top of page

Hasil pencarian

9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • 200 Tahun Multatuli, Penyadar Rakyat Indonesia

    Tanggal 2 Maret adalah hari lahir Multatuli. Hari ini, 2 Maret 2020, Multatuli genap 200 tahun. Peringatan hari lahirnya Multatuli sebaiknya dijadikan tradisi yang akan terus diulang pada setiap tahunnya. Ada orang bertanya: mengapa? Multatuli penting sebagai pengarang, pengarang besar yang secara kebetulan berkebangsaan Belanda. Negeri kecil tempat ia lahir. Mengapa Multatuli harus diperingati. Mengapa tidak memperingati Liebig, Moliere, Schiller, Goethe, Heine, Lamartine, Thiers, Say, Malthus, Scialoja, Smith, Shakespeare, Byron, Vondel… Jawabannya, karena di samping kebesarannya sebagai pengarang, Multatuli besar pula sebagai seorang humanis. Multatuli yang menuntut keadilan bagi rakyat Indonesia. Dialah orang pertama yang mengatakan, bahwa orang Indonesia pun sama manusianya dengan orang kulit putih, manusia dengan segala sifat-sifat dan konsekuensi-konsekuensinya. Multatuli yang pertama kali berteriak bahwa “Orang Jawa diperlakukan dengan buruk!”, “Orang Jawa dieksploitasi secara berlebihan!” Multatuli menuntut hak dan keadilan bagi “orang Jawa” bagi bangsa Indonesia. Multatuli melakukan hal tersebut dengan gagah dan penuh keberanian. Ia mengorbankan kedudukan dan kariernya untuk memasuki kehidupan yang bahkan hingga kematiannya penuh kepahitan, kemelaratan, dan penderitaan. Multatuli jelas menentang pengisapan dan penindasan. Multatuli menuntut kasih sayang, perikemanusiaan, dan pengertian. Meskipun belum kepada terhapusnya penjajahan. Akan tetapi, Multatuli telah berupaya untuk membuka mata dan pikiran dunia tentang busuknya kolonialisme di Hindia serta memberi inspirasi kepada bangsa Indonesia untuk merdeka. Kepada Multatuli, bangsa Indonesia berutang budi. Karena itu kalau ada pengarang Belanda yang paling dikenal di Indonesia dialah Multatuli. R.A Kartini dan Sukarno mendapat pengaruh Multatuli. Juga para pemimpin lainnya. Lalu, apakah sebenarnya yang diperjuangkan Multatuli? Apakah yang digugat oleh Multatuli? Multatuli menggugat tanam paksa yang memberi keuntungan berlimpah kepada kaum penjajah. Ia menggugat liberalisme yang saat itu sedang dipropagandakan. Ia menggugat rodi, menggugat permintaan paksa, dan korupsi dengan menggunakan jabatan. Multatuli memiliki arti politik penting ke arah timbulnya perubahan-perubahan cara pemerintahan di Indonesia. Meskipun seberapa besar dan jauh pengaruhnya masih dapat diperdebatkan. Tapi di antara kita, bukankah masih ingat kepada pidato Havelaar di hadapan para pemimpin Lebak, juga petikan-petikan kisah Saidjah dan Adinda. Itulah sedikit di antara yang memengaruhi hati dan pikiran kita. Bukankah kesadaran di hati dan pikiran kita timbul dari Multatuli? Masihkah ada pertanyaan mengapa kita memperingati Multatuli? Kita tidak perlu lagi bertanya: mengapa? Multatuli lahir di Amsterdam, 2 Maret 1820, dan meninggal di Ingelheim, Jerman, 19 Februari 1887. Multatuli telah memberikan landasan bagi sosialisme di Belanda sebagaimana yang ditempuh oleh Pieter Jelles Troelstra, pendiri Partai Buruh Sosial Demokrat Belanda. Dia juga telah menjadi dasar bagi pelaksanaan politik etis di Hindia Belanda, yang membuka kesempatan pendidikan bagi warga bumiputera. Setelah menempuh berbagai penugasan di Manado dan Natal, Sumatera Utara, Eduard Douwes Dekker mulai bertugas sebagai asisten residen di Rangkasbitung, Lebak, Januari 1856. Tiga bulan bertugas di Lebak, dia mendapat laporan tentang penyelewengan yang dilakukan oleh Bupati Lebak Adipati Karta Natanagara. Laporan Dekker kepada Residen Banten Brest van Kempen tidak ditanggapi malah menyebabkan pemecatannya sebagai asisten residen Lebak. Ketika kembali ke Eropa, pada 1859 Dekker mengurung dirinya dalam sebuah kamar hotel di Brussel, Belgia, menuliskan riwayat pengalamannya semasa bertugas di Hindia Belanda. Di bawah nama pena Multatuli (berarti “aku yang banyak menderita”), dia mengungkapkan bagaimana pemerintah kolonial menjalankan sistem penidasan bagi rakyat Jawa. Novel Max Havelaar atau Persekutuan Lelang Dagang Kopi di Hindia Belanda terbit perdana pada 1860, dianggap sebagai pembuka aib penjajahan Belanda di Indonesia, sekaligus tonggak kesusasteraan modern di Belanda. Ronald van Raak, anggota parlemen Belanda dari Partai Sosialis (SP), menghargai jasa Multatuli dalam membongkar praktik-praktik menyimpang yang terjadi di Hindia Belanda. Menurutnya, Multatuli adalah raja diraja dari semua pembongkar kejahatan. “Apa yang telah dia lakukan telah membawa dampak yang berharga: sebuah undang-undang kerajaan yang telah disahkan untuk melindungi para pembongkar kejahatan. Tidaklah sia-sia baginya mempersembahkan karyanya, Max Havelaar , kepada Raja Willem III dengan harapan agar raja bisa menyelesaikan masalah penyelewengan yang terjadi di Hindia Belanda,” ujar Ronald seperti dikutip dari historia.id. Pada kenyataannya memang tak ada yang dilakukan oleh Raja Willem III untuk menyelesaikan persoalan di negeri jajahannya. Dampak politis dari penerbitan roman Max Havelaar baru terasa menjelang akhir abad ke-19, di saat kaum liberal seperti Van Deventer, mempertanyakan apa yang telah dilakukan pemerintah kolonial Hindia Belanda atas warga jajahannya. Muncul pula kesan kalau roman Max Havelaar lebih menyerupai sebuah gugatan atas ketidakadilan yang terjadi di Hindia Belanda ketimbang novel biasa. “Ini bukan sekadar roman biasa, melainkan sebuah gugatan,” kata Winnie Sordrager, ketua Perhimpunan Multatuli yang juga pernah menjabat menteri kehakiman Belanda periode 1994-1998. Winnie adalah cicit kemenakan dari Eduard Douwes Dekker. Mengutip kalimat pengarang novel Bumi Manusia , Pramoedya Ananta Toer(dalam Andre Vltchek & Rossie Indira, Saya Terbakar Amarah Sendirian , KPG, 2006, hlm. 15) yang menempatkan Multatuli sebagai sosok penting dalam sejarah Indonesia dengan alasan: “Saya masih berpendapat bahwa Multatuli besar jasanya kepada bangsa Indonesia, karena dialah yang menyadarkan bangsa Indonesia bahwa mereka dijajah. Sebelumnya, di bawah pengaruh Jawaisme, kebanyakan orang Indonesia bahkan tidak merasa bahwa mereka dijajah.” Itulah penghormatan Pram terhadap Multatuli yang disebutnya sebagai penyadar rakyat Indonesia; bahwa sebenarnya mereka tengah dirantai oleh belenggu penjajahan –terlepas dari status si penulis sebagai orang Belanda.

  • Menemukan Kembali Saidjah dan Adinda

    PADA 1987, tepat pada seratus tahun kematiannya, sebagai wartawan lepas dari sebuah stasiun radio di Belanda, saya dan seorang kawan menelusuri perjalanan Eduard Douwes Dekker alias Multatuli yang pernah bertugas sebagai asisten residen Lebak mulai Januari sampai April 1856. Berbekal roman Max Havelaar yang saya baca sejak masa sekolah di Belanda, saya melihat kembali apa yang pernah Multatuli lihat pada seratus tahun sebelumnya. Medio 1987 kami tiba di Rangkasbitung setelah melalui perjalanan yang cukup panjang dari Jakarta melalui Serang dan Pandeglang. Sama seperti Max Havelaar yang datang ke Serang terlebih dahulu untuk melaporkan diri kepada Residen Banten Brest van Kempen, kami berangkat dari Jakarta langsung menuju Serang menggunakan mobil melalui rute sama dengan yang Multatuli tempuh menggunakan kereta kudanya pada awal 1856. Saat itu belum ada jalan tol yang menghubungkan Jakarta ke Serang. Tiba di Serang siang, kami mengunjungi kembali alun-alun Serang di mana rumah dinas residen Banten berada tak jauh dari sana. Rumah tersebut sempat beralih fungsi menjadi kantor gubernur Banten dan kini tak lagi digunakan. Dalam kisahnya, Max Havelaar sempat menginap satu malam di rumah Residen Banten Brest van Kempen sebelum melanjutkan perjalanan ke Rangkasbitung pada pagi keesokan harinya. Dalam roman Max Havelaar , Multatuli menulis kisah perjalanan itu di Bab V. “Pagi-pagi jam sepuluh ada keramaian yang tidak lazim di jalan besar yang menghubungkan daerah Pandeglang dengan Lebak. 'Jalan besar' mungkin terlalu hebat untuk jalan kecil yang demi menghormati dan karena tidak ada yang lebih baik, disebut jalan; tapi jika kita, dengan kereta empat kuda berangkat dari Serang, ibu kota Bantam, dengan maksud untuk pergi ke Rangkasbetung, ibu kota baru daerah Lebak, maka bolehlah dipastikan bahwa kita akan sampai ke tempat itu sesudah beberapa waktu. Jadi, memang itu jalan. Saban sebentar kereta masuk ke dalam lumpur, yang di tanah rendah Bantam itu padat, liat dan kental…” Lumpur memang tak lagi kami temukan dalam perjalanan dari Serang menuju ke Rangkasbitung. Jalanan aspal menghubungkan Serang ke Rangkasbitung melalui Pandeglang saat itu jelas lebih baik ketimbang yang dilintasi oleh Multatuli ketika datang untuk pertama kalinya ke Rangkasbitung. Perjalanan menempuh waktu nyaris seharian, sejak pagi hingga sore, mulai dari Jakarta sampai ke Rangkasbitung. Jalanan berlumpur baru kami temukan ketika menempuh perjalanan dari Rangkasbitung ke Badur, desa di mana Saidjah dan Adinda berasal. Dua kilometer ke arah luar kota menuju Cileles, mobil yang kami tumpangi terjebak lumpur. Ban selip terbenam di dalam lumpur tanah liat kental, sehingga mobil tak beranjak jalan. Tanpa bantuan penduduk yang berkumpul di sepajang jalan berlumpur itu mungkin saya tak pernah sampai ke desa Badur. Pengalaman itu mengingatkan saya kembali kepada apa yang ditulis Multatuli di dalam novelnya. “...Setiap kali terpaksa diminta bantuan dari penduduk di desa-desa dekat situ, – meskipun tidak terlalu dekat, sebab desa-desa itu tidak banyak di daerah itu – , tetapi apabila kita akhirnya berhasil mengumpulkan dua puluh petani dari sekitar situ, maka biasanya tidak lama kemudian kuda-kuda dan kereta sudah berada di tanah keras lagi… Demikian perjalanan diteruskan beberapa waktu tergoncang-goncang, sampai datang lagi saat yang menyedihkan, kereta masuk lagi sampai ke-asnya kedalam lumpur,” demikian tulis Multatuli.  Bukan hanya lumpur yang jadi penghalang perjalanan kami saat itu, tapi juga jembatan kayu yang bobrok, tak layak lagi digunakan menghampar di hadapan seakan menyambut kami memasuki Cileles. Mungkin jembatan itu sudah puluhan tahun tak pernah diperbaiki. Balok kayu yang tersusun di atas jembatan tak lagi terikat rapi dan ajeg menyisakan celah longgar, membuat ban mobil truk angkutan kelapa yang berada di depan mobil saya terperosok ke dalamnya. Untuk beberapa jam lamanya perjalanan tertunda. Kami turun dari mobil dan ikut membantu menurunkan semua kelapa dari bak mobil tersebut untuk membuat beban mobil ringan dan bisa melaju lagi. Kami pun melanjutkan perjalanan dan tiba di Cileles menjelang magrib. Seorang lurah berbaik hati memberi tumpangan menginap pada sebuah pondok tanpa listrik. Pelita yang menerangi kegelapan malam itu hanya terpancar dari sebuah lentera dengan sumbu berlumur minyak kelapa.       Mungkin cara yang sama untuk menerangi malam juga digunakan oleh penduduk pada abad di saat Multatuli masih tinggal di Lebak. Padahal saat itu sudah seabad Multatuli pergi meninggalkan daerah yang membuatnya senang ditugaskan kesana. Beberapa hal agaknya memang belum banyak berubah saat itu. Diam-diam saya mulai sedikit percaya kalau Multatuli tak sekadar menulis fiksi. Perjalanan kami lanjutkan pada pagi hari, menuju ke desa Badur, tempat Saidjah dan Adinda berasal. Saya penasaran ingin menyaksikan langsung kondisi warga desa yang pernah digambarkan oleh Multatuli hidup dalam kemiskinan, tertindas dan penuh ketakutan. Mereka, kata Multatuli, tak bisa memanen padi yang ditanamnya sendiri dan memilih meninggalkan desa untuk mencari penghidupan yang lebih baik di kota. Ada yang mujur, namun lebih banyak yang berujung nahas: tewas di ujung senapan serdadu karena melancarkan pemberontakan melawan pemerintah kolonial. Tiba di Badur menjelang siang. Matahari bersinar terang menyengat kulit, membuat keringat terus menerus mengucur membasahi kemeja. Padi terlihat mulai menguning, sementara ilalang yang mengering bergoyang-goyang diterpa angin. Desa Badur terlihat sepi. Tak banyak penduduk di luar rumah. Sekelompok anak kecil bermain bersama seekor kerbau yang sedang digembala. Dua anak kecil di antaranya terlihat sedang menungganginya. Pada sudut lain desa, dua anak perempuan bercengkerama. Salah satunya tampak merapikan rambut gadis kecil yang ada di hadapannya. Apa yang diceritakan Multatuli sulit untuk saya bantah. Kondisi desa terlihat jauh dari kata sejahtera. Sebagian warga Badur masih memilih untuk meninggalkan desa, seperti seabad sebelumnya, merantau ke kota lain mengadu nasib. Kami sempat memfilmkan situasi itu: mendokumentasikan anak-anak kecil yang bermain dengan seekor kerbau, situasi desa dan semua yang kami temui di Badur. Setelah berkeliling desa, dengan buku Max Havelaar di tangan, kami kembali ke Rangkasbitung melalui rute yang berbeda. Menghindari jalan berlumpur dan jembatan rusak yang kami lalui sehari sebelumnya. Di Rangkasbitung, kami menginap pada sebuah hotel yang sederhana, berada di sebelah bioskop dan berseberangan dengan terminal. Kami punya kesempatan untuk melacak jejak Multatuli lebih leluasa sepulangnya dari Badur. Tempat pertama yang kami tuju adalah sebuah rumah yang pernah dihuni oleh Multatuli ketika dia bertugas jadi asisten residen. Rumah itu terletak di belakang rumah sakit yang kala saya mengunjunginya pada 1987 masih berfungsi sebagai kantor pemerintahan. Ketika saya tiba di sana, sebagian rumah telah berganti rupa menjadi bangunan yang lebih modern. Rupanya rumah asli telah hancur dan mungkin dipugar. Namun sisa-sisanya masih dapat bisa dilihat, terutama lantai ubin kuno motif persegi lima berwarna hitam dan putih. Rupanya bekas rumah asisten residen tersebut sedang diperbaiki, menambahkan bangunan lain yang baru di tempat yang sama. Pembangunan agaknya tak mengindahkan aspek pelestarian atau mungkin tak banyak yang tahu kalau rumah tersebut bangunan sejarah yang pernah ditinggali oleh penulis yang karyanya sempat menggemparkan negeri kolonial. Dari kejauhan saya lihat tukang bangunan membuang begitu saja ubin kuno yang berasal dari bangunan rumah. Saya memutuskan untuk memungut dua ubin dari tempat sampah: satu berwarna hitam dan satu lagi berwarna abu-abu keputihan. Dua ubin itu saya simpan dan kemudian hari saya bawa pulang ke Belanda. Pengalaman kunjungan ke Lebak seratus tahun setelah kematian Multatuli itu sangat membekas dalam benak saya. Ketika sedang mendokumentasikan situasi kota Rangkasbitung di tahun 1987 itu, seorang aparat militer mendekati kami. Menegur untuk tidak merekam film sembarangan. Kami digelandang ke kantor Dinas Sosial Politik yang berada tak jauh dari alun-alun. Diminta untuk menjawab pertanyaan dari pejabat kantor dan mengikuti seluruh proses administratif, termasuk menunggu keluarnya surat izin selama tiga jam lebih. Setelah memenuhi permintaan untuk membayar 30 ribu rupiah, kami bisa keluar tenang dengan surat izin di tangan. Di Lebak, saat itu, saya melihat kondisi telah berubah namun sisa-sisa bayangan masa lalu yang kelam masih tertinggal di sana. Bayangan itu kemudian saya temukan kembali saat saya pergi ke Lebak 32 tahun kemudian setelah kunjungan pertama saya pada 1987. Di tahun 2019 saya pergi mengunjungi Museum Multatuli yang setahun sebelumnya sudah diresmikan. Sebuah kebetulan jika salah satu dari dua ubin yang sempat saya selamatkan dari tong sampah pada 1987 ternyata bisa menjadi koleksi tetap museum. Ubin tersebut menjadi salah satu benda yang diserahkan oleh Multatuli Huis, Amsterdam kepada Bupati Lebak Iti Octavia dalam kunjungannya ke Belanda April 2016. Ubin hitam, simbol kelam kekejaman kolonial tetap menjadi koleksi Multatuli Huis, Amsterdam, sementara yang abu-abu keputihan, simbol perdamaian atas masa lalu yang suram, diserahkan kepada bupati Lebak. Pada 2019, saya dan beberapa kawan memutuskan untuk membuat sebuah film dokumenter menggunakan dokumentasi yang pernah saya bikin dari tahun 1987. Lagi-lagi saya kembali mengunjungi desa Badur. Berbekal rekaman film buatan 32 tahun lalu, saya mencari anak-anak kecil yang pernah saya rekam. Saya merasa beruntung karena masih bisa menemukan dua orang anak, Rasti dan Jumar, yang kini telah dewasa dan menikah. Saya penasaran apa yang terjadi pada hidup mereka selama 32 tahun terakhir. Rasti, gadis kecil yang terlihat sedang merapikan rambut adiknya pada dokumentasi film saya di tahun 1987, kini berusia 37 tahun, sudah menikah dan dikaruniai seorang anak. Apa yang terjadi padanya 30 tahun terakhir sejak dia difilmkan? Rasti hanya sekolah sampai Madrasah Ibtidaiyah (sekolah Islam setara Sekolah Dasar). Dalam usia 12 tahun dia harus bekerja jadi pembantu rumah tangga pada sebuah keluarga di Jakarta demi menghidupi ibunya yang telah menjanda dan seorang adiknya. Sementara itu, Jumar, anak angon kerbau yang juga sempat terdokumentasikan oleh saya, nasibnya tak jauh berbeda dari Rasti. Jumar hanya mengenyam pendidikan Sekolah Dasar Islam. Melanjutkan pendidikannya ke pesantren namun tak pernah menyelesaikannya karena memutuskan untuk menikah pada usia remaja. Setelah empat kali menikah, Jumar kini membuka usaha bengkel las sendiri di desa Badur. Setelah melihat data statistik tentang indeks rata-rata lama sekolah di Kabupaten Lebak tahun 2018, saya bisa paham mengapa Rasti dan Jumar tidak bisa mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Data itu memperlihatkan kenyataan kepada saya bahwa rata-rata kesempatan anak untuk sekolah hanya mencapai 6,7 tahun. Artinya mereka hanya mengeyam pendidikan sampai kelas enam sekolah dasar dan sempat mencicipi tujuh bulan di bangku sekolah menengah tanpa pernah bisa meneruskan lagi pendidikannya.  Buat saya, Rasti dan Jumar seperti gambaran Saidjah dan Adinda di masa kini. Mereka terpaksa bertarung untuk nasib yang lebih baik di tengah himpitan kondisi yang serba tak menentu. Dua abad lebih setelah roman Max Havelaar terbit ternyata jauh lebih banyak melibatkan para intelektual untuk berdebat di seputar soal apakah karya Multatuli itu fiksi atau fakta? Namun, mereka mungkin tak pernah berkesempatan untuk melihat langsung bagaimana nasib rakyat Lebak sesungguhnya yang sampai hari ini tak banyak beranjak dari kenyataan getir untuk hidup dalam ironi “tak bisa memanen padi yang ditanamnya sendiri.”

  • Mencegah Bayi Mati Karena Tetanus

    SERPONG pada tahun 1970 masih terhitung daerah pedalaman. Jalan masih tanah berbatu, listrik tak ada, wilayahnya pun masih didominasi kebun. “Dulu waktu Papa dinas di Tangerang, tahun 70-an ya, main paling jauh ke selatan ya Serpong. (Pohon, red .) Karet semua. Sering nembak rusa, berburu,” ujar Eddy Hidayat, wiraswastawan di Bogor, kepada Historia  mengisahkan masa kecilnya ketika sering diajak berburu oleh ayahnya yang tentara. Di wilayah itu, jumlah petugas medis terbatas. Pasca-kemerdekaan hingga 1970-an, hanya ada satu dokter yang menangani seluruh wilayah Tangerang. Dialah dr. Kimar Wiramihardja. Saking jarangnya dokter, pada 1950 Kementerian Kesehatan berupaya mendatangkan sekira 200 dokter dari India dan Eropa barat, seperti dimuat dalam Antara , Sabtu 1 November 1950. Maka ketika dr. Firman Lubis, yang juga dosen Fakultas Kedokteran UI, akan mengadakan proyek penelitian kesehatan di Serpong (Proyek Serpong) pada 1970, dr. Kimar amat senang. Ada juga dokter yang akan meringankan beban kerjanya. Lantaran Serpong belum teraliri listrik, Firman pun harus mencari kulkas berbahan bakar minyak untuk menyimpan obat-obatan. Dalam bukunya Jakarta 1970-an, Firman menceritakan, lampu teplok dan pompa air jadi teman akrabnya kala Proyek Serpong. Dalam mengerjakan proyek itu, Firman dibantu beberapa peneliti dan dokter dari Indonesia dan Belanda, salah satunya sosiolog Anke Borken Niehof. Bantuan dari sosiolog dan antropolog itu memungkinkan pengerjaan dilakukan dengan pendekatan antropologi-medis. Dalam temuan timnya, hubungan sosial antara dukun beranak dan pasiennya terjalin erat dan kekeluargaan. Hubungan ini terbangun lantaran hampir semua dukun bayi memberikan pertolongan tambahan seperti memandikan bayi, mengobati demam, dan pegal linu. Pertolongan semacam ini, tambahnya, bersifat sosial-psikologis yang mendekatkan hubungan dukun-pasien sekaligus membuat para dukun beranak sangat dipercaya oleh masyarakat. Imbasnya, dukun bayi dianggap sebagai pemimin informal. Meski di beberapa kampung terdapat bidan atau mantri, kebanyakan penduduk masih lebih suka lari ke dukun jika menemui keluhan kesehatan. Beberapa alasan yang disebutkan Firman ialah, ketidaktahuan mereka akan tenaga medis atau kekhawatiran kalau-kalau mereka tak akan sanggup membayar. Perkara melahirkan misalnya. Dalam catatan Firman hingga 1970-an, hanya 20% peralinan tercatat ditangani oleh tenaga medis, sisanya lebih memilih meminta bantuan dukun bersalin. Kedekatan hubungan ini tentu menyulitkan tim peneliti Proyek Serpong. Salah-salah bukan menanggulangi masalah kesehatan malah buyar. Ia pun paham kalau model pelarangan pada para dukun hanya akan menimbulkan konflik sosial. Maka, alih-alih menyingkirkan para dukun, ia menggunakan cara yang jauh lebih halus, yakni melatih para dukun tentang hiegenitas dan kebidanan dasar. “Kita ingin berusaha agar dalam waktu yang akan datang bayi yang baru lahir tidak akan meninggal karna penyakit tetanus lagi,” kata Firman dalam laporannya. Temuan dalam laporan Proyek Serpong menyebut bahwa penyebab utama kematian bayi kebanyakan ialah tetanus. Para bayi bisa terjangkit lantaran setelah lahir, tali pusat mereka dibubuhi abu agar cepat kering bukan alkohol dan iodium. Kondisi ini tentu mengkhawatirkan. Pada 1950 misalnya, angka kematian bayi mencapai 600.000 dalam setahun sementara angka kematian ibu mencapai 55.000. Cara-cara seperti inilah yang kemudian dibenahi. Penggunaan bambu ( welad ) dianggap berbahaya sehingga para dukun dibekali tetang ilmu kebidanan dasar, hieginitas, dan medical kit . Isinya gunting, klem, dan alkohol. Kala itu, ada dua orang dukun beranak yang diajar Firman dan para bidan, yakni Mak Kancas dan Mak Icot. Keduanya sudah berusia senja dan buta huruf. Namun dengan penyampaian materi yang lucu dan santai, mereka bisa lekas paham. Firman bahkan mengadakan arisan di setiap pertemuan untuk mendekatkan tim medis dengan para dukun. Alhasil, suasana akrablah yang terjadi. Tidak ada intimidasi, pandangan merendahkan, atau penyingkiran. Lantaran cukup berhasil, proyek serupa dilakukan pula di Yogyakarta. Bidan Nunik Endang Sunarsih, Wakil Ketua Pengurus Besar Ikatan Bidan Indonesia menceritakan pada Historia pengalamannya mendampingi dukun beranak pada 1980-an. Tiap selapan (lima minggu) Nunik membuka pelatihan kebidanan pada para dukun beranak di Yogyakarta. Misinya ialah mengurangi risiko kematian bayi akibat tetanus dengan mengajari para dukun tentang hiegenitas dan melarang mereka menggunakan sembarang ramuan untuk membungkus tali pusat bayi. Dalam tiap pertemuan, Nunik akan meminta para dukun untuk menceritakan proses persalinan yang mereka tangani selama lima minggu sebelumnya. Ia juga memeriksa medical kit  yang ia berikan. “Kalau rusak ya diganti. Tapi kadang ada yang takut kalau ketahuan rusak. Padahal ya tidak akan saya marahi,” kata Nunik sambil terkekeh.

  • Ketika Paman Ho dan Tan Malaka Bertemu

    Kedekatan Presiden Sukarno dan Ho Chi Minh selalu dikaitkan dengan permulaan hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Vietnam. Keakraban keduanya terlihat manakala mereka saling berkunjung ke negeri yang dipimpinnya masing-masing. Paman Ho, sapaan akrab Ho Chi Minh, mengunjungi Indonesia pada 27 Februari - 3 Maret 1959. Sedangkan kunjungan balasan dari Sukarno dilakukan pada 24 Juni - 9 Juli 1959. Namun rupanya jauh sebelum Sukarno berkarib dengan Ho Chi Minh, tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) Tan Malaka telah lebih dahulu menjalin hubungan dengan tokoh komunis Vietnam tersebut. Dalam Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan , Arif Zulkifli, dkk menyebut jika pertemuan Tan dan Ho terjadi pada 1922 di Moskow, Uni Sovyet. Tidak seperti pertemuan dengan Sukarno, yang dilakukan setelah Indonesia mendapatkan kemerdekaannya dan Vietnam dalam proses revolusi, hubungan antara Tan dan Ho terjalin ketika Hindia (nama Indonesia sebelumnya) masih memegang status jajahan Belanda dan Vietnam di bawah kuasa bangsa Prancis. Keduanya sama-sama sedang berusaha menggelorakan kebebasan di negerinya masing-masing. “Kisah pertemanan Tan Malaka dengan Ho dikatakan oleh Tan Malaka sendiri kepada Shigetada Nishijima, tangan kanan Laksamana Maeda di Jakarta,” ungkap sejarawan Bonnie Triyana dalam "Kawan Sehaluan dari Negeri Seberang" dimuat majalah Historia edisi I 2012. Pernyataan Bonnie itu dibenarkan oleh Harry A. Poeze di dalam bukunya Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 1: Agustus 1945 - Maret 1946 . Menurut Poeze, Nishijima dan Tan sering bertemu di rumah diplomat Ahmad Soebardjo. Nishijima senang sekali mendengar pandangan-pandangan Tan tentang berbagai persoalan, termasuk tentang pengalaman masing-masing yang bersifat pribadi. Sehingga tidak heran jika pengakuan kedekatan dengan Ho terlontar langsung dari mulut Tan. “Saya bertemu Sano Manabu melalui kegiatan saya di Komintern. Saya juga kenal Ho Chi Minh dan pernah debat dengan Stalin …” ucap Tan sebagaimana dikutip Poeze. Pertemuan Tan dan Ho bermula dari ketertarikan keduanya akan gelaran Kongres Komintern (Komunis Internasional) ke-4 di Moskow. Acara rutin yang mempertemukan orang-orang komunis dari seluruh dunia itu berlangsung pada 5 November - 5 Desember 1922. Tan sendiri sudah ada di Moskow sejak Oktober 1922, sementara Ho tiba ketika acara tengah berlangsung. Bersua di Komintern Keikustertaan Tan di acara yang dihadiri pimpinan Uni Soviet Vladmir Lenin tersebut terjadi ketika dirinya sedang dalam masa pengasingan. Ia diasingkan pemerintah Hindia Belanda dari Indonesia pada Februari 1922. Tan lalu memilih Negeri Belanda sebagai tempat pengasingannya. Di sana Tan aktif mengikuti kegiatan-kegiatan kaum komunis Belanda. Menurut Masykur Arif Rahman dalam Tan Malaka: Sebuah Biografi Lengkap , Tan Malaka dikenal sebagai pahlawan dan martir oleh kaum komunis Belanda. Berkat banyaknya dukungan terhadap Tan, maka ia pun dicalonkan sebagai anggota Majelis Rendah di Belanda. Dalam proses pemilihan itu, Tan meraih suara kedua terbanyak dari tiga calon yang terdaftar. Namun karena usianya ketika itu (25 tahun) belum mencukupi persyaratan Majelis Rendah Belanda, yakni minimal 30 tahun, Tan gagal memperoleh kursi. Ia pun memutuskan pergi dari Belanda menuju Berlin, Jerman. Di tempat itu Tan mempersiapkan segala keperluan untuk mengikuti acara Kominterns di Moskow. Sementara itu, keikutsertaan Ho di Moskow terjadi ketika ia sedang dalam proses mencari pengalaman membangun kemerdekaan di negerinya. Ho mempelajari cara pembebasan kaum tertindas dan cara berorganisasi dari berbagai negara. Diceritakan William J Duiker dalam biografi Ho Chi Minh , perhentian pertama Ho ketika baru keluar dari negerinya adalah London, Inggris. Ia tiba di sana ketika Perang Dunia I meletus. Dari Inggris, Ho melanjutkan petualangannya di Prancis, setelah tinggal sebentar di Amerika. Di negara yang menjajah negerinya itu, Ho mempelajari begitu banyak hal, utamanya cara membangun organisasi dari sebuah partai beraliran sosialis, The French Section of the Workers International (SFIO). Di tempat itu juga Ho memperdalam pemahamannya terhadap Marxisme-Leninisme. Berbagai kegiatannya membawa Ho kepada faksi komunis. Namun pada 1922, aktifitas Ho dan partainya mulai diawasi polisi Prancis karena dianggap menumbuhkan benih radikalisme. Pada akhir 1922 ia meninggalkan Prancis. Ho lalu memilih Moskow sebagai tempat tinggal berikutnya. Selain dinilai aman bagi para penganut ideologi komunis, kongres Komintern pun tengah diselenggarakan dan Ho memang berencana untuk mengikutinya. Keputusan itu mengantarkannya kepada pertemuan dengan sesama wakil negara terjajah di Asia Tenggara, Tan Malaka. Wakil Asia Sebelum hari penyelenggaraan kongres, Tan banyak diikutsertakan dalam rapat-rapat persiapan. Meski tidak memiliki hak suara karena bukan anggota tetap, ia tetap dihadirkan sebagai penasihat. Sejak kedatangannya di Moskow, Tan sering mengunjungi pabrik, dan berkenalan dengan para buruh di sana. Kegiatannya itu membuat Tan semakin dikenal dikalangan kaum pekerja. Kesempatan Tan bertemu dan mendengarkan pandangan para wakil dari Asia, termasuk Ho, terjadi ketika mereka diberi waktu oleh panitia kongres untuk mengutarakan gagasannya masing-masing selama lima menit di depan peserta kongres. Pada kesempatan tersebut Tan menyampaikan gagasan tentang kerja sama antara komunisme dan Islam. Menurut Taufik Abdullah, dkk dalam Manusia dalam Kemelut Sejarah , Tan mempertanyakan sikap tokoh-tokoh komunis internasional yang menentang Pan Islamisme sebagai corak baru dari imperialisme. Menurutnya Pan Islamisme bangkit untuk menentang imperialisme Barat. Mereka berada di jalan yang sama dengan komunis. Karenanya ia menilai sikap anti Islamisme Moskow tidak mencerminkan suasana perkembangan dunia ketika itu. Sementara menurut Bernard Fall dalam Ho Chi Minh: Selected Writings 1920-1966, pidato Ho, sebagai perwakilan negeri terjajah, di depan orang-orang komunis tersebut menjadi salah satu yang paling memukau “Ai Quoc ( n ama lain Ho) tampil sebagai salah satu wakil negeri terjajah yang paling vokal dan enerjik,” tulisnya. Di luar kongres, Tan banyak berbincang dengan wakil-wakil koloni dari Asia. Ia juga banyak berdiskusi dengan Ho tentang Marxisme-Leninisme yang sama-sama mereka dalami. Baik Tan maupun Ho dikenal memiliki kemampuan bahasa yang baik sehingga mereka tidak kesulitan dalam soal berkomunikasi. Setelah kongres selesai, Tan dan Ho kembali ke perjuangannya masing-masing. Keduanya masih tetap tinggal di Moskow selama dua tahun, mempelajari gerakan anti-kolonialisme dan aktif di Komintern. Ho lalu memutuskan kembali ke Vietnam pada 1930, sedangkan Tan baru bisa kembali ke Indonesia setelah Belanda hengkang. Meski sudah lama tidak saling bertatap muka, keduanya masih saling memperhatikan perkembangan perjuangan masing-masing. Tan Malaka sangat terinspirasi dengan cara Ho memimpin perjuangan rakyat Vietnam melawan penjajahan Prancis. Tetapi sejarawan Ben Anderson dalam Revoloesi Pemoeda: Revolusi Indonesia dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 , menyebut jika cara memimpin Ho akan sulit diikuti oleh Tan. “Tak tersedianya kader yang kuat, sepert yang dimiliki oleh Ho Chi Minh di Vietnam menyebabkan Tan Malaka gagal menjalankan strategi politik ala Ho di Indonesia,” ungkapnya.

  • Banjir Jakarta 1960-an

    Banjir besar melanda beberapa wilayah Jakarta pada Januari dan Februari 2020. Puluhan ribu orang terdampak dan harus mengungsi. Kerugian materi mencapai hampir Rp1 triliun. Bibit penyakit mengancam di wilayah terdampak. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memberitahu bahwa potensi hujan lebat di Jakarta berlanjut sampai Maret 2020. Banjir Jakarta adalah sejarah berulang. Pada bulan-bulan pembuka tahun, banjir kerap menerjang. Tengoklah sejenak ke awal 1960-an. Ketika itu Soemarno Sosroatmodjo baru saja usai ucapkan sumpah jabatan. Dia menjadi gubernur baru Jakarta pada siang 9 Februari 1960. Kemudian hujan deras turun pada malam hari. Selama beberapa hari, hujan tak kunjung reda. Sungai Angke dan Grogol tak mampu lagi menampung hujan. Air memasuki dan meninggi di sejumlah permukiman jelata dan warga berada. Soemarno memperoleh ujian pertamanya sebagai gubernur, yaitu menghadapi banjir. “Rasanya seperti diplonco,” kata Soemarno dalam Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya . Banjir menghampiri tujuh kelurahan. Termasuk ke permukiman baru anggota parlemen dan badan intelijen di Grogol. Tinggi banjirnya sepinggang atau selutut orang dewasa. Warga memilih mengungsi. Sebab di rumahnya penuh serangga dan ular berbisa yang mencari tempat kering. Kawasan sekitar Istana Negara nyaris ikut terendam. Tapi pemerintah memutuskan membuka Pintu Air Manggarai. Akibatnya permukiman di sekitar Pejompongan menjadi sasaran banjir. Situasi di permukiman jelata sangat parah. Banjirnya sampai setinggi atap rumah. Ribuan rumah terendam dan hampir 40 ribu orang terdampak. Mereka memerlukan bantuan. Tim Bantuan Pertama Soemarno bergerak gesit. Dia pernah aktif di Palang Merah Indonesia (PMI). Karena itu, dia mengerahkan tenaga dan fasilitas di PMI untuk menolong korban banjir. Dia juga membentuk Team Asistensi Bencana Alam. Inilah inisiatif pertama dari pemerintah daerah untuk membantu korban banjir. Periode banjir sebelumnya, warga bergotong royong tanpa ada penanganan khusus dari pemerintah. Pemerintah Kotapraja Jakarta bekerja menanggulangi dampak banjir Februari 1960 dengan melibatkan lima instansi: Departemen Sosial, Departemen Kesehatan, Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga, dan Departemen Keuangan. Tapi kerja itu tak cukup memuaskan warga Jakarta. Pemerintah Kotapraja kewalahan dan mengakui kelemahannya. “Sebagai jawaban atas ketidakmampuan menangani banjir, pimpinan Kotapraja mengatakan bahwa banjir disebabkan oleh kekuatan alam,” catat Restu Gunawan dalam Kala Air Tidak Lagi Menjadi Sahabat: Banjir dan Pengendaliannya di Jakarta Tahun 1911–1985 , disertasi pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Beberapa hari kemudian banjir surut. Orang-orang kembali ke rumah dan membersihkan sisa lumpur. Jalan-jalan rusak. Bibit penyakit menguar. Kerja pemerintah dalam menangani dampak banjir belum selesai. Mereka mulai mengeksekusi rencana pembuatan waduk seluas 105 hektar di Pluit untuk mengurangi limpahan air di kanal dan kali ketika musim hujan tiba nanti. Rencana ini telah muncul dari tahun 1957. “Tetapi pelaksanaannya belum juga dapat dimulai karena kesukaran anggaran,” kata Soemarno dalam Karya Jaya: Kenang-Kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta 1945–1965 . Pembuatan waduk mensyaratkan pula rekayasa aliran air pada kali dan kanal di sejumlah wilayah Jakarta. Perubahan itu akan mengarahkan aliran kali dan kanal ke waduk. Lalu dari waduk, air akan dibuang ke laut. Semua tahap pembangunan waduk akan selesai dalam 4 tahun. Ini berarti selama waduk belum jadi, warga Jakarta dibayang-bayangi banjir. Tapi untunglah selama dua tahun setelah banjir Februari 1960, curah hujan cukup normal. Bahkan musim kemarau sepanjang dua tahun itu cenderung lebih panjang dari tahun 1960. Warga Jakarta hidup tenang. Dalam dua tahun, pembangunan fisik melesat cepat demi Asian Games 1962. Jakarta berubah drastis. Rawa-rawa menjelma permukiman. Tanah merah nan lapang berkurang. Gedung-gedung baru berdiri. Jalanan bertambah panjang. Asian Games 1962 berlangsung meriah. Mata dunia tertuju ke Jakarta. Puja-puji tersemat kepada kota ini berkat penyelenggaraan Asian Games. Warganya pun berbangga dan tersanjung. Tapi kebanggaan itu tak lama. Hujan deras kembali mengguyur Jakarta pada Januari 1963. Sungai, kanal, dan kali meluap. Grogol menjadi lautan kecil. Begitu pula kecamatan lainnya. Banjir mampir lagi di Jakarta. Kali ini cakupannya lebih luas. Tercatat sembilan dari 21 kecamatan di Jakarta terdampak banjir. “Terdapat seluruhnya 433.812 jiwa dari 3 juta penduduk Jakarta yang menderita akibat banjir,” catat Djaja , 2 Februari 1963. Soemarno membentuk Team Chusus Bandjir Ibukota untuk menyalurkan bantuan kepada korban terdampak. Jumlah anggotanya mencukupi, tetapi peralatan untuk menyalurkan bantuan sangat kurang. Misalnya, peralatan untuk mendirikan dapur umum berikut suplai bahan makanannya.    “Oleh karena itulah tidak seluruh mereka yang membutuhkan bantuan berhasil tertolong,” tulis Djaja . Polisi berjaga di sejumlah tempat terdampak selama 24 jam. Dalam situasi kalut, ada saja orang yang mencuri harta benda di rumah kosong. Sebagian polisi juga berpatroli di tempat-tempat terdampak dengan menggunakan perahu karet. Bersama mereka, ikut pula petugas kesehatan untuk memberikan pengobatan dan perawatan kepada korban. Tawaran bantuan dari negeri sahabat berdatangan. Howard Jones, Duta besar Amerika Serikat, menemui langsung pejabat daerah untuk mencari tahu apa saja kebutuhan para korban. Dia menyatakan Kedutaaan Amerika Serikat siap menyediakan kebutuhan tersebut. Pesatnya Pembangunan Seiring surutnya air di tempat-tempat terdampak, diskusi tentang penyebab dan pencegahan banjir mengemuka. Ir. Manuhutu, Direktur Djawatan Pekerdjaan Umum (DPU), mengatakan banjir Jakarta sebagai dampak dari pembangunan yang begitu pesat. “Yang dimaksud beliau tentunya bukan pembangunan-pembangunan yang persiapan dan penyelenggaraannya sudah melalui rencana yang matang sesuai dengan city planning , melainkan pembangunan yang timbul sebagai akibat pertambahan jumlah penduduk yang luar biasa di Jakarta,” catat Djaja . Penduduk Jakarta naik pesat. Ada 3 juta penduduk pada 1963. Padahal pada dekade 1940-an, Jakarta hanya berpenduduk 750 ribu orang. Pertambahan penduduk berarti peningkatan jumlah bangunan. Kemudian pertambahan bangunan mengakibatkan luas tanah beserta daya serap airnya berkurang. Ketika tanah untuk menyerap air justru berkurang, curah hujan selama awal 1963 justru bertambah. Menurut catatan Djaja ,9 Maret 1963, curah hujan berkisar pada 790,6 mm per bulan. Tahun sebelumnya hanya sampai 300 sampai 600 mm per bulan. “Hujan tahun ini di Jakarta merupakan suatu rekor yang hanya bisa diimbangi oleh rekor jatuhnya hujan di tahun 1891 ketika dalam satu hari turun kira-kira 200 mm air hujan.” Djaja melanjutkan, peringatan tentang besarnya curah hujan pada awal 1963 sebenarnya telah disampaikan oleh G. Miles, seorang ahli cuaca berkebangsaan Australia. Tapi tak seorang pun pejabat daerah dan pusat menggubrisnya. “Agaknya skeptis dan menyatakan bahwa di bulan-bulan yang disebut tadi bukan hal luar biasa apabila turun hujan lebat di Indonesia,” ungkap Djaja . Rumah Panggung Untuk mengatasi banjir di Jakarta, Soemarno hanya bisa berharap pada percepatan pembangunan waduk Pluit. Mesin pompa untuk mengalirkan air ke laut pun baru akan beroperasi pada Maret 1964. Soemarno mencoba realistis. Selama waduk Pluit belum selesai, banjir masih akan terus datang di tahun-tahun berikutnya. “Jangan mengharapkan dulu bahwa kita akan terbebas daripadanya dalam tahun yang akan datang,” kata Soemarno dalam Djaja , 2 Maret 1963. Seorang warga punya usulan sendiri untuk menghadapi banjir. Sembari menunggu pembuatan waduk dan sarana pendukungnya selesai, dia menyarankan pemerintah daerah mengeluarkan aturan tentang bentuk rumah agar menyerupai rumah panggung. “Agar rumah-rumah yang ada dalam daerah banjir itu keseluruhannya didirikan (sedapat mungkin diperbaiki) sehingga terletak tidak lagi langsung di atas tanah, melainkan lantainya semuanya bertupangan tiang-tiang rumah itu sendiri, kurang lebih 1–1½ meter tingginya dari tanah seperti rumah-ruma yang hampir dimana kedapatan di luar Jawa,” tulis S.M. Latif dalam surat pembaca di Djaja , 2 Maret 1963. Tapi usul warga itu sepertinya melesap begitu saja. Sementara pembuatan waduk Pluit ternyata keluar dari tenggat. Hingga akhir 1964, pembuatan waduk hanya mencapai 25 persen dari total pengerjaannya. Pembuatan waduk baru selesai pada masa Ali Sadikin menjabat gubernur (1966–1977).

  • Kala Tan Malaka Kemalingan di China

    TINGGAL jauh dari kampung halaman tanpa bekal cukup dan sanak famili jelas merepotkan. Terlebih, jika saat tinggal itu yang bersangkutan sedang dalam status pelarian. Lengkaplah sudah penderitaan. Kondisi itulah yang dialami Tan Malaka, salah satu founding fathers Indonesia, ketika tinggal di Shanghai dari 1930-1932 –Tan tinggal dengan menyewa sebuah kamar di rumah milik Tionghoa di Chapei. Tan sadar betul semua kesulitan dan bahaya yang mengitarinya merupakan risiko dari pilihan hidupnya, memperjuangkan kemerdekaan negerinya. Maka, Tan menjalaninya dengan biasa sebagaimana dia menjalani hidup di masa-masa sebelumnya di tempat-tempat yang juga berbeda. Tan tinggal di Shanghai dengan nama samaran Ossario, yang disebutnya sebagai seorang wartawan asal Filipina yang bekerja pada Bankers Weekly . Saat Tan tinggal, Shanghai merupakan kota International Settlement. “Sejarah permukiman asing (international settlement, red .) di Shanghai dapat ditelusuri kembali ke Perjanjian Nanking pada 1842, yang ditandatangani Cina untuk menyelesaikan Perang Anglo-Cina pertama. Diputuskan oleh perjanjian ini bahwa Cina tidak hanya harus menyerahkan Hong Kong ke Inggris tetapi juga harus membuka lima pelabuhan perjanjian: Kanton, Hsiamen, Fuchow, Ningpo, dan Shanghai,” tulis sejarawan Harumi Goto-Shibata dalam Japan and Britain in Shanghai, 1925-1931. Meski lahan Settlement Shanghai tetap milik Republik China, kedaulatan di kota pelabuhan tersebesar Tiongkok itu terbagi ke dalam beberapa kedaulatan negara yang mendirikan perwakilan di dalamnya. “Pada treaty ports (bandar perjanjian) itu, asing (Eropa, Amerika, Jepang) boleh berdagang dan membuka perusahaan di bawah perlindungan undang-undang negaranya sendiri,” tulis Tan Malaka dalam otobiografinya, Dari Penjara ke Penjara Bagian Dua. “Apakah artinya kedaulatan semacam itu kalau polisi di tempat-tempat tersebut ialah polisi asing dan pemerintah kota di sana terdiri dari bangsa asing?” sambung Tan. Selain pergi ke perpustakaan untuk membaca dan menulis, hari-hari Tan dihabiskan dengan berbincang dengan orang-orang di rumah tempat dia menyewa kamar atau kenalan-kenalannya. Selain itu, rutinitas Tan di Shanghai adalah berkeliling dari satu tempat ke tempat lain untuk mengamati kondisi daerah dan kehidupan masyarakatnya. “Perjalanannya adalah tentang klaim komparabilitas kota-kota kolonial seperti halnya tentang emansipasi kota-kota ini dan hak-hak kedaulatan dan kemerdekaan. Munculnya kesadaran antikolonial Tan Malaka bersinggungan dengan berbagai bentuk kota yang ia temui di Shanghai. Di masa ketika kota itu telah dijajah atau berada di bawah ancaman kekuatan Barat (termasuk Jepang), kota itu datang untuk mewujudkan otoritas politik dan dengan demikian menjadi simbol kedaulatan,” tulis Abidin Kusno dalam The Appearances of Memory: Mnemonic Practices of Architecture and Urban Form in Indonesia. “Keasyikan” Tan di Shanghai berakhir pada 27 Januari 1932 ketika tentara Jepang membombardir kota itu yang memicu perlawanan dari Tentara ke-19 (19 th Route Army) Republik China. “Kacau balau yang ditimbulkan oleh tembakan meriam, mortir, mitraliur, dan senapan berturut-turut serta akhirnya dengungan bomber dan peledakan bom siang dan malam menjadikan sekitar kampung dan rumah saya seakan-akan menjadi neraka,” kata Tan.   Penduduk, termasuk Tan, hanya bisa bertahan di dalam rumah. Mereka mulai kekurangan makanan dan air pada hari keempat. “Untunglah pada hari kelima, oleh pemimpin tentara Jepang yang menguasai kampung kami, kepada penduduk diberi kesempatan buat mengungsi,” sambungnya. Tan terpaksa meninggalkan peti tempat barang-barangnya, buku-buku, dan mesin tulis (mesin tik) miliknya lantaran mengungsi. Setelah sebulan berpindah-pindah menumpang tempat tinggal pada teman-temannya, Tan akhirnya memutuskan kembali ke rumah yang disewanya sebulan kemudian berbekal surat izin dari pemerintah kota-tentara pendudukan Jepang. Tan ingin menyelamatkan buku-buku dan barang-barangnya yang jumlahnya tak seberapa. Meski berberapakali mengalami pemeriksaan tentara Jepang di sepanjang perjalanan sunyi menuju rumah sewanya, Tan akhirnya sampai juga. Di sana dia bertemu si pemilik rumah yang tampak bersedih dan berulangkali mengucapkan kata la-li-long . Tan lalu bergegas ke dalam rumah untuk mengambil barang-barangnya. “Baru saya mengerti benar apa artinya la-li-long itu. Peti saya berisi pakaian, buku-buku, mesin tulis, tungku, kayu dan arang, beras, kecap, bawang dan lain-lain bahan buat dimasak hari-hari semuanya hilang lenyap bersama dengan la-li-long -nya,” kata Tan.

  • Bombshell yang Menumbangkan Pemred Cabul

    DALAM layar kaca, segalanya bergantung pada pandangan mata. Megyn Kelly (diperankan Charlize Theron) memberi tur singkat dalam dapur redaksi televisi berita Fox News . Ia memperlihatkan sedikit-banyak soal kebijakan seksisme oleh siapa lagi kalau bukan sang pemimpin redaksi (pemred) Roger Ailes (John Litgow),yang memimpin tv berita milik taipan media Rupert Murdoch (Malcom McDowell) itu sejak 1996. “Sejak dini dia menyadari cara jaringan berita untuk bertahan 24 jam sehari, adalah Anda butuh sesuatu yang bisa mempertahankan pemirsanya. Tiada lain adalah keindahan kaki. Ada alasan khusus mengapa meja (pembaca berita) berkaca bening,” cetusnya, selain memaparkan semua karyawati Fox News wajib mengenakan rok mini nan ketat. Begitulahadegan yang disuguhkan sutradara Jay Roach dalam membuka biopik Bombshell. Film itu berpusar pada pergulatan tiga perempuan pekerja Fox News yang mengalami pelecehan seksual. Dengan cara singkat itu Jay ingin penontonlebih dulu paham pengantar sebelum masuk keinti cerita yang berdasarkan kisah nyata itu. Megyn Kelly (kiri) yang diperankan aktris Charlize Theron (Foto: Lionsgate/Wikipedia) Megyn sendiri kecewa pada Ailes yang setengah hati melindunginya. Saat itu, Megyn tengah diteror paparazzi akibat kritiknya terhadap Donald Trump dalam Debat Partai Republik 2016. Selain tentang Megyn, kisahnya bersirkulasi pada news anchor lain, Gretchen Carlson (Nicole Kidman) yang mengisi program “Fox and Friends”. Saat Gretchen sedang membawakan acara, tiba-tiba dia mendapat pemberitahuan bakal dimutasi ke program lain yang kurang populer. Begitu Gretchen meminta penjelasan Ailes, sang pemred mengaku keputusannya tak bisa diganggu-gugat, kecuali Gretchen bersedia melakukan “sesuatu”. Secara ters i rat, Ailes meminta “imbalan” setidaknya Gretchen mau melakukan oral seks untuknya . Gretchen pun speechless dan memilih pergi tanpa ekspresi. Ia pilih memendam emosinya nan perih itu mengingat kontraknya tak lama lagi habis. Ia juga teringat pada kasus Rudi Bakhtiar yang juga mengalami pelecehan seksual pada 2007 oleh salah satu atasannya, Brian Wilson. Diam-diam, Gretchen menyewa pengacara untuk menyiapkan berkas tuntutan atas pelecehan seksual oleh Ailes. Menyusul dimutasinya Gretchen ke program lain, giliranjurnalis mudaKayla Popisil (Margot Robbie) yang “dikeker” Ailes. Mulanya Kayla begitu antusias lantaran ia juga memimpikan bisa tampil di salah satu program unggulan Fox News. Namun, semua berubah saat ia dipanggil ke ruangan Ailes.Ia malah dilecehkan sang pemred. Ailes menjanjikan karier cemerlang jika Kayla mau menuruti permintaannya, salah satunyayakni Kayla disuruh berdiri, berputar, dan mengangkat roknya hingga pakaian dalamnya terlihat dan bisadinikmatisang pemred. Adegan Kayla Popisil (diperankan Margot Robbie) sebelum dilecehkan Roger Ailes (Foto: IMDb) Klimaksnya bergulir kala Gretchen dipecat tanpa alasan sebelum kontraknya habis. Buat Gretchen, ini artinya perang. Gretchen yang sudah menyiapkan berkas tuntutan bersama tim pengacaranya, segera menginformasikan skandal itu ke publik. Bak bombshell alias ledakan bom, tuntutan itu mengguncang seisi Fox News . Sang CEO yang juga putra Rupert Murdoch dan punya masalah dengan Ailes sejak lama, turut membentuk tim investigasi internal. Ailes sendiri membantah, baik di internal direksi maupun di hadapan publik. Semua karyawati Fox News juga diminta mendukung Ailes dalam membantah tuduhan Gretchen, kecuali Megyn Kelly. Ia salah satu pembawa acara paling populer saat itu dan sontak jadi sorotan lantaran sikap diamnya. Sikap diam juga diambil Kayla yang masih seumur jagung bekerja di Fox News . Kayla khawatir jika ia turut mengaku pernah dilecehkan, ia takkan pernah bisa lagi bekerja di stasiun tv manapun. Namun, Gretchen akhirnya tak sendiri. Beberapa wanita muncul mengaku turut jadi korban pelecehan Ailes. Namun pengakuan-pengakuan mereka bakal kurang kuat lantaran terjadi di media lain tempat sebelumnya Ailes bekerja, bukan Fox News. Aktris kawakan Nicole Kidman (kiri) memerankan Gretchen Carlson (Foto: IMDb/Wikipedia) Diam-diam, Megyn yang selama ini no comment melakukan investigasinya sendiri dibantu rekan-rekan dekatnya. Hasilnya,sebanyak 22 karyawati Fox News ternyata juga pernah jadi korban pelecehanoleh Ailes maupun beberapa atasan lain. Kayla salah satu korbannya. Temuan itu makin membulatkan tekad Megyn untuk keluar dari zona nyamannya. Ia akhirnya angkat bicara bahwa ia juga dilecehkan Ailes di masa-masa awal kariernya di Fox News . Upaya Megyn beriringan dengan upaya perlawanan Gretchen yang dilakukan dengan caranya sendiri. Hasilnya, ah, jauh lebih seru jika Anda saksikan sendiri Bombshell yang hingga pekan ini masih diputar di bioskop-bioskop di tanah air. Bombshell tak hanya menyajikan drama pelecehan seksual terhadap pekerja media namun juga mengungkap kehidupan dalam dapur redaksi y an g jarang di ketahui publik berikut kehidupan para awak di dalamnya. S eorang news anchor , misalnya, mesti selalu tersenyum k e t i ka menyapa pemirsanya meski dalam keadaan sakit atau sedang mengalami tekanan batin lainny a. Bombshell cocok jadi alternatif tontonan di waktu luang. Meski music scoring -nyayang digarapTheodore Shapiro terbilang sederhana, iasangat pas melengkapi beberapa momen penuh intrik dalam alur cerita. Belum lagi sisi artistik dan makeup- nya yang otentik, mampu menampilkan seksisme di rezim sang bos cabul dengan lebih utuh. Tak heran bila Bombshell menang Piala Oscar untuk kategori Best Makeup and Hairstyling. Akhir Riwayat Bos Bejat Sebagai kisah nyata yang dikonversi ke layar perak dalam bentuk drama, Bombshell tentu tak semuanya sesuai fakta. Beberapa detail di dalamnya tak sesuai kejadian sebenarnya. Contoh, tokoh Kayla Popisil.Ia merupakan karakter fiktif meski dikonstruksi daripengalaman beberapa korban pelecehan seksual lain. Contoh lain adalah, Alies digambarkan sebagai pemred Fox News . Kenyataannya, saat skandal 2016 itu terjadi, Ailes sudah menjabat sebagai presiden merangkap CEO Fox News . Yang patut diacungi jempol, sineas Jay menghadirkan cuplikan para korban pelecehan seksual oleh Ailes sejak 1980-an, kala Ailes memimpin tv-tv berita sebelum Fox News . Realita itu serupa dengan yang termuat dalam biografi bertajuk The Loudest Voice in the Room yang dimunculkan Gabriel Sherman, dua tahun sebelum Gretchen menuntut Ailes. Bos Fox News Roger Ailes (kanan) yang diperankan aktor senior John Lithgow (Foto: Lionsgate) Sedikit ataupun banyak, karakter Ailes dibentuk dari lingkungan keluarganya. Sosok kelahiran Warren, Ohio, pada 15 Mei 1940 itu tumbuh dalam keluarga yang tak harmonis. Ayahnya, Robert Eugene Ailes, merupakan montir mesin pabrik yangringan tangan dan acap melakukan kekerasan terhadap Ailes. Di usia muda Ailes sudah terpaksa jadi korban broken home. Sebagaimana dikisahkan Sherman, Ailes susah payahmenyelesaikan pendidikannya di tengah kesusahan ituhingga bisa lulus dari Jurusan Radio dan Televisi di Universitas Ohio, 1962. Sebelum terjun ke dunia pertelevisian, Ailes mengais pengalaman sebagai station manager di stasiun radio WOUB . “Karier Ailes di televisi dimulai di Cleveland pada 1965, di mana dia menjadi produser dan sutradara talkshow di KYW-TV , ‘ The Mike Douglas Show’. Kemudian dia menjadi produser eksekutif program itu, di mana dia memenangkan Emmy Awards pada 1967 dan 1968,” ungkap Horace Newcomb dalam Encyclopedia of Television . Ailesjadi pionir program talkshow politik. Saat itu, stasiun televisi minim program politik dan Ailes yang memulainya dengan memanfaatkan kedekatannya dengan Richard Nixon. Beberapakali Nixon jadi tamu program bikinan Ailes.Ailes lalu diminta jadi bagian dari tim kampanye Nixon untuk pencitraan di televisi. Suksesnya Nixon jadi orang nomor satu di Amerika Serikat pada 1969 salah satunya karena Ailes. Ailes lalu mendirikan Ailes Communications, Inc., perusahaan konsultan bisnis dan politik. Program-programnya ia jual ke berbagai stasiun tv seperti KYW-TV , CNBC , atau MSNBC. Lewat program-programnya Ailes pun sohor sebagai “makelar politik” bagi para kandidat presiden dari Partai Republik, mulai dari Nixon, Ronald Reagan, hingga George W. Bush. Roger Ailes (kiri) bersama Presiden Amerika Serikat Richard Milhous Nixon (Foto: nixonlibrary.gov ) Pada 1996, ia diminta hartawan AustraliaRupert Murdoch untuk mendirikan Fox News , stasiun tv berita yang merupakan anak perusahaan Fox Corporation. Perlahan tapi pasti, Ailes membawa Fox News ke puncak kejayaan menyalip stasiun-stasiun tvberita yang lebih “senior”. “Ailes membuat Fox News menjadi tv berita besar. Pada 2002 saja, Fox melewati CNN sebagai jaringan tv berita berbasis langganan nomor satu; dalam tujuh tahun angka pemirsanya sudah dua kali jumlah CNN dan MSNBC , dan bahkan keuntungan para rivalnya jika digabungkan masih kalah dari profit yang diraup Fox ,” sambung Sherman. Mendatangkan keuntungan besar pada Fox membuat Ailes merasa di atas angin sehingga yakin tak ada orang yang berani menggusur posisinya, sekalipun Murdoch. Sialnya, semua itu sirna pada medio Juli 2016 kala Gretchen Carlson menuntutnya karena merasa jadi korban pelecehan seksual olehnya. Bak bola salju, skandal itu membesarhingga membuatnya terpaksa mundur dengan kompensasi USD40 juta dari Rupert Murdoch. Meski begitu, Ailes masih dipercaya Murdoch menjadi penasihatnya di rumah produksi 21st Century Foxhingga Ailes tutup usia pada 18 Mei 2017 –hal ini tak diungkap dalam Bombshell .

  • Mula Riset Radioaktif

    Kontaminasi radiokatif yang ditemukan di tanah kosong Perumahan Batan Indah, Serpong diketahui berasal dari rumah Blok A22. Polisi tengah memeriksa pemilik zat radioaktif illegal yang merupakan pegawai Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dan pembuang limbah radioaktif tersebut. Sementara, Cesium 137 yang berada di dalam rumah tersebut disita polisi. “BATAN mendukung kegiatan yang dilakukan Kepolisian dan Bapeten untuk menyelidiki adanya zat radioaktif yang tidak sah," kata Kepala Biro Hukum, Humas, dan Kerja Sama, BATAN Heru Umbara sebagaimana diberitakan Tempo. Sebelumnya, Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) menemukan paparan radiasi nuklir mencapai 1.818 kali lipat ambang batas kala melakukan uji fungsi alat pemantau radioaktivitas lingkungan bergerak (mobile RDMS-MONA) pada 30 dan 31 Januari 2020. Setelah ditelusuri, radiasi nuklir yang ditemukan berjenis radioaktif Cesium 137 yang merupakan zat tunggal. Jenis ini berbeda dengan zat radioaktif di fasilitas Reaktor riset GA Siwabessy. Lebih lanjut, sembilan detektor pemantau radiasi di Kompleks Puspiptek Serpong juga tidak menunjukkan adanya kebocoran nuklir dari Reaktor GA Siwabessy. Untuk menanggulangi paparan radiasi ini, proses pembersihan terus dilakukan dengan mengeruk tanah yang terpapar radiasi nuklir. Sembilan warga di sekitar titik penemuan zat radioaktif pun menjalani pemerisaan kesehatan. Bermula dari Ledakan Pulau Eniwetok Riset nuklir di Indonesia mulai dilakukan sejak 1950-an. Hal ini bermula dari ujicoba bom hidrogen di Pulau Eniwetok oleh Amerika Serikat sejak 1952.  Ujicoba itu menimbulkan efek tak sepele bagi kawasan sekitarnya. Percobaan yang dilakukan beberapa kali oleh Amerika Serikat itu menurut Dr. Gerrit Augustinus Siwabessy menyebabkan banyak efek pada lingkungan sekitar Samudra Pasifik. Di Jepang, misalnya, ikan-ikan mati di tepian pantai. Orang-orang yang memakan ikan tersebut juga menjadi sakit. Debu radioaktif dari bom nuklir tersebut diperkirakan terbawa angin dan air yang kemudian dikomsumsi ikan di laut. Dari sinilah sebab orang-orang Jepang menjadi sakit. Ilustrasi Prof. dr. G.A. Siwabessy (dok. Mursid D.) Kekhawatiran ini pun melanda Indonesia yang letaknya berdekatan dengan Samudra Pasifik. Presiden Soekarno lantas mencari ahli-ahli yang dapat mengukur tingkat paparan radioaktivitas di lautan, udara, dan daratan Indonesia yang bersinggungan dengan Samudra Pasifik. Tugas itu lantas diserahkan pada Lembaga Radiologi dari Departemen Kesehatan yang punya peralatan geiger. Namun lantaran tugas memeriksa paparan radioaktif dan riset nuklir merupakan bidang yang berbeda dengan penggunaan radio aktif untuk kebutuhan medis, dibentuklah Panitia Penyelidikan Radioaktifitas dan Tenaga Atom (PPRTA) berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 230 tahun 1954 tertanggal 23 November 1954. Dokter GA Siwabessy sebagai ketuanya. Siwabessy yang kala itu menjadi Menteri Kesehatan punya banyak pengalaman dalam bidang radiologi. Sebelum menjabat sebagai menteri, ia pernah bertugas sebagai kepala Bagian Radiologi RSCM dan Kepala Lembaga Radiologi Departemen Kesehatan. Siwabessy mendapat beasiswa dari British Council untuk belajar radiologi di Universitas London pada 1949. Kerja Siwabessy di PPRTA dibantu beberapa ahli dari Universitas Gadjah Mada, seperti Dr. Baiquni dan Prof. Ir. Herman Johannes yang namanya kini dijadikan nama jalan yang membentang di timur Galleria Mall ke utara hingga perempatan Sagan (MM UGM), Yogyakarta. Dalam tim ini, seperti dicatat “Sejarah BATAN Jogja 1961-2014”, Herman Johannes bertugas sebagai Ketua Seksi Fisika, Kimia, dan Teknologi. Ahli lain yakni dr. Rubiono dari Bagian Radiologi Rumah Sakit Gatot Subroto dan Prof. Ir. Gunarso dari ITB. Ada pula wakil-wakil dari instansi Angkatan Darat, udara, dan meterologi. Prof. Ir. Herman Johannes. Sumber: Sejarah Batan Jogja 1961-2014. Panitia ini kemudian dikirim ke area yang berdekatan dengan Samudra Pasifik, seperti Manado, Ambon, dan Timor. Papua tidak termasuk karena masih jadi bagian Belanda. Selain air laut, pohon-pohon di sekitar, rumput, dan tanah diteliti. “Rumput-rumput terutama menjadi perhatian karena bila rumput-rumput yang mengandung fall out (jatuhan) radioaktif dimakan, hewan-hewan itu akan mati,” kata Siwabessy dalam memoarnya, Upuleru. Namun, sambungnya, syukurlah di Indonesia tidak terdapat jatuhan radioaktif yang berbahaya. Sejak berkumpulnya para ahli nuklir dalam proyek ini, perhatian pada studi nuklir meningkat. Para ahli, seperti Erman Natawidjaja dan Sombu Pillay yang juga anggota tim PPRTA, dikirim ke luar negeri untuk mendalami nuklir. Siwabessy mengirim mereka ke London agar mereka memperdalam ilmu ini selama dua tahun. Tim PPRTA lain yang dikirim untuk mempelajari radiologi ialah Baiquni. Ia berangkat ke Amerika Serikat pada 1955 untuk mengikuti International School of Nuclear Science and Engineering di Argonne National Laboratory yang jadi bagian dari program Atom for Peace oleh Presiden Eisenhower sejak 1953. Ilustrasi Prof. Dr. A. Baiquini (dok. Mursid D.) Pengiriman para ahli nuklir ke luar negeri bertujuan untuk mempersiapkan personel bagi pembangunan tenaga atom untuk maksud damai, misalnya pengembangan teknik nuklir, fisika nuklir, dan perlindungan serta keamanan radiasi nuklir. “Berbagai ahli dalam bidang atom perlu dididik di luar negeri. Lulusan ITB dan Gadjah Mada dan lain-lain ditarik ke dalam kegiatan,” kata Siwabessy. Sekembalinya dari studi di luar negeri, para ahli ditempatkan di lembaga yang berkaitan dengan pemeliharaan dan pengembangan nuklir. Erman Natawidjaja dan Sombu Pillay, seperti dikisahkan Siwabessy, kemudian ditugaskan di Lembaga Radiologi Departemen Kesehatan. Sementara Baiquni, ikut menjadi anggota pendirian Pusat Penyelidikan Tenaga Atom Nasional bersama Herman Johannes dan Siwabessy. Setelah melalui serangkaian riset, dibentuklah Lembaga Tenaga Atom pada 5 Desember 1958 yang kemudian diperingati sebagai hari jadi BATAN.

  • Para Raja Baru dan Juru Selamat

    Kurang dari dua bulan, empat kerajaan baru beserta rajanya bermunculan dengan membawa sejarah dan cita-cita masing-masing. Hal ini mengingatkan pada fenomena gerakan milenarisme atau penantian akan datangnya juru selamat kala Indonesia di bawah kolonialisme. Ciri gerakan milenaristis, kata Agus Aris Munandar, arkeolog Universitas Indonesia, adalah adanya harapan masyarakat akan tokoh yang memberikan keadilan dan kesejahteraan. Ini yang disebut sebagai tokoh juru selamat atau ratu adil. Di bawah kepemimpinan tokoh penyelamat ini, diyakini nantinya akan lahir negara yang sempurna dan rukun. “Ini cirinya. Ingat tentang Sunda Empire? Mereka juga punya harapan itu. Tapi apakah ini juga gerakan milenaristis? Kita lihat nanti,” kata Agus dalam diskusi bertema “Raja-raja Nusantara dalam Pusaran Ketoprak dan Pemahaman Sejarah” di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PuslitArkenas), Jakarta, Selasa (25/2). Dalam gerakan milenarisme, semua anggota masyarakat dijanjikan akan mempunyai status sederajat. “Semua dijanjikan dikasih duit satu miliar atau lebih, tiga miliar?” ujar Agus. Adanya kepatuhan mutlak kepada pemimpin juga tampak dalam gerakan ini. Anggotanya siap sedia membela kepercayaan mereka. Milenaristis, kata Agus, biasanya terjadi beriringan dengan gerakan keagamaan, yang kurang lebih hampir sama dengan milenarisme. Mereka berorientasi kepada leluhur. Jadi, biasanya mereka menyebutkan ada ramalan dari para leluhur tentang suatu zaman yang adil dan sejahtera. “Bersifat magico-mysticim, adanya narasi kekuatan gaib dan kekuatan supernatural yang turut berperan,” kata Agus. Cirinya, akan muncul tokoh yang dianggap keramat, sakti atau telah mendapat wahyu setelah bertapa atau meditasi. Pada masa lalu, kehebatan tokoh ini biasanya diwujudkan dengan kisah-kisah kesaktiannya. “Kalau masa kini bentuknya simpanan dana yang tak ada habisnya di Swiss, lalu orang kagum,” ujar Agus. Contoh dalam sejarah misalnya, Trunojoyo yang melawan pemerintahan Amangkurat I. Lalu Diponegoro melawan kolonialis Belanda. Yang kedua ini kemudian bergelar Herucakra, seperti gelar Ratu Adil yang ada dalam Serat Jayabaya dari abad ke-19. Sebagaimana dijelaskan sejarawan Ong Hok Ham dalam Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang, dalam Serat Jayabaya, Ratu Adil bergelar Tanjung Putih atau Herucakra, pendiri zaman emas baru yang akan membebaskan masyarakat Jawa dari zaman kaliyuga atauzaman sulit. “ Serat Jayabaya merupakan sejarah ramalan Jawa yang membagi sejarah dalam empat yuga atau zaman. Dimulai dari pemerintahan Raja Jayabaya di Kediri abad ke-11 yang merupakan zaman keemasan, disusul oleh zaman yang makin memburuk, sampai pada zaman dekadensi. Yang terburuk adalah yang terakhir, kaliyuga ,” tulis Ong Hok Ham. Wahyu yang diterima tokoh semacam itu, seringkali mendasari legitimasi kekuasaan seorang raja Jawa. Konsep ini lebih dominan daripada konsep legitimasi berdasarkan syarat lainnya. Seperti misalnya keturunan. “Konsep wahyu, di satu pihak, menjelaskan kekuasaan mutlak raja dan menganggap perlawanan terhadap dia sebagai perlawanan terhadap Tuhan,” tulisOng Hok Ham. Sementara wahyu dapat berpindah setiap waktu dan datang pada siapapun juga. Kekuasaan raja menurut konsep ini adalah reinkarnatif. Teori-teori reinkarnatif wahyu kerajaan semacam inilah yang dipakai oleh berbagai gerakan milenarisme atau Ratu Adil. Muncul Akibat Tekanan Ketika Serat Jayabaya terbit pada abad ke-19, dari tahun 1830 hingga masa pergerakan nasional hampir tak ada tahun yang lewat tanpa gerakan Ratu Adil di Jawa. Banyak pemimpin gerakan menyebut diri sebagai penerima wakyu kerajaan. Menurut Ong Hok Ham, ini mungkin berhubungan dengan hilangnya kekuasaan politis raja-raja Jawa ke tangan Belanda. Penguasa kolonial pun membebani rakyat dengan pajak yang tinggi dan kerja paksa. Hingga timbul harapan-harapan agar ada pembebasan. Hal ini menjadikan harapan lahirnya dinasti baru oleh Ratu Adil di masyarakat. Gerakan ini , tak menutup kemungkinan, yang memimpin adalah tokoh-tokoh setempat. Bahkan ada yang dipimpin oleh seorang petani. Tidak pula mencapai skala luas sehingga mudah ditindak. Seperti yang terjadi di wilayah budaya Sunda, gerakan Raksapraja pada 1842, gerakan Bapa Kantang pada 1853, perkumpulan Mutayam pada 1863. Semua gerakan ini didasarkan atas harapan milenarisme. “Mereka percaya akan tampil lagi kerajaan Sunda yang membawa kemakmuran dan kesejahteraan untuk rakyat,” kata Agus. Gerakan paling fenomenal dan ditakuti Belanda, yaitu Gerakan Nyi Aciah (1870-1871). Ia dianggap sebagai perempuan suci dari Sumedang. Masyarakat percaya Nyi Aciah punya kesaktian, termasuk dapat menyembuhkan macam-macam penyakit.Bahkan berkembang ramalan akan datang zaman yang aman sejahtera. Disebut pula soal kemunculan keraton di Keling dan Banjar. “Nyi Aciah akan menjadi ratu di Keraton Tegalluwar. Dia dipercaya sebagai jelmaan Dewi Siti Johar Manikam, putri Syeh Jumadilkubro,” jelas Agus. “Ini tokoh yang dikeramatkan.” Pendukung Nyi Aciah makin banyak. Pada Mei 1871 gerakan ini makin meluas ke Malangbong, Garut. Mereka mengadakan arak-arakan dan ziarah ke tempat-tempat keramat. Pemerintah kolonial Belanda menangkap tokoh-tokohnya. Gerakan ini padam. “Sama dengan Keraton Agung Segajat, kan arak-arakan juga, ditangkap polisi, runtuh sudah,” kata Agus.   Di Jawa Tengah hampir sama. Ada gerakan Jumadilkubro di selatan Pekalongan dan di kawasan utara Banyumas. Pemimpinnya Ahmad Ngisa. Gerakan ini mulai bergerak dari 1870-1871. Konon, ada wangsit dari Syeh Jumadilkubro dari Wanabadra. Bunyinya, ketika orang-orang asing (Belanda) diusir keluar, akan muncul tiga penguasa dari Majapahit, Pajajaran, dan Kalisalak (Pekalongan). Gerakan ini sempat meluas di Pekalongan dan Batang. Pemerintah Belanda menangkapi pengikutnya. Gerakan ini juga bubar. “Di sini ramalan-ramalan selalu mengiringi dan cerita-cerita kehebatan selalu ada,” kata Agus. Di Jawa Timur,tercatat gerakan Jasmani dari Desa Sengkrong di Blitar. Jasmani berguru kepada Amat Mukiar orang yang dianggap sakti dan keramat. Pada 1887, Amat Mukiar meramalkan, bahwa akan muncul Kerajaan Sultan Adil di wilayah Birowo, Lodoyo, dan Blitar. Muridnya, Jasmani akan dinobatkan sebagai Ratu Adil Igama. “Amat Mukiar meminta agar rakyat memerangi orang Eropa dan Cina, seluruh pejabat pribumi dianjurkan membantu gerakan ini,” kata Agus. Jasmani menyebarluaskan gagasan itu di Blitar. Ia juga menyiapkan pemberontakan terhadap Belanda.“Namun belum juga melaksanakan pemberontakan, Belanda sudah tahu. Mereka ditangkap dan bubar. Sama kasusnya,” lanjut Agus. Saluran Ketidakpuasan Kasus-kasus pada abad ke-19 itu memperlihatkan akar dari gerakan milenaristis, yaitu tekanan, kesewenangan, di tengah era kolonialisme Belanda. Masyarakat banyak yang mengharapkan kelahiran kembali kerajaan-kerajaan besar di masa lalu untuk mengusir Belanda.   Lalu, apakah keraton dan raja baru masa kini, seperti Keraton Agung Sejagat, Sunda Empire, King of the King, dan belakangan Kerajaan Mulawarman, adalah wujud gerakan milenarisme juga? Menurut Agus,bukan. Apa yang terjadi lebih kepada upaya revitalisasi tendensius. “Mereka mendaku punya keterkaitan dengan kemegahan masa silam. Mencari dan menghidupkan kegiatan seni budaya yang telah lama tak ditampilkan. Ini adalah upaya revitalistik,” kata Agus .   Tendensinya apa? Menurut Agus untuk menghadirkan kebanggaan karena menjadi terpandang di kalangan masyarakat. Bisa juga untuk mengumpulkan dana masyarakat yang kecenderungannya penipuan. “Positifnya untuk meneruskan tradisi keraton yang telah lama hilang dan menjadi acara dalam kalender kegiatan pariwisata,” lanjutnya. Sayangnya, kata Agus, dalam rangka menghidupkan tradisi keraton yang hilang, pencetus raja dan keraton baru ini membuat cerita karangan. Ini adalah upaya legitimasi untuk mencari simpati dan dukungan masyarakat. “Mencari simpati dan dukungan masyarakat dengan bilang masih punya darah biru dan layak untuk melanjutkan tradisi raja-raja. Mengaku mempunyai dana simpanan di luar negeri yang tak terhingga,” katanya. Agus pun menyimpulkan munculnya keraton dan raja baru adalah gejala masa kini. Kemunculan mereka bukan gerakan milenarisme karenamasyarakat tidak dalam tekanan. “Kalau dulu kan ditekan imperialisme,” kata Agus. “Munculnya raja-raja dan keraton baru ini adalah gejala zaman sekarang, zaman gabut dan galau. Dengan pakai simbol masa lalu berbau milenarime.” Dari sudut pandang Ong Hok Ham, gerakan milenarisme muncul tak spesifik karena di bawah tekanan imperialisme. Menurutnya jelas sekali dalam Serat Jayabaya itu adalah persoalan hilangnya kekayaan dari masyarakat. Zaman edan dilukiskan sebagai zaman di mana emas hilang dari desa-desa, bahkan dari negara, untuk dikirim ke luar negeri. Bagaimanapun, kata Ong Hok Ham , gerakan Ratu Adil dilatarbelakangi oleh keadaan sosial ekonomi masyarakat atau pribadi tertentu. Munculnya gerakan ini adalah saluran baru bagi masyarakat untuk menyatakan ketidakpuasan mereka kepada pemerintah.

  • Aliarcham, Buangan Paling Dihormati

    PADA 1 Juli 1933, laki-laki itu dipapah kawan-kawannya menaiki perahu motor. Dari Tanah Tinggi, perahu itu menyusuri Sungai Digul hendak menuju Tanah Merah untuk berobat. Butuh waktu sekitar enam jam menuju Tanah Merah dengan aliran sungai yang berkelok-kelok. Sesekali lajunya terhalang batang-batang pohon yang hanyut di sungai. Aliarcham memang telah sakit-sakitan. Ia sering batuk-batuk dan mengidap penyakit paru-paru. Tapi meski kondisinya semakin buruk, ia enggan berobat. "Saya sangat merindukan kawan-kawan. Kalau saya mati biarlah kematian saya di hadapan kawan-kawan di sini yang sangat dibenci oleh Belanda ini," katanya sepeti dikutip Mangkudun Sati dalam Aliarcham, Sedikit Tentang Riwayat dan Perjuangannya. Keinginannya itu benar-benar tercapai. Belum sempat sampai ke Tanah Merah, di antara deru mesin perahu dan sunyinya hutan Papua, laki-laki 32 tahun itu menarik napas terakhirnya. Aliarcham, buangan Digul paling dihormati itu meninggal dunia dikelilingi sahabat-sahabatnya. Aliarcham ditangkap pemerintah kolonial pada 5 Desember 1925. Saat itu ia sedang berada di Solo untuk mengikuti kongres Organisasi Perguruan dan Pendidikan Indonesia (OPPI). Pemerintah kolonial menduga Aliarcham merupakan organisator penting dalam pemogokan besar buruh di sejumlah tempat di Jawa Timur, satu bulan sebelumnya. Pada 24 Desember 1925, ia diangkut dengan kapal Van Der Wijck ke Papua bersama seorang kawannya bernama Mardjohan. Merauke adalah lokasi pertama Aliarcham dibuang. Ia tinggal di sana kira-kira hanya seminggu. Aliarcham lalu dipindahkan ke Okaba dan tinggal di sana sekitar satu setengah tahun. Dari Okaba, ia dipindahkan ke Tanah Merah. Di sini, sudah ada buangan lainnya yang ditangkap setelah pemberontakan PKI pada November 1926. Saat itu, di Tanah Merah tengah terjadi perselisihan antara kaum buangan mengenai siapa yang bertanggung jawab atas gagalnya pemberontakan 1926. Aliarcham mengambil sikap yang tegas. Ia menganggap tak ada yang patut disalahkan kecuali pemerintah kolonial yang menyebabkan rakyat harus memberontak. "Suatu pemberontakan yang mengalami kekalahan adalah tetap sah dan benar. Kita terima kekalahan ini karena musuh lebih kuat. Kita terima pembuangan ini sebagai satu risiko perjuangan yang kalah. Tidak ada di antara kita yang salah, karena kita berjuang melawan penjajahan. Pemerintah kolonial yang bersalah. Kita harus melawannya, juga di tanah pembuangan ini. Dan persatuan harus terus kita pelihara. Kita harus terus menggunakan waktu pembuangan ini untuk belajar pengetahuan Marxisme dan pengetahuan umum," katanya. Perselisihan itu menyisakan perpecahan antara mereka yang bersifat keras dan mereka yang mulai luntur semangat perjuangannya. Karena dianggap berbahaya, sebagian dari mereka yang bersifat keras dipindahkan ke Gudang Arang yang letaknya berada di tengah rawa. Beberapa di antaranya adalah para pemimpin PKI seperti Mas Marco Kartodikromo, Thomas Najoan, Budisucitro, dan Aliarcham. Karena banyak diprotes kaum progresif Belanda, pada Januari 1928, Aliarcham dan kawan-kawan dipindahkan ke Tanah Tinggi. Meski tak lagi di tengah rawa, Tanah Tinggi letaknya jauh masuk ke dalam belantara hutan Digul. Enam jam perjalanan dari Tanah Merah jika naik perahu. Kamp paling sunyi di Digul. Aliarcham termasuk orang buangan yang paling dikenal di Digul. Ia dianggap sebagai pemimpin para buangan dan kerapkali mewakili kaum buangan dalam pelbagai persoalan. Misalnya ketika tunjangan 30 sen perhari hendak dicabut, bersama Budisucitro dan Said Ali, ia dikirim untuk menanyakan keputusan itu. Setelah beradu debat dengan kontrolir, tunjangan 30 sen akhirnya tidak jadi dicabut. Menurut Mas Marco Kartodikromo dalam Pergaulan Orang Buangan di Boven Digoel , ketika kaum buangan Tanah Merah membentuk Centrale Raad Digoel  (CRD) Aliarcham terpilih sebagai anggota dengan suara terbanyak, yakni 515 suara. Ia juga terpilih menjadi anggota komisi pembentuk Anggaran Dasar CRD bersama Soenarjo dan Budisucitro. Meninggalnya Aliarcham meninggalkan kesan mendalam bagi kaum buangan. Baik mereka yang telah loyal terhadap kolonial maupun mereka tetap radikal, menganggap Aliarcham adalah pemimpin mereka. "Aliarcham dimakamkan dengan peghormatan besar, semua kelompok berjalan kaki dalam iringan pemakamannya, seakan akan ia telah menyatukan semua tapol, yang sebelumnya terlibat dalam perselisihan sengit tentang status di pengasingan, dan tentang dukungan untuk organisasi-organisasi mereka yang ini atau yang itu," tulis Molly Bondan dalam Spanning a Revolution. Menurut Molly, tidak orang lain lagi yang pernah menerima penghormatan sebesar itu dari semua tapol. Makam Aliarcham di Tanah Merah juga merupakan makam yang paling dirawat dengan layak. Tertulis sebuah sajak di makamnya: " Obor yang dinyalakan di malam gelap-gulita ini, kami serahkan kepada angkatan kemudian. "*

  • Solidaritas Prajurit India Untuk Indonesia Merdeka

    SUATU hari di bulan Maret 1971. Mayor Z.A. Maulani bersama rekannya dari KKo-AL, Mayor Suharmo Haryanto bertamu ke KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) di Pakistan. Saat akan memasuki pintu gerbang kedutaan, mereka berdua disambut dengan penghormatan “jaga jajar” dari para satpam KBRI. Begitu turun dari mobil, betapa terkejutnya kedua perwira itu saat melihat di saku kiri kameja para petugas satpam tersebut terpasang Bintang Gerilya. Itu nama medali penghargaan bagi seorang tentara Indonesia yang pernah terlibat aktif dalam Perang Kemerdekaan (1945-1949). “Setelah memberi salut secara sempurna kepada mereka, sebagai tanda hormat kepada senior, saya tidak dapat menahan diri untuk bertanya tentang Bintang Gerilya yang mereka kenakan,”ujar Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara era Presiden B.J. Habibie itu. Salah seorang dari mereka akhirnya menjelaskan bahwa pada 1945-1949, mereka pernah tergabung dalam TNI-Polri dan aktif dalam perjuangan fisik melawan militer Belanda. Rupanya para satpam itu adalah para prajurit Inggris muslim dari kesatuan British Indian Army (BIA) yang membelot ke kubu kaum Republik karena tidak merasa nyaman harus memerangi orang-orang yang seagama dengan mereka. Perasaan simpati para prajurit muslim dari BIA memang sudah muncul sejak awal kedatangan mereka di Pulau Jawa. Tersebutlah pada suatu hari di bulan Oktober 1945. Sebuah iring-iringan konvoi BIA yang melewati jalanan Bogor tetiba dihadang sekelompok  lasykar yang terdiri dari anak-anak muda bersenjatakan beberapa pucuk bedil usang dan parang. Alih-alih bisa menghancurkan konvoi kecil itu, para serdadu BIA malah dalam waktu cepat bisa balik bisa mengepung  dan menjadikan anak-anak muda tersebut bertekuk lutut. Usai mengumpulkan para tawanan, salah seorang opsir mereka menyampaikan ceramah pendek di hadapan anak-anak muda itu. “Isinya nasehat supaya anak-anak kita jangan melawan, karena katanya mereka bersimpati terhadap perjuangan kita. Dianjurkan pula oleh opsir itu agar anak-anak berlatih dahulu sebelum turun dalam suatu pertempuran sungguh-sungguh…” ungkap Jenderal (Purn) A.H Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid 2. Menurut Nasution, adanya rasa simpati pasukan Inggris asal anak benua India  terhadap perjuangan orang-orang Indonesia tentunya bukan tanpa dasar. Bukan rahasia lagi jika sebagian besar bangsa India, saat itu  menyimpan rasa kurang suka terhadap  Belanda, yang menjadi musuh orang-orang Indonesia. Hal itu terkait dengan kejadian di Afrika Selatan, di mana perlakuan rasis keturunan Belanda berlangsung secara kencang terhadap orang-orang keturunan India di sana. Namun para peneliti sejarah BIA di Indonesia seperti Firdaus Sjam dan Zahir Khan menyebut justru karena soal kesamaan agama-lah yang menjadi pemicu utama munculnya rasa simpati tersebut. “Faktor ini yang melahirkan sikap mereka untuk bahu membahu dengan para pejuang republik berperang melawan penjajah sebagai satu fisabilillah …”tulis Sjam dan Khan dalam Peranan Pakistan di Masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia . Hal itu terbukti pada saat satu seksi BIA pimpinan Letnan Abu Nawaz menolak keras perintah atasannya untuk menghancurkan Masjid Jami yang terletak di Jalan Serdang, Medan. Alih-alih melaksanakan perintah atasannya itu, seksi BIA yang keseluruhan prajuritnya beragama Islam itu malah membelot ke kubu musuh: para pejuang Indonesia. “Penghancuran Masjid itu kemudian dilakukan oleh pasukan Inggris yang lain…”ujar Muhammad TWH, wartawan senior sekaligus pemerhati sejarah di Medan. Sementara itu, di Utara Jakarta, Prajurit Ghulam Ali  awalnya sama sekali tak mengerti mengapa pimpinan pasukan Inggris  melarang keras para prajurit BIA untuk bergaul dengan penduduk lokal. Ketidakmengertian itu mulai terjawab saat suatu hari ia diikutkan dalam suatu patroli ke sebuah kampung. “Ketika kami memasuki sebuah rumah kosong, kami menemukan kaligrafi basmallah dan sebuah kitab Al Qur’an di sana. Kami menjadi terharu dan muncul keinginan untuk membantu orang-orang Indonesia…”kenang pensiunan Polri itu seperti ditulis dalam Buletin Badan Kontak Purnawirawan/Warakawuri-Polri Mabes edisi Agustus 1986. Munculnya rasa solidaritas sebagai sesama muslim dan bangsa Asia  menjadikan prajurit-prajurit  muslim asal India bertambah nekad. November 1945, terjadi pembangkangan massif saat  Panglima Pasukan Sekutu di Jawa Barat memerintahkan 400 serdadu BIA untuk berangkat ke front Surabaya. Beberapa hari sebelumnya, pembangkangan terhadap intruksi itu  dilakukan pula oleh 200 prajurit BIA dengan melakukan aksi duduk di tempat dan mogok kerja. “Keenamratus serdadu itu akhirnya ditindak oleh Panglima Sekutu dengan mengirim mereka ke kamp militer di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu,” tulis Muhammad Rivai dalam Merdeka atau Mati.

bottom of page