Hasil pencarian
9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Saat Islam dan Komunis Harmonis
ISLAM dan Marxisme merupakan dua hal berbeda, bahkan bertentangan. Islam adalah agama yang ajaranya dapat diterima dan ditolak berdasarkan iman atau kepercayaan, sedangkan Marxisme sebagai suatu teori ilmiah yang diterima atau ditolak berdasarkan penalaran rasional dan obyektif. Kebenaran agama bersifat absolut, sedangkan kebenaran teori ilmiah bersifat relatif yang bersifat hipotesis. Demikian M. Dawam Rahardjo, Rektor Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta, menyampaikan makalahnya pada diskusi “Islam dan Marxisme” di Serambi Salihara, 11 Desember 2013. Menurut sejarawan dan pemimpin redaksi majalah Historia , Bonnie Triyana, pertanyaan yang mencuat dalam menelaah kaitan Islam dan komunisme di Indonesia sering kali berada di seputar: mengapa di daerah Banten dan Silungkang Sumatera Barat, dua daerah yang mayoritas penduduknya muslim fanatik, bisa sekaligus menerima kehadiran Partai Komunis Indonesia (PKI)? Paham Marxisme dibawa Henk Sneevliet, seorang sosialis Belanda yang datang pada Februari 1913. Dia dipecat oleh Partai Buruh Sosial Demokrat (SDAP) karena bergabung dengan Partai Sosial Demokrat (SDP) yang kelak menjadi Partai Komunis Belanda (CPN). Dia mendirikan Perkumpulan Sosial-Demokrat Hindia Belanda (ISDV) yang diakui sebagai partai Marxis pertama di Asia Tenggara. Dialah aktor intelektual di balik radikalisme Sarekat Islam (SI) Semarang di bawah Semaoen. Sementara itu, SI sebagai organisasi muslim dengan jumlah anggota terbesar, di bawah pimpinan Tjokroaminoto menjadi organisasi moderat dan berhubungan baik dengan pemerintah kolonial. “Sikap demikian ternyata menimbulkan ketidakpuasan sekelompok kecil anggotanya,” kata Bonnie. “Konflik internal mulai terjadi di dalam kepengurusan SI. Pembentukan cabang SI yang otonom memperuncing konflik internal.” Dawam menyebutkan, ketidakpuasan terhadap kepemimpinan Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim yang memilih kooperatif terhadap pemerintahan penjajah membuat Haji Misbach bergabung dengan SI Merah yang dibentuk oleh Semaoen yang setelah mengalami radikalisasi sejak 1919 dan memisahkan diri dari SI, menjadi PKI pada 1923. “Tjokro-Salim memilih menempuh politik moderat karena ingin menjaga persatuan perjuangan sebagai politik kebangsaan,” kata Dawam. Menurut Bonnie, perpecahan di tubuh SI semakin memuncak ketika terjadi insiden Afdeling B pada 1919, yaitu perlawanan Haji Hasan di Leles Garut yang menentang pembayaran pajak padi. Peristiwa ini berakibat penangkapan para pemimpin SI termasuk Tjokroaminoto. Agus Salim mengambil-alih kepemimpinan SI dan melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh Tjokroaminoto: pembersihan SI dari unsur-unsur komunisme. Bagaimana Haji Misbach, seorang mubalig, fasih bahasa Arab dan suka mengutip ayat-ayat Alquran dan hadis Rasulullah dalam tulisan-tulisannya yang bernah nan kritis, dapat menerima komunisme? Haji Misbach yang taat beragama, kata Bonnie, menerima komunisme sebagai ideologi pembebasan tanpa harus khawatir kehilangan akidahnya. “Pandangan Haji Misbach bersandar pada nilai-nilai ajaran Islam yang berpihak kepada kaum tertindas. Inilah titik temunya dengan ajaran Marxisme yang diperkenalkan oleh Henk Sneevliet,” ujar Bonnie. Misbach, Dawam menambahkan, menangkap Islam sebagai agama yang revolusioner yang dalam sejarah Nusantara telah menimbulkan pemberontakan-pemberontakan lokal yang bertema pembebasan. “Dari situlah pikiran Misbach bertemu dengan ideologi komunisme,” kata Dawam. Seperti halnya Misbach, kata Bonnie, komunisme diterima kalangan ulama di Banten pertama-tama karena kekecewaan mereka terhadap kepemimpinan Tjokroaminoto. Terlebih SI Banten dipimpin oleh tokoh moderat, Hasan Djajadiningrat. Tokoh SI yang memainkan peran penting dalam perkembangan komunisme di Banten adalah Kiai Haji Achmad Chatib, menantu kiai terkemuka Haji Asnawi Caringin. Tokoh penting lain adalah seorang Arab, Ahmad Basaif, yang pandai bahasa Arab dan khusyuk beribadah. Dia bersama Puradisastra dan Tubagus Alipan, menjadi pionir gerakan yang mengkombinasikan Islam dan komunisme di Banten. Kelak, tokoh-tokoh ulama bersama jawara memainkan peranan penting dalam pemberontakan PKI pada 1926. Pemberontakan serupa terjadi di Silungkang pada awal 1927, juga digerakkan oleh guru agama dan saudagar. Terlepas pemberontakan tersebut dapat dipatahkan, peristiwa ini menunjukkan bahwa Islam dan komunis pernah harmonis. Islam dan komunisme dalam pertemuannya bukan perkara ideologi, tetapi semangat perlawanan dalam menghadapi penindasan kolonial. “Mereka bertemu di jalan dan bubar di jalan,” pungkas Dawam, “karena bukan persatuan organik antara agama dan ideologi.”*
- Eddie van Halen dan Teknik Tapping yang Manjakan Kuping
Bagi Anda pecinta musik, terutama pop era 80-an dan 90-an, hampir pasti kenal lagu “Beat It” Michael Jackson. Single ketiga dalam album Thriller itu bukan hanya memberi sederet prestasi kepada Jackson dan ikut mengerek penjualan albumnya sehingga jadi salah satu album terlaris sepanjang masa, tapi juga memberi warna musik baru bagi Jackson: rock. Gitaris rock Eddie van Halen, yang diminta produser Quincy Jones, berperan penting bagi kesuksesan “Beat It”. Sentuhan tangan dinginnya, dengan permainan gitar apik, menghadirkan nuansa rock kental pada lagu itu meski tetap easy listening bagi siapa pun. Di bagian solo gitarnya, Eddie tak ketinggalan menggunakan teknik tapping (totokan), yang menjadi trade mark -nya. Ngomong-ngomong soal tapping , teknik memetik gitar ini memiliki ciri khas dibanding teknik permainan gitar lainnya. Gitaris harus menekan senar di fingerboard (papan nada), bukan memetiknya di atas sound hole atau pick up yang terletak di badan gitar. Suara yang ditimbulkannya tidak melengking atau noise , tapi blur (terkadang seperti lebah). “ Tapping itu kan sebenarnya hammer on dan pull off ,” ujar Edo Widiz, gitaris band rock Voodoo, kepada Historia.id di kediamannya. Hammer on adalah teknik untuk mendapatkan nada lebih tinggi dengan cara memetik nada pertama (nada asal) lalu menekan senar nada kedua (nada lebih tinggi) tanpa petikan. Sedangkan pull off, kebalikan dari hammer on , yaitu untuk mendapatkan nada lebih rendah. Khalayak percaya penemu tapping adalah Eddie Van Halen. Teknik ini mulai populer setelah album Van Halen muncul pada 1978. Eddie menyuguhkan permainan solo gitar menarik penuh tapping pada single pembuka “Eruption”. Bagi Edo, kepercayaan itu berangkat dari sifat eksploratif Eddie. Eddie bukan cuma memperkenalkan beragam teknik permainan gitar, tapi juga menciptakan berbagai perangkat (hardware) pendukung gitar seperti tremolo up and down –yang dipatenkan Floyd Rose karena Eddie tak mematenkannya– ataupun EVH D Tuner. Eksplorasinya juga menjelajah hingga perangkat sound . Namun sejumlah gitaris dunia menganggap tapping sudah ada jauh sebelum Eddie muncul. Steve Hackett, gitaris band Genesis, bahkan mengklaim diri sebagai orang pertama yang menggunakannya dalam rekaman. Hackett menggunakan tapping sejak 1971. Gitaris pentolan Deep Purple, Ritchie Blackmore, juga menyanggah keras. Menurutnya, suatu waktu pada 1960-an dia pernah menonton seorang gitaris country memainkan gitar dengan teknik tapping . Hanya, Blackmore tak tahu siapa orang itu dan tak menanyakan karena dia mabuk berat malam itu. Yang pasti, gitaris jazz Emmett Chapman sudah memainkan tapping pada 1969, disusul oleh Stanley Jordan. Pada tahun yang sama, Randy Rresnick memainkannya dalam musik blues. Di belantika rock, gitaris Led Zeppelin Jimmy Page sudah ber- tapping -ria pada 1969 melalui single “Heartbreaker”. Menyusul Steve Hackett, Frank Zappa, dan Brian May (Queen), dan Randy Rhoads (Ozzy Osbourne & Quiet Riot). Di luar gitar, tapping –meski belum dinamakan demikian– sudah ada sejak beberapa abad silam. Komponis Nicollo Paganini memainkannya pada biola. Di abad ke-20, Roy Smeck memainkan teknik serupa pada ukulelenya. Menurut Edo, ayah Eddie, Jan van Halen, juga sudah memainkan teknik serupa pada ukulele. Lalu apa pendapat Eddie soal teknik yang identik dengan dirinya itu? Eddie tak pernah menyebut dirinya penemu tapping . Menurutnya, dia memainkan tapping karena terinspirasi Jimmy Page di single “Heartbreaker”. Tentu, penggalian lebih jauh Eddie menghasilkan tapping yang berbeda dari para pendahulunya. Hackett tak menyangkal fakta itu. Menurut Edo, Eddie dan gitaris-gitaris penerusnya mempopulerkan dan mengembangkan finger tapping . “Gua sih nggak pernah bilang bahwa Eddie menciptakan tapping , tapi bagi gua, dia mempopulerkan tapping . Dan setiap gitaris pasti mengacu pada Eddie, memandang Eddie,” ujar Edo. Eddie van Halen, gitaris rock legendaris, meninggal dunia pada 6 Oktober 2020.
- Kontes Kuasa Alam Kalimantan
PULAU Kalimantan, lebih dikenal dunia dengan Borneo, memiliki sumberdaya alam melimpah. Sepanjang abad ke-19, tanah Kalimantan terkenal subur untuk tanaman pertanian komoditas, terutama lada. Ditambah penemuan tambang batubara dan minyak bumi pada awal abad ke-20. Hal ini membawa berkah bagi rakyat Kalimantan sekaligus bencana karena pedagang-pedagang Belanda ingin memonopolinya. Demikian diungkap sejarawan Mohammad Iskandar dalam diskusi “Perebutan Penguasaan Sumber Alam dari Borneo” di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 9 Desember 2013. Sejak abad ke-17, dua kerajaan lokal memiliki pengaruh kuat di Kalimantan, yakni Kerajaan Kutai dan Kerajaan Banjarmasin. Lada menjadi komoditas utama keduanya. Persentuhan pertama orang-orang Belanda dengan kerajaan di Kalimantan terjadi pada 1635, ketika armada dagang VOC menjalin perjanjian perdagangan lada dengan Kutai dan Banjarmasin. Isinya, kedua kerajaan itu hanya boleh menjual lada-ladanya kepada Belanda. Berawal dari perjanjian ini, pedagang-pedagang Belanda memonopoli perdagangan lada Kalimantan. “Pihak istana tidak siap, VOC lebih jeli melihat kesempatan. Mereka menawarkan kontrak dagang kepada pihak istana dengan janji untuk mempertahankan kekuasaan mereka dari kerajaan-kerajaan lain yang mencoba menyerang,” tutur Iskandar. Ketika VOC runtuh dan pemerintahan kolonial Hindia Belanda berkuasa pada awal abad ke-19, Kutai dan Banjarmasin semakin melemah. Belanda semakin menancapkan pengaruhnya untuk menahan laju Inggris yang telah bercokol di Kalimantan bagian utara. Samarinda, pintu gerbang Kutai, dikendalikan Belanda untuk mengamankan eksplorasi batubara yang mereka temukan sejak 1827. “Di bawah pengawasan asisten residen Kutai dan Pantai Timur Kalimantan, pada tahun 1860 digali tempat batubara di dekat Samarinda. Hasilnya, antara Januari-Agustus, dihasilkan batubara sejumlah 3.558,31 ton,” tulis Ita Syamtasiyah Ahyat dalam bukunya Kesultanan Kutai 1825-1910: Perubahan Politik dan Ekonomi Akibat Penetrasi Kekuasaan Belanda, yang menjadi sumber diskusi tersebut. Raja-raja Kutai mendapatkan banyak keistimewaan dan kekayaan selama berada di bawah kendali Belanda, meski kedaulatan politiknya nyaris habis. Sedangkan di Banjarmasin, Belanda semakin lama semakin dibenci. Pangeran Antasari, yang tak puas dengan campur tangan Belanda dalam politik istana ditambah laporan rakyat Martapura terhadap kesewenangan Belanda dalam mengelola tambang batubara, menyerang pos-pos Belanda di Banjarmasin pada 1859. Perlawanan Pangeran Antasari yang awalnya menjanjikan berakhir dengan kekalahan. Karena huru-hara dan kekacauan yang ditimbulkannya, Belanda memutuskan mengambil-alih Kerajaan Banjarmasin dan menyatakannya berakhir. “Wilayahnya lalu menjadi hak milik Belanda serta dimasukkan di dalam wilayah Zuid-en Oosterafdeeling van Borneo berdasarkan surat keputusan komisaris FN Niewenhuyzen pada 17 Desember 1859,” tulis Ita. Hilangnya kekuasaan dua kerajaan tersebut membuat Belanda semakin memantapkan kekuasaannya. Kalimantan pun terbagi dua: bagian utara didominasi Inggris dan selatan dikendalikan Belanda. Sumberdaya alam kembali menjadi alasan datangnya kekuatan asing di Kalimantan. Jepang menyerbu untuk mendapatkan sumberdaya batubara dan minyak yang melimpah di Kalimantan. Pada masa modern ini, Pulau Kalimantan dikuasai tiga negara berbeda: Indonesia, Brunei Darussalam, dan Malaysia. Kontras dengan wilayahnya yang luas dan sumberdaya alamnya yang kaya, kajian penelitian tentang sejarah Kalimantan masih minim, terutama oleh orang-orang Indonesia. Hal ini mendesak untuk memperkuat legitimasi Indonesia dalam kontes kuasa alam di Kalimantan pada masa modern ini.
- Dari Gojira sampai Godzilla
60 tahun Gojira meneror penonton sejak kemunculan perdananya dalam film Gojira (1954), produksi studio Toho yang disutradarai Ishiro Honda. Ia dianggap mempopulerkan genre film monster, baik di Jepang namun di Barat. Nama Gojira merupakan gabungan kata gurira (gorilla) dan kujira (paus) dalam bahasa Jepang, untuk mendeskripsikan kekuatan liarnya dan habitatnya dari lautan. Publik internasional menyebutnya Godzilla. Film Gojira terbaru, Godzilla , dirilis studio Legendary Pictures dan Warner Bros pada Mei 2014 dengan sutradara Gareth Edwards. Film ini mengangkat isu hubungan manusia yang buruk dengan alam dan lingkungan. Bencana reaktor nuklir Fukushima tahun 2011 sebagai inspirasinya. Secara umum, Godzilla adalah film hiburan sekaligus bentuk apresiasi terhadap Gojira karya Ishiro Honda. “ Gojira (1954) menjadi manifestasi dari ketakutan terhadap radiasi nuklir, namun juga mengingatkan akan trauma penggunaan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki,” tulis Toni A. Perrine dalam Film and The Nuclear Age: Representing Cultural Anxiety . Menjelang kemunculan perdana Gojira , rakyat Jepang sedang menghadapi isu nasional terkait radiasi nuklir. Pemicunya adalah Amerika yang mengadakan tes peledakan bom nuklir di Pulau Bikini, Pasifik, pada 1 Maret 1954. Kapal nelayan Jepang Daigo Fukuryu Maru yang berada di zona aman terkena hempasan ledakan nuklir. Salah satu awaknya tewas akibat radiasi. Perairan Jepang terkontaminasi. Pemerintah Jepang pun protes kepada Amerika. “Saat kapal itu kembali ke Jepang, cerita efek dari nuklir ini menyebar ke seluruh Jepang (dan melahirkan inspirasi untuk membuat film Gojira ). Pasar-pasar ikan di seluruh negeri menyediakan alat pemeriksa radiasi, dan gerakan antinuklir di Jepang kian mendapat dukungan,” seperti tercantum dalam In Godzilla Footsteps: Japanese Pop Culture Icons on the Global Stage suntingan William M. Tsutsui dan Michiko Ito. Dari situlah, Gojira didesain sebagai monster yang lahir akibat radiasi nuklir. Dalam film Gojira , dengan semburan asap radioaktif dari mulutnya, sang monster meluluhlantakkan Tokyo dan penduduknya yang tak berdaya, kemudian ia kembali ke laut. Adegan tersebut menggambarkan kekhawatiran orang-orang Jepang akan dampak dari penggunaan senjata nuklir; ia datang hanya untuk meninggalkan kehancuran. “ Gojira karya Ishiro Honda tahun 1954 penuh dengan referensi tentang perang, pemboman massal, bom atom, percobaan peledakan bom hidrogen pada 1950-an, kehidupan laut yang terkena radiasi, dan pertentangan etis terhadap sains,” tulis Yoke-Sum Wong, “A Presence of a Constant End: Contemporary Art and Popular Culture in Japan,” termuat dalam The Ends of History: Questioning the Stakes of Historical Reason suntingan Amy Swiffen dan Joshua Nichols. Gojira lalu diubah menjadi sosok yang lebih bersahabat. Dalam film-film buatan studio Toho selanjutnya, ia tampil sebagai penolong umat manusia dari serangan monster-monster lain. Adegan pertarungan Gojira melawan musuh-musuhnya selalu ditunggu para penggemar di seluruh dunia. Sampai saat ini sudah ada 33 film yang diproduksi tentang Gojira; 28 film produksi Jepang dan sisanya Amerika. Gojira juga tampil dalam adaptasi komik, serial televisi, novel, dan video games. Ini membuat sang raja monster menjadi ikon budaya pop dalam sejarah perfilman dunia.
- Satu Episode Pertempuran Laut
Pada 2 Maret 1946, pasukan Gadjah Merah Belanda dari Brigade X dan XI mendarat di Pantai Sanur. Tidak kurang dari 150 truk dan jip dengan peralatan militer yang lengkap dan modern bergerak menuju dan menduduki Denpasar. Dari Denpasar mereka menyebar ke seluruh Bali. Tujuh dari delapan raja Bali yang tadinya menyokong Republik berpaling. Untuk merebut kembali wilayah itu, pihak Republik mengirim sepasukan anak muda dari Jawa: Pasukan M, dipimpin Kapten Markadi. Anggota pasukan itu umumnya para pelajar dari Malang. Sebagian lagi anak-anak Bali. Umur mereka rata-rata belasan tahun. Markadi, sang komandan, berusia 19 tahun. Dia kelahiran 9 April 1927. Sebelum menyeberang ke Bali, Pasukan M mendapat kursus kilat dari TRI Laut. Malam hari, 4 April 1946, sekira 130 anggota Pasukan M melaut dengan 16 perahu dari Pelabuhan Boom, Banyuwangi, Jawa Timur. Empat perahu Madura, sisanya jukung. Satu perahu Madura bisa mengangkut 20 orang, sedangkan jukung maksimal lima orang. Pada saat bersamaan, sekian kilometer dari Pelabuhan Boom, perahu-perahu pasukan I Gusti Ngurah Rai juga bergerak dari Pelabuhan Muncar, Banyuwangi. Tujuan mereka sama: merebut Bali. Dua pasukan itu memang sudah berkoordinasi. Pasukan Ngurah Rai mendarat dengan baik di Pulau Dewata. Dua kapal Madura dan sejumlah jukung Pasukan M mendarat mulus di pantai Pebuahan, antara Candikesuma dan Cupel –kini bagian wilayah Jembrana, Bali Barat. Sementara dua perahu Madura lainnya, termasuk yang ditumpangi Kapten Markadi, masih terkatung-katung di tengah laut karena angin tiba-tiba mati. “Di balik kabut pagi, dari arah Cupel, tiba-tiba muncul kapal yang cukup besar. Ternyata, dua Landing Craft Mechanized (LCM) milik Belanda yang sedang patroli,” tulis I Nyoman Nirba, dalam Melacak Kisah Perjuangan. Nyoman Nirba ada di perahu Kapten Markadi. Dia saksi mata. Menurut Nirba, LCM dan perahu mereka nyaris menempel. Saking dekatnya, mereka saling mendengar percakapan. Waktu itulah seorang Belanda berteriak, “ God, ze hebben spuiten ! (mereka punya bedil!).” Seketika, Kapten Markadi yang mengerti bahasa Belanda memberi perintah, “tembak!” Belanda menyerang Pasukan M dengan mitraliur berat jenis browning kaliber 12,7 mm. Namun, karena terlalu dekat dan posisi LCM lebih tinggi dari perahu Madura, tembakan Belanda hanya mengenai tiang layar. Kapten Markadi lalu memerintahkan Pasukan M serempak melempar granat ke LCM Belanda. “Pertempuran hebat terjadi. Berkat ketangkasan anak buah perahu-perahu layar Indonesia, mereka berhasil mematahkan perlawanan Belanda,” tulis Antara , 17 April 1946. “Dari pihak Belanda, tewas juru mudi, penembak mitraliur, dan kapten kapalnya. Setelah itu kapal Belanda tersebut melarikan diri. Dari pihak Indonesia, satu orang luka, satu orang hilang.”
- Badan Ekonomi "Sama Rata Sama Rasa"
JOENOES Nasution, tokoh komunis Sumatera Timur, bergerak cepat untuk mengisi revolusi di Sumatera. Pada 11 Desember 1945, dia mendirikan Badan Pusat Perekonomian Rakyat Sumatera (BAPPER). Tujuannya memegang kendali ekonomi di seluruh Sumatera. Kala itu, sumber utama perekonomian di Sumatera Timur adalah perkebunan dan pertambangan. Revolusi membuat berbagai pihak, tak terkecuali tentara, saling memperebutkannya. Dengan mengendalikan perkebunan, unit-unit militer memiliki kekuatan politik yang otonom. “Melalui pedagang-pedagang Tionghoa, komandan militer mulai mengekspor sejumlah besar produk perkebunan (terutama karet dan kelapa sawit) ke Penang dan Singapura,” tulis Audrey Kahin dalam Regional Dynamics of the Indonesian Revolution . Gagal dengan BAPPER, Joenoes bersama Amir Joesoef dan Bustami, lalu mendirikan Ekonomi Rakyat Republik Indonesia (ERRI) pada Februari 1946. Badan ini memperjuangkan ekonomi kerakyatan dengan slogan “sama rata sama rasa”. Upaya tersebut segera mendapat dukungan dari banyak kalangan, terutama kaum kiri dengan laskar-laskarnya dan rakyat bawah. Amir dan Bustami meminta Gubernur Sumatra Tengku Muhammad Hasan untuk menjadikan ERRI sebagai otoritas resmi, kepanjangan tangan pemerintah yang mengatur perekonomian Sumatra. Penolakan gubernur membuat ERRI makin agresif bergerak. ERRI mengatur dan mewadahi pedagang asongan, kain, obat-obatan, dan lain-lain, ke dalam asosiasi dan koperasi. Para pemimpin ERRI kembali mencari pengakuan resmi kepada Wakil Gubernur Dr. Mohamad Amir. “Mereka mendapatkan pengakuan resmi yang diinginkan. Ini merupakan mandat untuk memperluas kegiatannya dalam mengontrol total ekonomi Sumatra,” tulis Anthony Reid dalam The Blood of the People Revolution and the end of Traditional Rule in Northern Sumatra. ERRI mendapat dukungan dari laskar-laskar kiri, terutama Pesindo dan Barisan Merah. Paralel dengan kekuatan bersenjata pendukungnya, cabang-cabang ERRI segera berdiri di berbagai tempat. Di Aceh, kantor pusat ERRI berdiri di Banda Aceh pada 16 Maret 1946. ERRI segera mengeluarkan berbagai aturan. “Semua produksi perkebunan harus diserahkan kepada ERRI,” lanjut Reid. ERRI juga mengambilalih kepemilikan banyak toko milik Tionghoa atau India di Medan dengan alasan untuk memblokade logistik Sekutu. Semua bahan makanan yang memasuki kota mereka sita. Untuk mendukung pelaksanaan itu, seorang inspektur ditempatkan di tiap sektor wilayah kekuasaan ERRI. ERRI juga mengekspor komoditas perdagangkan terutama ke Penang dan Singapura. Untuk itu, tulis Reid, “Ada upaya untuk mengambilalih semua fasilitas transportasi baik di darat maupun laut.” Di Aceh, ERRI menarik bea atas tiap barang ekspor dari Sigli dan Meulaboh, juga mengambilalih tambang emas milik Prancis. Terakhir, skema medis komprehensif seluruh Sumatra Timur menjadi program yang diluncurkan ERRI. Dalam program ini, semua dokter akan didaftar dan obat-obatan akan diberikan oleh ERRI. Menurut teori, semua sumber ekonomi yang dikuasai ERRI akan dibagikan kepada rakyat sesuai semboyan “sama rata sama rasa.” Namun, hal itu tak masuk akal bagi para penentang ERRI. Kritik makin gencar dan keras menghampiri ERRI. Melalui tulisan-tulisannya di Soeloeh Merdeka, Arif Lubis menjadi salah satu penyerang paling vokal. Penyalahgunaan kekuasaan dan praktik korupsi para pemimpin ERRI menjadi sorotan utamanya. “Super komunis” dan “hiper ekstrimis” menjadi cap yang diberikan lawan-lawan politik ERRI dan laskar-laskar pendukungnya. ERRI kian tersingkir. Mereka lalu memusatkan diri ke Siantar. Di sana, ERRI bersandar kepada laskar paling setia, Cap Rante di bawah pimpinan Waldemar Marpaoeng. Para pemimpin ERRI di Siantar lalu membentuk Dewan Nasional berisi lima orang. Menurut Reid, upaya tersebut sebagai tandingan kepada Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka. Menyadari bahaya ekses peran ERRI, Wakil Gubernur Amir balik badan. Di depan badan-badan perjuangan, dia berpidato yang menguatkan hati kalangan penentang ERRI dan komunis. Penangkapan Joenoes Nasution –yang sempat menjadi Residen Sumatra Timur selama sepuluh hari– dan pelarangan ERRI yang menjadi dua poin penting dari pidato Amir memicu gerakan perlawanan terhadap ERRI. Pada 4 Mei 1946, Residen Luat Siregar membubarkan ERRI. Persatuan Perjuangan memerintahkan cabang-cabangnya melikuidasi semua operasional ERRI dan mengambilalih kegiatan ekonominya untuk sementara waktu. Riwayat ERRI pun berakhir. “Satu ciri penting dari revolusi di Sumatra Timur dan Residensi Tapanuli adalah kekuasaan yang dilakukan para pemimpin unit bersenjata dalam mengendalikan wilayah dan sumberdaya ekonomi yang signifikan,” tulis Audrey Kahin.
- "The Flying Dutchman" Pertama
PADA 18 Februari 1913, pesawat Fokker yang dikemudikan Jan Hilgers lepas landas dengan mulus, disambut gegap-gempita ribuan penonton. Pesawat terbang setinggi 600 meter dan berputar-putar di langit Surabaya selama 23 menit. Untuk kali pertama sebuah pesawat mengudara di langit Hindia Belanda. “Untuk pertama kalinya saya melihat bentang alam Hindia yang ternyata sangat berbeda dengan Eropa. Sampai-sampai saya khawatir apa yang akan terjadi jika mesin saya rusak dan terjatuh di sini,” ujar Hilgers dalam wawancara dengan koran Het Nieuws van Den Dag voor Nederlandsch-Indie , 5 Agutus 1920. Johan Willem Emile Louis Hilgers pria berdarah campuran (Indo). Lahir di Probolinggo, Jawa Timur, pada 19 Desember 1886. Pada usia 11 tahun, dia menempuh pendidikan teknik di Amsterdam, Belanda, sampai 1908. Dua tahun kemudian, dia bekerja di Verwey & Lugard, salah satu perusahaan penerbangan pertama di Belanda. Persaingan antarperusahaan penerbangan di Belanda sangat ketat. Mereka berlomba menerbangkan pesawat yang pertama di Belanda. Hilgers kemudian dikirim ke Prancis untuk belajar menerbangkan pesawat, meski dia belum mempunyai lisensi pilot. Akhirnya pada 29 Juli 1910, Hilgers menjadi orang pertama yang menerbangkan pesawat di langit Belanda. Penerbangan bersejarah itu terjadi di kota Ede, disaksikan ratusan penonton. Sebenarnya Hilgers belum begitu terlatih mengemudikan pesawatnya, Bleriot XI. Setelah lepas landas, dia terbang lurus, mendarat, memutar arah pesawat, lalu terbang lurus kembali ke tempat dia lepas landas. Demonstrasi tersebut merupakan sukses besar. Hilgers mendapatkan lisensi pilot pada 12 Agustus 1912 dari Eerste Nederlandse Vliegvereniging (ENV), organisasi penerbangan Belanda pertama. Ketika Verwey & Lugard bangkrut, Hilgers pergi ke Jerman untuk bekerja dengan Anthony Fokker, penerbang Indo kelahiran Kediri. Hilgers kemudian menjadi pilot tes perusahaan Fokker. Dia sempat delapan bulan di Rusia untuk melakukan demonstrasi. Sepulang dari Rusia, dia berpikir untuk pergi ke tempat lain untuk mendemonstrasikan pesawatnya. “Hilgers ingin pulang ke Hindia, dan perusahaannya memutuskan untuk mendemonstrasikan produknya di sana juga. Akhirnya pada 28 Desember 1912, dia pergi ke Hindia dengan membawa-serta dua pesawat Fokker,” tulis Wim Schoenmaker dan Thijs Postma dalam Aviateurs van Het Eerste Uur . Lalu tibalah saat bersejarah di Surabaya. Meski akhirnya pesawat yang dikemudikannya jatuh, toh dia selamat tanpa terluka. Hilgers memecahkan dua rekor sekaligus: penerbang pertama sekaligus pilot pertama yang selamat dari kecelakaan pesawat di Hindia. “Di penerbangan pertama ini, saya langsung jatuh ke areal hutan bambu dan merusakkan pesawat saya,” tutur Hilgers. Hilgers tidak kapok. Setelah memperbaiki pesawatnya yang ringsek, dia melakukan demonstrasi di beberapa kota seperti Batavia, Semarang, Yogyakarta, dan Bandung. Hilgers tidak kembali ke Belanda. Dia menikah dengan Anna Sophia Biljenburh di Bangil, Jawa Timur, pada 27 September 1913. Pada 1914, dia menjalin kontak dengan militer dan akhirnya bersama Hein ter Poorten, komandan Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) masa Perang Dunia II, merintis pembentukan Angkatan Udara Tentara Kerajaan Hindia Belanda (ML-KNIL). Di Hindia, Hilgers telah lepas landas sekitar 3.000 kali, 20 di antaranya kecelakaan. Ajaibnya, dia tidak pernah terluka serius. Dia menghabiskan sisa hidupnya dengan bekerja sebagai instruktur dan teknisi pesawat KNIL, hingga invasi Jepang membuatnya mendekam di kamp interniran. Hilgers meninggal dunia dalam tawanan pada 21 Juli 1945 di Ngawi. Di Indonesia, nama Hilgers seakan terlupakan. Sedangkan di kota Ede, namanya tersemat dalam tugu peringatan pada 1955 dan diabadikan sebagai nama jalan, Jan Helgerswag , pada 1970. Pada 2010 sebuah parade atraksi udara dilakukan di Belanda dengan nama Jan Hilgers Memorial Airshow, yang menunjukkan betapa besar peranannya dalam dunia penerbangan Belanda. Maka tidak salah jika Jan Hilgers dijuluki The First Flying Dutchman , penerbang Belanda pertama dalam sejarah.
- Kisah Baju Seksi You Can See
YOU can see busana tanpa lengan untuk perempuan. Biasanya berupa dress atau gaun terusan sebatas lutut, di atas lutut, atau di bawah lutut. Di negeri Barat, orang menyebutnya sleeveless dress . Di Indonesia, khalayak menamainya you can see . Istilah you can see sangat sohor dalam dekade 1950-an. Beroleh istilah demikian tersebab khalayak bisa melihat ketiak (you can see ket) , sebagian payudara (you can see dad ), dan lengan si perempuan pemakai. “Meskipun kadang-kadang kita lihat juga nampak panunya atau penyakit kulitnya,” tulis Sunday Courier , 13 Februari 1955. Kehadiran you can see menimbulkan polemik sengit dan luas. Ia menjadi buah bibir kaum perempuan, laki, kalangan terdidik, politisi, dan polisi. Ia membelah khalayak di Surakarta, Yogyakarta, Kediri, dan Jakarta. Sekelompok orang menentang, selingkar lainnya menerima you can see . Penentang you can see berdalil busana ini kreasi negeri Barat. Tak laras dengan wanita Indonesia. “Mengenai jurk (gaun, red .) you can see yang menjadi persoalan ramai sekarang ini, sejak ia menjadi mode, kita sudah menyatakan bahwa mode ini tidak tepat bagi kaum wanita kita. Pakaian ini adalah tepat bagi wanita Barat...,” tulis Dunia Wanita , 4 Februari 1955. Keberatan terhadap you can see berkisar pula pada kesusilaan. Dunia Wanita menilai busana ini melanggar kesusilaan timur. Kalau khalayak menerima you can see , kesusilaan timur bakal rusak. Laki-laki akan kehilangan akal sehat. Mereka memandang perempuan secara bernafsu. Perempuan pun terancam. “… jurk ini juga memancing kemarahan berahi kaum laki-laki… akibatnya kita kaum wanita yang memakai pakaian demikian menjadi stimulan bagi kaum pria untuk mengganggu kita.” Penentang you can see bersuara kian keras. Mereka menyeru, “Kaum ibu dan organisasi wanita harus ikut memberantasnya,” tulis Dunia Wanita No. 6 , Maret 1955. Mereka mengajak para pendidik, pemuda, kaum tua, dan agamawan turut membantu gerakan memberantas you can see . Salah satunya dengan usulan razia oleh pemerintah terhadap pemakai you can see . Pemerintah agak berpihak pada penentang you can see. Mereka berjanji akan segera melarang penggunaan you can see . Tapi sejumlah orang tak bertanggungjawab bergerak mendahului rencana pemerintah. Seorang gadis pemakai you can see di Yogyakarta menjadi korban pengguntingan busana you can see oleh orang tak bertanggung jawab. “Setelah pulang dari nonton bioskop mengetahui bahwa rok yang dipakai untuk menarik perhatian para lelaki itu digunting waktu pertunjukan film sedang berlangsung,” tulis Sunday Courier No. 13, 1955. Karuan perempuan pemakai you can see ketar-ketir. “Aku kini sudah agak risih memakai baju you can see . Sudah deg-degan, jangan-jangan aku kelak tercegat oleh tukang gunting baju,” keluh seorang gadis di Jakarta kepada Minggu Pagi , 20 Februari 1955. Jengah dengan tindakan semena-mena, pendukung you can see bersuara. Seorang polisi terang mengaku tak setuju dengan razia pemakai you can see . “Menurut sepanjang pengetahuanku hingga kini belum ada pemerintah menentukan lengan baju wanita harus sekian panjangnya, bentuk dada harus sebegini, dan sebagainya,” kata seorang polisi kepada Minggu Pagi , 23 Januari 1955. Ketimbang merazia pemakai you can see, pendukung you can see justru meminta pemerintah lebih dulu memperhatikan model busana terbuka lain. “Misalnya pakaian serimpi, bedoyo, tandak harus diubah,” tulis Sunday Courier No. 13, 1955. Pendukung you can see juga mempertanyakan mengapa khalayak tak bertindak terhadap pemandangan tepi kali Ciliwung, Jakarta. Mereka bilang banyak perempuan ber- you can see all di sana. Lebih menggoda ketimbang perempuan pemakai you can see . “Dan biasanya kalau orang lihat sedikit tentu ingin lihat lebih banyak. Tapi kalau sudah lihat semua, dianggapnya… biasa! Terserahlah!” tulis Sunday Courier No. 13, 1955. Razia sepihak terhadap you can see tak menghentikan perempuan untuk memakainya. Kini sebagian besar orang mulai mafhum dengan pemakai you can see . Dan segelintir lagi masih terjebak pada perdebatan lama.*
- Bung Tomo Menikah Saat Perjuangan Kemerdekaan
DI masa revolusi, para pemuda menempatkan perjuangan mempertahankan kemerdekaan (1945-1949) di atas kepentingan diri sendiri. Revolusi menuntut pengorbanan segala-galanya, termasuk perkawinan sebagai “kenikmatan” pribadi. Tak heran jika mereka kerap jengkel melihat iklan-iklan perkawinan dan pertunangan di suratkabar. “Mereka berpendapat bahwa perkawinan dan pertunangan bertentangan dengan sifat revolusi yang menjadi-jadi,” tulis Soe Hok Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan. Sorotan pun dialamatkan kepada Bung Tomo, tokoh pemuda dan penyulut semangat pertempuran Surabaya, ketika hendak menikah di masa revolusi. Muncul pro dan kontra. Ada yang menyayangkan mengapa Bung Tomo tidak konsekuen dengan janjinya untuk tidak menikah sebelum perjuangan selesai. “Kami dapat menerima kekecewaan ini,” kata Sulistina dalam Bung Tomo Suamiku , “tetapi tak dapat menjelaskan secara pribadi apa yang menjadi pertimbangan pernikahan kami.” Sejatinya, Bung Tomo juga memiliki perasaan bersalah. Untuk itu, dia meminta izin dan persetujuan dari kelompok pemuda yang dipimpinnya, Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI). Dalam iklan perkawinan Bung Tomo dengan Sulistina di harian Boeroeh , 16 Juli 1947, pucuk pimpinan BPRI menyetujui perkawinan itu pada 19 Juni 1947, dengan perjanjian: “Setelah ikatan persahabatan mereka diresmikan, mereka akan lebih memperhebat perjuangan untuk rakyat dan revolusi; meskipun perkawinan telah dilangsungkan, mereka tidak menjalankan kewajiban dan hak sebagai suami-istri sebelum ancaman terhadap kedaulatan negara dan rakyat dapat dihalaukan.” Iklan tersebut, menurut Soe Hok Gie, memperlihatkan Bung Tomo merasa berdosa karena perkawinannya dilangsungkan di tengah suasana revolusi. Seolah-olah dia hanya mencari kenikmatan pribadi. Mereka kemudian berjanji tidak akan menjalankan hak dan kewajiban sebagai suami-istri sampai ancaman terhadap kedaulatan berakhir. “Kami harus berjanji melaksanakan dengan patuh, syarat ini demi keselamatan negara,” kata Sulistina. Menurut kepercayaan orang-orang tua, bila pemimpin pasukan atau negara menikah di masa perang, pantang baginya melakukan hubungan suami-istri selama 40 hari. Jika dilanggar akan ada medan perang yang dibobol musuh. “Entah dari mana tradisi itu, namun demi keselamatan negara kami berjanji akan mematuhi,” kata Sulistina. Bung Tomo pun meyakini kepercayaan tersebut dan meminta kepada istrinya, “kita jalani puasa 40 hari ini ya. Demi keberhasilan perjuangan.” Sulistina mengangguk. Akhirnya, masa puasa 40 hari itu berlalu. Sehari sebelumnya, Bung Tomo memberikan sebuah buku kepada istrinya: Kamasutra .
- Pejuang Parapat Ingin Culik Bung Karno Secara Terhormat
BELANDA menduduki Yogyakarta pada agresi militer kedua akhir tahun 1948. Belanda kemudian mengasingkan para tokoh Republik Indonesia, yaitu Sukarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim, dan para menteri, ke Brastagi, Karo, Sumatera Utara, dan Pulau Banda. Setelah sepuluh hari dalam tahanan militer Belanda di Brastagi, Sukarno, Sjahrir, dan Agus Salim, dipindahkan ke Parapat, di tepi Danau Toba, pada 1 Januari 1949. Sukarno melukiskan rumah pengasingannya di Parapat sebagai tempat peristirahatan yang indah tapi tidak mudah dijangkau. “Rumah itu di tiga sisinya dikelilingi air. Bagian belakang rumah berupa tanah darat, yang dapat dicapai melalui jalan berkelok-kelok,” kata Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams. Tidak sembarang orang dapat menemui mereka di rumah pengasingan itu. Namun, Josef Sitindaon, penghulu Negara Sumatera Timur, telah dikenal oleh tentara Belanda. Sebagian pengawal rumah pengasingan itu adalah kenalan baik dan sanak keluarganya. Dia diperbolehkan berkunjung untuk mengantarkan majalah. Dalam Memori Sejarah Gerilla, C. Marbun, mantan wakil komandan/kepala staf daerah militer Sumatera Timur-Tengah, mencatat bahwa menurut Josef, Sutan Sjahrir-lah yang sering bebas bergerak, berjalan-jalan di pekarangan memandangi indahnya Danau Toba. Pengawasan di malam hari juga tidak begitu ketat karena yang berjaga hanya barisan pengawal sedangkan pasukan Belanda pergi minum-minum di tepi Danau Toba. Pada 5 April 1949, Josef melaporkan kepada Seksi Keamanan dan Penertiban Batalion IV Sumatera yang berkedudukan di Parapat, bahwa pemimpin Negara Republik Indonesia (NRI) yang ditawan adalah Sukarno, Sutan Sjahrir dan Haji Agus Salim. Laporan tersebut diteruskan kepada Komandan Batalion IV, Kapten Bunga Simanungkalit. “ Josef meminta agar TNI mempertimbangkan untuk merencanakan penculikan terhormat, membebaskan pemimpin Negara RI tersebut,” tulis Marbun. Operasi penculikan dipercayakan kepada Peltu Walter Sirait dibantu Josef sebagai pembawa pesan. Selama tiga hari tiga malam pasukan Walter Sirait mengintai rumah pengasingan itu. Di kemudian hari, Sukarno mengatakan, “pada suatu malam yang gelap sekelompok pemuda mencoba membebaskan Bung Karno. Para pemuda yang tidak kukenal itu dengan sembunyi-sembunyi menyebrangi danau dengan perahu kecil yang di dayung. Di tengah malam yang hening itu kudengar tembakan di dekat dinding kamarku. Jendela-jendela di kamarku menghadap ke danau tetapi malam itu sangat gelap.” Pada 10 April 1949, Josef berhasil menemui Sutan Sjahrir dan mengantarkan majalah. Setelah kondisi aman dari pantauan penjaga, dia menyampaikan surat rahasia. Sjahrir dan Sukarno membaca surat rahasia itu yang bunyinya: “Salam perjuangan Merdeka! TNI merencanakan penculikan terhormat untuk menyelamatkan bapak-bapak pemimpin NRI dari gedong tawanan. Melalui Danau Toba dan darat, pembesar negara dapat diselamatkan ke markas gerilla TNI, dengan taktik dan gerak cepat yang jitu. Mohon pendapat kapan waktu yang tepat buat melakukannya. Apabila diperoleh keputusan, bahwa rencana tersebut dapat dilaksanakan maka operasi gerak cepat dengan pelaku-pelaku yang tangguh akan dipersiapkan. Salam hangat dari TNI.” Dengan haru, Sjahrir berbisik kepada Josef, “jangan dipikirkan usaha untuk menculik atau membebaskan kami, karena Perserikatan Bangsa-Bangsa sudah mengetahui pemimpin-pemimpin besar Negara RI berada dalam tawanan Belanda. Politik perjuangan kita di luar negeri telah menerobos puncak penentuan, untuk mana perjuangan gerilla harus ditingkatkan, yakinlah, kita akan menang. Sdr. Josef Sitindaon tak usah datang-datang lagi kemari karena kami tidak lama lagi akan dipindahkan dari Parapat. Sampaikan salam hangat kami kepada TNI dan rekan-rekan pejuang gerilla.” Dengan demikian, “penculikan terhormat” urung dilakukan. Para pemimpin Republik yang diasingkan ke Parapat dan Banda, dikembalikan ke Yogyakarta pada 6 Juli 1949 setelah perundingan Roem-Royen.
- Aksi Kapal Selam di Papua dan Sabotase yang Gagal
GAGAL dengan diplomasi, Sukarno menempuh aksi militer untuk merebut Irian Barat (Papua) dari Belanda. Pada 19 Desember 1961, dia mengumumkan Operasi Trikora (Tri Komando Rakyat) yang memuat perintah: gagalkan pembentukan negara boneka Papua, kibarkan Merah Putih di sana, dan mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Indonesia. Pelaksana operasi itu adalah Komando Mandala Pembebasan Irian Barat, komando tempur lintas angkatan, di bawah pimpinan Mayjen Soeharto. Untuk mengetahui medan dan kekuatan lawan, Komando Mandala menggelar operasi penyusupan. Salah satunya Operasi Tjakra II pada 15-26 Agustus 1962. Untuk operasi ini, Angkatan Laut mengerahkan tiga kapal selam (Nagarangsang, Trisula, Tjandrasa) yang berasal dari kelas “Whiskey”. Kapal selam ini dibeli dari Uni Soviet dan tiba di Surabaya pada pengujung 1959, sebagai bagian dari pembangunan kekuatan laut pertama yang dirintis trio KSAL Soebijakto-Jos Sudarso-Ali Sadikin. Indonesia memilih Soviet karena upaya pendekatan ke Amerika Serikat gagal. Meski punya banyak tipe kapal selam, Soviet hanya mau menjual kapal selam kelas W kepada negara-negara sahabatnya. Dalam Operasi Tjakra II, ketiga kapal selam itu punya titik pendaratan berbeda-beda meski masih di Teluk Tanah Merah, Papua. Lantaran itulah kapal selam Trisula berangkat paling awal karena mendapat titik pendaratan terjauh. Setelah menerima perintah dari Komandan Kesatuan Kapal Selam-15 Kolonel RP Poernomo pada 15 Agustus 1962, Mayor (Laut) Teddy Asikin Nataatmadja menggerakkan kapal selam yang dipimpinnya, RI Trisula (402), menuju Teluk Tanah Merah, Papua. Keberangkatan Trisula menandai dimulainya Operasi Tjakra II, yang membawa tim DPC (Datesemen Pasukan Chusus) RPKAD (Resimen Pasukan Khusus Angkatan Darat) dan tim ilmuwan. “Tim pasukan khusus yang naik kapal selam RI Trisula dan RI Nagarangsang nantinya bertugas melakukan sabotase pada pertahanan Belanda di sekitar kota Hollandia atau sekitar lapangan terbang Sentani,” tulis Atmadji Sumarkidjo dalam Mission Accomplished: Misi Pendaratan Khusus oleh Kapal Selam RI Tjandrasa . Sementara itu, tim ilmuwan menyiapkan masyarakat untuk ikut andil dalam sebuah pemerintahan sementara di sekitar ibukota pascapenyerbuan dan pendudukan Biak yang telah diagendakan. Dari pangkalan Teluk Kupa-kupa, Halmahera, Trisula bergerak ke timur pada haluan 070 derajat. Rute agak ke utara itu diambil untuk menghindari deteksi pesawat-pesawat Neptune Belanda yang berpangkalan di Biak. Lettu Dolf Latumahina, komandan tim DPC-2 RPKAD, dan ke-14 anak buahnya ada di dalam Trisula. Mereka merupakan tim khusus dari banyak tim khusus yang dibentuk RPKAD menjelang kampanye pembebasan Irian Barat. Dari sekian banyak DPC, mereka punya spesialisasi masing-masing. DPC-2 mendapat pelatihan langsung dari Mayor Benny Moerdani, dan mendapat spesialisasi penyusupan dari kapal selam. Selama pelayaran itu, kecuali Dolf yang ditempatkan di ruang perwira, anggota pasukan DPC-2 tinggal di ruang torpedo. Kebanyakan dari mereka menghabiskan waktu dengan bermain gaple dan bersenda gurau dengan awak kapal selam. Saat berada di utara Hollandia, kapal itu lalu berbelok ke selatan. Trisula sudah berada di dekat garis pantai saat senja. Sekira tiga mil dari pantai, Trisula mulai muncul dari kedalaman laut. Para prajurit mulai tegang. Setelah pintu kedap air di haluan dibuka, dua perahu karet dikeluarkan dan dipompa, lalu mengangkut pasukan DPC-2 ke pantai yang berjarak 300 meter. Begitu sampai, mereka langsung bercakap-cakap dengan penduduk setempat. Namun tak berlangsung lama. Awak Trisula melihat cahaya kelap-kelip datang dari arah daratan. Komandan Trisula, Asikin, memerintahkan pasukan DPC-2 segera kembali ke kapal selam. Selagi mereka berdiskusi tentang cahaya itu, dua pesawat Neptune Belanda datang dan mengelilingi posisi mereka. Setelah pasukan DPC-2 masuk, Trisula segera menyelam cepat hingga ke kedalaman 150 meter. Dari dalam laut terlihat ternyata bukan hanya pesawat Belanda saja yang mengejar mereka, tapi juga sebuah kapal destroyer Angkatan Laut Belanda. Trisula menyelam lagi, hingga kedalaman 180 meter. Sekira dua jam kemudian, destroyer itu berada di atas permukaan, dimana Trisula bersembunyi. Destroyer itu terus berputar-putar di atas posisi Trisula. “Awak kapal selam dapat mendengar dengan telinga telanjang suara gauk (sirene) destroyer yang ada di atasnya di mana destroyer Belanda itu (seolah-olah) ingin menyatakan bahwa dia mampu mendeteksi posisi kapal selam tersebut,” tulis Sumarkidjo. Trisula sendiri mempertahankan kedalamannya dan terus bergerak ke utara. Setelah mencapai posisi 2oLU, kapal selam itu berbelok ke barat dan akhirnya sampai ke pangkalan semula. Meski selamat, banyak awak Trisula kecewa lantaran begitu berlabuh mereka baru tahu bahwa ada perintah cease fire (gencatan senjata). Setelah Trikora berakhir, Trisula dan kapal selam-kapal selam lain ikut dalam berbagai operasi militer yang muncul kemudian. Pada masa pemerintahan Soeharto, yang lebih memperhatikan pembangunan militer pada Angkatan Darat, kapal tersebut kurang mendapat perhatian sebelum akhirnya pensiun.*
- Bulan Puasa di Bawah Agresi Militer Belanda
Belanda melancarkan serangan kepada Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat pada 21 Juli 1947. Agresi militer pertama ini berkode actie product (aksi atau operasi produk). Belanda menyerang pada awal puasa Ramadan 1366 Hijriyah kemungkinan karena orang Indonesia yang mayoritas muslim sedang berpuasa sehingga dalam keadaan lemah. Sebenarnya, sejak akhir Juni 1947 telah diperkirakan Belanda akan melancarkan serangan dalam waktu dekat. Sehingga, di hari pertama puasa pada 19 Juli 1947, para ulama Aceh dalam rapat umum di pekarangan Mesjid Raya Baiturrahman menyerukan “puasa tidak menghalangi seseorang untuk berjuang. Karena itu sambil berpuasa berjuanglah, dan sambil berjuang berpuasalah.” “Demikian pesan para ulama yang memanfaatkan mimbar rapat umum tersebut untuk menyampaikan penerangan mengenai kewajiban berpuasa di tengah perjuangan kemerdekaan yang sedang memuncak,” tulis Pramoedya Ananta Toer, dkk., dalam Kronik Revolusi Indonesia 1947 . Residen Aceh, lanjut Pram, juga menyerukan supaya umat Islam di Aceh senantiasa siap-sedia menghadapi segala kemungkinan yang datang sebagai akibat keserakahan Belanda: “Jadikanlah ibadah puasa sebagai jembatan untuk mempertebal iman dan perjuangan. Kita selalu digempur dengan cara besar-besaran oleh tentara Belanda. Jangan disangka kita akan lemah dalam menghadapi mereka karena kita sedang berpuasa. Kita kuat dan tetap kuat menghadapi mereka, kapan saja dan dimana saja.” Menurut J.A. de Moor, penulis biografi Jenderal Spoor: Kejayaan dan Tragedi Panglima Tentara Belanda Terakhir di Indonesia , dalam agresi ini Spoor mengomando kekuatan tempur sebanyak 96.000 pasukan, 75.000 di Jawa dan 21.000 di Sumatra. “Agresi militer Belanda I di daerah Sumatra Selatan tepat pada bulan puasa hari ketiga. Aksinya itu dimulai pada pagi hari sesudah umat Islam di daerah Sumatra Selatan selesai melakukan sahur,” tulis Sejarah Perang Kemerdekaan di Sumatera, 1945-1950 . Sementara itu, tulis de Moor, pihak Republik menurut data NEFIS (Dinas Intelijen Militer Belanda) memiliki 195.000 prajurit di Jawa dan Sumatra; sekira 168.000 orang dari “kelompok-kelompok tak teratur” atau kelasykaran; beberapa serdadu Jepang terlibat dalam setidaknya seratus kasus; beberapa pasukan India-Inggris yang memihak Republik; dan sekira sepuluhan orang Jerman namun tak pernah menampakkan diri hanya terdengar suaranya yang keras dan jelas di semak-semak bersama pejuang Republik. “Dengan keunggulan peralatan beroda, tank dan meriam pasukan itu (Belanda, red ) menyerang dari darat, laut, dan udara. Spoor ingin memanfaatkan sepenuhnya keunggulan angkatan bersenjata Belanda dan menyingkirkan TNI dengan ofensif kejutan yang dahsyat,” tulis de Moor. Pertempuran jelas tak seimbang. Selama operasi, Belanda melakukan 1.039 penerbangan (pengintaian, mendukung artileri dalam mengarahkan penembakan, membombardir berbagai sasaran, mengedrop perbekalan, dan selebaran) di Jawa dan Sumatra. Sementara itu, menurut de Moor, aksi udara lebih lanjut dari Republik –yang memiliki 28 pesawat yang dapat dioperasikan dan beberapa puluh lagi tidak dapat dioperasikan yang diambilalih dari Jepang– tidak dilakukan selama agresi militer pertama. “Pada 24 Juli, Spoor memberikan konferensi pers yang pertama. Dia sesumbar mengenai kemenangan. Dia nyatakan antara lain bahwa TNI begitu cepat enyah hingga pasukan Belanda tidak dapat mengikuti tempo larinya,” tulis de Moor. Belanda berhasil menduduki Jawa Barat, Jawa Tengah (Yogyakarta, Surakarta dan Kedu di luar tujuan operasi); dan sebagian Jawa Timur (Bojonegoro, Madiun dan Kediri dalam kekuasaan Republik). Belanda juga menguasai Pantai Timur Sumatra, Pantai Barat Sumatra, dan Palembang. Dengan demikian, daerah-daerah perusahaan perkebunan, tambang, batubara, dan ladang minyak telah kembali ke tangan Belanda. Produksi barang perdagangan terpenting Hindia Belanda (minyak, karet, teh, kopra, dan gula) dapat dimulai lagi. “Hindia Belanda kembali mendatangkan uang. Situasi finansial (Belanda, red. ) yang gawat kelihatan berakhir,” tulis de Moor. Dalam agresi militer ini, Belanda kehilangan 76 tentara tewas dan 206 luka-luka. Korban pihak Indonesia tidak diketahui pasti, tapi ditaksir sekira 10.000 orang tewas. Namun, de Moor mengakui, selagi pertempuran berjalan, dunia luar mulai memusuhi Belanda. Perkembangan ini akan sangat mempengaruhi dan bahkan menentukan jalannya perang, dan juga perkembangan diplomatik. Dewan Keamanan PBB menerima resolusi Australia, bekas sekutu pada masa perang yang sekarang menentang Belanda, menyerukan penghentian segera permusuhan dan diakhirinya konflik dengan cara damai.





















