top of page

Hasil pencarian

9599 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Lima Fakta Tentang Sultan Hamid II

    Nama Sultan Hamid II banyak diperbincangan  belakangan ini. Berbagai kalangan memperdebatkan, apakah Sultan Hamid pahlawan atau pengkhianat? Bernama lengkap Sjarif Hamid Alqadrie, Sultan Hamid II lahir di Pontianak pada 12 Juli 1913. Hamid merupakan putra sulung Sultan Sjarif Muhammad Alqadrie. Sedari kecil, putra mahkota keturunan Arab-Melayu ini telah dipersiapkan untuk melanjutkan tahta Kesultanan Qadriyah Pontianak. Maka pada 29 Oktober 1945, secara resmi Hamid dinobatkan sebagai penguasa ke-7 Kesultanan Qadriyah Pontianak bergelar Sultan Hamid II. Sultan Hamid II meniti namanya dengan melalui jalan berliku. Keberpihakannya kepada Belanda ditandai dengan kesediaan menjadi ajudan istimewa Ratu Belanda. Selain itu, Hamid secara tegas lebih mendukung sistem negara federalis ketimbang negara kesatuan. Di sisi lain, Hamid juga disebut punya jasa bagi Republik Indonesia (RI). Dia ikut terlibat dalam Konfrensi Meja Bundar (KMB) sebagai pimpinan Badan Permusyawaratan Federal (BFO) sehingga Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949. Hamid jugalah yang disebut-sebut merancang simbol Garuda Pancasila, yang menjadi lambang RI sampai hari ini. Sayangnya, Hamid mencoreng sendiri reputasinya karena berkolaborasi dengan eks perwira KNIL (Kapten R.P.P. Westerling) dalam pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Kini. wacana untuk merehabilitasi nama Sultan Hamid menguar ke publik. Adalah Yayasan Sultan Hamid II yang giat mengajukan Sultan Hamid II sebagai pahlawan nasional. Usulan ini memantik polemik setelah A.M. Hendropriyono angkat bicara. Dia mengatakan Sultan Hamid II tak pantas menjadi pahlawan nasional karena pernah berkhianat kepada RI. Terbaru, sejarawan senior Anhar Gonggong mengecam pengajuan Hamid sebagai pahlawan nasional karena berada di pihak Belanda ketika kaum sebangsanya berjuang dalam perang mempertahankan kemerdekaan. “Kita sedang dikejar-kejar Belanda, mau dibunuh Belanda, Sultan Hamid menerima jabatan itu (ajudan istimewa Ratu Belanda). Patriotisnya dimana?” kata Anhar Gonggong . Apakah gelar pahlawan nasional memang tidak pantas disematkan kepada Sultan Hamid II? Berikut fakta sejarah mengenai Sultan Hamid II yang dirangkum Historia . Ajudan Istimewa Ratu Wilhelmina Hamid merintis kariernya sebagai perwira Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL). Selama karir militernya, Hamid pernah bertugas di Malang, Bandung, Balikpapan, dan beberapa tempat lainnya. Selama pendudukan Jepang, Hamid ditahan di Batavia. Sementara itu, keluarganya di Pontianak dibantai oleh tentara Jepang dalam Peristiwa Mandor 1943--1944. Pada 1946, Sultan Hamid menerima jabatan kehormatan sebagai ajudan istimewa Ratu Belanda, Wilhelmina dengan pangkat mayor jenderal. Ini adalah jabatan tertinggi yang pernah diemban oleh orang Indonesia dalam Angkatan Darat Kerajaan Belanda. Namun pada saat yang sama, Indonesia harus menghadapi Belanda yang berniat menguasai kembali tanah jajahannya yang subur tersebut. Ketua BFO Bersama dengan Belanda yang hendak menegakkan kuasa di Indonesia, Hamid membentuk federasi bernama Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) pada 1947. DIKB terdiri dari negara-negara kerajaan se-Kalimantan Barat sebagai daerah otonom yang menjalin persemakmuran dengan Kerajaan Belanda. Pada 1949, Hamid menjadi ketua BFO menggantikan ketua pertama Mr. Tengku Bahriun dari Negara Sumatra Timur.   Hamid dan koleganya di BFO bersepakat dengan RI membicarakan konsep penyatuan bangsa serumpun yang terpecah-belah dalam Konferensi Inter Indonesia. Harian Merdeka, 3 Agustus 1949 mengutip pidato Sultan Hamid II dalam konferensi penutup yang berbunyi, “Beberapa hari lagi kita akan berangkat ke Belanda untuk turut serta dalam KMB dengan semangat yang telah mempengaruhi kita disini semangat persamaan dan persaudaraan.” Dengan demikian, konsensus terjalin antara RI pimpinan Sukarno dengan BFO pimpinan Sultan Hamid  untuk menuju KMB yang akan menghasilkan pengakuan kedaulatan. Sejarawan Richard Leirissa dalam penelitiannya menyebut BFO sebagai Kekuatan Ketiga dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Anshari Dimyati, Direktur Eksekutif Yayasan Sultan Hamid II mengatakan peran Sultan Hamid dalam BFO justru dinafikan. Menurutnya Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terbentuk sejak penyerahan kedaulatan pada KMB itu tidak dilihat secara utuh sebagai mata rantai sejarah terbentuknya Indonesia yang kita kenal sekarang.    Perancang Lambang Garuda Pada Januari 1950, Presiden RIS Sukarno menunjuk Hamid sebagai menteri negara tanpa portofolio sekaligus koordinator tim perumusan lambang negara. Dalam sidang kabinet, 10 Januari 1950, Hamid membentuk Panitia Lencana Negara. Kemudian diadakanlah sayembara pembuatan lambang negara. Dua karya terbaik diraih atas nama Muhammad Yamin dan Sultan Hamid. Panitia menolak rancangan Yamin karena mengandung banyak unsur sinar matahari yang mengesankan adanya pengaruh fasis Jepang. Sementara itu, lambang Garuda Pancasila rancangan Hamid ditetapkan sebagai lambang negara RIS pada 11 Februari 1950.  Dalam perkembangannya, lambang burung garuda rancangan Hamid mendapat masukan sana-sini. Hamid melakukan beberapa perbaikan dari rancangan semula. Maka jadilah Garuda Pancasila yang menjadi lambang negara RI seperti sekarang ini. Bermufakat dengan Westerling  Dua bulan setelah rancangannya ditetapkan sebagai lambang negara, jabatan Hamid sebagai menteri negara dicabut.  Pada 5 April 1950, Hamid ditangkap saat berada di Hotel Des Indes Jakarta oleh Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX atas perintah Jaksa Agung RIS Tirtawinata. Hamid dituduh sebagai dalang dari penyerangan berdarah dan rencana makar yang dilakukan eks Kapten Westerling dalam pemberontakan APRA. Hamid menjalin mufakat dengan Westerling karena ingin mempertahankan negara federal. Dalam pledoinya, Hamid mengakui telah memberi perintah kepada Westerling dan Inspektur Polisi Frans Najoan untuk menyerang sidang Dewan Menteri RIS pada 24 Januari 1950. Dalam penyerbuan itu, Hamid juga memerintahkan agar semua menteri ditangkap, sedangkan Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX, Sekretaris Jenderal Ali Budiardjo dan Kepala Staf Angkatan Perang PRIS (APRIS) Kolonel TB Simatupang harus ditembak mati. Ironisnya, Sultan Hamid II dan Sri Sultan adalah kawan masa kecil sewaktu sama-sama bersekolah di ELS Yogyakarta. Menurut pengakuan Sri Sultan seperti terkisah dalam Tahta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengkubuwono IX, selama bersekolah Hamid tidak suka antem-anteman (berkelahi). Berbeda dengan dirinya yang seringkali distrap oleh guru karena berkelahi. Terhukum Dua Kali Karena keterlibatannya dalam aksi Westerling, Sultan Hamid dihadapkan ke pengadilan. Pada 8 April 1953 Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman sepuluh tahun penjara dipotong masa tahanan tiga tahun kepada Hamid. Dasar pertimbangannya adalah adanya “niat” Hamid menyuruh Westerling dan Frans Najoan untuk menyerbu Dewan Menteri RIS dan menembak mati tiga pejabat pemerintah. “Dia pernah dihukum (penjara) 10 tahun. Ada persyaratan undang-undang tidak mungkin dia diterima (pahlawan nasional) karena pernah dihukum 10 tahun disamping menerima jabatan demikian rupa sebagai ajudan (istimewa) dan pangkat yang dibanggakan sebagai tertinggi pada 1946,” kata Anhar Gonggong. Ketika bebas pada 1958, Hamid tidak lagi berpolitik. Namun, setelah empat tahun menghirup udara bebas, dia kembali ditangkap dan dijebloskan ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Madiun, Jawa Timur, pada Maret 1962. Dia dituding melakukan kegiatan makar dan membentuk organisasi ilegal Vrijwillige Ondergrondsche Corps (VOC) dengan wakilnya bernama Pitoy. Anggotanya kebanyakan dari Indonesia Timur seperti Sahetapy, Johannes, dan Ondang sebagai kepala Brigade Penghancuran (Vernielings Brigade). Meski demikian, tuduhan ini tidak dapat dibuktikan karena Hamid ditahan tanpa melalui proses pengadilan. Selepas bebas dari RTM Madiun, Hamid beraktifitas di dunia bisnis. Dia menggeluti bisnisnya itu sebagai Presiden Komisaris PT. Indonesia Air Transport, sejak tahun 1967 hingga tahun 1978. Pada 30 Maret 1978, Sultan Hamid II wafat di Jakarta, tepat pukul 18.15 ketika dirinya sedang melakukan salat Magrib.

  • Kesebelasan Brasil dan Hungaria Adu Jotos di Piala Dunia

    Hari ini, 27 Juni, 66 tahun silam. Di hadapan 40 ribu penonton yang memadati stadion Wankdorf, Bern, Swiss, wasit Arthur Ellis asal Inggris dengan percaya diri memasuki lapangan didampingi dua hakim garis dan diikuti dua tim yang akan saling berhadapan. Ellis bangga dipercaya memimpin pertandingan yang kemudian dijuluki “Battle of Berne” itu.   “Kupikir itu akan menjadi pertandingan terhebat yang pernah aku lihat. Aku berada di puncak dunia,” ujarnya sebagaimana dikutip Guy Hodgson dalam “Footbal: Ellis a Knockout During the Battle of Berne”, dimuat di independent . co . uk . Pertandingan yang dipimpin Ellis itu merupakan partai perempat final Piala Dunia 1954 antara Brasil melawan Hungaria. Tiga partai perempat final lainnya mempertemukan Austria kontra Swiss, Uruguay kontra Inggris, dan Jerman Barat kontra Yugoslavia. Dalam partai yang dipimpin Ellis, Hungaria dijagokan karena performanya sedang berada di puncak. Dua tahun sebelumnya, negeri itu meraih medali emas cabang sepakbola di Olimpiade Helsinki. “Tim luar biasa ini dipimpin Wakil Menteri Olahraga, Gustav Sebes, dan di bawahnya seorang pelatih, Gyula Mandi. Latihannya dilakukan bervariasi dan inventif, dan para pemain didorong untuk berlatih atletik, bahkan mendaki gunung. Tak perlu dikatakan ada penekanan besar pada pelatihan dengan bola –masih, luar biasa, hal yang langka di Inggris yang konservatif– dan 'situasi pertandingan' diciptakan kembali dalam latihan,” tulis Brian Gianville dalam The Story of the World Cup: The Essential Companion to South Africa 2010 . Para pendukung Hungaria jelas tak kecewa. Meski tanpa bintang Ferenc Puskas yang absen karena cedera, Hungaria langsung memimpin dua gol –lewat striker Nandor Hidegkuti dan Sandor Kocsis– ketika pertandingan belum mencapai 10 menit. Brasil memperkecil ketinggalan lewat titik putih yang dengan baik dieksekusi Djalma Santos. Hujan deras yang mengguyur stadion membuat lapangan licin dan bola sulit dikendalikan. Bertahan hingga paruh pertama, skor 2-1 berubah ketika Mihaly Lantos menambah keunggulan Hungaria ketika babak kedua baru berjalan delapan menit. Tensi pertandingan makin tinggi di babak kedua.  Pelanggaran demi pelanggaran makin sering dilakukan kedua tim. Perkelahian pun tak dapat dielakkan. Nilton Santos dan Josef Bozsik saling pukul setelah Bozsik tak terima ditekel keras Santos. Wasit Ellis langsung mengusir keduanya dengan kartu merah. Selang beberapa saat kemudian, giliran Djalma Santos mengejar Zoltan Czibor. Empat menit menjelang peluit akhir, giliran striker Brasil Humberto Tozzi yang diusir Ellis karena menendang bek Hungaria Gyula Lorant. Ellis tak peduli meski Tozzi berlutut meminta maaf. Perkelahian baru berhenti ketika Ellis meniup peluit akhir di mana skor 4-2 untuk Hungaria. Namun, ternyata perkelahian berhenti hanya sementara. Puskas yang duduk di pinggir lapangan ogah ketinggalan sehingga ikut berkelahi meski masih cedera. “Dia melemparkan botol ke wajah Pinheiro dan mengakibatkan luka yang perlu dijahit dengan cepat,” tulis Mark Ryan dalam Lowdown: A Short History of the World Cup . Ulah Puskas memicu balas dendam dari tim Brasil. “Tim Brasil menyerbu ruang ganti Hongaria setelah pertandingan untuk melanjutkan pertarungan,” sambung Ryan. Upaya kiper Brasil Castilho menenangkan rekan-rekannya gagal. Botol dan sepatu bola dilemparkan tim Brasil kepada lawan mereka. Para anggota tim Hungaria pun banyak menjadi korban “Gustav Sebes (wakil menteri olahraga Hungaria, red .) pipinya terluka,” tulis Gianville. “Mereka berperilaku seperti binatang. Itu memalukan,” kata Ellis. Tawuran baru berhenti ketika Presiden Komite Piala Dunia Swiss Ernst Thommen turun ke ruang ganti untuk menengahi. Namun upaya itu telat, korban telah berjatuhan. Yang memprihatinkan, panitia tak bertindak tegas meski ada tawuran, bahkan sejak perkelahian antar-pemain kedua tim terjadi di saat pertandingan. Masing-masing ofisial tim pun menolak menghukum para pemainnya yang terlibat. Hebatnya, kata Ellis, badan pengatur sepakbola tidak melakukan apapun.  “FIFA menutup mata. Terlalu banyak anggota komite takut kehilangan perjalanan ke tempat-tempat bagus. Itu pertandingan yang mengerikan,” kata Ellis yang kebanggaannya memimpin pertandingan seketika berubah begitu melihat hasilnya di luar dugaan.

  • Adik Goering Anti-Nazi dan Penyelamat Yahudi

    HALAMAN kamp tahanan transit Augsburg suatu siang medio Mei 1945. Albert Goering (dalam bahasa Jerman ditulis Göring) sedang cari angin di saat waktu rehat sembari memikirkan nasibnya jelang dikirim ke Pengadilan Nuremberg itu. Rona mukanya sontak berbinar kala dari kejauhan sang kakak menyapa. Siapa lagi kalau bukan Hermann Goering. Sang kakak merupakan orang nomor dua di rezim Nazi setelah Adolf Hitler. Hermann juga tinggal menunggu waktu dikirim ke Pengadilan Nuremberg untuk mempertanggungjawabkan pecahnya Perang Dunia II dan holocaust yang menelan korban sekira enam juta nyawa Yahudi dan sejumlah ras lain yang dianggap Nazi sebagai ras rendahan. “Saya sangat menyesal, Albert, bahwa Engkau juga harus amat menderita karena aku. Engkau akan segera bebas. Lalu jagalah istri dan anakku. Selamat tinggal!” cetus Hermann, dikutip sejarawan William Hastings Burke dalam Thirty Four: The Keys to Göring’s Last Secret . Itu kali terakhir adik-kakak Albert dan Hermann, yang bertolakbelakang soal politik, bertemu. Meski keduanya dikirim ke Pengadilan Nuremberg, rangkaian persidangan untuk mengadili para kaki-tangan Nazi 19 November 1945-1 Oktober 1946, keduanya dipisahkan kamar tahanan. Di akhir pengadilan pun hanya ada satu Goering yang keluar hidup-hidup. Beda Jalan Tak banyak yang aware bahwa selain Adolf Hitler, Reichsmarschall Hermann Goering juga punya keluarga penentang Nazi. Dalam keluarga Hitler, penentang itu ada pada sosok William Patrick Hitler. Anak dari adik tiri sang diktator, Alois Hitler Jr., itu di Perang Dunia II mengabdi di Angkatan Laut Amerika Serikat sebagai prajurit medis. Pasca-perang, pria kelahiran Liverpool, Inggris itu mengganti namanya menjadi William Patrick Stuart-Houston. Kisah Willy Hitler mengemuka lantaran ia menulis memoar bertajuk My Uncle Adolf . Tetapi berbeda bagi Albert Goering. Nama Goering baik ini justru jarang terdengar pasca-dibebaskan dari segala tuduhan oleh Pengadilan Nuremberg. Ia mati dalam sepi tanpa diketahui sumbangsihnya sebagai aktivis anti-Nazi, hingga pada 2006 kisahnya digali dan diangkat Burke. Kiri ke kanan: Hermann Wilhelm, Paula Elisabeth Rosa, Albert Günther, Dr. Hermann von Epenstein, Olga Therese Sophie (Foto: Repro "Göring: Eine Karriere") Albert Günther Göring merupakan anak bungsu Heinrich Ernst Göring, seorang eks Reichkommissar (setara gubernur jenderal) koloni Kekaisaran Jerman di Afrika Barat Daya (kini Namibia) dan Konsul Jenderal Jerman di Haiti, dari istri keduanya, Franziska ‘Fanny’ Tiefenbrunn. Albert lahir di distrik Friedenau, Berlin pada 9 Maret 1895. Berbeda dari Hermann sang kakak yang juga anak Heinrich dan Fanny, tiga kakak Albert yang lain: Karl Ernst, Olga, dan Paula, lahir dari rahim istri pertama Heinrich, Caroline Maria de Neree. Caroline meninggal pada 1901. Lantaran tugasnya di luar Jerman, Heinrich jarang ada di rumah. Keluarganya dititipkan pada Dr. Hermann von Epenstein, pebisnis Yahudi yang bersahabat dengan Heinrich sejak jadi gubernur jenderal di Afrika. Sebagaimana sang kakak, Albert juga memenuhi panggilan tugas kala Perang Dunia I pecah. Jika Hermann berkiprah sebagai penempur udara, Albert jadi opsir teknik komunikasi dan sinyal di parit-parit perlindungan pasukan darat Jerman. Pasca-Perang Dunia I, Hermann memilih bergabung dengan Partai Nazi bareng Hitler, sementara Albert melanjutkan pendidikan dengan kuliah di jurusan teknik mesin Technische Universität München. Albert lantas bekerja sebagai salah satu direktur Sascha-Filmindustrie AG milik Oskar Pilzer di Wina, Austria. Sejak itu, hubungan Albert dan Hermann tak lagi dekat. Nepotisme Menyelamatkan Korban Nazi Hubungan keduanya membaik pasca-Jerman mencaplok Austria pada 1938. Di tempat tinggalnya di Grinzig, Albert sering dikunjungi Hermann dan ini dijadikan  “modal” oleh Albert untuk menjalankan misi menyelamatkan ratusan orang Yahudi yang ditahan Schutzstaffel (SS) atau Gestapo, polisi rahasia Nazi yang didirikan Hermann. “Sejak Swastika pertama muncul di Wina, ia tak kenal lelah mengatur visa dan sokongan dana untuk teman-teman Yahudinya. Dia mendatangi langsung pejabat-pejabat Nazi di Wina, membela wanita-wanita lansia Yahudi yang dipermalukan dan dipaksa menyikat jalanan berbatu,” sambung Burke. Albert Goering bertugas sebagai petugas sinyal dan komunikasi di Perang Dunia I (Foto: aryse.org/Wolfgeist Limited) Salah satu sosok penting yang diselamatkannya adalah mantan bosnya, Oskar Pilzer, beserta keluarganya. Meski saat Perang Dunia II sudah pecah dan Albert sudah pindah tempat kerja ke pabrik Škoda Works di Cekoslovakia, ia masih sudi membebaskan Pilzer yang ditahan Gestapo keluar dari Jerman. “Albert secara rutin meminta bantuan kakaknya demi teman-teman Yahudinya atau para tahanan politik lainnya dengan memanipulasi ego Hermann dan memanfaatkan kedekatan hubungan keluarga. Hermann adalah jaring pengaman bagi Albert. Walau muncul empat perintah penahanan terhadapnya, Albert tak pernah betul-betul ditahan karena sang kakak selalu datang menolongnya,” kata Burke. Selain Pilzer, sosok penting yang juga pernah diselamatkan Albert adalah mantan Kanselir Austria Kurt Schuschnigg dan Putra mahkota terakhir Wangsa Habsburg-Tuscany Pangeran Joseph Ferdinand. Keduanya diseret ke Kamp Konsentrasi Dachau bersama 70 ribu Yahudi dan para tahanan politik Nazi pada 1938. Dengan dibantu kakak perempuannya, Olga, Albert sukses membujuk Hermann untuk membebaskan keduanya. “Hermann malunya bukan main (mendengar permintaan bantuan Albert, red. ). Tetapi keesokan harinya bangsawan Habsburg itu dibebaskan,” tutur Albert kepada teman lamanya, Ernst Neubach. Albert Goering (kanan) menikmati "nepotisme" lewat jabatan kakaknya untuk mengambil risiko sebagai aktivis anti-Nazi (Foto: g.cz ) Suatu kali, Albert berhasil menyelamatkan ratusan Yahudi dengan cara mirip dengan yang dilakukan Oskar Schindler, industriawan sohor Jerman. Ia mendatangi kamp konsentrasi menggunakan sejumlah truk dan meminta para tahanan untuk dijadikan buruh di pabrik Škoda. Setelah itu, truk-truk itu berhenti di tengah jalan dan Albert diam-diam memerintahkan mereka melarikan diri. “Tapi kemudian kakak saya mengatakan itu terakhir kali dia bisa membantu saya, karena posisi dia juga sedang goyah, dan dia juga terpaksa minta tolong kepada (Heinrich) Himmler secara pribadi untuk melupakan perintah itu,” kata Albert di salah satu sesi persidangan Pengadilan Nuremberg. Toh, aktivitas Albert yang dibantu para anggota perlawanan bawah tanah Cekoslovakia itu akhirnya terlacak Gestapo. Perintah gantung Albert dikeluarkan pada 1944. Albert pun kabur dari Austria dan bersembunyi di Praha. Antitesis Hermann Usai perang, gembong-gembong Nazi dikumpulkan Sekutu untuk disidang. Albert pun ditahan di Nuremberg nyaris dua tahun. Mulanya, para penyidik Amerika ragu akan kisah Albert. Tetapi dewi fortuna berpihak padanya, pengakuan tertulis datang dari 34 korban yang ia selamatkan. Salah satunya dari Pilzer, yang meminta pengadilan mencabut dakwaan-dakwaan terhadap Albert. Ia pun dibebaskan. “Namun masalah tak selesai di situ. Aparat di Praha juga ingin mendakwanya sebagai kolaborator Nazi. Akan tetapi sejumlah anggota perlawanan bawah tanah Ceko yang juga bekerja di pabrik Škoda, di mana Albert sebagai manajernya, bersaksi bahwa Albert menolong mereka melarikan diri dari Nazi,” kata jurnalis investigasi Gavin Esler di BBC Radio 4 , 27 Januari 2016. Pada 1947, Albert benar-benar bebas. Namun nama Goering yang melekat padanya membuat kehidupan pascaperangnya ambyar . Semua istrinya: Maria von Ummon, Erna von Miltner, dan Mila Klazarova, minta cerai. Albert sukar mendapat pekerjaan. “Setelah sekian lama akhirnya dia dapat pekerjaan sebagai desainer di sebuah firma konstruksi di Munich dan menyambi sebagai penulis serta penerjemah. Ia juga menikah lagi untuk keempat kali dengan asisten rumah tangganya, Brunhilde Seiwaldstätter, sampai akhirnya Albert meninggal pada 20 Desember 1966,” tulis Paul R. Bartrop dalam Resisting the Holocaust: Upstanders, Partisans, and Survivors. Sebelum meninggal pada 1966, Albert sempat membuka tabir rahasia hidupnya. Rahasia itu kemudian diungkapkan Elizabeth, putri Albert dari istri ketiganya Mila Klazarova kepada Esler, jurnalis investigasi BBC yang menemuinya di Klasa, Peru. “Ayahnya, Albert, mengaku pada ibunya (Mila) bahwa dia bukanlah adik Hermann Goering dari orangtua yang sama. Dia hanyalah adik tirinya (Hermann). Albert mengatakan bahwa dia adalah putra dari Hermann von Epenstein. Dia lahir sebagai Yahudi tapi kemudian menganut agama Katolik,” ungkap Esler, menerangkan bahwa Albert merupakan anak hasil perselingkuhan Fanny ibunya dengan Von Epenstein. Secara fisik Hermann dan Albert nyaris tak punya kemiripan (Foto: Bundesarchiv) Faktor itu diyakini sebagai motif di balik aktivitas Albert menyelamatkan ratusan orang Yahudi dari kebengisan rezim Nazi sejak berkuasanya Hitler pada 1933. Faktor itu pula yang membuat penampilan fisik maupun sifat Albert dan Hermann bak langit dan bumi. Albert bermata coklat gelap dan ciri wajah khas Eropa Tengah, sementara Hermann bermata biru dan ciri wajah khas Arya. Saat bocah, Albert lebih senang menyendiri dengan buku-bukunya, sementara Hermann adalah bocah pemberontak yang hobi main perang-perangan. “Dia selalu menjadi antitesis dari diri saya sendiri. Dia tak pernah tertarik pada politik atau militer, seperti saya di waktu kecil. Saya senang keramaian dan punya banyak teman. Sedangkan dia pendiam dan tertutup. Dia juga orangnya melankolis dan sering pesimis pada banyak hal, sementara saya seorang yang optimis. Tetapi Albert bukan adik yang buruk,” kata Hermann pada Leon Goldensohm, psikiater Amerika yang mewawancarainya di sela Pengadilan Nuremberg, dikutip Burke. Albert meninggal dalam “sepi” di Neuenbürg lantaran sosoknya sebagai anti-Nazi dan Holocaust tak diakui pemerintah dan masyarakat Jerman Barat selama puluhan tahun. Kisahnya pertamakali diangkat oleh Anthony Read dalam The Devil’s Disciples: Hitler’s Inner Circle yang rilis 1987. Meski biografinya yang ditulis James Wyllie, The Warlord and the Renegade, muncul pada 2006, nama Albert tetap terkubur tanpa pengakuan publik. Kisah Albert baru viral setelah Burke, yang menulis Thirty Four di tahun 2006, mengusulkan ke Yad Vashem di Israel agar menganugerahi Albert Goering penghargaan “Righteous Among the Nations”, pengakuan terhadap aktivis anti-Nazi laiknya Oskar Schindler.

  • Aljazair Merdeka

    Sebuah panitia khusus didirikan untuk membantu perjuangan kemerdekaan Tunisia, Maroko, dan Aljazair.

  • Biaro-Biaro Padang Lawas dan Kerajaan Panai di Sumatra Utara

    Setidaknya 26 situs tersebar di Padang Lawas, Sumatra Utara. Di kawasan ini mengalir sungai-sungai, seperti Barumun, sungai induk yang mengalir dari arah barat laut ke tenggara kemudian berbelok ke utara. Lalu Batang Pane, anak Sungai Barumun, dan Sirumambe, anak Sungai Batang Pane, yang mengalir dari barat laut ke tenggara. Di tepi-tepi sungai itu ditemukan situs dari masa Hindu dan Buddha. Mulai dari hulu tepi Sungai Batang Pane, yaitu Situs Gunung Tua, Si Topayan, Hayuara, Haloban, Rondaman, Bara, Pulo, Bahal 1, Bahal 2, dan Bahal 3. Lalu di tepi Sungai Sirumambe, yaitu Situs Batu Gana, Aek Korsik, Lobu Dolok, Si Soldop, Padang Bujur, Nagasaribu, dan Mangaledang. Hingga ke tepi Sungai Barumun, yaitu Situs Pageran Bira, Porlak Dolok, Si Sangkilon, Si Joreng Belangah atau Tandihat 1, Tandihat 2, Longgong atau Tandihat 3 dan Si Pamutung. "Tidak semua lokasi tersebut terdapat runtuhan bangunan, tetapi di beberapa situs ditemukan artefak seperti prasasti, arca, dan stambha,"  kata Sukawati Susetyo, peneliti Pus at Pene lit ian Arke ologi Nas ional dalam diskusi via  zoom  berjudul "Percandian di Padang Lawas Potensi Budaya untuk Kemajuan Bangsa" yang diadakan B alai P elestarian C agar B udaya Aceh beberapa waktu lalu. Keberadaan candi-candi itu, atau disebut biaro oleh masyarakat setempat, seringkali dikaitkan dengan Kerajaan Panai, kerajaan yang disebutkan dalam sumber-sumber tertulis. Salah satu sumber yang bisa disesuaikan dengan kondisi percandian Padang Lawas sekarang adalah Prasasti Batugana. Pada prasasti yang ditemukan dekat Biaro Bahal 1 itudisebutkan kata Pannai , artinya daerah yang dialiri oleh sungai-sungai.  Kendati berada di pedalaman, keberadaan biaro-biaro dekat aliran sungai membuat akses ke wilayah ini tetap terbuka. Menurut C. Guillot, arkeolog asal Prancis, dalam  Barus Seribu Tahun yang Lalu , sudah lama diduga kalau Padang Lawas ada di tengah sebuah jalan yang menghubungkan kedua pantai Sumatra, di timur dan di barat.  Seribu Tahun Lalu Kerajaan Panai disebut dalam prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Rajendra I alias Rajendra Utama Chola yang berkuasa di India Selatanpada 1012–1040. Prasasti Tanjore yang dibuat tahun 1030/1031 dan berbahasa Tamil menyebutkan Kerajaan Chola menyerang Kerajaan Sriwijaya pada 1023/1024. Setelah Rajendracola I mengalahkan Sriwijaya, Panai pun jatuh ke tangannya. Dalam prasasti itu digambarkan Panai adalah kerajaan yang dialiri sungai-sungai. Berita Tiongkok dari abad ke-9 menyebut nama Pu-ni atau Po-li. I-tsing yang lama tinggal di Sumatra mengatakan bahwa Po-li berlokasi di sebelah timur Barus ke arah pedalaman.  "Ini dikuatkan oleh Hsu Yun Ts’iao yang mengidentifikasikan Panai sebagai tinggalan Padang Lawas," kata Sukawati. Pada abad ke-14 berita tentang kerajaan Panai juga dimuat dalam Nagarakretagama.  Naskah ini ditulis Mpu Prapanca pada masa pemerintahan Hayam Wuruk di Majapahit.  Kekuasaan yang membangun candi-candi di Padang Lawas kemungkinan besar sudah eksis sejak abad ke-11 atau 1.000 tahun lalu. Itu melihat pertanggalan pada Prasasti Batara Lokanantha, yakni tahun 1039.  "Ada temuan arca perunggu Lokanantha, di bagian lapiknya ada angka tahun 1039. Lalu juga angka tahun dalam Prasasti Tanjore 1031," kata Sukawati.  Salah satu candinya, Biaro Si Joreng Belanga (Tandihat 1) dibangun pada abad ke-12. Temuan prasasti batu di sana berangka tahun  1101 Saka atau sama dengan tahun 1179.  Lalu ada arca Ganesha di Situs Porlak Dolok dekat Sungai Barumun. Angka tahun pada arca ini diinterpretasikan dari abad ke-13 (1245/1213). Dari temuan keramik di Padang Lawas menunjukkan situs-situs di sana mungkin dipakai sejak abad ke-9 hingga ke-14. Dari situs Nagasaribu misalnya, didapatkan keramik dari Dinasti Song, khususnya abad 9-12. Dari Biaro Sipamutung ditemukan keramik Mesir, Suriah abad ke-10-11, Dinasti Song abad ke-10-13, dan Dinasti Yuan dari abad ke-13-14. Begitu pula di Mangaledang, terdapat temuan keramik Dinasti Song dan Dinasti Yuan. Penghubung Dua Pantai Sumatra Guillot mengatakan, arkeolog R. Soekmono pernah mengamati sebagian batu candi di Padang Lawas dibawa dari pantai barat pulau Sumatra. Ketika beberapa candi dipugar, artefak yang ditemukan, yakni serpihan keramik dan kaca, persis sama dengan sebagian dari artefak yang ditemukan di Lobu Tua, Barus.  Karenanya paling lambat abad ke-11 Padang Lawas sudah berhubungan dengan pantai barat. Ini juga mengingat di situs Padang Lawas yang luas terdapat peninggalan yang sezaman dengan Barus, termasuk Candi Sipamutung dari abad ke-11.    "Dan cukup ramai orang yang melalui jalan ini sehingga lama-kelamaan tinggal benda-benda dan tempat ibadat saja yang membuktikan adanya suatu peradaban asing," kata Guillot. Sementara itu, dari Padang Lawas pun mudah untuk menelusuri Sungai Pane yang bermuara di Sungai Barumun sebelum mencapai pantai timur Sumatra dan bermuara di Selat Malaka. "Sudah lama diperkirakan bahwa Padang Lawas terletak di tengah sebuah jalan yang menghubungkan kedua pantai Sumatra," lanjut Guillot. Letak Padang Lawas pun sangat strategis karena memiliki dua gerbang pelabuhan: Barus di barat dan Labuhan Bilik di timur.  Keram Kevonian dalam "Suatu Catatan Perjalanan di Laut Cina dalam Bahasa Armenia" yang terbit di  Lobu Tua Sejarah Awal Barus , menyebut Kerajaan Paṇai menjadi penting karena memiliki komoditas utama yang diperebutkan di pasar internasional. Barang itu diperdagangkan di pelabuhan bertaraf internasional yang terletak di pantai barat, Barus, maupun di timur, Labuhan Bilik. Menurut Lisda Meyanti dalam "Prasasti Panai: Kajian Ulang tentang Lokasi Kerajaan Panai", yang terbit di jurnal AMERTA ,Vol. 37 No. 1, Juni 2019,kondisi itu memberi gambaran ramainya kawasan itu pada masanya. Kemungkinan pada masa lampau Padang Lawas lebih subur dibandingkan sekarang. Karenanya Kerajaan Panai sangat kaya akan hasil hutan, khususnya kapur barus dan ternak. Belum lagi hasil perut buminya seperti emas. "Hanya masyarakat yang kaya dan makmurlah yang mampu membangun candi,"  tulis Lisda.

  • Persekutuan Rahasia Prawatasari-Ki Mas Tanu

    Selama Maret 1703, kerusuhan kerap terjadi di Cianjur. Itu disebabkan oleh serangan laskar Haji Prawatasari yang selalu datang tiba-tiba dan langsung menghilang begitu saja. Bahkan bukan hanya di Cianjur, Bogor dan pinggiran Batavia pun mulai menjadi sasaran. Menurut Gunawan Yusuf dalam Sejarah Cianjur Bagian ke-5 , tentu saja  kenyataan itu membuat VOC dan para penguasa lokal setempat menjadi tak nyaman. VOC  bereaksi. Ekspedisi militer pun dibentuk. Pertengahan Maret,  sekira 2.000 serdadu kompeni pimpinan Pieter Scorpoi bergerak dari Batavia ke Jampang Manggung. Namun sesampai di sana, mereka tak mendapat perlawanan berarti. “Penumpasan itu (pada akhirnya) membawa berita bahwa Prawatasari telah terbunuh,” ungkap Jan Breman dalam Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa . Tidak mendapatkan kepala Haji Prawatasari, Scorpoi tidak mau mengambil resiko. Dia lantas mengangkut 1.354 penduduk Jampang Manggung. Mereka rencananya akan dikirim ke Batavia dan mungkin akan dijadikan budak belian. Sepanjang perjalanan, penduduk Jampang Manggung diperlakukan secara tidak manusiawi. Mereka disiksa dan dibiarkan kelaparan hingga sebagian besar meninggal dan melarikan diri.   “Di tengah perjalanan  hanya ada tersisa 582 orang,”ungkap Yusuf. Dalam Priangan: de Preanger –Regentschappen onder het Nederlandsch bestuur tot 1811 , F. de Haan menyebut sisa dari tawanan itu kemudian ditempatkan pada wilayah sekitar Pantai Utara. Namun versi Yusuf, sisa orang-orang Jampang Manggung itu dipaksa untuk pindah ke Bayabang, suatu wilayah yang ada di Mande dan terletak di tepi Sungai Citarum. Kabar kematian Prawatasari terbukti kemudian hanya isapan jempol semata. Secara mengejutkan, pada 1704, dia kembali muncul bersama sekira 3.000 gerilyawan yang menjadi pengikutnya. Dengan kekuatan hampir satu resimen tersebut, Haji Prawatasari mengepung Sumedang dan nyaris mengahancurkan kota itu. “Dalam gerakan majunya ke Priangan, pengikutnya semakin bertambah…”ungkap Jan Breman. Hingga Agustus 1705, tercatat tiga kali pasukan Haji Prawatasari berhasil mengalahkan pasukan kompeni. * Kejayaan Haji Prawatasari dan pasukannya, tidak lepas dari kepiawaiannya memainkan trik-trik intelijen. Gunawan Yusuf menyebut, ia memiliki seorang informan di dalam tubuh tentara VOC bernama Ki Mas Tanuwidjaya. Siapakah dia? Dalam  De Geschiedenis van Buitenzorg , CHF Riesz menyebut Ki Mas Tanu sebagai orang Sunda dari Sumedang yang berhasil membentuk "pasukan pekerja" dan mendapat perintah dari VOC untuk membuka hutan Pajajaran. Ia lantas mendirikan Kampung Baru yang kemudian menjadi cikal bakal Kabupaten Bogor sekarang. “Tanuwidjaya adalah penguasa Bogor versi VOC. Ia disebut "Luitenant der Javanen" (Letnan orang-orang Jawa dan merupakan letnan senior diantara teman-temannya,”tulis Gunawan Yusuf. Pada mulanya Ki Mas Tanu sangat loyal terhadap VOC. Sejarah mencatat, bersama seorang sersan Belanda bernama Scipio, ia pernah memimpin Ekspedisi Ciliwung. Ekspedisi itulah yang kemudian menjadikan kawasan-kawasan hutan sekitar bantaran sungai tersebut sebagai pemukiman penduduk sekarang. Kawasan-kawasan itu antara lain Depok, Pondok Cina dan Kedung Halang. Almarhum M.A. Salmun pernah menulis dalam  Majalah Intisari  edisi No.2 September 1963, bahwa yang dimaksud “Menak Ki Mas Tanu” dalam lirik lagu Ayang-Ayang Gung (sebuah lagu populer yang sering dihariringkeun oleh ibu-ibu Sunda saat meninabobokan anaknya) tak lain adalah Letnan VOC Ki Mas Tanuwidjaya . Secara akademis, memang belum ada penelitian resmi soal itu. Namun jika disimak hampir tiap bait lirik lagu tersebut, kita pantas ‘mencurigai’ pendapat itu mungkin saja benar adanya. Ayang-ayang gung Gung goong na rame Menak Ki Mas Tanu Nu jadi wadana Naha maneh kitu Tukang olo-olo Loba haru biru Rucah jeung kumpeni Niat jadi pangkat Kantun kagorengan Nganteur Kangjeng Dalem Lempa lempi lempong Ngadu pipi jeung nu ompong. Menurut Salmun, ‘penyair baheula’ menyindir Tanuwijaya dengan " lempa lempi lempong, ngadu pipi jeung nu ompong ". Artinya, Letnan VOC itu telah mengejar harapan kosong dan bermesraan dengan orang tidak bergigi. Yang dimaksud "orang tidak bergigi" adalah Prawatasari yang pada akhirnya kalah dalam perjuangan. Lantas mengapa “Si Anak Emas Kompeni” yang tadinya “niat jadi pangkat (ingin meraih jabatan) itu berbalik ‘mengkhianati’ majikannya dengan menjadi informan bagi Prawatasari? Gunawan Yusuf menyebut itu terjadi tidak lepas dari kecemberuan sekaligus ketidakpuasan lelaki Sunda itu kepada pihak VOC. Kendati seorang Letnan, secara  de facto  Ki Mas Tanu harus ‘tunduk’ kepada seorang Sersan Scipio yang seorang Belanda tulen. Namun soal pengkhianatan letnan Sunda itu, sempat disangkal oleh “kuncen Bandung” Haryoto Kunto. Haryoto menulis bahwa Ki Mas Tanu alih-alih pernah bersimpati kepada Prawatasari, ia justru dilukiskan sebagai anak muda yang ambisius dan setia kepada kompeni. Begitu setia-nya hingga dijuluki “Si Raja Tega”, karena kekejamannya kepada rakyat Priangan. “Kekejaman dan kelaliman Ki Mas Tanu diperlihatkannya ketika ia memimpin kerja rodi, susuk bendung babad jalan, membangun dan melakukan pengerasan jalan antara Bogor sampai Batavia,”tulis Kunto dalam  Gung Goongna Rame  ( Pikiran Rakyat , 19 Februari 1998). Pendapat Kunto itu sempat mendapat sangkalan pula dari sastrawan Sunda Aan Merdeka Permana. Dalam sebuah artikel berjudul  Benarkah Ki Mas Tanu Pengkhianat?  ( Pikiran Rakyat , 23 Februari 1998), Aan malah menggambarkan tokoh tersebut sebagai pahlawan, pionir penemuan kembali peninggalan warisan Sunda yakni Pajajaran. “Berdasarkan riset yang saya lakukan, Ki Mas Tanu berasal dari keluarga bangsawan Sumedanglarang yang notabene masih berkerabat dengan Kerajaan Pajajaran. Bahkan kita tahu Sumedanglarang dalam perkembangannya menjadi pengganti kerajaan Pajajaran,”tulis Aan. Siapa yang benar, tentunya harus dibuat riset yang lebih mendalam lagi mengenai soal tersebut. Namun yang jelas, sekitar 1705, persekutuan Haji Prawatasari dan Ki Mas Tanu terbongkar oleh telik sandi VOC. Akibatnya Wedana Bogor itu ditangkap VOC bersama sejumlah pengikutnya. “Dengan tuduhan perlawanan, para tersangka disuruh ke Batavia dan disekap untuk selanjutnya sesudah diadili Dewan Kehakiman (mereka) didera, dihajar (sampai) remuk redam, diselar dan (mendapat hukuman) dibuang ke Tanjung Harapan (Afrika Selatan) selama 50 .

  • India dan China dalam Kemelut Perbatasan

    SEJAK 5 Mei 2020, perbatasan India-China di area Line of Actual Control (LAC), garis demarkasi yang bersinggungan antara wilayah Ladakh (India) dan Tibet (China) sepanjang 3.500 kilometer, memanas. Militer kedua negara nyaris bentrok senjata. New Delhi maupun Beijing saling klaim wilayah tersebut dan saling gertak terkait. Tetapi belakangan tensi mulai mereda setelah dua jenderal masing-masing pihak bersua di Moldo, basis militer China di Sektor Chusul, Senin (22/6/2020). Militer India diwakili Komandan Korps ke-14 Angkatan Darat (AD) India Letjen Harinder Singh, dan diterima Komandan Distrik Militer Tibet Mayjen Liu Lin. Lewat pembicaraan maraton 11 jam, kedua pihak mencapai konsensus untuk menahan diri dan menghindari konflik terbuka. “Pembicaraan dilakukan dengan atmosfer yang positif dan konstruktif. Penarikan mundur pasukan di semua area yang berfriksi di timur Ladakh sudah disetujui dan akan segera dilakukan kedua pihak bersamaan,” sebut petugas militer India yang tak disebutkan namanya, dilansir Times of India , Selasa (23/6/2020). Tetapi bukan mustahil keduanya tak dapat menahan diri selamanya. Pasalnya, di level pengambil kebijakan, belum ada kesepakatan untuk mengikat perdamaian di perbatasan yang disengketakan. Hal ini terkait klaim China terhadap Lembah Galwan di salah satu area LAC. Terlebih, terdapat ketidakkompakan di pemerintahan India soal pertemuan trilateral yang dimediasi Rusia. Menteri Luar Negeri (Menlu) India Subrahmanyam Jaishankar bersedia bertemu Menlu China Wang Yi dengan mediator Menlu Rusia Sergey Lavrov di Moskwa. Tetapi Menteri Pertahanan (Menhan) India Rajnath Singh menolak duduk bersama dengan Menhan China Wei Fenghe. Krisis perbatasan India-China dipicu oleh pembangunan sebuah pos militer di Lembah Galwan oleh militer China pada 5 Mei di pesisir Danau Pangong dekat Pegunungan Himalaya. Pembangunan itu sebagai reaksi terhadap pembangunan infrastruktur jalan Darbuk-Shyok-Daulat Bel Oldi yang dibangun India. Pembangunan jalan di perbatasan yang dipermasalahkan China. (Twitter @IAmErAijaz ) Ketegangan terjadi ketika patroli militer India melabrak pos militer China itu. Konflik pun berkobar walau tak sekali pun meletupkan senjata. Kedua pasukan terlibat tawuran dengan tangan kosong, tongkat besi, hingga lempar-lemparan batu. Belasan prajurit di masing-masing pihak dilaporkan terluka. Tiga hari berselang, tawuran serupa terjadi di Nathu La Pass. Di pekan terakhir Mei, ribuan tentara China diklaim masuk dan melanggar perbatasan. Pada 15 Juni, terjadi tawuran kolosal di tepi Sungai Galwan. Sekitar 600 prajurit di masing-masing kubu tak hanya melempar batu, tapi juga menggunakan tongkat kawat berduri. Imbasnya 20 prajurit India tewas dan tiga luka-luka, sementara di pihak China satu tewas dan 43 lainnya terluka. Namun, tak satu pun peluru ditembakkan dalam tawuran itu. Bila ada satu letupan senjata, mungkin bakal mengobarkan perang berskala besar seperti yang dialami keduanya lebih dari setengah abad lampau. Konfrontasi Peking Kontra Delhi Pada Perang Sino-India 52 tahun lampau, insiden-insiden serupa pun terjadi. Situasi kian panas lantaran muncul Pemberontakan Tibet 1959 di mana India memberi suaka untuk Dalai Lama. Belum lagi, Perdana Menteri (PM) Jawaharlal Nehru bermain “dua kaki”. Di satu sisi ia masih didukung Amerika Serikat dan Inggris, di sisi lain ia mulai saling rangkul dengan pemimpin Uni Soviet Nikita Khrushchev. Saat itu hubungan Soviet dan China sebagai dua kutub komunis sudah tak harmonis. Saling klaim wilayah antara keduanya berpangkal dari perbedaan titik pijak. India sejak masih jadi koloni Inggris terus berpegang pada Garis McMahon sebagai perbatasan wilayahnya. Garis McMahon –dinamakan dari Sekretaris British India Henry McMahon berdasarkan Konvensi Simla 1914– adalah garis demarkasi sepanjang 890 kilometer yang memisahkan wilayah timur laut India dengan Tibet. Sementara, China tak mengakui Garis McMahon. Pada 1959, PM Zhou Enlai mengklaim bahwa perbatasan mereka adalah garis LAC. Garis demarkasi sepanjang 4.056 kilometer itu mencaplok wilayah Aksai Chin yang termasuk bagian dari Kashmir dalam Garis McMahon. Setelah perundingan setingkat menteri pada 1960 deadlock , pada Mei 1961 militer China membangun pos di Sungai Chip Chap setelah menguasai Dehra Compass. India bereaksi, membangun lebih banyak pos di belakang garis perimeter pos milik China. Alhasil tentara India memotong jalur suplai pos China hingga militer China di Sungai Chip Chap terpaksa mundur. “Nehru menginginkan agresi dan kami takkan membiarkannya. Biasanya kami mencoba menahan diri tapi sepertinya kami tak bisa lagi mencegahnya. Jika dia ingin maju (melewati LAC), kami akan melakukan tindakan bersenjata. Anda menghunuskan senjata, kami juga menghunuskan senjata. Kita akan berhadapan dan beradu keberanian,” ujar pemimpin tertinggi China Mao Zedong soal insiden itu, dikutip John W. Garver dalam “China’s Decision for War with India in 1962” yang termuat di buku New Directions in the Study of China’s Foreign Policy. Masing-masing wilayah yang diklaim India dan China antara McMahon Line dan Line of Actual Control. ( cia.gov ). Konflik keduanya menjadi konfrontasi bersenjata dalam kurun Juni-September 1962 di sejumlah wilayah perbatasan. Walau pada 3 Oktober PM Zhou mengunjungi PM Nehru di Delhi untuk meredam ketegangan, konfrontasi di perbatasan tak jua berhenti. Yang terbesar adalah baku tembak di Yumtso La, perbatasan dekat Tibet, 10 Oktober, di mana sekitar 50 personil patroli India pimpinan Brigadier John Dalvi disergap 1000 personil Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) China. Meski pasukan Dalvi memberi perlawanan heroik, mereka kalah jumlah. Setengah dari pasukannya tewas. Di pihak TPR, 33 prajurit tewas. Meski PLA memberi penghormatan secara militer saat menguburkan 25 prajurit India, tetap saja konfrontasi itu dianggap sebagai tindakan yang memicu perang berskala besar. Perang Tak Berimbang Meski Nehru menetapkan “Forward Policy” atau kebijakan maju ke perbatasan, ia tak mengerahkan segenap kekuatan militernya. Nehru kadung yakin China takkan mau berperang. Toh kalaupun terpaksa perang, Nehru yakin bakal disokong penuh Amerika dan Inggris. Padahal, persiapan China bukan “kaleng-kaleng”.  James Barnard Calvin dalam The China-India Border War mencatat, China menyiapkan setidaknya pasukan darat hingga 80 ribu personil. Sementara, India hanya punya dua divisi berisi 12 ribu personil di wilayah perbatasan. Pada pagi 20 Oktober 1962, Perang Sino-India pun dimulai. TPR menyerang dari dua front: di timur melalui Sungai Nam Chu dan di barat lewat Aksai Chin. Hanya dalam beberapa jam, perbatasan di Sungai Nam Chu yang dijaga satu batalyon tentara India dihancurkan tiga resimen TPR. Sementara, di front barat garnisun India di Lembah Galwan dan Danau Pangong dengan mudah ditaklukkan PLA yang mengerahkan “gelombang manusia” yang tak terbendung. Dalam dua hari, garis pertempuran TPR makin maju dan pasukan India terus-menerus terpukul mundur. Nehru lantas meminta bantuan Presiden Amerika John F. Kennedy untuk mengirim 12 skadron pesawat tempur. Namun, permintaan itu ditolak. Kennedy hanya bersedia mengerahkan Kapal Induk USS Kitty Hawk ke Teluk Benggala dan baru akan bertindak jika China keluar dari zona yang dipersengketakan untuk menginvasi India. Hingga akhir perang, sekitar empat ribu serdadu India ditawan China dan dipulangkan pasca-Perang Sino-India usai. ( Wikipedia ). Proposal Nehru untuk membeli pesawat dari Inggris dan Amerika pun ditolak. Dengan kesal Nehru pun berpaling pada Soviet yang berkenan menjual 12 jet tempur MiG-21. Namun jet-jet tempur anyar Soviet itu datang terlambat. Peking yang tujuan ofensifnya telah tercapai setelah menguasai Aksai Chin, mendeklarasikan gencatan senjata unilateral pada 19 November 1962. Delhi pun tak punya pilihan lain selain menyepakati gencatan senjata itu. Perang selama sebulan itu mengakibatkan sekira 1.300 personil India tewas, 1.600 hilang, seribu lainnya terluka, dan empat ribu ditawan. Sementara di pihak TPR, dua ribu personilnya tewas dan seribu luka-luka. “Mulai 21 November 1962, pasukan terdepan China akan menghentikan tembak-menembak di sepanjang perbatasan Sino-India. Mulai 1 Desember 1962, pasukan terdepan China akan mundur ke posisi 20 kilometer di belakang LAC,” demikian bunyi potongan deklarasi gencatan senjata PM Zhou. Delhi kemudian terpaksa mengakui LAC, di mana Aksai Chin merupakan bagian dari China secara de facto . Kendati begitu, sengketa perbatasan itu masih acap menimbulkan insiden hingga hari ini.

  • Sukarno Menembus Hutan Bukit Barisan

    Setelah memberitahu Inggit Garnasih istrinya, Sukarno berkeliling kota Padang untuk mencari Woworuntu. Kepada rekannya itu Sukarno hendak mencari bantuan tempat tinggal. Meski tak mudah, Sukarno akhirnya menemukan tempat tinggal Woworuntu dan segera mengetuk pintu rumahnya. Tuan rumah kaget begitu mendapati tamunya adalah Ir. Sukarno, kawan yang saat itu menjadi tokoh perjuangan kemerdekaan paling populer. “Dia memelukku. ‘Sukarno, saudaraku’,” kata Woworuntu berteriak sambil berlinang air mata saat menyambut tamunya, dikutip dalam otobiografi yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia . Pertemuan dua kawan yang lama tak jumpa itu begitu hangat. Tanpa disangka Sukarno, Woworuntu menawarkan apa yang diinginkan Sukarno. “Bawalah keluarga Bung Karno ke sini...bawalah ke sini dan anggaplah ini rumah Bung Karno sendiri,” kata Woworuntu yang berharap akan mendapat teman di rumahnya karena anak-istrinya telah dia ungsikan akibat suasana kota tak kondusif menyusul kedatangan tentara Jepang. Keluarga Sukarno pun tinggal di rumah Woworuntu dan menempati kamar Woworuntu. Tuan rumah sendiri pindah ke kamar lain. Pertemuan membahagiakan Sukarno dengan Woworuntu itu menjadi bayaran atas kepedihan Sukarno sekeluarga selama empat hari menjalani perjalanan sulit dari Bengkulu menuju Padang. Pemindahan tempat pembuangan Sukarno dari Bengkulu dilakukan pemerintah Hindia Belanda karena tak ingin tokoh perjuangan paling populer itu bekerjasama dengan Jepang yang sudah mulai masuk ke Sumatera. Dalam perjalanan itu Sukarno beserta Inggit, Sukarti anak angkatnya, dan Riwu pembantu setianya mesti melakukan perjalanan jauh menembus belantara Bukit Barisan dengan hanya membawa sedikit perbekalan. Mereka dibawa menuju Padang menjelang tengah malam 22 Februari 1942. Hanya empat polisi yang mengiringi perjalanan mereka. Mereka menyisir pantai barat Sumatra lewat Mukomuko. Ada 13 sungai yang mereka seberangi menggunakan rakit atau perahu milik penduduk sebelum mencapai Mukomuko. Begitu sampai di Mukomuko sore keesokan harinya, mereka amat kelelahan. “Di Desa Mukomuko mereka ditimbangterimakan kepada polisi dari Karesidenan Sumatera Barat,” kata Hasjim Ning, keponakan Bung Hatta yang menjadi sahabat Sukarno, dalam otobiografinya Pasang Surut Pengusaha Pejuang . Setelah beristirahat di sebuah rumah, perjalanan dilanjutkan pukul tiga dini hari. Perjalanan kali ini lebih berat bukan hanya karena polisi yang mengawal mereka dari Bengkulu telah diganti oleh polisi-polisi kaku dari Mukomuko, namun mobil pengangkut Sukarno sekeluarga telah dibawa kembali oleh polisi Bengkulu. “Maka rombongan Bung Karno berangkat ke arah Padang dengan menggunakan pedati yang ditarik sapi dari Muko-muko lewat Lunang dan Silaut, terus ke Painan,” sambung Hasjim yang mendengar kisahnya dari Ibu Inggit. Gerobak-sapi itu hanya diperuntukkan mengangkut beras dan logistik selama perjalanan. Hanya Sukarti yang diizinkan naik gerobak itu jika kelelahan. Praktis, semua mesti berjalan kaki menembus belantara untuk mencapai Padang yang berjarak sekira 300 kilometer. Meski kaget dan awalnya enggan meneruskan perjalanan, Inggit akhirnya terpaksa ikut. Akibat menyusuri hutan lebat dengan vegetasi rapat, kakinya sampai bengkak. Karena itulah ia terkadang menumpang gerobak logistik. Perjalanan berat itu akhirnya berakhir sementara menjelang magrib ketika mereka mencapai sebuah gubuk panggung kosong di tengah persawahan. Di sanalah mereka istirahat untuk menunggu pagi. “Kalaupun disuruh berjalan terus, tak seorang pun di antara kami yang masih sanggup berjalan. kami terlalu lelah. Dan kaki bengkak-bengkak oleh gigitan serangga. Sukarti tidak memakai topi, badannya terbakar oleh terik matahari,” kata Sukarno. Meski gubuk kosong itu kondisinya tak bagus, ia seakan surga bagi para anggota rombongan. Sebuah tikar yang ada langsung ditiduri Sukarno. Mereka akhirnya bisa istirahat meski kondisi sekitar yang menyeramkan. “Seekor ular menjalar melalui kaki. Cicak berkeliaran di atas atap. Bunyi binatang buas di malam hari di sekeliling tempat kami membikin badan jadi dingin. Tetangga kami adalah harimau, beruang, kucing hutan, rusa, babi hutan, dan monyet tak terhitung banyaknya,” kenang Sukarno. Teriakan monyet yang tak henti-henti membuat Sukarti ketakutan ketika bangun tengah malam. Baru setelah ditenangkan oleh sang ayah bahwa mereka dijaga 24 jam full oleh polisi-polisi bersenjata, Sukarti bisa tenang dan kembali tidur. Setelah bangun dan sholat serta sarapan, sereka kembali melanjutkan perjalanan di saat hari masih gelap. Itu dilakukan agar mereka bisa mencapai jarak sejauh mungkin ketika magrib tiba dan istirahat. Menjelang tengah hari bukan main senangnya mereka ketika mendapati sebuah sungai berair jernih. Tanpa melepas pakain, mereka langsung menceburkan diri ke sungai itu. Mereka lalu istirahat di sebuah gubuk yang mereka temukan tak jauh dari sungai. Banyaknya jejak harimau yang mereka lihat selama perjalanan tak begitu menakutkan karena langit terang. Namun tidak demikian ketika seekor siamang besar mendekati mereka. “Akan tetapi kami tidak diapa-apakan, hanya jantung kami yang memukul-mukul dada dengan keras,” sambung Sukarno. Dengan bekal ikan tangkapan dari sungai tadi, mereka lalu menjadikannya lauk. Nasi dan sayur mereka masak dari beras dan sayuran yang dibawa. Mereka pun makan siang. Perjalanan lalu mereka lanjutkan. Namun, di hari ketiga itu mereka semua telah kelelahan. Inggit bahkan sampai makan sambil berdiri akibat lelahnya dan khawatir jika duduk dia tak bisa kembali berdiri. Seorang polisi yang mengawal bahkan putus asa. “Di samping matahari yang membakar, haus, kehabisan tenaga dan gangguan binatang, para pengiring kami harus pula mengawal kami. Sekalipun kami adalah orang tawanan dan orang yang menawan, kami semua sama merasakan pahit-getirnya perjalanan,” kata Sukarno. Maka sambil berjalan, Sukarno mencoba mengajak ngobrol polisi pengawal untuk menaikkan kembali semangatnya dan memecah kebisuan perjalanan. “Saya berterimakasih kepada saudara-saudara, karena sudah memperlihatkan daerah pedalaman ini kepada saya,” kata Sukarno. Perkataan Sukarno langsung disambut seorang polisi dengan pertanyaan. Obrolan pun terjadi. Cerita-cerita yang dikeluarkan Sukarno menjadi hiburan bagi para polisi pengawal. Perjalanan kembali bergairah hingga ketika mereka beristirahat di satu tempat untuk menikmati air kelapa yang diambil oleh Riwu dari pohon yang ada. Perjalanan mereka tak seberat sebelumnya. Di hari keempat, mereka sudah keluar dari hutan dan masuk ke wilayah Mingangkabau. Dengan menumpang bus, mereka lalu mencapai Padang malam itu juga dan diinapkan di sebuah hotel sebelum akhirnya Sukarno sekeluarga menumpang di rumah Woworuntu.

  • Jabatan Panglima APRA untuk Sultan Hamid II

    Rakyat Indonesia pernah menerima teror mengerikan pasukan Belanda antara 1946-1950. Rakyat di sejumlah daerah, khususnya Sulawesi Selatan, menjadi sasaran pembunuhan massif militer Belanda. Aksi kejam itu dipimpin oleh Kapten Raymond Pierre Paul Westerling. Pemerintah Belanda memberi hak khusus dalam setiap aksi Westerling tersebut. Itu karena tindakannya didasarkan atas cita-cita Belanda menguasai kembali Republik Indonesia. Dukungan untuk Westerling rupanya datang juga dari seorang Republik yang ingin mempertahankan kekuasan negerinya. Adalah Sultan Hamid II atau Sultan Syarif Hamid Al-Qadrie, sultan ke-7 Kesultanan Qadriyah Pontianak. Hamid cukup dekat dengan Westerling karena kerap bertemu di sebuah kafe (yang terletak di Jakarta) sepanjang Januari 1948. Kedekatannya dengan perwira Belanda itu bukan kali pertama, Hamid diketahui pernah aktif di KNIL berpangkat letnan dua, setelah menamatkan pendidikan di Akademi Militer Belanda (Koninklijk Militaire Academie) di Breda, Belanda, pada 1938. Pada masa pendudukan Jepang, Hamid ditahan selama tiga setengah tahun di Jakarta. Pasca kemerdekaan, ia kembali aktif di KNIL dengan pangkat kolonel. Karir militernya terus melejit. Ia diketahui pernah menjabat ajudan istimewa Ratu Kerajaan Belanda, Wilhelmina. Sejarawan Anhar Gonggong dalam acara webinar tentang Sultan Hamid II tanggal 22 Juni 2020, menyebut pangkat yang diterima Hamid di dalam kesatuan ajudan Ratu Belanda ini adalah mayor jenderal. “Sultan Hamid II menandatangani sebagai mayor jenderal dan ajudan istimewa Ratu Wilhelmina, Ratu Belanda, pada 1946,” ucapnya. Hamid juga pernah membentuk federasi bernama Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DKIB) bersama negara-negara kerajaan se-Kalimantan Barat, yang menjalin persemakmuran dengan Kerajaan Belanda. Diceritakan Batara R. Hutagalung dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 dalam Kaledoskop Sejarah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia , Hamid juga membentuk Bijeenkomst Voor Federaal Overleg (BFO) atau Perhimpunan Musyawaran Federal, bersama sejumlah tokoh politik negara-negara otonom di Kalimantan, Sumatera, Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Bali. Ia ditunjuk sebagai wakil BFO. Hamid memperjuangkan sistem federal dalam berbagai perundingan, mulai dari Perundingan Malino sampai Konfersensi Meja Bundar (KMB). Sultan dari Pontianak itu percaya bahwa Kepulauan Melayu (Indonesia) lebih tepat menggunakan sistem federal untuk ketatanegaraannya. Namun keinginannya itu mendapat tentangan dari kaum republikan yang menginginkan sistem kesatuan atau unitarisme. Pada 22 Desember 1949, Hamid kembali bertemu Westerling. Kapten Belanda itu menyatakan keberatannya atas posisi Sukarno sebagai Presiden RIS. Ia juga mengklaim telah membentuk sebuah pasukan, APRA (Angkatan Perang Ratu Adil), berkekuatan 15.000 orang. Westerling lalu menawari Hamid menjadi pimpinan tertinggi di pasukan APRA. Karena tidak yakin, Hamid akhirnya menolak tawaran itu. Namun sang sultan berubah pikiran dan menerima tawaran itu pada 10 Januari 1950. Maksud Hamid menerima tawaran jadi panglima APRA karena ingin mempertahankan sistem negara federal dari intimidasi yang ingin menghapuskan negara-negara bagian secara inkonstitusional. Tapi ada syarat yang harus dipenuhi: pasukan APRA harus terdiri dari bangsa Indonesia saja; Westerling harus memberitahukan persenjataan, kekuatan-kekuatan dan dislokasi APRA; dan ia harus mengetahui sumber keuangan untuk membiayai APRA. Belum sempat menerima pasukan APRA, Hamid mendengar kabar penyerbuan APRA di Bandung. “Saya marah karena sebelum ada kesepakatan soal tawaran oppercommando APRA, Westerling telah bertindak sendiri. Dan saya sendiri tidak menyetujui adanya penyerbuan ke kota Bandung itu,” kata Hamid seperti dikuti Persadja dalam Proses Peristiwa Sultan Hamid II . Alih-alih tidak setuju dengan aksi kawan Belandanya itu, Hamid memerintahkan Westerling dan rekannya, Inspektur Polisi Frans Najoan untuk menyerang sidang Dewan Menteri RIS pada 24 Januari 1950. Menurut Herbert Feith dalam The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia selama penyerbuan itu, Westerling bertindak berdasarkan perkataan Hamid. Kawannya itu juga memberi instruksi agar semua menteri ditangkap, sedangkan Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX, Sekretaris Jenderal Ali Budiardjo dan Kepala Staf APRIS Kolonel T.B. Simatupang harus ditembak di tempat. Sebagai kamuflase, Hamid sendiri harus menerima luka enteng. Ditembak di kaki. “Maka jika itu terjadi Hamid akan muncul sebagai Menteri Pertahanan republik,” tulis Herbert Feith. Setelah penyerangan, rencana Hamid selanjutnya adalah meminta persetujuan Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, supaya ia diperbolehkan membentuk kabinet baru, di mana ia akan menjadi Menteri Pertahanan. Ketika akan pergi ke tempat persidangan, Hamid berubah pikiran. Ia ingin mencabut kembali perintah penyerbuan itu. Karena tidak tahu di mana keberadaan Westerling dan Frans Najoan, keinginan Hamid itu hanya dibicarakan dengan ajudannya, Van der Heide. Serangan gagal. Sidang rupanya selesai lebih cepat dari rencana. Pasukan yang telah bersiap menyerang hanya mendapati tempat yang menjadi target penyerbuan telah kosong. Meski begitu, Hamid tetap ditangkap pada 5 April 1950 oleh Sultan Hamengku Buwono IX atas perintah Jaksa Agung RIS Tirtawinata. Pada 8 April 1953, Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara dipotong masa tahanan tiga tahun, atas tuduhan terlibat dalam aksi penyerangan Westerling dan APRA.

  • Benteng Kuno Dayak dari Masa Tradisi Berburu Kepala

    Dulu, ketika orang-orang Dayak masih sering memburu kepala musuh-musuhnya, mereka membangun perlindungan di balik benteng kayu ulin yang kokoh. Batang-batang kayu ulin disusun utuh berjajar begitu rapat menyerupai pagar keliling yang sangat tinggi. Beberapa di antaranya dilengkapi dengan menara pengintai. S epasang haramaung diletakkan untuk menjaga pintu masuknya. Macan dahan ini menjadi simbol keberanian dan perlindungan bagi masyarakat Ngaju. Dulu di depan pagar juga akan ada sosok muka dengan mata melotot dan lidah terjulur. Si muka seram di tiang kambelawit inilah penghalau setiap hal buruk yang datang. Kini yang ada hanyalah tiang kosong yang tampak di permukaan tanah. Pencuri telah mengambil patung macan penjaga itu dengan memangkasnya dari tiang. Patung kambelawit itu juga sekarang sudah tak utuh lagi. Tiangnya pun telah aus. Sementara itu, sebagian besar tiang pagar sudah tak terlihat. Banyak yang hilang. Ada pula yang terpendam di dalam tanah. Begitu paling tidak yang bisa terlihat dari sisa-sisa bangunan Kuta Mapot dan Hantapang di Daerah Aliran Sungai Kahayan. Kuta adalah cara masyarakat Dayak Ngaju menyebut bangunan benteng bikinannya. Sudah Ribuan Tahun Di dalam sebuah kuta , biasanya terdapat rumah betang, rumah panggung panjang di mana masyarakat Ngaju berdiam. Di depan rumah betang seringnya terdapat sandung , sebuah kubur sekunder berbentuk rumah panggung kecil. Masyarakat Ngaju menyimpan sisa tulang belulang tokoh yang mereka hormati di dalamnya. Kebutuhan sumber makanan tersedia di lumbung. Ada pula kuta yang dilengkapi dengan patahu , bangunan kecil berisi penjaga kelompok masyarakat di dalam kuta . Teknologi hunian benteng semacam itu telah diwarisi masyarakat Ngaju sejak berabad silam. Yang tertua sementara ini adalah Kuta Mapot yang telah dihuni sejak abad ke-4 atau sekira 1.700 tahun yang lalu. “Secara fitrah manusia cenderung membentengi diri, seperti juga orang Dayak membentengi diri dengan benteng keliling,” kata Sunarningsih, peneliti Balai Arkeologi Kalimantan Selatan dalam diskusi via zoom bertajuk “Misteri Kuta di Kalimantan” yang diadakan oleh Balai Arkeologi Kalimantan Selatan, Selasa, 23 Juni 2020. Sampai abad ke-19 benteng-benteng perlindungan masyarakat Ngaju itu masih bisa diamati dengan baik. Setidaknya bisa tergambar jelas dalam catatan geolog dan naturalis Jerman, Carl Schwaner yang melakukan ekspedisi menembus pedalaman Borneo pada 1843–1847. Dalam penjelajahannya, di sepanjang sungai utama di Kalimantan bagian tengah, Schwaner banyak menemukan hunian berbenteng. Ia menyebut hunian itu dengan istilah kotta. Ia mendata ada sembilan kotta di sepanjang Sungai Barito, 26 kotta di Kapuas, dan 62 kotta di Kahayan. “ Kuta , atau yang oleh Schwaner ditulis kotta, adalah sistem pertahanan yang dimiliki masyarakat Dayak Ngaju yang hidup di sepanjang sungai Barito, Kapuas, dan Kahayan di Kalimantan bagian tengah,” kata Sunarningsih. Balai Arkeologi Kalimantan Selatan masih bisa mendata beberapa kuta ketika melakukan penelusuran pada 2013 di sepanjang DAS Kahayan dari hilir hingga hulu. Misalnya, kuta di Kuala Kurun yang berada di tepi Sungai Kahayan. Tanda-tandanya sudah tidak terlihat, kecuali keberadaan bangunan sandung . Sejumlah lokasi penemuan benteng sudah bisa diperkirakan umurnya. Misalnya, Kuta Amai Rawang di atas bukit batudiperkirakan berasal dari abad ke-15. Kuta Madehan dihuni pada sekira abad ke-12. Peneliti Balai Arkeologi Kalimantan Selatan sudah menggali beberapa kuta . Misalnya, dari sampel arang didapat pertanggalan ablosut bahwa pembangunan Kuta Hantapang sudah dimulai sejak 1300–1800. Sedangkan Kuta Bataguh menunjukkan pertanggalan sejak 400 hingga 1800, sama dengan pertanggalan Kuta Mapot. Dihuni Ketika Ada Serangan Mansyur, sejarawan Universitas Lambung Makurat Banjarmasin, menjelaskan kuta diperkirakan awalnya dibangun pada zaman Tetek Tatum atau zaman Ratap Tangis. “Zaman ini dikenal juga dengan zaman Haasang atau perang, bunuh membunuh antarsuku dan wabah sehingga banyak penduduk yang mengungsi,” kata Mansyur. Kondisi masyarakat Ngaju yang masih melakukan tradisi pengayauan, berburu kepala musuh, menyebabkan munculnya bentuk rumah betang berpagar keliling. Hunian semacam ini dianggap lebih aman. Ketika terjadi serangan, kata Sunarningsih, kelompok tersebut akan berlindung di dalam kuta . Mereka masih bisa beraktivitas dan bertahan hidup, karena berbagai fasilitas tersedia di dalam kuta . Kebutuhan logistik juga tersimpan di dalam lumbung. “Apabila serangan musuh sudah berhenti untuk sementara, penghuni kuta akan beraktivitas seperti biasa, baik di ladang maupun di sungai untuk melanjutkan kehidupan mereka,” kata Sunarningsih. Kuta diperkirakan tak dipakai lagi setelah perjanjian damai Tumbang Anoi pada 1894. Namun, pada tahun-tahun setelahnya tampaknya masih terjadi aktivitas kayau pada beberapa tempat tertentu di wilayah Kalimantan.  “Aktivitas tersebut tidak dengan serta merta langsung berhenti,” kata Sunarningsih.

  • Intrik Kuasa di Kesultanan Yogyakarta

    Selama dekade pertama abad ke-19, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat terus mendapat gangguan dari Belanda. Mereka selalu berusaha menancapkan pengaruhnya di lingkungan keraton, tetapi selalu ditentang oleh Sultan Hamengkubuwono II. Dia secara tegas menolak upaya Gubernur Jenderal H.W. Daendels menempatkan seorang regent di wilayah Kesultanan Yogyakarta. Tindakan lain HB II yang bertentangan dengan keinginan Belanda adalah pergantian wakil istana dari Patih Danuredja II yang dianggap pro-Belanda kepada Notodiningrat, keponakan HB II. Menurut Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik , pergantian itu dikhawatirkan akan mengancam posisi Belanda di Yogyakarta. Sikap HB II itu membuat Daendels marah. Dia lalu mengeluarkan perintah penyerbuan ke wilayah Yogyakarta. Begitu keraton dikuasai, sang gubernur jenderal menurunkan HB II dari takhtanya. Diceritakan Joko Darmawan dalam Mengenal Budaya Nasional Trah Raja-Raja Mataram di Tanah Jawa , demi mengisi kekosongan tersebut dipilihlah putra HB II, Raden Mas Surjo, pada Desember 1810 sebagai regent yang memimpin rakyat Yogyakarta. Dia mendapat gelar Sultan Raja. Daendels menilai Raden Mas Surjo dapat berkompromi dengan pihaknya. Dia juga sepakat untuk tidak mengusik aktivitas pemerintah Hindia Belanda di Yogyakarta. Namun belum genap setahun memangku jabatan, Sultan Raja harus rela menyerahkan kembali takhta keraton kepada ayahnya, Sultan HB II. Kembalinya jabatan sultan ke HB II itu merupakan buntut dari perjanjian antara Prancis dengan Inggris. Keduanya menyepakati penyerahan seluruh wilayah Nusantara dari Belanda ke tangan Inggris. Situasi perang di Eropa menjadi penyebab terbesar perpindahan kekuasaan tersebut. Gubernur Jenderal Inggris di India Sir Gilbert Eliot Murray lalu menunjuk Thomas Stanford Raffles sebagai Gubernur Jenderal. Raffles segera mengamankan seluruh wilayah bekas jajahan Belanda dan menancapkan pengaruh Inggris di dalamnya. Hal itu terlihat juga di Ngayogyakarta Hadiningrat. Setiba di Jawa Raffles langsung menurunkan HB III yang dianggap berpihak kepada Belanda. “Kendatipun demikian HB II diharuskan untuk menaati aturan-aturan yang dibuat pemerintah Inggris,” tulis Darmawan. Menggalang Bantuan Raden Mas Surjo yang kehilangan jabatannya kembali menjadi putra mahkota. Tetapi diam-diam dirinya mulai menggalang kekuatan untuk kembali bertakhta. Rupanya di dalam keraton sendiri banyak pejabat yang lebih senang berada di bawah perintah Mas Surjo ketimbang HB II. Dukungan juga tidak hanya datang dari elit keraton, tetapi para pemangku birokrasi di seluruh Yogyakarta. Salah satunya seorang Kapiten Tionghoa bernama Tan Jin Sing. Sebagai seorang kapiten, Tan Jin Sing memiliki koneksi yang cukup baik dengan pihak kolonial maupun bangsawan Jawa. Dia mengetahui intrik yang terjadi di dalam istana dan memutuskan mendukung Raden Mas Surjo mendapatkan kembali takhtanya. Dia pun memanfaatkan kedekatannya dengan pemerintah Inggris untuk membantu sang putra mahkota. “Pangeran Surjo yang sedang dalam keadaan terjepit, karena ayahnya telah melakukan pembersihan terhadap orang-orang yang setia kepadanya, sudah tentu menyambut dengan gembira tawaran Babah Djim Sing ini,” tulis Setiono. Kapiten Jin Sing melakukan usaha pendekatan terhadap Residen Yogyakarta John Crawfurd. Dia mencoba mendapat dukungan dari Raffles melalui sang residen. Menurut sejarawan Peter Carey dalam Orang Cina, Bandar Tol, Candu, dan Perang Jawa: Perubahan Persepsi tentang Cina 1755-1825 , Jin Sing sering mengadakan pertemuan rahasia dengan Crawfurd terkait dukungan terhadap Raden Mas Surjo tersebut. “Sebagai seorang teman, penerjemah, serta pembantu Putra Mahkota, ia juga bertindak sebagai salah seorang utusan rahasia Putra Mahkota dalam berbagai perundingan dengan Inggris,” tulis Carey. Hasilnya, disepakati sebuah perjanjian rahasia pada 12 Juni 1812, yang memberikan jaminan dari Inggris untuk Raden Surjo mengambil alih takhta kesultanan Yogyakarta. Maka pada 17 Juni 1812 tentara Inggris pimpinan Kolonel Gillespie dan Kapten Travers masuk ke Yogyakarta. Mereka melakukan pengepungan di kediaman Sultan HB II. Selama penyerbuan berlangsung, Tan Jin Sing memainkan peranan penting dengan memberikan informasi kepada pasukan Inggris. Dia juga menjamin perbekalan makanan serta keperluan perang untuk para penyerbu tersebut. Bahkan atas kuasanya, para bawahan dan orang-orang yang setia kepada Pangeran Surjo diberi perlindungan di daerah pemukiman Tionghoa. Pada 20 Juni 1812 keraton berhasil diduduki dan HB II bersedia menyerahkan takhtanya. Raden Mas Surjo kemudian didaulat menjadi pemimpin baru Kesultanan Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengkubuwono III. Oleh Inggris, HB II dibuang ke Penang dan akhirnya oleh Belanda dipindahkan ke Ambon, Maluku. “Sebagai imbalan atas pelayanannya, Sultan Ketiga yang baru diangkat itu –kemungkinan berada di bawah tekanan Inggris– mengangkat Tan Jin Sing sebagai bupati dengan gelar Raden Tumenggung Secodiningrat dan mendapat apanase sebanyak 1000 cacah (kepala keluarga),” tulis Carey. Keserakahan Inggris Harga yang harus dibayar HB III untuk memperoleh singgasana Yogyakarta rupanya tidaklah murah. Melalui perjanjian pada 1 Agustus 1812 Inggris menuntut banyak hal kepada HB III atas wilayah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta. Di bidang ekonomi, HB III harus melepaskan hak atas penarikan pajak tol dari pelabuhan-pelabuhan, baik laut maupun sungai, serta pusat-pusat perdagangan. Sebagai gantinya, sultan akan memperoleh bayaran dari pemerintah Inggris setiap tahunnya. Di bidang lain, Inggris menuntut agar HB II melepas hak atas tanah-tanah di Kedu, Pacitan, Jipang, dan Grobogan. Inggris berencana mengelola pemerintahan di wilayah-wilayah tersebut. Kemudian di bidang militer, para pejabat istana tidak diperkenankan memiliki tentara pribadi kecuali dengan izin pemerintah Inggris. Pemerintah Inggris juga menegaskan bahwa HB III hanya berkuasa atas orang-orang Jawa saja, sementara orang-orang asing yang tinggal di Yogyakarta berada di bawah penguasaan Inggris. Sebagai bagian dari usaha penguasaan seluruh wilayah pulau Jawa, Inggris meminta agar sultan mengakui kedudukan tersebut. Selanjutnya, Kesultanan Yogyakarta dilarang melakukan hubungan diplomatik dengan kerajaan dan negara lain, baik di pulau Jawa ataupun di luar Jawa. “Demikianlah antara lain isi perjanjian yang pada hakekatnya telah mengebiri kedaulatan Kesultanan Yogyakarta sebagai sebuah negara,” tulis Setiono. Namun ternyata Sultan HB III hanya memerintah selama dua tahun saja. Dia secara tiba-tiba meninggal dunia pada 3 November 1814 dalam usia 43 tahun. Putranya, Pangeran Ibnu Jarot yang masih berusia 10 tahun ditunjuk menggantikan posisi ayahnya. Dia mendapat gelar Sultan Hamengkubuwono IV. Oleh Raffles, Paku Alam I ditunjuk sebagai wali raja muda ini.

  • Martin Aleida, Sang Peliput Istana

    Suatu hari yang tidak biasa terjadi di redaksi Harian Rakjat – suratkabar partisan milik PKI. Njoto, wakil ketua CC PKI (orang ketiga dalam partai) datang. Hari itu, Njotolah yang memimpin rapat redaksi. Sementara itu, wartawan muda bernama Nurlan duduk menyaksikan dari belakang. “Tiba-tiba, dia (Njoto) mengatakan yang akan menggantikan Anwar Dharma adalah Nurlan. Semua orang melihat ke belakang, kepada saya,” tutur Martin Aleida dalam dialog sejarah Historia “Kisah Wartawan Zaman Bung Karno”, 23 Juni 2020. Nurlan adalah nama kecil Martin Aleida. Ketika ditunjuk Njoto, usianya kala itu belum genap 22 tahun. Posisi baru yang akan dilakoninya cukup mentereng pada zamannya: menjadi wartawan Harian Ra’jat yang khusus bertugas di Istana Negara untuk meliput kegiatan Presiden Sukarno. “Saya tidak tahu mengapa saya dipilih,” kata Martin, “mungkin karena Sukarno suka dengan yang muda.“ Anak Njoto Awal 1965, Martin mulai bertugas meliput ke Istana. Jas dan dasi merupakan keharusan bagi wartawan Istana. Martin masih ingat jas coklatnya ditempah di penjahit Lioeng di Jalan Sabang, Jakarta Pusat. Wartawan muda kelahiran Tanjung Balai itu sempat grogi ketika menghadap Komandan Seksi 1 Tjakrabirawa Mayor Eli Ebram untuk mendapatkan kartu tanda pengenal. Dengan itulah, wartawan punya akses meliput ke Istana. Suatu pengalaman berkesan bagi Martin saat dirinya menjadi satu dari sedikit wartawan yang diundang Bung Karno dalam jamuan minum teh di Istana Merdeka. Pada pagi itu, Bung Karno hanya mengenakan kaos oblong dan sandal pantofel coklat namun tanpa peci. Sangat sederhana penampilan dari orang nomor Republik Indonesia itu.    Pada saat itu, Martin dapat menyaksikan Sukarno dari jarak dekat. Cukup dekat untuk mengamati kuku jempol Sukarno yang panjangnya setengah milimeter. Tepat di sebelah Martin, ada seorang perwira muda perempuan dari Angkatan Laut yang mengajaknya berbincang. Saat berbincang, melintaslah Bung Karno. Dengan ramah Bung Karno menyapa. Dialog sejarah Historia  "Kisah Wartawan Istana Zaman Bung Karno" antara Pemimpin Redaksi Historia Bonnie Triyana dan mantan wartawan Harian Rakjat Martin Aleida. “Hey, sudah kenal lama ya?” tanya Bung Karno sambil tersenyum. “Tidak Pak, dia nih yang terus menerus mengajak saya ngobrol,” jawab Martin. “Korannya apa?” kata Bung Karno. “ Harian Rakjat ,” jawab Martin agak gentar. Sukarno pun sumringah seraya berkata, “Wah… anaknya Pak Njoto yaa!” Orang-orang pun tertawa. Seakan-akan, Bung Karno memperkenalkan Martin dengan wartawan yang lain. Saat itu, tampak ajudan-ajudan utama Sukarno seperti Letkol (Pol) Sumirat, Letkol (Pol) Mangil Martowidjojo, dan Letkol (AL) Bambang Widjanarko. Meski bersua dengan wartawan, Bung Karno tidak sungkan membicarakan banyak hal. Mulai dari kegemarannya makan masakan Tionghoa di kawasan Glodok, hingga soal Musso, gembong PKI Madiun. Sebagaimana dituturkan Martin, Bung Karno menceritakan bahwa di lengan Musso ada cacat kena tikam pisau karena suka berkelahi. Sukarno tentu kenal baik dengan Musso sebab keduanya pernah tinggal di pondokan Haji Tjokroamnito di Surabaya. “Pembicaraan itu begitu encer dan menyenangkan,” kenang Martin. Sukarno yang Manusiawi Jauh dari kesan angkuh, di mata Martin, Bung Karno adalah pribadi yang sangat hangat kalau didekati. Memori Martin terngiang pada peristiwa peringatan dasawarsa Konferensi Asia Afrika pada April 1965. Saat itu di halaman Istana, Bung Karno sedang mengantar pemimpin Kamboja, Pangeran Norodom Sihannouk menuju mobilnya. Ketika Bung Karno naik kembali ke Istana, Martin telah menunggu di tangga atas sambil mengajukan tanya, apakah Pangeran Sihounuk akan datang kembali. Tanpa disangka-sangka, Bung Karno menanggapinya dengan antusias, “Oh iya, iya. Datang lagi ya,” katanya “Itu suatu keberanian yang hebat karena wartawan yang lain tidak ada yang melakukan itu,” ujar Martin. Bung Karno yang gagah ketika berpidato itupun bisa juga lelah. Martin menangkap momen itu ketika dalam suatu acara peresmian, Bung Karno menyampaikan pidato. Ketika selesai pidato, Bung Karno masih melihat orang-orang disekelilingnya masih berdiri. Barangkali karena sedang capek atau ada masalah, Bung Karno menghardik. “Kenapa masih berdiri semua? Seperti botol. Bubar!” seru Bung Karno. Martin juga punya pengalaman dalam suatu acara, Bung Karno tiba-tiba nyeletuk , apakah para wartawan sudah makan atau belum? Sukarno pun dengan senang hati mengajak wartawan makan bersama ala prasmanan. Barangkali menurut Martin, hanya di masa Sukarno-lah, wartawan bisa makan bersama presiden nyaris tak berjarak.  Sukarno pun merupakan sosok terbuka tanpa kehilangan sisi-sisi manusiawinya. Ada suatu kebiasaan di Istana saban kali Bung Karno menyampaikan wejangannya yakni selalu menjadikan pertunjukan kesenian sebagai acara penutup. Dan di sanalah Bung Karno kerap larut dalam tarian lenso. Sekali wakti ada kejutan. Njoto yang menjadi menteri negara berdiri dari kursi dan bergabung dengan tim musik. Alat music selo yang dimainkan Njoto mengiringi penyanyi Titiek Puspa atau Lilis Suryani melagukan tembang kesukaan Sukarno. Bung Karno, dalam amatan Martin sangat senang dengan suasana seperti itu, ketika ada seorang menterinya yang punya kepekaan terhadap musik. Menurut Martin, di kalangan wartawan Istana termasuk fotografer tertanam komitmen untuk menjaga citra diri Bung Karno. Ada semacam kesepakatan tidak tertulis agar tidak menampilkan secara fisik penampilan Sukarno. Hal itu semata-mata bukan karena tekanan dari Istana melainkan rasa hormat terhadap sang presiden. “Bung Karno itu mengasyikan dan karena itulah kita hormat. Kita tidak mau mengatakan dia memakai kaos oblong saat menerima tamunya. Apalagi kalau dia difoto dalam keadaan botak, saya rasa tidak pernah,” kata Martin. Martin tidak lama menjadi wartawan Istana. Friksi internal partai maupun redaksi Harian Rakjat menyebabkan posisinya digantikan wartawan lain pada Juli atau Agustus 1965. Martin pun beralih sebagai wartawan harian Zaman Baru terbitan Lembaga Kebudayaan Rakjat (Lekra) yang masih berafilisasi dengan PKI. Pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965, semua organisasi yang berafiliasi dengan PKI dibubarkan. Martin Aleida hidup dalam pelarian dan menjadi buruan. Pada 1966, Martin tertangkap dalam Operasi Kalong, disiksa dan dipenjara selama setahun tanpa diketahui apa kesalahannya. Setelah bebas, dia kemudian menjadi wartawan Tempo dan dikenal sebagai penulis sejumlah kumpulan cerpen maupun novel. Martin termasuk sebagai penyintas tragedi 1965 yang baru saja menerbitkan memoarnya berjudul Romantisme Tahun Kekerasan .

bottom of page