top of page

Hasil pencarian

9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Membangun Ulang Pengetahuan Pasca-Merdeka

    Proses memerdekaakan diri tidak hanya dilakukan para pendiri negeri   ini   melalui perjuangan fisik. Upaya jauh lebih mendasar yang dilakukan ialah meningkatkan kualitas manusia melalui pendidikan dan membangun ilmu pengetahuan yang terbebas dari unsur penjajahan. Usai proklamasi, upaya menyebarkan pengetahuan pun dilakukan dalam berbagai aspek, seperti pembangunan institusi pendidikan tinggi atau pengembangan riset. Ada pula upaya memelihara dan mengembangkan pengetahuan untuk tujuan yang lebih praktis. Ilmu pengetahuan tersebut amat dibutuhkan setelah kemerdekaan untuk membangun negara dan mendidik warganya. “Dari pendekatan inilah proyek penelitian ini berjalan. Bagaimana Indonesia pasca-merdeka mencoba membangun kembali budaya pengetahuannya,“ kata Profesor Remco Raben dari Universitas Amsterdam dalam pembukaan seminar “The Construction of Indonesian Knowledge Culture since Independence” di UGM, Rabu, 5 Februari 2020. Upaya mengorganisasi ilmu pengatahuan untuk membangun masyarakat amat kentara pada awal kemerdekaan. Contohnya, pembentukan Sekolah Tinggi Islam –institusi pendidikan tinggi Islam pertama di Indonesia; kini menjadi Universitas Islam Indonesia– di Yogyakarta pada 1946. Upaya membangun institusi pendidikan Islam itu sudah dirintis pada masa pra-kemerdekaan. Masyumi yang sudah punya gagasan untuk menyediakan pendidikan tinggi bagi negara baru ini, menyelenggarakan Sidang Umum Masyumi untuk membahas pembangunan perguruan tinggi Islam tersebut. Hasilnya, pendirian Sekolah Tinggi Islam di Jakarta  pada 8 Juli 1945. Dua hari berselang, sebagaimana dicatat Ramlah Mardjoened dalam K.H. Hasan Basri 70 Tahun , para mahasiswa STI mendirikan Persatuan Pelajar Sekolah Tinggi Islam. Namun karena pendudukan Jakarta oleh Sekutu, STI dipindahkan ke Yogyakarta pada 1946.  Sebagai presiden pertama, Sukarno juga mendorong para intelektual menciptakan pengetahuan yang dapat dipraktikkan langsung oleh rakyat bawah. Dalam pidatonya kala dinobatkan sebagai doctor honoris causa oleh UGM pada 1951, Sukarno menyebut bahwa dirinya tidak pernah puas pada ilmu pengtahuan bila tidak berguna bagi masyarakat. Pengetahuan tanpa praktik menjadi tak berarti karena kunci pengetahuan ada pada keberguanaannya bagi masyarakat. Upaya mengkonstruksi budaya pengetahuan terus berlanjut. Dalam pidatonya di Univeristas Padjajaran, September 1957, Sukarno menekankan pentingnya membangun karakter berbangsa yang sehat. Guru besar Ilmu Kesehatan Anak UI Profesor Sudjono Pusponegoro juga menekankan pada mahasiswanya betapa penting memahami perubahan sosial ekonomi masyarakat di samping mempelajari ilmu kedokteran. Usaha meningkatkan pengetahuan di era Sukarno cukup berhasil, khususnya dilihat dari cepatnya pertambahan jumlah mahasiswa dan besarnya keterlibatan negara dalam dunia pendidikan. Remco mencatat, ada tiga hal yang mempengaruhi berkembangnya budaya pengetahuan Indonesia pada dekade awal kemerdekaan. Pertama,  keinginan untuk membangun negara; kedua , kewajiban sosial akademisi; dan ketiga, keikutsertaan masyarakat untuk membentuk pengetahuan budaya baru. Upaya semacam itu menurutnya bisa dimasukkan dalam kerangka dekonolisasi. Tanggung jawab sosial dan nasional pada para akademisi lebih dititikberatkan untuk keuntungan masyarakat di mana perspektif macam ini amat berbeda dari praktik kolonial. “Kemerdekaan berpengaruh pada perkembangan pengetahuan budaya Indonesia. Di samping itu, sejarah pengetahuan masih terpinggrikan dalam historiografi Indonesia. Padahal, pengetahuan menjadi dasar pembangunan agraria, pendidikan, atau industri pertambangan. Dekolonisasi bisa menjadi alat analisis yang berguna untuk melihat pilihan politik,” kata Remco. Lebih jauh, Remco menjelaskan bahwa sejarah ilmu pengetahuan banyak didominasi oleh epistimologi Barat. Hal ini terlihat jelas pada analisis tajam dan deskripsi kaku antara asal ilmu pengetahuan Barat dan bagaimana Indonesia memaknai, menggunakan, dan memproduksi ilmu pengetahuan. Alasan inilah yang menurutnya penting untuk meneliti ilmu pengetahuan budaya di Indonesia pada dekade awal setelah kemerdekaan. Periode ini memperlihatkan bagaimana kebijakan pemerintah Indonesia menyikapi ilmu pengetahuan peninggalan kolonial. “Ketiadaan diskusi tentang dekolonisasi di Indonesia menajdi menarik sekaligus mengejutkan,” lanjut Remco. Pembahasan tentang konstruksi budaya pengetahuan tersebut lebih lanjut dilakukan dalam seminar yang dihadiri lebih dari 20 peneliti sejarah, di antaranya Mikihiro Moriyama dari Univeristas Nanzen, Eline Kortekaas dari Universitas Amsterdam, dan Didi Kwartanada sebagai peneliti independen. Seminar itu sendiri merupakan program kerjasama antara Universitas Gadjah Mada, Amsterdam, dan Leiden yang didanai Nederlanse Organisatie voor Wetenschappelijk Onderzoek (Dewan Penelitian Belanda) sebagai bagian dari program “Decolonizing Knowledge. Postcoloniality and the Making of Modern Indonesia’s Knowledge Culture 1945-1970”. Dengan menelusuri upaya Indonesia membentuk pengetahuan, penelusuran lebih jauh tentang produksi pengetahuan bisa dilakukan. Selain itu, penelusuran juga tidak hanya berkutat pada institusi formal, seperti pusat penelitian, universitas, dan lembaga yang memegang didominasi konsepsi ilmu pengetahuan Barat namun juga praktik pengetahuan yang berkembang dan hidup di masyarakat.

  • Hijrah yang Dibenci TNI

    HUTAN Rawakalong, Sumedang pada pertengahan Januari 1948. Kapten Sentot Iskandardinata menatap tajam Letnan Muda Soedarja. Ketika perwira pertama itu menyampaikan pesan Kolonel A.H. Nasution bahwa seluruh pasukan TNI (termasuk Batalyon 27 Tarumangera yang dipimpinnya) diwajibkan melakukan gencatan senjata dengan Belanda, Sentot menyatakan ketidakpercayaannya. Terlebih sebagai konsekuensi dari Perjanjian Renville, seluruh kekuatan Divisi Siliwangi harus meninggalkan Jawa Barat menuju Jawa Tengah dan Yogayakarta. “Apakah kamu tidak salah mendengar perintah,Letnan?” tanya Kapten Sentot. “Jika Kapten tak percaya, ini saya bawakan koran-koran yang memuat hasil perjanjian dengan Belanda itu,” ujar Soedarja sambil menyodorkan seberkas dokumen. Alih-alih menerimanya, Sentot malah menatap kosong tumpukan-tumpukan kertas tersebut. Kekekecewaan yang sama juga dirasakan oleh Letnan Kolonel A.E. Kawilarang, Komandan Brigade II Surjakantjana Divisi Siliwangi. Ketika menerima perintah itu lewat Letnan Islam Salim, dia betul-betul terkejut luar biasa. Walau terpaksa menerimanya, hati Kawilarang tak bisa menyembunyikan kekesalannya kepada pemerintahnya. “Bukan main bencinya saya, ketika mendengar kabar itu. Seperti (mendengar) halilintar di siang bolong rasanya. Tapi kami mampu menguasai diri: tunduk kepada perintah atasan, perintah (pemerintah) pusat,” ujar Kawilarang dalam otobiografinya, Untuk Sang Merah Putih (disusun oleh Ramadhan KH). Awal Februari 1948, para prajurit Siliwangi mulai keluar dari hutan dan gunung di seluruh Jawa Barat. Mereka bukan saja membawa diri mereka masing-masing tetapi ada juga yang mengikutsertakan seluruh anggota keluarganya. Menurut buku  Hijrah Siliwangi  yang diterbitkan oleh Dinas Pembinaan Mental Angkatan Darat, jumlah keseluruhan peserta hijrah adalah 30.000 orang. Sebagai titik temu seluruh rombongan Divisi Siliwangi dari pelosok Jawa Barat, dipilihlah Cirebon. Dari kota udang tersebut, mereka berangkat ke wilayah Republik dengan menggunakan tiga cara: diangkut dengan kapal laut menuju Rembang, menggunakan kereta api hingga Yogyakarta dan berjalan kaki hingga Wonosobo atau Gombong. Selanjutnya dari kedua kota itu, rombongan menggunakan kereta api dan truk menuju Yogyakarta dan sekitarnya. Saat menuju tempat tujuan hijrah inilah, pihak Belanda dikejutkan dengan performa prajurit-prajurit Siliwangi. Kendati berpakaian compang-compang, mereka tetap menunjukan disiplin tinggi laiknya tentara profesional. Termasuk saat seluruh prajurit harus menyerahkan senjata masing-masing guna diangkut secara terpisah, sesuai kesepakatan dengan pihak pengawas dari Komisi Tiga Negara (KTN). “Berbeda dengan penggambaran yang kerap ditulis koran-koran Belanda bahwa TNI itu sejenis kumpulan perampok dan ekstrimis, mereka justru terlihat seperti pasukan yang sangat teratur dan memiliki disiplin,” ujar Piere Heyboer dalam  De Politionele Acties . Namun tak ayal, pandangan merendahkan tetap diperlihatkan oleh pasukan Belanda, terutama para serdadu yang sebelumnya kerap terlibat dalam pertempuran brutal dengan anak-anak Siliwangi. Unit KST (Korps Pasukan Khusus) dan Batalyon Andjing NICA misalnya. Saat pelaksanaan hijrah, mereka sering berlaku sinis dan menghina seperti dilakukan kepada para prajurit dari Brigade II Surjakantjana. Ceritanya, sebelum bergerak ke titik kumpul di Cirebon, pasukan Siliwangi dari wilayah Cianjur, Sukabumi dan Bogor, yang langsung di pimpin Letnan Kolonel A.E. Kawilarang menunggu dahulu di Purabaya (suatu kawasan dekat Cimahi). Mereka dikawal secara ketat oleh satu kompi baret hijau Angkatan Darat Kerajaan Belanda (KST) pimpinan Letnan Pertama Henk Ulrici, yang merupakan tangan kanan Kapten R.P.P. Westerling. Karena merasa berlarut-larut dan tidak pasti, pada suatu kesempatan Kawilarang menanyakakan kepada Ulrichi: kapan pasukannya akan dibawa ke Cirebon? Ulrici menjawab dengan suara keras: “ Ya spoedig. Maar die gekke Kapitein Soegih Arto heft zich nog niet over gegeven en wij weten niet waar hij is”  ( Ya, secepatnya, tetapi Si Gila Kapten Soegih Arto -Komandan Batalyon 22- itu belum menyerah dan kami tidak tahu di mana dia sekarang). Mendengar jawaban itu, Kawilarang berang dan langsung membentak Ulrici: “Kepergian Siliwangi tidak ada hubungannya dengan kata “menyerah”! Ini adalah atas dasar perjanjian Indonesia dengan Belanda! Letnan, kalau bicara harus hati-hati dan jangan berteriak-teriak kepada saya!”demikian seperti dipaparkan Soegih Arto dalam biografinya, Pengalaman Pribadi Letjen (Purn.) Soegih Arto . Belum habis rasa marah Kawilarang, tiba-tiba seorang sersan baret hijau beretnis Minahasa (satu etnis dengan Kawilarang) melapor kepada Ulrici bahwa satu lagi kelompok “rampokers” telah datang dan siap bergabung dengan rombongan besar. Tanpa banyak cakap, Kawilarang mendekati Si Sersan itu dan langsung memakinya habis-habisan. Usai dimaki-maki, alih-alih melawan, Si Sersan itu langsung ngeloyor  pergi.*

  • Merahasiakan Hubungan Uni Soviet-Indonesia

    DESEMBER 1949. Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Mohammad Hatta menerima telegram dari Menteri Luar Negeri Uni Soviet Andrei Vyshinsky. Bunyinya: “Atas nama pemerintah Uni Soviet, saya dengan hormat menginformasikan kepada Anda, sejak pengakuan kedaulatan Republik Indonesia pada 27 Desember 1949 di Den Haag, Belanda, pemerintah Uni Soviet memutuskan mengakui kedaulatan dan kemerdekaan Republik Indonesia dan akan membangun hubungan diplomatik dengan Indonesia.” Pada 3 Februari 1950, Hatta memberi balasan kepada pemerintah Uni Soviet. Ia mengatakan bahwa pemerintah Indonesia telah menerima keputusan pengakuan dari Uni Soviet dan merencanakan hubungan diplomatik dengan negara yang wilayah mencakup Asia dan Eropa tersebut. Saling berbalas telegram itu merupakan bukti hubungan diplomatik kedua negara secara resmi. Namun jika dilihat ke belakang, hubungan Indonesia dengan Uni Soviet sebenarnya telah dirintis sejak 1947. Melalui seorang tokoh muda komunis bernama Suripno, Indonesia telah lama mengincar pengakuan politik negara adidaya ini. Meski hubungan yang dijalin saat itu tidak mendapat pengakuan resmi pemerintah, bahkan terkesan ditutupi dari pemberitaan di dalam negeri. Diplomasi Rahasia Pertengahan 1947, Suripno meninggalkan Indonesia untuk menghadiri kegiatan kongres pemuda sedunia, World Federation of Democratic Youth (WFDY). Slamet Muljana dalam Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan , menyebut jika Suripno mulai menetap di Praha begitu kongres selesai. Ia ditunjuk oleh Menteri Luar Negeri Agus Salim sebagai wakil Indonesia di Eropa Timur. Ia diberi wewenang menjalin hubungan dengan pemerintah Uni Soviet. Sementara menurut berita Pelita Rakjat, 3 Juni 1948, mandat yang dibawa Suripno di Uni Soviet datang dari Sukarno. Presiden menunjuknya sebagai wakil resmi Indonesia. NJF Zandstra, direktur surat kabar De Vrij Pers  di Surabaya, pernah menemukan sepucuk surat bukti mandat untuk membuka hubungan diplomatik dengan Uni Soviet di kediaman Suripno di Yogyakarta. “Ditemukan surat jalan, lengkap dengan stempelnya buat perjalanan Suripno dan sepucuk surat yang ditandatangani oleh Presiden Sukarno, di mana diberikan kewajiban kepada Suripno untuk mengadakan hubungan persahabatan dengan negara Eropa Timur dan Uni Soviet. Ditemukan juga sepucuk surat balasan dari Rusia yang ditulis dalam bahasa Roes,” tulis Pelita Rakjat , 30 Desember 1948. Rupanya di dalam negeri, hubungan dengan Uni Sovet itu harus dirahasiakan oleh Perdana Menteri Amir Sjarifuddin. Hal itu dilakukan agar hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) tetap terjaga baik. Mengingat pada 1947-1948, sedang berlangsung perundingan antara Indonesia dan Belanda yang ditengahi oleh pihak AS. “Selaku ketua delegasi, Amir Sjarifuddin segan melukai pihak Amerika, yang memimpin perundingan. Lagi pula, delegasi Republik Indonesia mengharapkan bantuan pihak Amerika dalam menghadapi delegasi Belanda. Oleh karena itu, hubungan Uni Soviet-Indonesia tersebut tidak diumumkan,” tulis Muljana. Tidak hanya masa Amir Sjarifuddin, pada periode Kabinet Hatta pun hubungan Uni Soviet-Indonesia tetap dirahasiakan. Hatta pun segan dengan Amerika. Ia tidak ingin keputusan mengumumkan secara terang-terangan hubungan mereka dengan Soviet malah menjadi bumerang bagi usaha di dalam negeri. Apalagi hubungan dengan Soviet masih belum tentu arahnya. Namun melalui Suripno, kata Muljana, usaha diplomatik dengan Uni Soviet akhirnya menjadi jelas, Pemerintah Indonesia sepakat membuka hubungan konsuler pada awal tahun 1948. Diberitakan harian Pelita Rakjat , 28 Mei 1948, kesepakatan kedua negara baru benar terjadi pada 19 Mei 1948. Siaran resmi stasiun radio Moskow menyebut jika penandatanganan perjanjian hubungan diplomatik antara Indonesia dan Uni Soviet telah selesai. Pemberitahuan itu mengejutkan Kabinet Hatta. Suripno akhirnya dipanggil pulang dari Praha untuk memberikan keterangan terkait kesepakatan tersebut. Suripno tiba di Yogyakarta pada 11 Agustus 1948. Setelah memberikan keterangan kepada menteri luar negeri, Suripno didampingi sekertarinya Suparto menghadap Sukarno. Rupanya si sekertaris adalah Muso, salah satu tokoh PKI, yang mengasingkan diri ke Moskow pada 1926. Ia menggunakan nama Suparto demi memelihara keamanannya selama di Indonesia. Rahasia Bocor Setelah pertemuan dengan Sukarno, Suripno dan Muso memberikan ceramah di Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia. Keduanya menceritakan perjalanan hidupnya di Eropa. Tidak lupa mereka memuji-muji Uni Soviet, yang dirasa memfasilitasi keduanya dengan baik. Dalam kesempatan tersebut, Muso mengakui dirinya berandil besar dalam melancarkan proses pengakuan Uni Soviet kepada Indonesia. “Pengakuan itu sangat penting karena Uni Soviet adalah satu-satunya negara yang ditakuti Amerika Serikat,” ucap Muso. Demikianlah, hubungan Uni Soviet-Indonesia yang sekuat tenaga dirahasiakan Kabinet Amir Syarifuddin dan Kabinet Hatta, begitu saja dibocorkan Suripno dan Muso. Dalam waktu singkat, rahasia itu menjadi konsumsi publik. Pihak oposisi, yang banyak beraliran kiri, tidak membiarkan begitu saja kesempatan tersebut, Melalui pers mereka, berbagai tuduhan terhadap pemerintah dilayangkan. Hatta dianggap antek AS. Ia juga dituduh tidak konsisten memberantas imperialisme. Pers Belanda tidak ketinggalan menyebut Indonesia telah terpengaruh komunisme. Pada 22 Agustus 1948, Muso berbicara di alun-alun Yogyakarta. Kegiatan itu dihadiri oleh ribuan masyarakat dan beberapa mahasiswa Uni Soviet. Muso kembali menyebut Uni Soviet sebagai pihak yang berjasa. Ia menyudutkan pemerintahan Hatta dengan menyebut pilihannya dalam menjalankan perundingan Renville adalah kesalahan. “Intinya, Muso membakar hati rakyat dan mengobarkan antipati terhadap Kabinet Hatta,” tulis Muljana. Akibat bocornya informasi terkait hubungan Uni Soviet-Indonesia dari mulut Suripno dan Muso, tuntutan pelaksanaan persetujuan keduanya semakin gencar di masyarakat. Banyak yang menganjurkan, terutama dari golongan kiri, agar Indonesia memihak blok Uni Soviet dalam menghadapi Belanda. Menanggapi hal tersebut, Menlu Agus Salim dalam sidang KNIP menegaskan jika pemerintah tidak menutup pengakuan dari pihak manapun. Pemerintah juga tidak berencana membatalkan persetujuan yang telah disepakati. Mereka hanya perlu menimbang pilihan terbaik demi kepentingan kedaulatan Republik Indonesia.*

  • Saat Pesawat Sipil Dihantam Misil

    SETELAH pesawat Boeing 777-200ER Malaysia Airlines dengan nomor penerbangan MH17 ditembak jatuh oleh misil/rudal BUK buatan Rusia pada 17 Juli 2014, pesawat Boeing 737 Ukraine International Airline menyusul pada 8 Januari 2020. Pesawat dengan nomor penerbangan PS752 itu dihantam dua misil milik militer Iran. Kedua pesawat menambah panjang daftar pesawat sipil yang celaka dihantam (misil) militer. Iran sendiri pernah mengalaminya 32 tahun silam, menimpa pesawat Airbus A300 Iran Air nomor penerbangan 655 dengan tujuan Tehran-Dubai. Peristiwa itu terjadi tak lama setelah pesawat mengudara dari Bandara Internasional Bandar Abbas, Iran pada pukul 10.17 waktu setempat usai transit. Lantaran situasi di kawasan itu sedang berbahaya akibat Perang Iran-Irak, pilot Kapten Mohsen Reaian, dengan pengalaman 7000 jam terbang, terus melakukan komunikasi dengan menara pengawas. Mohsen diperintahkan untuk menerbangkan pesawat ke ketinggian 14.000 kaki kemudian turun menuju Dubai, dan diperintahkan untuk terus menghidupkan transpondernya serta terus menerbangkan pesawat di atas Teluk Persia. Di pagi itu pula kapal penjelajah Amerika Serikat (AS) USS   Vincennes  masih berada di Selat Hormuz, Iran setelah melakukan tugas pengawalan kapal-kapal sipil. Pengawalan itu dilakukan karena sejak 1984 kapal-kapal sipil di Teluk Persia mulai menjadi sasaran serangan militer Iran. Upaya itu diambil Tehran untuk menghancurkan suplai logistik lawannya, Irak, maupun negara-negara yang menyokong Irak. Penyerangan meningkat dan intensif setelah Iran menguasai Semenanjung Faw, tepat di seberang Pulau Bubiyan, Kuwait pada Februari 1986. “Tiga kapal tanker berbendera Kuwait dan sepuluh kapal berbendera negara lain yang menuju negara itu diserang pada 1986,” tulis Lee Allen Zatarain dalam America’s First Clash with Iran: The Tanker War, 1987-88 . Selain kapal-kapal kargo yang mengangkut persenjataan Rusia ke Irak, kapal-kapal tanker Kuwait menjadi yang paling sering ditarget militer Iran. “Frustrasi atas dukungan Kuwait terhadap Irak, dan menuntut agar Emir (Kuwait, red .) ‘bertaubat’ dengan mengakhiri dukungannya, Iran berganti-ganti antara mengancam dan mengisyarakatkan perdamaian,” sambung Zatarain. Aksi Iran tersebut membuat Irak melakukan hal yang sama sebagai pembalasan. Setelah Presiden Saddam Husein memutuskan untuk menghancurkan kapal-kapal tanker Iran, satu-satunya medium ekspor minyak Iran, pesawat-pesawat AU Irak rutin berpatroli di Teluk Persia untuk mencari kapal-kapal tanker Iran. Suasana panas itu dirasa membahayakan kepentingan AS, yang saat itu tengah mengkampanyekan “Kemerdekaan Navigasi”. Middle East Force militer AS lalu menyiasatinya dengan mengeluarkan aturan bernama Rules of Engagement (RoE). Isinya antara lain, kapal-kapal perang AS dilarang melakukan tembakan pertama. Tembakan pertahanan diri diperbolehkan setelah target membahayakan tak merespon permintaan identifikasi diri dan peringatan yang dikirimkan. Dengan panduan RoE itulah para komandan kapal-kapal perang AS kerap terlibat dalam tembak-menembak dengan kapal-kapal perang AL Iran baik yang berukuran besar maupun kecil. Pada Februari 1988, kedua angkatan laut terlibat dalam pertempuran laut hebat. Akibatnya, tulis Jack Lewis dalam Worst Plane Crashes in History , “Pada 29 April 1988, AS memperluas cakupan perlindungan angkatan lautnya ke semua pelayaran netral yang bersahabat di Teluk Persia di luar zona ekslusif.” Di areal itulah USS Vincennes  ditempatkan pada Juni 1988 untuk menutup celah yang tak mampu dikerjakan oleh pesawat-pesawat AWACS AS. Ketika sedang berada di Teluk Persia yang masuk perairan Oman pada 3 Juli pagi, USS Vincennes menerima kabar dari helikopternya bahwa kapal-kapal patroli Iran telah menembakinya. “Pada 3 Juli, kapal serang cepat Iran keluar untuk menyerang kapal kargo di Teluk (Persia) tak jauh dari surface action group AL AS. Dua kapal tanker mengirimkan panggilan darurat, dan salah satu kapal Iran menembaki helikopter AS,” tulis Kenneth Pollack dalam The Persian Puzzle: The Conflict Between Iran and America . Komandan USS   Vincennes Kapten William C Rogers lalu menggerakkan kapalnya mendekati lawan. “Mereka semua melanggar perairan Oman dan pergi setelah dihadapi dan diperintahkan untuk pergi oleh kapal perang AL Kerajaan Oman,” tulis Lewis. Semua kapal yang terlibat konflik itu lalu memasuki Teluk Persia yang masuk ke dalam perairan teritorial Iran. Setelah memperoleh izin menembak untuk pertahanan diri pada pukul 9.39, USS Vincennes  mulai melepaskan tembakannya. Meski jauh lebih superior, Vincennes  tak mudah menghantam lawannya karena banyaknya kapal Iran yang mayoritas merupakan speedboat  bersenjata dengan kecepatan jauh lebih tinggi dari Vincennes . Saat pertempuran tengah sengit itulah Andrew Anderson, petugas di Aegis Combat System Vincennes,  melihat sebuah titik yang bergerak mendekati Vincennes  di layar radar. NOTAM (Notice to Airmen) pun dikeluarkan awak Vincennes  untuk mengidentifikasi titik itu. Bukan hanya oleh awak Vincennes , kontak juga dilakukan awak USS Sides  dan USS Montgomery , dua kapal AL AS lain yang berada tak jauh dari Vincennes . Dengan inisiatif sendiri, Kapten Rogers lalu mengarahkan kapalnya ke timur laut untuk bergabung dengan USS Montgomery.  Dia memberi tahu Kapten Richard McKenna, kepala Surface Warfare for the Commander of the Joint Task Force, akan menembak pesawat yang dianggapnya sebagai jet tempur Iran F-14 Tomcat itu. “Kapten Richard McKenna yang marah, memerintahkan Rogers kembali ke Abu Musa, tetapi pilot helikopter Vincennes  Letnan Mark Collier, mengikuti speedboat  Iran ketika mereka mundur ke utara, akhirnya menembaki,” tulis Lewis. Sementara, kontak terhadap pesawat yang bergerak ke arah Vincennes  terus diupayakan awak Vincennes  dan Sides . Namun, tak satupun panggilan itu mendapat jawaban. Bersamaan dengan itu, pesawat patroli maritim militer Iran P-3 Orion terbang tak jauh dari Iran Air 655. Pilot Mohsen tak menanggapi panggilan Vincennes  dan Sides  kemungkinan karena menggangap panggilan itu ditujukan ke pesawat Orion. Lantaran 10 kontak –7 via frekuensi militer dan 3 frekuensi sipil– dari Vincennes  dan Sides  tak berbalas, Kapten Rogers lalu menyimpulkan pesawat yang mendekati kapalnya merupakan jet tempur F-14 Tomcat milik AU Iran. “Pukul 10.24, dengan jet sipil berjarak 11 mil laut (20 km) darinya, Vincennes  menembakkan dua rudal darat-ke-udara SM2MR, yang salah satunya menghantam pesawat. Setelah penembakan, kru Vincennes  menyadari bahwa pesawat itu merupakan pesawat sipil.” Tak satu pun dari 290 orang –274 penumpang dan 16 awak– di dalam Iran Air 655 yang berada di ketinggian 12 ribu kaki itu selamat. Presiden Ronald Reagan menyatakan penyesalannya atas hilangnya nyawa akibat penembakan itu, Namun, Reagan menyatakan AL AS tak bersalah dalam peristiwa itu. Di PBB, Wapres George HW Bush menyatakan penembagakan itu semata insiden di masa perang. Dalam kampanyenya untuk pemilihan presiden pada 2 Agustus, Bush menyatakan, “Saya tak akan pernah meminta maaf. Saya tak peduli apapun faktanya.” Menlu Iran Ali Akbar Velayati pertengahan bulan itu juga langsung meminta Dewan Keamanan PBB mengutuk AS. Pada 1989, pemerintah Iran membawa kasus tersebut ke International Court of Justice di Den Haag. “Pemerintah Iran berpendapat AS sengaja menembak jatuh pesawat itu sebagai bagian dari upaya untuk membantu Saddam Hussein dalam Perang Irak dengan Iran. Rakyat Iran menyimpulkan penembakan Iran Air flight  655 merupakan peringatan perang total,” tulis buku yang dieditori Reese Erlich dan Robert Scheer, Iran Agenda: The Real Story of US Policy and the Middle East Crisis . Setelah keputusan dari Den Haag keluar pada Februari 1996, AS setuju membayar 61,8 juta dolar –jauh lebih kecil dari tuntutan AS pada Libya atas penembakan pesawat PanAm di Lockerbie, Skotlandia yang mencapai 2,7 milyar dolar– sebagai uang kompensasi. AS tetap menolak pertanggungjawaban secara hukum karena menganggap peristiwa itu murni kecelakaan. Iran tak menerima pendirian AS. “Terlepas dari kesalahan yang dilakukan oleh kru, AS secara hukum bertanggung jawab atas tindakan kapal perangnya berdasarkan hukum internasional. Iran menunjukkan bahwa di masa lalu ‘AS dengan tegas mengutuk penembakan pesawat, baik sipil atau militer, oleh angkatan bersenjata negara lain.’ Iran juga mencatat bahwa ketika Irak menyerang USS Stark , AS mendapati Irak bertanggung jawab penuh dengan alasan bahwa pilot Irak ‘tahu atau seharusnya tahu’ bahwa ia sedang menyerang kapal perang AS,” kata Lewis. “Insiden itu membayangi hubungan Iran-Amerika selama bertahun-tahun.”*

  • Seniman Tolak Komersialisasi Taman Ismail Marzuki

    Awan tebal menggelayut. Matahari tak kelihatan. Hampir turun hujan. Para pekerja berhelm proyek dan berompi oranye bergegas. Mereka meneriakkan aba-aba kepada rekannya di dalam ekskavator. Lengan ekskavator bergerak, menghantam dua bangunan di dekatnya. Gedung Galeri Cipta I dan Graha Bhakti Budaya roboh pelan-pelan menjadi puing. Alat berat saat merobohkan gedung Graha Bhakti Budaya di Taman Ismail Marzuki. (Fernando Randy/Historia). Para seniman Ibukota resah. Tempat yang membersamai mereka sedari dulu, kini satu per satu hilang. Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, tengah direvitalisasi. Proyek ini sudah dimulai sejak tahun 2019 dan terus berlanjut hingga Februari 2020 meski protes dari seniman mengalir deras. Para seniman yang tergabung dalam Forum Seniman Peduli TIM melakukan silent action  di trotoar TIM. (Fernando Randy/Historia). Salah satu protes datang dari para seniman yang tergabung dalam Forum Seniman Peduli TIM. Mereka merasa ada kejanggalan dalam proses revitalisasi TIM sejak awal. “Dari awal, kami seniman TIM, tidak pernah diajak diskusi mengenai rencana revitalisasi ini. Pemerintah terkesan sembunyi-sembunyi,” ujar Tatan Daniel (48), perwakilan seniman Graha Bhakti Budaya ketika dirobohkan oleh alat berat. (Fernando Randy/Historia). Aksi salah satu seniman saat memprotes revitalisasi Taman Ismail Marzuki. (Fernando Randy/Historia). Menurut Tatan, seniman bernama besar seperti Nano Riantiarno dan Putu Wijaya juga tak pernah didengarkan. Kedua seniman itu besar bersama TIM. Kekecewaan terbesar mereka adalah adanya rencana pembangunan hotel mewah. Perwakilan Forum Seniman Peduli TIM Tatan Daniel usai melakukan unjuk rasa di TIM. (Fernando Randy/Historia). Tatan menyebut hotel itu akan membuat TIM jadi komersial. Tapi hal tersebut dibantah oleh Pemerintah Provinsi Jakarta selaku penanggung jawab proyek revitalisasi TIM. Mereka bilang hanya ingin mendirikan wisma untuk seniman.  Para pekerja saat merenovasi gedung Graha Bhakti Budaya di komplek TIM. (Fernando Randy/Historia). Tatan tak percaya bantahan itu. “Kalau memang nantinya akan dibangun wisma untuk seniman, kami mau fungsi dan bentuk benar benar wisma, jangan seperti hotel mewah,” lanjut Tatan. Para seniman masih terus menggelar aksi tolak komersialisasi TIM. Bentuknya “Silent Action”. Aksi itu berlangsung tiap Jumat sore di depan pelataran TIM.  Para seniman yang tergabung dalam Forum Seniman Peduli TIM melakukan silent action  di trotoar TIM. (Fernando Randy/Historia). Salah satu seniman yang tergabung dalam Forum Seniman Peduli TIM melakukan kritik lewan karya seni di trotoar TIM. (Fernando Randy/Historia). Para seniman yang tergabung dalam Forum Seniman Peduli TIM melakukan silent action  di trotoar TIM. (Fernando Randy/Historia). Kritik terhadap revitalisasi juga keluar dari mulut Yayu Unru (57), aktor senior sekaligus dosen pengajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Dia mengaku kecewa pada keputusan Gubernur DKI Jakarta dan resah jika TIM nanti berubah fungsi menjadi pusat komersial. “Kalau TIM sudah dikomersialkan, bagaimana kita mau berkarya? Nantinya TIM hanya mementaskan karya-karya yang laku di pasaran. Karya yang mengikuti pasar. Bukan karya-karya yang bagus. Itu tidak benar,” kata Yayu.  Alat berat saat merobohkan gedung Graha Bhakti Budaya TIM. (Fernando Randy/Historia). Suasana gedung Graha Bhakti Budaya usai di robohkan. (Fernando Randy/Historia). Suasana revitalisasi di depan gedung Planetarium TIM. (Fernando Randy/Historia). Protes para seniman terhadap revitalisasi tidak kunjung usai. Tapi tak tampak pula upaya dari Pemerintah Provinsi Jakarta untuk duduk bersama berdiskusi dengan mereka. Ini berbeda dari cara Ali Sadikin, Gubernur Jakarta dulu, dalam menyikapi segala hal menyangkut TIM dan seniman di dalamnya.  Para seniman yang tergabung dalam Forum Seniman Peduli TIM melakukan silent action  di trotoar TIM. (Fernando Randy/Historia).

  • Tentara Gurkha Teriak Merdeka

    LELAKI Nepal itu bernama Basin. Dia anggota British India Army (BIA) dari Batalyon 3/3 Gurkha Rifles Divisi ke-23 The Fighting Cock (Divisi Ayam Jago). Tahun 1945, Basin bersama rekan-rekannya ditugaskan untuk mengamankan jalur sepanjang Cianjur-Bandung dari para gerilyawan Indonesia. Akhir Maret 1946, Yon 3/3 Gurkha Rifles terlibat dalam pertempuran brutal dengan para gerilyawan Indonesia di tebing Ciranjang dekat Sungai Cisokan. Korban pun berjatuhan di kedua belah pihak. Lima tentara Gurkha menjadi tawanan perang termasuk Prajurit Basin. “Mereka kemudian kami amankan di suatu tempat, tetapi kami perlakukan secara manusiawi,” ujar Raden Makmur (93), eks gerilyawan Indonesia asal Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI). Sekitar 5 bulan, kelima tentara Gurkha itu menjadi tawanan pihak Republik. Hingga akhirnya, mereka dipertukarkan dengan para gerilyawan Indonesia yang ditahan oleh militer Inggris. Namun ketika akan dikembalikan kepada pasukannya, Basin menolak dan memilih bergabung dengan pihak Republik. “Dia kemudian menjadi ajudan Wedana Ciranjang hingga perang selesai pada 1950,” ungkap Makmur. Setelah perang berakhir, Basin kemudian menikah dengan perempuan setempat. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dia lantas menjadi pengrajin bilik (anyaman bambu untuk dinding rumah tradisonal). Di samping menjadi pengrajin, dia pun berlaku sebagai pedagang juga. Hingga tahun 1970-an, Basin dikenal oleh orang-orang Ciranjang sebagai pedagang bilik keliling. “Menjelang meninggal pada 1990-an, dia sempat menjadi penjaga sekolah di sebuah SD,” ujar Dayat, salah seorang penduduk Ciranjang yang sempat mengenal Basin. Penawanan para prajurit Gurkha juga pernah dilakukan oleh pasukan TKR dari Resimen V Cikampek pimpinan Letnan Kolonel Moeffreni Moe’min.  Ceritanya pada 21 November 1945, selarik pesan telegram diterima oleh petugas stasiun kereta api dari petugas telik sandi Resimen V di stasiun kereta api di Jakarta. Isinya pemberitahuan tentang keberangkatan satu formasi pasukan Inggris dari unit Gurkha Rifles yang mengawal kereta api logistik serta amunisi dari Jakarta. “Mereka bergerak menuju Bandung tanpa surat izin dari pemerintah Republik Indonesia," ujar Letnan Kolonel Moeffreni Moe’min dalam  Jakarta-Karawang-Bekasi dalam Gejolak Revolusi: Perjuangan Moeffreni Moe’min  karya Dien Madjid dan Darmiati. Komandan Resimen V Cikampek itu lantas memerintahkan jajarannya bersiap siaga melakukan penghadangan. Sebagai pengemban tugas adalah Batalyon Priyatna yang berkedudukan di Dawuan, terletak sekira 10 km dari Stasiun Cikampek. Hari menjelang siang saat dua puluh satu gerbong yang ditarik sebuah lokomotif itu bergerak menuju Bandung dari Stasiun Cikampek. Begitu melintas wilayah Dawuan tetiba kereta api yang tengah berjalan pelan, dihadang oleh satu unit pasukan TKR (Tentara Kemanan Rakjat). Beberapa dari mereka lantas meloncat ke atas lokomotif dan dalam bahasa Inggris yang fasih memerintahkan kereta api berhenti. “Kami minta surat izin untuk memasuki daerah kami dari pemerintah Republik Indonesia?" teriak salah satu dari anggota TKR tersebut “Apa? Kami harus memakai surat izin? Sejak kapan petugas Allied Forces (Tentara Sekutu) yang ditugaskan ke Indonesia harus memakai izin? Tidak ada, kami tidak usah memakai surat izin!” jawab seorang letnan yang memimpin rombongan Sekutu tersebut. Adu mulut pun kemudian terjadi antara anggota Resimen V Cikampek dengan letnan tentara Inggris itu. Di tengah situasi tersebut, tiba-tiba terdengar rentetan tembakan dari salah satu jendela gerbong. Maka tak ayal lagi, tembakan itu disambut oleh salakan senjata dari ratusan prajurit Batalyon Priyatna. Pertempuran seru pun berlangsung. Mungkin karena kalah jumlah dan ketiadaan pengetahuan akan medan setempat, peleton tentara Inggris dari kesatuan Gurkha itu pun menyerah setelah sebagian besar serdadunya banyak yang tewas. “Seluruh isi gerbong kami sita dan empat orang Gurkha kami sisakan sebagai tawanan,” ujar Darminta, 92 tahun, veteran yang terlibat dalam adu senjata itu. Markas Sekutu di Jakarta lantas geger. Mereka lalu melaporkan soal itu kepada Pemerintah Republik Indonesia. Beberapa jam kemudian Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin menelepon Markas Resimen V Cikampek dan memerintahkan Moefreni untuk mengembalikan isi seluruh gerbong yang dirampas serta membebaskan para serdadu yang tertawan. Namun perintah itu ditolak oleh Moefreni. “Kalau kita terlalu mentolelir, lambat laun mereka akan menginjak kita dan kita akan kehilangan wibawa,” demikian alasan Moefreni. Akhirnya beberapa hari kemudian ditemukan jalan tengah: empat tawanan dari unit Gurkha itu akan ditukar dengan delapan tawanan Indonesia. Salah satunya adalah penyair Chairil Anwar. Sedangkan logistik yang sudah disita tidak akan dikembalikan karena sudah terlanjur dibagi-bagikan kepada semua anggota Resimen V Cikampek dan masyarakat sekitar Dawuan. Pihak Markas Besar TKR menugasi Letnan Kolonel A.E. Kawilarang sebagai wakil Republik yang mengurusi pertukaran tawanan tersebut. Dalam otobiografi Kawilarang Untuk Sang Merah Putih  (disusun oleh Ramadhan KH) begitu bertemu dengan keempat tawanan TKR itu di Stasiun Jatinegara, Kawilarang langsung disambut dengan teriakan "merdeka". Rupanya empat prajurit itu sudah belajar kebiasaan kaum Republik selama dalam tawanan di Cikampek.*

  • Cerita Awal Taman Ismail Marzuki

    REVITALISASI kompleks Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM) berlanjut ke tahap baru pada awal Februari 2020. Gedung Graha Bhakti Budaya dan Galeri Cipta I mulai dibongkar. Dua gedung ini tadinya merupakan bioskop, tempat pameran lukisan, pertunjukan teater, kantor Dewan Kesenian Jakarta, dan kantor pengeloka PKJ-TIM.

  • Membesuk Sejarah Rumah Sakit Fatmawati

    Ibu Fatwamati, istri Presiden Sukarno dalam tugasnya sebagai ibu negara sering blusukan ke tengah masyarakat. Biasanya, Bu Fat – sapaan akrab Fatmawati – mengunjungi permukiman kumuh di kawasan pinggiran Jakarta. Di beberapa kampung yang sanitasi udaranya buruk, Bu Fat menyaksikan betapa banyak anak-anak terserang penyakit paru. Ibu Fat prihatin. Dia pun teringat pada ayahnya, Hasan Din yang juga penderita asma. “Ibu lihat banyak anak terserang TBC. Saat itulah terpikir oleh Ibu, alangkah membantunya jika ada rumah sakit khusus untuk anak-anak penderita TBC,” ujar Satyagraha, Pemimpin Redaksi Berita Minggu  kepada Kadjat Adra’i dalam Suka Duka Fatmawati Sukarno . Kepada sejumlah ibu yang merupakan koleganya, Bu Fat mengutarakan niatan membangun sanatorium khusus anak-anak. Gagasan simpatik itu menuai banyak dukungan. Pada 30 Oktober 1953, Bu Fat menggelar penggalangan dana di Istana Negara dengan melelang peci dan pakaian Bung Karno. Terkumpulah pundi-pundi sebesar Rp. 250.000 sebagai modal awal pendirian Yayasan Ibu Sukarno. Donasi datang silih berganti hingga pada akhir tahun sudah mencapai 28 juta rupiah.     Setelah yayasan terbentuk, dicarilah lokasi yang pas untuk kebutuhan pasien. Pilihan jatuh ke sebidang tanah seluas 44 Ha di daerah Cilandak, Jakarta Selatan. Hawa di sana segar karena udara masih bersih. Untuk mendapatkan lokasi itu, tersebutlah peran Menteri Sosial Raden Panji Soeroso yang juga ketua Yayasan Ibu Sukarno. Ibu Fatmawati mengunjungi anak-anak yatim piatu. Foto: Perpusnas RI.  Pada 24 Oktober 1954, dimulailah pembangunan Yayasan Rumah Sakit Ibu Sukarno. Bu Fat ikut serta dalam peletakkan batu pertama. Bangunan rumah sakit terdiri dari gedung induk, aula, dapur, asrama perawat, dan sebuah bangunan untuk pendidikan guru bidan. Empat tahun  lamanya proses pembangunan tersebut berlangsung. Ketika bangunan rumah sakit rampung, maka fasilitas kesehatan yang memadai menjadi target selanjutnya. Dalam R.P. Soeroso: Dokumen-dokumen Terbatas Tentang Dirinya , sejarawan Anhar Gonggong mencatat Soeroso mengusahakan kredit untuk membeli peralatan rumah sakit dan alat-alat kesehatan untuk menunjang kegiatan Rumah Sakit Ibu Sukarno. Pada 1958, Rumah Sakit Ibu Sukarno mulai beroperasi. Tidak hanya menangani anak-anak berpenyakit paru, rumah sakit ini juga menerima pasien penderita penyakit tulang (ortopedi). Perluasan pelayanan ini sehubungan dengan bantuan peralatan ortopedi dari Kapal HOPE (Health Opportunity for People Everywhere), kapal rumah sakit milik Amerika Serikat. Pada 1960, Kapal HOPE sedang bermuhibah ke Indonesia memberikan layanan kesehatan. “Pun, saat itu, Rumah Sakit Ibu Sukarno melayani pasca-bedah ortopedi yang dioperasi di kapal tersebut,” tulis manuskrip 50 Tahun RSUP Fatmawati . Selain itu, Rumah Sakit Ibu Sukarno menerima pasien ortopedi rujukan dari RS Pusat Angkatan Darat dan RS Cipto Mangkusumo. Namun karena terkendala pembiayaan, pada 15 April 1961, Yayasan Ibu Sukarno menyerahkan pengelolaan rumah sakitnya kepada Departemen Kesehatan. Tanggal tersebut sekaligus diperingati sebagai hari jadi rumah sakit tersebut. statusnya pun berubah dari yayasan menjadi rumah sakit umum. Di masa kepemimpinan Kolonel dr. Soejoto (periode 1961-66), didatangkanlah tenaga perawat dari Sekolah Pengatur Rawat (SPR) Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Untuk tenaga fisioterapis didatangkan dari Solo dipimpin oleh Ny. Wiroreno, istri dari ahli bedah kenamaan dr. Wiroreno yang juga mantan residen Pati. Bantuan juga datang dari sejumlah kalangan. Mulai dari Jawatan Perhubungan Angkatan Darat, Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta, Zeni Angkatan Darat, dan satu yayasan dari Amerika Serikat. Setelah Soejoto, direktur rumah sakit dijabat oleh dr. R Soehasim (periode 1966-71). Pada masa Soehasimlah Rumah Sakit Ibu Sukarno berganti nama. Soehasim berpendapat penamaan Rumah Sakit Ibu Sukarno tidak tepat karena ada dua “Ibu Sukarno” yaitu Ibu Fatmawati dan Ibu Hartini. Soehasim mengusulkan agar penamaan  rumah sakit dilekatkan dengan sang pemrakarsa: Fatmawati. Dengan terharu, Bu Fat setuju asalkan masyarakat Cilandak dan sekitarnya menghendaki demikian. Maka pada 20 Mei 1967, Rumah Sakit Ibu Sukarno berganti nama menjadi Rumah Sakit Fatmawati. Pergantian nama itu diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Rumah Sakit Fatmawati kian berkembang. Pada 1969, kapasitas tempat tidur ditingkatkan menjadi 400 unit. Pendidikan spesialis ortopedi diselenggarakan. Selain itu, melalui dana Pelita I Pusat, dibangun gedung poliklinik, laboratorium, gedung administrasi, dan gedung rehabilitasi. Sementara melalui dana Pelita DKI Jakarta dibangun proyek ketergantungan obat (Drug Dependence Unit). Pada 1979, atas keputusan Menteri Kesehatan, Rumah Sakit Fatmawati ditetapkan sebagai rumah sakit rujukan wilayah Jakarta Selatan. Pada dekade 1980-an, perkembangan ortopedi Rumah Sakit Fatmawati sangat pesat. “Saat itu pula RS Fatmawati menjadi pintu gerbang RS Ortopedi Indonesia,” kata dr. Roeslani, direktur Rumah Sakit Fatmwati periode 1983-88 seperti dikutip tim penulis 50 Tahun RSUP Fatmawati. Pada 17 Agustus 1996, bunga lotus atau teratai diperkenalkan sebagai logo Rumah Sakit Fatmawati. Lotus dalam bahasa sensakerta berarti padma yang menjadi asal nama Fatmawati.  Adapun himne Rumah Sakit Fatmawati berjudul “Padma Puspita”. Lagu tersebut diciptakan oleh putra sulung Bu Fat, Guntur Sukarnoputra pada 31 Maret 1997.   Hingga kini, Rumah Sakit Fatmawati terus beroperasi melayani seluruh lapisan masyarakat. Di samping layanan medis umum, bedah ortopedi dan rehabilitasi merupakan layanan unggulan rumah sakit bermotto “Percayakan Pada Kami” itu. Berawal dari keprihatinan Bu Fat terhadap anak yang menderita sakit paru, Rumah Sakit Fatmwati menjadi rujukan bagi warga Jakarta maupun luar Jakarta.

  • Pelaut yang Menaklukkan Hollywood

    HHOLLYWOOD tengah berduka. Kawah candradimuka dunia hiburan di Amerika Serikat itu ditinggal aktor legendarisnya, Kirk Douglas. Bersama Gina Lollobrigida, Douglas merupakan aktor terakhir generasi emas Hollywood (1913-1969) yang tersisa di abad XXI. Douglas sepanjang kariernya bermain di lebih dari 90 film. Ia juga ayah dari aktor kawakan Michael Douglas, yang menyampaikan kabar duka itu usai ayahnya wafat di usia 103 tahun di kediamannya di Beverly Hills, California pada Rabu (5/2/2020). Douglas meninggal karena kondisi kesehatannya terus menurun sejak terserang stroke  pada 1996. “Di mata dunia, ia seorang legenda, seorang aktor dari era emas perfilman…tapi bagi saya, adik saya Joel dan Peter, ia seorang ayah yang sederhana. Bagi Catherine (Zeta-Jones, aktris dan istri Michael Douglas, red. ), ia seorang mertua yang luar biasa. Bagi istrinya Anne, ia seorang suami yang juga luar biasa,” ungkap Michael Douglas, dikutip Daily Mail , Rabu (5/2/2020). Kirk Douglas mencatatkan debutnya di Hollywood setahun setelah Perang Dunia II usai, lewat film The Strange Love of Martha Ivers  (1946). Sementara , film terakhir yang dibintanginya adalah Empire State Building Murders  (2008), yang dimainkannya saat sudah terserang  stroke  sejak 1996. Meski begitu, nama Douglas baru mulai berkibar di film kedelapannya, Champion  (1949), di mana ia masuk nominasi aktor terbaik Academy Award. Total, tiga kali Douglas masuk nominasi ajang yang sama. Selain untuk film Champion , ia juga masuk nominasi aktor terbaik Academy Award untuk film The Bad and the Beautiful (1952)dan Lust for Life (1956) yang merupakan biopik tentang pelukis ternama Vincent van Gogh. Meski tak pernah menang, Douglas kemudian dianugerahi Piala Oscar kehormatan oleh Academy of Motion Pictures, Arts, and Sciences pada 1996. Selain empat film di atas, kiprah paling menonjol Douglas ialah kala mengerjakan film Spartacus (1960) saat Hollywood diterpa masa-masa sulit. Bak gladiator, karakter yang ia mainkan dalam Spartacus , Douglasturut mengenyahkan kebijakan blacklist pemerintah Amerika Serikat terhadap sejumlah koleganya. Sejak 1947, awal mulainya Perang Dingin, Amerika banyak menaruh curiga pada imigran asal Rusia. Di pentas Hollywood, sejumlah sineas dituduh sebagai simpatisan komunis yang berupaya memasukkan propaganda ke sejumlah film. “Saya hidup di masa ketika banyak orang dituduh komunis dan di- blacklist industri film. Semua studio tak mau menerima mereka. Itu periode yang berat dalam sejarah Hollywood dan tergelap yang pernah saya alami. Banyak yang akhirnya menderita dan bunuh diri,” kataDouglas kepada The Jewish Chronicle , 20 September 2012. Kirk Douglas dalam film "Spartacus" yang dibuat rumah produksinya sendiri, Bryna Productions (Foto: Universal Pictures) Douglas yang juga merupakan imigran asal Eropa Timur, bersimpati pada para koleganya yang di- blacklist . Lewat Bryna Productions, rumah produksi yang didirikannya, Douglas melakukan gebrakan dengantetap mencantumkan nama Dalton Trumbo sebagai penulis naskah pada credit filmnya, terlepas dari pencekalan terhadapnya. Trumbo satu dari 10 pelaku film yang masuk blacklist pemerintah. “Saat produksi film selesai, saya merasa bersalah jika tak mencantumkan namanya (Trumbo). Saya tak peduli orang bilang apa, saya tetap mencantumkannya. Awalnya saya takut tapi pada akhirnya langit tetap tak runtuh. Kehidupan berjalan kembali normal. Blacklist itu kemudian dicabut,” lanjutnya. Seiring waktu, pendirian Douglas itu berubah menjadi penghormatan baginya dari banyak pihak di Hollywood. Veteran Perang Pasifik ke Layar Perak Sebelum “menaklukkan” Hollywood, Douglas mengarungi gelombang kehidupanyang sarat kisah dengan berprofesi sebagai pelaut. Pengalaman itu menjadi modal berharganya di kemudian hari. Douglas lahir pada 9 Desember 1916 di New York dengan nama Issur Danielovitch. Kedua orangtuanya,Herschel Danielovitch dan Bryna Sanglel, imigran Yahudiasal Chavusy, Belarusia.Douglas anak keempat dan satu-satunya anak lelaki dari tujuh bersaudara. Mengutip memoar yang dituliskan bersama istri keduanya, Anne Buydens, Kirk and Anne: Letters of Love, Laughter, and a Lifetime in Hollywood , ayahnyamengganti nama saat hendak mendaftar kerja sebagai buruh pabrik, menjadi Harry Demsky. Begitupun ketujuh anaknya.Hanya Bryna yang tetap. “Saudari-saudari saya ada Pesha (menjadi Betty), Kaleh (Kay), Tamara (Marion), Rachel (Ruth), serta si kembar Hashka dan Siffra (Fritzi dan Ida). Saat saya masuk sekolah, saya didaftarkan dengan nama Isadore Demsky –nama yang sebenarnya selalu saya benci,” tulis Douglas. Maka, sebelum masuk ke US Navy (Angkatan Laut Amerika) pada 1941, ia mengubah namanya menjadi Kirk Douglas. Douglas mendaftarkan diri masuk AL secara sukarela menyusul pecahnya Perang Pasifik. Saat mendaftar, ia sedang merintis upaya menjadi aktor dengan bersekolah di American Academy of Dramatic Arts. “Semasa di akademi, saya sudah mengubah nama menjadi Kirk Douglasatas diskusi dengan teman baru saya, Karl dan Mona Malden, jelang sebuah pertunjukan drama yang kami ikuti. Namun saat itu seorang bernama Adolf Hitler mengirim serdadu Jerman untuk menaklukkan Eropa. Saya saat itu hanya ingin menaklukkan (teater) Broadway,” sambungnya. Sebelum diterjunkan ke palagan, menurut arsip AL Amerika , Douglas mendapatkan pendidikan dasardi Naval Reserve Midshipman School yang meminjam tempat di Notre Dame University. Douglas lanjut ke tingkat berikutnya ke Submarine Chaser School hingga lulus sebagai pelaut dengan pangkat ensign (setara letnan muda). Letnan muda Douglas lalu ditugaskan ke front Pasifik sebagai perwira radio komunikasi di kapal patroli anti-kapal selam USS PC-1139 . Kolase Kirk Douglas sebagai letnan muda di kancah Perang Pasifik (Foto: US Navy) Masa tugasnya berlangsung singkat. Douglas pun mengakui bahwa ia merasa kurang berjasa meski usai perang dianugerahi tiga medali: Asiatic/Pacific Campaign Medal, American Campaign Medal, dan World War II Victory Medal. “Tidak ada jasa yang mulia meski saya terlihat gagah dalam seragam saya. Apalagi mulanya kapal kami diawaki para kru yang masih sangat hijau dan kapten kami belum sekalipun pernah melaut. Kapal kami juga bukan kapal terbaik di AL. Di Pasifik kami malah meledakkan kapal kami sendiri,” ungkapnya dalam otobiografi The Ragman’s Son. Meski tak menjelaskan detail lokasi, Douglas mengisahkan peristiwa nahas yang membuatnya cedera itu terjadipada 7 Februari 1943di Samudera Pasifik. Ia hanya mengingat bahwa di petang itu sonar kapal menangkap sinyal adanya kapal selam Jepang di dekat mereka. “Saat kami sudah berada di posisi yang tepat, kapten memerintahkan mematikan mesin dan bergerak perlahan. Saya dengar perintahnya lewat earphone untuk melepas depth-charge marker (penanda bom-dalam), semacam lapisan hijau yang dilepaskan ke air agar kami tahu di mana kami harus melepaskan bom-dalam,” tulisnya lagi. Sialnya, awak yang bertugas di dek malah tak sengaja memicu bom-dalam itu sebelum marker- nya dilepaskan ke laut. Maka bom-dalam itu meledak di air dan sangat dekat dengan kapalnya. Douglas yang berada di ruangan radio dan sonar, sempat mengira ledakan itu adalah serangan torpedo kapal selam Jepang. “Semua kru terhempas ke mana-mana. Saya sendiri terlempar ke sekat kabin. Perut saya menghantam peralatan radio. Terjadi kepanikan di mana-mana. Baru kemudian kami tahu bahwa itu bukan karena torpedo musuh…kami justru meledakkan kapal kami sendiri,” sambungnya. Kirk Douglas bersama anaknya yang juga aktor ikonik Hollywood, Michael Kirk Douglas (Foto: loc.gov ) Beruntung tak ada korban jiwa dalam insiden itu. Douglas dan rekan-rekannya lalu diselamatkan kapal lain, untuk kemudian dirujuk ke Rumahsakit AL San Diego. Douglas mengalami luka organ dalam dan harus dirawat hingga Juni 1944. Luka itu membuatnya diberhentikan dengan hormat dengan pangkat lieutenant junior grade (letnan satu) lantaran kondisinya dianggap tak lagi layak untuk bertugas. Douglas lalu kembali pentas dari teater ke teaterhingga pada 1946 Lauren Bacall, rekannya sesama aktor, merekomendasikannya ke produser bernama Hal. B. Wallis yang tengah mencari bakat baru untuk film The Strage Love of Martha Ivers . Douglas pun “naik kelas” ke layar peraksetelah diikutsertakan Wallis dalam film itu . Kagum dengan talenta Douglas kala casting , Wallis memplot Douglas sebagai salah satu pemeran utama film itu. Iapun beradu akting dengan para aktor yang lebih berpengalaman, seperti Barbara Stanwyck. The Strange Love of Martha Ivers sukses di pasaran, masuk nominasi Academy Award dalam kategori naskah orisinil terbaik. Kesuksesan itu membuka gerbang karier Douglas di Hollywood,yang kemudian ia lakoni selama tujuh dasawarsa.

  • Empat Penjelajah Muslim Awal

    Ada sebuah nasihat yang dinggap berasal dari Nabi Muhammad Saw.: “Tuntutlah ilmu meskipun sampai ke negeri Cina”. Kendati bukan hadis sahih, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Taufik Abdullah, menyebut pesan itu tetap bisa diterima sebagai gambaran tingkat pengetahuan geografis dunia Islam pada awal kelahirannya. “Apakah mungkin menyebut keunggulan negeri Cina, kalau adanya wilayah itu belum diketahui,” katanya. Pada awal perkembangan Islam di abad ke-7, para pengembara dan pedagang Arab sudah mengenal negeri sejauh Tiongkok. Dalam perjalanannya hubungan antara Arab atau wilayah Timur Tengah secara umum dengan Tiongkok pun makin akrab. Hingga pada abad ke-10, penguasa Tiongkok mulai melarang kehadiran kapal-kapal dari Timur Tengah berlabuh di Kanton, pelabuhan terbesar Tiongkok. Dalam “Secercah Kisah: Ibn Battuta Sang Penjelajah Muslim Tanpa Bandingan” yang disampaikan di Borobudur Writers and Cultural Festival 2018, Taufik menjelaskan penguasa Tiongkok mulai khawatir terjadi persaingan ekonomi antarpedagang. “Sejak itu, kapal-kapal yang berasal dari Timur Tengah mengganti tujuan mereka ke arah wilayah kepulauan yang kini disebut Indonesia,” kata Taufik. Hingga kini, sejarah mencatat penjelajah muslim ke Nusantara paling terkenal mungkin adalah Ibn Batutta. Bahkan, ia dijuluki “Penjelajah Terbesar Sepanjang Masa”. Namun, Ibn Batutta bukan penjelajah muslim satu-satunya di dunia yang tercatat sejarah. Berikut ini penjelajah muslim yang catatannya memuat informasi tentang Nusantara pada masa lalu: Sulaiman al-Tajir Sulaiman adalah pedagang Persia yang melakukan beberapa pelayaran pada tahun 851. Ia satu di antara banyak orang dari Timur Tengah yang pada abad ke-8–10 berlayar ke timur hingga ke pasar-pasar besar di Tiongkok. Catatannya memuat rute dari Persia ke Tiongkok. Jeong Su-Il, sejarawan spesialis jalur sutra asal Korea Selatan dalam The Silk Road Escyclopedia menjabarkan, pelayaran Sulaiman dimulai dari mengambil muatan di Basra, Iraq atau Oman, kemudian berlabuh di Siraf, melewati Sohar dan Muscat di timur laut Pantai Oman. Setelah sebulan berlayar, kapal sampai di Kollam, Kerala, India. Dari sini, mereka melewati Sarandip atau Sri Lanka, Kepulauan Andaman, Kepulauan Nikobar, Lambri di Sumatra, sampai di Kalah atau sekarang Kedah, Malaysia. Setelahnya kapal berlayar selama 20 hari ke Champa, melewati Zhanghai dan sampai di Guangfu atau Guangzhou. “Ia menjelaskan perjalanan dari Siraf ke Guangzhou memakan waktu 130 hari dan melewati total 13 negeri,” tulis Jeong Su-Il. Termasuk kerajaan di pulau bernama Zabag. Sudah sejak abad ke-7, pulau ini muncul dalam tradisi penulisan para geograf Arab. Mereka menyebut Zabag untuk Pulau Sumatra. Catatan Sulaiman juga menyebut raja di Pulau Zabag yang bergelar maharaja. Pun kehidupan masyarakatnya. Salah satu kekayaan negeri ini berupa emas memberikan kesan mendalam kepada Sulaiman.   Sayangnya, catatan perjalanan asli berbahasa Arab yang ditulis Sulaiman hilang. Kisahnya kemudian dikenali melalui karya seorang ahli bumi muslim bernama Abu Zayd Hasan dari Siraf di Persia berjudul Rihalatu Sulaiman al-Tajir . Karya yang memodifikasi dan melengkapi karya Sulaiman itu terbit pada 916. Tabula Rogeriana  atau  Kitab Rudjdjar  (Kitab Roger) adalah peta dunia yang digambar oleh pakar geografi Arab, Al-Sharif al-Idrisi pada 1154. Peta itu dibuat untuk Raja Roger II dari Sisilia, setelah delapan belas tahun al-Idirisi menetap di istananya. Buzurg bin Shahriyar al-Ramhurmuzi Seorang kapten sekaligus ahli navigasi muslim. Ia mengumpulkan catatan pelaut-pelaut muslim awal yang berisi pengalaman aneh mereka dan menarasikannya dalam Ajaib al-Hind  (Keajaiban India). Karyanya itu menjadi salah satu sumber penting Timur Tengah yang aslinya berbahasa Persia. Sejarawan S.Q. Fatimi dalam Two Letters from the Maharaja to the Khalifah: A Study in the Early History of Islam in the East , menyebut Al-Hind  yang dimaksud al-Ramhurmuzi mencakup tak hanya anak benua India, melainkan juga Asia Tenggara maritim. Catatan yang ia kumpulkan di antaranya kisah pelaut tentang Kawlam (Kollam) di Pantai Malabar, Sarandib (Sinhaladvipa) yaitu Sri Lanka, Lanjabalus (Nakkavaram) yaitu Kepualaun Nikobar, Lamuri (Lambri), Fansur, Siribizah (Sriwijaya) di Sumatra, Kalah (Kalang) di pantai barat Semenanjung Malaya, dan tentang EI Dorado yang legendaris di laut selatan. Menurut Azyumardi Azra, guru besar sejarah UIN Syarif Hidayatullah, dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII , kitab yang ditulis sekira tahun 390 H (1000 M) itu, juga merupakan catatan Timur Tengah paling awal tentang Nusantara. Karya ini meriwayatkan kunjungan para pedagang muslim di Kerajaan Zabaj (Sriwijaya). Catatannya mengisyaratkan pula adanya sejumlah penganut Islam dari kalangan penduduk asli. Ibn Battuta Abu Abdullah Muhammad Ibn Battuta lahir di Maroko tahun 1304 M pada masa Dinasti Marinid. Ia pengelana pertama yang mengunjungi seluruh dunia Islam yang dikenal waktu itu. Mulai dari Maghribi di Afrika, Tangiers di Maroko ke Jazirah Arab, sampai ke Asia Kecil di wilayah yang disebut para pelacong Barat sebagai Bulan Sabit yang Subur, lalu ke anak benua India, dan ujung Pulau Sumatra hingga ke Tiongkok. Sejarawan Taufik Abdullah menjelaskan, Ibnu Battuta bukanlah orang Arab pertama yang memberitakan Nusantara. Ketika dia berkunjung, pengetahuan para ahli geografi dan pelayar Arab tentang wilayah Kepulauan Nusantara telah cukup memadai. Umpamanya, Pulau Zabag. Meski sudah dikenal para geograf Arab, hanya Ibnu Battuta yang menceritakan hasil kunjungannya sendiri. Sebelumnya hanya berdasarkan cerita para pedagang. Karyanya, Rihla (perlawatan)   tetaplah berdiri sendiri sebagai catatan perjalanan muslim tentang Asia Timur. Ibn Battuta menjelajah kurang lebih 29 tahun dengan mencapai 120.700 km. Ibn Muhammad Ibrahim Anthony Reid dalam Sumatera Tempo Doeloe dari Marco Polo Sampai Tan Malaka menulis, pada 1685, Syekh Persia, Sulaiman, mengirimkan utusan ke Raja Narai di Siam. Itu dalam upaya yang sia-sia untuk meningkatkan peranan penting muslim Syiah dari Persia dan India di kerajaan itu. Dalam perjalanannya, para utusan sempat berhenti di Aceh beberapa waktu. Mereka meninggalkan catatan tentang kekuasaan para ratu di sana. Penulisnya Ibn Muhammad Ibrahim. Ia menulis dengan gaya prosa bersajak dalam bahasa Persia. Gaya penulisannya berbeda dibandingkan penjelajah Eropa masa itu. Saat itu yang sedang memerintah adalah ratu ketiga, Inayat Shah Zakiat ad-Din (1678-1688).

  • CIA dalam Pembajakan Pesawat Garuda Woyla

    PESAWAT Garuda DC-9 “Woyla” rute penerbangan Jakarta-Palembang-Medan dibajak pada Sabtu, 28 Maret 1981, sekira pukul 10.00. Pesawat itu diterbangkan oleh kapten pilot Herman Rante dengan lima awak pesawat, 48 penumpang, lima orang di antaranya warga negara asing. Diperkirakan pembajak akan membawa pesawat itu ke Timur Tengah, dengan rute Penang, Malaysia–Bangkok,Thailand–Colombo, Srilanka–Libya.

bottom of page