top of page

Hasil pencarian

9592 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Sri Tanjung: Kisah Eksorsisme di Ujung Timur Jawa

    DENGAN penuh harap Sri Tanjung menanti Sidapaksa pulang. Suaminya telah sepekan pergi ke surga demi menjalankan perintah Prabu Hadikrama. Namun bukannya berbalas rindu, Sri Tanjung justru ketakutan karena suaminya pulang dengan amarah. Menurut Sidapaksa, Raja Sulakrama telah memergoki Sri Tanjung bermesraan dengan laki-laki lain ketika ia bertugas. Sidapaksa tetap tak percaya ketika Sri Tanjung memberitahu bahwa justru Raja Sulakrama yang hendak memperkosanya. Sri Tanjung lalu diajak ke Hutan Setra Gandamayu. Rambutnya ditarik dari belakang. Di tangan kanan suaminya, tergenggam sebilah keris. “Apabila darah saya berbau harum, maka benarlah kalau saya istri yang betul-betul setia kepada suami,” ucap Sri Tanjung sebelum keris sang suami membunuhnya. Darah Sri Tanjung ternyata wangi. Sidapaksa langsung menyadari kesalahannya dan menyesal. Ia menjadi gila, memohon kepada dewa agar istrinya dihidupkan kembali. Jiwa Sri Tanjung ketika itu sudah mencapai alam kematian. Ia telah menyeberangi sungai dibantu seekor buaya putih. Tapi ia bertemu Dewi Durga, yang menghidupkannya kembali usai mendengar kisahnya. Ia dipulangkan ke rumah kakeknya, pertapa Tambapetra. Di sanalah akhirnya ia ditemukan kembali oleh Sidapaksa. Sri Tanjung diminta kembali hidup bersama sang suami. Sri Tanjung yang tadinya malas akhirnya bersedia. Syaratnya Sidapaksa membawakan kepala Raja Sulakrama. Ia akan menjadikannya alas kaki. Syarat itu dipenuhi. Kesumat Sri Tanjung terbalaskan. Sri Tanjung dan Sidapaksa kembali hidup bersama. Begitulah kisah Sri Tanjung yang digubah dalam bentuk kidung dan hadir dalam banyak manuskrip. Salah satu versinya pernah dipentaskan secara teatrikal dalam Banyuwangi Ethno Carnival yang masuk rangkaian Banyuwangi Festival 2016. Masyarakat Banyuwangi percaya kalau Sri Tanjung dan kisahnya benar-benar pernah terjadi. Baca juga:  Menak Jingga yang Ganteng Menurut Anis Aminoedin dkk dalam Penelitian Bahasa dan Sastra dalam Naskah Cerita Sri Tanjung di Banyuwangi, sebagaian masyarakat meyakini beberapa tempat di Banyuwangi berkaitan dengan kisah itu. Misalnya daerah Penataban. Wilayah ini dulunya lokasi Sidapaksa natab-natab atau membentur-benturkan kepalanya akibat gila karena membunuh istrinya. Lalu Desa Kramasan dianggap sebagai tempat keramas Sri Tanjung sebelum ia dibunuh. Adapun Desa Tanjung, yang letaknya beberapa kilometer ke arah selatan Kota Banyuwangi, merupakan tempat asal Sri Tanjung. Hingga saat ini pun terdapat sumur yang dikenal luas sebagai Sumur Sri Tanjung di belakang Pendopo Shaba Swagata Blambangan, rumah dinas Bupati Banyuwangi. Menurut masyarakat ini adalah lokasi jasad Sri Tanjung diceburkan setelah dibunuh. Konon, sumber mata air itu mengeluarkan wangi sebagai bukti kesetiaan Sri Tanjung. Itulah yang kemudian dipercayai masyarakat sebagai asal-usul nama Banyuwangi, yaitu " banyu " yang berarti air dan " wangi " yang berarti harum. “Masih ada tempat-tempat lain yang dihubung-hubungkan dengan cerita Sri Tanjung. Karena sangat percayanya, cerita ini dianggap tabu untuk dipentaskan di berbagai media seni, seperti ludruk, ketoprak, atau drama,” catat Anis Aminoedin. Tak cuma di Banyuwangi, cerita Sri Tanjung yang punya banyak versi itu dikenal di beberapa daerah. Kisah ini bahkan sudah lebih dulu populer sejak berabad lalu oleh orang-orang Majapahit. Dari Majapahit ke Banyuwangi Filolog R.M. Ng. Poerbatjaraka dalam Kapustakan Djawi menyebutkan kalau kisah Sri Tanjung juga dikenal di Bali. Sementara Prijono dalam disertasinya Sri Tanjung, Een Oud-Javaansch Verhall mendata ada 22 versi naskah yang berasal dari Bali dan Banyuwangi. Satyawati Suleiman dalam Batur Pendopo Panataran mencatat arkeolog Belanda P.V. van Stein Callenfels pernah menyebut kalau kisah Sri Tanjung bersama Sudamala termasuk dalam kesusastraan Aliran Banyuwangi . Ini merupakan aliran yang menurutnya pernah berkembang pada abad ke-17 dan ke-18, yakni ketika Kerajaan Blambangan belum mengenal Islam. Kisah Sri Tanjung itu berkembang berdasarkan sebuah cerita yang sudah lebih dulu ada pada masa Kerajaan Majapahit. Kerajaan ini, berdasarkan sumber Serat Pararaton , pada masa pemerintahan Kalagemet atau Jayanagara (1309-1328) memperluas kekuasaannya ke bagian timur Jawa, menembus area dari Lumajang hingga ke timur, termasuk Blambangan. Baca juga:  Perlawanan Jagapati sebagai Hari Jadi Banyuwangi Pada masa keruntuhan Majapahit abad ke-15, Blambangan berdiri sebagai satu-satunya kerajaan Hindu di Jawa. Ia mengontrol wilayah Ujung Timur Jawa. Wilayah ini kini terbagi dalam lima kabupaten, yakni Banyuwangi, Jember, Lumajang, Bondowoso, dan Situbondo. Pada masa Majapahit, kisah Sri Tanjung ditemukan dalam beberapa relief candi. Antara lain Candi Jabung di Probolinggo yang berangka tahun 1354. Ditemukan pula pada Batur Pendapa Panataran di Blitar yang terdapat angka tahun 1375. Lalu pada dinding Candi Surawana di Kediri yang tak berangka tahun namun diperkirakan dibangun pada 1400 atau 12 tahun setelah kematian Bhre Wengker, paman Raja Hayam Wuruk yang didharmakan di candi ini. Kisah Sri Tanjung dalam relief dikenali dari penggambaran seorang gadis yang duduk di atas seekor ikan besar. Gambar ini mengingatkan pada satu bagian dari cerita versi teks yang menceritakan Sri Tanjung dibawa buaya putih menyeberangi sungai ke alam kematian. “Pada relief-relief di Jawa Timur tak terdapat seekor buaya yang ditumpangi perempuan. Mungkin para pemahat pada waktu itu lebih suka menggambarkan seekor ikan daripada seekor buaya,” kata Satyawati. Baca juga:  Keindahan yang Terjaga dari Hutan Tua Sementara Lydia Kieven dalam Menelusuri Figur Bertopi dalam Relief Candi Zaman Majapahit berasumsi ikan merupakan bagian dari kisah Sri Tanjung versi lisan yang lebih tua, atau mungkin versi tulis yang sudah hilang. Tak menjadi soal kalau cerita pada relief seakan menyimpang dari naskah. Kidung Sri Tanjung ini adalah salah satu cerita yang digubah pada periode Jawa Timur tanpa bergantung pada sumber India. Dari tradisi lisan, cerita ini mewujud dalam penggambaran pada relief. “Harus dipertimbangkan bahwa Indonesia, khususnya Jawa, memiliki tradisi lisan yang kuat. Sampai hari ini, media penyebarluasan lisan masih lebih disukai khalayak luas daripada media tulisan,” katanya. Tradisi lisan inilah yang kemudian membawa kisah Sri Tanjung ke berbagai daerah dengan versi masing-masing. Kata Kieven, fakta adanya beberapa manuskrip yang isinya agak berbeda untuk sejumlah teks Jawa Kuno membuktikan kreativitas dalam mengarang versi baru yang menghasilkan bentuk amat beragam. “Kita dapat menyimpulkan bahwa bahkan ada lebih banyak lagi variasi yang tidak kita ketahui,” ujarnya. Simbol Penyucian Dari semua episode, bagian kisah Sri Tanjung menunggang ikan untuk menyeberang dari alam kehidupan ke kematian selalu dipilih oleh para pemahat relief. Menurut Kieven, ini memperlihatkan kisah Sri Tanjung mungkin berfungsi sebagai pengantar peziarah candi dalam transisi mereka dari ranah duniawi ke ranah suci. Terlebih lagi kisah cinta seperti dalam cerita Sri Tanjung ini, dinilai Kieven, akan memikat para peziarah sebelum mereka menyelami cerita lainnya yang mempunyai makna spiritual lebih kuat. Misalnya pada dinding Candi Surawana. Selain terpahatkan kisah Sri Tanjung, terdapat relief bermuatan kisah Arjunawiwaha . Menurut Kieven, relief Sri Tanjung bisa dianggap sebagai pengantar sebelum pengunjung mendekati relief Arjunawiwaha yang bermuatan lebih filosofis dan sakral.  Baca juga:  Merawat Kisah Nabi Yusuf Cerita Sri Tanjung bukan cuma menyoal tema percintaan, tetapi ada makna eksorsisme di dalamnya. Kata Kieven, kisah Sri Tanjung sengaja digambarkan dalam relief candi untuk menekankan soal pembebasan spiritual. “Pembebasan jiwa adalah topik utama dalam berbagai pemujaan. Jelas pula merupakan fungsi penting situs-situs keagamaan,” katanya. Hal ini terbukti dari betapa populer kisah itu. Tak heran, selain Sudamala, kisah Sri Tanjung hingga kini sering pula dibawakan dalam tradisi ruwatan di Jawa. Kisah ini dipercaya menjadi simbol melepas segala bentuk perbuatan jelek, malapetaka, hal kotor yang bersifat duniawi menuju kondisi yang kembali suci.*

  • Kerusuhan Siswa Tionghoa Singapura, Cara Komunis-Nasionalis Lawan Kolonalis Inggris

    HARI ini, 13 Mei, 66 tahun silam. Para siswa di sekolah-sekolah menengah Tionghoa di Singapura berkumpul di Sekolah Chung Cheng, sekolah Tionghoa terbesar di Singapura. “Mereka bermaksud mengajukan petisi kepada Gubernur Singapura Franklin Gimson,” tulis Cheong Suk-wai dalam Sound of Memories, the Recordings from the Oral History Centre, Singapore . Inti petisi mereka yakni menentang ordonansi National Service, aturan wajib militer paruh-waktu kepada pemuda berusia 18-20 tahun. Ordonansi tersebut merupakan salah satu langkah pemulihan yang diambil pemerintah kolonial Inggris untuk mengembalikan kekuasaannya di koloni selepas Perang Dunia II. Dinas wajib itu dilakukan untuk menyiasati masalah pertahanan yang saat itu praktis dipegang oleh militer yang mayoritas kulit putih dan jumlahnya tak seberapa. Padahal, rencana jangka panjang pemerintah kolonial diprioritaskan pada peningkatan kehidupan sosial-ekonomi. Peran-serta masyarakat lokal amat diperlukan. Untuk mencapainya, pemerintah berpijak pada pembangunan pendidikan modern (Barat) berbahasa pengantar Inggris. Perhatian lebih pada pendidikan Barat itu mematikan pendidikan berbahasa daerah (Tionghoa maupun Melayu) dan kemudian memunculkan sentimen negatif di kalangan siswa dan juga guru sekolah-sekolah Tionghoa terhadap pemerintah kolonial. Di sisi lain, banyak dari siswa sekolah Tionghoa sudah memiliki kesadaran akan kemerdekaan. Di antara mereka sudah ada yang menjalin kerjasama dengan gerakan anti-kolonialisme yang diusung Klub Sosialis Univeritas Malaya. Fakta-fakta di luar seperti kemenangan Vietnam atas kolonialis Prancis di Dien Bien Phu atau yang lebih dulu, kemerdekaan Indonesia, makin memacu mereka untuk bergerak menentang kolonialis Inggris demi memerdekakan Singapura. Sentimen para siswa Tionghoa terhadap kolonialis itu bertemu dengan keinginan kaum komunis yang berupaya mengenyahkan kolonialisme. Mereka menganggap para pelajar sebagai potensi “bahan bakar” bagi perjuangan melawan kolonialisme. Selepas dikeluarkannya keadaan darurat di Malaya (Juni 1948) oleh pemerintah kolonial akibat pembunuhan terhadap tiga orang kulit putih yang dilakukan aktivis komunis di bawah Chin Peng di perkebunan, perjuangan kaum komunis terpaksa tiarap. “Pada 1948, pemerintah Singapura juga mengeluarkan Peraturan Darurat, melarang Partai Komunis Malaya (MCP), dan jajaran kepemimpinannya. Dari tahun 1950-1953, kepemimpinan komite dan cabang-cabang distrik di Singapura runtuh, dan organisasi berada dalam keadaan tanpa kemudi. Hanya ada tiga anggota partai tersisa. Mereka adalah Fang Chuang Pi yang bertugas menyebarkan ideologi melalui koran Freedom , Chiam Choon Chian yang bertanggung jawab atas gerakan buruh, dan Ng Meng Chiang yang bertanggung jawab atas gerakan mahasiswa,” tulis buku yang dieditori Kwa Chong Guan dan Kua Bak Lim, A General History of the Chinese in Singapore . Peran Ng Meng Chiang, yang dijuluki Kamerad D, amat vital dalam mengorganisir pelajar. “Pada periode ketika jaringan bawah tanah dihancurkan dan semangat kerja rendah, pemimpin mahasiswa Partai Komunis Malaysia, Ng Meng Chiang, dan editor koran Freedom , Fang Chuang Pi, meluncurkan gerakan massa yang terbuka dan legal untuk mengumpulkan pelajar, pekerja dan petani dari Februari 1954 hingga April 1955, juga dikenal sebagai ‘The Open United Front’,” sambung Guan dan Lim. Di tangan Kamerad D-lah protes-protes terhadap kebijakan kolonialis, terutama yang terkait dengan dunia pendidikan, diorganisir. “Ini termasuk boikot ujian sekolah tahun 1951 karena dianggap ‘konspirasi untuk melemahkan pendidikan Cina’ dengan Lim Chin Siong sebagai salah satu pemimpinnya. Ini diikuti oleh demonstrasi kekerasan Mei 1954 melawan National Service di bawah kepemimpinan Ng Meng Chiang alias Comrade D dan dibantu Lim Hock Koon dan Lim Chin Siong,” tulis Bilveer Singh dalam Quest for Political Power: Communist Subversion and Militancy in Singapore . Maka begitu pemerintah kolonial mengesahkan ordonansi National Service pada Desember 1953, Kamerad D dan para pendukungnya amat senang. Mereka mendapat momentum pas untuk meluncurkan gerakan lagi. “Masalah National Service adalah anugerah bagi MCP (Malayan Communist Party),” tulis Guan dan Lim. Ordonansi itu sendiri mewajibkan semua siswa sekolah dan warga koloni berusia 18-20 tahun untuk ikut pelatihan militer paruh waktu. Mereka yang tak mematuhinya akan dihukum denda atau penjara. Pendaftaran paling akhir dijadwalkan pada 12 Mei 1954. Namun menjelang tenggat berakhir, belum ada satupun dari siswa sekolah-sekolah Tionghoa yang mendaftar meski tim dari pemerintah sudah dua kali dikirim ke sekolah Chung Cheng untuk membagikan formulir pendaftaran. “Para siswa di sekolah-sekolah menengah Cina menolak seruan tersebut yang dianggapnya sebagai cara lain Inggris untuk melemahkan kekuatan peluang pendidikan dan karier mereka,” tulis Cheong Suk-wai dalam Sound of Memories, the Recordings from the Oral History Centre, Singapore . Tak adanya pendaftar dari pelajar Tionghoa mendorong Kepala Sekretaris William Goode melakukan pertemuan dengan perwakilan Serikat Siswa Sekolah Menengah Tionghoa pada 13 Mei. Karena jadwal pertemuan sudah diketahui luas, sekira seribu pelajar Tionghoa yang sedang mengikuti kompetisi olahraga di Stadion Jalan Besar bergeser ke tempat pertemuan Goode, berjarak sekitar 30 menit berjalan kaki, sebagai bentuk dukungan kepada perwakilan pelajar Tionghoa. Di tengah penantian mereka terhadap hasil perundingan itulah hal tak terduga terjadi. Entah siapa yang memulai. “Semuanya berubah menjadi kekacaun saat mereka bentrok  dengan polisi anti-huru-hara,” sambung Cheong Suk-wai. Meski tak ada korban jiwa, lebih dari 20 orang dari kedua belah pihak mengalami luka-luka. Pemerintah kolonial menahan lebih dari 50 orang yang dianggap terlibat dalam kerusuhan. Lee Kuan Yew, pengacara yang kemudian menjadi “Bapak pendiri Singapura”, membela para pimpinan pelajar di pengadilan. “Saat ia membantu pembelaan hukum para siswa yang ditangkap, Lee Kuan Yew memiliki kesempatan untuk masuk ke kalangan pendidikan Tiongkok. Dia melihat dan mengalami langsung semangat juang, cita-cita politik, dan tekad untuk menggulingkan kolonialisme di kalangan mahasiswa Tiongkok. Untuk membangun Malaya yang demokratis, anti-Komunis, sosialis, Lee Kuan Yew memutuskan untuk membasmi para elit kelompok untuk membantunya mendapatkan dukungan dari para siswa yang berpendidikan Cina. Dia percaya bahwa dia dapat memenangkan para aktivis Tiongkok berpendidikan untuk mendukung tujuannya untuk pemerintahan sendiri dan kemerdekaan. Insiden 13 Mei memberi Lee Kuan Yew pengantar ke kalangan berpendidikan Cina,” tulis Guan dan Lim.*

  • Penghormatan dari Para Pemetik Laut

    PULUHAN perahu nelayan beraneka motif dan warna mengarungi Laut Muncar. Di sebuah lokasi berair tenang di Plawangan, iring-iringan perahu berhenti. Dengan dipimpin sesepuh nelayan, githik (perahu kecil) berisikan berbagai sesaji dan hasil bumi dilarung ke tengah laut. Para nelayan sontak menceburkan diri ke laut, berebut mendapatkan sesaji. Ada juga yang menyiramkan air yang dilewati sesaji ke seluruh badan perahu. Mereka percaya air ini menjadi pembersih malapetaka sekaligus limpahan berkah ketika melaut nanti. Dari Plawangan, iring-iringan perahu bergerak menuju Tanjung Sembulungan yang terletak di kawasan Taman Nasional Alas Purwo. Di tempat ini nelayan kembali melarung sesaji untuk penunggu Tanjung Sembulungan. Setelah itu ritual dilanjutkan ziarah ke makam Sayid Yusuf, orang pertama yang diyakini membuka lokasi Tanjung Sembulungan. Ritual diakhiri dengan selamatan dan doa bersama. Kemudian dilanjutkan menikmati tari gandrung dengan gending-gending klasik suku Osing hingga sore hari.  Upacara Petik Laut rutin digelar setiap tahun oleh para nelayan di kawasan Muncar, sekitar 30 km meter dari kota Banyuwangi, Jawa Timur. Biasanya setiap 15 Muharram/Suro penanggalan Jawa. Upacara Petik Laut bertujuan sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil tangkapan ikan yang melimpah sekaligus permohonan agar selalu mendapatkan keselamatan (tolak bala). Kosmologi Pesisir Muncar adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. Dengan wilayah berada di pesisir pantai, tak heran mayoritas penduduknya bekerja sebagai nelayan. Di Muncar terdapat pelabuhan penghasil ikan terbesar di Jawa dan terbesar kedua di Indonesia setelah Bagansiapiapi, Riau. Pelabuhan ini sudah ada sejak masa Kerajaan Blambangan. Muncar didiami nelayan dari beragam etnis. Orang Madura, Bugis, dan Mandar datang dan menyatu dengan penduduk Jawa dan Osing. Mereka juga memperkenalkan agama Islam dan mengadaptasi budaya-budaya lokal. Dari sinilah lahir tradisi Petik Laut. Tradisi lisan meyakini ritual Petik Laut berkembang setelah kehadiran orang Madura di Banyuwangi. Konon, ritual ini sudah diadakan nelayan Muncar sejak 1901 dengan dipimpin seorang dukun. Ritual ini dikaitkan dengan kepercayaan bahwa laut dan segala isinya ada yang menjaga. Nelayan dapat selamat dan memperoleh ikan karena izin dari penjaga laut, yakni Nyi Roro Kidul.  Baca juga:  Ikan-ikan dari Muncar Selain Nyi Roro Kidul, ada tokoh supranatural lainnya yang justru dianggap paling penting dalam ritual ini. Ia adalah Ratu Rejo Mino, yang dalam kepercayaan Wong Osing dianggap sebagai “Ratu Ikan”. “Ratu Rejo Mino ( the lesser spirit ) sebagai ratu penguasa ikan-ikan di laut memiliki kekuasaan untuk melimpahkan ikan atau tidak,” tulis Nur Ainiyah dalam “Islam, Osing dalam Bingkai Tradisi dan Kosmologi: Studi Nelayan Kedungrejo-Banyuwangi”, dimuat jurnal Lisan Al-Hal , Desember 2016.  Dalam artikel lain berjudul “Petik Laut”, dimuat jurnal Religia Vol. 20, No.2, 2017, Nur Ainiyah mengaitkan ritual Petik Laut dengan sebuah legenda. Dalam kitab Marsodo Mancing , ada kisah dua bersaudara yang memancing dengan kail emas dan berhasil menangkap Ratu Rejo Mino. Dalam dialog , Sang Ratu mengatakan bahwa dia akan memberikan banyak ikan jika setiap Muharrom masyarakat melakukan ritual laut. Versi lain menyebut ritual Petik Laut dimulai dengan kedatangan seorang nelayan dari Timor yang bernama Sayid Yusuf ke Muncar, bersamaan waktunya dengan penyebaran agama Islam di Blambangan. Baca juga:  Di Balik Ritual Keboan Sayid Yusuf dikenal sebagai orang yang “pandai” dan suka membantu masyarakat sekitar. Suatu ketika ikan-ikan di laut Muncar seolah menghilang. Ditambah lagi, banyak nelayan menemui ajal oleh ganasnya ombak. Untuk mengusir petaka itu, Sayid mengajak masyarakat untuk melakukan upacara, memohon kepada Yang Kuasa, dengan menyertakan kesenian gandrung yang disukainya. Setelah upacara itu malapetaka pun sirna. Sejak itulah upacara Petik Laut diadakan setiap tahun. Sayid Yusuf dimakamkan di Tanjung Sembulungan dan masih dikeramatkan sebagian masyarakat nelayan Muncar. Tempat ini pula yang hingga kini menjadi lokasi terakhir dari rangkaian kegiatan upacara Petik Laut. Di Tanjung Sembulungan pula terdapat dua makam penari gandrung yang diziarahi nelayan dalam ritual Petik Laut. Cerita tutur menyebut Sayid Yusuf menyukai kesenian gandrung. Dia juga mencintai seorang penari gandrung. Bahkan ada yang menyebut orang Osing menikahkan Sayid Yusuf dengan penari gandrung yang cantik. Hingga suatu ketika penari tersebut meninggal dan dimakamkan di dekat pantai Tanjung Sembulungan. Festival Petik Laut Muncar di Pelabuhan Muncar, Banyuwangi, Minggu, 16 Oktober 2016. (Dok. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi). Cerita tutur lainnya menyebutkan, saat ritual Petik Laut pertama kali digelar di Tanjung Sembulungan, seorang penari gandrung meninggal dan dimakamkan di pinggir pantai. “Sejak itu, Petik Laut wajib menghadirkan penari gandrung,” tulis Farah N. Azizah dan Turyati dalam “Gandrung dalam Upacara Ritual Petik Laut di Pantai Muncar Kabupaten Banyuwangi”, dimuat jurnal seni Makalangan , Juni 2014. Setelah ritual dipraktikkan turun-temurun, arus perubahan terjadi seiring menguatnya pengaruh kiai dan kalangan pesantren di daerah Muncar. “Ritual Petik Laut yang semula hanya merupakan ritual kecil para nelayan dan masih terpengaruh kuat dengan animisme dan dinamisme, kemudian berkembang menjadi ritual besar yang banyak dihiasi unsur-unsur Islam,” tulis Eko Setiawan dalam “Eksistensi Budaya Bahari Tradisi Petik Laut di Muncar Banyuwangi”, dimuat jurnal Universum , Juli 2016. Baca juga:  Selera Naga Sejuta Rasa Nur Ainiyah menyebut objek penting lain dari persembahan dalam ritual Petik Laut, yakni Nabi Hidir. Nabi Hidir secara historis dijelaskan dalam Alquran, bahwa ia hidup abadi sampai akhir zaman dan hidupnya di laut atau di pantai. Masyarakat nelayan Islam Desa Kedungrejo, Kecamatan Muncar, meyakini bahwa laut dan isinya dijaga Nabi Hidir. Mereka berharap bisa bertemu agar bisa mengubah nasib. “Hal ini cukup beralasan karena Nabi Hidir adalah sosok suci yang setiap permintaannya dikabulkan oleh Allah,” tulis Nur Ainiyah. Maka, jadilah ritual Petik Laut sebagai bentuk akomodasi dari tradisi lokal dan Islam di kalangan nelayan yang menjadi satu bingkai kosmologi pesisir. Wahana Pariwisata Upacara Petik Laut memiliki rangkaian kegiatan yang penting. Ritual dimulai dari pembuatan sesaji oleh sesepuh nelayan. Sesaji terdiri dari berbagai macam; dari pancing emas hingga pisang raja, dari segala jenis buah hingga aneka jajan pasar. Salah satu sesaji yang sangat penting adalah kepala kambing kendit, yaitu kambing hitam dengan bulu putih melingkar dari perut sampai punggung. Pemakaian kambing kendit dan sejumlah sesaji itu meniru cara Sayid Yusuf. Masing-masing punya makna. Misalnya, w arna kambing hitam dan putih melambangkan sifat baik dan buruk manusia. Pancing emas disimbolkan sebagai pengingat para nelayan bahwa bekerja di lautan itu senilai emas, perlu pengorbanan, demi menghidupi keluarga. Pada malam hari sebelum pelaksanaan Petik Laut, masyarakat menggelar pengajian atau semaan di sejumlah surau dan rumah warga. Baca juga:  Sajian dari Beragam Pasar Kuliner Menjelang siang, sesaji diarak keliling kampung ( ider bumi ) menuju tempat pelelangan ikan (TPI). Setiba di TPI, sesaji disambut enam penari gandrung. Setelah dibacakan doa oleh sesepuh nelayan, sesaji diarak menuju perahu. Dimulailah prosesi upacara melarung sesaji di lautan. Ritual Petik Laut masih bertahan hingga kini. Selain tujuannya sebagai ungkapan syukur sekaligus tolak bala, ritual Petik Laut merupakan bentuk penghormatan nelayan lokal terhadap laut. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi memberikan dukungan agar kearifan lokal tersebut tetap terjaga. Selain itu, kegiatan Petik Laut bisa menjadi wahana pariwisata. Salah satunya dengan mengemas tradisi tersebut menjadi bagian dalam agenda wisata tahunan Banyuwangi Festival. Untuk tahun 2020, Petik Laut Muncar dijadwalkan digelar 3 September 2020.

  • Pertemuan Terakhir Sukarno dan Abdurachim

    ABDURACHIM seorang guru spiritual berasal dari Banten. Ia memiliki tempat penyembuhan bernama Darul Annam di Petojo Selatan, Jakarta. Pada 1937, ia berkenalan dengan dr. Soeharto saat mengobati pasien. Mereka kemudian menjadi akrab. Pada 1942, Soeharto menjadi dokter pribadi Sukarno dan Mohammad Hatta. Ia memperkenalkan Abdurachim kepada Sukarno. Abdurachim pun menjadi salah satu guru spiritual Sukarno sampai akhir hayatnya. Setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, Sukarno jatuh dari kekuasaannya. Pertanggungjawabannya ditolak MPRS. Rezim Orde Baru menjadikan Sukarno yang sakit sebagai tahanan kota kemudian tahanan rumah. Howard Palfrey Jones, duta besar Amerika Serikat untuk Indonesia, dalam memoarnya,  Indonesia: The Possible Dream, mengaku mengenal beberapa tokoh agama yang memiliki spiritual yang dalam dan berdedikasi, seperti Abdurachim, yang dikenal selama bertahun-tahun sebagai penasihat spiritual Sukarno, dan dihargai karena menyembuhkan ratusan orang. Pada 10 Februari 1967, Sukarno meminta Soeharto menemui Abdurachim. Sudah beberapa bulan Abdurachim sakit, sukar berjalan. Sebelumnya, Soeharto sempat menengoknya dan diizinkan masuk ke kamar tidurnya. "Jangan cemas dan bersusah hati, Dik," kata Abdurachim. "Apa yang saya alami ini adalah ujian. Dan saya menerimanya dengan penuh kesabaran." Ketika Soeharto datang membawa pesan Sukarno, Abdurachim sedang berbaring di tempat tidur. Ia duduk sendiri tanpa dibantu. Namun, kalau berjalan harus dibantu. "Saya diminta oleh Bung Karno supaya menemui Kakak," kata Soeharto dalam memoarnya, Saksi Sejarah . "Sebaiknya saya langsung bertemu dengan Bung Karno di tempatnya. Atur saja," kata Abdurachim. "Bisa, Kak?" tanya Soeharto. "Insyaallah," jawab Abdurachim. "Ingatlah, Dik, saya juga lahir pada tanggal 6 Juni 1901, sama dengan Bung Karno. Meskipun jarang bertemu, tapi saya merasa kami berdua seolah-olah saudara kembar. Saya senang jika ia senang, saya sedih jika ia sedih." Abdurachim melanjutkan, "Saya masih ingat akan peristiwa pada akhir Agustus 1945 dulu, ketika tengah malam mengantarkan Dik Harto atas nama Bung Karno menghadap Ndoro Sosrokartono di Bandung. Dengan Ndoro Sosro saya pun mempunyai hubungan batin yang akrab." Soeharto mengatur pertemuan Abdurachim dan Sukarno masih di bulan Februari 1967, sekira pukul 10:00 pagi di guest house  istana. Soeharto menjemput Abdurachim dari rumahnya. Ia memapahnya karena susah berjalan. Mereka berbicara di salah satu kamar guest house  istana. Ketika pembicaraan meningkat serius, Soeharto pergi keluar kamar meninggalkan mereka. Ia masuk lagi ke kamar sekitar pukul 11.30 karena Abdurachim ingin pulang sebelum zuhur. Begitu membuka pintu kamar, ia menyaksikan adegan mengharukan: Sukarno berhadapan dengan Abdurachim , kedua tangannya memegang pundak Abdurachim, sambil mencucurkan air mata. Ketika berpisah, Soeharto mendengar Sukarno berkata, "Baiklah Kak, saya akan bertobat." Dalam perjalanan pulang, Abdurachim berdiam diri. Ia tak mengungkapkan isi pembicaraannya dengan Sukarno. Soeharto pun tak menanyakannya. Namun, Soeharto berkesimpulan Abdurachim dapat meyakinkan Sukarno untuk bertobat, mendekatkan diri kepada Allah Swt. Pertemuan Abdurachim dan Sukarno ternyata yang terakhir. Abdurachim meninggal dunia pada 28 Maret 1967, lebih dulu dari Sukarno. Ia dimakamkan di desa kelahirannya di Banten. Sementara itu, Jones menyebut ketika Sukarno berbelok ke kiri, ia tidak lagi berkonsultasi dengan Abdurachim. Saat terakhir dalam keadaan sakit, Abdurachim meminta bertemu Sukarno. "Ia memberi tahu presiden bahwa ia mengambil jalan yang salah. Ia mendesaknya agar berpaling dari komunisme dan bekerja sama dengan Jenderal Soeharto dan Nasution. Sukarno menolak dan tetap pada jalan yang menjatuhkannya," kata Jones. Setelah berhenti sebagai menteri dan dokter presiden, Soeharto mendapat izin mengunjungi dan memeriksa Sukarno di Wisma Yaso, Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Kesehatannya sudah sangat menurun. Ketika Soeharto minta diri, Sukarno berkata, "Sampaikan salamku kepada teman-teman, terutama Kakak Abdurachim." Soeharto tidak memberitahu Sukarno kalau Abdurachim sudah meninggal dunia. Soeharto pulang dengan sedih. Namun, ia yakin Sukarno mantap untuk bertobat. "Saya yakin pula bahwa ia kemudian meninggal dalam Islam," kata Soeharto.*

  • Narasi di Balik Jersey Legendaris Magic Johnson

    PUBLIK basket Amerika Serikat dihebohkan oleh lelang sepasang sepatu langka Nike Air Jordan edisi pertama. Sepatu yang dimaksud adalah sepasang sepatu yang pernah dipakai legenda NBA Michael Jordan pada musim 1985. Sepatu milik Jordan Geller, pendiri museum sepatu Shoezeum di Las Vegas, itu dilempar ke Balai Lelang Sotheby hingga 17 Mei 2020 dalam rangka pemutaran episode pamungkas serial dokumenter Michael Jordan bertajuk The Last Dance . Nun jauh di seberang, publik basket di tanah air dihebohkan dengan bakal dilelangnya sebuah jersey asli milik Earvin ‘Magic’ Johnson. Pelelangan jersey Magic Johnson milik Ary Sudarsono itu dalam rangka kepedulian penanggulangan pandemi SARS-Cov-2 (virus corona ). Dalam live Instagram yang diprakarsai komunitas Manusia Basket Indonesia pada Minggu (10/5/2020), Ary memaparkan bahwa jersey LA Lakers berwarna ungu bernomor punggung 32 itu pemberian Magic Johnson. Ia dilelang via daring di akun Instagram (@sudarsonoary) dan Facebook -nya dalam kurun 12-23 Mei 2020 setiap pukul 08.00-23.00 WIB. Ia membuka harga Rp5 juta dan setiap peserta lelang bisa mengajukan tawarannya lewat kolom komentar di dua akun medsosnya itu. Baca juga: Salam Olahraga! Apa Kabar Ary Sudarsono? Jersey Magic Johnson milik Ary Sudarsono yang dilelang (Foto: Instagram @sudarsonoary) Uang hasil bidding itu nantinya bisa disumbangkan si pemenang lelang ke instansi atau pihak manapun yang dikehendakinya dalam bentuk bantuan langsung, baik berupa alat pelindung diri (APD) atau sembako. Ary hanya meminta bukti foto penyaluran sumbangannya maupun bukti transfer senilai tawaran tertinggi. "Apa yang saya lakukan atas nama komunitas Manusia Basket Indonesia ingin menyampaikan, bahwa basket itu bukan hanya olahraga, pertandingan atau sekedar bermain saja. Tapi basket itu gambaran tentang sportivitas, kesetiakawanan dalam kehidupan, bagaimana manusia memainkan perannya masing-masing baik secara individu ataupun kelompok, menjadi kepedulian untuk hasil terbaik bagi kelompoknya,” ujar Ary dalam live Instagram -nya. Kenangan Berharga Antara Ary punya cerita panjang tentang Magic Johnson. Pertemuannya pertamakali terjadi di Amerika pada 1991. Pertemuan  bermula dari ketika sang mantan pebasket, wasit basket internasional, dan presenter olahraga beken itu berupaya mendatangkan tayangan NBA ke Indonesia. Ketika itu, Ary tengah gelisah karena targetnya membawa tayangan premium NBA tak menemui hasil lantaran negosiasinya dengan Komisioner NBA David Stern stag. Namun, pada akhirnya Ary sukses membawa tayangan NBA yang kemudian disiarkan RCTI itu di tahun yang sama. Keberhasilan itu berkat pertemuan tak sengaja dengan Magic Johnson dan bantuan morilnya. Ketika Ary tengah makan siang usai negosiasi alot dengan pihak NBA di New York, ia bertemu Johnson yang hendak nge - gym . Baca juga: Jungkir Balik Mengimpor NBA ke Indonesia Kolase Ary Sudarsono bersama Earvin 'Magic Johnson Jr. (kiri) & Julius Winfield 'Dr. J' Erving II (Foto: Instagram @sudarsonoary) Johnson bersimpati atas upaya Ary mendongkrak pamor basket di sebuah negeri Asia Tenggara yang mungkin belum pernah didengar Johnson. Tetapi karena keterbatasan waktu, Johnson meminta Ary mengontaknya di lain hari. Janji itu ditepati Johnson. Beberapa hari berselang, Ary diajak menonton laga Boston Celtics vs LA Lakers dan dikenalkan pula dengan legenda NBA Julius ‘Dr. J’. Erving. Jejaring Ary di NBA meluas. Komunikasi dan negosiasi lanjutan dengan pihak NBA pun jadi lebih moncer. Dua tahun berselang, Ary bertemu lagi dengan Johnson. Pada pertemuan kedua di tahun 1993 itulah Ary dihadiahi jersey LA Lakers bertandatangan Johnson yang belum terpakai. “ Jersey itu dari tahun 1993 saat saya bertemu untuk bicara soal tayangan NBA di Indonesia dan perkembangan minat basket di Indonesia. Sekaligus penjajakan untuk undang dia ke Indonesia,” tutur Ary ketika dihubungi lebih lanjut oleh Historia . “ Jersey -nya memang dipersiapkan oleh Magic Johnson untuk saya. Itu satu set. Ada bola, topi, syal, dan jersey. Bolanya sudah rusak karena kelamaan didiamkan di lemari. Tanda tangannya juga sudah tipis karena kelamaan tersimpan pula,” sambungnya. Baca juga: Ary Sudarsono " Mr. Golden Whistle " Jersey orisinil LA Lakers pemberian Magic Johnson yang diharapkan bisa terlelang dengan harga tinggi (Foto: Instagram @sudarsonoary) Selang empat tahun, Ary pun sukses mendatangkan sang legenda beserta beberapa pebasket NBA lain ke Jakarta dalam tim Magic Johnson All Stars. Di tim itu, Johnson bermain menghadapi tim Satria Muda dan Indonesia Texmaco pada Januari 1997. “Bangga dan bahagia bisa main lawan Magic Johnson. Istimewanya, cuma 20 orang Indonesia yang bisa langsung lawan Magic dan kebetulan saya salah satunya, sekaligus ditugaskan untuk menjaga dia,” kata Wahyu Widayat, mantan pebasket Satria Muda, mengenang laga melawan Magic Johnson 23 tahun silam itu. “Saya sebagai insan basket wajib mendukung apapun itu yang dilakukan orang-orang atau berbagai komunitas, termasuk Manusia Basket Indonesia yang bertujuan mulia untuk berbagi kebaikan. Apalagi jersey yang dilelang itu kelasnya legenda NBA. Semoga terjual dengan nilai yang pantas,” tambah asisten pelatih timnas basket putra tersebut. Bagaimana keberhasilan Ary mendatangkan Magic Johnson itu, Ary punya kisahnya tersendiri. Menurutnya, “Negosiasi mendatangkannya? Kita ngobrol biasa saja. Cuma ada kesamaan pola pikir. Bagaimana menjadikan basket tidak hanya bermain atau bertanding, tetapi jadi media untuk membangun kesamaan, kepedulian, sportivitas, dan sportsmanship . Semua itu jadi bekal hidup manusia dalam kehidupan di luar basket. Bahwa basket adalah pendidikan,” kata Ary menutup obrolan. Baca juga: Cerita Sandiaga yang Mengidolakan Magic Johnson

  • Gelar Khalifatullah untuk Raja Yogya

    Raja trah Mataram Islam semula bergelar Panembahan, Sunan atau Susuhunan. Gelar Khalifatullah kemudian dipakai oleh raja dari Kesultanan Yogyakarta.

  • Kemenangan Semu Atas Kejahatan Perang Belanda

    Penantian panjang, hampir delapan tahun akhirnya terbayar sudah. Usaha para keluarga korban menuntut keadilan dari kekejaman militer Belanda pimpinan Kapten R.P.P. Westerling di Sulawesi Selatan berbuah manis. Diberitakan The Guardian, para hakim Pengadilan Sipil Belanda di Den Haag memutus bersalah Pemerintah Belanda. Mereka harus membayar kompensasi kepada keluarga korban atas kejahatan militer yang dilakukan di Sulawesi Selatan antara tahun 1945-1949. Di dalam putusannya, pemerintah Belanda diharuskan memberi kompensasi antara 3.634 euro (sekira Rp 66 juta) hingga 10 ribu euro (sekira Rp 181,5 juta) kepada 8 janda dan 4 anak korban kejahatan perang militernya. Kasus ini sendiri dibawa ke pengadilan oleh pengacara HAM Lisbeth Zegveld pada 2012. Baru pada Maret 2020 gugatan ini berhasil dimenangkan. Baca juga:  Keluarga Korban Westerling Menangkan Gugatan Hasil akhir dari para hakim di pengadilan Den Haag itu keluar tidak lama setelah Raja Belanda Willem-Alexander melakukan kunjungan ke Indonesia pada 10 Maret 2020 lalu. Di hadapan Presiden RI Joko Widodo, di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, raja menyampaikan permintaan maaf dalam pidato sambutannya. “Saya ingin menyampaikan rasa penyesalan dan permintaan maaf terhadap kekerasan yang berlebihan oleh pihak Belanda di tahun-tahun itu (1945-1949). Saya menyampaikannya dengan kesadaran penuh bahwa rasa sakit dan kesedihan keluarga yang terdampak masih terasa sampai hari ini,” ujar Raja Willem-Alexander, dikutip royal-house.nl. Masyarakat pun bersuka cita atas "kemenangan" tersebut, sekaligus mengapresiasi permintaan maaf tersebut. Banyak yang kemudian menanggapnya sebagai capaian penting dalam upaya mengungkapkan praktik kekejaman Belanda di Indonesia. Bahkan tidak sedikit juga masyarakat yang menganggap itu sebagai kesuksesan bangsa Indonesia. Lantas benarkah kemenangan sidang dan permintaan maaf Raja Belanda menjadi cara menghilangkan dosa masa lalu mereka? Kejahatan Perang Belanda Keberhasilan di dalam sidang itu rupanya masih menyimpan polemik. Meski para penggugat telah memastikan kemenangan, itu tidak merubah fakta sejarah yang ada. Bukan berarti berbagai kompensasi yang diberikan pemerintah Belanda kepada keluarga korban akan begitu saja menghapuskan catatan hitam militer mereka di negeri ini. Persoalan utama yang diangkat dalam persidangan di peradilan Den Haag adalah kekejaman militer Belanda selama kurun 1945-1949. Menurut sejarawan Anhar Gonggong, waktu empat tahun itu hanyalah sebuah simbol. Kekejaman sebenarnya militer Belanda di Indonesia telah terjadi selama ratusan tahun, menimpa kerajaan-kerajaan yang pernah berdiri di sini. Jumlah korbannya pun tidak bisa terbayangkan. Baca juga:  Enam Hal Penting tentang Westerling Dalam acara diskusi “Berdamai dengan Sejarah: Pandangan Orang Indonesia terhadap Konflik Indonesia-Belanda (1945-1949)” pada 9 Mei 2020, Anhar menyebut ada perbedaan besar antara kekejaman Belanda sebelum dan sesudah tahun 1945. Bedanya, aksi militer yang terjadi masa kerajaan-kerajaan dilakukan di wilayah koloni Belanda. Artinya tindakan mereka bukan sebuah pelanggaran karena tidak ada hukum yang melarang itu. Sementara kekejaman yang dilakukan Belanda bersama pasukannya antara 1945-1949 itu sasarannya adalah rakyat di sebuah negara yang sudah merdeka. Karena jelas proklamasi kemerdekaan telah berkumandang di Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, dan sehari setelahnya negara ini telah sah merdeka. “Kejahatannya Belanda adalah bahwa dia mau menentang arus sejarah dalam arti dia mau mengembalikan penjajahannya ke negara yang sudah menyatakan dirinya merdeka,” ujar Anhar Gonggong. Anhar Gonggong sendiri merupakan salah satu keluarga korban kekejaman Belanda di Sulawesi Selatan. Ayah dan kakak, serta beberapa sanak keluarga lain, tewas di tangan militer Belanda. Menurut Anhar perjuangan keluarganya telah dimulai sejak abad ke-19, melalui sebuah kerajaan kecil di Sulawesi Selatan bernama Alitta. Baca juga:  Kekerasan Militer Belanda Terhadap Rakyat Sipil dalam Perang Kemerdekaan Sama halnya dengan Anhar, keluarga Irma Devita juga turut menjadi korban militer Belanda di Jawa Timur. Kakeknya adalah Letkol Mohammad Sroedji, tentara republik yang memimpin pengusiran Belanda di Jember. Letkol Sroedji menjadi satu dari komandan 17 brigade yang tersebar di seluruh pulau Jawa. Dia memimpin pasukannya bergrilya di wilayah Jawa Timur dan telah terlibat di dalam berbagai pertempuran. Letkol Sroedji gugur di Karangkedawung pada 8 Februari 1949 setelah dihujani peluru militer Belanda. “Kebetulan dalam catatan sejarah yang masih harus dikonfirmasi, bola matanya dicongkel dan tangan-tangannya dipotong, serta diseret sejauh sekitar 20 kilo dan dipertontonkan selama tiga hari di alun-alun Jember sebelum akhirnya bisa dimakamkan,” kata Irma. Baca juga:  Yang Gugur di Karang Kedaung Bukan Kemenangan Sesungguhnya Memang benar jika kemenangan di Pengadilan Negeri Den Haag adalah sebuah pencapaian dalam pengusutan kebrutalan militer Belanda di Indonesia. Namun hal itu bukan semata prestasi saja. Ada kekeliruan dalam menafsirkan kemenangan di Pengadilan Negeri Den Haag tersebut. Menurut Irma masyarakat dan kebanyakan media telah salah menempatkan posisi bangsa Indonesia di sini. Bergelut di bidang hukum, Irma sedikit banyaknya mengerti tentang persoalan Pengadilan Negeri Den Haag tersebut. Menurut Irma, proses hukum di Pengadilan Negeri Den Haag atas kasus militer Belanda di Indonesia keliru. Karena jika yang menjadi korban adalah warga negara merdeka, seharunya kasus ini dibawa ke Mahkamah Internasional, bukan pengadilan negeri. Keduanya sama-sama berkedudukan di Den Haag, sehingga banyak yang tidak bisa membedakannya. Baca juga:  Bulan Puasa di Bawah Agresi Militer Belanda Dijelaskan I Made Pasek Diantha dalam Hukum Pidana Internasional: dalam Dinamika Pengadilan Pidana Internasional, Mahkamah Internasional bertugas menindak hukum pidana internasional yang terdiri dari ketentuan-ketentuan internasional yang ditetapkan oleh PBB sebagai kejahatan “ de iure gentium ”, di antaranya: agresi, kejahatan perang, genosida, kejahatan kemanusiaan, narkotika, dan lain-lain. “Menurut hemat penulis, kejahatan agresi, kejahatan perang, genosida, kejahatan kemanusiaan adalah materi hukum pidana internasional yang sebenarnya atau pure international criminal law karena pada tingkatan terakhir para pelakunya dapat diadili pada pengadilan pidana internasional yang dibentuk oleh PBB atau oleh kumpulan besar negara-negara anggota PBB,” tulis Diantha. Sementara jika kasus dibawa ke pengadilan negeri itu berarti proses hukum dilakukan untuk warga negarnya. Artinya, kata Irma, kejahatan itu dilakukan oleh seorang tentara kepada warga negaranya. Oleh karenanya permintaan maaf dilayangkan setelah melakukan kekerasan terhadap warga negaranya. Itu berarti Belanda masih menempatkan Indonesia sebagai wilayah kekuasaannya, bukan sebagai negara merdeka, dan kekerasan dilakukan terhadap warga yang tinggal di wilayahnya. Akhir yang Diharapkan Kemenangan di Pengadilan Negeri Den Haag menyimpan akhir yang tidak jelas bagi sebagian keluarga korban. Permintaan maaf yang dilakukan Belanda kepada para korban bagi Anhar Gonggong bukanlah sesuatu yang penting. Menurutnya persoalan sejarahnya sudah selesai. Tidak ada yang perlu dipermasalahkan lagi. Persoalan yang menimpa keluarganya pun sudah sejak lama dilupakan. Hanya saja kejelasan tentang permintaan maaf itu yang harus dikedepankan. Anhar mempertanyakan sikap Belanda yang menempatkan warga Indonesia sebagai bekas jajahan yang belum merdeka karena kasus itu diselesaikan di pengadilan negeri bukan mahkamah internasional. Sikap itulah yang mesti diperjelas oleh pemerintah Belanda. Baca juga:  Ketika Karawang Jatuh ke Tangan Belanda “Saya tidak mau itu. Ayah saya, keluarga saya, kakak saya mati tidak sebagai warna negara Belanda tapi sebagai warga negara dari sebuah bekas jajahan Belanda yang sudah merdeka sejak 17 Agustus 1945,” ucap Anhar. Senada dengan itu, Irma pun menuntut kejelasan terkait penyelesaian kasus di pengadilan Belanda. Bagi Irma keluarganya sudah lama memberikan maaf atas kasus yang menimpa kakeknya, tetapi bukan berarti hal itu akan begitu saja melepaskan tanggung jawab yang harus diselesaikan Belanda. Penderitaan para korban tidak dapat hilang sampai kapanpun. Sehingga pertanggung jawaban yang sesuailah yang harus dibuktikan oleh Belanda. “Sebagai bangsa yang pemaaf tentu kita akan selalu memaafkan tetapi seperti kata pepatah: forgive but not forget. Oleh karenanya memaafkan di sini bukan berarti kita melupakan kekejaman-kekejaman Belanda,” kata Irma.

  • Diplomasi Gelap Pembebasan Irian Barat

    Di beranda Istana Negara, Presiden Sukarno menerima kedatangan Kolonel Soegih Arto. Konsul jenderal Indonesia untuk Singapura itu mendadak dipanggil ke Jakarta untuk satu tugas penting. Setelah tamu-tamu presiden beranjak pergi, tinggallah tiga orang di beranda: Sukarno, Soegih Arto, dan Menteri Luar Negeri merangkap Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) Soebandrio. Mereka lantas saling berbincang. “Bung Karno bicara dan menjelaskan bahwa pemerintah mempunyai rencana untuk memperoleh Irian Barat dengan cara-cara yang inkonvensional,” kata Soegih Arto dalam otobiografinya Sanul Daca: Pengalaman Pribadi Letjen (Pur.) Soegih Arto. Soegih Arto tercengang mendengar skema pembebasan Irian Barat yang diembankan padanya. Sukarno memerintahkannya pergi ke Hongkong dengan membawa uang kira-kira US$ 1.000.000. Dengan uang sebanyak itu, Soegih Arto harus bisa “membeli” Irian Barat. Baca juga:  Kisah Tentara Jadi Diplomat Rencananya, dana itu akan menjadi "pelicin" agar Dewan Rakyat Papua bentukan pemerintah Belanda bisa mengeluarkan resolusi ingin bergabung dengan Indonesia. Meskipun berbiaya tinggi, politik uang ini telah diperhitungkan dengan cermat. Apabila misi ini berhasil, menurut Soegih Arto, maka akan menghindarkan bentrokan senjata dan menyelamatkan banyak jiwa. Berunding di Hongkong Operasi rahasia ini tidak dikerjakan oleh Soegih Arto sendirian. Turut bersamanya tim dari BPI. Mereka antara lain Kartono Kadri, kepala seksi dua BPI bidang operasi dan pengumpulan informasi dan Komisaris Besar Polisi Samsudin. Secara resmi, selain anggota BPI, Samsudin merangkap sebagai sekretaris Konsul RI di Singapura. Soegih Arto, Kartono Kadri, dan Samsudin berangkat dari Singapura.   Soegih Arto tidak mencatat kapan persisnya keberangkatan mereka ke Hongkong. Namun menurut Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia , peristiwa itu berbarengan dengan operasi militer Komando Mandala yang dipimpin Mayor Jenderal Soeharto. Tepatnya, pada kuartal kedua 1962.    Baca juga:  Intel Indonesia Dilatih CIA Di Hongkong, BPI telah menyiapkan segala sesuatunya. Soegih Arto dan kawan-kawan menginap di Hotel Sunning House. Mereka akan dipertemukan dengan orang Belanda yang berpengaruh di Irian Barat. Sebagai kepala negosiator, Soegih Arto diberi kuasa untuk menawarkan sejumlah uang tetapi tidak melebihi dana yang ada sebagai harga penggabungan Irian Barat kepada Indonesia. Pertemuan terjadi di Hotel Miramar, Kowloon, tempat delegasi Belanda menginap. Pihak Indonesia hanya diwakili Soegih Arto dan Kartono Kadri. Sementara itu di pihak seberang, tampak seorang Indo-Belanda bernama Mr. de Rijke didampingi seorang sekretaris perempuan.    Menyogok Pembelot Mr. de Rijke terkekeh-kekeh sewaktu  memperkenalkan diri kepada Soegih Arto. Dia menyebut nama lawan rundingnya Soegih Arto yang berarti kaya. Namanya sendiri, de Rijke juga berarti kaya. De Rijke menjelaskan bahwa dirinya lahir di Kediri sehingga mengerti bahasa Jawa. Menurut pengakuannya, de Rijke adalah ketua fraksi di Dewan Rakyat Papua (Nieuw Guinea Raad). Pertemuan perdana dengan de Rijke itu berlangsung dalam suasana santai karena diawali basa-basi lewat pendekatan  kultural. Menurut Soegih Arto, tidak ada ketegangan sama sekali. Maka tanpa kesulitan berarti, Soegih Arto langsung memajukan agenda utama perundingan. Pertama , membicarakan resolusi penggabungan Papua dengan Republik Indonesia. Kedua , soal keuangan. Baca juga:  Papua dan Ambisi Presiden Pertama Ketika membicarakan soal penggabungan Papua, De Rijke mengajukan banyak tuntutan. Pertama , agar infiltrasi tentara Indonesia supaya dihentikan. Kedua , Papua harus dijadikan daerah istimewa. Ketiga, Missi (Katolik) dan Zending (Protestan) jangan diganggu. Keempat, supaya Papua boleh memakai uang sendiri, seperti di Riau. Kelima, Papua supaya dibolehkan memakai bendera sendiri. Setiap tuntutan itu segera ditanggapi oleh delegasi Indonesia. Tidak semua tuntutan diterima atau ditolak, namun ada masukan untuk mencapai kompromi. “Pertama, kami setuju memberi status Propinsi Istimewa bagi Irian Barat. Kedua, Riau pada waktu itu masih menggunakan mata uang Singapura, jadi kami setuju mata uang Belanda tetap dapat digunakan. Ketiga, kami setuju misionaris katolik dan Protestan bisa tetap tinggal. Kami tidak setuju bendera Papua berkibar sendiri, tetapi kami mengatakan bendera itu dapat berkibar sedikit di bawah bendera Indonesia,” kata Kartono Kadri sebagaimana dikutip dalam buku Ken Conboy. Mengenai infiltrasi tentara Indonesia, dijawab Soegih Arto akan segera dihentikan kalau Irian Barat sudah bergabung dengan Indonesia. Titik temu mengenai tuntutan de Rijke beres. Penyusunan konsep resolusi juga tidak memakan waktu lama. Isi pokok resolusi itu adalah, “Bahwa Papua dan Indonesia sama-sama mempunyai sejarah yang sama, sehingga sebaiknya berjalan bersama-sama dan oleh karena itu, Parlemen Papua sepakat untuk menggabungkan diri dengan Republik Indonesia.” Baca juga:  Operasi Jatayu, Penerjunan Terakhir di Irian Barat Perundingan hari pertama ditutup setelah terjalin kesepakatan mengenai isi resolusi. Rancangan resolusi itu dibawa Soegih Arto ketika kembali ke Jakarta untuk diserahkan kepada Soebandrio. Hingga Soegih Arto merampungkan otobiografinya Sanul Daca pada 1989, keberadaan konsep resolusi tersebut tidak diketahui rimbanya. Menurut sejarawan Belanda Pieter Drooglever dalam Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri , beberapa pejabat yang duduk dalam Dewan Papua memang dicurigai bersekongkol dengan Indonesia. Namun dari sekian nama, tidak tersebut nama de Rijke. Drooglever mencatat, de Rijke merupakan pengacara berpengalaman berkebangsaan Indo-Belanda yang mendukung kepentingan orang Indo-Belanda di Papua. Selain itu, de Rijke juga pernah tersandung kasus pemalsuan surat yang diganjar hukuman empat bulan penjara. Arsip nasional Inggris menyimpan berkas dokumen pribadi milik de Rijke. Dalam deksripsi katalog disebutkan, de Rijke yang bernama lengkap Jacob Olaf de Rijke, lahir pada 9 September 1921. Sayangnya, berkas-berkas de Rijke masih konfidensial dan akan terbuka pada publik pada 1 Januari 2024 mendatang. Kita tunggu saja.  (Bersambung)

  • Napas Baru Janger

    SUARA gamelan Bali mengalun rancak di Taman Blambangan Banyuwangi. Disusul sekira delapan lelaki bak punggawa kerajaan Blambangan bergerak lincah ke seluruh sudut panggung yang berlatar belakang gapura bentar berukuran besar. Beberapa saat kemudian, dari dalam gapura bentar, muncul Menak Jingga diiringi abdi setianya yang bernama Ki Dayun dan putri-putri dari Blambangan. “Dayun, bagaimana prajurit Blambangan saat ini?” tanya Menak Jingga. “Ya Lurahe, para wadyabala sigap dalam menghadapi mara bahaya,” jawab Ki Dayun, yang menenteng senjata andalan Menak Jingga, gada wesi kuning dan pedang Kunta Sokayana. “Dayun, lalu bagaimana dengan putri-putri Blambangan?” “Ya Lurahe, putri-putri Blambangan hari ini ikut hadir di paseban.” Fragmen diatas adalah bagian dari pagelaran periodik pertunjukan seni Janger dari kelompok Sri Budoyo Pangestu Bongkoran Parijatah wetan, dengan mengambil lakon Minak Jinggo Digdaya yang digelar Oktober 2014. Baca juga:  Menak Jingga yang Ganteng Kisah bermula dari keserakahan Patih Logender akan kekuasaan  yang berbuah fitnah terhadap Menak Jingga. Atas usulnya pula, Ratu Kencanawungu memerintahkan Damarwulan untuk menumpas Menak Jingga. Damarwulan pun berangkat ke Blambangan. Di perbatasan, rombongan disambut meriah oleh masyarakat Blambangan dengan tarian dan jamuan makan. Damarwulan sempat bimbang; gambaran mengenai Menakj Jngga yang diterimanya tak sesuai dengan kenyataan. Begitu pula ketika sowan dengan Menak Jingga. Dia mendapat informasi soal ulah Patih Logender yang sebenarnya membenci Damarwulan dan ingin mendudukkan putranya, Layangseta dan Layangkumitir, sebagai raja Majapahit. Lakon Minak Jinggo Digdaya merupakan salah satu contoh citra baru yang ingin ditampilkan mengenai Menk Jingga melalui seni pertunjukan Janger. Alih Rupa Seni pertunjukan Janger menampilkan gabungan seni drama, tari, dan musik. Ia merupakan kesenian hibrida yang memadukan unsur Bali, Jawa, dan Banyuwangi. Unsur Bali terlihat pada gerak, kostum dan instrumennya. Unsur Jawa pada dialog dan tembang-tembang Jawa. Unsur Banyuwangi terlihat pada lawakan atau dagelan yang menggunakan bahasa Osing. Akar dari seni pertunjukan ini adalah folklor Ande-ande Lumut, turunan dari cerita Panji yang berkembang dan popular di Jawa. Lakon ini lalu diangkat dalam seni pertunjukan. Di Jawa Tengah, lahirlah teater rakyat yang disebut Ande-Ande Lumut. Kisah Ande-ande Lumut kemudian kalah pamor ketimbang kisah Damarwulan-Menak Jingga. Antara lain bersumber dari Serat Damarwulan yang ditulis sekitar abad ke-18. Cerita ini menggambarkan “Si Buruk Rupa” Prabu Menak Jingga sebagai penindas yang memberontak terhadap penguasa Majapahit. Dia akhirnya dikalahkan dan dipenggal kepalanya oleh Damarwulan. Kemenangan diperoleh berkat bantuan Dewi Wahita dan Dewi Puyengan, istri Menak Jingga yang terpikat oleh ketampanan Damarwulan dan menyerahkan senjata andalan Menak Jinggo berupa gada wesi kuning. Baca juga:  Gesekan Biola Gandrung Cerita Damarwulan-Menak Jingga popular di Jawa Tengah dan daerah lain. Bahkan, “sangat digemari oleh masyarakat Using Banyuwangi selama bertahun-tahun,” tulis Sri Mariati dkk dalam “Menakjinggo: Kepahlawanan dan Rekonsiliasi Budaya Using”, dimuat buku Dinamuka Budaya Indonesia dalam Pusaran Pasar Global . Saking populernya, cerita Damarwulan-Menak Jinggo bukan hanya disalin tapi juga diadopsi dalam seni pertunjukan. Salah satunya pertunjukan Langendriyan, salah satu bentuk opera tari Jawa. Langendriyan lahir dan berkembang di Yogyakarta dan Surakarta (Mangkunagaran) pada abad ke-19. Menurut Th. Pigeaud dalam Javaanse Volksvertonongen Bijdrage tot de Beschrijving van Land en Volk (1938), pada 1930 di Banyuwangi, tepatnya di daerah Rogojampi, terdapat kesenian yang menampilkan cerita Damarwulan dan merupakan tiruan dari cerita rakyat sebelumnya yang menampilkan cerita Ande-ande Lumut. “Tidak menutup kemungkinan bahwa Damarwulan adalah kesenian dari daerah Jawa Tengahan yang dibawa oleh para migran karena cerita yang dibawakan memiliki kesamaan latar tempat,” tulis Hervina Nurullita dalam “Dari Damarwulan ke Jinggoan: Dinamila Kesenian Janger di Banyuwangi 1930’an-1970”, dimuat Istoria , September 2019. Konon, adaptasi cerita Damarwulan dalam seni pertunjukan dilakukan seorang pedagang sapi bernama Mbah Darji asal Dukuh Klembon, Singonegaran, Banyuwangi. Mulanya Mbah Darji memiliki kesenian Ande-ande Lumut. Sebagai pedagang sapi, dia kerap pergi ke Bali. Di sanalah dia terpikat pada kesenian teater Arja. Setelah mempelajarinya, dia memasukkan unsur tari dan gamelan Bali dan mengubah kesenian Ande-ande Lumut menjadi Kesenian Agawe Rukun Santoso (KARS) . Baca juga:  Seblang Menolak Bala Pada 30 Agustus 1930 wedana mengundang KARS untuk pentas di pendopo Kawedanan Banyuwangi dalam perayaan ulang tahun Ratu Wilhelmina. KARS menampilkan cerita Bhre Wirabumi Gugat . Namun, atas perintah Belanda, wedana melarang pementasan lakon tersebut karena isinya dianggap melawan pemerintah. Sebagai gantinya wedana memberikan naskah Damarwulan Ngenger untuk dipentaskan. “Pergantian naskah tersebut bertujuan agar masyarakat Blambangan tidak mengenal Wirabumi dan hanya mengetahui bahwa raja Blambangan adalah Minakjinggo yang merupakan pemberontak buruk rupa namun sakti mandraguna,” tulis Hervina Nurullita. “Karena KARS hanya diizinkan memainkan cerita Damarwulan, maka orang menyebutnya sebagai kesenian Damarwulan.” Seni pertunjukkan ini menarik perhatian orang. Setelah itu lahirlah grup-grup kesenian Darmawulan di seantero Banyuwangi. Masyarakat Banyuwangi sering menyebut kesenian Damarwulan dengan nama Janger. Hal ini karena adanya pengaruh kesenian Bali. Juga karena Mbah Darji membawa seorang guru tari Janger dari Bali. Ada banyak lakon atau cerita yang kemudian dibawakan teater ini. Dari cerita Ande-ande Lumut hingga Damarwulan-Menak Jingga. Ada juga lakon yang diambil dari legenda rakyat setempat dan kisah-kisah Islami. Keterbukaan Selama bertahun-tahun lamanya, dalam setiap pementasan Janger atau seni Damarwulan, Menak Jingga digambarkan buruk rupa dan bertabiat buruk. Sekira tahun 1970 muncul kesadaran masyarakat Banyuwangi, terutama Wong Osing , untuk mengoreksi sosok Menak Jingga. Kisah Damarwulan-Menak Jingga dengan perspektif baru kemudian direkonstruksi Hasan Ali, pegawai negeri dan budayawan Banyuwangi. Sebagai raja dan pahlawan Blambangan, Menak Jingga digambarkan tampan dan berwibawa. Dia raja bijaksana, dicintai rakyatnya, dan menentang kelaliman Majapahit yang menghisap rakyat Banyuwangi. Sebaliknya Damarwulan dilukiskan perusak rumah tangga orang. Perang tanding keduanya tak berakhir dengan kematian Menak Jingga, yang moksa dan mendapat penghormatan dewata dalam mencapai kesempurnaan hidup. Versi lain menceritakan Damarwulan yang mengemban misi membunuh Menak Jingga berubah pikiran setelah bertemu langsung dengan raja Blambangan. “Rekayasa Hasan Ali yang didukung pemerintah setempat dalam menyikapi cerita tersebut didukung oleh sebagian besar masyarakat Using,” tulis Sri Mariati dkk. Baca juga:  Temu Legenda Banyuwangi Janger atau seni Damarwulan atau Jinggoan dalam sebutan masyarakat Osing masih disukai masyarakat. Penggambaran citra baru Menak Jingga misalnya ditampilkan dalam sedratari sendratari Paseban Agung Kedhaton Manikjingga pada Festival Kuwung 2018. Fragmen ini mengisahkan perkembangan seni Janger, yakni kreativitas Mbah Darji dalam mengadaptasi seni Arja dan Ande-Ande Lumut dari pulau seberang. Janger menunjukkan kreativitas dan keterbukaan warga Banyuwangi. Perjumpaannya dengan seni budaya dari daerah lain menjadikannya lebih beragam. Menurut Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas , hibriditas kebudayaan merupakan perlambang dari inklusivitas warga Banyuwangi. "Orang Banyuwangi tidak anti keanekaragaman, baik suku, agama, maupun budaya. Keanekaragaman itu mampu diolah menjadi modal sosial dalam memajukan daerah,” ujar Anas. Karena kekhasannya, Janger Banyuwangi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda 2010 oleh Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan.

  • Tan Malaka dan Logika Mistika Kaum Sebangsa

    SEMASA dalam pelarian di Singapura, Tan Malaka menulis risalah yang menggambarkan keterjajahan negerinya. Tan menyusun propaganda untuk mencapai kemerdekaan yang diiringi dengan gerakan aksi revolusi. Namun untuk menuju cita-cita merdeka itu, Tan menyatakan kegelisahan sehubungan dengan pola pikir kaum sebangsanya. “Tetapi kamu orang Indonesia yang 55.000.000 tak kan mungkin merdeka selama kamu belum menghapuskan segala ‘kotoran kesaktian’ itu dari kepalamu, selama kamu masih memuja kebudayaan kuno yang penuh dengan kepasifan, membatu, dan selama kamu bersemangat budak belia,” kata Tan Malaka dalam risalahnya yang terbit pada 1926 berjudul Massa Actie. Apa yang dimaksud Tan dengan “kotoran kesaktian”? Secara gamblang Tan menyebutnya dengan berbagai macam takhayul dan kepercayaan kepada hantu, jin, kesaktian gaib, batu keramat, dan lain-lain. Dengan kata lain, segala hal yang berhubungan dengan mistik atau klenik. Inilah yang menurutnya jadi penghambat kemerdekaan bangsa Indonesia.  Tan tidak membatasi merdeka dalam pengertian mengusir Belanda, namun merdeka juga menyangkut logika berpikir. Tan menilai masyarakat Indonesia, terutama di Jawa masih mempercayai yang gaib-gaib, takhayul, dan dongeng sebagai akibat dari mental feodal yang mendarah daging. Bagi Tan, cara bernalar demikian sama artinya dengan bermain api. Tangan sendiri yang akan terbakar. Itulah sebabnya Tan sangat anti-feodalisme karena –meminjam penafsiran budayawan Romo Mudji Sutrisno– feodalisme telah melahirkan dan menyuburkan mental budak; mental kuli anak negeri yang takut berpikir, pasif dan menyerah pada nasib. “Mentalitas macam ini memudahkan mereka percaya pada takhayul sehingga gampang dimalipulasi mereka yang rasional dan pintar,” tulis Romo Mudji dalam “Sukarno-Hatta-Syahrir-Tan Malaka dalam Dialog: Keindonesiaan Macam Apa yang Masih Harus Diperjuangkan?” termuat di kumpulan tulisan Sejarah Filsafat Nusantara, Alam Pikiran Indonesia . Sementara itu, menurut sejarawan milenial Servulus Erlan de Robert, takhayul dan klenik menjadi tradisi keseharian masyarakat Indonesia ketika Tan memperjuangkan kemerdekaan. Masyakat cenderung menaruh harapan untuk merdeka pada sosok sang penyelamat Ratu Adil yang dijanjikan akan datang. Selama menanti, mereka berpasrah dan membudak pada kaum kolonial dan kaum feodal. Sikap pasif menantikan sang pembebas ini malah jadi jebakan di jalan menuju kemerdekaan. “Sebab, dengan demikian mereka hanya akan tunduk pasrah pada kolonialisme Belanda dan feodalisme yang dipraktikkan oleh para penguasa lokal. Pola pikir seperti itulah yang dilawan Tan,” kata Erlan dalam “Tan Malaka: Dari Logika Mistika ke Bangsa Merdeka” termuat dikumpulan tulisan Memoria Indonesia Bergerak  suntingan Johanes Supriyono. Hubungan antara agenda memerdekakan Indonesia yang mandeg dengan cara pikir magis masyarakat dikupas Tan Malaka dalam  “logika mistika”. Istilah ini merupakan bab pertama dari karya monumental Tan Malaka berjudul Madilog  yang terbit pada 1943. Tan membuka logika mistika dengan uraian tentang muasal bumi beserta isinya yang bermula dari sabda dewa Rah. Dalam mukadimah itu, Tan menyelipkan kritik. Analogi ini bisa diartikan sebagai sikap masyarakat Indonesia yang menganggap hanya dengan berdoa kemerdekaan dapat tercapai. Dalam logika mistika, Tan menganalisis cara berpikir irasional dan memperlihatkan kekurangan-kekurangannya di hadapan cara berpikir rasional. Tan menerangkan, “Lapar tak berarti kenyang buat si miskin. Si Lapar yang kurus kering tak akan bisa kita kenyangkan dengan kata kenyang saja, walaupun kita ulang 1001 kali”. Pun demikian halnya dengan kemerdekaan yang bagi Tan tidak cukup hanya menanti Ratu Adil belaka melainkan dengan menggalang revolusi total. Langkah pertamanya adalah dengan membebaskan logika mistika yang gentayangan dalam rupa kemalasan berpikir, mental jongos, dan sikap pasrah. Untuk mencelikan mata terhadap ketertindasan sekaligus membangun kesadaran kelas, Tan menekankan pentingnya pendidikan berdasar pada logika ilmu pasti. Upaya pencerdasan itu dilakoni Tan ketika dirinya menyelesaikan studi dari negeri Belanda. Pada 1919, Tan yang membawa pulang ijazah tamatan Kweekschool (sekolah guru pribumi) menjadi guru bagi anak-anak kuli perkebunan di Sanembah, Tanjung Morawa, Sumatra Timur. Sembari mengajar, Tan menulis propaganda subversif untuk para kuli. Sewaktu hijrah ke Jawa pada 1921, Tan juga tetap menggiatkan misi pendidikannya. Tan mendirikan Sekolah Sarekat Islam di Semarang untuk menandingi sekolah yang dibuka pemerintah kolonial. Dalam imajinya, Tan membayangkan pendidikan akan melahirkan kaum pribumi yang tercerahkan. Tidak sekedar mencetak manusia pandai tapi juga berjiwa merdeka dan peduli nasib rakyat. Merekalah yang diharapkan Tan tumbuh sebagai kekuatan perlawanan yang lebih besar terhadap penjajah. Ketika kondisi itu terwujud, revolusi menuju kemerdekaan bisa dilakukan.    Bangsa yang cara bernalarnya sesat, sulit untuk merdeka. Begitulah Tan punya keyakinan. Maka, untuk merdeka, cara bernalar kaum sebangsanya harus dibetulkan terlebih dahulu. Sebagaimana Tan menuliskannya dalam Massa Actie , “Hanya cara berpikir dan bekerja yang rasional yang dapat membawa manusia dari ketakhayulan, kelaparan, wabah penyakit dan perbudakan, menuju kepada kebenaran.”*

  • Perempuan-Perempuan dalam Pelukan Hitler

    RUANGAN sedalam 30 kaki di bawah tanah Gedung Kekanseliran Jermanitu begitu muram. Tak ada hiasan meriah, tiada jam dinding, tamu-tamu kehormatan, apalagi katering mewah. Situasi di Führerbunker itu sunyi meski mirip neraka di luarnya karenaPertempuran Berlin (16 April-2 Mei 1945) tengah berkecamuk. Entah tanggal 28 April malam atau 29 April dini hari, Adolf Hitler dan Eva Braunmenanti dengan sabar kedatangan seseorang pejabat yang bakal mempersatukan mereka secara resmi. Hitler berbusana jas formal seperti biasanya, sementara Eva mengenakan gaun taffeta sutera hitam yang membuatnya tetap anggun. Sebagai saksi, hadir Menteri PropagandaJoseph Goebbelsdan Ketua Partai NaziMartin Bormann. Orang yang dinanti, Walter Wagner, akhirnya hadir juga. Ia mesti melalui perjalanan mengerikan untuk mencapai Führerbunker . Bombardir tentara Uni Soviet kian hari kian merangsek ke Führerbunker . Wagner seorang pengacara yang juga kader Partai Nazi yang bekerja di kantor Kementerian Propaganda merangkap pejabat catatan sipil di pemerintah kota (pemkot) Berlin. Mengutip sejarawan Ian Sayer dan Douglas Botting dalam Hitler and Women: The Love Life of Adolf Hitler , kebetulan Wagner satu-satunya orang yang bisa ditemukan di lingkungan pemkot Berlin. Ia dicari satu grup pasukan pengawal Hitler atas perintah Goebbels, yang mengatur pernikahan itu sebagai bentuk loyalitasnya kepada Hitler. Baca juga: Anggar untuk Hitler Saat sudah duduk di seberang meja kecil berhadapan dengan Hitler dan Eva, Wagner menjalankan tugasnya sebagai pemimpin upacara sekaligus pejabat pencatatan pernikahan. Setelah dengan singkat memeriksa dokumen keabsahan sejoli sebagai ras Arya murni, Wagner menuntun keduanya memasuki saat yang dinanti, sumpah setia sepasang pengantin. Hitler menjawab “ya” atas pertanyaan pertanyaan Wagner apakah ia bersedia menjadi pasangan Eva dalam suka dan duka serta dalam kehidupan hingga maut menjemput. “’Sekarang saya bertanya pada Anda, Nona Braun, apakah Anda bersedia memasuki pernikahan dengan meinFührer , Adolf Hitler?’ Wanita berusia 33 tahun itu tanpa ragu pula menjawab ‘ya.’Momen paling dinantikan Eva Braun itu terjawab dengan hadiah cincin pernikahan yang dengan senang hati ia masukkan ke jarinya meski cincinnya kebesaran,” tulis Guido Knopp dalam Hitler’s Women . Hitler dan Eva tak bisa membuat resepsi mengingat situasi mencekam di luar bungker.Sebagai bentuk “syukuran”, keduanya hanya menjamu sarapan sejumlah orang-orang terdekat di bunker itu. Kurang dari 40 jam hidup sebagai suami-istri, tepatnya pada 30 April 1945, Hitler membawa serta Eva menemui ajalnya dengan bunuh diri. Pernikahan itu menutup rumor tentang orientasi seksual sang diktator Jerman Nazi itu apakah ia sosok yang straight atau seorang homoseksual. Soal homoseksual, saking bencinya, Hitler sampai mengirim lima hingga 15 ribu gay ke kamp-kamp konsentrasi. Bahkan salah satu kolega pendiri Partai Nazi, Ernst Röhm, turut dieksekusi pada aksi pembersihan Nacht der langen Messer atau “Malam Pedang Panjang” (30 Juni-2 Juli 1934). “Homoseksualitas adalah wabah yang menular dan berbahaya,” cetus Hitler dikutip Richard J. Evans dalam The Third Reich in Power . Tiga dari sejumlah perempuan yang digosipkan dekat dengan Hitler. Kiri-kanan: Martha Dodd, Leni Riefenstahl, Unity Mitford. Eva tentu bukan satu-satunya perempuan yang jatuh ke pelukan Hitler. Ada “barisan” perempuan lain yang dekat dengan sang fuhrer , semisal Stefanie Isak. Gadis berdarah Yahudi asal Austria ini disebut-sebut jadi cinta pertama Hitler saat ia masih remaja. Ada pula Charlotte Lobjoie, yang mengklaim melahirkan putra keturunan Hitler, Jean-Marie Loret. Ada lagi Erna Hanfstaegl, kakak dari pengusaha yang dekat dengan Hitler,Ernst Hanfstaengl. Ernst pernah mencoba mencomblangi Hitler dengan Martha Dodd, putri dari William Edward Dodd, duta besar AS untuk Jerman periode 1933-1937, dan Unity Freeman-Mitford, gadis asal Inggris bersimpati pada Fasisme dan Naziisme.Di awal kekuasaan Hitler,Unity dikenalkan pada Hitler lewat Magda Goebbels, istri Joseph Goebbels. Baca juga: Hitler Seniman Medioker Lalu, adaLeni Riefenstahl.Sineas muda jelita Jerman ini berusaha dekat dengan Hitler namun ditolak oleh sang diktator. Hitler saat itu belum tertarik terlibat hubungan intim dengan perempuan. Hatinya masih untuk dunia politik. “Ketika perempuanJerman atau perempuan asing yang pro-Nazi, seperti Unity Mitford misalnya, berkunjung dan bertemu Hitler, justru yang terjadi adalah Hitler menguliahi mereka tentang politik,” ungkap John Gunther dalam Inside Europe . Namun, ada dua perempuan yang pernah menjadi pacar Hitler. Sebelum Eva yang menjadi cinta-mati Hitlar, a da Geli Raubal. Geli Raubal Geli Raubal dan Hitler. Angela Maria “Geli” Raubal tak lain adalah keponakan tiri Hitler. Gadis kelahiran Linz, Austria pada 4 Juni 1908 itu merupakan putriLeo Raubal dan Angela Hitler. Angela merupakan anak kedua Alois Hitler Sr. dari istri keduanya, Franziska Matzelsberger. Usia antara Hitler dan Geli terpaut 19 tahun.Geli mulai dekat dengan Hitler sejak 1925 ketika ibunya, Angela, dipekerjakan Hitler sebagai pengurus rumah tangga di kediaman Hitler di Berghof. “Geli seorang gadis yang sangat menarik hati Hitler dengan rambut pirang dan kepribadian yang sangat ceria. Geli juga salah satu dari perempuan pertama yang bergelar akademik di Akademishes Gymnasium, Linz, pada Juni 1927. Tiga tahun sebelumnya (1924) ketika ia dan kakaknya mengunjungi sang paman di penjara Landsberg, di situlah pertamakali mereka bertemu, dan bahkan pertamakali pula Hitler mencium Geli,” sebut Volker Ullrich dalam Hitler: Ascent, 1889-1939 . Hitler lalu turut mengajak Geli pindah dari Linz ke Munich untuk tinggal bersama di apartemen mewahnya di Prinzregentenplatz 16. Tetapi romantisme Geli dengan Paman Dolf, panggilan Geli untuk Hitler, tak berumur panjang. Cekcok sering terjadi di antara mereka sejak medio 1930. Hitler curiga Geli ada “main” dengan sopirnya, Emil Maurice. Baca juga: Akhir Tragis Seorang Atlet Prancis Pengabdi Hitler Buntutnya, Hitler memecatEmil dan juga tak lagi memberi Geli kebebasan bergaul. Geli disekap di kamarnya yang terkunci dari luar. Hanya Hitler yang boleh masuk ke kamarnya. Lama-kelamaan, Geli pun jengah tak lagi tahan jadi “burung dalam sangkar”. “Pada 17 September 1931, para tetangganya mendengar cekcok antara Hitler dan Geli. Pertengkaran itu terkait keberatan Hitler akan keinginan Geli pulang ke Wina. Geli disebutkan teriak kepada Hitler dari kaca jendela saat ia hendak pergi menuju mobilnya. ‘Jadi kamu tak mengizinkan saya pergi ke Wina?’, di mana Hitler menjawab dengan marahnya: ‘Tidak!’” ungkap Frank McDonough dalam Hitler and the Rise of the Nazi Party . Itu jadi pertemuan terakhir Hitler dengan G e l i. Pada 18 September, Geli di t emukan tergolek tak bernyawa. Hingga kini masih jadi misteri apakah ia dibunuh, bunuh diri atau tak sengaja memicu pelatuk pistol ketika memainkannya dalam amarah akibat pertengkarannya. Hitler yang di tanggal itu sedang berperjalanan ke Nürnberg, dilaporkan langsung hancur hatinya. Eva Braun Hitler dan istrinya, Eva Braun. Berambut pirang dan berwajah cantik khas Bavaria adalah salah satu daya tarik Eva Anna Paula Braun yang bikin Hitler kepincut. Eva lahir pada 6 Februari 1912 sebagai anak kedua dari Friedrich Braun dan Franziska Kronberger. Eva pertamakali bertemu Hitler ketika sudah menginjak usia 23 tahun. Eva saat itu jadi asisten fotografer resmi Partai NaziHeinrich Hoffmann. Pertemuan itu terjadi di studio foto milik Hoffmann di Munich pada Oktober 1929. “Eva menceritakan pertemuan hari itu pada kakaknya, Gretl . ‘Bosku datang bersama seorang pria dengan kumis yang lucu dan jas hujan berwarna terang. Aku melirik dengan sudut mata tanpa menolehkan kepala dan mengetahui bahwa dia tertegun menatap kakiku’,” sambung Knopp lagi. Perlahan tapi pasti, benih-benih cinta di dada Hitler kepada Eva timbul meski saat itu Hitler masih memiliki Geli Raubal. Hubungan asmara Hitler-Eva baru benar-benar kentara pada 1932 atau setahun setelah Hitler move on pasca-kematian Geli. Baca juga: Jojo Rabbit , Satir Pemuda Hitler Setelah Bormann memastikan latar belakang Eva sebagai ras Arya murni, Hitler bersedia menjadikannya pendamping terakhirnya meski tak kunjung mengikatnya dengan tali pernikahan. Bagi Hitler yang baru naik takhta pada 1933, pernikahan justru akan mendegradasi reputasinya. Ia butuh pendamping yang tak lain sekadar untuk dijadikan “boneka”. “Hitler pernah berkata pada arsiteknya, Albert Speer: ‘Seorang pria yang cerdas mestilah memilih pendamping yang sederhana dan bodoh. Bayangkan jika saya punya pendamping yang mencampuri pekerjaan saya! Di waktu senggang saya ingin kedamaian dan ketenangan…saya takkan pernah menikah!’” dikutip Knopp. Tetapi, Hitler akhirnya menelan ludahnya sendiri. Ketika ia tak lagi merasa bisa mempertahankan Jerman-Nazi, ia memilih meresmikan Eva menjadi istri sahnya. Sebagai pendamping terakhir, Eva bersedia mengikuti suaminya ke alam baka dengan menelan pil sianida.

  • Ikan-ikan dari Muncar

    TEMPAT Pelelangan Ikan (TPI) Kalimoro Muncar Banyuwangi lebih semarak dari biasanya. Deretan los ikan berjajar rapi menjual berbagai macam ikan tangkapan nelayan yang masih segar. Dari ikan layur, kerapu, tongkol hingga lemuru. Para pengunjung begitu antusias berbelanja ikan segar dan produk olahan hasi laut Banyuwangi seperti nugged ikan, abon, ikan asin kering, hingga kerupuk ikan. Mereka juga bisa menikmati ikan bakar sembari menikmati pemandangan indah dari perahu-perahu nelayan yang khas dan berjejer rapi. Muncar Fish Market Festival memang selalu menarik pengunjung. Festival ini digelar untuk meningkatkan produktivitas nelayan Banyuwangi sekaligus mempromosikan Muncar sebagai kawasan ekowisata bahari. “Kita ingin Muncar menjadi tempat yang nyaman untuk berbelanja sekaligus menjadi destinasi wisata bahari. Sehingga nelayan dan masyarakat setempat bisa ikut menikmati geliat pariwisata Banyuwangi,” kata Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas , September 2019 Basis Industri Perikanan Muncar dikenal sebagai pelabuhan penghasil ikan terbesar di Jawa dan terbesar kedua di Indonesia setelah Bagansiapiapi, Riau. Pelabuhan ini sudah ada sejak masa Kerajaan Blambangan. Aktivitas penangkapan ikan pun sudah dilakukan sejak lama dengan alat tangkap dan perahu yang masih sederhana. Pada masa kolonial, Banyuwangi masuk wilayah Karesidenan Besuki. Saat itu wilayah Besuki mengandalkan pertanian yang berorientasi ekspor. Sehingga sektor perikanan kurang mendapat perhatian serius. Hasil tangkapan ikan masih berorientasi lokal. Produk ikan dari Banyuwangi, misalnya, disalurkan ke Jember. “Tapi dengan pertumbuhan populasi, produksi lokal tampaknya tidak memadai dan impor ikan menjadi perlu,” tulis Nawiyanto dalam “Fish Resource Exploitation in the Besuki Region during the Pre-New Order Period”. Impor ikan kering berasal terutama dari Madura, Makassar, Banjarmasin, dan Palembang serta dalam jumlah kecil dari Bali dan Sumbawa. Baca juga:  Sajian dari Beragam Pasar Kuliner Sejak pertengahan 1920-an, sejalan dengan kebijakan pemerintah kolonial untuk mengurangi ketergantungan pada impor ikan, armada Jepang dan Belanda terlibat dalam eksploitasi sumber daya ikan. Para nelayan asing ini menggunakan perahu dan alat tangkap yang lebih maju. Mereka juga mendirikan pabrik pengolahan ikan di Banyuwangi. “Operasi penangkapan ikan modern tampaknya telah meningkatkan ukuran tangkapan ikan. Perikanan laut Besuki tumbuh pesat, ditunjukkan dengan munculnya kompleks penangkapan ikan Muncar sebagai pusatnya,” tulis Nawiyanto. Muncar Fish Market Festival pada September 2019. (Dok. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi). Produk ikan dan juga ikan kalengan dari Banyuwangi mulai diekspor. Optimisme muncul bahwa Muncar adalah pesaing utama bagi pusat penghasil ikan di Siam. Penurunan sempat terjadi sebelum dan selama masa pendudukan Jepang. Tapi setelah itu produksi ikan pulih kembali. Jawatan Perikanan Laut mulai giat lagi melakukan penelitian perikanan laut. Jawatan juga mendorong pembuatan perahu baru dengan memberikan bantuan pinjaman uang untuk pembelian kayu atau memperbaiki perahu tua. “Hasilnya, penangkapan ikan di Muncar dan Tratas dapat dikatakan memuaskan, walau keadaan masih penuh kesukaran,” tulis Sutejo K. Widodo dalam “Kebijakan Ekonomi Berdikari dan Perkembangan Sektor Perikanan”, makalah pada Konferensi Nasional Sejarah VIII, November 2006. Baca juga:  Selera Naga Sejuta Rasa Jenis ikan yang banyak terdapat di perairan Muncar adalah lemuru. Menurut Nawiyanto, pada 1960 lemuru menyumbang sekitar 70 persen dari total tangkapan di Muncar. Hal ini mendorong tumbuhnya pabrik pengolahan dan pengawetan ikan. Sebut saja PT Munchar, yang didirikan pada 1964, sebagai produsen ikan kaleng dengan spesialisasi tuna dan sarden. Saat ini perusahaan menawarkan berbagai produk yang mencakup tuna kalengan, sarden kalengan, tepung ikan murni, dan minyak ikan. Lalu ada PT Sumber Yalasamudra yang didirikan tahun 1970 untuk memproduksi sarden. Masih banyak lagi. Lemuru kian intens dieksploitasi nelayan sejak 1970-an berkat penggunaan pukat cincin ( purse seine ), alat tangkap yang digolongkan dalam kelompok jaring lingkar. Muncar kemudian menjadi basis usaha pengolahan ikan; baik secara tradisional maupun modern, untuk kebutuhan pasar dalam negeri maupun luar negeri. Dalam jumlah sedikit, produksi ikan Muncar dipakai sejumlah pengusaha pengawetan ikan. Destinasi Wisata Bahari Ikan lemuru merupakan komoditas utama nelayan Muncar yang memasok puluhan industri perikanan di Banyuwangi. Namun dalam satu dekade terakhir jumlah tangkapan lemuru di Muncar menurun drastis. Inilah salah satu alasan yang mendorong Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menggelar Muncar Fish Market Festival. Bupati Anas mengatakan, gelaran festival ini untuk mendorong kebanggaan rakyat akan potensi maritimnya. Dia juga berharap nelayan Banyuwangi bisa mengolah hasil laut menjadi produk yang memiliki nilai tambah. Selain itu, event semacam ini diharapkan bisa menaikkan pendapatan nelayan dan mendatangkan banyak wisatawan. Dengan kata lain Muncar bisa menjadi destinasi wisata bahari alternatif.    Baca juga:  Di Balik Ritual Keboan Muncar Fish Market Festival masuk dalam agenda Banyuwangi Festival. Ia digelar satu hari sebelum pelaksanaan Petik Laut Muncar, sebuah upacara sedekah laut sebagai bentuk syukur atas keberkahan hasil laut yang didapat nelayan Muncar. Acara ini juga menjadi ajang kampanye gemar makan ikan atau disebut Gemarikan bagi masyarakat Banyuwangi. Untuk tahun 2020, sejumlah event Banyuwangi Festival yang terkait dengan Muncar meliputi Muncar Food Festival (4-5 April 2020), Petik Laut Muncar (3 September), dan Muncar Fish Market Festival (28-30 September 2020). Kalau kamu doyan makan ikan sekaligus berwisata, sayang kalau event-event itu dilewatkan begitu saja.*

bottom of page