top of page

Hasil pencarian

9594 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Martir Dunia Kedokteran

    Eijkman, lembaga penelitian medis dan biologi di Batavia, 1939. Foto: KITLV. DOKTER-dokter di Indonesia mogok dan berunjukrasa sebagai bentuk solidaritas terhadap koleganya di Manado, Sulawesi Utara, yang ditahan dengan tuduhan malpraktik sampai menghilangkan nyawa pasiennya. Kasus ini masih bergulir, dan begitu mengguncang dunia kedokteran di dalam negeri. Pada masa pendudukan Jepang, ada satu kasus yang menggemparkan dunia kedokteran. Pada Juli 1944, ratusan romusha  (pekerja paksa) di Klender Jakarta dicurigai terkena wabah penyakit. Dokter-dokter Jepang setempat menyuntikkan vaksin tipes, kolera, dan disentri kepada mereka. Alih-alih sembuh, sekira 900 romusha  malah tewas. Pemerintah pendudukan Jepang langsung mencurigai dokter-dokter di Lembaga Eijkman, lembaga penelitian medis dan biologi di Jakarta. Polisi militer ( Kenpetai ) memeriksa mereka dengan tuduhan telah meracuni vaksin yang diberikan kepada para romusha . Lembaga Eijkman dirintis tahun 1888. Namanya diambil dari nama penelitinya yang terkenal dan penerima Nobel: Christian Eijkman. Sejak itu, Lembaga Eijkman menjadi pusat riset medis dan biologi tersohor di Hindia Belanda. Pada masa pendudukan Jepang, Lembaga Eijkman diberitakan sedang meneliti vaksin lain di bawah pimpinan dr Achmad Mochtar, bumiputera pertama yang menjadi direktur lembaga itu pada 1937. Pemeriksaan Kenpetai berubah menjadi tragedi, ketika dokter-dokter ini kemudian ditangkap dan disiksa pada Oktober 1944. Ada yang dipukuli, disetrum, sampai dibakar hidup-hidup. Karena tak mendapatkan bukti, pada Januari 1945 Jepang membebaskan staf-staf Eijkman dalam keadaan yang menyedihkan. Dua dokter, Marah Achmad Arif dan Soeleiman Siregar, meninggal dunia dalam tahanan akibat siksaan. Sedangkan Achmad Mochtar dijatuhi hukuman mati. Menurut Moh. Ali Hanafiah, asisten dr Mochtar, dalam Drama Kedokteran Terbesar , dr Mochtar dipaksa mengaku mengotori vaksin yang menyebabkan kematian banyak orang itu. Dia dituduh memasukkan bakteri tetanus ke dalam vaksin tifus, kolera, dan disentri. Pada Juli 1945, dr Mochtar dieksekusi tanpa pengadilan dengan cara dipancung. Jenazahnya dikebumikan di pemakaman massal Ancol. Peristiwa ini menimbulkan tanda tanya besar dan merupakan tragedi yang memilukan dalam dunia kedokteran Indonesia dan bagi Lembaga Eijkman. “Peristiwa ini, dan perang berdarah untuk mempertahankan kemerdekaan dari Belanda yang mengikutinya, secara efektif menghancurkan institut ini sampai akhirnya ditutup pada tahun 1965,” tulis JK Baird, “Tropical Health and Sustainability,” termuat dalam Infectious Disease karya Phyllis Kanki dan Darrell Jay Grimes. JK Baird, direktur Clinical Research Unit Oxford University, menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk menyelidiki pembunuhan dr Mochtar. Dia mengungkapkan, kematian romusha  disebabkan eksperimen dokter Jepang yang membuat vaksin tetanus untuk kebutuhan tentara dan penerbang Jepang. Dan para romusha  menjadi kelinci percobaannya. Untuk menutupi hal ini, Lembaga Eijkman difitnah. Dan Mochtar menjadi kambing hitam untuk menyelamatkan staf Eijkman dan koleganya. “Achmad Mochtar bukan hanya pahlawan bagi Indonesia, tapi juga seorang pahlawan bagi sains dan kemanusiaan,” kata Baird, dikutip theguardian.com , 25 Juli 2010. “Kita biasanya menemukan heroisme seperti ini dalam diri seorang militer, bukan seorang intelektual. Tapi itu semua tidak benar, jika kita melihat kisah dari seorang Achmad Mochtar.” Achmad Mochtar lahir dan besar di Sumatra Barat pada 1892. Dia kemudian merantau ke Jawa untuk melanjutkan studinya di sekolah dokter bumiputera (Stovia) sampai lulus pada 1916. Dia kemudian meraih gelar doktor dari Universitas Amsterdam. Kini namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit di Bukittinggi, Sumatra Barat. Lembaga Eijkman yang pernah dipimpinnya aktif kembali sejak 1992.

  • Peranakan Tionghoa di Bangka-Belitung

    Penambang timah Tionghoa di Manggar, Belitung, 1903. (KITLV). KEBERADAAN orang Tionghoa di Bangka-Belitung karena timah; Bangka sendiri berasal dari bahasa Sanskerta, vanka yang   artinya timah. Penambangan timah di Bangka dimulai pada abad ke-18 oleh keluarga Tionghoa dari Guangdong, Lim Tiau Kian. Sementara di Belitung, penambangan dimulai perusahaan Belanda Gemeenschappelijke Mijnbouw Maatschappij Billiton (GMB) pada 1852. Menurut sejarawan Myra Sidharta dalam diskusi bertajuk   “Jejak Langkah Kaum Peranakan Indonesia, Silang Budaya Negeri China dan Nusantara,” di Kunstkring Paleis, Jakarta Pusat, (28/11/2013), meski sama-sama berasal dari daerah Guangdong (Kanton) Tiongkok Selatan, peranakan Tionghoa di Bangka dan Belitung memiliki perbedaan. Baca juga:  Timah dan Tuan Besar Orang Tionghoa di Bangka didatangkan pada awal abad ke-18 ketika pertambangan resmi dibuka. Mereka umumnya tidak membawa istri sehingga menikahi penduduk bumiputera, baik Bangka, Jawa maupun Bali. Maka, menurut Myra, Tionghoa di Bangka adalah “masyarakat peranakan sebenarnya, yaitu darah campuran Tionghoa dan pribumi.” Jumlah Tionghoa muslim cukup besar, bahkan ada kuburan khusus untuk mereka di dekat kota Mentok. Sedangkan Tionghoa di Belitung datang pada pertengahan abad ke-19 beserta istri-istri mereka. Mereka menjadi “peranakan berdasarkan orientasi hidup.” Contohnya, ada perempuan yang menggantikan pakaian Tionghoanya dengan pakaian bumiputera. Mereka mengganti baju kurung dengan kebaya, celana dengan sarung. “Di zaman dahulu wanita mengunyah sirih. Dewasa ini mereka makan durian dan petai,” kata Myra. Baca juga:  Perebutan yang Menghancurkan Perbedaan terbesar dalam bahasa. Di Bangka, peranakan Tionghoa berbahasa Melayu-Bangka yang khas bercampur kata-kata dialek Hakka. Di Belitung, peranakan Tionghoa berbahasa Hakka murni yang dibagi dalam “bahasa ibu” dan “bahasa ayah.” Kaum perempuan berbahasa ibu dengan nada khas dan bercampur bahasa Melayu. Lelaki berbahasa ayah atau Hakka murni; jika berbicara dengan bahasa ibu dianggap aneh. Dewasa ini bahasa Hakka terancam punah. Anak-anak kecil di Belitung bisa bahasa Hakka namun ketika pindah ke Jakarta jarang mau menggunakannya karena malu atau pergaulan. Di luar perbedaan itu, dalam hal kuliner, Tionghoa di Bangka dan Belitung umumnya sama. Keduanya membedakan masakan totok dan peranakan. Makanan juga disesuaikan untuk kebutuhan sehari-hari, ritual, perayaan, perkawinan, dan kematian.*

  • Film Porno Mirip Sukarno

    Sukarno di Uni Soviet. Foto: "Indonesia Through Russian Lens" karya Kedutaan Besar RI untuk Rusia (2011)/teguhtimur.com. MELALUI akun twitter -nya, politisi Partai Liberal, Mark Textor, menyebut Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mirip bintang porno Filipina tahun 1970-an. Kicauan Textor, menyusul ketegangan Indonesia-Australia ihwal penyadapan, dikecam berbagai pihak. Bahkan Malcolm Fraser, mantan perdana menteri dari Partai Liberal, meminta partainya memecat Textor. Textor akhirnya minta maaf. Presiden Sukarno pernah mengalami hal serupa, bahkan lebih parah. Dalam upaya menjatuhkan Sukarno, Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA) membikin film porno. Rekayasa CIA ini didasarkan anggapan umum bahwa Sukarno suka main perempuan. Dalam Potrait of a Cold Warrior , mantan agen CIA Joseph B. Smith mengungkapkan bahwa CIA berusaha menemukan pemeran film porno yang mirip dengan Sukarno. “Los Angeles sebagai pemasok film-film porno cocok dengan tujuan kami, kami pikir, karena mereka memiliki pemeran berkulit gelap ... yang mungkin dapat dibuat agar terlihat seperti Sukarno dengan sedikit sentuhan,” tulis Smith. Ketika tak menemukannya, CIA memutuskan membuat masker wajah Sukarno. “Kami berencana mengirimkannya ke Los Angeles dan meminta polisi setempat membayar bintang film porno untuk memakainya selama beradegan dewasa,” kata Smith. Menurut Kenneth J. Conboy dan James Morrison dalam Feet to the Fire: CIA Covert Operations in Indonesia, 1957-1958 , film porno itu dikerjakan di studio Hollywood yang dioperasikan Bing Crosby dan saudaranya. Film ini dimaksudkan sebagai bahan bakar tuduhan bahwa Sukarno (diperankan pria Chicano) mempermalukan diri dengan meniduri agen Soviet (diperankan perempuan pirang Kaukasia) yang menyamar sebagai pramugari maskapai penerbangan. “Proyek ini menghasilkan setidaknya beberapa foto, meski tampaknya tak pernah digunakan,” tulis William Blum dalam Killing Hope: US Military and CIA Interventions Since World War II . Hal senada dikemukakan Oliver Stone dan P. Kuznick dalam The Untold History of United States : “... film ini, jika dibuat, tidak pernah benar-benar dirilis.” Selain film itu, menurut Blum, film porno lain yang diproduksi untuk CIA dibuat Robert Maheu, mantan agen FBI. “Film ini dibintangi seorang aktor yang mirip Sukarno,” tulis Blum. “Nasib akhir dari film, yang berjudul Happy Days , tak pernah dilaporkan.” Menurut Michael Drosnin dalam Citizen Hughes , Maheu mendapatkan $500 per bulan dari CIA untuk pekerjaan-pekerjaan kotor. Salah satunya memproduksi film porno yang dibintangi mirip Sukarno. Namun, menurut Samuel Halpern, perwira senior di Divisi Timur Jauh, film itu justru menjadi bumerang karena di beberapa negara Dunia Ketiga, “mereka menyukai gagasan seorang pria berwarna berhubungan seks dengan perempuan kulit putih,” tulis Conboy dan Morrison.

  • Politisi Australia Sahabat Indonesia

    Ki-ka: Thomas Kingston Critchley, HV Evatt, Joseph Benedict Chifley, dan Sir Richard C. Kirby. PERDANA Menteri Australia, Tony Abbott, sempat menyatakan tidak akan meminta maaf dan memberikan penjelasan apapun terkait terbongkarnya aksi penyadapan terhadap Indonesia. Dia kemudian menyatakan penyesalannya setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan penghentian sementara kerjasama dengan Australia. Jika Tony Abbot menunjukkan citra Australia yang bermusuhan dengan Indonesia, sebaliknya Perdana Menteri Joseph Benedict Chifley dari Partai Buruh, cenderung mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ini ditunjukkan dengan mendukung aksi boikot serikat buruh pelabuhan Australia terhadap kapal-kapal Belanda yang membawa senjata ke Indonesia. Dukungan serupa juga datang dari Menteri Luar Negeri Australia, HV Evatt. Menurut Rupert Lockwood dalam Armada Hitam , sesudah terjadinya Aksi Polisionil Belanda terhadap Indonesia pada 1947, Evatt diam-diam membiarkan pemboikotan itu walaupun melanggar undang-undang yang pernah dilaksanakannya selama menjadi Jaksa Agung. “Karena terkejut oleh usaha Belanda untuk menegakkan kembali kekuasaannya di Batavia dengan serangan militer,” tulis Lockwood, “maka Dr Evatt pun mengajukan persoalan Indonesia kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan pada tahun 1948 dengan berani dia mengecam Washington, karena Washington telah mendukung serangan-serangan Belanda terhadap Republik.”  PBB kemudian membentuk Komite Jasa Baik yang bertugas menengahi konflik Indonesia-Belanda. Indonesia memilih Australia (Sir Richard C. Kirby) sebagai wakilnya, Belanda memilih Belgia (Paul van Zeeland), dan Amerika Serikat (Dr. Frank Graham) sebagai pihak netral. Menurut Margaret J. Kartomi dalam Gamelan Digul, Di Balik Sosok Seorang Pejuang: Hubungan Antara Australia dan Revolusi Indonesia, di Indonesia sendiri politik pemerintah Australia jelas terasa bergeser ke arah yang lebih aktif mendukung Republik. Pada Juli 1946, misalnya, ketika Sir Richard Kirby mengunjungi Yogyakarta bersama Perdana Menteri Sutan Sjahrir, disambut massa dengan teriakan-teriakan gembira “Australia! Australia!” dan ditaburi dengan lemparan bunga-bunga. Richard Kirby kemudian digantikan diplomat muda Thomas Kingston Critchley. Critchley memiliki opini tersendiri, dan sedikit banyak tersanjung, atas penunjukkan Australia oleh Indonesia. “Orang-orang Indonesia ini begitu berani. Melihat fakta bahwa beberapa tahun lalu mereka dan kami nyaris tak saling kenal, mereka justru memilih Australia sebagai wakilnya. Mereka terpengaruh atas simpati yang ditunjukkan di Australia, dan dengan rasa hormat yang tinggi, pengaruh andil besar blokade buruh Australia terhadap kapal-kapal Belanda yang memberikan dampak emosional besar bagi mereka,” tulis Critchley, seperti dikutip Bilveer Singh dalam Defense Relations Between Australia and Indonesia in the Post-Cold War Era . Pandangan antikolonial Critchley membuatnya dekat dengan tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia, terutama dengan Mohammad Hatta dan Sjahrir. Ketika agresi militer Belanda kedua pada Desember 1948 membuat pemimpin-pemimpin Indonesia diasingkan ke Bangka, Critchley secara pribadi mengunjungi dan menyemangati mereka. “Aku menceritakan kepada Critchley bahwa aku dan Sukarno tidak punya kekuasaan lagi sebab kekuasaan pimpinan negara pada tanggal 19 Desember 1948 sudah kami serahkan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara di Sumatera Barat,” kata Hatta dalam otobiografinya, Untuk Negeriku . “Namun Critchley mengatakan bahwa dunia internasional, demikian juga United Nations, hanya kenal pada Sukarno-Hatta sebagai pimpinan negara Republik Indonesia. Tuan Critchley mengatakan bahwa dia akan mengusahakan sesuatu di Jakarta.” Seakan ingin menepati janjinya kepada Hatta, Critchley memanfaatkan agresi militer Belanda itu untuk menekan Belanda di dunia internasional. Dalam laporannya kepada PBB, dia membuktikan bahwa Republik Indonesia masih eksis dan sanggup melawan. Hasilnya, Belanda luluh, tawanan politik dibebaskan dan kekuasaan Republik dipulihkan. Selanjutnya, dengan kekuasaan yang lebih besar sebagai ketua delegasi Australia dalam Komisi PBB untuk Indonesia, pengganti Komisi Jasa Baik sejak 28 Januari 1949, Critchley berandil besar mempersiapkan Konferensi Meja Bundar yang berlangsung 23 Agustus-2 November 1949 di The Hague, Belanda. Hasilnya, penyerahan kedaulatan Belanda kepada Indonesia. Critchley kemudian menjadi duta besar Australia untuk Indonesia periode 1978-1981. Pada 1992, dia dianugrahi Bintang Dharma Putra oleh pemerintah Indonesia melalui kedutaan besar Indonesia atas jasa-jasanya di masa lalu untuk Indonesia. “Para pemimpin nasionalis akan selalu mengingat saat Republik nyaris tiada dan diisolasi oleh Belanda, Critchley-lah yang berjuang secara efektif menangkis propaganda Belanda dan akhirnya menuntun perjuangan Indonesia mendapatkan kedaulatannya,” kenang Sabam P. Siagian, mantan duta besar Indonesia untuk Australia (1991-1995), dalam obituari Critchley sebulan setelah kematiannya pada Juli 2009 di Sydney, Australia.

  • Aceh-Ottoman dalam Koin Emas

    RATUSAN keping koin emas kuno peninggalan Kesultanan Aceh ditemukan penduduk di Gampong Pande, Aceh, pada 11 November 2013. Beberapa koin bertuliskan nama Alaudin Riayat Syah Al-Kahar, sultan Aceh, berdampingan dengan Sulaiman I, sultan Ottoman Turki. Penemuan ini bukti penting yang menegaskan hubungan diplomatik antara Aceh dan Ottoman sejak abad ke-16. Sultan Al-Kahar adalah Sultan Aceh ketiga yang berasal dari Dinasti Meukuta Alam, dinasti pendiri Kerajaan Aceh. Dia berkuasa antara tahun 1537 sampai 1571. Pada masanya, Aceh menjadi kekuatan politik dan ekonomi yang dominan di Sumatra dan Semenanjung Malaka. Portugis, yang menguasai Malaka sejak tahun 1511, menjadi rival Aceh dalam meluaskan pengaruhnya di Selat Malaka, baik dalam konteks politik maupun ekonomi. Karena itu, Aceh menjalin kontak dengan Kesultanan Ottoman untuk menjajaki kerjasama menghadapi Portugis. “Setelah tumbuh menjadi lebih besar dari sebelumnya, Kesultanan Ottoman menjelma menjadi tempat bagi kerajaan-kerajaan Islam di Timur (India dan Kepulauan Nusantara) yang baru berkembang menaruh harapan dalam menghadapi Portugis,” tulis Giancarlo Casale dalam The Ottoman: Age of Exploration . Baca juga:  Sejarah berakhirnya Kesultanan Ottoman Utusan Aceh kali pertama datang ke Istanbul pada 1562. Mereka meminta bantuan senjata berupa meriam. Terkesan dengan utusan Aceh ini, sultan yang berkuasa saat itu, Sulaiman I, mengirimkan meriam beserta teknisinya serta seorang diplomat bernama Lutfi Bey. Kedatangan Lutfi Bey ke Aceh menjadi penting karena berdasarkan laporannya, orang-orang Turki menjadi paham posisi strategis Aceh sebagai pusat perdagangan dan garis terdepan umat Islam dalam menghadapi Kristen Portugis di Nusantara. Aceh sendiri antusias menjadi bawahan Kesultanan Ottoman. “Surat diplomatik yang Lutfi Bey bawa ketika dia kembali ke Istanbul pada 1566, menyatakan bahwa Sultan Al-Kahar tidak lagi ingin sekadar meminta senjata kepada Sultan Sulaiman I. Tidak pula ingin menjalin hubungan politik antar dua kerajaan yang berdiri sama sejajar. Melainkan dia ingin agar dirinya dan negerinya, Aceh, diperintah secara langsung oleh Sultan Sulaiman I sebagai ganti bantuan Ottoman dalam menghadapi Portugis,” lanjut Casale. Baca juga:  Sejarah hubungan kesultanan Islam dengan Kerajaan Inggris Antusiasme Aceh ditanggapi positif oleh Sultan Sulaiman I sebelum akhirnya dia mangkat dan digantikan Sultan Selim II. Dia memerintahkan angkatan lautnya untuk mengirim armada sebanyak 15 kapal layar ke Aceh yang bermuatan prajurit, penasehat militer, teknisi meriam, juga tukang-tukang seperti penambang, pandai besi, dan pandai emas. Sayangnya, armada yang dijadwalkan tiba di Aceh pada 1568 terpaksa mengalihkan perjalanan ke Yaman, Arab Selatan, untuk memadamkan sebuah pemberontakan. Hanya dua buah kapal yang tiba di Aceh tanpa membawa senjata. Kedua kapal itu membawa sekelompok pedagang dan teknisi meriam, yang tidak cukup untuk memuluskan rencana Sultan Al-Kahar menyerang Portugis di Malaka pada 1570. Penambangan dan penempaan bijih besi bukan barang baru di Aceh. Sejak zaman Samudra Pasai pada abad ke-14, timah dan emas telah ditemukan, bahkan dijadikan satuan mata uang dengan ukiran nama raja yang berkuasa di kedua sisinya. Mereka menempa mata uang timah yang bernama cash  dan mata uang dari emas yang bernama mas.  Sistem ini kemudian diadopsi raja-raja Aceh. Baca juga:  Sepuluh fakta di balik pengepungan Konstantinopel Menurut Denys Lombard dalam Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) , Sultan Al-Kahar-lah yang memperkenalkan mata uang Aceh pertama, yakni dirham . “1 pardew  (mata uang Portugis yang ditempa di Goa, India) sama dengan 4 dirham Aceh,” tulis Lombard. “Namun nilai mata uang itu sendiri sering mengalami perubahan yang besar sekali. Para penjelajah selalu memberi nilai yang berbeda-beda, kadang-kadang bahkan dalam jarak waktu yang hanya beberapa bulan.” Nama Sultan Sulaiman I yang terukir bersanding dengan Sultan Al-Kahar dalam beberapa koin emas Aceh merupakan bukti pengakuan Kesultanan Aceh atas kekuasaan Kesultanan Ottoman sebagai pemegang inti dunia Islam saat itu. Nama Sultan Ottoman juga selalu disebutkan dalam tiap khotbah Jumat.

  • Jago Pukul Betawi

    Muali Yahya, guru silat Beksi Haji Hasbullah di Jakarta, berlatih bersama murid-muridnya. Foto: Micha Rainer Pali/Historia. MEDIA memiliki andil besar dalam membentuk gambaran yang kemudian jadi patokan untuk melihat Betawi. Salah satunya, jago pukul. Melalui berita, sinetron, dan film, televisi menampilkan jago pukul Betawi erat dengan organisasi paramiliter yang menenteng golok. Orang Betawi yang demikian tak berhak disebut jago, tapi jagoan yang ke mana-mana menebar ancaman. Sebab, seorang jago yang baik tak akan petantang-petengteng dengan golok. Demikian diungkapkan sejarawan JJ Rizal dalam diskusi “Menggali Mutiara Betawi” di Bentara Budaya Jakarta, 14 November 2013. Acara ini dimeriahkan pementasan kebudayaan Betawi: Palang Pintu, Teater Tutur (Gambang Rancak), dan Tari Kembang Topeng oleh Kartini Kisam, maestro Topeng Betawi. Menurut Rizal, sejatinya jago pukul mendapat kedudukan penting dalam masyarakat Betawi. Tak sembarang orang mampu menjalaninya. Selain mampu menguasai jurus atau main pukul, juga mendalami ilmu agama. Golok yang menjadi senjata dan identitas jago pukul tidak ditenteng sembarangan. Misalnya, pada foto penangkapan jago pukul oleh pihak kolonial di koran Pemberita Betawi , tak terpampang golok yang dipakai sang jago pukul. Golok bagi jago merupakan barang suci, tak bisa sembarang dibawa-bawa, karena biasanya memiliki wafak  (ukiran ayat suci Alquran). Itulah sebabnya membawa golok harus dalam keadaan suci. Dalam teater lenong ada aturan seorang jago boleh membawa golok tapi tak boleh keluar dari sarungnya. Namun, dalam perjalanan sejarah, ada jago yang tak lagi mempergunakan ilmu kesaktian dan bela diri untuk mencapai kesempurnaan spiritual, tapi sebaliknya disalahgunakan untuk mendapat kepuasan materi. Misalnya, pada zaman tanam paksa, sebagian besar jago lebih suka berpihak kepada kolonial atau tuan tanah ketimbang membela kaum lemah. Mereka menjadi tukang pukul untuk memaksakan kepentingan tuan tanah di wilayah tanah-tanah partikelir seperti di Tangerang, Ciomas, Bekasi, dan Cililitan. Penulis buku-buku tentang Betawi, Abdul Chaer, mengungkapkan hubungan ilmu kesaktian untuk menunjang spiritual atau kegiatan agama. Menurutnya “ngaji, berkelahi, dan pergi haji” menjadi pegangan masyarakat Betawi pada masanya. Dia menceritakan pengalaman ayahnya yang menunaikan ibadah haji pada 1927. “Waktu itu ayah saya, sebelum berangkat haji, berlatih silat di sekitar daerah Rawa Belong, karena perjalanan haji kala itu cukup berbahaya, bertemu dengan jagal,” kata Chaer. Jago pukul juga menjadi corak perlawanan orang Betawi melawan kolonial. Entong Gendut di Condet menjadi salah satunya. Namun perjuangan jago pukul dalam menghadapi kolonial tak selamanya menggunakan otot. “Perjuangan si Pitung  sendiri banyak menggunakan otak, seperti membeli senjata ke Siangapura dan mengatur strategi,” kata Rizal.

  • Peran Sang Dokter Kasunanan

    Radjiman Wedyodiningrat (kanan) di klinik Kadipolo Solo, 1915. Dia juga menjadi dokter di Rumahsakit jiwa Lawang Jawa Timur (kiri). Foto: KITLV dan commons.wikimedia.org/Tropenmuseum. WAKILNYA di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), RP Soeroso, mendapat gelar Pahlawan Nasional pada 1986. Sementara sang ketua, KRT Radjiman Wedyodiningrat, baru tahun ini mendapat gelar tersebut. “Peranannya yang terpenting sebagai ketua BPUPKI adalah memberikan arah pada seluruh wacana penyusunan dasar negara, dalam arti menyetujui atau menolak usul-usul anggota,” tulis Saafroedin Bahar, “Sumbangan Daerah dalam Proses Nation Building”, termuat dalam Regionalisme, Nasionalisme, dan Ketahanan Nasional karya Ichlasul Amal dan Armaidy Armawi. Radjiman Wedyodiningrat lahir di Yogyakarta pada 21 April 1879 dari keluarga biasa. Selagi masih kecil, dia sudah kehilangan orangtuanya. Prihatin dengan nasibnya, Dr. Wahidin Soedirohoesodo menolong pemuda berbakat dan penuh cita-cita itu untuk memperoleh pengajaran yang baik. Baca juga:  Ketika dokter menjadi pekerjaan paling buruk di dunia Menurut A.G. Pringgodigdo dalam Ensiklopedi Umum , Radjiman lulus dari Sekolah Dokter Bumiputera (Stovia) sebagai “dokter jiwa” pada 1898. Setelah beberapa tahun bekerja di Banyumas, Purworejo, Semarang, dan Madiun, dia meneruskan pendidikannya dan menjadi asisten di Stovia sampai lulus sebagai Indisch Arts. Dia kemudian bekerja di Sragen, menjadi asisten dokter istana Kasunanan Surakarta, dan dokter rumahsakit jiwa Lawang Jawa Timur –namanya kemudian dilekatkan pada rumahsakit tersebut: Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat. “Pada Oktober 1909 ia tiba di Negeri Belanda untuk melanjutkan pendidikan sebagai dokter dan untuk mengkhitan putra-putra Susuhunan,” tulis Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah, Orang Indonesia di Negeri Penjajah 1600-1950.   Dia lulus dengan “hasil cemerlang” dan bergelar Arts . “Dengan demikian kedudukan dokter Radjiman setaraf dengan dokter-dokter lulusan Universitas bangsa Belanda,” tulis Pringgodigdo, “suatu hal yang waktu itu tidak mudah dicapai oleh seorang anak pribumi, jika tidak sungguh-sungguh cemerlang kecakapan dan kepandaiannya.” Baca juga:  Achmad Mochtar, martir dunia kedokteran Indonesia Radjiman menjadi orang Indonesia kedua, setelah W.K. Tehupeiory, yang berceramah di Indisch Genootschap  (Indies Institute) pada Februari 1911. Dalam ceramahnya, dia memberikan jawaban atas pertanyaan “apakah orang Jawa dapat menerima pencerahan lebih lanjut.” Pidato Radjiman, yang dilengkapi cuplikan dari buku-buku psikologi, diterima dengan penuh pujian.  Selain di Belanda, Radjiman memperdalam keahliannya di Berlin dan Paris. “Wedyodiningrat menjadi dokter ahli bedah, ahli ilmu bersalin, dan ahli penyakit kandungan,” tulis Pringgodigdo. Sepulang dari Belanda pada pertengahan 1911, Radjiman menjadi dokter istana Kasunanan Surakarta yang pertama di Solo. Selain itu, dia kembali aktif di Boedi Oetomo sebagai wakil ketua, menjadi anggota Volksraad  (Dewan Rakyat), dan memimpin majalah tengah bulanan Timboel . Pada masa pendudukan Jepang, Radjiman menduduki jabatan-jabatan prestius tapi yang terpenting adalah ketua BPUPKI. “Apa dasar negara Indonesia jika kelak merdeka?” adalah pertanyaan yang diajukannya dalam sidang BPUPKI yang kemudian dijawab Sukarno dengan uraian mengenai Pancasila. Radjiman Wedyodiningrat wafat pada 20 September 1952. Jenazahnya dikebumikan di Desa Melati, Sleman, Yogyakarta, tempat peristirahatan terakhir bapak angkatnya, Wahidin Soedirohusodo.

  • Melawan Nazi Hingga Berdiplomasi

    LN Palar berbicara dengan Prof. Philip C. Jessup dari Amerika Serikat sebelum Sidang Dewan Keamanan PBB mengenai Indonesia di Lake Success, New York, 23 Juni 1948. Foto: KITLV. PEMERINTAH menetapkan Lambertus Nicodemus Palar bersama Tahi Bonar (TB) Simatupang dan KRT Radjiman Wedyodiningrat sebagai pahlawan nasional tahun 2013. Menurut sejarawan George McTurnan Kahin, jika ada orang yang dapat dianggap sebagai pengetua korps diplomatik Indonesia, Palar-lah orangnya. Dia diplomat yang mumpuni dan dihormati. Reputasinya yang cemerlang dalam berdiplomasi tidak lantas membuatnya tinggi hati. “Saat aku bertemu dengannya di Jakarta lima tahun lalu (1976 – red ), Palar masih terlihat sederhana, tulus dan lugas sama seperti saat aku bertemu untuk pertama kali dengannya tiga dekade lalu. Dia lebih suka dipanggil ‘Nick’ daripada ‘Mr Ambassador’ atau ‘Dr Palar’,” kenang George McTurnan Kahin dalam “In Memoriam: LN Palar,” dimuat jurnal  Indonesia Volume 32, Oktober 1981. Palar lahir di Tomohon, Manado, Sulawesi Utara, pada 5 Juni 1900. Setelah mengenyam pendidikan MULO di Tondano, AMS di Yogyakarta, dan sebentar di Technische Hoogeschool di Bandung, dia kuliah Sekolah Tinggi Hukum di Batavia. Di sini dia mendalami pandangan sosial-demokrat sejak berkenalan dengan JE Stokvis, anggota Volksraad  dan ketua Partai Sosial Demokrat Hindia (ISDP). Pada 1928, Palar pergi ke Belanda dan kuliah di Universitas Amsterdam jurusan ekonomi dan sosiologi. Menurut Harry Poeze dalam Di Negeri Penjajah Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 , awal 1930, Palar menjadi anggota Partai Buruh Sosial Demokrat Belanda (SDAP). Dengan segera dia menampakkan diri sebagai penulis dan pembicara sosial-demokrat yang dihormati. “Dialah juru penerang yang tak kenal lelah bagi para pengikut SDAP,” tulis Poeze. Atas usul Palar, SDAP dan Perserikatan Perhimpunan-Perhimpunan Sekerja Belanda (NVV) membentuk komisi kolonial dan Persdienst voor Indonesie (Persindo) agar terjalin kontak antara gerakan di Belanda dan Indonesia. Palar diangkat menjadi sekretaris komisi kolonial yang digaji sekaligus kepala Persindo. Pada 1938, Palar pulang ke Indonesia dan melakukan perjalanan keliling untuk menjalin kontak dengan gerakan nasional dan serikat pekerja. Menurut Kahin, pada tahun-tahun sebelum perang, Palar menjabat sebagai kepala bagian Indonesia dari SDAP. Ketika Jerman menduduki Belanda pada 10 Mei 1940, dia ikut perlawanan bawah tanah melawan Nazi. Tak heran jika dia meraih rasa hormat dari banyak orang Belanda, terutama di Partai Buruh Belanda. Selain itu, menurut Austin F. Cross dalam “Much-Travelled Diplomat Happy in Ottawa Setting,” The Ottawa Citizen , 2 Februari 1961, keterlibatan itu membuat Palar “terpilih”, bukan “dipilih”, menjadi anggota Parlemen Belanda (Tweede Kamer) pada 1945. Di parlemen, Palar membujuk pemerintah Belanda agar tak melancarkan agresi militer terhadap Republik Indonesia. Usahanya gagal. Bahkan Partai Buruh (PvdA) –fusi SDAP, partai liberal-progresif VDB, dan Uni Kristen Demokrat (CDU)– mendukung aksi militer itu. Sebagai bentuk protes, Palar mengundurkan diri sebagai anggota partai dan parlemen. Pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta kemudian mengundangnya ke Indonesia untuk menjadi juru bicara di Sidang Dewan Keamanan PBB. Pada akhir 1947, Palar membuka kantor perwakilan Republik Indonesia di New York. Dengan keahlian diplomatiknya, Palar menekan negara-negara anggota PBB agar membela perjuangan Indonesia. Indonesia diterima menjadi anggota PBB ke-60 pada 28 September 1950. Palar menjadi kepala delegasi Indonesia di PBB sampai 1953. Setelah itu, dia menjadi duta besar Indonesia untuk India, Uni Soviet dan Jerman Timur, serta Kanada. Palar kembali memimpin delegasi Indonesia untuk PBB pada 1962. Ketika Sukarno menyatakan keluar dari PBB, Palar menjadi duta besar untuk Washington. Pada September 1966, Palar ditunjuk untuk membawa pesan kepada Sekretaris Jenderal bahwa Indonesia ingin melanjutkan keanggotaannya di PBB. Palar tak hanya dikagumi kawan-kawan setanah airnya. Jacobus Gijsbertus de Beus, perwakilan Belanda di PBB pada masa konflik dengan Indonesia, juga memujinya: Palar secara utuh membela Indonesia, tetapi juga tidak bisa membenci Belanda sepenuhnya. “Bagaimana mungkin aku bisa membenci sebuah negeri, yang di mana aku pernah menduduki parlemennya serta juga pernah kubela saat melawan Nazi sebagai prajurit resistansi?” ujar Palar, dikutip de Beus dalam Morgen, bij het aanbreken van de dag. Setelah pensiun dari tugas diplomatiknya pada 1968, Palar tetap bergiat dalam bidang sosial. Dia meninggal dunia pada 12 Februari 1980 di Jakarta.

  • Laika Mengangkasa

    Anjing betina bernama Laika menjadi awak roket Sputnik II yang diluncurkan pada 3 November 1957. Pada 3 November 1957, Uni Soviet meluncurkan roket Sputnik II. Dunia terkejut. Terlebih roket itu diawaki seekor anjing betina bernama Laika. Laika menyisihkan dua anjing lainnya, Muska dan Albina. Dipungut dari dinginnya jalanan kota Moskow, Laika memiliki kualitas seekor anjing percobaan yang baik. Dan ia mudah dilatih. “Laika adalah anjing yang mengagumkan. Ia sangat tenang dan menyenangkan. Saya membawanya ke rumah dan membiarkannya bermain dengan anak saya. Saya ingin melakukan sesuatu yang baik untuk Laika, karena tahu hidupnya tidak akan lama lagi,” ujar Vladimir Yazdovskiy, fisikawan sekaligus pelatih Laika, dikutip David Whitehouse dalam One Small Step: Astronauts in Their Own Words . Baca juga: Mencari UFO di Langit Indonesia Selama masa persiapan, Laika yang berbobot 6 kg dilatih untuk membiasakan diri dengan kabin kecil dalam Sputnik. Kabin ini menyediakan makanan, oksigen, dan pendingin yang cukup untuk Laika bertahan hidup setidaknya selama seminggu di luar angkasa. Tubuhnya juga dioperasi untuk menempatkan sensor yang memantau kondisinya selama berada di dalam kabin. Publik kurang mengetahui program Sputnik II, terutama awaknya, Laika. Sampai akhirnya pada 27 Oktober 1957, Laika menyapa publik melalui siaran radio Moskow. Menurut Colin Burgess dan Chris Dubbs dalam Animals in Space: From Research Rockets to The Space Shuttle , Radio Moskow menyatakan persiapan peluncuran misi satelit berawak Sputnik II hampir mencapai tahap akhir. Pengumuman itu dilanjutkan dengan memperkenalkan Laika kepada publik Rusia. “Seakan mengerti antusiasme masyarakat, Laika pun membalasnya dengan cara menggonggong sepenuh hati kepada para pendengarnya,” tulis Burgess dan Dubbs. Baca juga: Planet Baru di Luar Galaksi Pada 31 Oktober 1957, Laika mulai ditempatkan di dalam kabin satelit, tiga hari lebih cepat dari waktu peluncuran. Peluncuran dilakukan di stasiun peluncuran roket Baikonur Cosmodrome Kazakhstan. Laika terlihat tenang menyambut penerbangannya. Sementara para kru dan peneliti yang terlibat dalam penelitian ini cemas karena Sputnik II tak dirancang untuk membawa Laika kembali ke bumi dalam keadaan hidup. Hitungan mundur akhirnya mencapai angka nol dan mesin roket mulai menyala. Laika panik dan terguncang. Detak jantungnya terbaca semakin cepat dalam sensor telemetri. “Namun semuanya menjadi makin tenang ketika ia memasuki luar angkasa, 900 mil di atas bumi,” tulis Chris Dubbs dalam  Space Dogs: Pioneers of Space Travel .   “Jika semuanya berjalan lancar, Sputnik yang diawaki Laika akan bergerak secepat 18.000 mil/jam dan mengelilingi bumi setiap 102 menit sekali.”   Baca juga: Yuri Gagarin Pahlawan Indonesia Keberhasilan ini menuai prestasi sekaligus kontroversi. Masalahnya, Laika disiapkan untuk mati di dalam Sputnik II karena satelit itu tidak memiliki prosedur untuk kembali ke bumi akibat pengerjaannya yang singkat. Sebagian besar yang mengecam adalah aktivis perlindungan satwa di Amerika Serikat dan sekutunya. “Ini adalah sebuah kemenangan yang besar dan tak ada yang meragukan bahwa keberhasilan ini membuat malu Amerika. Hanya British Society for The Prevention of Cruelty to Animals yang memprotes pengorbanan Laika,” tulis Boris Chertok, ahli roket Rusia, dalam Rockets and People: Creating a Rocket Industry . Tak ada yang tahu pasti kapan Laika mengembuskan nafas terakhir di dalam Sputnik II. Saat itu pihak Uni Soviet bungkam. Namun, kenyataan itu terungkap dalam World Space Conference 2002 di Houston Texas. Ilmuwan Rusia, Dimitri Malashenkov, menyatakan bahwa Laika tewas tak lama setelah peluncuran. “Laika tewas 5 sampai 7 jam setelah peluncuran akibat kepanasan dan tertekan karena kenaikan suhu di dalam kabin,” ujar Malashenkov, yang juga terlibat dalam proyek Sputnik II, seperti dikutip Burgess dan Dubbs. Baca juga: Tiket Satu Arah ke Mars Oleg Gazenko, pelatih Laika lainnya, menyatakan penyesalannya di depan publik pada 1998. “Bekerja dengan hewan begitu menyiksa kami. Mereka seperti bayi yang tak bisa berbicara. Semakin waktu berlalu, semakin saya merasa bersalah. Kami seharusnya tidak melakukan misi tersebut. Kami tak cukup belajar dari misi ini untuk sekadar membenarkan kematian Laika,” kata Gazenko, dikutip David Whitehouse. Sejak 1997, pemerintah Rusia membangun monumen untuk mengenang Laika di pusat pelatihan kosmonot di dekat kota Moskow. Sputnik II yang membawa jasad Laika berada di luar angkasa selama 162 hari dan membuat 2.750 orbit sebelum akhirnya jatuh ke bumi pada 14 April 1958. Laika menutup matanya di antara bintang-bintang. Perjalanan dan pengorbanan Laika telah memberikan data berharga untuk mewujudkan misi-misi perjalanan manusia tak lama kemudian.

  • Menyadap Angkatan Darat

    Tentara sedang menjaga demonstrasi pada Hari Buruh 1 Mei 2013. Foto: Micha Rainer Pali. MANTAN anggota CIA dan kontraktor Badan Keamanan Nasional (NSA), Edward Snowden, membocorkan informasi rahasia bahwa Amerika Serikat melakukan penyadapan terhadap negara-negara sekutu mereka di Eropa dan negara-negara di Asia tenggara. Australia menjadi bagian jaringan spionase global bersama Amerika Serikat. Seperti dilansir The Sydney Morning Herald , 31 Oktober 2013, Australia menggunakan kantor-kantor kedutaan di Asia, termasuk Indonesia, untuk menyadap telepon dan data rahasia. Data intelijen disadap dari Kedutaan Australia di Jakarta, Bangkok, Hanoi, Beijing dan Dili, juga Kantor Komisi Tinggi di Kuala Lumpur serta Port Moresby. Kedutaan Australia di Jakarta memainkan peran penting untuk mengumpulkan data intelijen terkait ancaman terorisme dan penyelundupan manusia. Namun, fokus utamanya adalah intelijen bidang politik, diplomasi, dan ekonomi. Penyadapan Amerika Serikat di Indonesia bukan barang baru. Amerika Serikat menyokong Angkatan Darat untuk menumpas Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dituduh sebagai dalang peristiwa Gerakan 30 September 1965. Menurut John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Masal Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, Angkatan Darat memerlukan peralatan komunikasi untuk menghubungkan berbagai markas di seluruh tanah air dan berkoordinasi dalam melawan PKI. “Suatu ketika pada akhir 1965 Amerika Serikat menerbangkan perangkat komunikasi radio lapangan (mobile radio)  yang sangat canggih dari Pangkalan Udara Clark di Filipina dan semuanya dikirim ke markas besar Kostrad di Jakarta. Sebuah antena dibawa masuk ke dan dipasang di depan markas besar Kostrad,” tulis Roosa. Wartawan penyelidik Kathy Kadane dalam wawancara dengan para mantan pejabat tinggi Amerika Serikat di akhir 1980-an, menemukan bahwa Amerika Serikat memantau komunikasi Angkatan Darat melalui radio-radio tersebut. CIA memastikan bahwa frekuensi-frekuensi yang akan digunakan Angkatan Darat diketahui sebelumnya oleh NSA. NSA menyadap siaran-siaran radio itu di suatu tempat di Asia Tenggara, dan sesudah itu para analis menerjemahkannya. Hasil penyadapan kemudian dikirim ke Washington. Dengan demikian, menurut John Roosa, Amerika Serikat memiliki detil bagian demi bagian laporan penyerangan Angkatan Darat terhadap PKI, misalnya, mendengar “komando-komando dari satuan-satuan intelijen Soeharto untuk membunuh tokoh-tokoh tertentu di tempat-tempat tertentu.”

  • Sindiran Sosial Dalam Canda

    Kiri-kanan: Sammy D. Putra, Maman Suherman, Hendaru Tri Hanggoro, dan Tarzan dalam diskusi "Lawak di Indonesia" di Jakarta, 26 Oktober 2013. (Micha Rainer Pali/Historia). Seorang pembantu naik ke panggung. Di pundaknya tersampir handuk. Dua tangannya memegang lap dan kemoceng. Dia membersihkan kursi majikannya, mendudukinya, dan meniru polah majikannya. Tanpa disadari pembantu, majikan muncul dari belakang dan berteriak memarahinya. Penonton pun tergelak. Adegan ini muncul dalam pementasan grup lawak Srimulat . Maman Suherman, pengamat seni, menyebut pementasan Srimulat  sering menampilkan satir terhadap pelbagai lini hidup. Mulai hubungan majikan-pembantu sampai kondisi negara. "Seperti di Amerika, lawak di Indonesia memang selalu jadi alat kaum marjinal untuk menyuarakan dirinya, mengolok-ngolok kondisi diri juga negaranya," kata Maman dalam diskusi "Lawak di Indonesia" di Jakarta, 26 Oktober 2013. Ini karena masyarakat Indonesia lekat dengan tradisi lawak. Baca juga:  Srimulat Main Film Lawak Indonesia mempunyai sejarah panjang. Beberapa prasasti —antara lain Waharu Kuti, Panggumulan, Mantyasih, dan Wukajana— menyebut kehadiran rombongan penghibur di pasar-pasar masa Mataram kuno (abad 8-10 M). Rombongan terdiri atas pemain musik, penari, dan pelawak. Mereka datang atas undangan penduduk desa setempat atau memang sengaja berkeliling sebagai kelompok seniman. Masyarakat Jawa kuno menyebut pertunjukan lawak sebagai mabanol  dan mamirus . Mabanol  mengacu pada unsur lawak dengan gerakan-gerakan, sedangkan mamirus  lebih menekankan unsur perkataan lucu. Tapi dua-duanya tetap menghibur masyarakat. Masyarakat senang dengan pertunjukan lawak. Relief Karmawibhangga di Candi Borobudur menggambarkan penonton pelbagai usia berdesakan menyaksikan pertunjukan itu. Sebaliknya para pelawak bisa menyambung hidup dari penonton atau penanggapnya. Mereka beroleh bayaran atas jasa melawak. "…pelawak bernama Paninangin (diberi upah) wdiha —semacam kain penutup badan— 1 helai," tulis Prasasti Alasantan (939 M). Baca juga:  Pelawak Zaman Kuno Kakawin Sudamala, karya sastra peninggalan Kerajaan Majapahit, juga mengabadikan sosok pelawak mitologis. Semar namanya. "Di situ telah tampak serba jelas peranan Semar sebagai panakawan dan pelawak. Segala gerak-gerik dan ucapannya serba menggelikan," tulis Slamet Muljana dalam Tafsir Negara Kretagama . Semar lalu memiliki tiga teman: Gareng, Petruk, dan Bagong. Para dalang menampikan sosok mereka dalam pertunjukan wayang kulit abad ke-16. Kemudian panakawan masuk dunia panggung. Pemain wayang orang kerap berlakon sebagai panakawan. Ini bermula pada masa awal Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Tiap panakawan muncul, penonton tergelak. Tak hanya oleh gerak dan perkataan lucu, tapi juga kritik sosialnya. Trio Los Gilos —Bing Slamet, Mang Udel, dan Mang Cepot— melanjutkan kritik sosial sebagai salahsatu bahan lawakan pada 1950-an. Mereka mengangkat perihal beban hidup keseharian masyarakat. Mereka juga mulai mengonsep lawak modern. Salahsatunya dengan membuat naskah sebelum tampil di panggung. Setelah itu grup lawak baru bermunculan. Sebut saja Srimulat,   Kwartet Jaya , dan Warkop Prambors . Sebagian mengandalkan unsur lawak fisik ( slapstick ), lainnya menonjolkan kritik.   Baca juga:  Slapstick, Kala Fisik Jadi Bahan Tawa Pemerintah tak selalu suka kritik dalam lawak. Majalah Ekspres , 8 Agustus 1970, menyebut Cak Durasim, seorang pemain ludruk di Surabaya, pernah ditahan pemerintah lantaran melontarkan kritik lewat lawak. Tapi pemerintah juga tahu potensi lawak. Maka mereka menggunakan pelawak sebagai corong kepentingannya. "Saya pernah melawak untuk ABRI. Materinya tentang bahaya komunis," kata Tarzan, pelawak Srimulat. Golongan Karya (Golkar) bahkan merekrut pelawak untuk meraup suara dalam Pemilu 1971. Para pelawak itu tergabung dalam Artis Safari. Strategi ini berhasil. Golkar memenangi Pemilu 1971. Di bawah kuasa Orde Baru, materi lawak jadi monoton. Lalu muncul kritik dari budayawan bahwa lawak Indonesia tak berkembang. Mereka menilai lawak hanya mempertunjukkan lempar-lemparan kue, jatuh-menjatuhkan kursi, dan segala unsur slapstick lainnya. "Lelucon hanya berupa fragmen dan tidak membentuk kesatuan utuh sebuah cerita," tulis Gus Dur dalam Jakarta-Jakarta,  1986. Baca juga: Panakawan Kawan Penasihat dan Pelawak Setelah reformasi, berkembang jenis lawak yang sebelumnya kurang dikenal di Indonesia, stand up comedy . Pelawak tampil solo, bukan dalam grup. Mereka mengurangi unsur slapstick  dan berusaha mengembalikan kritik dalam lawak. "Kami berusaha mengisi kekosongan lawak kritis di Indonesia dan menyasar publik yang tidak puas terhadap lawak sekarang," kata Sammy D. Putra, pelawak solo. Menurut Sammy, peluang itu terbuka. "Kritik bisa kami sampaikan secara frontal. Yang dikritik juga bisa tertawa. Tidak seperti saat zaman Mas Tarzan." Melalui lawak, masyarakat kini bisa tertawa sambil tetap merawat daya kritisnya.

  • Golkar Sebagai Pengganti Partai

    David Reeve (kiri) dan Akbar Tanjung (kanan) dalam diskusi buku "Golkar Sejarah yang Hilang: Akar Pemikiran & Dinamika", di Jakarta, 18 Oktober 2013. (Fajar Riadi/Historia). Selama hidupnya, Golkar menjadi partai dominan, terutama semasa Orde Baru. Dan meski dimusuhi pascareformasi 1998, Golkar terus bercokol sebagai salah satu partai besar di Indonesia. Namun tidak banyak yang ingat kalau Golkar dulunya adalah golongan fungsional antipartai yang digagas Presiden Sukarno. David Reeve, sejarawan Universitas New South Wales, yang menjadi pemateri dalam diskusi bukunya Golkar Sejarah yang Hilang: Akar Pemikiran & Dinamika  di Jakarta (18/10/2013) menegaskan, “Golkar adalah gagasan Sukarno.” Pada 28 Oktober 1956, Sukarno mengusulkan pembubaran partai-partai karena dianggap gagal menuntaskan revolusi. Konflik di pemerintahan yang kerap terjadi disebut sebagai akibat dari partai-partai yang cenderung mementingkan perebutan kekuasaan. Sukarno mengusulkan golongan fungsional atau golongan karya untuk menggantikan partai-partai. Baca juga:  Cerita Lawas Golkar Terpecah Belah Sukarno mendapat ilham soal golongan fungsional dari ahli hukum Profesor Djokosutono, yang kenal dekat dengan penggagas golongan fungsional lainnya, Profesor Supomo. Selain itu, Sukarno melongok Tiongkok dan Yugoslavia yang berhasil mengembangkan sistem negara dengan satu partai. Di dalam parlemen, kedua negara itu juga memiliki semacam golongan fungsional atau wadah yang mewakili golongan-golongan yang memiliki “fungsi” dalam masyarakat. Namun gagasan ini keburu diambil Angkatan Darat. “Pada akhir 1959, ketika Demokrasi Terpimpin akhirnya dimulai secara resmi, Angkatan Darat lebih dulu telah membentuk berbagai organisasi golongan karya, sedangkan Presiden Sukarno belum membentuk satu pun,” tulis Reeve. Baca juga:  Ajian Rawarontek Golkar Angkatan Darat memulainya dengan mendirikan Badan Kerja Sama (BKS) pada 17 Juni 1957. BKS menjadi wadah berhimpun Angkatan Darat dengan kelompok organisasi-organisasi pemuda, petani, jurnalis, dan sebagainya. Tapi bukannya hendak mengganti sistem kepartaian, gagasan mendirikan golongan karya tersebut semata-mata muncul karena Angkatan Darat butuh senjata untuk menandingi PKI. “Organisasi-organisasi Golkar berubah dari melawan semua partai menjadi rival politik bagi partai tunggal, yaitu Partai Komunis Indonesia,” tulis Reeve. Sejak 1960 hingga 1965, Angkatan Darat terus mengembangkan organisasi-organisasi. Misalnya, mereka mendirikan Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) sebagai tandingan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) , underbouw  PKI. “Kalau SOKSI organisasinya karyawan, dari kata karya milik Golkar, yang satunya (SOBSI) organisasi buruh,” tutur Reeve. Baca juga:  Golkar Zaman Orba: Panas di Dalam, Adem di Luar Organisasi keprofesian makin bertambah. Pada 1963, berdiri organisasi karyawan untuk petani, wanita, mahasiswa pertanian, intelektual, dan pemuda. Organisasi-organisasi ini kemudian menghimpun diri dalam Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) pada 20 Oktober 1964 –tanggal ini ditetapkan sebagai hari jadi Partai Golkar. Pemerintahan Sukarno tumbang pada 1965. Soeharto yang memimpin Orde Baru memegang kendali Sekber Golkar sebagai kekuatan untuk rezimnya. Dia memakai Sekber Golkar sebagai kendaraan politik, terutama dalam memenangkan pemilihan umum. Terbukti, Sekber Golkar menang dalam empat kali pemilihan umum selama Orde Baru. Pada pemilihan umum tahun 1971, Sekber Golkar menjadi rumah bagi 201 organisasi. Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan militer menjadi kunci pemenangan Sekber Golkar. Korps Karyawan (Kokar) yang dibentuk di departemen-departemen pemerintah, selama kampanye direorganisasi ke dalam Korps Pegawai Negeri (Korpri) “di mana semua PNS di Indonesia dianggap menjadi anggotanya”. Demikian juga tokoh-tokoh militer, biasanya yang senior, diberi jalan untuk melenggang ke dalam institusi-institusi politik dan birokrasi sipil melalui penempatan para perwiranya. Istilahnya “dikaryakan”. Baca juga:  Golkar Sepeninggal Daripada Soeharto Gelombang reformasi pada 1998 meruntuhkan Orde Baru. Banyak yang mengira Golkar akan tersapu bersama lengsernya Soeharto. Nyatanya, Golkar mampu bertahan. Bahkan terus muncul sebagai partai politik besar dalam pemilu tahun 1999, 2004, dan 2009. Hanya saja sejak 1998 hingga sekarang, Golkar telah mengubah diri menjadi sebuah partai. “Kalau Golkar tidak mau jadi partai politik (pada 1998), pasti tidak bisa survive , tidak bisa ikut dalam dinamika politik,” kata Akbar Tanjung, pentolan Golkar. Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar ini menegaskan, peralihan itu adalah wujud niat Golkar untuk ikut serta berperan dalam agenda reformasi. Kini, wujud golongan fungsional yang hendak menandingi partai sudah tak ada. Gagasannya pun sepi. Golkar yang sekarang bukanlah Golkar yang hendak menandingi partai. “Golkar sendiri ironisnya berubah menjadi sebuah partai dan diambil alih oleh para pengusaha,” tulis Reeve. “Gagasan-gagasan asli telah didorong ke pinggiran.”

bottom of page