Hasil pencarian
9596 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Jojo Rabbit, Satir Pemuda Hitler
KENDATI usianya baru 10 tahun, Johannes “Jojo” Betzler (diperankan Roman Griffin Davis) harus tumbuh dewasa lebih cepat. Selain karena Perang Dunia II tengah berkecamuk, ia mesti menjadi “kepala keluarga” lantaran ayahnya yang ikut serdadu Jerman-Nazi hilang di front Italia dan kakak perempuannya, Inge, meninggal karena wabah flu. Jojo tinggal hanya dengan ibunya, Rosie Betzler (Scarlett Johansson), yang ternyata anti-Nazi. Padahal, Jojo laiknya bocah seusianya di Jerman, wajib mengabdi pada Partai Nazi, hingga bergabung ke Deutsches Jongvolk , kecabangan junior Hitlerjugend alias Pemuda Hitler yang merupakan onderbouw Partai Nazi. Di kamp pelatihan Jungvolk , Jojo diajari doktrin-doktrin Nazi oleh instruktur galak Fräulein Rahm (Rebel Wilson) dan pelatihan militer oleh Kapten Klenzendorf (Sam Rockwell). Jojo diolok-olok “Jojo Rabbit” lantaran dalam sebuah latihan pernah menolak dan menangis saat diperintah membunuh seekor kelinci. Meski begitu, Jojo kembali ke kamp dengan lebih percaya diri. Mentalnya bangkit setelah banyak dinasihati dan dihibur oleh Adolf Hitler dalam versi teman khayalan (diperankan Taika Waititi). Hitler si teman khayalan Jojo yang seperti sosok ayah pengganti itu memberinya banyak doktrin Nazi. Elsa Korr, gadis Yahudi yang bersembunyi di rumah Jojo (Foto: foxmovies.com ) Seiring doktrin Nazi yang antisemit mulai melekat di pikirannya, Jojo harus menghadapi kenyataan bahwa ibunya ternyata menyembunyikan seorang gadis Yahudi di rumahnya, Elsa Korr (Thomassin McKenzie). Sebagai anggota Pemuda Hitler yang taat pada Der Führer (Hitler) si pembenci Yahudi dan ras-ras inferior, Jojo berniat menyerahkan Elsa ke Gestapo (Polisi Rahasia Nazi). Rosie menentangnya. Jojo akhirnya mengalah setelah sang ibu mengancam bahwa Jojo juga akan dieksekusi lantaran sang gadis Yahudi bersembunyi di rumah yang juga Jojo tinggali. Seiring waktu, mereka pun berteman dan bahkan Jojo mulai menanam bibit cinta pada Elsa. Begitulah sinopsis film Jojo Rabbit garapan sutradara Taika Waititi. Meski sudah tayang di Amerika sejak 18 Oktober 2019, film ini baru akan masuk ke bioskop-bioskop di Indonesia mulai 1 Januari 2020. Jojo Rabbit bisa jadi pilihan menarik di kala liburan Tahun Baru lantaran tak seperti film-film bertema Jerman-Nazi lain yang serius, sang sineas mengemasnya dalam satir dengan banyak banyolan yang mengocok perut. “Ketakutan saya adalah orang-orang mulai mati rasa terhadap kisah yang terjadi dalam Perang Dunia II dan saya pikir, Anda harus mencari cara-cara baru dan inventif dalam mengisahkan cerita tentang itu lagi dan lagi,” ujar Waititi tentang konsep kemasan filmnya, dikutip Los Angeles Times , 8 September 2019. Serba-serbi Tentara Cilik Hitler Jojo Rabbit sudah hendak digarap Waititi sejak 2011, namun baru tujuh tahun berselang bisa diwujudkan. Waititi mengangkat kisahnya dari adaptasi novel karya Christine Leunen Caging Skies . Meski tak menghilangkan inti cerita, Waititi meracik ceritanya dengan penyesuaian di sana-sini. Maka, ada beberapa perbedaan di versi novel dan film. Antara lain, soal latar belakang tempat. Di film, Jojo digambarkan sebagai bocah 10 tahun yang lahir di Jerman. Sementara di novel, Jojo lahir di Austria. Lalu, soal ayah Jojo. Di novel, diceritakan sang ayah masih hidup saat Jojo masuk Jungvolk. Di film, ayahnya sudah hilang tanpa kabar setelah dikirim ke front Italia. Penamaan beberapa karakter pun terjadi perbedaan antara di film dan novel. Di film, kakak Jojo adalah Inge Betzler yang sudah tiada. Adapun di novel, kakaknya bernama Ute Betzler dan masih hidup, bahkan ikut bersahabat dengan Elsa si gadis Yahudi. Salah satu adegan konyol dalam pelatihan Jungvolk yang diikuti Jojo (Foto: foxmovies.com ) Jojo Rabbit menarik lantaran mengangkat tentang pelatihan politik dan militer di kamp Jungvolk dengan cukup mendalam . Jarang ada film yang mengangkat soal Jungvolk maupun Hitlerjugend. Waititi juga teliti soal detil seperti properti dan wardrobe . Hitlerjugend (HJ) atau Pemuda Hitler merupakan sayap pemuda Partai Nazi yang eksis sejak 4 Juli 1926. “(HJ) Diprakarsai Hitler sendiri, yang awalnya dimaksudkan sebagai sarana pelatihan dasar bagi para calon anggota SA ( Sturmabteilung /Detasemen Serbu, pasukan paramiliter Partai Nazi). Ketua pertamanya Baldur von Schirach. Bedanya HJ sama Jungvolk berdasarkan umur. Jungvolk lebih belia (usia 10-14 tahun) dibanding HJ (15-18 tahun),” ungkap peneliti sejarah militer Jerman dan Perang Dunia II Alif Rafik Khan kepada Historia . Persyaratan untuk menjadi anggota HJ setali tiga uang dengan persyaratan menjadi anggota partai. Selain wajib ber-ras Arya, persyaratan lainnya adalah wajib mengikuti latihan militer dan indoktrinasi Nazi. Bacaan yang diperbolehkan hanyalah buku-buku yang selaras dengan ideologi Nazi. “Tugas pertama kali mengumpulkan buku-buku yang mempromosikan dekadensi dan kesesatan di segenap kota dan kami bakar. Kami juga diajarkan fakta mengerikan bahwa kehidupan adalah peperangan antar-ras di berbagai wilayah demi makanan dan supremasi. Ras kami yang paling murni tapi tak punya cukup lingkup kehidupan dan ras kami banyak tinggal di tanah pengasingan. Namun Führer percaya pada anak-anak; kami adalah masa depannya,” tulis Leunens dalam novelnya. Pemuda Hitler di Medan Tempur Salah satu tujuan pelatihan militer di HJ maupun Jungvolk tak lain untuk mendukung keperluan perang Hitler. Menurut sejarawan Chris McNab dalam The Third Reich , para kadet HJ dan J ungvolk lazimnya disalurkan ke empat matra militer Jerman: Heer (AD), Kriegsmarine (AL), Luftwaffe (AU), dan SS ( Schutzstaffel ) atau pasukan paramiliter Nazi yang menggantikan SA. Beberapa yang paling menonjol di antaranya Artur Axmann, yang turut merancang salah satu kesatuan elit Jerman Divisi Panser ke-12 “ Hitlerjugend ” di awal 1943. Unit itu mayoritas diisi para jebolan HJ dan Jungvolk di Pertempuran Dataran Tinggi Seelow (16-19 April 1945) dan Pertempuran Berlin (23 April-2 Mei 1945). Usai perang, Axmann diadili di Pengadilan Nürnberg dan divonis penjara tiga tahun tiga bulan. “Tapi kalau melihat prestasi dan raihan medali tertinggi, tak ada lagi selain Hans-Joachim Marseille, jagoan udara Luftwaffe yang juga anggota HJ di masa mudanya,” imbuh Alif yang juga penulis buku 1000+ Fakta Nazi Jerman . Artur Axmann (kiri) & Hans-Joachim Marseille (Foto: Repro "Der Großdeutsche Reichstag 1938"/ bundesarchiv.de ) Sepanjang sepakterjangnya jadi pilot pesawat tempur Messerschmitt Bf 109, Marseille dijuluki “Stern von Afrika” alias Bintang Afrika di wing kesatuan Jagdgeschwader 27 (JG 27). Sebelum tampil di front Afrika Utara, Marseille terlibat dalam Pertempuran Britania dan Kampanye Balkan. Selain menjadi pilot termuda di Luftwaffe, Marseille merupakan perwira keempat penerima Ritterkreuz des Eisernen Kreuzes mit Eichenlaub, Schwertern und Brillanten (salib ksatria berdaun ek dan berhias pedang dan berlian), medali tertinggi di kemiliteran Jerman, lantaran mencatat 158 kali ace (menembak jatuh pesawat musuh) dalam 382 misi tempur. “Tapi sayangnya Marseille gugur tahun 1942,” sambung Alif. Kerusakan mesin saat mengudara pada 30 September 1942 di angkasa Sidi Abdel Rahman, Mesir memaksa Marseille bail out atau meloncat keluar dari kokpit. Namun, parasutnya gagal terbuka dan ia jatuh hingga tewas. Jenazahnya dikuburkan di Pemakaman Pahlawan Derna sebelum akhirnya dipindah ke Memorial Gardens di Tobruk, Libya. Sosok lain jebolan HJ/ Jungvolk paling dikenal adalah Alfred Czech (kadang ditulis Zech). “Dia memang baru menjadi anggota HJ tahun 194 5 , saat usianya baru 12 tahun. Dia yang sempat ditemui Hitler tanggal 19 Maret 1945. Dia selamat sampai selesainya perang Karakternya dijadikan inspirasi di film Der Untergang / Downfall (2004) .” Karakter Jungvolk yang dimaksud adalah Peter Kranz yang diperankan Donevan Gunia. Sosok Alfred Czech (kiri) & inspirasinya dengan karakter Peter Kranz di film "Der Untergang" (Foto: bundesarchiv.de ) Kisah hidup Alfred mirip dengan Jojo Betzler di Jojo Rabbit . Alfred yang kelahiran Goldenau, Polandia itu juga punya ibu yang anti-Nazi dan menentang putranya ikut perang . Namun simpati Alfred terhadap Nazi terlalu kuat untuk digoyahkan, utamanya setelah menyaksikan pertempuran pasukan Jerman melawan Uni Soviet di kota kelahirannya, awal 1945. Di salah satu pertempuran, Alfred melihat selusin serdadu Jerman terluka dengan posisi terjepit manuver Tentara Merah. Dengan inisiatif pribadi, Alfred membawa gerobak perkebunan milik ayahnya untuk menyelamatkan mereka ke garis belakang, sebagaimana dikisahkannya kepada Tony Paterson yang dimuat The Independent , 26 April 2005. Aksi heroiknya itu diapresiasi seorang jenderal Jerman yang lalu mengundang Alfred ke Berlin untuk menemui Hitler. Tepat pada hari ulangtahun Hitler ke-56, 20 April 1945, Alfred bersama 18 anggota Jungvolk lain bertemu muka dengan Hitler. Dalam percakapan pendeknya, Hitler mencubit pipi Alfred bak ayah kepada anaknya. Alfred lantas dianugerahi Eisernes Kreuz II oleh Hitler, yang penyematannya diabadikan fotografer Kementerian Luar Negeri Jerman Buro Laux. Foto itu viral setelah diedarkan lewat suratkabar Bild dan Associated Press. “Umur saya baru 12 tahun namun Führer menjabat tangan saya, kemudian dia mencubit pipi kiri saya. Dia bilang, ‘Teruskan (perjuangan).’ Jelas saya merasa telah melakukan sesuatu yang luar biasa kala itu,” tandas Alfred saat ditemui Paterson di kediamannya di Rhineland. Alfred wafat pada usia 78 tahun, 13 Juni 2011.
- Misteri Penamparan Soeharto
SELEBARAN gelap yang kertasnya sudah menguning itu seolah berbicara banyak. Di bawah judul "Manifesto Mahasiswa ITB atas Kekuasaan Soeharto" disebutkan beberapa kisah yang menyebabkan para mahasiswa Bandung menolak pencalonan kembali Jenderal TNI (Purn.) Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia periode 1978-1983.
- Menggali Balet Nasional Indonesia
DEWAN Kesenian Jakarta (DKJ) bikin hajatan seputar balet di pengujung 2019: "Ballet in Batavia" dan "Tribute to Farida Oetoyo". Hajatan pertama berupaya mengeksplorasi akulturasi tari balet dengan tari tradisional Indonesia. Hajatan kedua mengangkat perjalanan hidup maestra (perempuan) balet Indonesia, Farida Oetoyo. Dia mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk perkembangan balet.
- Akar Sejarah Pohon Natal
BILA Lebaran Idul Fitri identikdengan ornamen ketupat, Hari Raya Natal punya pohon natal.Ornamenyang bertebaran di rumah-rumah, perkantoran hingga pusat-pusat perbelanjaan itu punya sejarah panjang. Tradisi menghadirkan pohon natal sebagai pelengkap semangat Natal di Nusantara tercatat sudah eksis sejak pertengahan abad ke-19 meski tak semua umat Kristiani memilikinya. Lazimnya, selain para pejabat pemerintah Hindia Belanda yang memilikinya, pohon natal dihadirkan di tempat-tempat tertentu. Salah satunya di Yayasan Djattie, sebagaimana dilaporkan Java Bode edisi 1 Januari 1859. “Pada Minggu malam ini pohon natal yang didekorasi dengan indahnya, memanjakan mata anak-anak Yayasan Djattie yang lokasinya sementara ini berada di Gang Pecenongan,” tulis Java Bode . Pohon natal itu dihadirkan berkat sumbangan sejumlah donatur dan para anggota pengurus yayasandalam rangka menghadirkan semangat Natal kepada sekira 40 anak-anak asuhnyang sudah ditampung yayasan itu sejak 1855. “Di sebuah meja juga disediakan banyak hadiah dari para donatur. Selain pohon natal, anak-anak itu juga disuguhi kudapan-kudapan yang menciptakan senyuman di wajah anak-anak. Sebuah malam yang tak terlupakan untuk para penghuni cilik Yayasan Djattie,” lanjut suratkabar itu. Suasana Natal di Indonesia oleh orang-orang Belanda pada 1946 (kiri) & 1938 di sebuah rumahsakit di Bogor. ( nationaalarchief.nl ). Tak hanya di Batavia (kini Jakarta),di sebuah panti asuhan sederhana di Karesidenan Magelang juga diadakan pohon natal. Panti asuhan itudidirikan misionaris BelandaJohannes van der Steur. Selain menampunganak-anak telantar yang dipungut dari jalanan, panti juga maupun anak-anak korban perang. “Semalam, pada tanggal 25 (Desember, red. ), Natal dirayakan di gereja di bawah pimpinan Tuan Joh. van der Steur. Sebuah Pohon Natal dan hadiah-hadiah dihadirkan untuk anak-anak yang membutuhkan, juga pakaian-pakaian baru. Acara itu menarik minat banyak pihak, termasuk Residen (Magelang, red. ) dan keluarganya,” tulis suratkabar De Locomotief , 30 Desember 1897. Pohon natal bisa dibilang tradisi umat Kristen (Protestan), bukan Katolik. sebelum akhirnya tradisi itu turut menular ke Vatikan sejak 1982. Namun bagaimana sejatinya akar tradisi Pohon Natal itu sendiri? Pohon Keramat Dewa Thor Meski tradisi pohon natal lebih identik dengan umat Kristen (Protestan) , sejarahnya berakar dari sebuah peristiwa yang dialami salah satu penyebar agama Katolik, Santo Bonifasius , di tahun 723. Dalam Vitae Sancti Bonifatii auctore Willibaldi atau Riwayat Santo Bonifasius yang diterjemahkan dalam bahasa Latin oleh Uskup Willibald, kejadian itu berhulu dari upaya Bonifasius kala mengkristenisasi orang-orang di Germania (Jerman) yang mayoritas masih penyembah berhala. Pada tahun 723 saat Bonifasius sedang menyebarkan Katolik di sebuah wilayah, ia bertemu sekelompok penyembah berhala yang sedang menjalani ritual dengan tumbal seorang bayi. Bayi itu akan dikorbankan sebagai persembahan untuk Dewa Thor di bawah pohon donar. Pohon itu dikeramatkan para penyembah berhala di sebuah wilayah yang saat ini diyakini bertempat di sekitar kota Fritzlar, negara bagian Hesse di utara Jerman. Melihat hal itu, Bonifasius segera mengambil sebilah kapak dan menebang pohon tersebut dengan sekali tebasan diiringi rapalan doa atas nama Yesus Kristus. Meski angin kencang berhembus dan petir menggelegar di langit, Bonifasius tetap berhasil menumbangkan pohon keramat itu dan membuat para pemuja Thor takjub hingga segera beralih keyakinan masuk agama Katolik. Ilustrasi Santo Bonifasius menebang pohon penyembah berhala (Repro Walhall, die Götterwelt der Germanen ). Di balik pohon keramat tumbang itu, Bonifasius melihat sepucuk tunas pohon cemara. Ia pun melontarkan sabda: “Biarkan (tunas) pohon ini menjadi simbol Tuhan yang sebenarnya, biarkan daunnya senantiasa hijau dan takkan mati.” Namun, peristiwa itu tak serta-merta jadi tradisi Natal umat Katolik. Justru umat Protestan yang menghadirkannya kali pertama , di Katedral Strasbourg pada 1539 . Pendapat tersebut tentu bukan final. Ada beberapa pendapat lain , seperti pohon natal sudah dihadirkan lebih awal daripada di Katedral Strasbourg. Sejarawan Bernd Brunner merangkum beberapa di antaranya dalam Inventing the Christmas Tree . “Pada 1419 di Asrama Persaudaraan Freiburg disebutkan terlihat sebuah pohon didekorasi dengan apel, wafer, kue jahe, serta hiasan kertas di Rumahsakit Roh Kudus setempat,” ungkap Brunner. Klaim lain berasal dari dokumen yang belum bisa diverifikasi, lanjut Brunner, adalah klaim bahwa pohon natal pertamakali dihadirkan di Tallinn, Estonia tahun 1441. Pohonnya dipasang di depan balaikota diiringi pesta dansa. “Di Riga, Latvia, ada lagi klaim bahwa pohon natal pertama yang didekorasi sudah ada sejak 1510. Di sana para saudagar asing yang membentuk sebuah perkumpulan, mendirikan pohon yang didekorasi oleh anak-anak dengan apel, hiasan wol, dan jerami yang ditempatkan di depan balaikota sepanjang musim dingin,” sambungnya. Pohon Natal di Vatikan Seiring tempo menggelinding, umat Protestan di Jerman membawa tradisi menghias pohon di malam Natal lewat gelombang migrasi ke penjuru Eropa pada abad ke-16 dan Amerika yang bermula pada 1670-an. Tradisi itu dibawa umat Protestan dari beragam golongan. “Orang Lutheran Jerman membawa pohon Natal yang dihias bersama mereka; umat Moravian menghiasi pohon-pohon mereka dengan lilin. Saat menghias pohon natal, banyak yang kemudian memasang simbol bintang di pucuk pohonnya sebagai simbol Bintang Bethlehem,” ungkap Dorothy Wells dalam artikelnya, “Christmas in Other Lands” yang termuat di The School Journal Volume 55 terbitan 1897. Di Rusia, tradisi pohon natal sudah merambah sejak abad ke-17. Namun sejak Uni Soviet menggantikan Tsarisme Rusiapada 1917, tradisi itu dilarang seiring kampanye anti-agama Soviet. Meski tak satupun pohon natal eksis di Hari Natal, menghias pohon cemara ala pohon natalmasih diperbolehkan dalam kerangka festival tahun baru.Ritual-ritual peribadatan Kristen Ortodoks tetap dihilangkan. Pohon Natal di Lapangan Santo Peter, Vatikan. ( thesplendorofthechurch.com ). Sementara, para pemeluk Katolik Roma menyatakan pohon natal yang acap dihadirkan umat Protestan merupakan simbol paganisme atau penyembah berhala. Pandangan itu baru berubah pada 1982 di masa Kepausan Yohanes Paulus II. Paus Yohanes Paulus II bikin gebrakanbersamaan dengan dihadirkannya presepio atau diorama “Gua Natal” yang menggambarkan kelahiran Yesus Kristus berukuran besar di St. Peter’s Square. Menurut Uskup Agung Mieczysław Mokrzycki, salah satu sekretaris sang paus, pohon natal mulai dihadirkan di Vatikan demi membuat semangat Natal lebih dekat dengan suasana kekeluargaan yang hangatsebagaimana yang biasa dirasakan sang paus di negeri kelahirannya, Polandia. “Bapa Kudus (paus) sangat senang merayakan hari suci dengan atmosfer kekeluargaan, sesuai tradisi orang Polandia. Paus Yohanes Paulus II memulainya dengan menyalakan lilin di jendela pada malam hari yang jadi tradisi sejak 1981, ketika Jenderal Jaruzelski (Presiden Polandia, red. ) mengumumkan darurat militer; dan Wojtyła (Karol Józef Wojtyła, nama lahir Paus Yohanes Paulus II, red. ) ingin lilin itu sebagai simbol kedekatannya dengan rakyat yang dipersekusi,” tuturnya dalam Stories about Saint John Paul II: Told by His Close Friends and Co-Workers oleh Włodzimierz R ę dzioch. “Bapa Kudus sangat senang dengan pohon natal. Dulu di apartemennya selalu ada saja yang mengirim pohon natal dari Pegunungan Zakopane. Koridor apartemennya juga dihiasi presepio karena buatnyatidak ada Natal tanpa pohon natal dan presepio ,” tandas Uskup Agung Mokrzycki.
- Habis Natal Terbitlah Boxing Day
SEPEKAN liburan Nataru (Hari Raya Natal hingga tahun baru) jadi momen yang pas untuk berkumpul bersama keluarga atau dimanfaatkan untuk wisata jarak jauh. Namun tidak begitu di Inggris, yang punya tradisi Boxing Day dengan hiburannya berupa tontonan sepakbola. Untuk sepekan ini saja jadwal tim-tim elit Premier League sudah padat. Tentu membuat para pemain, pelatih, dan ofisial serta para penonton hanya akan merasakan liburan lewat menonton pertandingan sepakbola. Beberapa laga yang akan dihelat pun bakal krusial untuk perburuan gelar di momen Boxing Day , 26-28 Desember 2019: Chelsea vs Southampton, Tottenham Hotspur vs Brighton & Hove Albion, Sheffield United vs Watford, dan Liverpool vs Leicester City. Namun, apa itu Boxing Day ? Merujuk Oxford English Dictionary edisi pertama keluaran 1887, makna Boxing Day adalah liburan di pekan pertama setelah Hari Natal. Di era 1830-an, di Inggris mulai marak pemberian hadiah kado ( box ) sebagai bentuk rasa syukur di hari peringatan kelahiran Yesus Kristus. Kado itu biasa diberikan para orangtua kepada anak-anak mereka atau dari para juragan ke para pekerja. Meski belum disebut Boxing Day, tradisi itu sudah tercatat jauh sebelum abad ke-19. Catatan pelaut dan politisi Samuel Pepys dalam Diary of Samuel Pepys salah satunya . Dalam catatannya tanggal 19 Desember 1663, disebutkannya bahwa sudah menjadi kebiasaan untuk para pelayan diberi hadiah dari para majikan sekaligus diberi hari libur untuk pulang dan berkumpul bersama keluarga satu hari setelah Hari Raya Natal. Di hari besar itu para pelayan sudah bekerja seperti biasanya melayani para tuan. Tradisi itu terus berlanjut hingga kini, bahkan menyebar lewat negeri-negeri koloninya yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Boxing Day dan Si Kulit Bundar Meski sepakbola bukan ditemukan di Inggris, tetap diakui orang Inggrislah yang mengembangkan permainan ini dengan rupa-rupa aturannya. Maka wajar sepakbola senantiasa hadir sebagai hiburan masyarakat lintas “kelas” di banyak momen besar, semisal Natal. Inggris pula yang melahirkan klub tertua yang masih eksis sampai sekarang, yakni Sheffield FC. Ia lahir pada 24 Oktober 1857. Sheffield FC memainkan pertandingan antarklub resmi pertama melawan Hallam FC dalam tajuk “Rules Derby” di stadion Sandygate Road, 26 Desember 1860. Sebelumnya, klub-klub saat itu sekadar bermain melawan timnya sendiri. Sheffield FC menang 2-0 di momen Boxing Day itu yang stadionnya disesaki penonton. Sebagaimana yang diungkap buku perayaan satu setengah abad klub, Sheffield FC: Celebrating 150 Years of The World’s First Football Club , laga itu jadi laga sepakbola pertama Boxing Day . Laga itu dirancang kedua petinggi klub untuk menegaskan semangat Natal. “Tidak ada kejadian buruk yang terjadi –permainan dilakukan dengan suasana yang baik dan dalam semangat persahabatan– dan ketika langit mulai gelap, Sheffield Club menang dua gol tanpa balas dan pulang dengan kemenangan yang memuaskan,” tulis suratkabar Sheffield Daily Telegraph , 28 Desember 1860. Sheffield FC, klub sepakbola tertua di dunia (Foto: Repro "Sheffield FC: Celebrating 150 Years of The World’s First Football Club) Laga Boxing Day pertama dalam kompetisi resmi baru terjadi di Football League musim perdana, 1888-1889. Football League di musim itu diakui sebagai kompetisi resmi tertua dengan format liga dan tetap menjadi liga kelas paling atas di Inggris hingga 22 klubnya memisahkan diri dan membentuk Premier League. Sebelumnya FA Cup-lah kompetisi resmi pertama dengan format turnamen, bergulir sejak musim 1871-1872. Di laga Boxing Day 26 Desember 1888 itu, Preston North End meladeni West Bromwich Albion dan menang telak 5-0. “Di laga inilah performa terbaik Preston terjadi di musim rekor mereka. Saat wasit meniup peluit terakhir, para pemainnya diberi tepuk tangan paling meriah oleh para penonton yang datang di Boxing Day itu,” ungkap jurnalis dan sejarawan sepakbola Mark Metcalf dalam The Origins of the Football League: The First Season 1888/89 . Suksesnya Boxing Day di musim pertama liga itu bikin jadwal musim berikutnya lebih gila. Seperti yang dialami Aston Villa, misalnya. Dua hari berturut-turut mereka berlaga kontra Preston pada Hari Natal 25 Desember 1899 dan meladeni Accrington di Boxing Day keesokan harinya. Itu jadi kali pertama sepakbola tercatat dimainkan di Hari Natal dengan mencatatkan sembilan ribu penonton selama dua hari itu. Baru pada 1965, FA (induk sepakbola Inggris) menetapkan tiada lagi jadwal yang diperbolehkan eksis pada Hari Natal, merujuk pengalaman di beberapa musim sebelumnya yang tak hanya kerap diganggu cuaca buruk namun juga dampak para pemainnya cedera parah. Kalaupun cuaca memungkinkan, laga hanya boleh dimainkan pada 26 Desember. “Tidak satupun klub yang boleh memainkan pertandingan pada Hari Paskah dan Hari Natal,” demikian pernyataan FA, dinukil C.W Alcock dalam The Classic Guide to Football . Sebuah laga Boxing Day di Liga Inggris 1985 Laga Boxing Day juga pernah dimainkan di tengah berkecamuknya Perang Dunia I, 1914, antara serdadu Inggris dan Jerman. Mulanya kisah itu sempat diangap mitos, hingga terungkapnya sebuah surat seorang Sersan Clement Barker dari Batalyon Ke-1 Grenadier Guards, dari front barat ke keluarganya, kala terjadi gencatan senjata antara kedua kubu yang berperang di Hari Natal. “Seorang Jerman muncul dari paritnya – tidak ada tembakan – pasukan kami pun tak menembak, dan kemudian yang terjadi adalah permainan sepakbola. Lantas malam tiba dan belum juga ada tembakan. Pada Boxing Day (26 Desember) juga sama dan terus begitu sampai sekarang,” tulis Barker dalam suratnya tertanggal 29 Desember 1914 dengan tujuan kepada adiknya, Montagu Barker di Ipswich, sebagaimana dikutip Daily Mail , 23 Desember 2012. Seiring tempo menggelinding, semarak Boxing Day menular ke segenap Inggris Raya. Mulai dari Wales, Skotlandia, hingga Irlandia Utara. Pun dengan bertumbuhnya industri sepakbola di Negeri Tiga Singa, para pembuat kebijakan Liga Inggris merancang Boxing Day tak lagi antar-rival sekota atau klub yang basisnya berdekatan. “Jumlah penonton selalu lebih besar ketimbang hari biasa. Namun laga derbi mulai jarang dijadwalkan di hari itu karena mereka tahu bahwa mereka bisa selalu mengharapkan tiket habis di tanggal 26 Desember, hingga akhirnya mereka memilih laga-laga derbi yang juga menarik perhatian banyak penonton di hari lain,” kata jurnalis olahraga Nick Szczepanik dalam Pulp Football: An Amazing Anthology of True Football Stories You Simply Couldn’t Make Up. Sejak 1992, Liga Inggris mulai kebanjiran pelatih dan pemain asing. Banyak yang kaget mereka tetap harus merumput di masa-masa liburan Natal hingga tahun baru. Pasalnya, tak satupun negeri di luar Inggris Raya yang menjadwalkan pertandingan di masa liburan Nataru. Ada yang mengkritik kebijakan itu, namun tak sedikit yang menerima tradisi itu sebagai tantangan. Aloysius Paulus Maria 'Louis' van Gaal, salah satu pelatih asing yang mengkritik tradisi Boxing Day (Foto: manutd.com ) Salah satu pengkritiknya adalah Louis van Gaal, pelatih Manchester United periode 2014-2016 asal Belanda. “Tidak ada jeda musim dingin dan saya rasa itu hal terburuk dari budaya ini. Sebenarnya tidak baik buat sepakbola Inggris, buat klub atau timnas. Inggris belum pernah memenangkan apapun dalam beberapa tahun terakhir, kan? Itu karena para pemainnya kelelahan di akhir musim,” ujarnya kepada The Guardian , 23 Oktober 2015. Keluhan lain juga disampaikan bek Liverpool periode 1999-2009 asal Finlandia, Sami Hyypiä dalam otobiografinya, From Voikkaa to the Premiership . “Bahkan kami latihan di Hari Natal. Bukan rahasia bahwa Liga Inggris punya jadwal di musim dingin dan saya sadar telah memilih karier ini dengan risiko naik-turunnya performa,” tulisnya. Namun pandangan lain dilontarkan pelatih Arsenal 1996-2018 Arsène Wenger yang menganggap, tradisi Boxing Day adalah hal unik yang tak ditemukan di belahan bumi manapun. “ Itu adalah daya tarik dan kegilaan sepakbola Inggris. Jelas Boxing Day berkontribusi mempromosikan Liga Inggris. Semua orang di negeri lain yang sedang libur dan bosan, takkan lagi merasakan kebosanan setelah melihat pertandingan Liga Inggris,” cetusnya, dikutip Ian Ridley dalam There’s Golden Sky: How Twenty Years of Premier League Has Changed Football Forever . Melihat suksesnya sepakbola Inggris dari masa ke masa dengan tradisi Boxing Day- nya, Lega Calcio selaku operator Serie A Liga Italia mencoba menyontek konsepnya pada musim 2018-2019. Niatnya memang untuk mendongkrak finansial. Maklum sejak skandal bola terbesar di Italia pada 2006, pamor sepakbola Italia menukik tajam. Stadion-stadion tak lagi terisi penuh seperti sebelumnya. Sayang eksperimen itu gagal. Dari rapat evaluasi pada April 2019 setelah melihat hasil Boxing Day Liga Italia pada Desember 2018-Januari 2019, tak menampilkan grafik signifikan. Jadwal laga-laga Boxing Day tak lagi ditetapkan untuk musim ini (2019-2020).
- Kisah Cinta di Tepi Sungai Cisadane
Pada 16 November 1965, Tuba bin Abdul Rochim, seorang pemuda dari Brebes, ditangkap karena menjadi anggota Pemuda Rakyat. Laki-laki yang lahir pada 14 April 1944 ini kemudian ditahan di Rumah Tahanan Chusus (RTC) Salemba. Satu bulan kemudian, ia dipindahkan ke RTC Tangerang. Pada awal Februari 1966, proyek kerja paksa di RTC Tangerang dimulai. Para tahanan politik harus bekerja menggarap lahan untuk ditanami padi. Tuba termasuk di antara para pekerja paksa itu. Setelah tiga bulan menggarap lahan, Tuba dipindahkan ke bagian dapur untuk mempersiapkan ransum tapol, jatah makan peleton pengawal, dan petugas sipir penjara. Selain itu, Tuba dan 24 orang lainnya ditugasi untuk mencari kayu bakar ke daerah Serpong, Lengkong, Karawaci, dan sekitarnya. Dengan dikawal seorang CPM dan dua orang hansip penjara, mereka diperbolehkan mencari kayu bakar ke rumah-rumah penduduk dan menebang pohon yang cabangnya sudah berlebih. Setiap harinya, Tuba harus mengumpulkan 10 kubik kayu bakar. Hingga pada suatu hari, pekerjaan mencari kayu bakar ini membuatnya bertemu dengan seorang gadis desa yang tinggi semampai dan berkulit kuning langsat. Tuba jatuh hati dan mereka pun berkenalan. "Dia masih SMP. Namanya Aisyah. Tahi lalatnya itu gede di sini," kata Tuba kepada Historia sambil menunjuk dahi sebelah kirinya. Tuba dan Aisyah semakin dekat karena Tuba sering mencari kayu bakar di sekitar rumah Aisyah. Walaupun Tuba seorang tahanan politik, Asiyah menerima apa adanya. "Dan dia mengharapkan saya agar nanti, kalau misalkan bebas bisa bersatu lagi," cerita Tuba. Namun, perjumpaan Tuba dan Aisyah tak berlangsung lama. Hampir satu tahun mereka tidak bertemu karena Tuba pindah tempat mencari kayu bakar. Pada Agustus 1970, dalam rangka HUT ke-25 Republik Indonesia, Kota Tangerang ramai oleh pawai dan berbagai pertunjukan kesenian. Di Sungai Cisadane digelar perlombaan perahu. Sementara itu, Tuba yang dipekerjakan sebagai pembantu di rumah Komandan Kodim Tangerang, sedang mencuci pakaian di tepi Sungai Cisadane. Tak berapa lama, seorang gadis tiba-tiba datang mendekatinya dan berkata, "Bang, istirahat dulu." Gadis itu kemudian membungkukkan badan dan meletakan bungkusan makanan. "Bang istirahat dulu, ini aku bawain makanan," kata gadis itu lagi. Ketika Tuba menoleh ke arah gadis itu, ia terkejut mendapati Aisyah, gadis desa yang ia rindukan telah berdiri di hadapannya. Tuba langsung menjabat tangan Aisyah dengan erat dan enggan melepaskannya. Aisyah lalu bercerita tentang usahanya mencari Tuba. "Jadi dia selalu ingat Bang Tuba," kata Tuba. Hampir dua jam mereka bercerita sambil menghabiskan kue pancong. Aisyah kemudian pamitan sambil memberikan koran yang dibungkus kain putih. Sejak itu, setiap hari Aisyah menemui Tuba di tepi Sungai Cisadane dan memberikan koran kepada Tuba ketika ia sedang mencuci pakaian. "Kalau sore, dia itu beli koran yang baru, kemudian dibungkus pakai kain putih, kemudian ditaruh di bawah batu. Bang itu barangnya di bawah batu itu," kata Tuba menirukan Aisyah. Koran pemberian Aisyah itu menjadi satu-satunya sumber informasi tentang dunia luar bagi Tuba dan teman-temannya di dalam penjara. "Pertemuan saya dengan Mbak Aisyah diamini (oleh teman-teman), disetujui untuk kepentingan politik, bolehlah pacaran. Sehingga saya tidak ragu-ragu. Sehingga setiap hari berita masuk terus. Saat itu susah sekali untuk mendapatkan surat kabar," terangnya. Lagu Melati di Tepi Cisadane ditulis di dalam RTC Tangerang. (Andri Setiawan/Historia). Tuba kemudian meceritakan kisah cintanya kepada temannya, Slamet Riyadi. Slamet pun membuatkan lagu berdasar kisah Tuba dan Aisyah. "Kalau begitu saya ekspresikan kisah kamu itu jadi lagu," kata Slamet kepada Tuba. "Boleh silahkan saja. Asal namanya tidak perlu nama aslinya. Tapi bikin saja Melati," jawab Tuba. Akhirnya, jadilah lirik lagu berjudul Melati di Tepi Cisadane, yang mengisahkan asmara antara tahanan politik dan seorang gadis desa. Komposisi musiknya dibuat oleh teman Tuba bernama Ari Matupalewa. "Berkesan sekali lagu itu sampai sekarang betul-betul saya simpan," ungkap Tuba. Pada 1973, hubungan Tuba dan Aisyah harus terhenti. Tuba dipindah lagi ke penjara Salemba selama satu bulan. Kemudian bersama 1.000 lebih tahanan politik, ia dipindahkan ke Pulau Nusakambangan hingga akhirnya dibawa ke Pulau Buru pada November 1976. Pada November 1979, Tuba dibebaskan dari Pulau Buru. Ia mencoba untuk mencari Aisyah. Setelah beberapa kali mondar-mandir di sekitaran rumah Aisyah, ia bertemu dengan seorang perempuan yang mirip dengan pujaan hatinya. Namun, Tuba begitu sungkan untuk menegur. "Itu ada seorang perempuan mukanya persis sama, tahi lalatnya juga sama," ujar Tuba. Selain karena takut salah orang, Tuba berpikir bahwa mereka sudah putus hubungan cukup lama. Ia bahkan mendapat informasi bahwa Aisyah sudah menikah dengan orang lain. Tuba ikhlas tidak berjodoh dengan Aisyah. Toh, pada 1980, ia menikah dengan perempuan yang juga menerimanya apa adanya. Meski demikian, ia masih berharap bisa bertemu dengan mantan kekasihnya untuk melegakan hati.
- Agen Lokal CIA di Sumatra
SUATU pagi, pengusaha Hasjim Ning menemani Presiden Sukarno sarapan di Istana Merdeka. Selagi makan, Sukarno menyuruh Hasjim untuk pergi ke Padang menemui Letkol Ahmad Husein, Ketua Dewan Banteng dan Komandan Resimen IV. Sebagai bentuk protes terhadap pemerintah pusat, Husein mengambil alih pemerintahan sipil dari Gubernur Sumatra Tengah, Ruslan Muljohardjo, dan mengangkat dirinya sebagai Ketua Daerah.
- Kompi Kristen di Batalyon Hizbullah
BEKAS jalan raya Cianjur-Ciranjang-Bandung itu sudah tak berbentuk lagi. Permukaan aspalnya sudah tertutup semak-semak. Sementara berbagai pepohonan liar tumbuh subur di sekitarnya. Sebagian sudah menjulang tinggi dan berukuran raksasa, rimbun melindungi kawasan tersebut dari sengatan matahari. Jalan yang diapit oleh tebing tinggi dan jurang yang curam itu sejatinya masuk dalam wilayah tepi Sungai Cisokan dan termasuk dalam jalur De Postweg (Jalan Raya Pos) yang dibuat oleh Gubernur Jenderal H.M. Daendels (1808—1811). Namun sejak akhir 1970-an, jalur (sekaligus jembatan-nya yang melintasi Sungai Cisokan) itu sudah tidak lagi dipergunakan dan terbengkalai begitu saja. “Malah beberapa tahun lalu sempat dijadikan lahan pembuangan sampah untuk wilayah Kecamatan Ciranjang dan sekitarnya, tapi setelah ada protes dari warga lalu dihentikan,” ujar Achmad Saepudin, salah seorang penduduk di sekitar wilayah itu. Tak banyak orang mengerti, jika tempat itu 73 tahun lalu merupakan salah satu medan pertempuran paling brutal bagi tentara Inggris (terutama dari Kesatuan Gurkha Rifles) di Pulau Jawa. Mereka kerap menyebutnya sebagai jalur neraka Ciranjang, karena di sanalah banyak anggota pasukan Inggris menemui ajal. Begitu pentingnya arti tempat itu bagi mereka, sehingga Red Flash (majalah internal yang dikeluarkan oleh Asosiasi Resimen Gurkha Rifles, Inggris) pernah mengulasnya secara khusus dalam sebuah judul: “The Battle of Tjirandjang Gorge” (Pertempuran di Tebing Ciranjang). Salah satu kekuatan milisi yang sempat menyusahkan prajurit-prajurit asal Nepal itu adalah Kompi Yotham Marchasan dari Batalyon III Hizbullah. Kompi Yotham berisi para pemuda Kristen dari wilayah Gunung Halu (sebuah distrik Kristen di Cianjur yang dibentuk pada 1901 oleh pemerintah Hindia Belanda). Menurut Wijaya dalam Lasykar Hizbullah Antara Jihad dan Nasionalisme Mempertahankan Kemerdekaan RI, 1945-1949 , mayoritas anggota Kompi Yotham adalah pemuda-pemuda hasil didikan militer Jepang. Lantas bagaimana ceritanya para pemuda Kristen itu bisa menggabungkan diri dengan sebuah milisi muslim terbesar di Indonesia saat itu? * RADEN MAKMUR (95), masih ingat kali pertama melihat sosok Yotham Marchasan. Secara pribadi, dia yang saat itu masih seorang pemuda hijau, merasa terkesan dengan penampilan berwibawa pemimpin pemuda Kristen asal Rawaselang, Gunung Halu tersebut. “Orangnya memang kecil, tapi tatapannya tajam menusuk seperti tatapan seekor macan,” ujar lelaki yang juga pernah aktif di Lasykar Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI) itu. Yotham awalnya adalah anggota Pembela Tanah Air (PETA). Ketika militer Jepang kalah perang, dia lantas menggabungkan diri dengan Lasykar BBRI Ciranjang pimpinan Mohamad Ali. Namun ketika BBRI dipukul mundur ke arah selatan Ciranjang oleh pasukan Inggris, Yotham yang tertinggal di bagian utara memutuskan untuk bergabung dengan Batalyon III Hizbullah pimpinan Mochamad Basyir. “Abah (Yotham) dalam berjuang tak pernah membeda-bedakan agama. Selama orang-orang itu memerangi tentara Inggris dan Belanda, kata dia ya mereka adalah saudaranya,” ujar Missnetty Marchasan (77), salah satu putri dari Yotham Marchasan. Alih-alih ditolak, keinginan bergabung kelompok Yotham justru disambut secara baik oleh Mochamad Basyir. Para pemuda Islam di Hizbullah sendiri sebenarnya sudah akrab sejak lama dengan para pemuda Kristen. Mereka rata-rata berasal dari kampung yang sama di Gunung Halu. Begitu akrabnya, hingga untuk urusan markas besar saja, Batalyon III Hizbullah memilih rumah seorang janda tua yang merupakan seorang Kristen taat. Namanya Rachel. "Bagi kami saat itu, urusan agama adalah urusan pribadi dengan Tuhan," ungkap Makmur. Yotham tidak sendiri. Ada banyak pemuda-pemuda Kristen Gunung Halu yang kemudian bergabung dengan Hizbullah dan bernaung di bawah Kompi Yotham. Para pemuda itu antara lain Samuel dan Carson dari Rawaselang, Nabot dari Jatinunggal, Mojo dari Calingcing, Raiin Majiah dari Palalangon, Maad dan Madris dari Pangarengan, Cipto Adhi dari Ciendog dan Alfius dari Pasirkuntul. Batalyon III Hizbullah yang bermarkas di tengah-tengah umat Kristiani di Palalangon melangsungkan hubungan yang baik dengan masyarakatnya. Mereka selalu saling membantu jika ada kesulitan. Bahkan menurut peneliti sejarah Wijaya, saat awal berdirinya pada Februari 1946, Gereja Kristen Palalangon di bawah pimpinan Pendeta Empi pernah menyumbangkan beberapa barang milik gereja untuk Hizbullah. Soal itu memang dibenarkan oleh Raden Makmur. “Pendeta Gunung Halu (Empi) menyumbangkan dua ekor kuda dan satu mesin tik untuk keperluan administrasi Hizbullah,” ujar Makmur. Kedua ekor kuda tunggangan itu dalam kenyataannya sangat berguna untuk mobilitas pasukan Batalyon III Hizbullah. Terutama ketika mereka harus menyampaikan surat-surat penting ke induk pasukan di Purwakarta. Tidak hanya menyediakan fasilitas non-tempur, para pemuda Kristen di Hizbullah itu juga terbilang aktif mencari senjata api. Menurut Omek, eks pejuang Batalyon III Hizbullah, salah satu senjata api pertama yang dimiliki oleh kesatuannya merupakan hasil kerja keras para pemuda Kristen. Senjata jenis Steyr lengkap dengan 10 hower peluru-nya itu didapat oleh Raiin Majiah dari seorang bekas anggota polisi di era Hindia Belanda. “ Karaben itu kemudian dicoba oleh Alfius dan ternyata masih berfungsi baik. Lalu diberikan kepada Pak Komandan (Mochamad Basyir) dan diberi nama “Si Cikal”,” tutur Omek. Setelah mendapatkan Steyr itu, lambat laun Batalyon III Hizbullah terus melengkapi pasukannya dengan senjata api. Selain itu, mereka pun kemudian mendapatkan beberapa peti granat dan puluhan bom batok (ranjau darat). Dengan modal senjata-senjata sederhana itulah mereka bertempur melawan tentara Inggris dan Belanda. CIRANJANG awal 1946 adalah neraka terpanjang bagi para tentara Inggris yang melewati jalur Cianjur-Bandung. Sejak Desember 1945 hingga April 1946, tak henti-nya mereka selalu disergap dengan serangan mendadak dari balik tebing-tebing tinggi sepanjang Sungai Cisokan. “Pertempuran Cisokan berlangsung cukup lama,” tulis A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid V: Agresi Militer Belanda I. Bersama pemuda-pemuda Muslim, Kompi Yotham kerap terlibat dalam penghadangan konvoi militer Inggris di jalan raya Ciranjang-Bandung. Mereka pun menjadi saksi, bagaimana kuat dan “mengerikannya” alat-alat perang milik Sekutu. “Abah (Yotham) sering cerita, kalau dibawa perasaan mereka tentu saja merasa takut, tapi jika ingat mereka (maksudnya tentara Inggris) menginjak-injak tanah air Abah dengan seenaknya dan membunuh kawan-kawan Abah, muncul rasa marah dan keinginan untuk melupakan kematian,” ujar Missnetty. Tahun 1947, Indonesia seutuhnya diserahkan Inggris kepada Belanda. Seperti para pemuda Indonesia lain, pemuda-pemuda Kristen yang tergabung dalam Kompi Yotham Batalyon III Hizbullah pun tak bisa menerima itu. Mereka pun melawan dengan melakukan penyerangan-penyerangan terhadap markas militer Belanda di kota Ciranjang. “Dalam pergerakannya, Kompi Yotham dikenal sangat pemberani namun cerdas dalam berstrategi, hingga tak jarang menimbulkan kerugian besar di kubu musuh,” demikian diungkapkan dalam Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Rakyat Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur yang disusun oleh Panitya Penyusun Data Perjuangan Kecamatan Ciranjang. Militer Belanda sangat bernafsu sekali menguasai basis Batalyon III Hizbullah di Gunung Halu. Namun para petarung Hizbullah yang berbeda agama itu selalu bisa mengkandaskan serangan-serangan tentara Belanda dengan memanfaatkan situasi medan yang sangat sulit. Saat mempertahankan tanah tumpah darah itulah, satu-persatu anggota Hizbullah termasuk pemuda-pemuda Kristen, berguguran. Salah satu pemuda Kristen yang gugur ditembak tentara Belanda di depan gereja Rawaselang adalah Samuel. Namun militer Belanda tak puas sebelum membekuk Yotham. Sejak itulah, dia kemudian menjadi buruan militer Belanda, namun selalu berhasil lolos. Sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya harus terjatuh jua. Karena ulah seseorang yang masih terbilang saudaranya, militer Belanda akhirnya dapat meringkus Yotham. "Saya masih ingat, suatu sore Abah didatangi dua serdadu Belanda lalu digiring dengan tangan terikat,” kenang Misnetty Marchasan. Yotham lantas ditahan di penjara Cianjur. Sebagai pejuang gerakan pembebasan, dia mendapat perlakuan sangat buruk: dihina, dipukuli dan disiksa secara psikis maupun fisik. Hampir tiap hari dia dijadikan “mainan” para interogatornya. Namun Si Macan Gunung Halu tetap memilih bungkam dan bertahan untuk tidak membocorkan rahasia-rahasia batalyon-nya. Karena kekerasan prinsipnya yang bagai baja, para interogatornya menjadi patah arang dan pada suatu hari menyiksa Yotham hingga dia nyaris mati. Dalam kondisi tak sadarkan diri dan mandi darah, dia kemudian dilemparkan ke selnya. Tak ada yang berani menolong Yotham, kecuali seorang haji pemberontak bernama Ali. Dengan telaten, dia merawat Yotham. "Untuk megupayakan Abah tetap sadar, Abah bilang Haji Ali melap wajah Abah dengan kain yang direndam air seni karena di sel air sangat sedikit," ujar Misnetty. Hampir tiga bulan Yotham menjadi pesakitan. Atas jasa adik iparnya yang seorang perwira Belanda, dia berhasil dikeluarkan dari penjara. Tapi dasar tipikal pejuang tangguh, keluar dari bui dia malah langsung bergabung lagi dengan pasukannya. Terakhir Yotham menjadi anggota Batalyon Nasuhi Divisi Siliwangi. Pasca pengakuan kedaulatan, Yotham memilih menjadi orang sipil. Namun, api perjuangan senantiasa berkobar dalam jiwanya. Kepada anak-anak dan para cucunya, dia selalu menekankan bahwa harus baik-baik memanfaatkan alam kemerdekaan. Di usia senjanya, Yotham dikenang oleh para cucunya sebagai seorang lelaki yang sangat mencintai Indonesia. "Setiap 17 Agustus, dia selalu ingin merayakan Hari Ulangtahun Kemerdekaan secara khusus di rumah bersama anak-anak dan para cucunya. Dia akan marah dan sedih jika ada dari kami yang tidak ikut merayakannya,"kenang Lusi, salah seorang cucu Yotham. Tahun 1990, Yotham meninggal dengan tenang dalam usia 77 tahun. Jasadnya dikebumikan pada sebuah dataran tinggi di Rawaselang, Gunung Halu, seolah pertanda jiwa raganya tak pernah berhenti untuk menjaga dan mencintai tumpah darahnya tercinta, yang pernah dibelanya dengan keringat, darah dan air mata bersama-sama kawan-kawannya di Batalyon III Hizbullah.
- Pertempuran Natal
DINI hari 25 Desember 75 tahun silam. Cuaca membekukan dan kegelapan akibat padamnya listrik tak menghentikan sejumlah warga kota kecil Bastogne, Belgia untuk berkumpul di ruang bawah tanah di sekolah-asrama Notre-Dame. Dalam suasana mengerikan akibat hujan tembakan dan bom, mereka bersama para siswa dan tentara AS yang terluka maupun sehat menyanyikan kidung-kidung Natal di bawah pimpinan seorang pastor. “Kedamaian Christmas Eve hancur dalam pertempuran mengerikan dari baja (tank), tembakan, dan darah,” tulis Leo Barron dan Don Cygan dalam No Silent Night: The Chirstmas Battle for Bastogne . Mereka terpaksa merayakan Chirstmas Eve lebih lambat dari biasanya lantaran perang sedang berkecamuk hebat. “Tidak akan ada gencatan senjata Natal di Bastogne,” tulis Michael Collins dan Martin King dalam The Tigers of Bastogne: Voices of the 10th Armored Division in the Battle of the Bulge . Warga terpaksa bertahan di dalam kota karena tak ada akses ke luar. Seluruh perbatasan kota menjadi medan pertempuran karena para serdadu AS membentuk perimeter di sepanjang perbatasan guna mempertahankan kota kecil itu dari upaya perebutan oleh pasukan Jerman. Bastogne menjadi tempat berkecamuknya pertempuran terhebat dalam The Battle of Bulge. Pertempuran itu meletus setelah Hitler menggelar Operasi Wacht am Rhein ( Watch on the Rhine ), operasi konter-ofensif kilat terakhirnya di front barat guna merebut Antwerp. Dengan menguasai kota pelabuhan itu Hitler berharap dapat memecah pasukan AS (Sekutu), yang terus maju setelah sukses mendarat di Normandia (Juni 1944), dan kemudian menghancurkannya guna dijadikan posisi tawar untuk berunding. Di depan para jenderalnya, Hitler menjelaskan skema besar operasinya. Operasi itu merupakan pertaruhan terakhir mereka. Nasib Jerman ditentukan oleh keberhasilannya. “Tuan-tuan, jika kami berhasil, kemenangan adalah milikmu, para jenderal. Namun, jika kita gagal, saya akan bertanggung jawab. Butuh waktu terlalu lama untuk mengganti kerugian ini jika kita gagal. Tidak ada kesempatan kedua. Jika kita gagal, itu akan mengerikan bagi Jerman,” kata Hitler, dikutip Barron dan Cygan. Tanggal 16 Desember diset sebagai Hari-H. Bastogne ditetapkan sebagai sasaran awal, pijakan untuk mencapai tujuan akhir. “Bastogne secara umum dianggap sebagai pusat komunikasi vital yang memberi akses ke banyak jalan utama dan jalan kecil lain yang bertemu di kota itu. Selama itu dipegang oleh Amerika, hal itu menjadi penghalang besar bagi kemajuan ofensif Jerman. Hitler dan para komandannya tahu bahwa kendali atas kota persimpangan itu akan terbukti vital untuk menjaga perjalanan menuju Antwerp tetap utuh,” sambung Barron dan Cygan. Sementara Jerman melakukan maraton pemindahan pasukan dan persenjataan skala besar ke dekat perbatasan Luksemburg-Belgia yang berhimpitan dengan bagian barat Jerman, para prajurit dari empat divisi di Korps VIII AS pimpinan Mayjen Troy Middleton, yang menguasai Bastogne, hanya menunggu perintah lebih lanjut untuk bergerak. Tak ada penambahan apapun di kota itu karena upaya untuk memperkuat garis pertahanan Sekutu dari Aachen sampai Luksemburg yang berulangkali diminta Middleton selalu ditolak. “Komando tinggi ETO (European Theatre of Operations) agaknya salah menyimpulkan bahwa wilayah Ardennes tidak memiliki tujuan strategis serius sehingga tidak perlu menempatan banyak divisi di daerah ini. Akibatnya, hanya ada empat divisi yang ditempatkan di sana. Situasi itu diperburuk oleh kurangnya pakaian musim dingin karena quartermaster (perwira yang bertanggung jawab dalam urusan tempat tinggal, ransum, pakaian, dan suplai logistik lain) ETO telah memutuskan untuk tidak mengeluarkan itu dengan alasan mereka tidak mengira kampanye akan berlangsung hingga Desember 1944,” tulis Barron dan Cygan. Pada 15 Desember malam, pasukan Jerman tinggal menunggu perintah serang di pos masing-masing di tepi timur Sungai Our. Begitu perintah serang dikeluarkan pukul 05.30 pagi 16 Desember dan kanon-kanon memuntahkan peluru sebagai pembuka serangan, para prajurit infantri Jerman langsung bergerak maju. Banyak prajurit Jerman heran karena mereka tak mendapatkan perlawanan berarti dari serangan pagi itu. Mayoritas penduduk Bastogne merasakan hari berjalan seperti sebelumnya. Rutinitas tetap mereka lakukan seperti biasa. Xavier Gaspard, seorang apoteker, tetap membuka apoteknya. Namun tak seperti kebanyakan warga yang tak menyadari hal ganjil terjadi, dia kemudian insyaf akan adanya hal tak biasa. “Ia dengan gugup memperhatikan penumpukan pasukan Amerika di kota. Para petani dari desa-desa terpencil gugup membisikkan obrolan ketika mereka mengunjungi tokonya, menyebutkan percakapan dengan kerabat Belgia yang lebih jauh ke timur. Kerabat-kerabat itu telah melaporkan suara gerakan kendaraan yang mengganggu dari seberang perbatasan dengan Jerman,” tulis Barron dan Cygan. Kebingungan itu pula yang menghinggapi Mayjen Middleton. Hingga larut malam, dia terus mengumpulkan informasi dan mendiskusikan solusi terbaik yang mesti diambil dengan para komandan bawahannya. Sekira pukul 19.00 waktu setempat, Middleton pun memberi perintah agar semua pasukan bertahan menyelamatkan kota. Tidak ada izin untuk mundur kecuali keadaan mendesak. Kendati sempat kewalahan di awal, pasukan Divisi Infantri ke-28 AS gigih memberi perlawanan. Akibatnya, kata komandan Divisi Panzer Lehr Jenderal Fritz Bayerlein, Jerman gagal merebut Bastogne dalam sekali pukul. Perlawanan hingga 36 jam yang dilakukan pasukan Divisi Infantri ke-28 membuat jadwal yang telah ditentukan Jerman mulai berantakan. Mendapat informasi serangan masif Jerman, panglima ETO Jenderal Eisenhower langsung mengambil keputusan cepat. Divisi Lapis Baja ke-7, Divisi Lapis Baja ke-10 “Tiger”, Divisi ke-82 “All Americans”, dan Divisi Linud ke-101 “Screaming Eagle” pimpinan Brigjen Anthony McAuliffe langsung dia pindahkan ke Ardennes guna memberi bantuan pada Korps VIII yang terdesak di Bastogne. Pertempuran sengit pun dimulai. Suara gemuruh pertempuran makin keras didengar warga. Tanggal 17, pasukan Jerman memutus listrik kota. Pasukan AS terpaksa memberlakukan jam malam di kota tersebut hari itu juga. Kendati keesokan harinya ada sebuah sekolah masih belum meliburkan muridnya, kondisi kota sudah berubah drastis. Pengungsi dari Luksemburg sudah memenuhi kota. Artileri Jerman untuk kali pertama menghantam Bastogne, tepat di Kapel St. Therese. Bisnis mandek. Tiga tempat penampungan dibuka mulai tanggal 19. Institute of the Sisters of Notre Dame, salah satu dari tiga tempat penampungan itu, menjadi tempat tinggal hampir 600 pengungsi. Perlawanan gigih pasukan Divisi Lapis Baja ke-10 “Tiger” dan Linud ke-101 “Screaming Eagle” tetap belum bisa menghentikan gerak maju Jerman. Pada 22 Desember, Komandan Korps Panzer XLVII Jenderal Heinrich F von Luttwitz mengirim tiga bawahannya untuk menyampaikan suratnya kepada komandan “Screaming Eagle” Brigjen McAuliffe. Luttwitz meminta McAuliffe menyerah dan memberi tenggat waktu dua jam untuk mengambil keputusan. Alih-alih meneruti kemauan sang lawan, McAuliffe membalas surat itu dengan sebuah surat yang berbunyi: “NUTS!” Kendati sempat bingung arti kata yang ditulis McAuliffe, Luttwitz akhirnya tahu maksud McAuliffe adalah memilih terus melawan. Pertempuran pun semakin sengit. Luftwaffe (AU Jerman) terus membombardir Bastogne tiap malam. Bombardir artileri juga terus-menerus memangsa bangunan-bangunan di Bastogne berikut isi dan orang-orang di dalamnya. Sejumlah warga terbunuh oleh pertempuran sengit itu. Penguasa militer AS terpaksa meminta bantuan Leon Jacqmin, warga setempat yang veteran Perang Dunia I, untuk menangani urusan logistik dan penampungan warga. Leon mendirikan pos medis dan distribusi makanan dengan bantuan dua dokter lokal dan warga setempat. Upaya simpati juga datang dari para gadis perawat setempat, seperti Renee Lemaire. “Dia merawat siapapun yang terluka,” kata Letnan MacKenzei. Sayang, bombardir udara Luftwaffe merenggut nyawanya. “Lemaire menjadi legenda bagi orang Amerika yang terluka. Dia memberi setiap kebutuhan mereka, menggunakan kemampuan medis dasarnya, dan belas kasihnya.” Seiring waktu, semakin banyak serdadu AS tewas atau terluka. “Pada Sabtu, 23 Desember, para prajurit yang keras kepala Amerika pembela Bastogne mencapai saat paling menyedihkan. Pagi itu, banyak dari pasukan terjun payung dari Divisi 101 yang kesusahan –awak tank dan tank perusak dari unit lapis baja dan pasukan artileri yang menodongkan senjata mereka di lubang senjata beku– semakin kelelahan. Mereka kedinginan, lapar, dan kehabisan segalanya,” tulis Barron dan Cygan. Beruntung, di puncak kesulitan para prajurit AS itu, dropping logistik udara dari selatan mulai tiba pada siang hari yang sama. Masalah logistik untuk cuaca dingin pun berangsung dapat diatasi. Moril pasukan kembali meningkat. Ketika bombardir “hadiah Natal” dilancarkan Luftwaffe pada 25 Desember, para prajurit AS terus memberi perlawanan. Warga kota ikut membantu. Bersama para prajurit AS, mereka merayakan Natal bersama di ruang bawah tanah dalam suasana mencekam. Perlawanan bertambah besar ketika bala bantuan dari Tentara ke-3 pimpinan Jenderal George S. Paton tiba pada keesokan harinya. Jerman pun akhirnya dipukul mundur tak lama kemudian. Meski tak ada ketenangan bahkan hingga sesudah Natal, perlawanan para prajurit AS membuat warga Bastogne bisa merayakan Natal dengan aman tahun-tahun berikutnya. “Pertempuran yang dihasilkan dari perintah Hitler akan menjadi peristiwa klimaks dari hikayat Bastogne: serangan cepat, serangan putus asa oleh kekuatan lapis baja Jerman yang luar biasa, dipertahankan dalam perjuangan berdarah oleh para GI compang-camping tapi bertekad yang terjebak di Bastogne. Yang mana pun menunjuk ke pertikaian klimaks –sebuah pertumpahan darah putus asa di ladang bersalju Bastogne.”
- D.I. Pandjaitan Berkhotbah di Jerman
KETIKA menjabat Atase Militer (Atmil) Indonesia untuk Jerman, Kolonel Donald Isaac Pandjaitan punya pengalaman berkesan. Pendeta de Kleine, tokoh Gereja Protestan Jerman di Wuppertal-Barmen mengundangnya untuk memberikan ceramah. Dengan senang hati, Pandjaitan menerima undangan Pendeta de Kleine. Momentum itu berlangsung pada tahun 1960. “Mungkin maksudnya agar masyarakat Jerman mengetahui dan bangga, bahwa ada perwira TNI yang berasal dari Tanah Batak, tempat Mission Zending bertugas menyebarkan agama Kristen di sana sejak sebelum penjajahan,” kenang istri Pandjaitan, Marieke Pandjaitan br Tambunan dalam D.I. Pandjaitan: Gugur dalam Seragam Kebesaran . Kesediaan Pandjaitan bukan tanpa alasan. Sedari kecil waktu tinggal di Tarutung, Pandjaitan dibesarkan dalam lingkungan sekolah Zending Batakmission yang didirikan misionaris Jerman, Inger Ludwig Nommensen. Uniknya, Pandjaitan diminta mengenakan seragam formal TNI sedangkan istrinya memakai kebaya sebagai perlambang kebudayaan Indonesia. Dan tentu saja, Pandjaitan menyampaikannya dalam bahasa Jerman. Pandjaitan membuka khotbahnya dengan kelakar: “Dunia bisa berubah. Kalau dulu orang Jerman yang datang dan memberi khotbah kepada orang Batak, nanti bisa terbalik, orang Batak yang datang ke sini dan memberi khotbah kepada orang Jerman.” Para jemaat yang hadir mengiyakan sembari tersenyum. Album kenangan ketika Pandjaitan memberikan ceramah di Jemaat Wuppertal-Barmen, Jerman. (Sumber: dipandjaitan.blogspot.com .) Khotbah Pandjaitan dilanjut dengan mengenang ihwal mula penyebaran agama Kristen di Tanah Batak. Menurut Pandjaitan, gerakan misionaris Jerman melalui institusi pendidikannya meninggalkan warisan berharga bagi masyarakat suku Batak yang telah menerima ajaran Kristus. Peranan Batakmission yang dipelopori Nommensen kadang membuat orang-orang Batak bertanya dalam keheningan. “Mengapa justru orang Jerman yang berhasil memperkenalkan agama (dan pendidikan) ke kami Batak? (Mengapa bukan Belanda). Jawab: “Tentu ada maksud Tuhan!,” kata Pandjaitan. Naskah khotbah Pandjaitan setebal tujuh halaman ini termuat dalam laman yang dikelola keluarga Pandjaitan. Pandjaitan juga mempromosikan kehidupan toleransi beragama di Indonesia. Dia mengatakan lambang salib turut menghiasai nisan Taman Makam Pahlawan Indonesia yang merupakan pusara terakhir bagi para prajurit dan pejuang. Ini membuktikan semua anak bangsa Indonesia ikut berperang dan berkorban demi kemerdekaan tanpa membedakan agamanya. Kepada jemaat Wuppertal-Barmen, Pandjaitan menekankan betapa pentingnya bertahan dalam iman. Kegelisannya yang paling utama ditujukan kepada generasi muda. Menyitir laporan penelitian “Kinsey Report” tahun 1958, Pandjaitan mengungkapkan sebagian besar pemuda di Amerika telah meninggalkan gereja dan norma agama. Kemajuan teknologi, ekonomi, dan budaya, termasuk musik rock n roll turut mempengaruhi. “Karena mereka tidak TAHAN. Karena ajaran-ajaran Tuhan sudah tidak dianggap. Karena pemuda menjadi lemah maka cahaya kata kata Tuhan di hati mereka menjadi mati,” ujar Pandjaitan. Arsip naskah khotbah Pandjaitan yang ditulis dalam bahasa Jerman. (Sumber: dipandjaitan.blogspot.com .) Untuk meningkatkan daya tahan dari cobaan, kata Pandjaitan, kita perlu selalu mencari cahaya Tuhan. Dia berpesan kepada pemuda Jerman yang ada di jemaat itu agar terus maju ke depan membela negara dan bangsa terhadap serangan atheisme dari Jerman Timur. Karena menurut Pandjaitan, pemuda adalah darah dari suatu bangsa. Pemuda yang tidak mempunyai nasionalisme akan menjadi malapetaka bagi negaranya. “Pemuda yang sudah tidak lagi menghargai orang tuanya dan menolak bertemu pada Natalan akan mendapat ganjaran dari Tuhan. Nasib masa depan Kristen terletak pada pemuda-pemuda ini,” tegas Pandjaitan. Wejangan ini dipungkasi Pandjaitan dengan mengutip surat dari Rasul Paulus dalam 1 Korintus 10:31 yang berbunyi: “Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.” Khotbah Pandjaitan yang mengesankan itu ditutup dengan menyanyikan bersama lagu yang diciptakan oleh Martin Luther “Ein feste Burg ist unsere Gott” ( Benteng yang Kokoh adalah Tuhan Kami ). Berita Pandjaitan berkhotbah di Jerman terdengar sampai Jakarta, khususnya di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Pada pertengahan 1962, Pandjaitan menjadi Asisten IV Menteri Panglima AD yang membidangi logistik. Letjen Ahmad Yani yang menjadi Menteri Panglima AD menjuluki Pandjaitan dengan sebutan hormat: jenderal pendeta.






















