Hasil pencarian
9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Sukarno Cemas Bu Fat Hilang di Cipanas
MESKI kunjungannya ke Amerika Serikat pada 1956 secara umum menyenangkan, Presiden Sukarno menyimpan kegelisahan dalam kunjungan itu. Pasalnya, di Rumahsakit Saint Carolus, Jakarta saat itu Ibu Negara Fatmawati sedang terbaring tak berdaya. Pendarahan hebat membuat Fatmawati harus dioperasi. Beruntung, operasi yang dijalani ibu negara berjalan lancar. Fatmawati pun diizinkan pulang beberapa hari kemudian. Untuk memulihkan kondisinya, Bu Fat, sapaan akrab Fatmawati, berencana tinggal di tempat sejuk dan sepi. “Bung Karno segera diberitahu. Mendengar keinginan Bu Fat itu, Bung Karno memerintahkan pihak Istana agar secepatnya membawa Bu Fat ke Istana Cipanas dan tinggal di sana hingga kesehatan Bu Fat pulih kembali,” tulis wartawan Kadjat Adra’I dalam Suka-Duka Fatmawati Sukarno Seperti Diceritakan Kepada Kadjat Adra’i . Fatmawati akhirnya “menyepi” di Istana Cipanas. Putra sulungnya, Guntur Sukarnoputra, menemaninya beberapa waktu kemudian sepulang dari Amerika Serikat mengikuti Sukarno. Sukarno sendiri datang beberapa hari setelah Guntur. “Selama berada di Amerika Serikat, Mas selalu memikirkanmu,” kata Sukarno kepada Fatmawati. Fatmawati tak merespon pernyataan sang suaminya itu. Komunikasi antara keduanya hampir selalu berjalan searah. Fatmawati lebih banyak diam. Luka di hatinya akibat dimadu Sukarno belum sembuh benar. Tiga tahun sebelumnya, 7 Juli 1953, di lokasi yang sama Sukarno menikahi Hartini. “Aku bertemu dengan Hartini. Aku jatuh cinta kepadanya. Dan percintaan kami begitu romantis, sehingga orang dapat menulis sebuah buku tersendiri mengenai hal itu,” kata Sukarno sebagaimana dikutip Cindy Adams, penulis otobiografinya, dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia . Pernikahan Sukarno-Hartini menuai kecaman dari para aktivis perempuan. Organisasi-organisasi perempuan seperti Persatuan Istri Tentara (Persit), Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari), dan Kongres Wanita Indonesia (Kowani) bahkan sampai menggelar unjuk rasa menolak poligami Sukarno. Meski Fatmawati tak sedikitpun mendendam, permaduan yang dialaminya membuat hatinya terluka. “Jauh di lubuk hati Ibu, sebenarnya Ibu masih sangat mencintai Bung Karno,” kata Bu Fat, dikutip Kadjat. Dia pun banyak menyendiri di Istana Cipanas meski Sukarno sudah berada di sisi. Laku Fatmawati itu membuat Sukarno dan seluruh pengawal serta pegawai Istana Cipanas kaget dan kebingunan keesokan harinya. Mereka semua bingung karena Fatmawati hilang. Kejadian itu membuat Sukarno marah. “Dalimin!” kata Sukarno berteriak memanggil Dalimin Rono Atmodjo, salah seorang komandan regu dalam Polisi Pengawal Pribadi Presiden dan Wakil Presiden. “Sekarang aku perintahkan seluruh pengawal, juga semua orang yang ada di sini, mencari Ibu Fatmawati sampai ketemu. Segera laksanakan!” Para pengawal dan pegawai istana pun berpencaran mencari Fatmawati. Semua penjuru kompleks istana diperiksa. Namun, Fatmawati tetap tak ditemukan juga. Dalimin akhirnya mencoba meingat-ingat kebiasaan ibu negara. “Saya punya firasat, Ibu Fat masih di sekitar Istana Cipanas. Karena itu saya lalu pergi ke arah belakang Istana, naik melalui jalan setapak yang kondisinya agak licin,” kata Dalimin, dikutip Kadjat. Di dataran yang agak tinggi Dalimin akhirnya menemukan Fatmawati sedang duduk menyendiri menghadap sungai kecil. Alih-alih melaporkan ke presiden, Dalimin pilih mendekat ke tempat Fatmawati berada. Sapaan dan pemberitahuannya kepada Fatmawati tak sedikitpun mendapat tanggapan. Ibu negara diam seribu bahasa. Tak berapa lama kemudian, Dalimin mendengar namanya dipanggil presiden yang berjalan mendekat ke arahnya. Dia pun segera menampakkan diri agar terlihat oleh presiden dan memberi isyarat bahwa orang yang dicari-cari berada di dekatnya. Usahanya itu langsung mendapat balasan acungan jempol dari sang presiden. Dalimin pun menyaksikan adegan saat presiden merayu ibu negara beberapa saat kemudian. Upaya presiden mengajak pulang Fatmawati tak berhasil. Fatmawati berkeras hati tetap tinggal di tempatnya. Hati Fatmawati baru luluh ketika Sukarno mengatakan, “Mas perhatikan Fat masih pucat. Ayolah ikut Mas kembali ke rumah! Mas bimbing ya?” Tangis Fatmawati pun pecah. Tangis Fatmawati itu membuat Sukarno langsung memanggil Dalimin. “Kuperintahkan pengawal membawa kursi ke sini,” kata Sukarno pada Dalimin. “Siap, Pak. Untuk apa, Pak?” “Untuk menandu Ibu Fatmawati!” Ketika Dalimin dan dua anak buahnya kembali beberapa saat kemudian sambil membawa kursi, Sukarno membantu mendudukkan Fatmawati yang masih lemas di kursi itu. Sambil terus menangis di kursinya, Fatmawati lalu ditandu Dalimin dan dua polisi anak buahnya kembali ke istana. “Terlalu banyak kenangan yang Ibu alami dan rasakan, yang jika diceritakan satu persatu serasa tidak ada habisnya,” kata Fatmawati.
- Kunjungan Pertama Penguasa Belanda ke Indonesia
Raja Belanda Willem-Alexander tiba di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa (10/3). Bersama sang istri, Ratu Maxima, rombongan Kerajaan Belanda tiba sekira pukul 10.30 WIB. Raja dan Ratu Belanda disambut langsung oleh Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana. Pada kesempatan tersebut, Ratu Maxima menerima karangan bunga dari cucu presiden, Sedah Mirah. Mengutip pemberitaan yang dilansir oleh laman milik pemerintah Indonesia setkab.go.id , setelah diperdengarkan lagu kebangsaan kedua negara, presiden dan raja saling mengenalkan para menteri dan delegasi yang mendampingi kunjungan kenegaraan kali ini. Acara lalu dilanjut sesi foto bersama. Kemudian seluruh rombongan menuju beranda Istana Bogor untuk berbincang dan menyampaikan keterangan pers bersama. “Merupakan tanda yang sangat menjanjikan bahwa dua negara yang pernah berada di pihak yang berlawanan dapat menjalin hubungan yang semakin erat dan mengembangkan sebuah hubungan baru berdasarkan rasa hormat, saling percaya, dan persahabatan. Ikatan di antara kita semakin erat dan beragam. Ini sungguh menggembirakan saya,” ungkap Raja Willem. Sementara menurut presiden, Belanda merupakan salah satu mitra penting Indonesia di Eropa. Kedudukan negara itu cukup strategis di bidang perdagangan, investasi, dan pariswisata. “Di kawasan Eropa, Belanda merupakan mitra dagang Indonesia terbesar kedua, mitra investasi terbesar pertama, dan mitra pariwisata terbesar keempat. Saya menyambut baik kunjungan Sri Baginda yang juga disertai pengusaha Belanda dalam jumlah yang besar,” kata presiden. Rencananya rombongan kerajaan Belanda ini akan berada di Indonesia selama empat hari. Meski hanya memiliki waktu yang singkat, ia menyampaikan keinginannya mengenal lebih dalam Indonesia. “Kami akan melakukan yang terbaik untuk bertemu dan berbicara dengan orang sebanyak mungkin,” imbuhnya. Kunjungan Raja Willem ini merupakan kunjungan ketiga penguasa Belanda ke Indonesia pasca proklmasi. Lantas kapan kunjungan pertama penguasa Belanda ke negeri ini? Kedatangan Ratu Bangsa Belanda diketahui pertama kali datang ke Indonesia pada 23 Januari 1595. Diceritakan sejarawan Universitas Leiden Femme Simon Gaastra dalam De Geschiedenis van de VOC , melalui delegasi dagang yang dipimpin Cornelis de Houtman, orang-orang Belanda berhasil mendaratkan kapal layarnya di Banten. Perjalanan itu menjadi pembuka bagi kehidupan baru bangsa Belanda di Hindia. Namun selama 350 tahun petualangan orang-orang Belanda, tidak pernah sekalipun raja ataupun ratu Belanda menginjakkan kakinya di tanah Hindia. Para penguasa dari Eropa bagian barat itu hanya mengandalkan seorang gubernur jenderal, serta menteri-menteri negeri jajahan sebagai kepanjangan tangan bagi segala keperluan mereka akan negeri yang sedang dijajahnya. Bahkan ketika tahun 1945 Republik Indonesia (RI) resmi berdiri, belum ada pemimpin Kerajaan Belanda yang bersedia hadir. Barulah pada masa kepemimpinan Ratu Juliana (1909-2004), Belanda mulai membuka diri kepada Indonesia. Dijelaskan Majalah Tempo 28 Agustus 1971, jalinan kerjasama antara Indonesia dan Belanda dimulai sejak 1966. Pemerintah Indonesia kala itu menerima bantuan dana sebesar 573.300 juta rupiah dari Belanda. Ratu Juliana dan Presiden Soeharto (Perpusatakaan Nasional Republik Indonesia) Hubungan keduanya semakin harimonis manakala rombongan Presiden Soeharto untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Belanda pada 1970. Lawatan kenegaraan tersebut menjadi salah satu momen terpenting dalam sejarah hubungan kedua negara. Sebagai balasan dari kunjungan itu, Ratu dan Raja Belanda pun datang ke Indonesia pada 26 Agustus 1971. “Permadani merah sehalus beludru dan bunga-bunga anggrek juga harus semerbak akan menyambut Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard pada saat pasangan tamu agung itu menginjakkan kaki di bumi Indonesia,” demikian menurut pemberitaan Pikiran Rakjat 26 Agustus 1971. Pesawat jet Constellation DC-8 yang membawa Ratu dan Raja Belanda mendarat aman di Bandara Kemayoran pukul 13.00 WIB. Diberitakan Harian Kompas 27 Agustus 1971, ribuan orang datang memadati Kemayoran, termasuk para pejabat pemerintah dan pemuka agama yang hadir menyambut kedatangan Ratu Juliana. Presiden Soeharto bersama ibu negara menyambut langsung keduanya di kaki tangga pesawat. Putri Soeharto, Siti Hardijanti Hastuti, kemudian menyerahkan sebuah karangan bunga kepada Ratu Juliana. Dari Kemayoran, rombongan bergerak ke Wisma Negara. Iring-iringan mobil yang dijaga begitu ketat tidak mengurangi antusiasme masyarakat untuk melihat Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard. Mereka yang sedari pagi sudah berkumpul akhirnya dapat menyaksikan secara langsung para penguasa Belanda itu menginjakkan kakinya di Indonesia. Ratu Juliana dan Presiden Soeharto (Wikimedia Commons) Di Istana Merdeka, acara dilanjutkan dengan pertemuan santai antara keluarga presiden dan rombongan ratu. Kemudian disusul acara saling tukar tanda mata sebagai kenang-kenangan atas kunjungan tersebut. Untuk Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard, Soeharto memberi empat gelang emas dan ukiran emas buatan Kendari, serta patung garuda buatan Bali. Sementara Belanda memberi benda-benda kristal sebagai hadiah. “Ini adalah untuk pertama kali seorang Ratu (Raja) yang juga memegang tampuk pimpinan pemerintahan dari Keluarga Oranje (Huis van Oranje) mengadakan kunjungan ke Indonesia, sejak hubungan Indonesia-Belanda hampir 375 tahun yang lalu,” tulis Pikiran Rakjat . “Baik kalangan resmi Belanda maupun Indonesia melihat kunjungan Ratu Juliana ke Indonesia ini sebagai suatu peristiwa yang sangat penting dalam proses saling dekat mendekati dari kedua bangsa.” Safari Ratu Selama berada di Indonesia, Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard berkunjung ke banyak tempat. Keduanya pergi ke Kebun Raya dan Istana Bogor, Bandung, Kawah Tangkuban Parahu, Yogyakarta, Candi Borobudur, Candi Prambanan, Tampaksiring, Ubud, dan beberapa objek wisata di Bali. Selain tempat wisata, Ratu dan Raja Belanda juga mengunjungi tempat-tempat penampungan anak, rumah penyandang disabilitas, dan tempat-tempat sosial lainnya. Menurut Pikiran Rakjat 27 Agustus 1970, mereka bahkan menyempatkan waktu berziarah ke Taman Makam Pahlawan Kalibata dan Pemakaman Belanda di Menteng Pulo. Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard di Tangkuban Perahu, Jawa Barat ( fineartamerica.com ) Sebelum melanjutkan safari ke beberapa tempat di luar Jakarta, Jumat pagi, 27 Agustus 1970, pasangan Tamu Agung dari Belanda itu melakukan kunjungan ke Universitas Indonesia. Mahasiswa-mahasiswa dari seluruh Jakarta diperkenankan untuk hadir dan mendengarkan pidato dari sang ratu. Rektor bersama Dewan Mahasiswa UI kala itu menyambut kedatangan mereka setiba di kompleks kampus. “Jika kalian masih muda dan sudah tidak percaya pada hari-hari esok, itu tidak baik. Demikian pula, kalau kalian sudah lanjut usia, tapi tidak lagi percaya akan masa depan, itupun suatu kekeliruan,” ucap Ratu Juliana sebagimana diberitakan Harian Kompas 28 Agustus 1971. Rombongan ratu tiba di Bandung pukul 16.22 (29/08) dari Bogor. Mereka baru saja menyelesaikan kunjungan di Istana dan Kebun Raya Bogor. Di Bandung, ratu disambut oleh Walikota Bandung R. Otje Djunjunan dan Ketua DPRD Kodya Bandung Irawan Sarpingi. Keduanya mengenakan pakaian adat Sunda. Rombongan lalu diarahkan ke Kantor Gubernuran. Di Kantor Gubernuran, Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard menyaksikan pertunjukan tari dan pawai kesenian khas Priangan yang dibawakan oleh para seniman dari kabupaten-kabupaten di Jawa Barat. Ratu terlihat senang melihat berbagai sajian yang dipersiapkan pemerintah kota Bandung dan Gubernur Jawa Barat Solihin GP. Namun tidak sedikit masyarakat yang kecewa karena tidak sempat bertatap muka dengan rombongan tamu agung dari Belanda itu. “Masyarakat Bandung banyak yang kecewa karena ternyata Ratu Juliana tidak melewati jalan di mana mereka menunggu sejak siang. Sementara itu masyarakat yang berjejal di sepanjang jalan yang dilalui ratu juga banyak yang menyatakan rasa tidak puasnya karena mobil ratu dan rombongan dijalankan terlalu cepat,” tulis Pikiran Rakjat 30 Agustus 1970. Ketika berada di Bandung, ratu menyempatkan waktu mengunjungi Tangkuban Parahu di Subang, Jawa Barat. Keesokan harinya (30/08) rombongan Ratu Belanda sudah berada di Yogyakarta. Pesawat Jet Fokker dari Bandung yang membawa ratu diterima langsung Sri Sultan Hamengkubuwono di Bandara Adi Sucipto. Dari sana, rombongan langsung bergerak menuju Gedung Agung. Ratu Juliana di Bali ( spaarnestadphoto.nl ) Sama seperti di Jakarta dan Bandung, di Yogyakarta pun rakyat telah berkumpul di sepanjang jalan untuk memberi sambutan secara langsung kepada Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard. Malam harinya, jamuan makan telah disiapkan Sri Sultan di Gedung Kepatihan. Kemudian dilanjutkan dengan pameran pakaian pengantin khas keraton Yogyakarta dan Solo. “Selasa sore tamu negara beserta rombongan meninjau Candi Borobudur dan Selasa malam menyaksikan Sendra Tari Ramayana di Prambanan. Ratu Juliana akan berada di Yogyakarta hingga Rabu untuk kemudian meneruskan perjalanan ke Bali sebagai tahap terakhir kunjungan kenegaraan di Indonesia,” tulis Pikiran Rakjat edisi 1 September 1971.
- Repatriasi Artefak Indonesia dan Virus Dekolonisasi
SUDAH 189 tahun keris milik Pangeran Diponegoro berada di Belanda. Kini, keris itu akhirnya dikembalikan pemerintah Kerajaan Belanda kepada Indonesia pada Selasa (3/3/2020) pagi waktu Den Haag. Penyerahan keris dilakukan Menteri Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Ingrid van Engleshoven dan Direktur Nationaal Museum van Wereldculturen Stijn Schoonderwoerd kepada Duta Besar Republik Indonesia untuk Belanda I Gusti Agung Wesaka Puja . Setelah itu keris Pangeran Diponegoro itu diserahkan lagi ke Museum Nasional, Kamis (5/5/2020). Keris itu sempat dinyatakan hilang hingga akhirnya ditemukan dan diidentifikasi tim riset Belanda. Pada 23-24 Februari 2020, Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid bersama sejarawan Sri Margana dan Pemimpin Redaksi Historia Bonnie Triyana mengecek dan mengonfirmasi keris itu di Den Haag sebelum resmi diserahterimakan ke pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). “Jadi kita ke sana sebagai semacam tim yang diminta untuk melakukan review dan konfirmasi, apakah kesimpulan yang dibuat tim riset Belanda sudah benar atau tidak,” ujar Sri Margana kepada Historia. Baca juga: Hilang Ratusan Tahun, Keris Diponegoro Ditemukan di Belanda Bukan hanya sebilah keris kondang itu. Mereka juga menjajaki rencana repatriasi ribuan artefak Indonesia lainnya yang masih tersebar di sejumlah museum Belanda. Keris milik Pangeran Diponegoro yang dikembalikan Belanda ke Indonesia (Foto: rijksoverheid nl) Upaya repatriasi kali ini sedikit berbeda dari yang sudah digulirkan Desember 2019. Saat itu informasi sejarah sekira 1.500 benda yang dikembalikan Museum Nusantara di Delft belum semuanya terdata. Pasalnya pengembalian barang-barang itu berkaitan dengan gulung tikarnya museum tersebut. “Sesuai perundingan dengan pihak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan Belanda, repatriasi nanti bukan semata-mata pengembalian. Tapi ada riset terlebih dulu untuk mendapatkan wawasan pengetahuan yang jelas. Baik itu asal-usul bendanya, sampai soal sebab-musabab benda itu bisa sampai di Belanda,” timpal Bonnie. Gegara Macron Wacana dan inisiasi repatriasi seabrek artefak Indonesia yang masih terebar di sejumlah museum, di antaranya Rijksmuseum di Amsterdam dan Nationaal Museum van Wereldculturen di Rotterdam, datang dari pemerintah Belanda. Gara-garanya wabah “virus” dekolonisasi yang dipicu pidato Presiden Prancis Emmanuel Macron di Universitas Ougadougou, Burkina Faso, 28 November 2017. Muncullah reaksi dari beberapa negara Eropa lainnya yang bertindak sebagai kolonialis di masa lalu. “Iya, wacana repatriasi kali ini datang dari Belanda karena di Eropa muncul banyak desakan mengenai repatriasi benda-benda budaya milik negara-negara koloni, baik itu Prancis, Inggris, Belanda,” lanjut Sri Margana. Baca juga: Belanda Kembalikan Ribuan Benda Bersejarah Macron mencetuskan isu dekolonisasi itu berlandaskan agenda membuka lembaran baru dalam hubungan internasional di kawasan Afrika. Salah satu poinnya adalah pernyataan bahwa benda-benda bersejarah Afrika sudah semestinya dikembalikan para mantan kolonialis. Macron pribadi menjanjikan Prancis mengembalikannya dalam jangka waktu lima tahun. “Warisan Afrika tak boleh hanya eksis dalam koleksi-koleksi pribadi dan museum-museum Eropa. Warisan Afrika mestinya tidak hanya dipamerkan di Paris, namun juga di Dakar, Lagos, dan Cotonou. Pengembalian artefak-artefak ini akan jadi pekerjaan dan kemitraan ilmu pengetahuan dan museum yang besar,” cetus Macron dalam potongan pidatonya, dikutip situs pemerintah Prancis, Élysée , 28 November 2017. Dakar, Lagos, dan Cotonou merujuk pada kota-kota besar di Senegal, Nigeria, dan Benin. Tekanan terhadap negara-negara Eropa lain yang di masa lalu ongkang-ongkang kaki menguasai Afrika mengemuka. Terutama setelah pidato Macron dipublikasikan lebih luas oleh akademisi Senegal Felwine Sarr dan sejarawan Prancis Benedicte Savoy dalam artikel bertajuk “ Rapport Sur la Restitution du Patrimoine Culturel Africain ” pada 23 November 2018. Presiden Prancis Emmanuel Macron (tengah) kala menggaungkan isu dekolonisasi di Universitas Ougadougou, Burkina Faso, 28 November 2017 (Foto: elysee.fr ) Beberapa reaksi positif bermunculan bak jamur di musim hujan. Jerman misalnya, yang menyimpan banyak artefak jarahan dari Namibia, Togo, Kamerun, hingga Tanzania. Pada awal 2019 Ethnologisches Museum Berlin membuka pintu kerjasama tim riset Tanzania dari Universitas Dar es Salaam dalam sebuah proyek berbagi pengetahuan sejarah. Belgia, tempat Musée Royal de I’Afrique Centrale di Tervuren memiliki banyak artefak asal Kongo, mulai berkenan membuka diri, meski belum menyatakan mau mengembalikan. Sebelumnya mayoritas dari sekira 180 ribu koleksi itu disimpan di gudang. Menyusul rampungnya renovasi museum pada Desember 2018, benda-benda asal Kongo itu mulai dipamerkan secara terbuka di ruangan-ruangan khusus. Portugal baru tahap pembahasan di parlemennya. Gagasan repatriasi dimunculkan pada 28 Januari 2020. Inggris memberikan reaksi berbeda. Banyak koleksi artefak asal Afrika Utara dan Afrika Timur tersebar di British Museum di London, Pitt Rivers Museum di Oxford, hingga Victoria & Albert Museum di London. Sayangnya Kementerian Kebudayaan Inggris menolak permintaan repatriasi dari negara-negara asal benda-benda itu. Baca juga: Sepuluh Benda Bersejarah Hasil Repatriasi dari Belanda Keengganan beberapa negara Eropa bisa dimaklumi. Tak serta-merta ingin mengklaim atau memiliki artefak-artefak itu. Namun juga ada kewaspadaan terkait rentannya pengawasan di negeri asal dan potensi lenyap di pasar gelap, sebagaimana juga dikhawatirkan Macron. “Di banyak negara Afrika, kadang para kurator lokal-lah yang mengatur perdagangan barang-barang bersejarah. Karenanya ini adalah pekerjaan besar dan tak boleh ada kelengahan sedikit pun. Karena kalau boleh saya mengatakan, warisan Anda adalah warisan kita semua sebagai warga dunia,” tandas Macron. Pintu Terbuka Belanda sendiri, selain mewacanakan repatriasi benda-benda budaya Nusantara, juga mengembalikan sebuah mahkota raja berbahan tembaga asal Ethiopia dari abad ke-18. Mahkota itu sebelumnya berada di tangan seorang pengungsi Ethiopia, Sirak Asfaw, yang mencari suaka di Belanda empat dekade silam. Asfaw mengaku menemukan mahkota itu di sebuah tas yang ditinggalkan salah satu tamu yang datang ke flat-nya pada 1998. Asfaw enggan segera mengembalikannya lantaran merasa rezim Ethiopia di masa itu justru akan menjualnya, bukan malah melestarikannya. Setelah rezim berganti, dia mengembalikannya ke negeri leluhurnya lewat bantuan Menteri Perdagangan Belanda Sigrid Kaag sebagai kepanjangan tangan pemerintah Belanda. “Senang akhirnya bisa melihat pengembalian mahkota kuno kepada Ethiopia setelah sempat dinyatakan hilang sejak 25 tahun lalu. Pemerintah Belanda mempromosikan perlindungan bagi warisan budaya dunia di bawah perjanjian UNESCO,” kicau Kaag di akun Twitter resminya, @SigridKaag, 20 Februari 2020. Belanda kembalikan mahkota kuno Ethiopia diwakili Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed (Foto: Twitter @SigridKaag) Baca juga: Kisah Benda-Benda Bersejarah Indonesia Dibawa ke Negeri Orang Langkah di atas merupakan salah satu kebijakan pintu terbuka Belanda untuk melakukan repatriasi lainnya, termasuk ribuan artefak Indonesia yang masih tercecer di Negeri Kincir Angin. Sayangnya, lanjut Sri Margono, justru pemerintah Indonesia cenderung pasif menanggapi isu yang sudah bergulir sejak 2017 itu. “Pada pengembalian keris Pangeran Diponegoro, Belanda sudah punya tim provenance research dan kita kemarin hanya mengonfirmasi. Ini menunjukkan ada kehati-hatian. Nah, Indonesia belum punya, kita baru mau menggagas tim itu,” tandas Sri Margana.
- Sentot Alibasah, Panglima Perang Termuda Pangeran Diponegoro
PERANG Jawa dimulai pada 1825 dan menjadi perlawanan paling berat yang pernah dihadapi Belanda. Perlawanan Pangeran Diponegoro dan pasukannya itu menyulut semangat perlawanan seorang pemuda 17 tahun yang kemudian menjadi panglima perang. Ia adalah Sentot Alibasah. Sentot Alibasah Abdulmustopo Prawirodirdjo merupakan putra dari Raden Ronggo Prawirodirdjo III, Bupati-Wadono (kepala bupati) Montjonegoro Timur dengan salah seorang selir. Ibu dari Raden Ronggo Prawirodirdjo adalah puteri Hamengku Buwono I. Jadi, sama seperti Pangeran Diponegoro, Sentot adalah buyut dari Sultan Hamengku Buwono I. Dalam istilah Jawa, hubungan Sentot dengan Diponegoro disebut misan . Menurut sejarawan Peter Carey Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 ,“Sentot” merupakan nama samaran perang atau nama julukan yang berasal dari kata mak sentot yang berarti “terbang” atau “melesat”. Bergabung dengan Diponegoro Soekanto dalam Sentot alias Alibasah Abdulmustopo Prawirodirjo menyebut semangat perlawanan Sentot muncul setelah melihat ngerinya perang yang dilancarkan Diponegoro kepada Belanda. Ditambah lagi, ayah Sentot juga seorang yang keras terhadap kolonial. “Jadi Sentot tumbuh menjadi manusia yang tak sejuk hatinya, seorang yang mengandung dendam kepada Belanda, seorang revolusioner,” sebut Soekanto. Menurut Soekanto, Sentot bergabung dengan barisan Dipo ne goro pada 28 Juli 1826. Sementara Peter Carey menyebut Sentot bergabung dengan Diponegoro pada Agustus 1825 di Selarong. Kala itu usia Sentot baru menginjak 17 tahun. Awalnya, Diponegoro hendak mendidik Sentot menjadi santri. Namun, Sentot tampaknya memang tidak berminat. Ia juga tidak bisa membaca dan menulis. “Sentot tidak bisa membaca maupun menulis dan sejak kecil telah menunjukan rasa malas yang sengit terhadap maksud Diponegoro <…> untuk mendidik Basah ini agar menjadi ‘ulama’,” tulis Justus Heinrich Knoerle dalam jurnalnya seperti dikutip Peter Carey. Pada Agustus 1828, Gusti Basah, salah satu panglima Diponegoro, gugur dalam peperangan. Sebelum meninggal, ia meminta kepada Diponegoro agar yang menggantikannya adalah Sentot. Diponegoro menyetujuinya. Tak lama setelah diangkat sebagai senopati, dalam waktu singkat Sentot telah menunjukan kemampuannya. Pada 5 September 1828, Sentot dikirim ke Progo timur dan berhasil memukul mundur tentara Sollewijn. Beberapa minggu kemudian, peperangan di Bagelen dan Banyumas juga mendapat hasil dan memuaskan. Menurut E.S. de Klerck dalam De Java-oorlog van 1825-1830 , yang dikutip Soekanto, Sentot seringkali memilih penggerebekan sebagai taktik perang. Menggempur sekeras-kerasnya dan penuh tenaga. “Jika Sentot mundur, kemunduran ini terjadi dengan teratur dan kebijaksanaan; tentaranya disebar, sehingga susah menyusulnya dan kerap kali berbahaya, oleh karena tak dapat dipastikan apakah pelarian itu tipu atau tidak; tentara yang memburunya yang formasinya tak tertutup lagi, bisalah menjadi korban!” tulis de Klerck. Kepandaiannya dalam perang gerilya membuat Sentot tak hanya dihormati oleh pasukannya melainkan juga oleh pasukan Belanda. Ia diakui sebagai musuh yang tangguh. “Oleh karena ia sangat pandai dalam peperangan guerilla , berani, dan gilang-gemilang dalam peperangan, ia mendapat nama yang harum dan dihormati oleh kawan dan lawan,” tulis H.P. Aukus dalam Het legioen van Mangkoe Nagoro, seperti dikutip Soekanto. Kejatuhan Sentot Sentot sebagai panglima perang memang tak diragukan lagi. Namun, ternyata urusan uang pajaklah yang kemudian menjatuhkan namanya di depan Diponegoro. Pada Desember 1828, Sentot meminta kepada Diponegoro untuk memimpin seluruh kekuatan pasukannya. Namun tak hanya itu, ia juga meminta untuk mengurusi penarikan pajak secara langsung demi keperluan prajuritnya. Permintaan Sentot ini membuat Diponegoro khawatir karena ia merasa perlu menjamin kebijakan pajak ringan serta tersedianya sandang dan pangan yang murah. “Ia khawatir jika Sentot –yang terkenal dengan gaya hidupnya yang boros– diperbolehkan menggabungkan wewenang pemerintahan dan militer, karena rakyat biasa akan tertindas dan dukungan mereka terhadap perang sucinya akan sirna,” tulis Peter Carey. Diponegoro juga menuliskan keprihatinannya dalam Babad Diponegoro . “Jika ia yang memegang pedang, juga diperbolehkan menggenggam uang, lantas bagaimana? Tidakkah itu membuat terbengkalai?” tulis Diponegoro. Dengan berat hati, Diponegoro akhirnya setuju. Sentot mendapat dua pertiga bagian uang pajak cukai pasar di Kulon Progo dan Bagelen timur. Namun tak lama kemudian, kekhawatiran Diponegoro benar terjadi. Satu kekalahan besar terjadi pada 8 Januari 1829. Kala itu Belanda telah membangun benteng yang baru dan besar di daerah Nanggulan. Namun, Sentot tidak bereaksi cepat karena sibuk dengan urusan keuangan. Ketika Sentot memerintahkan penyerangan, benteng Belanda sudah terlanjur kuat. Pasukan Sentot harus menelan kekalahan. Persoalan pajak juga kemudian berimbas pada ikatan baik antara Diponegoro dengan rakyat. Tanpa kepercayaan rakyat, gerilya Diponegoro tak akan berhasil. Pada September 1829, perlawanan terorganisir di Jawa Tengah selatan berakhir. Sentot akhirnya menyerah kepada Belanda pada 16 Oktober 1829. Penyerahannya menimbulkan kontroversi. Ia disebut mengambil keuntungan pribadi dari penyerahan itu. Alasan lain menyebut ia sebenarnya masih ingin menerukan perang. Namun karena kondisi perekonomian rakyat yang semakin memburuk karena perang tak kunjung usai, Sentot memilih menyerah. Di bawah perintah Belanda, Sentot sempat bertugas di Salatiga, Batavia, dan Karawang. Pada 1832, ia dikirim ke Padang untuk membendung pemberontakan para ulama di sana. Namun, bukannya meredam pemberontakan, pihak Belanda curiga bahwa Sentot memiliki hubungan dengan para pemberontak. Ia kemudian ditahan oleh Belanda dan kembali ke Batavia pada Maret 1833. Dari Batavia, pada Agustus 1833 Sentot dikirim ke Bengkulu untuk menjalani masa pembuangan. Sentot Alibasah Abdulmustopo Prawirodirdjo meninggal dunia di pembuangan pada 17 April 1855 dalam usia 47 tahun.*
- Wabah Virus Global yang Mengacaukan Sepakbola
LIMA liga sepakbola paling kompetitif di dunia, Premier League (Liga Inggris), La Liga (Liga Spanyol), Ligue 1 (Liga Prancis), Serie A (Liga Italia), dan Bundesliga (Liga Jerman) turut terimbas bencana virus corona . Sejumlah laga Serie A malah terpaksa ditunda gegara meledaknya jumlah kasus positif terpapar wabah bernama lengkap Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) itu. Sebelumnya, otoritas sepakbola Inggris, Spanyol, Jerman, dan Prancis sekadar melayangkan kebijakan sejumlah laga dimainkan tanpa penonton. Namun yang terbaru, laga big match Arsenal vs Manchester City pada Rabu (11/3/2020) malam di Emirates Stadium, London, terpaksa ditunda. “Premier League menunda pertandingan kami dengan Manchester City pada Rabu malam sebagai langkah antisipasi,” kicau manajemen Arsenal di akun Twitter -nya, @Arsenal , Rabu (11/3/2020). Italia jadi negara keduadi dunia yang paling parah terpapar wabah corona setelah China, negara asal wabah. Perdana Menteri Giuseppe Conte sampai memberlakukan lockdown di seantero “Negeri Pizza” per 9 Maret 2020. Walhasil tidak hanya laga-laga kompetisi lokal, jadwal Liga Champions dan Europa League yang melibatkan tim-tim Italia dan ber- venue di Italia terpaksa ditunda. Virus corona yang kini menjadi wabah global juga berpotensi merecoki jadwal Euro 2020 yang bakal digelar di 12 kota di 12 negara danOlimpiade Tokyo 2020. Bencana ini seolah mengulang sejarah kala wabah Flu Spanyol mendera dunia 102 tahun lampau. Sepakbola dalam Terjangan Flu Spanyol Sampai sekarang belum ada penelitian yang bisa mengungkap di mana ground-zero Flu Spanyol yang terjadi pada 1918, tepatnya di fase terakhir Perang Dunia I (Februari-November 1918). Virus flunya begitu mematikan dan menyebar dengan cepat lantaran penularannya via udara. Mulanya virus itu menyerang tubuh manusia seperti flu biasa, namun lama-kelamaan penderitanya bakal mengalami pneumonia atau infeksi organ pernafasan yang menyebabkan kematian. Disebut Flu Spanyol karena saat itu sejumlah negara yang terlibat Perang Dunia I (Jerman, Prancis, Inggris, Amerika Serikat)menyensor semua informasi mengenai wabah itu agar tak diketahui publik, utamanya para serdadu yang berperang. Pengecualian hanya Spanyol, di mana negeri di Semenanjung Iberia itu jadi salah satu negara terparah yang terimbas dengan ratusan ribu orang tewas. Oleh karenanya publik global menyebutnya sebagai Flu Spanyol. Merebaknya Flu Spanyol di Spanyol turut meningkatkan keuntungan produsen-produsen disinfektan, Zotal salah satunya (Repro Clinical Infectious Diseases ). Di Spanyol, wabah itu sudah jadi sorotan publik sejak 22 Mei 1918. Dalam artikelnya di Clinical Infectious Diseases, Volume 47 , “The 1918 Spanish Flu in Spain”, Antoni Trilla, Guillem Trilla, dan Carolyn Daer menyebutkan, dari jutaan yang tertular, 260 ribu di antaranya meninggal. Raja SpanyolAlfonso XIII turut jadi satu dari sekian orang yang pertama tertular meski kemudian bisa pulih. Salah satu faktor meledaknya wabah di negeri itu tak lain lantaran sejumlah event sepakbola yang digilai publiknya tak dihentikan. Se lain liga-liga amatir di masing-masing wilayah (La Liga baru hadir 1929) , yang tak dihentikan adalah Copa del Rey alias Piala Raja. Pada edisi 1918, turnamen itu tetap bergulir dengan juaranya Real Unión , yang mengalahkan Madrid FC (kini Real Madrid) 2-0 di stadion Campo de O’Donnell. Para stakeholder sepakbola di Spanyol bukan berarti tutup mata terhadap Flu Spanyol yang mendera saudara-saudara mereka. Andrew McFarland mengungkapkandalam “Building a Mass Activity: Fandom, Class, and Business in Early Spanish Football” yang dimuat Football Fans Around the World, sejumlah klub menggelar laga-laga amal demi menggalang dana bantuan para korban Flu Spanyol. “Contoh terbaik diberikan Atlético de Madrid dan Athletic de Bilbao yang punya kegiatan rutin membantu masyarakat setempat selama wabah berlangsung. Bahkan Athletic de Bilbao beberapakali menggelar laga amal, di mana keuntungan yang didapat dijadikan dana bantuan untuk para keluarga korban di masa sulit itu,” tulis McFarland. Di Inggris Raya, termasuk Skotlandia dan Irlandia, pesatnya penularan Flu Spanyol terjadi seiring pulangnya para serdadu mereka dari palagan di Prancis usai Perang Dunia I. Di Inggris saja tercatat 228 ribu jiwa melayang dan jutaan lainnya positif terpapar, termasuk Perdana Menteri David Lloyd George yang kemudian bisa sembuh. Namun anehnya, sepakbola tidak hanya terus bergulir selama wabah berlangsung namun Inggris malah baru memulai kejuaraan profesional pertamanya. Jumlah peserta Football League First Division edisi ke-45 yang mulai naik level pro bahkan bertambah dari 20 menjadi 22 klub. “Piala FA juga dimulai kembali pada September 1919 dan (mungkin karena ketidaktahuan cara antisipasi dan mencegah Flu Spanyol), nyaris semua pertandingan penuh penonton. Sementara dalam sepakbola wanita, masalahnya lebih kompleks,” ungkap Tim Tate dalam Secret History of Women’s Football . Stadion Stamford Bridge tetap ramai penonton kala final FA Cup 1919-1920 yang dimenangi Aston Villa 1-0 atas Huddersfield Town. (Twitter @thecentretunnel/@GreatestCapital). Sedikit laporan mengenai siapasaja dari dunia sepakbola Inggris yang positif tertular Flu Spanyol, kecuali striker sayap Newcastle United Angus Douglas dan manajer klub Skotlandia Hibernian, Dan McMichael. Keduanya tewas karena Flu Spanyol. Douglas wafat pada 14 Desember 1918 dan McMichael meninggal pada Februari 1919. Di Amerika Latin, virus Flu Spanyol sudah mulai eksis sejak September 1918. Wabah itu dibawa para pelaut yang pulang ke Recife dari perantauan mereka di pesisir barat Afrika. Dengan cepat, wabah itu merambah ke kota-kota besar seperti Rio de Janeiro dan São Paulo. “Dari beberapa sumber disebutkan , kasus-kasus pertama Flu Spanyol di São Paulo berasal dari para pesepakbola amatir asal Rio yang mengunjungi kota (São Paulo). Para pemainnya jatuh sakit di São Paulo pada 9 Oktober, oleh karenanya mereka juga yang menyebarkan penyakitnya ke korban-korban lain di Hotel D’Oeste, di mana tim menginap,” singkap Liane Maria Bertucci dalam artikelnya, “Spanish Flu in Brazil: Searching for Causes during the Epidemic Horror” yang dimuat di The Spanish Influenza Pandemic of 1918-1919 . Puncaknya, sekira 65 persen populasi Brasil positif terpapar Flu Spanyol. Angkakematian di ibukota Brasil,Rio, saja mencapai lebih dari 14 ribu. Satu di antaranya menewarkan Presiden Brasil Francisco de Paula Rodrigues Alves. Bencana nasional itu memaksa otoritas Brasil menunda turnamen Campeonato Sudamericano de Football (kini Copa América) ketiga di tahun itu. Hajatan dengan sistem klasemenitu baru kembali dimainkan pada 1919 di Rio, yang diikuti empat negara: Brasil, Argentina, Uruguay, dan Cile. Copa América 1919 yang akhirnya digelar di Estádio das Laranjeiras di Rio setelah setahun sebelumnya harus ditunda gara-gara Flu Spanyol. (Twitter @ViejosEstadios). Tuan rumah Brasil memenanginya untuk kali pertama dengan catatan dua kali menang dan sekali imbang dalam tiga laga, plus unggul jumlah gol dari runner-up Uruguay meski sama-sama punya lima poin. Gelaran itu jadi hiburan tersendiri setelah Brasil dirundung duka akibat wabah Flu Spanyol yang berhasil mereka atasi. “Gejala Flu Spanyol di Brasil bisa berimbas pada kelainan telinga yang mendengung, kehilangan pendengara n , vertigo, serta kencing dan muntah darah. Pesatnya penyebaran penyakitnya begitu menakutkan,” ujar sejarawan Brasil Pedro Nava, dikutip Laura Spinney dalam Pale Rider: The Spanish Flu of 1918 and How It Changed the World. Pada 1919,Brasil berhasil melaluinya lewat kampanye antisipasi penyebaran Flu Spanyol. Kampanyenya dimulai oleh Carlos Chagas lewat risetnya bersama Oswaldo Cruz Institute. Lewat restu Presiden Venceslau Brás, suksesor Presiden Rodrigues Alves, Chagas merombak birokrasi rumahsakit dan mendirikan lima rumahsakit darurat khusus Flu Spanyolserta 27 klinik serupa yang lebih kecil untuk mengkarantina para pengidap virus Flu Spanyol demi tak menyebarkannya lebih luas. Hasilnya, angka korban tewas berkurang.
- Teror Van der Plank di Tanah Karo
TANAH KARO, 5 Maret 1949, segerombolan pasukan Belanda pimpinan Mayor Van der Plank mengadakan gerakan ke daerah Empat Teran (Simpang Empat) . Begitu tiba di Kampung Sigarang-garang, mereka menyatroni beberapa rumah lalu membakarnya. Di tengah aksi intimidasi itu, sebanyak 5 penduduk diberondong peluru. Kelimanya ditembak mati karena tidak mau menunjukan tempat persembunyian gerilyawan Indonesia. “Kelima penduduk yang menjadi korban keganasan Van der Plank tersebut ialah Benih Karo-karo (kepala kampung yang diangkat oleh pemerintah RI), Katan, Menet, Maca, dan Pa Ngaku,” ujar saksi mata Sumbul Ginting, seperti dikutip Letkol (Purn.) A.R. Surbakti dalam Perang Kemerdekaan II: Tanah Karo Jahe dan Dairi Area. Peristiwa penggerebekan berdarah yang terjadi di Kampung Sigarang-garang tadi bukan hanya terjadi sekali. Sepanjang paruh pertama 1949, Van der Plank melancarkan serentetan teror ke berbagai kampung di Tanah Karo. Van der Plank memimpin satuan polisi antigerilya (Troopen Intellegence Vor Gerilya/TIVG) yang bertugas memburu pejuang Republik. Namun dalam menjalankan tugasnya, pasukan Van der Plank kerap menyertakan tindakan brutal. Di beberapa tempat, mereka menjarah dan membakar kampung yang disambangi hingga membunuh warga setempat. Berkunjung dan Mengeksekusi Sebulan sebelumnya, tepatnya 18 Februari 1949, Van der Plank menyambangi Kampung Batukarang. Di sana, pasukan Van der Plank mengancam penduduk. Bahkan, seturut dengan catatan harian Djamin Gintings, Komandan Resimen IV Divisi X,beberapa warga ada yang ditembak mati di hadapan seluruh penghuni kampung. Menurut Djamin Gintings, Van der Plank kian beringas seiring dengan pukulan yang dilancarkan pejuang Republik. Dalam memberikan reaksi atas serangan-serangan gerilya pasukan Indonesia, Van der Plank melampiaskannya kepada rakyat. Bukan sekedar mengancam, tapi untuk menanamkan rasa takut nan mencekam Van der Plank tidak segan menembak penduduk. “Semakin hebat gerakan pasukan kita, Van der Plank pun rupanya semakin mengganas,” tulis Djamin Gintings dalam catatan hariannya berjudul Bukit Kadir yang dibukukan pada 1964. Van der Plank selalu punya kecurigaan bahwa penduduk kampung melindungi ekstrimis Indonesia. Oleh karena itu, untuk membongkar pertahanan rakyat, dia menebar teror lewat aksi semena-mena. Selain itu, sekitar Februari – Maret 1949, Van der Plank menyerukan sayembara: “bahwa setiap anggota intelijen Belanda (NEFIS) yang dapat menangkap pejuang Republiken diberikan hadiah uang sebesar 1000-50.000 gulden per orang.” Dengan taktik demikian, Van der Plank dapat memburu gerilyawan dan rakyat pro Republik dengan sekali tebas. “Banyak anggota-anggota gerakan ditangkap dari desa satu ke desa lainnya oleh TIVG dibawah pimpinan Mayor Van der Plank yang keji itu,” tulis Tukidjan Pranoto dalam Tetes Embun di Bumi Simalungun. Van der Plank “Cuci Tangan” Pada 9 Juni 1949, Van der Plank menggerakan pasukannya dari Kabanjahe ke kampung Kandibata. Tidak seperti biasanya, waktu yang dipilih Van der Plank justru pada saat ramainya penduduk yang pulang dari sawah dan ladang. Setibanya di Kandibata, pasukan Van der Plank beraksi dengan mengepung dan menggerebek beberapa rumah. Beberapa penduduk ditangkap dan dibariskan. Sebanyak 45 warga Kandibata diinterogasi dengan menayakan nama masing-masing. Dari semuanya hanya 3 orang yang diperintahkan keluar dari barisan. Begitu mereka menyisihkan diri, Van der Plank segera menembaknya hingga mati. Salah seorang yang rebah di tangan Van der Plank itu ialah Selat Purba yang merupakan ayah dari Letnan Riswan Purba. Sementara itu, dua orang lainnya bernama Lenggur Ginting dan Jagut Surbakti. Keduanya merupakan tukang penyadap enau yang sering memberikan air niranya kepada pejuang gerilya TNI Sektor III pimpinan Mayor Selamat Ginting. Ketika pasukan Van der Plank hendak meninggalkan Kandibata, Van der Plank kembali melontarkan ancaman, “Kalau masih ada penduduk yang membantu gerilya TNI, maka semua penduduk kampung ini akan ditembak mati,” catat Surbakti. Aksi semena-semana Van der Plank mereda jelang persiapan Konferensi Meja Bundar (KMB). Saat itu, kesepakatan gencatan senjata sudah efektif untuk melaksanakan local joint commitee pada Agustus 1949 di Medan. Perundingan di tingkat lokal antara pihak Indonesia dan Belanda diawasi oleh UNCI, pihak ketiga yang berasal dari Komisi Jasa Baik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Makanya, TIVG yang berada di bawah komando Van der Plank pun tidak berani lagi berlaku semena-mena terhadap rakyat sipil. Ketika berlangsung local joint commite itulah Letkol Djamin Gintings yang mewakili Tanah Karo untuk kali pertama bersua dengan Van der Plank. Di sela-sela perundingan, Van der Plank sengaja menemui Djamin Gintings yang menginap di Hotel Langkat. Djamin Gintings mengenang sosok Van der Plank sebagai pemilik postur tinggi dan tegap. Van der Plank berusaha menyelamatkan diri sehubungan dengan citra busuknya sebagai penyiksa dan pembunuh sejumlah penduduk di beberapa kampung. Kepada Djamin Gintings, Van der Plank mengklarifikasi bahwa sebenarnya bukan dia yang menangkapi dan menyiksa atau membunuh penduduk sipil, tetapi itu semua perbuatan pimpinan tentara Belanda yang lain. "(Soal) kebenaran ceritanya hanya dia yang tahu,” ujar Djamin Gintings.
- Dihabisi Seperti Anjing Gila
KIRA-kira dua ratus meter dari jalan antara Kaliurang dan Pakem yang menikung ke kanan. Banyak pohon bambu. Sebuah jurang. Dari pinggiran yang tertimbun daun-daun tampak Kali Kuning mengalir. Pagi 21 Desember 1948 pasukan Korps Speciale Troepen (KST atau Korps Pasukan Khusus) di bawah komando Letnan Rudy de Mey dengan jip melaju ke arah tingkungan. Di situ mereka menembak Masdoelhak Nasoetion, Soemarsono dan seorang Jawa lain yang tidak dikenal. Yang terakhir ini penjaga rumah Menteri, dr. Soekiman, yang kelak menjadi perdana menteri. Dua lainya, Tje Kiemas dan Dirdjoatmodjo selamat pada serangan ini. Kiemas yang luka akibat tiga peluru jatuh ke jurang dan tertahan tanah yang empuk. Dirdjoatmodjo meskipun terkena peluru, berhasil menyelamatkan diri. Mereka berdua kemudian dipanggil polisi militer untuk bersaksi.
- Benda-Benda Peninggalan Pangeran Diponegoro
PEMERINTAH Belanda telah resmi mengembalikan keris pusaka Kiai Nogo Silumanmilik Pangeran Diponegoro ke Indonesia. Keris tersebut dibawa Duta Besar Indonesia untuk Belanda I Gusti Agung Wesaka Puja dan diserahkan kepada Kepala Museum Nasional Indonesia Siswanto pada Kamis, 5 Maret 2020. Keris Kiai Nogo Siluman sempat dinyatakan hilang. Melalui riset bertahun-tahun, keris ini akhirnya bisa ditemukan, diidentifikasi, dan dipulangkan ke Indonesia. Pulangnya keris Kiai Nogo Silumanmendapat apresiasi dari banyak pihak. Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan pemerintah akan memberikan kesempatan kepada publik untuk ikut menikmati kebahagiaan ini. “Kami sangat berterimakasih dan berharap pihak Museum Nasional menjaga pusaka ini, betul-betul memastikan keamanan seluruh benda berharga ini,” katanya. Keris Kiai Nogo Silumanmelengkapi koleksi benda-benda sang pangeran Jawa yang saat ini tersebar di beberapa tempat di Indonesia –dua di antaranya tersimpan di Museum Nasional, Jakarta. Berikut benda-benda milik Pangeran Diponegoro yang digunakan semasa hidupnya. Tombak Kiai Rondhan Tombak Kiai Rondhan. (Koleksi Museum Nasional). Sejarawan Peter Carey menyebut tombak Kiai Rondhan menjadi pusaka yang dipercaya Diponegoro mampu melindunginya dari bala. Kehilangan benda tersebut memberinya isyarat timbul kesulitan dan bahaya. Buktinya, setelah tombak itu tak lagi di sisi Diponegoro, percobaan penangkapan atas dirinya kian gencar dilakukan pasukan Belanda. Tombak Kiai Rondhan hilang pada 11 November 1829, tepat di hari ulang tahun ke-44 Diponegoro. Diceritakan Peter Carey dalam Kuasa Ramalan: Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855 , Diponegoro disergap pasukan gerak cepat ke-11 pimpinan Mayor A.V. Michiels di pegunungan Gowong, sebelah barat Kedu, Jawa Tengah. Diponegoro bersama pengikutnya hampir tertangkap, namun berhasil lolos dengan meninggalkan luka di kakinya. Situasi panik membuat beberapa barang miliknya tertinggal: beberapa ekor kuda, tombak pusaka Kiai Rondhan, dan peti pakaian. Dia tak mungkin kembali untuk mengambilnya. Bersama kedua punakawannya, Batengwareng dan Roto, Diponegoro memilih mengembara di hutan-hutan wilayah Bagelen barat. “Hilangnya benda itu sangat berpengaruh terhadap dirinya dan ia menganggapnya sebagai suatu tanda dari Yang Maha Kuasa,” ujar Carey. Tombak Kiai Rondhan dibuat di Yogyakarta pada abad ke-19. Pusaka ini memiliki panjang 98 cm dan diameter 3,2 cm. Batangnya berbahan kayu, berbentuk silinder yang mengecil hingga ke leher tombak. Terdapat lempengan emas melingkar yang memisahkan bahan kayu dan lilitan kawat sampai ke leher tombak. Antara bagian batang dan mata tombak terdapat ukiran dengan balutan emas dan dua batu mulia (semula empat buah). Bilah tombak berbentuk segitiga dengan bahas besi. Tombak Kiai Rondhan menjadi salah satu “hadiah kemenangan” yang dibawa Kolonel Jan-Baptist Cleerens untuk diberikan kepada Raja Willem I. Pada 1976, saat lawatan Ratu Julian ke Indonesia, tombak itu dikembalikan. Kini, pusaka tersebut tersimpan di Museum Nasional lt 4, koleksi emas dan keramik. Keris Kiai Ageng Bondoyudo Tombak Kiai Bondoyudo dalam lukisan Diponegoro karya A.J. Bik ( geheugen.delpher.nl ) Keris Kiai Ageng Bondoyudo disebut-sebut sebagai pusaka paling favorit Pangeran Diponegoro. Keris ini bahkan menemani sang pangeran ke liang lahatnya. Peter Carey mengartikan Kiai Ageng Bondoyudo sebagai “Paduka Tempur Tanpa Senjata”. Namun dalam alam mistis Jawa, Kiai Bondoyudo adalah penguasa semua roh di Cilacap yang putrinya menikah dengan roh lelaki dari keraton Ratu Kidul. Menurut Babad Diponegoro , keris Kiai Ageng Bondoyudo dibuat dengan melebur tiga pusaka lain: keris Kiai Sarutomo, keris Kiai Abijoyo, dan tombak Kiai Barutobo. Keris Kiai Sarutomo diperoleh dari Ratu Kidul ketika Diponegoro bersemedi di Cepuri Parangkusumo. Menurut K.H. Muhammad Sholikhin dalam Kanjeng Ratu Kidul dalam Perspektif Islam Jawa, Ratu Kidul mengingatkan Diponegoro agar tak menerima jabatan apapun yang diberikan Belanda. “Setelah suara itu hilang, jatuhlah sinar dari langit ke depan Pangeran Diponegoro. Ternyata sinar putih itu membawa senjata cundrik. Pusaka itu diberi nama Sarotama (Sarutomo). Dengan cundrik inilah, semangat Pangeran Diponegoro semakin membara,” tulis Sholikhin. Keris Kiai Abijoyo adalah warisan dari ayah Diponegoro tatkala dirinya diangkat menjadi Raden Ontowirjo pada September 1805. Sedangkan tombak Kiai Barutobo dibawa Ngusman Ali Basah, panglima resimen pengawal pribadinya, Bulkio. Diponogoro membawa keris Kiai Ageng Bondoyudo ke pengasingan di Manado kemudian Makassar. Berdasar lukisan Diponegoro karya A.J. Bik, yang dibuat tahun 1830 di Batavia, terlihat sang pangeran membawa serta keris Kiai Ageng Bondoyudo di pinggangnya. Informasi tentang keris ini juga tercatat dalam jurnal perwira Jerman kelahiran Luxemburg yang menemaninya ke pengasingan, Justus Heinrich Knoerle (1796-1833). “Sore ini (27-5-1830) pukul enam Diponegoro menyerahkan kepada saya sebilah keris yang indah dan mahal sambil mengatakan: ‘Lihat inilah pusaka ayah saya, yang sekarang menjadi sahabat Allah, keris ini telah menjadi pusaka selama bertahun-tahun. Ketika ayah saya, Sultan Raja (Hamengkubuwono III) bermaksud menyerahkannya (sebagai) tanda ketaatan kepada Marsekal (Daendels), dia memberikan keris yang sama kepadanya. Marsekal mengembalikan keris itu karena dia tahu keris itu adalah pusaka keramat dan bahwa ayah saya adalah sahabat sejati Belanda’.” Keris yang dibuat pada tahun kedua Perang Jawa ini lebih sebagai jimat dibandingkan senjata tempur. Pelana Kuda Kiai Gentayu Pelana Kuda ( museumnasional.or.id ) Pelana kuda milik Diponegoro tertinggal bersama kuda tunggangannya saat upaya pelarian di wilayah pegunungan Gowong. Dudukan bagi para penunggang kuda ini, kata Peter Carey, digunakan Diponegoro selama masa Perang Jawa. Sementara sumber lain menuturkan pelana kuda tersebut tidak hanya digunakan saat masa perang tapi juga dalam kesehariannya. Pelana kuda Kiai Gentayu menjadi satu dari dua bukti kemenangan Belanda di Jawa. Bersama tombak Kiai Romdhan, pelana ini dibawa sebagai hadiah bagi penguasa Belanda. Kedua pusaka, ditambah keris Kiai Nogo Siluman, disimpan di bagian barang antik di istana Den Haag. Pelukis kenamaan Raden Saleh pernah melihat dan diminta untuk memberi deskripsi bagi benda-benda tersebut. Pelana ini kemudian dipindah ke Museum Veteran Tentara Belanda di Bronbeek, Arnhem. Di bawah ketentuan “Cultural Accord” yang ditandatangani tahun 1969, pelana kuda Kiai Gentayu dan tombak Kiai Rondhan dikembalikan ke Indonesia pada 1976. Kini tersimpan di ruangan yang sama dengan tombak Kiai Rondhan. Menurut informasi yang tertulis dalam buku terbitan Museum Nasional, Treasures of the National Museum Jakarta , bahan dasar pelana adalah kulit, kain, dan besi pada bagian pijakan kaki. Dudukan pelana terbuat dari kain berlapis dengan ukuran panjang 80 cm dan lebar 68 cm. Pada bagian depan dudukan kain terdapat kantong kecil berukuran kurang lebih 10 cm. Peti Pakaian Menurut Wardiman Djojonegoro dalam Sejarah Singkat Diponegoro, peti pakaian ini ikut tertinggal bersama dua benda lainnya, tombak dan pelana kuda. Selama masa pelariannya, Diponegoro membawa beberapa potong pakaian yang tersimpan di dalam sebuah peti. Peter Carey menyebut pakaian-pakaian yang dibawa oleh Diponegoro itu sebagai: “pakaian suci untuk perang”. Dari lukisan yang dibuat Raden Saleh berjudul “Penangkapan Pemimpin Jawa Diponegoro” (1857), dapat diketahui pakaian yang digunakan sang Pangerang. Di sana terlihat Diponegoro memakai pakaian berlapis. Terdapat sorban, jubah, lilitan kain di pinggang untuk menyimpan senjata, celana, dan lapisan kain lainnya. Namun bagi Mayor A.V. Michiels, komandan gerak cepat pasukan Belanda, isi di dalam peti pakaian tak terlalu berharga. Benda-benda itu tak bisa menjadi persembahan bagi kerajaan Belanda. “Bukan suatu kumpulan pakaian yang mengesankan,” ujar Michiels. Keris Kiai Abijoyo Keris Kiai Abijoyo diwariskan oleh ayahnya, Sultan Hamengkubuwono II, saat Diponegoro menginjak usia dewasa. Ketika itu Diponegoro mendapat gelar Raden Ontowirjo, sebagai tanda kesiapannya memerintah kerajaan. “Dia telah mewarisi juga sebilah keris, Kiai Abijoyo, dari ayahnya, barangkali tatkala ia diangkat sebagai Raden Ontowiryo pada September 1805,” tulis Carey. Menurut Carey, Diponegoro sadar bahwa keris pemberian ayahnya itu menjadi bukti bahwa dia sepenuhnya bertanggung jawa atas tugas, serta bukti kekuasaan ganda berupa Ratu Tanah Jawa (Raja Jawa) dan sebagai seorang prajurit di tanah kelahirannya. Keris Kiai Abijoyo merupakan satu dari tiga keris yang dilebur Diponegoro untuk membuat keris Kiai Kiai AgengBondoyudo. Pusaka Lain Pangeran Diponegoro memiliki koleksi besar senjata pusaka berupa keris dan tombak. Sebagian besar dibagi-bagikan kepada anggota keluarga dekatnya. Terutama putra dan putri dari sejumlah pernikahannya. Diponegoro memberikan keris Kiai Bromo Kedali (cundrik) dan tombak Kiai Rondan kepada Pangeran Diponegoro II; keris Kiai Habit (Abijoyo?) dan tombak Kiai Gagasono kepada Raden Mas Joned; serta keris Kiai Blabar dan tombak Kiai Mundingwangi kepada Raden Mas Raib. Keris Kiai Wreso Gemilar dan tombak Kiai Tejo diberikan kepada Raden Ayu Mertonegoro; keris Kiai Hatim dan tombak Kiai Simo kepada Raden Ayu Joyokusumo, tombak Kiai Dipoyono kepada Raden Ajeng Impunl, serta tombak Kiai Bandung kepada Raden Ajeng Munteng. Peter Carey mencatat, berdasarkan babad Keraton Yogyakarta, Diponegoro juga memiliki sebilah keris pusaka keraton, Kiai Wiso Bintul. Namun Ratu Ageng, ibu Hamengkubuwono IV, memintanya karena ada ramalan yang mengatakan: barang siapa memiliki keris itu akan memerintah di Yogyakarta.
- Kubangan Darah Korban Pasukan Khusus Belanda
SUATU hari di tahun 1947. Pagi baru saja menyeruak di Kalibunder, Sukabumi Selatan kala sekelompok prajurit Belanda dari unit DST (Depot Pasukan Khusus) bermunculan dari sudut-sudut desa. Serdadu-serdadu berbaret hijau itu tengah memburu gerilyawan Republik yang beberapa jam sebelumnya telah melakukan penghadangan terhadap konvoi mereka. Tak menemukan orang-orang bersenjata, para serdadu itu malah menangkapi rakyat sipil. Salah satunya adalah Sahi. Bersama 3 warga Kalibunder lainnya, lelaki yang sehari-hari berprofesi sebagai petani itu kemudian dibawa ke pos DST di Nyalindung. “Setelah ditahan beberapa hari di Nyalindung, saya tidak tahu lagi nasib ayah saya,” ungkap Achmad Khumaedi (85), putra dari Sahi. Belakangan, Khumaedi mengetahui dari keterangan orang-orang Takokak bahwa sang ayah dan kawan-kawannya ditembak mati oleh militer Belanda di kawasan Ciwangi. Tubuh mereka dikuburkan dalam satu lubang dan baru dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Cigunung Putri puluhan tahun kemudian ketika dia mendapat kepastian bahwa tulang belulang yang ditemukan para penduduk dekat pabrik teh Ciwangi adalah ayahnya. “Saya yakin itu ayah saya, karena saya masih mengenal gesper dan cincin yang dikenakannya,” ujar Khumaedi. Sahi hanya salah satu dari ribuan korban keganasan DST (sejak Januari 1948 berubah nama menjadi Komando Speciale Troepen, disingkat KST). Selain di wilayah Ciwangi dan Takokak, antara tahun 1946—1949, unit yang dipimpin oleh Si Turki (julukan untuk Kapten R.P.P. Westerling) pun pernah meninggalkan jejak berdarah juga di kawasan lain. Berikut beberapa tempat yang pernah menjadi kubangan darah akibat keganasan KST: Sulawesi Selatan Sumber-sumber sejarah dari pihak Indonesia kerap menyebut angka 40.000 sebagai jumlah korban keganasan lasykar Si Turki di Sulawesi Selatan pada Desember 1946—Januari 1947. Selain pembunuhan, mereka pun melakukan berbagai aksi pemerkosaan sebagai salah satu metode kontra gerilya. Almarhum Maulwi Saelan (veteran pejuang Sulawesi Selatan) menjadi saksi atas kekejaman serdadu Baret Hijau itu. Salah satu rekan seperjuangannya Kapten Andi Abubakar, komandan Bataliyon I Resimen III Divisi Hasanuddin, bahkan dipenggal kepalanya oleh DST. Padahal sang kapten sedang ada dalam status sebagai tawanan dan kondisinya tengah terluka. “Mereka mempertontonkan kepala Kapten Andi di tengah Pasar Enrengkang untuk melemahkan semangat perjuangan pemuda setempat,” ujar Maulwi. Westerling sendiri tak pernah mengakui pasukannya membunuh 40.000 orang. Dalam biografinya De Eenling (Sang Penyendiri), dia hanya mengakui jumlah pembantaian itu tidak sampai 10.000 orang. Rawagede Pada 9 Desember 1947 militer Belanda meyerbu Desa Rawagede (sekarang bernama Balongsari) di Karawang. Mereka yang terlibat dalam penyerbuan itu adalah Yon 3-9-RI Divisie 7 December, sebagian kecil prajurit 1e Para Compagnie dan 12 Genie Veld Compagnie pimpinan Mayor Alphons J.H. Wijnen. Menurut surat kabar Berita Indonesia edisi 15 Desember 1947, Insiden Rawagede diawali oleh kejadian pada 3 Desember 1947. Ketika itu, seorang putra dari agen MID (Dinas Intelijen Militer Belanda) yang berkebangsaan pribumi ditangkap dan disiksa di suatu rumah kosong yang terletak di Rawagede. Namun ia berhasil meloloskan diri dan melaporkan kejadian yang menimpanya kepada sang ayah. Dalam laporan itu disebutkan pula bahwa di Rawagede terdapat konsentrasi satu pasukan besar dari kaum Republik. Bersama seorang kawannya, agen MID yang tak disebut namanya itu lantas melaporkan informasi tersebut ke pihak militer Belanda di Karawang. Maka dikirimlah satu pasukan besar di bawah pimpinan Mayor Alphons. Di dalam pasukan itu ikut serta pula dua unit dari DST. “Diduga mereka adalah bekas algojo-algojo dari Sulawesi Selatan,” tulis wartawan Berita Indonesia . Apa yang dicurigai oleh pihak militer Belanda tak sepenuhnya salah. Menurut Kastal, di Rawagede memang ada terkonsentrasi pasukan Republik dari TNI dan lasykar. “Di Rawagede, ada markas Hizbullah, markas Barisan Banteng, markas Pesindo dan sekelompok kecil TNI dari Madiun,” ungkap eks komandan regu Hizbullah Rawagede itu. Namun kekuatan-kekuatan bersenjata itu hanya sebagian kecil dari penghuni Rawagede. Alih-alih menjadi markas besar, mayoritas penghuni Rawagede adalah petani. Maka tak aneh, jika korban terbesar dari operasi pembersihan yang dilakukan Mayor Alphons dan anak buahnya adalah mereka. Ketika bertemu dengan Telan dan Kastal, saya sempat menyebut satu persatu nama-nama korban Pembantaian Rawagede yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Sampurnaraga, Rawagede. Mereka memastikan dari 181 nama itu, hanya 15 orang yang diyakini sebagai anggota lasykar dan TNI. Sisanya adalah penduduk sipil termasuk seorang lelaki gila. Pihak Yayasan Rawagede sendiri mengklaim jumlah korban tewas dalam pembantaian itu sebenarnya lebih banyak yakni 431 orang. Itu tentu saja jauh lebih besar dibanding versi pihak Belanda yang hanya mengakui korban ulah tentaranya di Rawagede hanya 150 orang saja. Takokak Nama Takokak mungkin masih asing bagi para peneliti kejahatan perang Belanda di Indonesia. Namun jika anda ke sana, deretan 68 makam di Taman Makam Pahlawan Cigunung Putri seolah menjadi bukti tak terbantahkan bahwa pasukan Baret Hijau pimpinan Westerling bernah menebar maut di kawasan yang masuk dalam wilayah Kabupaten Cianjur itu. Syahdan antara 1947-1949, militer Belanda kerap menghabisi para tawanan perang di Takokak. Mereka merupakan orang-orang yang ditangkap di wilayah Sukabumi dan Cianjur dan dihukum mati tanpa melalui suatu pengadilan yang jelas. Salah satunya adalah Sahi, ayah dari Achmad Khumaedi. “Yang menjalankan hukuman mati itu pasukan Belanda baret hijau pimpinan Si Werling (mungkin maksudnya Westerling),” ungkap Atjep Abidien (95), salah satu eks pejuang Indonesia di Takokak. Berapa jumlah pasti orang-orang sipil yang menjadi korban pembantaian oleh militer Belanda di Takokak? Hingga kini, belum ada informasi pasti soal tersebut. Namun para saksi sejarah yakin bahwa jumlah sebenarnya bisa mencapai ratusan bahkan mungkin ribuan orang . “68 kerangka yang dimakamkan di Cigunung Putri itu baru yang berasal dari Puncak Bungah, dari tempat-tempat lainnya kan belum digali,” ungkap Atjep. Rengat Rabu pagi, 5 Januari 1949. Rengat diserang militer Belanda. Setelah lebih dari 5 jam pesawat-pesawat pembom mereka menghujani kota yang terletak di Riau tersebut, 7 Dakota lantas menerjunkan 180 prajurit KST. Aksi militer yang bertajuk Mud Operation (Operasi Lumpur) itu dipimpin oleh Letnan Rudy de Mey, seorang perwira pertama KST yang sangat dekat dengan Westerling. Begitu menjejakan kaki di tanah dan rawa, para prajurit KST langsung merangsek dan menguasai titik-titik penting di Rengat. Meskipun awalnya mereka harus terlebih dahulu menghadapi perlawanan sengit pasukan TNI dari Batalyon III Resimen ke-4 Divisi IX Banteng Sumatera. Demikian menurut J.A. de Moor dalam Westerling's Oorlog (Perang Westerling). Setelah tak menemukan lagi perlawanan, pasukan KST melakukan pembersihan besar-besaran. Mereka memburu para prajurit TNI dan rakyat sipil yang bersembunyi di parit-parit sungai lalu membantainya tanpa ampun. Seorang saksi bernama Wasman Rads berkisah bagaimana para prajurit KST menjejerkan para penduduk di bantaran Sungai Indragiri lalu menembak mati mereka seketika. “Air sungai yang keruh berubah menjadi kemerah-merahan (karena darah yang mengalir dari banyak tubuh korban),” ungkap Wasman seperti dikutip oleh Tim Penyusun buku Peristiwa 5 Januari 1949 di Kota Rengat Indragiri Riau suntingan Suwardi. Dalam catatan pihak Indonesia (berdasarkan keterangan di tembok prasasti peringatan Tragedi Rengat), korban tentara dan rakyat sipil yang tewas adalah 1500 orang. Namun yang teridentifikasi namanya hanya 186 orang. Pihak Belanda sendiri hanya mengakui korban tewas 270 orang. Menurut peneliti sejarah asal Belanda Anne Lot Hoek, kendati diakui oleh pihak Belanda, namun besar kemungkinan mereka menganggap banjir darah di Rengat sebagai “pembunuhan di antara sesama orang Indonesia.” Itu mengacu kepada banyaknya prajurit KST yang terlibat berasal dari Ambon. Surakarta Kamis, 11 Agustus 1949. Gencatan senjata sebenarnya sudah diberlakukan antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda. Namun di Surakarta (Solo), pemberlakuan itu seolah tak ada pengaruhnya. Itu dibuktikan dengan ditembak matinya seorang prajurit TNI bernama Samto oleh KST pada pukul 04.00. Penembakan itu memicu kembali pertempuran kota antara kedua pihak. TNI yang merasa dicurangi lalu membalas dengan suatu serangan yang membuat beberapa prajurit Baret Hijau itu terluka. Jatuhnya korban di pihak KST menjadikan mereka berlaku membabi-buta. Bukan hanya TNI, semua yang berbau Republik mereka hantam tanpa ampun. Begitu matahari terbit, dari basis mereka di benteng Vastenbrug, pasukan KST langsung bergerak ke rumah dr. Podmonegoro di Kampung Gading yang merupakan pos darurat milik PMI. Sesampai di sana, mereka mengobrak-abrik serta menyembelih tujuh petugas PMI dan 14 pengungsi yang tengah menjalani perawatan. “Setelah mengamuk di Gading, mereka melakukan pembantaian juga di Kampung Kratonan dan Jayengan,” demikian menurut Tim Panitia Monumen Perjoangan Surakarta dalam Pasukan Greencap Membantai Rakyat . Sementara itu, dalam waktu yang sama kelompok baret hijau lainnya menebar maut di Kampung Kebonan. Mereka menahan 22 penduduk sipil di sebuah rumah, menelanjanginya lantas menyembelih sembilan orang di antaranya. Salah seorang tawanan berhasil kabur dan melaporkan kejadian tersebut ke pos TNI terdekat. “TNI lantas melakukan pengejaran dan penyergapan, pertempuran pun berlangsung seru dengan akhir mundurnya pasukan Baret Hijau kembali ke basis mereka di Benteng,” demikian menurut buku Pertempuran Empat Hari di Solo (Surakarta) dan Sekitarnya yang diterbitkan oleh Kerukunan Eks Anggota Detasemen II Brigade 17. Secara keseluruhan aksi KST itu menimbulkan korban yang cukup besar. Ada 433 mayat yang ditemukan usai situasi Surakarta lepas dari teror Baret Hijau. Korban paling banyak ditemukan di wilayah Laweyan yakni sekira 300 mayat. Sebagian besar dari mereka tewas akibat disembelih atau ditusuk dengan menggunakan sangkur. Pihak Belanda sendiri terkesan ingin menutup-nutupi kejadian itu. Saat bertemu dengan pihak TNI yang diwakili oleh Letnan Kolonel Slamet Rijadi, Kolonel van Ohl hanya bisa berjanji bahwa dirinya akan menarik secepatnya pasukan KST dan membawa para pelaku pembunuhan rakyat sipil ke pengadilan militer. Pada 14 Agustus 1949, Wakil Tinggi Mahkota Belanda Dr. A.H.J. Lovink menulis surat kepada Menteri Seberang Lautan J.H. van Maarseveen dan parlemen Belanda. Dia memohon agar peristiwa pembantaian rakyat sipil di Surakarta bisa dirahasiakan. “Sebab akan sangat merugikan kehormatanpemerintah Kerajaan Belanda…” demikian seperti dikutip Julius Pour dalam Ign. Slamet Rijadi: Dari Mengusir Kenpeitai sampai Menumpas RMS
- Van der Plank dan Kejahatan Perang di Sumatra
Di Kampung Berastepu, Tanah Karo, puluhan serdadu Belanda melepaskan tembakan secara membabi-buta. Rumah-rumah penduduk digerebek. Mereka merampas harta benda pemilik rumah. Selain itu, beberapa warga kampung yang dicurigai ditangkap lalu ditembak tanpa pemeriksaan. Menurut Sumbul Ginting warga setempat yang menyaksikan kejadian tersebut, ada 9 penduduk kampung Berastepu yang ditembak mati oleh Belanda. Mereka antara lain: Meltah Sembiring, Mestik Karo-Karo, Muniken Karo-Karo, Manik Ginting, Alar Karo-Karo, Kitik Sitepu, Masar Ginting, Naik Sembiring, dan Baban Sembiring. “Demikianlah pada tanggal 1 Juni 1949 tentara Belanda yang berkekuatan 60 orang di bawah pimpinan Van der Plank telah menggerakan pasukannya dari Simpang Empat Surbakti ke Kampung Berastepu, melalui jalan setapak Jeraya dan Tambesi,” catat mantan veteran Perang Kemerdekaan, Letkol (Purn.) A. Surbakti dalam Perang Kemerdekaan II: Tanah Karo Jahe dan Dairi Area . Setelah melakukan penembakan di Berastepu, Van der Plank menggerakan pasukannya ke Kutagamber. Di kampung tersebut, pasukan Van der Plank juga menembak seorang penduduk bernama Babah, berasal dari Gurukinayan. Dari Kutagamber, pasukan Van der Plank kembali ke pangkalannya melalui Kutatengah. Kepala Polisi Istimewa Van der Plank nyaris tak berbeda dengan Westerling. Keduanya sama-sama pernah bertugas di Sumatra Utara untuk menumpas tentara Republik Indonesia dalam berbagai operasi kontra-gerilya. Nama Van der Plank pun dikenal sebagai perwira Belanda yang sangat bengis. Jika Westerling menjalankan aksi sadisnya di Kota Medan, maka jejak berdarah Van der Plank membekas di Tanah Karo. Dalam catatan hariannya yang diterbitkan berjudul Bukit Kadir , Djamin Gintings mengenang sosok Van der Plank yang berperawakan tinggi dan tegap. Di masa kolonial, Van der Plank merupakan Kepala Polisi Istimewa Hindia Belanda. Ketika Jepang menguasai Hindia Belanda, Van der Plank merana. Tentara Jepang menyiksanya sebagai tawanan di Brastagi, Tanah Karo. Setelah Jepang kalah perang, Belanda kembali ke Indonesia untuk menjajah lagi. Van der Plank pun mendapatkan posisinya semula sebagai kepala Polisi Istimewa berpangkat mayor. Van der Plank mulai menebar teror sejak Belanda melancarkan agresi militernya yang pertama pada Juli 1947. Pasukan Belanda menekan dengan memblokade basis ekonomi di kawasan Sumatra Timur. Semua satuan bersenjata Indonesia ditarik ke pedalaman Tapanuli. Akibatnya, rakyat yang berpihak pada Republik terpaksa meninggalkan Sumatra Timur dan ikut mengungsi ke pedalaman. “Dalam suasana yang kurang terkoordinasi inilah Van der Plank dengan Troopen Intellegence Vor Gerilya (TIVG) melakukan perang urat syaraf dan melakukan infiltrasi ke daerah-daerah rawan, sepanjang jalur pengungsi dan penarikan mundur kesatuan-kesatuan TNI/lasykar,” tulis Tukidjan Pranoto dalam Tetes Embun di Bumi Simalungun . Infiltrasi unit TIVG yang dipimpin Van der Plank acap kali menimbulkan keresahan. Mereka menjadikan TNI dan unsur pejuang dari kesatuan lasykar saling curiga-mencurigai. Menurut Tukidjan, kelompok Van der Plank ini berperan dalam memecah belah kelompok pejuang pendatang dari Sumatra Timur dengan pejuang yang berasal dari Tapanuli. Salah satu nya politisasi isu terhadap Barisan Harimau Liar (BHL) yang dicap sebagai lasykar penjahat. Pengacau di Tanah Karo Karena pernah ditawan Jepang di Brastagi, Van der Plank cukup mengetahui seluk daerah Tanah Karo. Sebagai komandan TIVG, Van der Plank doyan melakukan patroli dari kampung ke kampung lalu menangkapi warga setempat. Warga yang dicurigai akan ditahan dan diperiksa untuk mengorek keterangan dengan cara dipukuli ataupun disengat listrik. Dalam interogasi yang menyakitkan itu, mereka dipaksa memberikan informasi mengenai basis TNI, siapa pemimpinnya, dan siapa saja penduduk yang bekerja sama dengan TNI. Pada Desember 1948, dua penduduk di Gurukinayan dan kepala kampung Payung yang diangkat oleh pemerintah Republik ditembak mati. Sebelum dieksekusi, kepala kampung yang berusia lanjut tersebut terlebih dahulu dipukuli dan kemudian dilepas. Kepala kampung yang merasa tidak aman itu lalu menghindar melalui persawahan yang berada di belakang rumahnya. “Pada waktu berada di tengah sawah itulah orang tua itu ditembak dan meninggal di tempat,” tulis Djamin Gintings dalam Dari Titi Bambu ke Bukit Kadir: Saat Genting di Medan Tempur Catatan Harian Jamin Gintings . Rakyat di Tanah Karo mafhum, dini hari merupakan waktu yang kerap dipakai Van der Plank dan pasukannya untuk bergerak. Itulah sebabnya, penduduk kampung khususnya laki-laki sejak sore hari lewat petang sudah berangkat meninggalkan kampung menuju tempat yang lebih aman. Mereka biasanya pergi ke sawah atau ladang dan menjadikan pondokannya sebagai tempat tidur. Demi keamanan, mereka yang melarikan diri berkelompok bergantian berjaga. Bila hari sudah terang dan tidak ada kabar patroli Van der Plank barulah mereka pulang ke rumah. Demikianlah, teror yang berkecamuk di Tanah Karo semakin merajalela dan itu bermuara kepada satu nama: Van der Plank. (Bersambung)
- Horor Chucky dalam Kehidupan Nyata
PERINGATAN untuk setiap orangtua. Awasi tontonan yang dikonsumsi anak-anak Anda jika tidak ingin tragedi Sawah Besar, Jakarta Pusat pada Kamis (5/3/2020) terulang kepada siapapun. Di hari yang nahas itu, seorang bocah berusia enam tahun disiksa dan dibunuh remaja berusia 15 tahun yang terinspirasi karakter horor macam Slenderman dan Chucky. “Dia (pelaku) sudah sampaikan bahwa, ‘saya hobi nonton film horor misalnya Chucky, Slenderman’, mungkin dia punya inspirasi,” sebut Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus, dikutip Kumparan , Sabtu (7/3/2020). Chucky adalah nama karakter penjahat berupa sebuah boneka dalam franchise film Child’s Play . Karakternya pertamakali muncul dalam film perdana Child’s Play pada 1988.Inti filmmengisahkan perjalanan teror dan aksi sadis pembunuh berantai bernama Charles Lee Ray. Demi melarikan diri dari kejaran polisi, ia melakoni ritual voodoo yang mentransfer jiwanya ke dalam sebuah boneka “Good Guy”. Bonekanya lantas dimiliki seorang bocah dan dari situlah teror dan sejumlah aksi brutalitas Lee Ray dalam tubuh sebuah boneka yang menjadi hidup. Film perdana yang digarap sineas Tom Holland itupun meledak di pasaran. Hingga 2019, sudah delapan kali franchise yang menampilkan karakter Chucky dibuat dengan beragam variasi cerita, termasuk Child’s Play (2019) yang merupakan reboot dari versi 1988. Melahirkan Chucky Karakter boneka hidup nan sadis itu merupakan “anak rohani” penulis skenario Don Mancini. Mulanya, ia menciptakan karakter antagonis itu bernama Buddy, berdasarkan salah satu boneka anak buatan Hasbro, “My Buddy”. “Mulanya dari naskah coba-coba berjudul Blood Buddy yang saya tulis sendiri saat kuliah di UCLA (University of California, Los Angeles) pada 1985,” kisah Mancini dikutip Sean Abley dalam Out in the Dark. Namun untuk menghindari pelanggaran hak cipta, ia mengubahnya, termasuk nama karakternya dari Buddy menjadi Chucky. “Adalah David Kirschner yang membawa naskah itu ke MGM yang tertarik dan merekrut Tom Holland untuk menyutradarinya. Meski naskahnya sedikit diubah, saya tetap dicantumkan dalam credit sebagai penulis naskah aslinya dan sah sebagai pencipta Chucky dan Child’s Play ,” imbuhnya. Don Mancini (kiri) dan Kevin Yagher, pencipta karakter Chucky sebelum diproduksinya film perdana Child's Play pada 1988 (Foto: IMDb/kevinyagher.com) Untuk membuat Chucky di atas kertas menjadi boneka hidup betulan, pihak MGM yang memproduksi Child’s Play (1988) lantas mempercayakan desainnya pada pakar efek spesial kondang Kevin Yagher. Dengan perusahaan khusus specialeffects yang didirikannya, Kevin Yagher Productions, Yagher sudah jadi jaminan mutu membuat karakter horor menjadi hidup, seperti karakter ikonik Freddy Krueger di film A Nightmare on Elm Street (1984), di antaranya. Menukil Robert Englund dan Alan Goldsher dalam Hollywood Monster , khusus untuk karakter Chucky, Mancini minta tokoh ciptaannya itu penampakannya dibuat sedikit mirip boneka “My Buddy”. Ciri-cirinya seperti berambut merah, berukuran rata-rata balita sungguhan, memakai sepatu merah, sweater motif garis-garis, pakaian overall berkancing merahserta memiliki mata yang biru. “Lalu Kevin membuat banyak sketsa Chucky, sampai kemudian kami sampai pada pilihan finalnya. Dia lalu membuat boneka pertamanya dari sketsa itu dan detail-detail karakter dari naskah saya,” ujar Mancini lagi. Lima Kasus Kekejian Terinspirasi Chucky Banyak film action , thriller , dan horor jadi inspirasi laku kejahatan keji. Karakter Chucky dalam beragam seri filmnya pun turut “andil” dalam sejumlah aksi kriminal mengerikan, sebagaimana kasus remaja 15 tahun yang membunuh bocah enam tahun di Sawah Besar, Jakarta Pusat, baru-baru ini. Kasus lain adalah penculikan, penyekapan, penyiksaan, dan percobaan pembunuhan terhadap Suzanne Capper, remaja berusia 16 tahun asal Manchester, Inggris, pada Desember 1992. Suratkabar The Independent , 1 Desember 1993 mengisahkan, Capper, remaja korban broken home , diculik mantan pengasuhnya, Jean Powell, pada 7 Desember 1992 sebelum disekap dan disiksa lima pelaku lain kenalan Powell di rumahnya. T ak puas melakukan penyiksaan tak terperikan terhadap Capper hingga sepekan, komplotan pelaku kemudian berusaha membunuh korban di sebuah padang rumput dekat Stockport. Korban ditelanjangi kemudian disiram bensin dan pelaku menyulut api ke tubuh korban. Yang tak diketahui komplotan pelaku, ternyata Capper masih hidup ketika mereka meninggalkannya dalam keadaan terbakar hidup-hidup. Dengan sisa-sisa tenaga dan rasa perih karena luka bakar nyaris 80 persen, Capper melarikan diri dan minta pertolongan ke pengendara lain yang ia temukan. Capper lantas dilarikan ke rumahsakit dan sempat menyebut nama-nama pelaku sebelum korban mengalami koma, di mana nyawanya tak tertolong pada 18 Desember 1992. Menurut keterangan polisi yangsegera menciduk para pelaku, saat menyiksa korban, komplotan Jean Powell acap meneriakkan kata-kata ikonik dalam film Child’s Play : “ Chucky’s coming to play ” (Chucky datang untuk bermain). Dalam beberapa metode penyiksaan, korban jugadijejalkan lagu tema filmnya, “ Hi, I’m Chucky. Wanna Play ?”. Suzanne Capper (kiri) & James Bulger, korban penyiksaan dan pembunuhan yang terinspirasi Chucky oleh para pelakunya (Foto: Wikipedia) Kejadian lebih mirip terjadi tak berjauhan dari tragedi sebelumnya, yakni pembunuhan James Bulger, bayidua tahun asal Kirkby, Merseyside, Inggris, 12 Februari 1993. Kejadiannya mirip dengan yang terjadi di Indonesia lantaran pelakunya juga masih di bawah umur, yakni Robert Thompson dan Jon Venables, keduanya baru menginjak usia 10 tahun. Majalah The Sunday Times edisi 3 April 2011 menguraikan, Bulger diculik Thompson dan Venables yang sedang bolos sekolah dari mal New Stranddi Bootle saat ibunya lalai dalam pengawasan. Bulger kemudian dibawa ke sebuah lahan tersembunyi dekat Stasiun Keretaapi Walton & Anfield. Dari catatan forensik, terdapat 42 luka di sekujur tubuh akibat sejumlah penyiksaan yang dialami bayi manis itu. Dalam keadaan sekarat, tubuh korban diikat di rel kereta dan tubuhnya terbelah dua setelah terlindas keretaapi yang lewat. Sisa-sisa jenazah korban baru ditemukan dua hari setelahnya, 14 Februari 1993. Kedua pelaku ditangkap berdasarkan rekaman CCTV di mal tempat korban diculik. Dari pemeriksaan kedua pelaku mengaku bahwa aksi mereka terinspirasi film Child’s Play 3 (1991) y an g mereka t onton secara diam-diam dari video yang disewa ayah salah satu pelaku, Jon Venables. Kasus lain adalah penembakan massal di situs sejarah Port Arthur, Tasmania, Australia pada 28-29 April 1996. Tragedi yang dikenang sebagai pembantaian terburuk dalam sejarah modern Australia itumenewaskan 35 orang dan melukai 23 orang lainnya. Pelaku tunggal, Martin Bryant, disebutkan melakukan penembakan lantaran terinspirasi film Child’s Play 2 (1990). Seperti pengakuan Mary (bukan nama sebenarnya), mantan pacar pelaku, Bryant begitu mengidolakan karakter jahat Chucky. “Dia sangat menyukai Chucky dan selalu menceritakan tentang karakternya setiap waktu. Ada dialog dalam film itu yang sering digunakan Bryant dalam percakapan: ‘Jangan macam-macam dengan Chuck.’Dia merasa keren saat mengucapkannya,” aku Mary kepada Herald Sun yang dikutip news.com.au , 8 Maret 2016. Kembali ke Inggris, lingkungan keluarga yang kacau jadi faktor pendorong kakak-beradik berusia 11 dan 10 tahun menculik, menyiksa, dan melakukan percobaan pembunuhan terhadap dua bocah lainberusia 11 dan 9 tahun di Edlington, South Yorkshire, Inggris, 4 April 2009. Menukil BBC , 5 April 2009, kedua pelaku tidak hanya menyiksa namun juga melakukan pelecehan seksual terhadap dua korbannya. Dua karakter Tiffany Valentine yang menjadi pacar Chucky, menjadi inspirasi seorang gadis membunuh sejumlah tunawisma di Moskva (Foto: kevinyagher.com ) Dari pemeriksaan polisi dan persidangan, salah satu pelaku yang memotori kejahatan sadis itu diketahuisejak usia enam tahunkecanduan film-film dari DVD porno dan film-film horor, beberapa di antaranya film-film Chucky. Kedua pelaku dijatuhi hukuman penjara dengan masa tahanan yang tak ditentukan. “Virus” kebengisan Chucky juga merambah Rusia. Sekelompok geng di Moskva dengan entengmelakukan pembunuhan terhadap 15 tunawisma dengan senjata tajam sepanjang Juli 2014-Februari 2015. Mengutip Daily Mail , 22 Juni 2017, salah satu pelaku, Elena Lobacheva, sangat bangga membantai belasan tunawisma itu dengan membayangkan dirinya sebagai Tiffany Valentine, karakter boneka jahat yang jadi pacar Chucky di film Bride of Chucky (1998). Ia bahkan punya tato di lengan kanannya bergambar Tiffany Valentine dan mengaku sebagai pembunuh utama dalam tujuh pembunuhan dari 15 korban geng itu. “Dia sangat menikmati pembunuhan itu. Dia selalu bercerita tentang penyiksaan dan mutilasi tubuh korban. Dia tertawa saat membunuh dan terlihat jelas dia sangat menikmatinya,” aku Pavel Voitov, salah satu rekan pelaku di tengah persidangannya di Pengadilan Kota Moskva.
- Sajian dari Beragam Pasar Kuliner
SUASANA malam Minggu di kawasan Jalan Bangka, Kelurahan Lateng, Kabupaten Banyuwangi, begitu meriah. Banyak orang lalu-lalang untuk mencari dan menikmati sajian kuliner khas Timur Tengah di lapak-lapak yang berjejer di pinggir jalan. Di sana, setiap malam Minggu, ada pasar wisata kuliner yang sayang kalau dilewatkan. Namanya Arabian Street Food (Arasfo). Arasfo sudah diresmikan oleh Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas pada 31 Oktober 2019. Keberadaannya melengkapi pasar wisata khusus tiap pekan yang digagas Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Awalnya aktivitas Arasfo digelar setiap Kamis malam tapi kemudian diubah jadi Sabtu malam dimulai pukul 16.00 - 22.00. “Setelah ada masukan dari para tokoh di Lateng, jadwal yang semula Kamis diganti Sabtu, sebab kalo Kamis malam itu saatnya orang tahlilan,” ujar Bupati Banyuwangi Azwar Anas saat membuka Festival Pasar Wisata Kuliner di arena Arabian Street Food, Banyuwangi, 29 Februari 2020. Ada beragam sajian khas Timur Tengah yang disajikan dalam acara Arasfo. Ada makanan berat seperti nasi kebuli, mandhi, briyani hingga kambing guling. Ada kudapan seperti khamir, roti maryam, shawarma hingga kebab. Ada juga minuman macam kopi Arab, kopi Turki, naknak, pokak hingga aneka teh. Siapa tak tergiur. Di Arasfo terdapat 126 menu hidangan ala padang pasir yang terbagi dalam 29 lapak. Para penjajanya, khususnya laki-laki, memakai jubah dan sorban. Menariknya lagi, pengunjung juga bisa menikmati musik dan tarian gurun pasir atau belanja beragam kosmetik. Benar-benar semarak. Acara Arasfo digelar di Lateng bukan tanpa alasan. Sejak dulu Lateng merupakan permukiman orang-orang Arab sehingga lebih dikenal orang sebagai Kampung Arab. Penyerbukan Kuliner Terbentuknya komunitas Arab punya akar sejarah yang panjang. Pada abad ke-18, Tanah Jawa dibanjiri imigran Hadramaut (sebuah provinsi di Yaman), Hijaz, dan Mesir. Selain berdakwah, mereka mencari peruntungan dengan berdagang di kota-kota pelabuhan seperti Batavia, Banten, Cirebon, Surabaya, Pekalongan, dan Semarang. Lambat-laun, mereka menyebar ke wilayah-wilayah lainnya. “Maka, sejak itu, muncullah kampung-kampung Arab lengkap dengan tradisi, budaya, dan kuliner khas mereka” tulis L.W.C van den Berg dalam Orang Arab di Nusantara . Banyuwangi menjadi salah satu wilayah yang didatangi para imigran dari Hadramaut. Menurut catatan van den Berg, jumlah orang Arab di Banyuwangi tahun 1885 sebanyak 356 orang; terdiri dari 84 laki-laki, 25 perempuan, dan 247 anak yang lahir di Banyuwangi. Suasana Pecinan Street Food di kawasan Karangrejo, Banyuwangi, yang menyajikan aneka kuliner khas masyarakat Tionghoa. (Dok. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi). Jejak-jejak keturunan Arab bisa dilihat pada Makam Syekh Abdurrahim atau dikenal masyarakat setempat dengan sebutan Datuk Ibrahim Bauzir, yang dipercaya sebagai ulama dari Hadramaut dan penyebar Islam di Banyuwangi. Ada sekolah Ar Irsyad yang diresmikan Syeikh Ahmad Soorkaty, pendiri organisasi Al Irsyad, tahun 1927. Gedungnya sudah berganti Pasar Blambangan setelah sekolah dipindahkan ke depan pasar tersebut. Ada juga Masjid At Taqwa yang dibangun 1923 dan Masjid Al Hadi, yang masing-masing dibangun tahun 1923 dan 1967. Bukan hanya berperan dalam pendidikan dan penyebaran agama Islam, orang-orang Arab ikut andil memberi pengaruh pada khazanah makanan. Mereka membuat makanan sesuai selera lidahnya namun dengan bahan-bahan yang tersedia di sini. Nasi kebuli, misalnya, menggunakan bahan-bahan khas Nusantara seperti ketumbar, cengkih, kayu manis, salam koja, mentimun, dan bawang merah Nasi kebuli, martabak, gulai, maraq, dan sambosa adalah berbilang nama di antara masakan khas Arab. Sajian khas itulah yang bisa dinikmati pengunjung dari dalam maupun luar kota pada acara Arasfo setiap akhir pekan. Pasar Kuliner Arasfo hanyalah salah satu konsep pasar kuliner tematik yang dikembangkan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Saat ini, tak kurang ada 19 pasar kuliner yang tersebar di berbagai kecamatan dengan waktu yang berbeda-beda. Di setiap pasar setidaknya terdapat 40 pelapak yang menjual aneka jajanan. Sebut saja Pecinan Street Food, Pasar Jajanan Olehsari, Pasar Wit-Witan, Pasar Kampung Kopat, Pasar Seni dan Jajanan Rakyat Banyuwangi (Pasjari), dan Pasar Kuliner Porobungkil. "Di tengah kelesuan ekonomi, kita perlu terus berinovasi untuk menggerakkan berbagai sektor. Pasar kuliner ini adalah salah satu cara untuk mendongkrak ekonomi lokal di masing-masing desa," ujar Abdullah Azwar Anas. Inovasi memang menjadi kunci keberhasilan Banyuwangi dalam memajukan perekonomiannya. Tak heran jika berkali-kali Banyuwangi dianggap kabupaten paling inovatif dan kreatif di Indonesia. Yuk, datang ke Banyuwangi!






















