Java Bode menyebutkan 31 Januari 1855; Javasche Courant menyebutkan 3 Februari 1855. Namun nyatanya, seruan Suwardi ini malah diikuti oleh berbagai organisasi pergerakan. Diponegoro dijadikan sebagai ikon perjuangan kaum pergerakan nasional bahkan lintas ideologi. Strategi propaganda demikian cukup ampuh bikin pemerintah kolonial jadi gusar. “Jadi dia tidak dilupakan oleh pihak komunis, pihak nasionalis, dan dari pihak Islam, dia dijunjung tinggi.  Dan Belanda menjadi resah,” kata Carey. “Kalau kita pajang gambar Diponegoro bisa ditangkap oleh polisi Hindia Belanda sebab ini menunjukkan salah satu pembangkangan.”

  • Pahlawan bukan Superhero

    GENERASI sekarang terasing dengan sejarah bangsanya. Ada jarak menganga antara mereka dengan sejarah bangsanya. Keterpisahan mereka berpangkal dari metode pengajaran sejarah yang membosankan di sekolah. Akibatnya warisan berharga sejarah bangsa berupa nilai-nilai kepahlawanan tak sampai ke benak generasi sekarang. “Di SMA saya diajari oleh guru sejarah yang membawakannya secara kronologis. Soal-soal tahun yang disebutkan, itu kemudian yang jadi soal ujian. Jadi kita melihat sejarah itu jadi tegang,” kenang Hanung Bramantyo, sutradara film bertema sejarah, dalam talkshow Hari Pahlawan di Museum Nasional, Jakarta, 17 November 2018. Hanung mengaku bahwa dia penyuka sejarah. Ketertarikannya pada sejarah berpunca dari masa SMP. Dia bertemu dengan guru sejarah yang piawai bercerita. “Guru saya tidak pernah tanya tentang tahun. Dia bercerita kayak orang curhat, cerita tentang Sukarno kecil seperti apa,” tutur Hanung. Hanung kemudian terdorong belajar sejarah lebih lanjut. “Saya mencari buku-buku para tokoh,” lanjut Hanung. Tapi di SMA kegemarannya terhadap sejarah agak terganggu. Metode pengajaran gurunya lebih kaku. Peristiwa ini mengendap di benak Hanung hingga dewasa dan bekerja sebagai sineas. Dia berpikir untuk membuat jembatan antara generasi sekarang dengan masa lalunya. Jembatan itu berupa film bertema sejarah. Hanung melanjutkan bahwa orang sering melihat pahlawan bangsa sebagai superhero . Sempurna dan tiada cela. Nyaris bukan seperti manusia dan hanya memiliki satu sisi. Ini menyebabkan orang susah menggapai nilai-nilai pahlawan bangsanya. “Pahlawan sejatinya manusia biasa. Mereka mempunyai sisi humanis selaiknya orang kebanyakan,” terang Hanung. Mereka kadang merasa takut, cemas, khawatir, dan bimbang. Tapi mereka mampu mengalahkan keadaan tersebut. Inilah sebenarnya gambaran pahlawan. Seseorang yang dekat dengan kehidupan banyak orang dari beragam zaman. Hanung berusaha mengangkat sisi humanis sosok pahlawan dalam sejumlah filmnya. Antara lain Sang Pencerah (2010), Soekarno: Indonesia Merdeka (2013), Kartini (2016), dan Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta (2018). Film-film Hanung menuai banyak kritik dari sejarawan dan peminat film. Kritik berkutat pada soal objektivitas dan keakuratan kisah. Hanung menjawab kritik itu. “Film bertema sejarah itu tidak bisa objektif. Justru harus subjektif,” kata Hanung. Hanung mengibaratkan filmnya sebagai ruang tafsir terbuka. Tujuannya adalah merangsang orang belajar sejarah setelah menonton film, bukan membuat orang belajar sejarah melalui film. Aktualisasi Sejarah Triana Wulandari, Direktur Sejarah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), mengakui ada masalah dengan pengajaran sejarah di sekolah. “Kurikulum dan guru-gurunya memang masih bermasalah . Itu memang masalah yang terus menerus menjadi pekerjaan rumah bagi kami,” kata Triana. Triana menjelaskan banyak guru sejarah bukan berlatar pendidikan sejarah. “Ini masalah fundamental,” ungkap Triana. Sejarah memang ilmu terbuka. Siapa saja bisa mempelajarinya. Tetapi tenaga pengajarnya tetap harus memiliki kecakapan di bidangnya. Kecakapan ini diukur lewat jenjang pendidikan sejarah.   Triana sepakat dengan pandangan Hanung bahwa pengajaran sejarah harus kontekstual. Maksudnya, sejarah mesti punya relevansi dengan generasi sekarang. Sejarah tidak bisa lagi diajarkan sebatas hapalan angka tahun dan nama. Sejarah tidak boleh lagi berjarak dengan generasi sekarang. Pahlawan tidak dapat lagi dipandang sebagai sosok superhero . Sejarah terjadi pada masa lalu, tetapi nilai-nilai kepahlawanan selalu aktual sepanjang zaman. “Nilai-nilai itu antara lain keberanian, berbuat kebaikan tanpa pamrih, dan semangat bersatu yang tinggi. Kita juga harus mengangkat sisi-sisi humanis mereka,” tutur Triana. Triana yakin sejarah adalah media untuk menghadirkan nilai-nilai kepahlawanan dan sosok humanis pahlawan dalam tiap zaman pada banyak orang. Sejarah adalah jembatannya. Triana bersama orang-orang di Kemendikbud terus mengupayakan jembatan itu. “Kami dari Direktorat Sejarah sudah berangsur ingin memberikan terobosan. Misalnya bagaimana guru-guru sejarah bisa menggali sejarah lokal.” Kelokalan berarti kedekatan seseorang dengan tempat dimana dia hidup. Ini menjadi penting mengingat apa yang dekat adalah apa yang mudah dipelajari. Pengajaran sejarah hari ini tak lepas dari pengaruh perkembangan teknologi. Triana menyadari generasi sekarang adalah generasi gawai dan melek teknologi. Generasi hari ini karib dengan beragam aplikasi dan bentuk audiovisual lainnya. Maka Triana berupaya mendekatkan sejarah kepada generasi sekarang dengan mengembangkan aplikasi dan film pendek bertema sejarah. Pahlawan Hari Ini Maidina Rahmawati, pembicara termuda dalam talkshow , berbicara tentang relevansi nilai-nilai kepahlawanan pada hari ini. Menurutnya, nilai-nilai kepahlawanan tak banyak berubah dari zaman ke zaman. Yang berubah ialah medan juang dan lawannya.   “Jika pahlawan dulu dahulu berjuang melawan penjajah, menghapus ketidakadilan akibat penjajahan pihak asing, dan memperjuangkan kemerdekaan, maka perjuangan hari ini bisa berupa melawan kekerasan seksual,” tutur Maidina. Dia aktif sebagai peneliti dalam Institute for Criminal Justice Reform. Maidina menyebut sosok Baiq Nuril sebagai salah satu pahlawan hari ini. Baiq Nuril adalah seorang guru di Nusa Tenggara Barat. Dia korban kekerasan seksual seorang kepala sekolah. Dia berupaya melawan laku durjana tersebut. Tetapi dia justru jadi tersangka kasus pencemaran nama baik. Mahkamah Agung memutuskan Baiq bersalah. Kepala sekolah di tempat Baiq Nuril mengajar, justru lepas dari semua tuduhan. Dia memperoleh kenaikan jabatan. Karuan aktivis sosial, pegiat hukum, tetangga Baiq Nuril, dan warga biasa meradang dengan keputusan tersebut. Mereka membela Baiq Nuril. “Sikap-sikap positif seperti ini, memperjuangkan keadilan, menunjukkan nilai-nilai kepahlawanan masih ada,” kata . Maidina. Lawan para pahlawan hari ini bukan lagi penjajah, melainkan orang-orang yang melakukan perbuatan lancung, durjana, dan korup. Kelak nama-nama mereka akan tercatat dalam sejarah masa depan untuk dipelajari generasi esok hari.   Hanung dan Triana berpendapat serupa dengan Maidina. Menurut mereka, nilai-nilai kepahlawanan sangat dekat. Pahlawan bisa siapa saja. Pahlawan seharusnya bukan sosok asing di antara generasi sekarang. Melalui sejarah, mereka tidak terkubur dalam masa lalu. Mereka melakukan perbuatan positif sesuai kapasitas dirinya dan berdampak besar untuk pribadinya sekaligus orang sekitar. Itulah pahlawan, kemarin atau hari ini

  • Pemuda Sosialis di Balik Film Legendaris

    SENYUM tersungging di bibir Thea Susetia Kusumo ketika menerima Historia di kediaman sederhananya, Perumahan Dosen Universitas Negeri Surabaya. Meski keriput telah menghiasi wajahnya, stamina Thea tak pernah kendur ketika menceritakan suaminya, Gatut Kusumo Hadi. “Ibu Thea ini bekas dosen bahasa Inggris di Unesa. Dulu beliau dosen bahasa Inggris pertama di Surabaya ini. Makanya masih bisa tinggal di perumdos sini,” ujar Dhahana Adi Pungkas, penulis buku Surabaya Punya Cerita, yang mengantar Historia . Maka, dengan senang hati perempuan sepuh nan ramah itu membuka kembali laci ingatannya perihal sang suami dan menceritakannya. Memang, Gatut sang suami hampir mustahil dikenal generasi milenial. Namun, jika menyebut film legendaris Soerabaia 45: Merdeka ataoe Mati! , anak-anak muda generasi 1990-an pasti banyak yang tahu. Saban 17 Agustusan dan 10 November (HUT RI dan Hari Pahlawan), film itu kerap diputar TVRI . Pelajar-Laskar Menggelar Layar Gatut Kusumo lahir di Purwokerto pada 13 Februari 1928. Dia sempat kesulitan melangsungkan pendidikannya di Surabaya. Semasa sekolah menengah, dia mesti “menukar” pena dan bukunya dengan senjata untuk ikut mempertahankan kemerdekaan. Gatut bergabung ke Badan Keamanan Rakyat (BKR) Pelajar Darmo 49 kala Pertempuran Surabaya meletus. Setelah Surabaya dikuasai Sekutu, Gatut ikut menyingkir dan bergerilya di Malang dan Blitar sebagai serdadu TRIP. Pasca-revolusi, Gatut Kusumo berdinas di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD), tapi hanya bertahan empat tahun. “Enggak kuat (betah) dia. Lalu kemudian metu (keluar). Katanya, ‘Ya jadi tentara aku nyaluti (hormat) terus ke perwira yang lebih tinggi, lebih baik keluar’,” ujar Thea mengikuti perkataan mendiang suaminya. Gatut yang pensiun dengan pangkat terakhir letnan satu memilih kembali ke Malang untuk melanjutkan sekolah. Waktu luangnya yang banyak setelah lulus Sekolah Menengah Tinggi (SMT) dan keluar dari Universitas Indonesia dimanfaatkannya untuk membaca banyak buku. “Sempat juga disekolahkan ke Universitas Indonesia, tapi ya enggak betah juga, enggak sampai selesai. Dia enggak suka kerja. Dia enggak kerja apa-apa setelah lulus. Hidup dari pensiun tentara ya enggak akeh (banyak). Cuma cukup buat dia sendiri. Makanya dia mau ketika diajak bikin film (Penyeberangan) itu. Ya untuk cari uang. Dia anak paling tua di keluarganya. Ibunya hanya tinggal sendiri dengan dua adiknya yang masih harus dibantu sekolahnya,” imbuh Thea. Gatut belajar perfilman secara otodidak. Selain membaca buku, dia rajin berdiskusi dengan Nyak Abbas Akup, tokoh perfilman nasional yang malang melintang sejak 1952 bersama Perfini. “(Gatut, red .) Juga belajar dari Nyak Abbas yang senang dengan karakternya Pak Gatut. Makanya mereka bisa dekat,” lanjut Thea, yang diperistri Gatut pada Oktober 1969 meski telah kenal sejak di Malang. Thea Susetia Kusumo, istri mendiang Gatut Kusumo Hadi (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Pada 1964, Gatut memulai debutnya di perfilman. Debut itu berangkat dari keinginan rekan-rekan Gatut di TRIP yang ingin mendokumentasikan perjuangan mereka dengan sebuah film. Lantaran Gatut yang paling rajin menulis, dia dipercaya menulis script dan menyutradarai film itu. Film itu akhirnya rampung dan dirilis tahun 1966. “Judulnya Penyeberangan . Itu lho , kisah pasukan TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) dengan Meriam Blorok-nya. Toh dia kan juga pelakunya sendiri,” tutur Thea . Gatut, yang juga menjadi pendiri Akademi Seni Rupa (Aksera), kemudian dipercaya menjadi penulis naskah serial Aku Cinta Indonesia (1985) sebanyak 15 episode. Pada 1990, Pemda Jawa Timur mempercayakan Gatut menggarap film Soerabaia 45: Merdeka ataoe Mati!. Dia berperan sebagai penulis naskah sekaligus sutradara meski di credit filmnya nama Gatut dituliskan sebagai asisten sutradara –sutradara resminya disandang Imam Tantowi. Soerabaia 45: Merdeka ataoe Mati! menjadi prestasi tertinggi Gatut dalam dunia perfilman. Hingga kini, film tersebut masih jadi satu-satunya film yang menggambarkan Pertempuran Surabaya, akhir Oktober-10 November 1945. Sosialis Sejati Sampai Mati Selain menggandrungi film dan seni, dalam politik Gatut mengagumi ideologi sosialisme. Benih kekagumannya pada pendiri Partai Sosialis Indonesia (PSI) Sutan Sjahrir, kata Thea, sudah mulai tumbuh sejak masih bergerilya di Jawa Timur. “Orang-orang terdekatnya bilang Pak Gatut seorang sosialis sejati. Dia fanatik sekali sama Sjahrir. Pikirannya selaras, bahwa musuhnya sosialisme kan feodalisme. Tapi bagaimanapun orang Jawa ada feodalnya. Itu yang ingin dia kikis, bahwa semua orang itu derajatnya sama. Feodalisme membiarkan orang-orang yang di atas berbuat semaunya. Itu yang enggak bisa ditolelir Pak Gatut,” kata Thea. Pasca-keluar dari UI, Gatut bergabung menjadi kader seksi pemuda PSI. Di konferensi 27 November 1954, dia terpilih jadi Ketua Gerakan Pemuda Sosialis (GPS). “Konferensi (seksi pemuda PSI) berkeputusan bulat meleburkan seluruh organisasi pemuda sosialis di Indonesia dalam satu wadah bernama GPS dengan dipimpin Gatut Kusumohadi dan Suwandi Citut,” tulis Suratkabar Pedoman , 30 November 1954. “Dia menjadi ketua umum (GPS) sedari awal sampai dia meninggal (1996). Walau kemudian PSI dilarang (sejak 17 Agustus 1960), tapi kan pertemuan-pertemuan sayap-sayap partainya masih ada. Karena PSI dilibas Bung Karno dan kemudian Pak Harto enggak pernah ada pemilihan (Ketum GPS) lagi, maka jabatannya tak pernah digantikan orang lain,” sambung Thea. Di era Orde Baru (Orba), Gatut lebih sering memberi ceramah politik ke kampus-kampus. Pada 15 Januari 1974, Gatut berada di Jakarta. Dia lalu pulang ke Surabaya menggunakan kereta malam, tiba di Surabaya pada 16 Januari pagi. Setelah menemui istrinya di rumahnya, Jalan Pucang Anom Timur I Nomor 19, Gatut langsung menjenguk ibunya di Jalan WR Supratman. Saat itulah beberapa tentara menjemputnya dan menahannya di rumah tahanan Kodam VIII/Brawijaya (kini Kodam V/Brawijaya). Pemerintah Orba gerah dengan oposisi para eks-PSI yang kerap mengkiritik korupsi para pejabat. Asisten pribadi presiden, Ali Murtopo, menunjuk hidung para bekas PSI sebagai dalang Malari. Kisah tentang penahanan Gatut diabadikan Thea dalam memoarnya, “Jalan yang Kulalui”. Thea antara lain melukiskan bagaimana kesulitan menemui suaminya di dalam penjara di Surabaya. Konferensi GPS di Waled, Cirebon, 10-16 Maret 1956 di mana Gatut Kusumo merupakan ketuanya (Foto: Repro “Suara Sosialis”, Maret 1958) “Aku hanya boleh menjenguknya sekali seminggu, setiap Kamis. Oleh karenanya aku selalu minta izin IKIP (kini Unesa) untuk tidak masuk setiap Kamis. Dia ditahan bersama 40 orang lainnya, baik orang-orang Marhaenis maupun para bekas PKI (Partai Komunis Indonesia),” ujar Thea dalam memoarnya. Gatut dibebaskan pada medio September karena militer ternyata tak menemukan indikasi keterlibatan Gatut dalam provokasi Peristiwa Malari. Satu faktor lain yang ikut membuat Gatut bebas adalah, campurtangan Dar Mortir, perempuan-veteran yang dihormati para perwira tinggi TNI di Jawa Timur. “Bu Dar Mortir pejuang wanita yang paling dikenal di Surabaya. Pak Gatut sendiri masih keponakannya Bu Dar Mortir, tapi sudah dianggap seperti adik kandungnya. Makanya sama perwira-perwira yang menahannya, Bu Dar Mortir bilang: ‘Kapan adikku dibebaskan!’,” tutur Thea. Setelah bebas, Gatut menyibukkan diri dengan aktif berkesenian di Dewan Kesenian Surabaya dan sesekali masih aktif di perfilman. Pada 19 Juni 1996, Gatut menghembuskan nafas terakhir setelah jatuh sakit komplikasi stroke dan pendarahan otak. Jasadnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Sepuluh November Surabaya.

  • Mula Tim Garuda

    PERJUANGAN Timnas Indonesia (senior) bakal kian berat. Setelah keok 0-1 dari Singapura di laga perdana di Grup B Piala AFF 2018 dan menang 3-1 kontra Timor Leste, tim besutan Bima Sakti Tukiman itu akan menantang juara bertahan Thailand, Sabtu (17/11/2018) di Stadion Rajamangala, Bangkok. Timnas Garuda dan Tim Gajah Putih terakhir bentrok di laga puncak Piala AFF 2016. Kala itu Indonesia kalah agregat 3-2 sehingga untuk kelima kalinya harus puas jadi finalis sejak perhelatan sepakbola se-Asia Tenggara itu dimulai 1996 dengan nama Piala Tiger . Kelahiran Tim Garuda Lalu, kapan dan bagaimana sebenarnya julukan Tim Garuda –yang ditujukan bukan hanya untuk timnas senior tapi juga timnas junior hingga timnas futsal– muncul? Julukan Tim Garuda pertamakali diberikan John Halmahera lewat tulisannya yang berjudul “Garuda, Layakkah Jadi Harapan PSSI?”, dimuat dalam Rekaman Peristiwa ’84 terbitan Sinar Harapan . Penyandang pertama julukan Tim Garuda adalah timnas junior PSSI era 1983. Tim ini terbentuk dari hasil Invitasi Sepakbola Junior di Yogyakarta, 20-30 Oktober 1981. Pembentukan Timnas Junior itu digarap PSSI sebagai pembinaan pelatnas jangka panjang. Seleksi lanjutan jelang Piala Asia 1984 di Singapura beberapa kali dilakukan. “Sampai di (kualifikasi) Piala Asia VIII itu, pemain yang masih bertahan hasil invitasi 1981 itu adalah Marzuki, Satya Permana, Anjar Rachmulyono, Abdul Khamid, M Sofie, Agus Waluyo, Sain Irmis dan kapten Aji Ridwan Mas,” tulis John Halmahera. Dari hasil invitasi 1981 itu pula PSSI menggelar proyek tim junior pada 25 April 1983 bernama Proyek PSSI Garuda yang diketuai Sigit Harjoyudanto. Di tahun itu juga PSSI menyewa pelatih asal Brasil João Lacerda Silho, yang acap disapa Barbatana, untuk mempersiapkan 18 pemain Tim Garuda di Kualifikasi Piala Asia 1984, Piala Raja 1984, dan SEA Games 1985. Barbatana mengambilalih kepelatihan setelah sebelumnya tim ini diasuh Yuswardi dan kemudian Eddy Sofyan, di mana keduanya tak memberi perkembangan signifikan. Pelatih Brasil, Barbatana (kedua dari kanan) mengasuh Tim PSSI Garuda sejak 1983 (Foto: Repro "Rekaman Peristiwa '84") Para pemain muda potensial itu diasuh ala Brasil dengan penyesuaian terhadap kondisi fisik, karakter, dan postur para pemain. “Pertengahan Maret 1984 tambahan tenaga dari Brasil datang lagi. Pelatih fisik Ridenio Borgez dikontrak. Lengkaplah sudah duet pelatih asal Brasilia,” tambah John Halmahera. Tim Garuda bakal menjalani latihan di Brasil. Sebelum berangkat, pada Mei 1984 mereka lebih dulu menjalani latihan fisik lebih keras di Pusat Pendidikan Polisi Militer (Pusdik POM) Cimahi. Di markas yang dikomandani Kolonel IGK Manila itu para pemain digojlok ala militer, bahkan sampai digunduli dan diberi seragam militer, selama sebulan. “Pokoknya dalam waktu satu bulan, saya benar-benar menganggap seluruh pemain adalah prajurit pendidikan. Tidak ada keistimewaan,” cetus Manila, dikutip Hardy Hermawan dan Edy Budiyarso dalam biografi IGK Manila: Panglima Gajah, Manajer Juara . Hukuman kurungan juga disiapkan jika ada pemain yang tak disiplin. Segala aspek pelatihan fisik, mental, dan kedisiplinan digeber ala tentara dari jam 6 pagi sampai jam 6 petang. Tidak hanya merayap di bawah kawat berduri dan lari lintas alam, mereka juga diajarkan keterampilan senjata dan menembak. “Itu juga untuk meningkatkan kewaspadaan dan lebih meningkatkan kedisiplinan. Kalau tidak (disiplin dan waspada), bisa ngejedor sendiri ke mukanya,” ujar Manila. Setiap Minggu, Manila menggojlok mereka dengan lari jarak jauh, bisa sampai 40 km. “Tapi toh mereka semangat juga karena setiap berlari selalu ada regu Kowad yang menyertai,” tulis Hardy dan Edi. Tim PSSI Garuda ditempa fisik, mental dan kedisiplinan di Pusdok POM Cimahi (Foto: Repro "Rekaman Peristiwa '84") Setelah sebulan di Cimahi, Tim Garuda berangkat ke Negeri Samba. Beragam pelatihan ala Brasil mereka lahap. “Sampai-sampai senam pemanasan pub bergaya Brasilia,” singkap salah satu pemain, dikutip John Halmahera. Sepulangnya dari Brasil, Tim Garuda menghadapi jadwal padat berbagai turnamen. Walau gagal membawa pulang prestasi tertinggi, pencapaian Tim Garuda hasil penggojlokan di Cimahi dan Brasil lumayan terlihat. Di Piala Raja 1984, Tim Garuda jadi runner-up setelah kalah 0-3 dari Thailand. Sayangnya, mereka juga kandas di kualifikasi Piala Asia 1984 Grup 1 dan gagal ke putaran final. Sementara, di SEA Games 1985 Tim Garuda hanya sanggup mencapai semifinal pasca-kalah 0-7 dari Thailand. Setelah serangakaian kegagalan itu, Tim Garuda I dibongkar. PSSI membentuk lagi Tim Garuda II pada 1987 untuk dibina jangka panjang jelang SEA Games 1987 dan 1991. Di kedua pesta olahraga se-Asia Tenggara itu, Indonesia merebut emas cabang sepakbola. Sejak saat itu, julukan Tim Garuda selalu lekat dengan timnas Indonesia. Di manapun timnas main, tak peduli senior, junior, atau timnas putri, media massa selalu memberitakan dengan sebutan Tim Garuda.

  • Nyai yang Berbahagia

    BEGITU menerima gaji pertamanya, Kopral KNIL Piet Scholte amat senang. Dia buru-buru pulang untuk menyerahkan gajinya kepada Djemini istrinya. Setibanya di rumah, Piet mendapati Djemini sedang duduk-duduk. Sambil malu-malu, Piet lalu menaruh uang gajinya di pangkuan Djemini. “Uang ini harus saya apakan?” tanya Djemini. “Untukmu dan untuk belanja keperluan sehari-hari. Saya hanya butuh sebelas sen untuk beli tembakau dan kertasnya,” jawab Piet sambil menahan tawa. Kehidupan harmonis keluarga Piet-Djemini merupakan anomali di masa kolonial yang sarat diskriminasi rasial. Di tengah jamaknya perlakuan buruk dan sewenang-wenang pria kulit putih pada gundik mereka, Piet justru menganggap dan memperlakukan Djemini murni sebagai istri. Sejak awal menjalin hubungan, Piet tak pernah menganggap Djemini gundik, yang tugasnya semata sebagai teman tidur. Rasa cinta dan hormat itu membuat Piet rela melindungi Djemini. Ketika Djemini tertipu oleh lintah darat sehingga berutang 1000 gulden, Piet bahkan ingin menyelesaikan masalah utang-piutang itu bersama sambil mengingatkan agar Djemini tak melakukan kesalahan serupa di kemudian hari. Keberanian untuk memperjuangkan cinta di tengah stigma miring kolonial terhadap perempuan pribumi juga dilakukan oleh penulis Willem Walraven. Walraven memutuskan menikahi gundiknya, Itih. Kepada rekan-rekannya, Itih dia perkenalkan sebagai istri. Dia tak peduli mayoritas pria Belanda di Hindia kala itu pilih menyembunyikan gundik mereka karena merasa malu. Sama seperti Scholte, pernikahan Walraven dan Itih dijalani dengan rasa hormat, penghargaan, dan kesetaraan. Para lelaki Belanda yang berani menikahi pasangan pribumi ini termasuk orang-orang berani di masa itu.  “Mereka menantang puncak hipokrisi kolonial bahwa seorang laki-laki Eropa boleh memanfaatkan perempuan pribumi untuk sementara namun tak boleh menjalin hubungan kekal dengannya,” tulis Reggie Baay dalam Nyai dan Pergundikan di Hindia Bealnda . Ekses dari hubungan harmonis itu menjadi jalan baru bagi perempuan pribumi untuk berkembang dan belajar. Lewat pasangan kulit putihnya, perempuan pribumi mempelajari bahasa Belanda, sedikit pengetahuan Barat, dan  memperoleh status tinggi, mirip tokoh Nyai Ontosoroh dalam novel Pramoedya Ananta Toer,  Bumi Manusia.  Beberapa gundik cukup beruntung karena selain menjalin hubungan harmonis dengan tuannya, juga menjadi makmur berkat koneksi yang dimiliki. Hal itu dialami antara lain oleh Davida Elizabeth Augustijns, perempuan-budak yang bernasib baik. Beberapa tahun menjadi budak Agustijns Michiels, Davida kemudian dibatis menjadi orang Kristen dan dibebaskan dari status budak oleh Michiels dan istrinya. Ketika istri Michiels meninggal, Davida menjadi gundik Michiels. Perlahan, keduanya jatuh hati dan Davida akhirnya diperistri Michiels. Keberuntungan Davida juga dialami Anjelina Catharina Velntijn. Anjelina dilahirkan sebagai seorang budak bernama Anjelina van Batavia. Nasib mujur berpihak padanya ketika seorang Belanda bernama Margaretha Catharina Wargarden mengadopsinya. Dia pun dibaptis sebagai orang Kristen dan menjalani hidup sebagai orang Eropa. Anjelina kemudian menjalin hubungan dengan pemilik perkebunan Citrap bernama Johan Samuel Heinrich Wustenberg. Ketika Wustenberg meninggal, Anjelina mengambil-alih perkebunan itu. Dia lalu menikah lagi dengan lelaki Eropa kaya hingga akhirnya memiliki posisi tinggi di masyarakat kolonial. “Pembaptisan, emansipasi, dan pernikahan dengan orang-orang kaya Eropa membuat Anjelina menjadi perempuan berpengaruh di pemukiman kolonial Batava,” tulis Jean Gelman Taylor dalam Kehidupan Sosial di Batavia.

  • Menggali Peninggalan Kerajaan Sunda Kuno

    TAK banyak peninggalan arkeologis dari masa Kerajaan Sunda Kuno yang bisa disaksikan. Padahal, kerajaan ini diperkirakan telah berkembang sejak abad ke-7 hingga abad ke-16 seiring kejatuhan Kerajaan Tarumanegara pada abad ke-7 M. “Sedikit data yang ditinggalkan oleh Kerajaan Sunda sebelum abad ke-13 M,” tulis Agus Aris Munandar, arkeolog Universitas Indonesia, dalam Siliwangi, Sejarah, dan Budaya Sunda Kuno. Dalam Tatar Sunda Masa Silam,  Agus menyebut peninggalan berupa monumen atau bangunan belum dapat diketahui dengan lebih baik. Di Jawa bagian barat memang dijumpai banyak struktur atau monumen kuno. Namun, bangunan-bangun itu selalu dihubungkan dengan zaman yang lebih tua sebelum Kerajaan Sunda. Contohnya, sejumlah peninggalan di Batu Jaya dan Segaran, Karawang Utara. Peninggalan itu cenderung dikaitkan dengan masa akhir Kerajaan Tarumanegara (abad ke-6 M). Adapun Candi Cangkuang di Garut dipandang sebagai sisa bangunan candi tertua yang bernapaskan Hindu-Siwa. Ia lebih terkait dengan masa Kerajaan Galuh Kuno, yaitu abad ke-7-8 M, atau masa Sanjaya. Sementara temuan sisa bangunan kuno di daerah Bojong Menje, Bandung hingga kini masih memunculkan tafsiran yang berbeda. Khususnya soal sejak kapan sisa kaki candi itu berasal. Ada yang memperkirakan sisa candi itu dibangun pada abad ke-5-6 M. Ada juga yang menempatkannya dari abad ke-7 M. Namun, para ahli sepakat, candi itu berkaitan dengan Kerajaan Tarumanegara. Lalu pertanyaannya, apakah Kerajaan Sunda Kuno yang cukup lama berkembang itu sama sekali tak memberi jejak bangunan? Pasca runtuhnya Kerajaan Tarumanegara, di Jawa Barat berdiri dua kerajaan, yaitu Galuh dan Sunda. Kedua kerajaan itu berkembang bersama sekira abad ke-7 hingga awal abad ke-8 M. Dalam Carita Parahyangan, Sanjaya yang bertakhta di Galuh menjadi menantu dari Maharaja Trarusbawa dari Sunda. Perkawinan itu membuat wilayah Sunda kembali bersatu di bawah satu penguasa.  Tak seperti masa Jawa Kuno, keberadaan bangunan suci di Kerajaan Sunda Kuno tidak terlalu banyak diuraikan dalam karya sastra. “Dalam karya sastra Jawa Kuno penyebutan bangunan suci sering dijumpai walaupun bukan deskripsi lengkap. Dalam naskah Sunda hanya sepintas saja,” lanjut Agus. Namun bukan berarti tak ada. Dalam “Bangunan Suci pada Masa Kerajaan Sunda: Data Arkeologi dan Sumber Tertulis,” yang terbit dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi VI , Agus Aris Munandar menyebut masyarakat Sunda Kuno sebenarnya punya tempat suci persemayaman dewa dan tanah bagi para wiku , yaitu kaum agamawan yang menarik diri dari dunia ramai. Masyarakatnya memeluk agama Hindu-Buddha sebagaimana masyarakat Jawa Kuno. Namun yang berbeda adalah sebutannya. Sumber-sumber menyebutnya  kabuyutan.  Ada juga permukiman kaum agamawan disebut mandala.  Sedangkan sasakala konsepnya mirip bangunan pendharmaan bagi raja yang telah mangkat. Sasakala  muncul dalam kitab Bujangga Manik,  laporan perjalanan sang pendeta Sunda yang berkeliling Pulau Jawa pada akhir abad ke-15 M. Disebutkan di Arega Jati (gunung sejati) terdapat tempat Petirtaan Jalatunda sebagai monumen peringatan untuk Silih Wangi ( Sasakala Silih Wangi). “ Sasakala adalah tempat untuk mengenang atau memuliakan tokoh yang telah mangkat. Sementara, pada candi pendharmaan (periode Jawa Timur, red. ) raja yang telah mangkat dan dimuliakan itu dianggap sebagai dewa ( dewaraja ),” jelas Agus. Kabuyutan, menurut Agus, mengacu pada tempat atau struktur bangunan yang mungkin berbeda dengan bangunan suci pada masa Jawa Kuno. Dalam Cerita Parahyangan muncul kalimat yang berhubungan dengan kabuyutan:   “Yang membuat kabuyutan-kabuyutan dari sang Rama, dari sang Resi, dari sang disri, dari sang Tarahan bagi Parahyangan.” Menurut Agus, sangat mungkin kabuyutan yang dimaksud Carita Parahyangan adalah bangunan suci atau tempat persemayaman para leluhur. Tempat suci itu juga disebut dalam naskah Amanat Galunggung. Bahkan dijelaskan betapa pentingnya kedudukan kabuyutan yang terdapat di Gunung Galunggung. “ Kabuyutan Galunggung mungkin merupakan kabuyutan utama yang disucikan masyarakat Sunda dan menjadi pusaka kerajaan,” kata Agus. Naskah Bujangga Manik memberikan petunjuk lain soal bangunan suci di wilayah Sunda Kuno. Di Gunung Gede sekarang, terdapat kabuyutan yang dipuja dan dikeramatkan seluruh penduduk Pakuan. Dari sana diperoleh petunjuk bahwa ketika Kerajaan Sunda berpusat di Pakuan pada abad ke-15 M terdapat kabuyutan yang menjadi kabuyutan kerajaan. Sumber lain adalah Prasasti Kebantenan. Dengan jelas dikatakan adanya daerah keagamaan yang diresmikan oleh Raja Sunda, Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja (1482-1521) yang berkedudukan di Pakuan. Prasasti itu berisi pesan sang raja untuk tak mengganggu gugat permukiman Jayagiri dan Sundasembawa, serta tanah dewa sasana yang ada di Gunung Samaya . Daerah itu merupakan larangan yang tak boleh ditariki pajak. Di sana tempat tinggal bagi para wiku. Bagi yang menggangu akan dibunuh. Prasasti ini menyebut daerah larangan itu kabuyutan dan kawikuan. Sementara menurut Agus, kata sasana dalam bahasa Sunda Kuno mungkin sama pengertiannya dengan kata sasana dalam bahasa Jawa Kuno. Artinya mungkin tempat duduk. Jadi, dewa sasana dalam prasasti berarti tempat persemayaman dewa. Kondisi Tak Lagi utuh Sejauh ini, telah ditemukan beberapa sisa bangunan yang bisa dikaitkan dengan Kerajaan Sunda Kuno. Sayangnya tersebar di beberapa tempat yang berjauhan dan kondisinya hanya tinggal serakan batuan andesit atau bata. Di daerah Pananjung, Pangandaran misalnya, penduduk setempat menyebut situs itu Batu Kalde. Di sana ditemukan balok-balok batu. Sebagian masih terkubur, sebagian lainnya berserak di permukaan tanah. Situs ini pernah diekskavasi Puslit Arkenas pada 1985 dan 1987. Hasilnya di sana pernah berdiri struktur bangunan. Menariknya, kemungkinan situs ini pernah pula dikunjungi oleh Bujangga Manik. Dalam laporannya dia menyebut sepulang dari Jawa Tengah dan Timur singgah di Desa Pananjung. Letaknya di sebuah tanjung yang menjorok ke laut selatan. Lalu ada lagi tinggalan di Desa Karangkamulyan, Cisaga, Ciamis yang mirip dengan peninggalan tradisi megalitik. Namun dengan temuan batu mirip lapik arca kemungkinan situs ini terkait masa sejarah, khususnya Kerajaan Sunda. “Bentuknya hampir mirip dengan bentuk lapik di Situs Batu Kalde. Lapik seperti itu dijumpai pula di dalam perwara selatan Candi Sambisari, Jawa Tengah,” kata Agus. Di daerah Kuningan, Jawa Barat juga banyak situs yang kemungkinan bisa dikaitkan dengan perkembangan Kerajaan Sunda. Di Desa Sagarahiyang, Kuningan, di atas bukit yang disebut Pasir Sanghiyang terdapat arca Nandi yang telah rusak, lingga, dan yoni. Adapun di Kawali, Ciamis terdapat kompleks makam kuno yang disebut Makam Astana Gede. Selain makam kuno, ditemukan juga serakan batu polos, pipih, panjang, bata kuno, dan lima prasasti. Dari bentuk huruf dan bahasanya, prasasti itu diperkirakan berasal dari abad ke-14 M. Bahkan disebut pula nama seorang Raja Sunda, Raja Niskala Wastukancana. Di puncak Gunung Tampomas, Sumedang, ada juga tinggalan yang serupa dengan hasil kebudayaan megalitik. Namun, di bagian teratas dari punden, kabarnya pernah ditemukan dua arca Ganesha yang kini sudah hilang. Dengan adanya arca itu tentunya tinggalan di Tampomas memungkinkan terkait masa sejarah. Apalagi ciri-ciri pundennya, yang berpagar di teras teratas, mirip dengan yang ada di Karangkamulyan. “Tinggalan arkeologis di Pananjung (Batu Kalde), di Bukit Sagarahyang, di puncak Tampomas, dan lainnya lagi termasuk pula sisa-sisa kabuyutan ,” ujar Agus. Warisan Sunda Kuno sangat berbeda dengan peradaban Jawa Kuno yang relatif lebih terlihat. Kajian peradaban Jawa Kuno, kata Agus, pemahamannya dapat lebih luas juga mendalam berkat banyaknya sumber arkeologis dan sumber tertulis yang memadai. “Kajian tentang Sunda Kuno bertumpu pada data yang terbatas juga sumber folklore yang kadang-kadang dapat membantuk juga untuk memecahkan permasalahan,” jelas Agus.

  • Aksi Marinir di Minahasa

    SEBAGAI seorang prajurit marinir, Ali Mutaqiem (80) masih ingat pengalaman pertamanya memasuki palagan di Sulawesi Utara. Tepatnya pagi 15 Juni 1958, bersama ribuan prajurit Korps Komando Angkatan Laut (KKo AL, sekarang Korps Marinir) dan unsur-unsur AD (Angkatan Darat) , dia mendarat di Pelabuhan Kema (sekira 30 km sebelah timur Manado). “Sebelumnya kapal-kapal kami ditembaki dari daratan oleh senjata-senjata berat modern yang belum kami kenal jenisnya,” kenang lelaki kelahiran Klaten, Jawa Tengah itu. Kendati sempat terhenyak oleh hamburan peluru-peluru tersebut, namun ada untungnya juga mereka ditembaki. Alih-alih membalas, para pengintai dari RI Gadjah Mada, RI Pattimura, RI Patiunus dan RI Hassanuddin justru bisa memetakan situasi medan hingga mengidentifikasi posisi senjata-senjata berat gerilyawan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). “Besoknya sarang-sarang para pemberontak itu dihabisi dengan tembakan-tembakan gencar meriam dan pesawat AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) hingga mereka panik dan melarikan diri,” ujar Ali. Kisah yang diceritakan Ali memang bukan sekadar isapan jempol semata. Setidaknya itu disaksikan sendiri oleh A.E. Sinolungan. Menurut penduduk Desa Papakelan (salah satu wilayah yang dekat area pertempuran), dengan mata kepalanya sendiri dia menyaksikan kilatan dari tembakan meriam yang bersanding dengan suara gemuruh pesawat memenuhi langit Minahasa dini hari itu. “Saya melihat jelas di langit arah Kema kilatan yang disertai dentuman meriam mengguntur tak henti-hentinya, saling sambung menyambung selama puluhan menit,” ungkap Sinolungan dalam Permesta-PRRI: Mengawal Negara Proklamasi 1945 Berdasarkan Pancasila . Mengincar Manado Ketika beberapa wilayah di Sulawesi Utara jatuh ke tangan gerilyawan Permesta pada April 1958, Letnan Kolonel Rukminto Hendraningrat (Komandan Operasi Militer Angkatan Perang Republik Indonesia untuk Sulawesi Utara) menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk melemahkan para pemberontak adalah dengan menguasai Manado. Hal ini perlu dilakukan mengingat posisi Manado sebagai pusat perlawanan Permesta. Setelah mengirim tim pengintai dari KKo AL dan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) ke pantai utara Manado pada 13 Juni 1958, dua hari kemudian satu kekuatan pasukan KKo AL mengirimkan gugus tugasnya yang terdiri dari AT 7 (Tim Amphibious Task 7) pimpinan Kolonel R. Soehardi, ATF (Amphibious Task Force) pimpinan Letnan Kolonel (Laut) John Lie dan Batalyon Pendarat pimpinan Mayor KKo Indro Soebagio. “KKo AL ditugaskan untuk merebut Kema, Bitung, Kauditan, Lelang dan Manado,” demikian menurut buku Korps Komando AL: Dari Tahun ke Tahun yang ditulis oleh Bagian Sedjarah KKo AL pada 1971. Karena gerilyawan Permesta yang menjaga Kema sudah terlanjur mundur ke arah Kauditan, maka pasukan KKo AL secara mudah dapat menguasai kota pelabuhan tersebut. Selanjutnya untuk mengejar pihak musuh, pada hari itu juga Kompi B di bawah pimpinan Kapten KKo S.Jetro bergerak ke Kauditan. Di wilayah inilah, Kompi B mendapat perlawanan keras dari para gerilyawan Permesta yang langsung dipimpin oleh salah satu pejabat militer mereka yakni H.Ventje Sumual. Rupanya pihak permesta sangat mafhum bahwa jika KKo AL dibiarkan menguasai Kauditan maka itu hanya akan memuluskan gerakan mereka menuju Bitung dan Manado. Pertempuran pun berlangsung secara hebat. Beberapa kali terjadi duel mortir yang seru di kedua pihak yang berakhir dengan terlukanya Sumual. Mengetahui pimpinannya lumpuh, pasukan Permesta menghindar ke arah Bitung sejak jam 12.00. Usai Kauditan jatuh, wilayah itu diserahkan oleh Kompi B kepada Kompi C pimpinan Kapten KKo R.Soenarto. Kapten Soenarto sendiri bersama Kompi A pimpinan Kapten Gandhi Poerno kembali bergerak memburu para gerilyawan Permesta ke Bitung. Masih segar dalam kenangan Ali Mutaqiem, KKo AL melangkah menuju Bitung dalam suasana yang mencekam. Menurut Ali Mutaqim, sepanjang jalan mereka harus terus siap siaga dari incaran penembak runduk Permesta dan berbagai jebakan maut mereka. “Waktu serasa panjang dan begitu melelahkan,” kenang prajurit marinir yang mengajukan pensiun dini pada 1972 itu. Sesampai Bitung pada 17 Juni 1958, situasi sangatlah sepi. Alih-alih menemukan perlawanan, seluruh aktifitas di kota itu nyaris lumpuh. Rupanya tembakan-tembakan pendahuluan yang dilakukan dari atas kapal PR 208, PR 209 dan PR 210 menyebabkan nyali musuh menjadi ciut lalu melarikan diri sebelum bertemu pasukan KKo AL. Bitung pun dikuasai tanpa sebutir peluru pun keluar. Manado Jatuh Gerakan berikutnya pasukan KKo AL adalah merebut Airmadidi. Itu dilakukan pada 25 Juni 1958. Rombongan pasukan bergerak dalam lindungan pesawat tempur AURI dan tembakan Mo.81 KKo AL. Namun saat mencapai Kolongan Maumbi, tetiba serangan dilakukan para gerilyawan Permesta dan sempat membuat terhenyak para prajurit KKo AL. Setelah melalui pertempuran seru, pada pukul 12.00 kampung tersebut dapat dikuasai secara maksimal. Sejam kemudian KKo AL mendapat perintah untuk menguasai Kairagi. Belum mencapai gerbang desa, pasukan sudah dihujani peluru dan tembakan mortir. Perlawanan di sini lebih kuat karena para gerilyawan Permesta telah mempersiapkan bunker-bunker serta pertahanan permanen. Di sekitar bukit-bukit yang mengelilingi Kairagi, telah ditempatkan senjata-senjata otomatis dan panser-panser wagon. Praktis pasukan KKo AL hanya bisa bertahan di sebelah timur jembatan Kairagi dan harus rela mendapat siraman peluru yang terus berdesingan seolah tanpa mengenal kata henti. Untunglah berkat bantuan pesawat tempur dari AURI dan perubahan taktik pertempuran, setelah lebih empat jam, perlawanan di Kairagi dapat dilumpuhkan. “Pasukan Permesta pimpinan Mayor John Ottay langsung kalangkabut dan menarik diri ke arah Lapangan Udara Mapanget,” tulis Mayor (L) Junaedi, Mayor (L) Moegiyono dan Sersan Satu Marinir M. Syafirudin dalam 60 Tahun Pengabdian Korps Marinir . Tak mau memberikan nafas kepada para gerilyawan, hari itu juga pasukan KKo AL bergerak cepat ke Manado. Entah karena nafas perlawanan pasukan Permesta sudah putus atau tengah mencoba taktik baru, tanpa dinyana, Manado sebagai pusat perlawanan ternyata ditinggalkan begitu saja oleh pihak gerilyawan. Maka pada 26 Juni 1958, tuntaslah misi KKo AL untuk menguasai Manado. “Di sinilah kami baru bisa merayakan kemenangan dengan bakar ikan dan bakar kambing, “kenang Ali, yang terakhir pensiun sebagai kopral. Sesudah Manado jatuh, Permesta menjalankan gerilya di front perbukitan sekitar Pineleng-Warembungan, sebelah selatan Manado.

bottom of page