top of page

Hasil pencarian

9592 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Villa Isola, dari Vila Mewah hingga Sunda Empire

    Belum lama ini beredar video yang merekam kegiatan kelompok Sunda Empire di taman dekat Villa Isola, Bandung. Dalam tayangan Indonesia Lawyer Club, Rangga Sasana, salah seorang petinggi Sunda Empire mengklaim kalau Isola adalah tempat lahirnya Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Ia sendiri mengaku menjabat sebagai The Heeren Zeventien atau Panitia 17 di kekaisaran itu. “Isola itu apa tadi? Itu salah, memang benar isola itu International Soldier Leader. Itu lahirnya NATO di sana. Itu artinya belum mengenal sejarah,” katanya membantah pernyataan Roy Suryo dalam acara yang sama. Sebelumnya, KRMT Roy Suryo sebagai kerabat Pakualaman dalam diskusi itu menjelaskan kalau Villa Isola dibangun pada 1933 oleh Willem Barretty. Bangunan ini dibangun untuk mengisolasi penggunanya. “Dia orang yang agak introvert . Makanya ditulis dalam ruangannya dulu m’isolo e vivo , artinya dia mengisolasi dirinya sendiri. Bukan kemudian diterjemahkan menjadi International Soldier and Leader of the World. Ini pikiran yang menurut saya terlalu berlebihan,” ujarnya. Dominic Willem Berretty adalah pemilik pertamanya. Seorang Indo-Eropa yang terkenal di masyarakat Hindia Belanda. Ayahnya keturunan Italia-Prancis. Ibunya keturunan Jawa di Yogyakarta. Menurut C.J. van Dullemen dalam Arsitektur Tropis Modern: Karya dan Biografi C.P. Wolff Schoemaker, sebagai raja surat kabar yang kaya raya, Berretty suka berkelahi dan “juara dalam seni halus membuat musuh. Karenanya dalam masyarakat Hindia Belanda yang penuh gosip, Berretty sering merasa harus mundur dan mempertahankan diri.” Maka, tepat ketika di dinding di atas aula Villa Isola diukir moto Italia berbunyi M’isolo e Vivo. Artinya saya mengisolasi diri saya sendiri dan kehidupan. “Ciri ini tercermin dalam penampilan vila. Hal ini semakin ditekankan oleh moto Italia itu dan nama vila yang berasal dari bahasa Italia, ‘Isola’, artinya ‘pulau’,” jelas Dullemen. Dari sisi gaya, Villa Isola menarik sebagai sebuah kreasi Art Deco bergaya ramping. Ia lebih mirip Gedung Amerika dibanding Indonesia maupun Belanda. Sayangnya, demikian terkenalnya Berretty, nama arsitek pembangun Villa Isola justru tak diketahui. “Terdapat kekosongan dalam sejarah arsitektur karya para arsitek Belanda di Hindia Belanda, dengan kata lain arsitektur kolonial,” tulis Dullemen.   Baru pada 1984, Dullemen menemukan sebuah artikel tentang Berretty dalam sebuah edisi mingguan Belanda, Panorama. Di dalamnya, C.P. Wolff Schoemaker disebut sebagai arsitek Villa Isola. Pencarian Dullemen ternyata tak mudah. Rumah dan Studio Wolffman jadi korban pengrusakan para pejuang selama periode revolusi yang kacau seusai Jepang menyerah. Gambar-gambar Villa Isola pun hangus menjadi abu akibat kebakaran yang menghancurkan rumahnya. Perancang Misterius Bagi Charles P. Wolff Schoemaker (1882-1949), Villa Isola bisa dibilang merupakan salah satu penugasan paling sulit dan banyak dipublikasikan. Menurut Dullemen, Wolff Schoemaker merupakan salah satu arsitek Belanda yang paling penting dalam memodernisasi lanskap perkotaan di Indonesia masa kolonial. Selain Villa Isola, karya terkenalnya adalah Gedung Jaarbeurs dan Grand Hotel Preanger di Bandung. Wolff Schoemaker lahir di Indonesia dan dilatih sebagai arsitek di Belanda. Kariernya dimulai dengan menjadi insinyur militer di Hindia Belanda. Kemudian ia menjadi kepala Departemen Pekerjaan Umum Batavia. Wolff Schoemaker bersama saudaranya, Richard Schoemaker, membuka biro arsitektur pada 1918. Namun, enam tahun kemudian perusahaannya ditutup. Ia sepenuhnya menjadi profesor arsitektur Technische Hogeschool di Bandung (sekarang menjadi ITB), di mana salah satu mahasiswanya adalah Sukarno. Sembari mengajar, Wolff Schoemaker terus bekerja sebagai arsitek independen. Karya-karyanya yang paling terkenal berasal dari periode ini.  “Apa yang akhirnya membuatnya menjadi orang buangan dari komunitas Eropa adalah persahabatan abadinya dengan Sukarno, yang bahkan berlanjut setelah Proklamasi kemerdekaan,” catat Dullemen. Wolff Schoemaker dan Berretty cukup lama saling mengenal. Pada awal 1920-an, keduanya bertugas dalam komite yang terlibat dalam pendirian Jaarbeurs Bandung. “Hindia Belanda dapat diibaratkan sebagai sebuah desa besar yang di dalamnya semua orang saling mengenal,” jelas Dullemen. “Mudah membayangkan pada suatu pagi Berretty mampir ke kediaman Wolff dan menyampaikan rancangannya.” Villa Isola terlihat dari atas, sekira tahun 1937. (Wikipedia). Ambisi Berretty Berretty awalnya sedang mencari tanah untuk membangun sebuah bungalow sederhana di antara Bandung dan Lembang. Ambisinya melahirkan Villa Isola hingga hampir membuatnya menjadi pengemis. “Gosip jahat mengaitkan gedung dengan fakta bahwa Berretty telah menjual dirinya sendiri kepada orang Jepang,” jelas dia. Pada Maret 1933, Vila mulai dibangun oleh biro Algemeen Ingenieurs en Architecten (AIA) yang juga membangun Koloniale Bank di Surabaya. Gedung itu telah siap pada Desember 1933. Villa Isola tak sekadar tempat rekreasi bagi keluarga Berretty. Karena jaraknya tak terlalu jauh dari Batavia, vila itu juga menyediakan ruang kerja baginya yang gila kerja dan hunian bagi sekretarisnya. Karena megahnya, vila itu kemudian sering disebut istana. Dana untuk membuatnya juga tak sedikit, mencapai 500.000 gulden. “Jumlah ini tegolong luar biasa besar kala itu, khususnya di daerah koloni,” kata Dullemen. “Sebagai perbandingan, total kontrak untuk Grand Hotel Preanger adalah 325.000 gulden.” Kendati begitu, Berretty tak bisa lama menikmati vila ini. Dia hampir bangkrut ketika vila selesai dibangun. Alasan itu juga yang mendorongnya pergi ke Eropa untuk mencari kesempatan baru. Namun, nasibnya nahas. Ia sebenarnya ingin tiba di Bandung ketika Natal pada 1934. Namun, pesawat Uiver yang membawanya pulang tak pernah tiba di Batavia. Pesawat itu terjebak di badai pasir hebat dekat Baghdad, lalu jatuh di padang pasir. Semua penumpangnya tewas. Berubah-ubah Fungsi Sepeninggal Berretty, Villa Isola dibeli pemilik Hotel Savoy Homann. Vila ini diubah menjadi pavilion mewah dengan nama Hotel Isola. Tak lama sebelum pecahnya Perang Dunia II, villa itu diambil alih pemerintah. Ia digunakan sebagai markas besar Mayor Jenderal Pesman, Komandan Divisi Angkatan Darat Bandung. “Villa Isola kabarnya terkena ledakan bom, ketika terjadi pertempuran hebat di sisi utara Bandung dalam hari-hari terakhir sebelum kapitulasi,” jelas Dullemen. Jepang pernah beberapa kali meminta gambar Villa Isola kepada Wolff Schoemaker. Rencananya mau direnovasi untuk akomodasi seorang perwira tinggi Angkatan Darat. Tapi tak jadi. Villa Isola terbengkalai selama tahun pertama pendudukan Jepang. Akhirnya, pada 8 November 1943 gedung ini dibuka oleh pasukan Jepang dengan upacara besar sebagai museum perang dan kemenangan Jepang. Villa Isola kemudian sempat dipakai untuk Kongres Pemuda pada 16-18 Mei 1945. Menurut sejarawan Universitas Gadjah Mada, Suhartono W. Pranoto, dalam Kaigun, Angkatan Laut Jepang, Penentu Krisis Proklamasi , sekira 300 pemuda datang dari kota-kota di Jawa ke tempat itu untuk mendiskusikan politik sehubungan dengan menurunnya kekuatan militer Jepang di medan Pasifik. “Tak diragukan lagi kongres ini adalah atas prakarsa Angkatan Muda Bandung di bawah pimpinan Jamal Ali, Hamid, dan M. Tahir,” tulis Suhartono. Setelah Proklamasi kemerdekaan, gedung itu direstorasi sepenuhnya. Ia kemudian digunakan sebagai markas besar Divisi Siliwangi. “Nama Bumi Siliwangi masih dapat dilihat pada fasad,” kata Dullemen. Alwin Suryono, pengajar arsitektur di Universitas Katolik Parahyangan Bandung, dalam “Conservation of Dutch Colonial Architecture Heritage on Rectorate Building of Education University of Indonesia in Bandung” termuat di Journal of Basic and Applied Scientific Research 2013 , menjelaskan pada 1954, Villa Isola kemudian difungsikan sebagai kampus Universitas Pendidikan Guru. Saat itu dilakukan perbaikan bangunan. Ruang interior dan lantai atap diubah, disesuaikan dengan ruang kuliah. Lalu pada 1996, gedung itu difungsikan sebagai kantor rektor. “Bangunan ini lebih bermakna sebagai tempat tinggal yang bisa melihat pemandangan alam sekitar, cocok bernama Villa,” tulis Alwin. Di atas segalanya, menurut Dullemen, Villa Isola adalah sebuah kendaraan yang ingin digunakan Berretty untuk membuat orang-orang di sekelilingnya terkesan: “Berretty ingin menunjukkan bahwa walaupun dia adalah seorang Indo-Eropa, dia dapat melampaui posisi yang dikhususkan untuk kelompok ini.”

  • Gan Thwan Sing, Pencipta Wacinwa

    Berbeda dengan teman-temannya yang kebanyakan memilih profesi sebagai pedagang, Gan Thwan Sing, seorang Tionghoa peranakan yang tinggal di Yogyakarta justru menggeluti wayang kulit. Hingga di kemudian hari, ia menciptakan wayang kulit Cina-Jawa, Wacinwa. Gan Thwan Sing lahir di Jatinom, Klaten, pada 1885. Sejak muda, ia tinggal bersama kakeknya, Gan Ing Kwat yang masih Sinke  (Tionghoa totok). Kakeknya mengajarkan bahasa dan aksara serta cerita-cerita rakyat Tiongkok. “Gan Thwan Sing muda hafal berbagai bentuk dan wajah tokoh legenda Tiongkok yang dilihatnya secara berulang-ulang dalam buku-buku kakeknya,” sebut Dwi Woro Retno Mastuti dalam “ Wayang Kulit Cina-Jawa Yogyakarta”  yang termuat dalam buku Tionghoa dalam Keindonesiaan . Pada awal abad ke-20, Gan Thwan Sing pindah ke Yogyakarta. Kala itu, kebanyakan temannya berprofesi sebagai pedagang. Namun, ia memilih menekuni seni pedalangan dan karawitan. Tak lama setelah tinggal di Yogyakarta, Gan Thwan Sing menjadi artis sandiwara dalam organisasi teater amatir yang dibentuk orang-orang Tionghoa peranakan. Dalam kesibukannya main sandiwara, ia tetap berlatih seni pedalangan gaya Yogyakarta. Ia juga tekun mempelajari bahasa dan aksara Jawa. Pada 1920-an, Gan Thwan Sing memunculkan gagasan untuk membuat wayang kulit model baru. Sebuah pertunjukan wayang kulit yang mengangkat cerita rakyat Tiongkok, namun tetap dengan tata cara pagelaran wayang kulit Jawa. “Gagasan yang dilahirkannya itu merupakan perpaduan serasi dari dua aspek yang mempunyai latar belakang berbeda. Aspek pertama adalah alam pakeliran Jawa. Aspek kedua adalah alam legenda Cina,” tulis Bambang Soelarto dan S. Ilmi Albiladiyah dalam Wayang Kulit Jawa-Cina di Yogyakarta. Konsep wayang kulit yang dikenal sebagai wayang kulit Cina-Jawa atau Wacinwa itu dimatangkan dengan penulisan beberapa buku lakon. Buku lakon dibuat mengikuti buku lakon wayang kulit Jawa gaya Mataraman serta dituliskan dalam bahasa dan aksara Jawa. Namun, ceritanya digubah dari cerita rakyat Tiongkok kuno yang populer dalam masyarakat Tionghoa di Jawa. Awalnya, Gan Thwan Sing membuat dulu desain tokoh-tokoh setiap lakon. Ia lalu menghubungi Oey See Toan. Pedagang kaya yang menggemari seni pertunjukan tradisional itu bersedia membiayainya. Gan Thwang Sing pun berhasil membuat sekitar 200 buah wayang. Ada yang dibuat dari kulit kerbau, ada pula yang dibuat dari kertas. Ia juga membuat alat-alat untuk melengkapi pertunjukan wayang seperti kotak wayang, cempala (alat untuk memukul-mukul kotak wayang) , kepyak, ketir , dan blencong . Berbarengan dengan pembuatan set wayang dan peralatannya, Gan Thwan Sing juga menyelesaikan buku lakon yang ditulis dalam bahasa dan aksara Jawa. Setidaknya, ia menulis sembilan judul buku lakon, yakni Siek Jin Kui Ceng Tan, Siek Jin Kui Ceng See, Thig Jing Ngo Ha Ping She ( Rahabenipun Raja Thig Jing ), Cap Pek Law Wan Ong, Hong Kio Lie Tan, Law Kim Ting, Seek Yu (Sang Prajaka), Pat Sian (Delapan Dewa), dan Sam Kok (Tiga Negeri). Setelah semua wayang, buku lakon dan peralatan siap, Gan Thwan Sing kemudian mulai latihan bersama para niyaga (penabuh karawitan) dan sinden. Ia sendiri yang menjadi dalang. Theodore G. TH. Pigeaud, peneliti sastra Jawa dari Belanda, menyebut Gan Thwan Sing memiliki sejumlah besar perbendaharaan kata-kata serta telah benar-benar mengenal idiom pedalangan. “Ia bersusah payah untuk membuat reproduksi bunyi-bunyi huruf-huruf Cina setepat mungkin dengan huruf Jawa yang tersedia padanya,” jelas Pigeaud, sebagaimana dikutip Bambang dan Ilmi. Memasuki tahun 1925, pertunjukan Wacinwa ciptaan Gan Thwan Sing kian populer. Hingga tahun 1960, Wacinwa telah tersebar ke Surakarta, Semarang hingga berbagai daerah di Jawa Timur. Perkembangan pesat Wacinwa di berbagai daerah membuat Gan Thwan Sing harus menurunkan ilmu dalangnya. Ia kemudian memiliki empat murid, yakni Raden Mas Pardon, Megarsemu, Pawiro Buwang, dan Kho Thian Sing. Namun, semua muridnya meninggal dunia mendahului Gan Thwan Sing. Ia sendiri meninggal dunia pada 1966 dalam usia 81 tahun. Sebelum meninggal, Gan Thwan Sing sempat menjual sekotak Wacinwa kepada Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Sementara buku lakon yang tersisa, menurut Gani Lukito, anak Gan Thwan Sing, turut dimasukan ke dalam peti mati dan dibakar bersama jenazahnya. Sementara itu, berdasar penelusuran Dwi yang juga cucu Gan Thwan Sing, masih tersisa dua set wayang. Satu set berada di Museum Sonobudoyo Yogyakarta dan satu set lagi milik kolektor wayang Walter Angst di Jerman. Setelah 46 tahun kematiannya, tepatnya pada 23 November 2012, Gan Thwan Sing mendapat penghargaan Satyalencana Kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

  • Membaurkan Cina-Jawa dalam Wacinwa

    Pada 1920, Gan Thwan Sing, seorang seniman Tionghoa peranakan yang tinggal di Yogyakarta menghubungi Oey See Toan, seorang pedagang kaya, untuk membiayai proyek keseniannya. Oey See Toan yang tertarik dengan kesenian terutama pertunjukan tradisional bersedia menjadi sponsor. Proyek itu ialah pembuatan wayang kulit Cina-Jawa, atau merujuk pada Museum Sonobudoyo Yogyakarta, disingkat menjadi Wacinwa. Beberapa penulis menyebut Wacinwa sebagai wayang thithi . Namun, sebutan wayang thithi  yang berasal dari bunyi alat musik kepyak  juga mengacu pada penyebutan wayang Potehi. Maka perlu kajian lebih lanjut terhadap istilah wayang thithi ini. Wacinwa tentu berbeda dengan wayang Potehi yang dibawa dari Tiongkok. Wacinwa dibuat dengan memadukan kebudayaan Jawa dan Tiongkok. Lakonnya berasal dari cerita rakyat Tiongkok namun pertunjukannya memakai bentuk dan tata cara pagelaran wayang kulit Jawa. Menurut Bambang Soelarto dan S. Ilmi Albiladiyah dalam Wayang Cina-Jawa di Yogyakarta, corak Wacinwa pada bagian wajah hingga tata busana mengikuti wujud tokoh-tokoh cerita rakyat Tiongkok. Namun, beberapa hiasan, posisi tubuh dan detail lainnya ada yang menyerupai wayang kulit Jawa. Sementara itu, penyajian pertunjukan Wacinwa memakai cara wayang kulit Jawa. Pakemnya ditulis dengan bahasa dan aksara Jawa. Peralatan hingga dekorasinya sama dengan wayang kulit Jawa. Musik pengiringnya juga menggunakan gamelan slendro pelog  beserta gendhing  dan tembang-tembang Jawa. Wacinwa juga menggunakan Gunungan, Rampogan,  serta menyertakan dua abdi wanita dalam wayang kulit Jawa yakni Limbuk  dan Cangik . Sedangkan unsur Tiongkok yang berbeda dengan wayang kulit Jawa adalah hewan mitologinya seperti Liong  dan Kilin . “Dengan demikian, wayang ciptaan Gan Thwan Sing dan petunjukannya merupakan suatu wujud pembauran kultural dalam bentuk seni pewayangan yang telah memperkaya warna dan corak seni pewayangan di Nusantara,” sebut Bambang dan Ilmi. Awalnya Wacinwa tidak menggunakan adegan banyolan panakawan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Namun, pada perkembangan selanjutnya, diciptakan tokoh-tokoh serupa panakawan dengan busana dan tata rambut Tiongkok klasik. “Tokoh Semar sengaja tak diciptakan karena Gan Thwan Sing memahami tokoh tersebut merupakan lambang kemulian bagi masyarakat Jawa,” tulis Dwi Woro Retno Mastuti dalam tulisannya “ Wayang Kulit Cina-Jawa Yogyakarta”  yang termuat dalam Tionghoa dalam Keindonesiaan . Keunikan lain dari Wacinwa ialah badan dan kepala wayang dibuat terpisah yang membuat setiap wayang dapat berubah nama jika kepala atau badannya diganti. “Koleksi wayang dengan kepala terpisah semacam ini hanya ada di Yogyakarta,” sebut Dwi. Pada awal perkembangannya, Wacinwa hanya tersebar di kalangan terbatas masyarakat Tionghoa peranakan. Hal ini terutama disebabkan karena lakon yang ditampilkan berasal dari cerita rakyat Tiongkok kuno yang populer bagi mereka. Namun, tak membutuhkan waktu lama, Wacinwa mulai diterima berbagai kalangan. “Para priayi dan penduduk kampung biasa, tak sedikit yang minta agar wayang Cina-Jawa itu dipergelarkan di depan rumah mereka. Baik untuk memeriahkan sesuatu pesta keluarga, maupun untuk kaulan . Bahkan pernah pula dipergelarkan untuk upacara ruwatan  yang diselenggarakan oleh suatu keluarga Jawa,” terang Bambang dan Ilmi. Masyarakat Jawa menjadi tertarik dengan Wacinwa karena perbedaan dalam variasi dan warnanya memikat perhatian. Selain itu, lakon-lakon dalam cerita rakyat Tiongkok memiliki tema-tema yang ternyata tak jauh beda dari lakon wayang kulit Jawa yang bersumber dari Mahabharata dan Ramayana. Pada 1930-an, Wacinwa mulai menyebar ke luar Yogyakarta. Wates, Purworejo, Magelang, Klaten, hingga Surakarta menjadi medan pentas baru untuk Wacinwa. Sekitar sepuluh tahun kemudian, Wacinwa mulai dimainkan di daerah utara Jawa seperti Semarang dan Kudus. Pada masa pendudukan Jepang, Wacinwa sempat dibuat menggunakan kertas karena Gan Thwan Sing tidak mampu membeli kulit. Pada dekade selanjutnya, Wacinwa mulai merambah ke daerah Jawa Timur. Namun, setelah sekitar 40 tahun mewarnai seni pertunjukan wayang di Jawa, tahun 1960 menjadi tahun terakhir keberadaan pentas panggung Wacinwa. Bambang dan Ilmi menyebut pertunjukan Wacinwa terakhir berlangsung di pelataran Klenteng Gondomanan Yogyakarta pada 1960. Gan Thwan Sing, sang pencipta Wacinwa menjadi dalangnya. Pasca pertunjukan itu, Gan Thwan Sing sakit-sakitan hingga meninggal dunia pada 1966. Tak ada lagi yang meneruskan pertunjukan Wacinwa setelah itu. Pasalnya, dalang-dalang asuhan Gan Thwan Sing telah meninggal dunia mendahului sang guru. Tidak ada pula jejak Wacinwa selama masa kekuasaan Orde Baru. Terlebih, saat itu segala bentuk ekspresi kebudayaan yang berkaitan dengan Tiongkok tengah direpresi. Kemudian pasca reformasi, pintu bagi berbagai kebudayaan Tionghoa dibuka. Wacinwa dibuat replikanya oleh Museum Wayang DKI Jakarta (2007) dan oleh Rumah Topeng dan Wayang Setia Dharma di Ubud (2009). Namun, Dwi menyebut, hingga kini belum ditemukan dokumentasi berupa foto maupun berita terkait pertunjukan Wacinwa di masa kejayaannya. Sementara berdasarkan penelusuran Dwi, wayang kulit Cina-Jawa buatan Gan Thwan Sing saat ini hanya ada dua set. Satu set berada di Museum Sonobudoyo Yogyakarta yang mengisahkan tentang Si Jin Kwi Ceng Tang (Si Jin Kwi berekspedisi ke timur). Satu set lagi milik kolektor wayang dari Jerman, Walter Angst, yang berkisah tentang Si Jin Kwi See (Si Jin Kwi berekspedisi ke barat). Wayang kulit Cina-Jawa yang menjadi koleksi Museum Sonobudoyo berjumlah 278 namun tanpa keterangan nama tokoh. Sementara koleksi Walter Angst berjumlah 345 tokoh dan berbagai aksesoris lengkap dengan label nama-namanya.

  • Jurus-Jurus Penghabisan Ip Man

    BERTARUNG, bertarung, dan bertarung. Ke manapun Ip Man (diperankan Donnie Yen) melangkah, ia acap terpaksa adu ilmu. Betapapun upaya menghindar dari konflik selalu dilakukan sang sifu Wing Chun itu, ujung-ujungnya ia pasang kuda-kuda juga. Kisah Ip Man, klasik lantaran ke manapun ia bertualang pada akhirnya bakal dihadapkan pada situasi pertarungan untuk menegakkan keadilan. Kisah klasik itu kembali dihadirkan sutradara Wilson Yip dalam Ip Man 4: The Finale . Itu menjadi biopik action keempat dan terakhir seri Ip Man yang digarap Yip. Premis Ip Man 4 pun mirip dengan tiga film sebelumnya. Pembeda yang signifikan hanya sekadar latar belakang dan lokasi. Ip Man 4 mengisahkan sang guru berkelana ke San Francisco, Amerika Serikat pada musim gugur 1967. Ip Man bersikeras mencarikan sekolah buat putra bungsunya, Ip Ching (Jim Liu), kendati sang anak lebih memilih menggali ilmu beladiri ketimbang “makan” bangku sekolah. Ip Man juga dihadapkan pada menurunnya kesehatan lantaran mulai mengidap kanker tenggorokan stadium awal gegara perokok berat. Pun begitu ia tetap terbang dari Hong Kong ke tanah Paman Sam berbekal tiket dari salah satu muridnya yang membuka kelas Wing Chun di San Fransisco, Bruce Lee (Danny Chan). Adegan Ip Man (kiri) yang harus bertarung dengan sesama master kungfu (Foto: wellgousa.com ) Sayangnya mendaftarkan Ip Ching tidak mudah. Untuk menjadi imigran guna bersekolah di Amerika membutuhkan surat rekomendasi Chinese Consolidated Benevolent Association (CBA). Surat itu tak mudah didapat lantaran Ketua CBA Wan Zong-hua (Wu Yue), seorang master Tai Chi, punya perkara yang belum selesai dengan Bruce Lee. Master Wan hanya mau memberi surat rekomendasi itu bila Ip Man mau “menjewer” Bruce Lee agar menghentikan kelas kungfu untuk non-China-nya. Padahal dalam petualangannya di tanah seberang, Ip Man juga memberi pelajaran pada seorang instruktur karate yang bikin onar di sebuah festival di Pecinan San Francisco. Gawatnya, instruktur yang dihajar itu merupakan guru di markas Marinir Amerika. Tak terima instrukturnya babak belur, Sersan Barton Geddes (Scott Adkins) menuntut balas. Bagaimana kelanjutannya? Pasti jauh lebih seru jika Anda tonton sendiri Ip Man 4 yang sudah tayang di bioskop-bioskop Indonesia sejak 1 Januari 2020. Sarat Dramatisasi Ip Man 4 pas untuk mengisi liburan Tahun Baru Imlek 2020. Penonton tak hanya bakal bernostalgia dengan theme song Ip Man yang melekat di ingatan sejak seri pertama tahun 2008. Ip Man 4 juga sarat adegan-adegan action ciamik Wing Chun yang dikenal efisien dan mematikan. Setiap pertarungannya juga diiringi music scoring yang mampu memperkuat setiap gerakan Wing Chun yang dipertontonkan Donnie Yen. Music scoring mengagumkan itu digarap Kenji Kawai. Aneka kelebihan itu mampu menutupi sedikit rasa jemu dari alur cerita yang nyaris sama dengan film-film sebelumnya. Utamanya soal Wing Chun yang dianggap remeh oleh para master kungfu beraliran lain dan lagi-lagi, soal kungfu itu sendiri yang dianggap inferior dan dilecehkan oleh orang kulit putih. Pelecehan itulah yang membuat Ip Man mau tetap pasang jurus-jurus terakhir meski fisiknya sudah mulai digerogoti usia. Apa lagi kalau bukan demi kehormatan kungfu China. Untuk kesekian kalinya, perjalanan Ip Man diracik dramatisasi sedemikian rupa sebagaimana Ip Man (2008), Ip Man 2 (2010), dan Ip Man 3 (2015). Dramatisasi itu mengakibatkan banyak scene tak sesuai fakta dan kisah asli sang guru Wing Chun itu. “Memang banyak enggak bener sama kisah aslinya. Banyak dramatisasinya. Jadi yang kisahnya benar, hanya digambarkan bahwa benar ada yang namanya Ip Man, guru Wing Chun,” sebut Sifu Martin Kusuma, pendiri Tradisional Ip Man Wing Chun Indonesia, kepada Historia. Sifu Martin Kusuma, pendiri Tradisional Ip Man Wing Chun Indonesia yang belajar langsung dari Ip Ching (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Salah satu penyimpangan fakta adalah soal penggambaran keluarga Ip Man. Di Ip Man 4 , sang sutradara hanya menonjolkan sosok si bungsu Ip Ching. Anak-anak Ip Man yang lain tak dihadirkan. “Seperti waktu di Ip Man yang pertama (2008), anaknya yang ditonjolkan hanya satu orang, Ip Chun. Di Ip Man 2 (2010), istrinya melahirkan anak kedua, Ip Ching, di Hong Kong. Padahal enggak betul. Ip Ching aslinya lahir di Foshan, bukan Hong Kong. Ip Man juga aslinya anaknya ada empat. Dua lagi perempuan, enggak diceritakan. Mungkin karena memang enggak belajar beladiri,” lanjutnya. Ip Man dan Bruce Lee si Murid “Durhaka” Ip Man 4 sudah diputuskan menjadi yang terakhir dimainkan Donnie Yen. Sang sutradara menegaskannya dalam satu adegan terakhir ketika Bruce Lee menghadiri pemakaman Ip Man yang wafat pada 18 Juni 1972. Film bertema Ip Man memang tak hanya yang dimainkan Donnie Yen. Sejak booming pada 2008, banyak film bertema serupa dengan aktor lain memainkan karakter Ip Man yang bermunculan. Selain The Legend is Born: Ip Man (2010) yang diperankan Dennis To, ada The Grandmaster (2013) dengan Tony Leung pemeran utamanya, dan Ip Man: The Final Fight (2013) yang diperankan Anthony Wong. “Tapi memang sepertinya yang paling cocok ya Donnie Yen. Dia sampai menguruskan badan untuk bisa pas memerankan Ip Man. Setelah Ip Man 4 ini, mungkin saja diteruskan dengan kisah Bruce Lee,” lanjut Martin. Sifu Martin Kusuma kala memeragakan salah satu pose khas Wing Chun (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Prediksi Martin sangat mungkin benar lantaran di beberapa adegan Ip Man 4 , sang sutradara seolah memberi kode yang mengarah ke Bruce Lee. Antara lain, saat Ip Man bangga melihat demonstasi Jeet Kun Do, yang dikembangkan dari Wing Chun, Bruce Lee di sebuah eksebisi turnamen karate. Adegan lain, saat Ip Man dalam pertarungan terakhirnya menggunakan beberapa teknik adaptif untuk menumbangkan musuhnya yang berbadan besar. Ia antara lain menggunakan tendangan ke selangkangan yang bikin nyeri “kantong menyan” lawan. Teknik itu tak pernah dipergunakan Ip Man di tiga film sebelumnya, di mana sang guru selalu berkelahi tanpa teknik “culas” semacam itu. Kode terakhir adalah, adegan Bruce Lee datang ke pemakaman Ip Man. Padahal faktanya, Bruce Lee baru bisa datang ke Hong Kong melayat ke keluarga mendiang Ip Man tujuh hari setelah sang guru berpulang. Bruce Lee yang tengah sibuk merintis karier jadi aktor laga di Amerika, tahu kabar itu tiga hari setelah Ip Man berpulang lewat sejumlah suratkabar berbahasa Inggris memberitakannya sebagai murid durhaka gegara tak hadir di pemakaman gurunya. “Padahal orang-orang yang mengecam tahu bahwa Bruce tak datang ke pemakaman karena ia tidak tahu Ip Man wafat. Di Hong Kong kala itu Ip Man masih sekadar guru kungfu yang kurang dikenal. Berita kematiannya hanya diberitakan di koran-koran berbahasa China yang jarang dibaca Bruce,” ungkap Matthew Polly dalam biografi Bruce Lee: A Life . Satu adegan Bruce Lee yang bertarung dengan teknik-teknik Jeet Kune Do di film Ip Man 4 (Foto: IMDB) Namun yang berkembang justru pemberitaan miring terhadap Bruce Lee. Berita-berita itu mengutip sejumlah mantan rekan seperguruan Bruce Lee maupun salah satu mantan guru Wing Chun-nya selain Ip Man, Wong Shun-leung. “Rasa cemburu mereka keterlaluan. Saya baru mengetahui kematiannya (Ip Man) tiga hari kemudian. Sialan. Saya merasa kecewa,” ketus Bruce Lee dikutip Polly. Ip Chun, putra sulung Ip Man, diungkap Polly, sejatinya sudah ingin angkat telefon untuk mengabarkan kematian ayahnya pada Bruce Lee. “Tetapi kemudian seseorang mencegah saya untuk menelefonnya, dan pada akhirnya saya tak pernah menghubunginya,” kenang Ip Chun tanpa mau menyebut siapa orangnya.

  • Masyarakat Tionghoa di Majapahit

    Masyarakat Tionghoa telah menjadi bagian dari penduduk Majapahit. Keberadaan mereka dibuktikan oleh arca terakota, prasasti, dan catatan Ma Huan, penerjemah resmi yang mendampingi Laksamana Cheng Ho. Pada 1412, Ma Huan menerima tugas pertama dari Dinasti Ming untuk menemani Cheng Ho berlayar ke banyak negeri. Ia mencatat petualangannya itu dalam Yingya Shenglan, yang terbit pada 1416. Dalam catatannya, Ma Huan menyebutkan bahwa penduduk di pantai utara, yaitu di kota-kota pelabuhan, seperti Gresik, Tuban, Surabaya, dan Canggu kebanyakan menjadi pedagang. Kawasan itu banyak dikunjungi oleh pedagang asing dari Arab, India, Asia Tenggara, dan Tiongkok. Di sana banyak orang Tiongkok dan Arab menetap dan berdagang. Ketika sampai di kota Majapahit, kata Ma Huan, sudah ada sekira 200-300 keluarga yang menetap. Ia lalu membagi penduduk Jawa kala itu ke dalam tiga golongan. Baca juga:  Majapahit dalam Catatan Ma Huan dan Sejarah Dinasti Ming Pertama, orang Arab atau penganut ajaran Muhammad. Dia menyebut mereka berasal dari daerah barbar bagian barat. Kegiatannya berdagang dan menetap di Jawa. “Pakaian dan makanan mereka bersih dan bagus,” catat Ma Huan. Kedua, orang Tangren atau Tenglang, merujuk pada orang Tionghoa yang umumnya berasal dari Guangdong, Zhangzhou, dan Quanzhou. Mereka melarikan diri dari daerah asalnya dan tinggal di Jawa. Golongan ini mengkonsumsi makanan yang bersih. Pun menggunakan peralatan yang bagus. “Yang menarik, banyak dari golongan kedua ini belajar Islam dari orang Arab. Jadi, meski Majapahit Hindu Buddha, tapi unsur Islam sudah masuk,” kata Nurni Wahyu Wuryandari, peneliti dari Pusat Studi Cina Universitas Indonesia. Nurni menyebut kontak Nusantara, dalam hal ini Jawa, dengan Tiongkok sudah sejak tahun 131 M. Ketiga, masyarakat pribumi. Ma Huan menyebut masyarakat dalam golongan ini sebagai penduduk yang kotor, jelek, bepergian dengan kepala yang tak pernah disisir, bertelanjang kaki, juga sangat percaya pada ajaran setan. Baca juga:  Catatan Ma Huan tentang Masyarakat Majapahit Sebelum Ma Huan datang, prasasti paling awal dari masa Majapahit juga telah menyinggung keberadaan orang Tiongkok. Hery Priswanto, peneliti Balai Arkeologi Yogyakarta dalam tulisannya “Orang-orang Asing di Majapahit” termuat di Majapahit Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota menjelaskan, dalam Prasasti Balawi dari 1305 yang ditemukan di Trowulan, disebutkan adanya orang Keling Arya, Singhala, Karnnataka, Bahlara, Tiongkok, Champa, Mandikira, Remin, Khmer, Bebel, dan Mambaŋ. Pun dalam Desawarnana atau lebih dikenal dengan Nagarakrtagama (1365), disebutkan orang dari luar negeri datang berduyun-duyun ke Majapahit. Salah satunya dari Tiongkok. Kakawin itu menggambarkan kegiatan perniagaan yang melibatkan para pedagang asing. Pun suasana pasar ketika para pedagang asing melakukan transaksi dagang. “Dari Jambudwipa (India), Kamboja, Cina, Yamana (Annam), serta Campa, Karnnataka (India Selatan), Goda (Gauri), dan Syangka (Siam) mengarungi lautan bersama para pedagang, resi, dan pendeta, semua merasa puas, menetap dengan senang,” catat Mpu Prapanca.   Penggambaran orang-orang Tiongkok juga muncul dalam arca-arca dari Majapahit. Di antaranya yang kini menjadi koleksi Museum Trowulan, Mojokerto. Arca ini menggambarkan seorang laki-laki dengan posisi duduk bersila. Ia mengenakan tutup kepala setengah lingkaran dengan tonjolan kecil di bagian atasnya ( maozi ). “ Maozi adalah sebuah penutup kepala yang sering digunakan oleh orang-­orang Tionghoa,” kata Hery. Selain topi, mata tokoh juga digambarkan sipit, yaitu sudut mata bagian luar lebih tinggi dari sudut mata dalam. Pelupuk matanya tebal, hidung kecil, mulut tersenyum, bibir tipis, pipi montok, dan dagu panjang berlipat­-lipat. Tokoh berperut buncit itu tak mengenakan baju bagian atasnya. Baju bagian bawahnya berupa sarung yang dipakai dengan cara digulung pinggangnya. Baca juga:  Hubungan Bilateral Jawa dan Tiongkok Hery menyebut arca lainnya yang menggambarkan laki-laki sedang memegang kotak uang. Arcanya hanya tinggal bagian atas badannya. Rambutnya belah tengah. Ada hiasan bunga di atas telinga kanan. Alis matanya berupa dua garis lengkung bertemu di pangkal hidung. Matanya sipit dengan sudut mata bagian luar ditarik ke atas. Hidungnya mancung, mulut terkatup, dan bibir tebal. Tokoh laki-­laki ini digambarkan mengenakan pakaian seperti baju kurung berlengan panjang. “Namanya qi pao . Lengan baju itu digulung pada bagian pergelangan tangan. Qi pao lazim digunakan sebagai pakaian sehari­-hari orang­-orang Tionghoa,” kata Hery. Arca laki-laki berjubah yang wajahnnya mirip orang Tionghoa. ( inspirasimajapahit.wordpress.com ). Arca berikutnya menggambarkan seorang lelaki berjubah. Arca terakota ini juga menjadi koleksi Museum Trowulan di Mojokerto. Jubah yang dipakai seperti baju kurung berlengan panjang. Bagian dadanya dibiarkan terbuka. Leher baju dibuat tinggi sampai menyentuh dagu. “Pakaian arca terakota ini juga berciri Tiongkok, yaitu pakaian dengan bagian leher baju tertutup yang disebut dengan cheongsam atau changshan ,” jelas Hery. Rambutnya disisir ke arah belakang kepala lalu dikucir. Bagian dahinya tampak lebar. “Tata rambut demikian lazim dijumpai dan merupakan tradisi orang Tionghoa,” jelas Hery. Sementara matanya sipit, pelupuk mata tebal, dan sudut mata luar meninggi. Hidung besar dan lebar. Kumis tebalnya ditata membentuk pilinan di kanan kiri mulut. Bentuk mulut mungil dan bibir tebal. Baca juga:  Catatan Pertama Kedatangan Orang Tionghoa ke Nusantara Ada lagi arca kepala anak laki-laki koleksi kantor Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah. Rambut si anak dipotong gundul. Tapi masih menyisakan kucir pada ubun-ubunnya. “Tata rambut seperti itu merupakan cara penataan rambut yang biasa dijumpai dan diterapkan pada anak-­anak kecil di daratan Tiongkok, yang sedang mengikuti pelatihan wushu di shao lin sie ,” kata Hery. Dari segala bukti yang ada, menurut Hery, orang Tiongkok adalah orang asing yang paling sering disebut dalam berbagai sumber tertulis masa Majapahit. Tentu saja karena mereka adalah pedagang asing mayoritas yang sudah lama berhubungan dengan Jawa.

  • ​​​​​​​Pardo’s Push, Upaya Gila Pilot Amerika di Angkasa

    HAMPIR berbarengan dengan dimulainya penugasan Kapten Udara John Robert “Bob” Pardo di Skuadron Tempur Taktis ke-433 di Pangkalan Udara Ubon, Thailand pada Februari 1967, Washington melancarkan kampanye bombardir udara terhadap industri-industri utama Vietnam Utara. Pabrik-pabrik baja di Thuy Nguyen, Hai Pong menjadi pilihan pertama. Kampanye tersebut dilakukan untuk mematahkan tulang punggung kekuatan Vietnam yang tak kunjung lemah. Kampanye juga menandai dimulainya kembali bombardir udara yang sebelumnya dihentikan Presiden Amerika Serikat (AS) Lyndon Johnson dan Menhan Robert McNamara. Keputusan penghentian itu diambil Johnson guna menggiring lawan agar mau ke meja perundingan.   Namun dengan dilancarkannya kembali operasi bombardir udara, jajaran AU AS di Asia Tenggara menganggap keputusan tersebut sebagai “langkah bunuh diri”. Pasalnya, selama penghentian bombardir udara, Vietnam Utara jelas punya waktu memperkuat kekuatannya. “Dengan tiap penghentian bombardir baru, Tentara Vietnam Utara membangun lebih banyak tempat peluncuran SAM (Surface to Air Missile), lebih banyak pos radar, tempat-tempat senapan anti-pesawat, dan itu memberi mereka waktu untuk melatih lebih banyak teknisi. Penghentian bombardir ini adalah surga –untuk musuh, dan Paman Ho mungkin menertawakannya setiap kali diumumkan Washington,” tulis pensiunan pilot tempur AU AS Howard C. Johnson dan Ian O’Connor dalam Scrappy: Memoir of a US Fighter Pilot in Korea and Vietnam .   Para petinggi AU AS di Asia Tenggara juga menganggap keputusan untuk memfokuskan bombardir pada Thuy Nguyen juga tak tepat. “Jika para komandan di Angkatan Udara ke-7 memiliki otoritas, mereka akan dengan mudah memecah target penting lain, yang pertahanannya sekarang telah dikuras untuk pembangunan di Thuy Nguyen,” sambung Johnson dan O’Connor. Namun, keputusan Washington sudah bulat. Para petinggi AU di Asia Tenggara hanya punya pilihan untuk melaksanakan perintah. Lain tidak. Pun para perwira di bawahnya dan para prajurit, termasuk Kapten Pardo. Pada 10 Maret 1967, jet tempur F-4 Phantom yang dipiloti Pardo dan Kopilot Letnan Stephen A. Wayne bergabung dalam misi bombardir Thuy Nguyen. Di belakang pesawat Pardo, ada F-4 yang dipiloti Kapten Earl Aman dan Kopilot Letnan Bob Houghton. Belum lagi formasi pesawat itu mencapai sasaran, peluru-peluru dari senapan-senapan penangkis serangan udara pasukan Vietnam Utara sudah menyambut mereka. Pesawat Aman-Houghton langsung terkena tembakan kendati tetap bisa berada di formasi. Namun, pesawat itu kembali terkena tembakan ketika berada di atas target. “Rentetan tembakan anti-pesawat telah memangsa tangki bahan bakarnya, menguras 5.000 pon bahan bakar dalam waktu kurang dari satu menit,” tulis pensiunan Sersan Steve Smith dalam “Pardo’s Push: A Battle Damaged F-4 and Its Crew were in Danger of Bailing out Over North Vietnam”, dimuat www.af.mil . Pesawat Pardo-Wayne tertembak tak lama kemudian. Tangki bahan bakar pesawat mereka bocor. “Pardo mungkin bisa mencapai ke pesawat tanker, tapi Aman akan kehabisan bahan bakar sebelum bisa sampai ke Laos (tempat pesawat tanker berada, red .),” tulis Air Force Magazine  Vol. 89, No.1. Tembakan pasukan Vietnam mereda begitu mereka menambah ketinggian pesawat. Namun, pesawat Aman dalam sekejap terus turun lantaran kehilangan tenaga. “Aman membuang semua yang memungkinkan dengan harapan pesawatnya bisa bertahan lebih lama,” tulis Johnson dan O’Connor. Dalam keadaan genting itu, ditambah dari kejaran dari pesawat-pesawat MiG Vietnam, Pardo terus memikirkan cara untuk menyelamatkan diri dan pesawat Aman. Pardo tak ingin meninggalkan Aman-Houghton sendirian dalam kesulitan. Pardo juga tak ingin Aman dan Houghton menyelamatkan diri dengan kursi lontar karena mereka berisiko jadi tawanan lantaran masih berada di wilayah Vietnam Utara. Pardo akhirnya mendapat akal. Dia akan dorong pesawat Aman dengan pesawatnya. Dia  meminta Aman membuang kompartemen dragchute  (parasut pengereman)-nya agar ada lubang cukup besar dari ujung ekor pesawat Aman. Lubang itulah yang akan dijadikan tempat mendorong dengan hidung pesawatnya. Setelah mendekatkan pesawatnya ke ekor pesawat Aman, Pardo akhirnya insyaf upayanya tak mungkin dilakukan lantaran terlalu banyak benda beterbangan dari stabilizer dan sayap pesawat Aman. Pardo akhirnya meminta Aman menurunkan pengait ekor pesawatnya ( tailhook) . Dengan menempelkan pangkal hidung pesawatnya ke pengait pesawat Aman, Pardo berhasil mendorong pesawat Aman sehingga tetap terbang. “Tingkat penurunan pesawat Aman berkurang menjadi 1.500 kaki per menit,” tulis John F. Frisbee dalam “Valor: Pardo’s Push”, dimuat airforce-magazine.com . Kendati pengait itu terus tergelincir dari pesawatnya setiap 15-30 detik akibat turbulensi, Pardo tekun menempelkan kembali pesawatnya ke pengait sehingga pesawat Aman bisa terus terbang. “Aku tak ingat berapa kali tailhook  terlepas dari kaca depan, dan aku harus berjuang untuk mendapatkan kembali,” kata Pardo, dikutip Steve Smith. Masalah tetap menghinggapi mereka. Mesin kiri pesawat Pardo terbakar. Dia buru-buru mematikannya. Begitu mesin itu dihidupkan kembali, api kembali muncul. Pesawat Pardo akhirnya terbang hanya menggunakan satu mesin. Sementara, bahan bakarnya akan habis dalam 10 menit. Kondisi itu tak memungkinkan mereka mencapai tujuan yang diinginkan di Laos. Dalam detik-detik menentukan itu, Pardo sempat melakukan panggilan radio untuk minta bantuan dukungan pesawat tanker. Namun, kondisi pesawat meyakinkan Pardo bahwa pesawat tanker tak mungkin mereka capai. Beruntung, kedua F-4 abnormal itu berhasil menyeberangi Sungai Hitam. Itu berarti mereka telah memasuki wilayah Laos. Di ketinggian 6000 kaki, Aman-Houghton dan Pardo-Wayne akhirnya melontarkan diri dan berhasil mendarat menggunakan parasut di hutan perbatasan Laos-Vietnam. Kendati nyaris termakan maut akibat ditembaki lawan yang mengejar, mereka berhasil menghindarinya. Helikopter penyelamat yang –dikawal pesawat serang A-1 Skyriders– disiagakan sejak panggilan radio terakhir Pardo, akhirnya berhasil mengevakuasi mereka kembali ke Lanud Ubon. Setelah lama dipersalahkan karena dianggap membuang percuma pesawat berharga mahal, Pardo dan Wayne akhirnya merasakan manisnya buah perjuangan setelah pengakuannya berhasil diperjuangkan Senator asal Texas John Tower. “Pada 30 Juni 1989, Jenderal Horner menyematkan Silver Star pada Letkol John R ‘Bob’ Pardo (pensiunan AU AS) dan Kolonel Stephen A. Wayne untuk tindakan berani mereka menyelamatkan jiwa di langit Vietnam Utara,” tulis Wayne Thompson dalam To Hanoi and Back: The United States Air Force and North Vietnam, 1966-1973 .

  • Mengenal Dwidjosewojo, Bapak Asuransi Indonesia

    EMPAT perusahaan asuransi Indonesia terbelit masalah pada Januari 2020. Jiwasraya, Asabri, Taspen, dan AJB Bumiputera 1912. Tiga milik negara, satu lainnya kepemilikan bersama (mutual) di antara para pemegang polis. Masalah ketiganya berbeda. Dugaan kasus korupsi pada Jiwasraya dan Asabri, kejanggalan di Taspen, dan pembengkakan klaim dalam AJB Bumiputera 1912. Masalah-masalah termaksud mencederai kepercayaan khalayak pada asuransi. Juga melenceng dari apa yang dicita-citakan oleh Dwidjosewojo, Bapak Asuransi Indonesia.

  • Orang Indonesia Jadi Agen OSS

    PADA 8 Juni 1944, kapal selam Inggris, HMS   Tradewind berangkat dari Trincomalee, Ceylon (Sri Lanka), untuk melaksanakan operasi OSS (Office of Strategic Services), pendahulu CIA. Salah satu tujuan operasi bersandi Ripley I itu untuk mendaratkan agen OSS asal Indonesia. Agen itu bersandi Humpy dan Johnny.

  • Mengintip Belakang Layar Nyanyian Akar Rumput

    KEUNIKAN. Itulah “kekayaan” Wiji Thukul yang menarik perhatian Yuda Kurniawan, sineas penggarap Nyanyian Akar Rumput, untuk mengenal lebih jauh. Selain rangkaian kata dalam puisi-puisinya berbeda dari pada umumnya, Yuda tertarik dengan nama Wiji Thukul. “Itu sejak saya kelas 3 SMP ya. Saya pikir itu dulu bukan puisi. Wiji Thukul nulisnya enggak seperti puisi pada umumnya. Kayak cerpen. Ia bercerita. Enggak berima, enggak indah seperti puisi-puisi Chairil Anwar atau WS Rendra. Di situ juga mulai kenal namanya itu. Namanya unik, kan. Thukul,” ujar Yuda kepada Historia , Rabu (22/1/2020). Puisi-puisi Thukul biasa terselip di buku-buku yang acap dibawa pamannya kala pulang ke Banyuwangi, Jawa Timur dari perantauannya di Yogyakarta. Di kota itu, sang paman kuliah di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Begitulah penuturan Yuda tentang awal perkenalannya dengan penyair berjuluk “sang peluru” dan karya-karyanya. Yuda baru mengetahui fakta hilangnya Thukul pasca-Tragedi Mei 1998 kala duduk di bangku SMA. “Saya SMA, 1999, baru tahu kemudian, oh ternyata pengarang puisi yang sering saya baca sejak SMP itu orangnya hilang, diculik,” lanjut sineas kelahiran 8 Oktober 1982 itu. Pencariannya soal siapa Thukul terus bergulir hingga dia kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2001. “Pas kuliah di Yogya lebih penasaran lagi untuk mencari tahu. Sempat kemudian kepikiran bikin karya. Cuma karena referensi pembuatan film masih minim, kamera juga susah, kalaupun sewa harganya mahal, ide itu mengendap saja,” ujarnya. Yuda Kurniawan, sutradara "Nyanyian Akar Rumput" pemenang Piala Citra 2018 kategori dokumenter panjang terbaik (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Lama tertimbun, hasrat Yuda muncul lagi tahun 2012. Sebuah artikel tentang band indie asal Solo, Merah Bercerita, yang –digawangi salah satunya oleh Fajar Merah, anak bungsu Thukul–  dibacanya membuat Yuda kagum. Kekagumannya kian bertambah ketika menyaksikan video unggahan kawannya, Lexy Rambadeta, di Youtube . Video itu menampilkan Merah Bercerita memainkan musikalisasi puisi “Bunga dan Tembok” karya Thukul. “Saya terkesima. Dari situ saya makin cinta sama Fajar. Main gitarnya rapi, bagus banget. Saya pikir, oke banget ini. Walau belum nemu momentumnya, tapi niatku dulu membuat dokumenter Wiji Thukul seperti menemukan jalannya. Bahwa si Fajar ini ingin melestarikan puisi bapaknya melalui lagu. Sebuah spirit yang bagus,” sambung Yuda. Yuda lantas mendekati Lexy, sineas yang sudah menghasilkan sejumlah karya dokumenter macam Mass Grave (2001) dan Student Revolt (2001), dan Batas Panggung (2004). Lexy acap menenteng kamera untuk mendokumentasikan sejumlah forum terkait kasus pelanggaran HAM 1997-1998 serta kasus penghilangan paksa yang digulirkan KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). Lexy dikenal cukup dekat dengan keluarga Wiji Thukul. “Tapi memang dia belum pernah sempat mendokumentasikan secara khusus menjadi karya tentang Wiji Thukul,” kata Wahyu Susilo, adik Wiji Thukul. Yuda pun mendiskusikan idenya dengan Lexy. Gayung pun bersambut. Selain punya banyak koleksi terkait keluarga Wiji Thukul, Lexy pula yang jadi perantara Yuda bisa mengontak Fajar dan ibunya, Siti Dyah Sujirah alias Sipon. Setelah mendapat lampu hijau, segera Yuda bertolak ke Solo pada Juni 2014. “Jadi saya ke sana memposisikan diri sebagai fans -lah. Ibarat kalau saya ke Potlot, ingin ketemu Kaka (Slank), kurang lebih begitu. Saya jelaskan bahwa saya ingin memfilmkan Fajar sebagai sosok anak Wiji Thukul yang punya band. Alhamdulillah mereka welcome ,” sambung Yuda. Band Merah Bercerita yang salah satunya digawangi anak bungsu Wiji Thukul, Fajar Merah (kedua dari kiri) (Foto: Dok. Yuda Kurniawan/Rekam Docs) Saat itu juga Yuda memulai proses produksi dokumenternya. Mulai dari mengambil gambar kegiatan band Merah Bercerita sampai memfilmkan keseharian serta wawancara Sipon, Fitri Nganthi Wani (putri sulung Wiji Thukul), dan Wahyu Susilo (adik Wiji Thukul) yang sudah tinggal di Depok. Yang belum ada hanya keterangan dari Nasri Nugroho, adik Wiji Thukul. “Kalau Mas Wahyu kan baru 2015 bisa ke sana, ketika ikut Fajar saat ke Jakarta. Kalau Mas Nasri Nugroho lagi sibuk, banyak kegiatan. Mbak Sipon sudah sempat minta Fajar nganterin saya ke Mas Nugroho. Enggak tahu kenapa, gagal terus. Dalam arti, pas mau ke sana beliaunya lagi ke luar kota. Tapi ya buat saya sudah terwakili sama Mas Wahyu-lah. Secara konektivitas Fajar kan juga sangat dekat dengan Mas Wahyu, seperti pengganti bapaknya,” ujarnya. Narasi Sejarah Nyanyian Akar Rumput berpusar pada kehidupan dan pergulatan batin Fajar Merah sebagai anak bungsu Wiji Thukul. Dua pokok alur cerita yang bertautan dengan benang sejarahnya tak lain adalah musik-musik yang dimainkan Merah Bercerita. Fajar dkk. mengreasikan sendiri musiknya dengan memanfaatkan lirik-lirik dari sejumlah puisi karya Wiji Thukul seperti “Apa Guna”, “Sajak Suara”, “Kebenaran Akan Terus Hidup”, “Bunga dan Tembok”, “Derita Sudah Naik ke Leher”, atau “Yang Aku Tahu”. Dalam wawancara di dokumenter itu, Wahyu merasa Fajar telah memberi nyawa baru dalam karya-karya kakaknya. Sementara, Sipon melihat Fajar dengan musiknya justru memberi wajah baru puisi-puisi suaminya. “Dengan musiknya, Fajar membawakan karya-karya puisi itu tidak sama dengan ayahnya. Ada nuansa romantis. Enggak versi ayahnya (membacakan puisi, red. ) yang penuh kemarahan. Fajar ingin menciptakan senyum,” kata Sipon. Narasi lainnya adalah tentang bagaimana Thukul tak hanya membela wong cilik dengan kata-kata namun juga kerap ikut turun ke jalan yang cuplikannya turut dihadirkan Yuda. Seperti saat terjadi kasus pembangunan Waduk Kedung Ombo pada 1989, misalnya, di mana ribuan keluarga harus terusir dan tak mendapat ganti rugi yang sepadan dari pemerintah. Wahyu Susilo, adik bungsu Wiji Thukul (Foto: Randy Wirayudha) Pun dengan kasus protes karyawan PT Sritex di Sukoharjo pada 1995. Imbasnya, Wiji dan keluarga mulai diteror sejumlah pihak tak dikenal. “Memang sejak lama kami mengalami represi, sedari awal 1990-an. Ketika ada kasus Kedung Ombo, rumah disatroni,” kenang Wahyu. Puncaknya adalah peristiwa Kudatuli atau Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli 1996, tak lama setelah Megawati Soekarnoputri didongkel dari kursi ketua umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Thukul dan para aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) dituduh jadi dalang kerusuhannya. Akibatnya, ia turut diburu aparat sampai akhirnya hilang bak ditelan bumi usai Tragedi Mei 1998. Yuda menghadirkan narasi-narasi itu dengan kombinasi ekspositori dan observatori, di mana selain menyajikannya lewat wawancara, juga via foto maupun footage lawas dari beberapa pihak, serta footage aktivitas sehari-hari para subyek film. Footage kerusuhan Mei 1998, misalnya, didapat Yuda dari sineas senior Tino Saroengallo. “Jadi Om Tino dulu pernah bikin film Student Movement in Indonesia: They Forced Them to be Violent (2002). Film yang juga menang Piala Citra 2004 kategori dokumenter panjang. Film yang asalnya dari gambar yang banyak beliau dan temannya ambil tentang zaman 1998. Saya hubungi Om Tino, bahwa saya sedang butuh footage tentang 1998,” tutur Yuda. Tino Saroengallo (kiri) sosok yang memberi Yuda Kurniawan (kanan) beberapa footage penting untuk meramu "Nyanyian Akar Rumput" (Foto: Dok. Yuda Kurniawan/Rekam Docs) Yuda mulanya hanya minta izin untuk memakai beberapa scene dari film itu. Namun Yuda justru diberi master -nya secara cuma-cuma, yang kemudian diedit Yuda untuk dipakai beberapa bagiannya. “Kebetulan Om Tino waktu itu juga sudah sakit, bolak-balik dirawat di Singapura. Pas saya bikin screening di Cikini, beliau menyempatkan hadir. Beliau bilang, ‘Ini (hasilnya) oke. Footage -nya masangnya pas. Wes , semoga filmnya sukses ya.’ Itu terakhir ketemu beliau sebelum meninggal (pada 27 Juli 2018). Menurutku gila. Ini orang baik banget. Pas beliau meninggal saya sempatkan datang. Dengan dikasih master -nya, saya seperti dikasih warisan,” tambahnya. Sementara, footage keluarga mewakili Wiji Thukul menerima Yap Thiam Hien Award pada 2002 dan cuplikan-cuplikan Sipon di Aksi Kamisan, didapat Yuda dari Lexy. Juga secara cuma-cuma. Footage-footage itu digunakan Yuda untuk melengkapi beberapa video lain yang didapat dari keluarga Wiji Thukul. “Dia ngasih free . Katanya, pakai aja. Tentu dengan senang hati karena saya butuh banyak video itu. Dia punya koleksi banyak banget yang dia susun rapi dari tahun 2000, ketika saya main ke rumahnya. Kalau footage Fajar yang di acara Mata Najwa, aku pakai rekamanku sendiri waktu nge- shoot plasma tv di studionya. Alhamdulillah dibolehkan sama produsernya,” lanjut Yuda. Kiri ke kanan: Yuda Kurniawan, Fajar Merah, Lexy Rambadeta (Foto: Dok. Yuda Kurniawan/Rekam Docs) Setelah rampung, Yuda mendaftarkan filmnya ke Busan International Film Festival dan ternyata lolos untuk world premier dan kompetisi di kategori dokumenter panjang pada 5 Oktober 2018. Lantas Yuda mendaftarkannya ke beberapa festival lainnya dari 2018 sampai 2019. Empat dari 16 festival yang diikutinya membuahkan penghargaan. Salah satunya, Piala Citra di FFI 2018. Capaian itu mendorongnya untuk membawa Nyanyian Akar Rumput ke bioskop-bioskop komersil pada 2019. Nyanyian Akar Rumput menjadi film kedua yang menampilkan sosok Wiji Thukul dan kisah yang tercecer di baliknya, setelah Istirahatlah Kata-Kata (2017) karya Yosep Anggi Noen. “Bagi saya, Yuda ini juga figur anak muda yg sampai sekarang melakukan pencarian juga ya, siapa sih sosok Wiji Thukul. Secara fisik enggak pernah ketemu. Seperti juga Yosep Anggi Noen. Kan ketika aktivitas Wiji Thukul memuncak, mereka masih anak-anak, belum mengerti. Makanya saya appreciate sekali ya dua film ini,” tandas Wahyu.

  • Aksi Para Sailor untuk Emperor

    MINGGU, 15 Mei 1932 di Kuil Yasukuni, Tokyo. Setelah turun dari dua taksi yang membawa ke depan pintu masuk samping kuil, sembilan perwira muda Angkatan Laut (AL) Kekaisaran Jepang langsung membungkuk ke arah Dewa Matahari. Usai melakukan ritual, mereka membeli sebuah jimat kepada seorang pendeta Shinto dan kembali ke dua taksi tadi. Mereka menuju kediaman resmi Perdana Menteri (PM) Tsuyoshi Inukai, politisi senior berpandangan moderat dari partai Rikken Seiyukai. Tak lama kemudian, mereka tiba di tujuan. “Di sini mereka memaksa melewati seorang sersan polisi dan masuk ke kamar Perdana Menteri Tsuyoshi Inukai, lelaki kecil berjenggot berumur 75 tahun,” tulis John Toland dalam The Rising Sun: The Decline and Fall of the Japanese Empire, 1936-1945 . Sejurus kemudian, peristiwa penting dalam sejarah Jepang yang ikut membentuk sejarah dunia pun diciptakan para perwira AL itu. Kedatangan para perwira AL ke rumah PM Inukai itu merupakan buah dari akumulasi masalah ekonomi, politik, diplomasi, dan ideologis masyarakat Jepang era 1920-an. Sebagaimana banyak perwira muda Angkatan Darat (AD) jebolan Akademi Militer kurun 1907-1916 ,  para perwira muda AL itu juga amat membenci demokrasi liberal dengan para politisi korup di dalamnya. Mereka berambisi mewujudkan idealisme dengan menggulirkan Restorasi Showa guna membentuk Jepang baru. Restorasi Showa, yang dipromosikan oleh penulis sosialis-mistikus ultrakanan Kita Ikki, bertujuan menggulingkan demokrasi liberal dan merestorasi kekuasaan kaisar. “Visi mereka tentang Restorasi Showa  dipengaruhi oleh ajaran Kita Ikki, menyiratkan bahwa kekuatan politik dan ekonomi harus ‘dikembalikan’ kepada Kaisar dan rakyat. Ini akan dilakukan dengan menghapuskan ‘kelas istimewa’, mendistribusikan kembali kekayaan, dan mengembalikan negara daripada kalangan bisnis besar dalam mengendalikan ekonomi,” tulis Ben-Ami Shillony dalam Revolt in Japan: The Young Officers and the February 26, 1935 Incident . Para perwira muda dan kaum ultra-kanan yakin demokrasi liberal dengan perdana menteri sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan merupakan biang permasalahan yang membelit Jepang. Bukan hanya mengerdilkan posisi politik kaisar, demokrasi liberal juga dianggap melemahkan perekonomian dan diplomasi Jepang. Akibat sistem itu, perekonomian Jepang jadi amat bergantung pada hubungan internasionalnya, terutama pada Amerika dan Inggris, dan kekayaan hanya dinikmati segelintir elit dan konglomerat. Selain itu, kehormatan Jepang juga tercoreng lantaran diplomasinya tak seindependen di era sebelum demokrasi. Bagi para perwira muda AL, kebencian mereka makin bertambah dengan ditandatanganinya Treaty for the Limitation and Reduction of Naval Armament (London Naval Treaty) pada 22 April 1930 sebagai kelanjutan dari Washington Naval Treaty tahun 1922. Kesepakatan yang ditandatangani Inggris, Amerika, Prancis, Italia, dan Jepang itu mengerdilkan AL Jepang. “Meningkatnya ketegangan antara militer dan otoritas sipil ini mengemuka dalam kontroversi London Naval Treaty tahun 1930. Perjanjian itu, yang memberlakukan rasio kepemilikan kapal laut tidak menguntungkan bagi Jepang terhadap Amerika Serikat dan Inggris, ditentang Staf Umum Angkatan Laut karena merusak keamanan Jepang. Tetapi PM Hamaguchi, yang menyatakan masalah ini lebih bersifat politik daripada urusan militer, menolak keberatan staf Angkatan Laut dan meminta Kaisar menandatangani perjanjian itu. Tindakan ini dipuji kaum liberal sebagai penegasan berani kontrol sipil atas militer. Tetapi banyak perwira, serta konservatif sipil, melihatnya sebagai pengabaian terang-terangan kepentingan nasional oleh politisi partai dan sebagai manipulasi memalukan ‘pengkhianat di sekitar takhta’ terhadap Kaisar,” tulis Donald A. Jordan dalam China’s Trial by Fire: The Shanghai War of 1932. Para perwira muda AL yakin cara terbaik untuk mengatasi permasalahan negeri, yang diperparah oleh Great Depression 1929, adalah dengan menghilangkan sumber permasalahan: para polititsi liberalis. Penggunaan kekerasan bukan pantangan dalam keyakinan mereka. “Ideologi perwira muda mengacu pada tradisi shishi  dan konsep revolusioner Barat. Seperti shishi , yang telah melakukan Restorasi Meiji sekitar 70 tahun sebelumnya, Perwira Muda itu menyatakan kesetiaan langsung kepada Kaisar dan bermaksud menggulingkan pemerintah, yang diduga merampas kekuasaannya. Seperti kaum radikal kiri, Perwira Muda menganggap negara kapitalis sebagai alat yang digunakan oleh beberapa orang kaya untuk mengeksploitasi ‘massa’,” sambung Shillony. Adanya kesamaan visi dan misi dengan Sakurakai (Cherry Blossom Society), organisasi ultranasionalis rahasia yang didirikan para perwira muda AD, membuat para perwira muda AL semakin percaya diri. Keyakinan mereka untuk mengambil tindakan terhadap para politisi sipil kian kuat setelah bekerjasama dengan kelompok League of Blood yang didirikan tokoh ultranasionalis Inoue Nissho. Komplotan itu lalu membuat rencana untuk menghabisi para pejabat sipil dan pengusaha kaya. PM Inukai, yang menjabat PM sejak 13 Desember 1931, masuk dalam daftar yang mesti dihabisi. Selain liberalis sejati, Inukai dengan kebijakan menghentikan aneksasi Mancuria oleh AD Jepang di Kwantung dan tak mengakui Manchukuo, negara boneka buatan AD Jepang di Mancuria, dianggap para ultranasionalis sebagai pengkhianat. Komplotan menembak mantan PM Hamaguchi Osachi, si pendukung London Naval Treaty, pada 14 November 1930. Akibat luka-lukanya, ia tewas pada 26 Agustus 1931. Komplotan lalu menembak mati Menteri Keuangan Junnosuke Inoue, si penentang meningkatnya peran militer, 9 Februari 1932. Pada 5 Maret, giliran Takuma Dan, direktur jenderal perusahaan Mitsui, yang ditembak mati. Dua bulan kemudian, para perwira muda AL mendatangi PM Inukai di kamarnya tanpa menunjukkan sikap hormat. Dengan tenang sang perdana menteri lalu mengajak mereka ke ruang pertemuan. Mereka tak menggubris permintaan Inukai untuk memberi penjelasan dan berdialog. “Pada saat itu seorang rekan mereka yang telah kepanasan akibat melewati koridor masuk, dengan belati di tangan, berteriak, ‘Tak ada gunanya bicara! Tembak!’,” tulis Toland. Semua perwira muda di ruangan pun langsung menembak Inukai yang langsung tewas di tempat. Rencana mereka membunuh artis Charlie Chaplin, yang sedang berkunjung ke Jepang dan menjadi tamu kehormatan Inukai, gagal karena saat kejadian Chaplin sedang menonton sumo bersama seorang putra Inukai. Chaplin dijadikan target karena mereka anggap sebagai simbol Inggris, tempat ditandatanganinya Naval Treaty yang mengerdilkan AL Jepang. Komplotan lalu menyerang kantor polisi dekat kediaman Inukai. Tak ada perlawanan karena hari itu Minggu, libur. Komplotan lalu bergeser ke Bank of Japan dan menggranat kantor itu. Sementara di tempat lain, konspirator lain melemparkan bom yang menghancurkan jendela-jendela sebuah gedung setelah menyebarkan selebaran. Para anggota komplotan akhirnya menyerahkan diri. Namun alih-alih diganjar hukuman berat, simpati publik justru mengalir ke mereka. Mereka dianggap pahlawan karena telah melawan sumber permasalahan bangsa. Para perwira AL pengomplot pun mendapat hukuman amat ringan, banyak yang hanya dipindah tempat tugas. Ketidaktegasan tersebut membuat posisi politik militer melonjak kuat dan militerisasi meluas. Kekerasan oleh militer makin sering terjadi. Dominasi militer itu pada akhirnya membawa Jepang memukul gong Perang Pasifik. “Pembunuhan Inukai, khususnya, efektif menandai berakhirnya pemerintahan republik di Jepang, sama seperti Insiden Mukden tahun sebelumnya menandai, dalam retrospeksi, membeloknya Jepang menuju jalur agresi dan penghancuran diri. Dari saat kematian Inukai sampai setelah Perang Dunia II, sistem pemerintahan dan pihak sipil berhenti berfungsi. Sebaliknya, suksesi perdana menteri muncul terutama dari jajaran AD dan AL. Pada saat yang sama, tuntutan militer semakin sulit ditolak,” tulis Mark Borthwick dalam Pacific Century: The Emergency of Modern Pacific Asia.

  • Dari Gereja Kandang Ayam ke Namlea

    "Ini Santo Paulus di Atas Bukit Karang, kudirikan gerejaku," kata Romo Alexander Dirdjosusanto bangga. Sebuah gereja Katolik yang layak bagi para tahanan politik (tapol) akhirnya berhasil didirikan di Unit III kamp pembuangan Pulau Buru pada 1976. Pendirian gereja itu bermula dari ide Lukas Tumiso, tapol asal Surabaya yang hendak membangun gereja di Unit III. Namun karena keterbatasan bahan bangunan, ia menggunakan sebuah bangunan bekas kandang ayam. Setelah dibersihkan dari gurem dan sedikit perbaikan, gereja sederhana itu bisa mengadakan kegiatan-kegiatan agama Katolik. Kegiatan Tumiso sempat diejek oleh beberapa kawannya, salah satunya adalah Oey Hay Djoen, mantan anggota Konstituante dari PKI. Oey menyebut ketika di Surabaya, Tumiso bukan penganut Katolik yang taat. "Tumiso jadi apa itu? Arek  itu di Surabaya tidak seperti itu. Sekarang kok  ke gereja. Tahi kucing macam apa coba?" ujar Oey Hay Djoen. Tumiso pun hanya tertawa dan menganggap Oey hanya bercanda. Pasalnya, Tumiso dan Oey memang sudah akrab sejak di Surabaya. Lain halnya dengan Oey, Tjoo Tik Tjoen, seorang pemikir di PKI justru mendukung Tumiso. "Kamu jangan dengarkan omongannya Oomu (Oey Hay Djoen) itu. Sudah, keinginanmu seperti apa, lanjutkan saja," kata Tjoo Tik Tjoen. Kegiatan di gereja bekas kandang ayam itu mendapat perhatian Romo Alexander Dirdjosusanto dari Namlea. Romo Alex pun membangun gereja yang lebih layak bagi para tapol yang beragama Katolik. Gereja baru itu diberi nama Santo Paulus di Atas Bukit Karang. Untuk memperkaya bacaan tentang agama Katolik, Romo Alex menawarkan kepada Tumiso untuk berkunjung ke Namlea setiap hari Minggu. Namun, Tumiso menolaknya. "Romo, kalau ke Namlea kita setuju,  ndak  keberatan. Tapi kalau tiap Minggu,  ndak  bisa Romo," kata Tumiso. "Lho, kenapa ndak  bisa?" tanya Romo Alex. "Tugas pokok seorang tapol itu di sektor pertanian, bukan di gereja," jawab Tumiso. "Ah, nanti itu bisa kita bicarakan," balas Romo Alex. Jawaban Tumiso atas tawaran Romo Alex itu membuat Tumiso diolok-olok oleh teman-temannya. Ia dianggap bodoh karena tidak mau menerima tawaran ke Namlea. Tumiso beralasan, jika ia menerima tawaran itu, barangkali ia bisa kena hukuman. Namun, Romo Alex tetap mendesaknya untuk ke Namlea agar bisa memperdalam agama Katolik. Akhirnya, Tumiso bersedia dengan syarat ada satu orang lagi yang menemani. Alasannya untuk membantu membawa sayuran ke Namlea, 15 kilogram untuk pastoran dan 15 kilogram untuk susteran. Usulannya disetujui. Tumiso dan satu tapol lainnya akhirnya ke Namlea setiap Minggu. Namun, setelah empat kali ke Namlea, Tumiso berhenti. "Ini ndak  bisa berlanjut, sebab Namlea itu impian. Ibarat punya uang ratusan ribu satu kamar, kita tetap tidak bisa ke Namlea. Ke peradaban," ujarnya. Tumiso mengatakan bahwa tidak adil jika hanya orang Katolik yang diberi kesempatan mengunjungi Namlea. "Toh yang lain cemburu. Itu seumur hidup orang belum tentu bisa tahu Namlea," ungkapnya. Tumiso kemudian mengusulkan agar selain dua orang Katolik untuk keperluan belajar agama, diberikan kesempatan pula kepada dua orang lainnya untuk bersama-sama mengunjungi Namlea. Ternyata usulan itu disetujui. Para tapol akhirnya bisa mengunjungi Namlea secara bergiliran setiap hari Minggu. Kunjungan ke Namlea juga ternyata bisa membuka akses para tapol terhadap informasi di luar kamp. Selain itu, mereka juga bisa mendapat berbagai barang yang dibutuhkan di kamp. "Kalau turun ke Namlea, pasti ada majalah Tempo , pasti ada kacamata, pasti ada pakaian bekas," sebutnya. Tumiso pun akhirnya bisa berkelakar kepada Oei Hay Djoen. Yang dulu mengejeknya ketika merintis gereja, saat itu ikut senang karena sering diberi bacaan dari Namlea.

  • Amuk Ratu Adil di Oude Hospitaalweg

    Kabut pagi masih tertinggal di Bandung, ketika sekelompok serdadu bersenjata lengkap memenuhi jalanan utama. Mereka yang datang dari arah Cimahi itu lantas menyebar dalam formasi tempur. Sebagian terlihat berlindung di balik pohon-pohon besar di pinggir jalan. Sebagian yang lain mengokang senjatanya di sela tembok-tembok gedung. Satya Graha masih ingat dia baru saja keluar dari rumah saat seorang prajurit TNI berpangkat kopral ditembak mati di depan Hotel Preanger. Kendati di sekitarnya ada beberapa polisi, namun mereka sama sekali tak bertindak. “Malah saya lihat mereka tertawa-tawa bersama serdadu-serdadu pembunuh itu,”kenang Satya, eks wartawan Soeloeh Indonesia . Sementara itu di Oude Hospitaalweg (sekarang Jalan Lembong), para serdadu yang belakangan diketahui berasal dari Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) itu melakukan gerakan mengepung Markas Besar Divisi Siliwangi. Jarum jam menunjukan angka 9, kala mereka memulai tembakan pembuka dari arah parit-parit seberang jalan yang langsung berhadapan dengan markas Siliwangi. “Kami jadi gugup dan berlarian ke sana ke mari di ruangan tamu,” ujar Letnan Kolonel R.Soetoko, Wakil Kepala Staf Divisi Siliwangi  dalam buku Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 (otobigrafi Kolonel Purnawirawan Mohamad Rivai). Namun hadirnya para perwira yang sudah makan asam garam pertempuran (seperti Letnan Kolonel Abimanyu dan Mayor Mashudi) di ruangan itu menjadikan situasi cepat terkendali. Dengan cara berpindah-pindah tempat, mereka bisa melakukan perlawanan melalui jendela-jendela yang ada di gedung tersebut. “Para pengawal berhasil opstelling (membangun kubu) sekitar markas sambil melepaskan tembakan-tembakan gencar ke arah gerombolan APRA,”kenang Soetoko. Dengan sepucuk Sten di tangan, Soetoko sendiri menembak terus menerus secara mengitar. Hamburan peluru dari senjatanya membuat para penyerbu lintang pukang dan tak berani mengangkat kepala mereka di dalam parit itu. Kendati sempat diimbangi, amuk para Ratu Adil itu akhirnya tak terbendung. Sebagai perwira yang jabatannya paling tinggi, Soetoko lantas memerintahkan para prajurit dan perwira yang sudah kehabisan peluru untuk meloloskan diri dengan cara melompati tembok belakang markas. Kehabisan peluru, Soetoko lantas menggunakan sepucuk pistol untuk melakukan perlawanan. Dalam posisi ditembaki, tetiba dilihatnya Mayor Mashudi masuk ke ruangan dengan membawa hower Sten penuh berisi peluru. Tanpa banyak basa-basi, dia meminta hower tersebut dan memasangnya di Sten yang masih tergeletak di dekatnya. Perlawanan pun berlangsung kembali. Sadar jumlah mereka yang hanya berlimabelas tidak seimbang dengan ratusan para penyerbu, Soetoko memutuskan untuk meninggalkan markas. Dalam pertempuran itu, telah gugur seorang prajurit Siliwangi sedangkan 14 lain-nya berhasil lolos. Begitu tak terdengar lagi tembakan dari kubu Siliwangi, pasukan APRA yang terdiri dari unit Korps Pasukan Khusus (KST), Polisi Belanda, KNIL dan Angkatan Darat Kerajaan Belanda (KL) langsung merangsek. Secara brutal, anak buah Kapten R.P.P. Westerling itu menembaki setiap ruangan. “Mereka juga merampas uang yang ada, yakni gaji para prajurit TNI dari Divisi Siliwangi yang pertama kali akan dibayarkan,” tulis A.H. Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas Jilid II: Kenangan Masa Gerilya. Malang bagi Kepala Pendidikan Angkatan Darat Letnan Kolonel A.G. Lembong dan ajudannya Letnan Satu Leo Kailola. Mereka yang tidak mengetahui sama sekali Markas Besar Divisi Siliwangi sudah dikuasai musuh tanpa curiga memasuki halaman gedung tersebut. Namun sebelum memasuki halaman markas, para prajurit APRA langsung memberondong mobil yang ditumpangi keduanya dengan ratusan peluru. Keduanya langsung tewas seketika dalam kondisi luka sangat parah. Bahkan tidak puas hanya dengan menghantam Lembong dan Kailola dengan siraman peluru, para prajurit APRA secara keji merusak wajah keduanya dengan klewang dan bayonet.

bottom of page