Hasil pencarian
9594 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Menjajal Medan Konstituante
AWAL hijrah ke Jakarta pada 1950, Hamka menghadapi dilema. Terjun ke gelanggang politik atau tetap menjadi sastrawan. “Di manakah tempat saya?” tanyanya membatin, seperti cerita Hamka pada Emzita dalam “Seorang Ulama dan Pujangga Islam Indonesia”, termuat di Kenang-Kenangan 70 Tahun Buya Hamka .
- Membantah Kisah Tuanku Rao
SOSIOLOG Mochtar Naim belum lama menjejakkan kakinya di tanah air ketika dia mendirikan Center for Minangkabau Studies pada 1968. Lembaga itu kerja bareng beberapa perguruan tinggi di Padang, instansi pemerintahan, dan organisasi masyarakat, menggelar seminar sejarah masuk dan berkembangnya Islam ke Minangkabau, pada 23–26 Juli 1969.
- Ketika Hamka Menggugat Imajinasi
PARA nabi yang pensiun, bosan di surga. Mereka ingin kebagian jatah cuti bergilir turun ke bumi. Tuhan bertanya kepada Nabi Muhammad, untuk apa ke bumi. Muhammad menjawab untuk riset karena akhir-akhir ini umatnya sedikit yang masuk surga. Menurut Tuhan, kebanyakan mereka dari daerah tropis karena kena racun Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis).
- Jejak Peranakan dalam Alunan Sejarah Jazz
LAHIR dan populer di kalangan Afro-Amerika pada akhir abad ke-19, musik jazz terus berevolusi seiring pertemuan dan percampuran dengan beragam aliran musik. Jazz juga merambah ke berbagai tempat termasuk ke Indonesia.
- Hamka dalam Dua Zaman Penjajahan
HANYA perlu waktu seminggu buat Tengku Abdul Jalil untuk mengubah sikap dari kagum jadi antipati terhadap tentara Jepang. Sikap menentang itu timbul sejak 29 April 1942 saat Jepang memerintahkan seluruh rakyat Aceh melakukan seikerei , sikap badan membungkuk ke arah matahari terbit untuk menghormati kaisar Jepang. Kemarahan rakyat tak terbendung lagi. Tengku Jalil tak tinggal diam. Ulama tarekat itu menyerukan bahwa Jepang adalah Ya’juj dan Ma’juj (bangsa yang membuat kerusakan di bumi, red. ).
- Di Bawah Panji Muhammadiyah
PEMBARUAN Islam di Minangkabau terjadi saat Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang datang dari Makkah pada 1803. Mereka berikhtiar memurnikan Islam dari praktik ritual yang mencemari agama, antara lain takhayul (mistik), bidah (melakukan ritual yang tak dicontohkan Rasulullah) dan khurafat (percaya kepada kekuatan gaib selain Allah).
- Cara Belajar Si Bujang Jauh
HAMKA sudah bisa memegang telinganya dengan tangan melalui ubun-ubun di usia sembilan tahun pada 1917. Dia pun dimasukkan ke sekolah desa (kalau di Jawa disebut sekolah ongko loro ) yang hanya sampai kelas tiga. Mulanya, dia akan dimasukkan ke sekolah Europeesche Lagere School (sekolah dasar untuk anak Belanda), namun tidak menerima murid lagi karena penuh. Sekolah desanya ditempatkan dekat sekolah gubernemen (pemerintah) itu, di tangsi militer Gubuk Melintang, Padang Panjang.
- Buya Jadi Juru Warta
PADA 1925, Hamka muda pulang ke Padang Panjang. Hatinya sumringah. Banyak hal yang tersimpan di kepalanya, hasil belajar ke banyak guru selama perantauannya di Jawa. Di kampung halaman, ia langsung ikut serta mendirikan Tabligh Muhammadiyah, sekolah untuk mendidik kader-kader Muhammadiyah di kampung halamannya.
- Bukan Sejarawan Sekolahan
SEJAK muda Hamka memang gandrung sejarah. Dia, sebagaimana diakuinya sendiri, tak pernah mengenyam pendidikan formal ilmu sejarah, tetapi punya minat tinggi pada sejarah. “Perhatian saya kepada Sejarah Islam adalah amat besar, sehingga sejak masa masih belajar di Sumatra Thawalib (1918–1924) di Padang Panjang dan Parabek, buku-buku Sejarah berbahasa Melayu dan Arab sangat menarik hati saya,” kata Hamka dalam kata pengantar buku Sejarah Umat Islam jilid keempat.
- Berguru Kepada Guru Bangsa
PADA suatu hari di tahun 1924, sehabis makan siang, Hamka berkata kepada ayahnya, “Hamba hendak ke Jawa, abuya!” Air matanya menitik.
- Berdakwah Sampai Jauh
ABDURRAHMAN Wahid (Gus Dur) pernah berkomentar tentang Hamka yang disebutnya sebagai ulama tingkat nasional dengan orientasi pesan toleran kepada penganut agama lain.
- Anak Nakal Menjelma Ulama
MALAM Senin, 16 Februari 1908. Haji Rasul yang sedang berbaring di bangku terbangun mendengar tangisan bayi dari rahim istri keduanya, Siti Shafiah. Dia sumringah sambil berkata, “sepuluh tahun!”






















