top of page

Hasil pencarian

9597 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Komik Strip Panji Koming Merekam Zaman

    “Menulis apa Lul?” tanya Panji Koming kepada Pailul yang sedang memahat batu. “Sejarah,” jawab Pailul singkat. “Sejarah Majapahit?” tanya Panji Koming lagi. “Bukan, ini sejarah lima abad mendatang,” ujar Pailul. “Tentang apa Lul?” Panji Koming penasaran. “Tentang janji untuk tidak melupakan,” kata Pailul. Setelah selesai, barulah diketahui Pailul memahat kalimat, ‘Selamat jalan Pak Swan.’ Pailul kemudian pergi sambil berkata, ”Asyik lho menulis sejarah.” Begitulah percakapan Panji Koming dan Pailul dalam komik strip Panji Koming edisi Minggu, 18 Agustus 2019. Edisi itu dibuat untuk mengenang Polycarpus Swantoro, salah satu pendiri harian Kompas yang meninggal dunia pada 11 Agustus 2019. Pecakapan Panji Koming dan Pailul soal sejarah itu ternyata sekaligus menjadi karya terakhir Dwi Koen yang meninggal dunia pada 22 Agustus 2019. Panji Koming edisi 18 Agustus 2019, karya terakhir Dwi Koen. (Fernando Randy/Historia). Dwi Koendoro Brotoatmodjo atau akrab disapa Dwi Koen, lahir di Banjar, Jawa Barat, pada 13 Mei 1941. Ayahnya, R. Soemantri Brotoatmodjo merupakan seorang insinyur teknik. Sedangkan ibunya, R.R. Siti Soerasmi Brotopratomo adalah seorang perias pengantin. Pada 1965, Dwi Koen bergabung dengan Televisi Eksperimen Badan Pembina Pertelevisian Surabaya. Kemudian pada 1972, di Jakarta ia bekerja sebagai ilustrator dan kartunis pada penerbit PP Analisa, majalah Stop dan Senang . Dwi Koen kemudian pindah ke biro iklan Intervisa Advertising. Karier Dwi Koen semakin dikenal ketika ia mulai bekerja sebagai ilustrator di PT Gramedia pada 1976. Sejak 1979, ia mulai ditugaskan membuat komik strip untuk harian Kompas edisi Minggu. Maka, pada 14 Oktober 1979, lahirlah Panji Koming. Bersama Pailul, Ni Dyah Gembili, Ni Woro Ciblon, Mbah Kakung, Kirik, dan Denmas Aryo Kendor, Panji Koming telah menjadi komik ikon harian Kompas . Komik strip berlatar Kerajaan Majapahit ini sebenarnya bukan hanya konten hiburan. Panji Koming telah menjadi media satir, kritik maupun penyampai kegelisahan yang berangkat dari kehidupan rakyat miskin. Efix Mulyadi mengenang Dwi Koen dan Panji Koming dalam Bincang-Bincang Menyoal Panji “Dwi Koen” Koming , Jumat, 22 November 2019 di Bentara Budaya Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Efix Mulyadi, kurator Bentara Budaya, pada Bincang-Bincang Menyoal Panji “Dwi Koen” Koming , Jumat, 22 November 2019 di Bentara Budaya Jakarta menyebut bahwa Panji Koming selalu peka terhadap isu-isu yang berkembang di masyarakat. Isu-isu tersebut kemudian diangkat ke dalam komik strip dengan gaya khas Dwi Koen. “Selain dia menjadi bagian dari produk industri surat kabar, dia juga berada di wilayah perbincangan para pembacanya. Dekat sekali dengan para pembacanya. Ketika media masa sedang ramai kasus korupsi, muncul di situ dia. Ketika ada kasus heboh yang lain, tentang artis atau tentang tokoh politik yang lain, dia ada di situ. Dengan caranya sendiri,” ujar Efix. Kedekatan dengan isu-isu yang relevan dengan kehidupan sehai-hari itulah yang membuat Panji Koming selalu dinantikan setiap Minggu. “Banyak sekali yang membayangkan menjadi bagian yang sangat penting dari cerita Panji Koming. Saya menduga cukup banyak juga pembaca artinya rakyat Indonesia yang mengidentifikasi dirinya dengan kisah Panji Koming. Mereka akan ikut senang ketika apa yang menjadi kegundahan mereka terlampiaskan di kolom-kolomnya Panji Koming,” kata Efix. Panji Koming telah bertahan selama 40 tahun di harian Kompas  edisi Minggu. (Fernando Randy/Historia). Efix mengungkapkan bahwa Panji Koming memiliki semangat yang sama dengan Panakawan. Tokoh-tokoh Panakawan merupakan perwujudan dari rakyat kecil dan hanya ada pada cerita wayang Indonesia. Rakyat kecil, baik dalam Panakawan maupun Panji Koming, memiliki suara yang harus didengar oleh penguasa. Menurut Efix, Dwi Koen memiliki mental pemberani karena Panji Koming pertama kali terbit ketika rezim Orde Baru berkuasa. Pada edisi pertama, Dwi Koen menggambarkan seorang raja atau penguasa yang ditandu oleh dua pembantu. Meski harus melewati sungai hingga membuat mereka tenggelam, sang raja tetap bergeming. Panji Koming edisi pertama ini merupakan jeweran yang keras terhadap penguasa dan rakyat sekaligus. “Ketika pemerintah otoriter sedang kuat-kuatnya, tidak ada yang pernah berani menantangnya. Tiba-tiba muncul kartun seperti itu. Saya kira itu bagian yang harus dihormati. Luar biasa,” sebutnya. Beng Rahadian, dosen DKV IKJ menyebut Panji Koming mewakili citra Nusantara. (Fernando Randy/Historia). Beng Rahadian, dosen Desain Komunikasi Visual (DKV) Institut Kesenian Jakarta (IKJ) menyebut Panji Koming sebagai salah satu komik strip yang bertahan lama di surat kabar, yakni 40 tahun. “Saya kira ini prestasi yang sulit dicapai siapapun. Bertahan di surat kabar dengan topik yang berbeda setiap Minggu, dan selalu mengungkapkan hal baru,” kata Beng. Beng menyebut Panji Koming merupakan salah satu komik strip yang mewakili kenusantaraan. Panji Koming tidak hanya berlatar kerajaan, tapi juga mengakat isu-isu masa kini yang dikemas dalam versi masa lalu. “Pak Dwi Koen dengan Panji Komingnya memberikan citra Nusantara yang established , yang tetap, yang tidak bisa dibandingkan dengan negara lain. Saya kira itu kelebihan kita,” sebut Beng. Pada 1986, Dwi Koen menjalankan rumah produksi film dokumenter, animasi, dan iklan bernama PT Citra Audivistama. Kemudian pada 1990, ia membuat komik Sawung Kampret yang dimuat secara berseri di majalah HumOr . Komik Sawung Kampret kemudian diadaptasi ke dalam sinetron yang ia sutradarai sendiri pada 1996. Pada 1999, karakter Panji Koming diterbitkan dalam bentuk perangko oleh PT. Pos Indonesia. Selang tiga tahun, pada 2002, Dwi Koen mendirikan Dwi Koen Studio untuk memproduksi kartun dan komik animasi. Dwi Koen telah 40 tahun merekam zaman melalui Panji Koming, Pailul, dan kawan-kawan . Melewati rezim Orde Baru hingga Reformasi, Dwi Koen juga mencatatkan sejarahnya lewat komik strip satir itu.

  • Mengapa PKI Berjaya?

    MENJELANG Kongres Nasional ke-VI, PKI menggiatkan program amal kepada rakyat. Wongso, buruh tani DesaTombol, Klaten, Jawa Tengah, menyambut kongres dengan antusias. Resort (organisasi tingkat desa) PKI setempat saat itu sedangmengadakan kerja bakti di desanya. “Saya ini sehidup semati dengan Palu Arit. Waktu pemilihan (1955) yang lalu, saya dengan penuh keyakinan mencoblos Palu Arit,” kata Wongso. “Pekarangan ini,” lanjutnya, “merupakan hasil perjuangan PKI. Orang-orang PKI di daerah saya adalah orang yang selalu memikirkan nasib rakyat,” ujar Wongso dilansir Harian Rakjat , 10 Agustus 1959. Hasil amal rakyat cukup membanggakan. Dari kegiatan sosial itu, Bintang Merah , Nomor Spesial Jilid I, (1960),mewartakan fasilitas umum yang telah dibangun: jalan raya, selokan, rumah, sekolah, bendungan, jembatan, kakusumum, pemakaman umum, pemberantasan hama tikus, dan kursus Pemberantasan Buta Huruf (PBH). Selain itu, ataspermintaan rakyat setempat telah dibangun berbagai fasilitas publik lainnya mulai dari balai rakyat, lapanganolahraga, hingga masjid dan gereja. Mulai dari buruh tani di Bireun, Aceh hingga nelayan kawasan laut Sawu di Nusa Tenggara Timur merasakandampaknya. Disisihkan Politik Dagang Sapi Meski tercatat sebagai partai pemenang Pemilu 1955, PKI tidak mendapat kuasa untuk memerintah. Koalisi PNI, Masjumi dan NU, menolak bekerja sama dengan PKI dalam satu kabinet. Alasannya: perbedaan ideologi. Presiden Sukarno tetap ingin menyertakan PKI. Dalam memoarnya Tonggak-tonggak di Perjalananku , Ali Sastroamidjojo yang menjadi formatur kabinet dan kemudian perdana menteri kena teguran keras. Sukarno mengecam kabinet yang dirancang Ali dalam Kabinet Ali II karena tidak mencerminkan semangat gotong-royong. Namun, sistem Demokrasi Parlementer saat itu tidak memberikan otoritas lebih bagi kepala negara mengintervensi kebijakan partai-partai. “Politik dagang sapi,” tulis Njoto, Wakil Sekretaris Jendral PKI, dalam editorial Harian Rakjat , 16 Maret 1956, “telah menyisihkan PKI dari lingkaran kekuasaan.” Meski kecewa, PKI tidak serta merta menjadi radikal merongrong pemerintah. Program-program kabinet Ali II tetap didukung sembari menyandarkan oposisinya pada suara rakyat. PKI Menuai Para kader PKI di daerah berperan besar dalam menyukseskan program partai. Akar ideologi yang kuat membuat mereka terampil menerjemahkan kebijakan partai dengan menyuarakan aspirasi tiap-tiap daerah. Selain faktor ideologi, menurut Boyd Compton kader PKI di daerah adalah organisator yang digaji lebih baik di banding partai manapun. Selain PKI, “agaknya tidak ada partai lain yang sanggup menggaji begitu besar para pegawai pentingnya di tingkat rendahan,” tulis Compton dalam surat-suratnya yang diterbitkan Kemelut Demokrasi Liberal . Compton, peneliti politik Amerika yang pada 1955 menyaksikan jalannya pemilihan umum di Indonesia. Menurutnya, PKI menjadi salah satu kekuatan anyar yang gencar melancarkan propaganda dengan cara-cara populis. Partai ini juga mendayagunakan kadernya secara optimal untuk menggaet pemilih.      “PKI telah mencurahkan biaya besar dalam kampanye yang penuh rayuan dan gertakan ini. Dari semua penampilannya, kelihatan bahwa ia merupakan partai terkaya di Jawa Timur. Mungkin juga yang paling sukses,” tulis Compton. Memasuki tahun 1960, hasil kerja keras dituai. Hampir di tiap penjuru negeri, panji Palu Arit berkibar. Pimpinan PKI, D.N Aidit mengklaim massa PKI di seluruh Indonesia telah mencapai 1,5 juta anggota. Di sejumlah daerah tingkat II (Cirebon di Jawa Barat, Surabaya di Jawa Timur, Surakarta, Magelang, Salatiga, dan Boyolali di Jawa Tengah), kader PKI menduduki kursi bupati atau walikota. PKI semakin di atas angin ketika kepercayaan rakyat di daerah runtuh terhadap Masjumi dan PSI akibat keterlibatan dalam PRRI-Permesta. PKI semakin jumawa.  “Bagi rakyat daerah, PKI adalah partai konkret. Tidak umbar janji-janji palsu dan tidak ada dominasi individu,” ujar Arbi Sanit, sosiolog Universitas Indonesia kepada Historia . Itulah, kata Arbi, yang menyebabkan jumlah anggota PKI membludak.

  • Sriwijaya dalam Perdagangan Dunia

    Untungnya I-Tsing mencatat pengalaman berlayarnya bolak-balik dari Guangzhou sampai India. Sehingga diketahui sebuah negeri bernama  Fo-shi,  tempat ia mampir dan tinggal selama beberapa tahun di tengah pengembaraannya.   Fo-shi  adalah nama yang setelah diterjemahkan merujuk pada Sriwijaya. Sang biksu pun menjadi orang pertama yang membuat catatan cukup jelas tentangnya. Hingga seolah kemunculan dan perkembangan pusat keramaian di Sumatra itu muncul begitu tiba-tiba. Pada 671, yaitu ketika I-Tsing tiba di sana, kondisi Sumatra sudah ramai oleh lalulintas kapal. Di sana pun sudah didatangi ribuan biksu yang tengah mendalami ajaran Buddha. Bukanlah kebetulan Sriwijaya muncul sebagai kekuatan maritim yang dominan di kawasan Asia Tenggara. Kondisi ekonomi dan politik kawasan, ditambah keterampilan penguasa Sriwijaya telah memberi jalan bagi dirinya menuju kejayaan selama beberapa abad. Kedatuan Sriwijaya berkuasa dari 683 sampai kira-kira 1183. Mereka cukup diuntungkan oleh letak geografis dan sumber daya alamnya. Ninie Susanti, arkeolog Universitas Indonesia, menjelaskan letak pantai timur Sumatra begitu strategis. Ini masih ditambah angin musim yang bertiup secara teratur menjadikannya jalur perdagangan penting sejak awal abad Masehi. Jalur ini ada di antara rute Samudra Hindia, Laut Cina Selatan, dan Samudra Pasifik. Pun hasil alamnya yang berupa rempah, kayu cendana, kapur barus, kemenyan, besi, timah, emas telah disebut di dalam kitab-kitab sastra dari India sebagai komoditas yang dicari dalam perdagangan. “Sriwijaya mengeluarkan sekira 100-an prasasti dari timah, pasti karena hasil timahnya yang melimpah,” kata Ninie. Keuntungan itu mereka sadari sembari menjalin hubungan dengan pedagang dari India, Arab, dan Tiongkok. Waktu itu India dan Tiongkok merupakan bagian dari kekuatan dunia. Buntutnya pada abad ke-7 Sriwijaya merebut pos luar wilayah baratdaya Semenanjung Melayu. Ini yang kemudian membuatnya berkuasa atas Selat Malaka. “Sriwijaya menguasai sisi Selat Malaka yang merupakan lalu lintas strategis jalur perdagangan masa lalu,” kata Ninie. Namun, bagaimana awal mula keramaian terbentuk sehingga membuat Sriwijaya berjaya? Nyatanya, uraian tentang pendorong perkembangan Sriwijaya awal itu masih dibatasi sumber-sumber yang tak seberapa banyak. Keterbukaan Jalur Kalau melihat peta, letak Sriwijaya tepat berada di tengah, antara Tiongkok dan Timur Tengah yang jalurnya lewat India. Berdasarkan kronik Tiongkok, hubungannya dengan Sriwijaya baru terjadi pada abad ke-5 M. Harus menunggu berabad-abad sebelum kawasan di lautan selatan ini muncul dalam catatan resmi mereka. Sejarawan Denys Lombard dalam  Nusa Jawa 2: Jaringan Asia  menyebutkan hubungan wilayah laut selatan dengan Tiongkok menjadi lebih jelas sejak abad ke-3 SMdengan terbentuknya kekaisaran Tiongkok dan dikirimkannya ekspedisi-ekspedisi Kaisar Qin, Shi Huangdi, ke arah Kanton. Setelah kekaisaran pertama itu hancur, kerajaan-kerajaan di selatan mulai bermunculan pada abad ke-3. Catatan yang pasti mengenai Asia Tenggara pun mulai ditulis dalam teks-teks mereka. “Pada abad ke-3 terjalinlah hubungan dengan negeri-negeri Indocina, termasuk Funan,” jelas Lombard. Sejarawan Inggris, Oliver William Wolters, dalam  Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya Abad III-VII,  berpendapat bahwa pembukaan pelabuhan Tiongkok berdampak pada masuknya dan menetapnya pedagang asing di wilayah Asia Tenggara. Ramainya pedagang di pasar laut Asia Tenggara menanggapi faktor-faktor politik di ujung barat dan timur dari rute maritim internasional. Menanggapi itu, Kenneth R. Hall, sejarawan Ball State University, yang banyak meneliti sejarah dan budaya Asia Selatan dan Tenggara sebelum abad ke-15, menyebut uraian Wolters itu membuat seolah daerah yang berada di antaranya tak cukup punya banyak aksi atas terjadinya keramaian ekonomi di wilayah mereka sendiri. Dalam “Local and International Trade and Traders in the Straits of Melaka Region: 600-1500” termuat di  Journal of the Economic and Social History of the Orient,  Hall menyebut pandangan itu mengasumsikan bahwa rute laut tergantung pada pasar di ujung rute, yaitu di Tiongkok, Asia Selatan, dan Timur Tengah. Artinya, peradaban di kedua ujung rute menawarkan potensi komersial yang cukup untuk mendorong terjadinya perdagangan. Sebaliknya, jika pasar di kedua ujungnya ditutup, maka pedagang internasional tidak punya alasan untuk membuat jalur maritim di sana. Artinya kemunculan pusat perdagangan di Asia Tenggara lebih dikarenakan faktor eksternal. “Tinjauan ini gagal untuk mengenali lokalisasi dalam pengembangan pasar dan peradaban di kawasan yang tidak terletak di ujung rute, tetapi di sepanjang jalur rute, dan kapasitas lokal untuk menjadi kreatif,” ujar Hall. Lewat bukti arkeologis diketahui bahwa sejak awal masehi pun Nusantara sudah terhubung dengan perdagangan internasional. Jejaknya berupa sisa-sisa permukiman yang kompleks dari abad ke-3 di atas lahan berawa ditemukan di Situs Air Sugihan, di pantai timur Palembang. Kemungkinan besar penghuninya telah melakukan kontak dengan wilayah luar. Mereka telah berlayar ke Funan.   Agustijanto Indrajaya, ketua tim peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) menjelaskan bahwa di sana ditemukan manik-manik emas, batu, dan kaca, yang mirip dengan temuan di situs Oc-eo, lembah sungai Mekong. “Situs ini adalah pelabuhan yang masuk wilayah Kerajaan Funan yang berdiri pada awal masehi hingga abad 6,” katanya saat ditemui usai diskusi buku Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya karya O.W. Wolters. Tak hanya berhubungan dengan Funan, di kawasan yang diduga pendahulu Sriwijaya itu,ditemukan banyak tinggalan budaya terkait Tiongkok dan India. Seperti tembikar Arikamedu, manik-manik karnelian India Selatan, dan keramik Tiongkok dari Dinasti Sui (abad 5-6). “Kita bisa memperkirakan Ko-ying memang di pantai timur. Ternyata dari bukti arkeologisnya ada kesesuaiannya dengan berita Tiongkok abad 3-4,” lanjutnya. Perkiraannya, situs ini dihuni sampai periode akhir Sriwijaya. Agustijanto melihat permukiman di situs inilah yang dalam catatan Tiongkok disebut Ko-ying dan Kan-t’o-li. Menurut Wolters, Ko-ying disebut dalam catatan Wan Chen, gubernur Wu untuk wilayah Tan, yang tak jauh dari Nanking sekarang. Sedangkan Kang T’ai, utusan pemerintahan Wu di Funan, menyebutnya dengan Chia-ying. Kendati sebutan Ko-ying belum diketahui asalnya, catatan keduanya memberikan gambaran bahwa Ko-ying adalah kerajaan di Nusantara bagian barat, setidaknya berdekatan dengan Selat Malaka. Sementara itu, Wolters menyebut Kan-t’o-li sebagai kerajaan dagang yang muncul pada abad ke-5 dan ke-6. Nama ini sering disebut dalam sumber Tiongkok.  Ming Shih  atau catatan  Sejarah Dinasti Ming  (abad 14) menyebut Kan-t’o-li sebagai nama lama Sriwijaya. “Kan-t’o-li pada abad 5-6 sudah kirim duta ke Tiongkok, menjadi besar masuk ke masa Sriwijaya, makanya disebut itu pendahulu Sriwijaya,” kata Agustijanto. Kesempatan Sriwijaya makin terbuka ketika Funan runtuh akibat serangan kerajaan di Kamboja pada abad ke-7. Selama lima abad sebelumnya, negeri itu adalah penguasa unggul atas laut-laut selatan. Sementara yang menjatuhkannya, kata George Cœdès, sejarawan Prancis, dalam  Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha,  bukanlah kerajaan berbasis kelautan. Rakyatnya sudah bisa hidup makmur dengan hasil pertanian. Maka, kejatuhan Funan pun memberikan kebebasan dan kesempatan bagi pelayaran dan perdagangan di sepanjang perairan Asia Tenggara. Kesempatan ini kemudian digunakanan Sriwijaya untuk menggantikan peran Funan. Hall menyebut selanjutnya perkembangan peradaban di Asia Tenggara dan pasar mereka makin menawarkan alternatif yang menarik bagi pedagang-pedagang asing. Ketersediaan Produk Selain sebagai persinggahan pedagang internasional, Wolters berpendapat kalau wilayah Sumatra berperan penting menyediakan berbagai barang penggati. Barang ini muncul untuk menggantikan barang asli yang lebih mahal. Misalnya getah gaharu, yang mungkin berasal dari Sumatra Utara, dijadikan pengganti dupa. Menurut Wolter, perdagangan dupa melalui laut berlangsung pada abad ke-3 hingga puncaknya pada masa Dinasti Sung, ketika dupa diimpor secara besar-besaran. Maka munculah kesempatan untuk mengganti dupa dengan getah gaharu yang lebih murah harganya. Ada lagi getah kemenyan yang dianggap sebagai pengganti mur di Tiongkok Selatan. Pada sekira abad ke-5 kemenyan Nusantara bagian barat umumnya dinamakan damar atau getah kemenyan. Kemenyan dijadikan pengganti bahan obat pengasapan. Pohon-pohon yang menghasilkan kemenyan dengan jumlah yang besar hanya dijumpai di wilayah-wilayah Asia Tenggara dan Bolivia. Di Indonesia, terdapat jenis yang menghasilkan getah terbaik, yaitu jenis  Styrax sumatrana.  Jenis ini tumbuh terutama di pedalaman Tapanuli. “Latar belakang perkembangan ini adalah zaman permulaan perdagangan Tiongkok-Indonesia pada abad ke-5, yaitu ketika perdagangan dupa mendorong terjadi perdagangan getah gaharu sebagai pengganti,” jelas Wolters. Di sisi lain, Sriwijaya juga mengelola jaringan pasar di pedalaman. Pelabuhan di Selat Malaka yang telah dikuasai Sriwijaya menerima pasokan produk asli dari pedalaman. Berkat itu, pedagang internasional bisa memperoleh produk lokal. Sebagai gantinya mereka meninggalkan komoditas perdagangan mereka sendiri, misalnya tekstil dan keramik. Sriwijaya kemudian menyalurkan permintaan daerah akan komoditas impor itu. Komoditas impor yang biasa diminta daerah pedalaman misalnya besi. Menurut Hall sebagian besar wilayah pedalaman memiliki pasokan besi yang tak memadai. Ada pula tekstil, terutama kapas India yang diproduksi di wilayah Gujarat, India Barat dan di pusat tenun di pantai tenggara India. Lalu ada pula permintaan keramik Cina. Pada masa perkembangan Islam, permintaan batu nisan yang diimpor dari Gujarat juga meningkat. “Pasar Asia Tenggara cukup penting sehingga tekstil India diproduksi dengan spesifikasi Asia Tenggara, misalnya potongan panjang kain ritual produksi penenun Gujarat dengan ukuran dan desain khusus masyarakat Toraja,” jelas Hall. Lengkapnya komoditas dagang di pasar internasional Sriwijaya ini dicatat oleh sumber-sumber Tiongkok. Misalnya dalam catatan Zhao Rugua (Chu Ju-kua) dari abad ke-13. Disebutkan bahwa di Sriwijaya dapat ditemukan barang-barang seperti kayu gaharu, cengkeh, cendana, mutiara, kemenyan, air mawar, gading gajah, barang-barang dari katun, pisau, pedang, porselen, brokat sutra, kancing sutra, kasa sutra, gula, besi, beras, lengkuas kering, samsu dan kapur barus. Barang-barang itu biasanya dibarter dalam emas atau perak dengan harga yang tetap. “Sebagai contoh, satu tong samsu sama dengan satu tael perak, sepuluh tong sama dengan satu tael emas,” jelas Hall. Berdirinya pusat perdagangan di wilayah perairan Sriwijaya menawarkan kepraktisan. Di sini bisa ditemukan berbagai komoditas paling diminati dari manapun. Makin tersohorlah Sriwijaya.

  • Soedirman Suka Main Sepakbola

    Suatu hari menjelang tengah malam pada 1944. Soedirman menyampaikan rencana bergabung dengan pasukan Pembela Tanah Air (Peta) yang dibentuk Jepang. Dia meminta pengertian istrinya, Siti Alfiah. Namun, Alfiah mengkhawatirkannya karena mata sebelah kiri suaminya itu kurang terang. “Lalu, kaki mas yang terkilir waktu main bola itu…” “Tidak apa-apa, Bu, semua pengalaman ada gunanya. Saya harap ibu berhati mantap,” kata Soedirman. Dialog itu termuat dalam biografi Perjalanan Bersahaja Jenderal Sudirman karya Soekanto S.A. seperti dicuplik buku Soedirman: Seorang Panglima, Seorang Martir garapan tim majalah Tempo . Sepakbola merupakan olahraga kesukaan Soedirman ketika muda. Saat dia aktif di organisasi Hizbul Wathan, kepanduan Muhammadiyah, kemudian Pemuda Muhammadiyah. “Soedirman biasanya main sebagai back . Permainannya cukup baik, akan tetapi kasar,” tulis Solichin Salam dalam Djenderal Soedirman Pahlawan Kemerdekaan . Karena permainan Soedirman cukup baik, catat buku Sudirman Prajurit TNI Teladan ,lebih-lebih kalau sebagai back , maka dia temasuk pemain kelas A. Pada masa itu, istilahnya bukan yunior dan senior, tetapi kelas A dan kelas B. Pemuda pendiam dan terlihat lemah itu, ternyata ketika main bola cukup tangkas dan agak keras dalam mengamankan pertahanan. Sebagai back , nampak sekali ketangkasannya jika musuh telah mengurung bentengnya. Jika barisan depan musuh mulai menyerangnya, dia pun mengeluarkan segala taktik dan teknik untuk memberesihkan semua gerak serangan. “Di sanalah para penonton akan kagum dan tidak menyangka bahwa back yang cekatan itu adalah pemuda yang bernama Soedirman yang biasa digelari kajine (si haji) dalam pergaulan sehari-hari karena alimnya,” demikian tercatat dalam buku terbitan Dinas Sejarah TNI AD itu. Soedirman memimpin kesebelasan Banteng Muda di Cilacap. Klubnya selalu ikut bertanding ketikajambore Hizbul Wathan atau konferensi Pemuda Muhammadiyah di berbagai kota di Karesidenan Banyumas. Sebagai back kuat Banteng Muda, dia pun menjadi pemain bond (perkumpulan, red. ) sepakbola Banyumas. Bahkan, dia kemudian dipilih menjadi Ketua Pesatuan Sepakbola Banyumas. Mokhammad Samingan, adik Soedirman, menceritakan karena dia pemain back yang tangguh, maka sering diancam lawannya. Dalam salah satu pertandingan, dia pernah disikat pemain lawan sehingga kakinya cedera – ada sumber yang menyebut sambungan tulang lutut kirinya bergeser. Cedera itu masih ada sampai dia wafat. Sepakbola juga membuat mata sebelah kanan sedikit cacat. Kendati kaki dan matanya cedera, Soedirman tetap dapat menjadi anggota Peta. Dia mengikuti latihan Peta angkatan kedua sebagai daidancho (komandan batalion) di Bogor. Setelah itu, dia ditempatkan sebagai daidancho Daidan III di Kroya, Banyumas. Setelah Indonesia merdeka, Kolonel Soedirman menjabat komandan Divisi V TKR Purwokerto. Saat itulah, dia mengatur strategi melawan Sekutu di Ambarawa. Karier militernya mencapai puncak setelah dia terpilih menjadi panglima besar tentara Indonesia. Ketika Belanda melancarkan agresi militer kedua, dia dalam keadaan sakit melawan dengan bergerilya dari 19 Desember 1948 sampai 10 Juli 1949. Panglima Besar Jenderal Soedirman meninggal dunia pada 29 Januari 1950.

  • Elegi Cinta Pierre Tendean dan Rukmini

    DARI balik pintu kamar, si kecil Ade Irma dan Yanti (kakaknya) mengintip. Sementara di dalam kamar yang remang temaram, seorang lelaki tampan tengah tekun membaca sepucuk surat. Ade dan Yanti merasa geli menyaksikan betapa seriusnya lelaki muda tersebut. Tetiba muncul ide mereka untuk menggodanya. Yanti  lalu menghidupkan lampu kamar.   “Kok Oom Pierre bisa baca surat dalam gelap?” ujar Yanti Ade menyahut, “Oom Pierre berdoa,yah?” “Enggak, Oom Pierre lagi baca surat,” jawab Pierre “Dari Medan, pasti,” celetuk Yanti. Pierre sadar sedang diusili oleh anak bosnya itu. Hubungan mereka memang akrab, laiknya paman dan keponakan. “Sekarang tutup mulut dulu ya, sampai Oom selesai baca surat,” bujuk Pierre. Kakak beradik itu pun baru mau pergi seraya tertawa girang setelah masing-masing diberi coklat oleh Pierre. Kisah diatas tersua dalam film Pengkhianatan G30S/PKI besutan sutradara Arifin. C. Noer (1984). Ade dan Yanti merupakan putri dari Jenderal Abdul Haris Nasution, Kepala Staf Angkatan Bersenjata. Sementara Letnan Satu Pierre Tendean adalah ajudan Nasution. Lewat adegan membaca surat dari sang kekasih itulah sosok Pierre diperkenalkan dalam film. Dalam iringan suara biola Idris Sardi, adegan itu seolah menabalkan citra diri Pierre Tendean sebagai pria romantis yang tengah dilanda rindu. Piere Jatuh Hati Seturut dengan kehidupan nyata. Sewaktu berdinas mengajudani Nasution, Pierre memang sedang menjalin asmara dengan seorang wanita asal Medan keturunan Jawa. Nurindah Rukmini Chamim, demikian nama lengkap si gadis pujaan hati. Mimin adalah panggilan sayang Pierre kepada Rukmini. Sementara Rukmini memanggil Pierre dengan sebutan “Mas Pierre”.      Menurut biografi resmi Pierre Tendean Sang Patriot: Kisah Seorang Pahlawan Revolusi , Pierre dan Rukmini bertemu di Medan pada 1963. Saat itu, Pierre baru menamatkan pendidikan di Akademi Teknik Angkatan Darat (Atekad) dan bertugas dalam satuan Batalion Zeni Tempur 1 Daerah Militer II/Bukit Barisan di Medan. Sementara Rukmini, masih duduk di bangku SMA. Mereka terpaut beda usia lumayan jauh.  Pierre lebih tua delapan tahun dari Rukmini. Perkenalan keduanya hasil comblangan dua sejawat Pierre, Satrijo Wibowo dan Setijono Hadi. Rukmini merupakan putri sulung dari Raden Chamim Rijo Siswopranoto, seorang pengusaha terkemuka di Sumatra Utara. Parasnya ayu, umumnya gadis-gadis Yogyakarta. Keluarganya penganut Islam yang taat. Keluarga besar Rukmini termasuk dalam Barisan Muhammadiyah Kota Medan dan Yogyakarta. Semula Pierre sempat menolak dicomblangi dengan alasan ingin fokus di batalion. Namun, melihat sosok Rukmini yang sederhana nan lembut, hati Pierre langsung jatuh. Pierre lantas menjajaki hubungan tersebut. Lokasi asrama Pierre terletak di Sei Sikambing yang menjadi markas Kodam Bukit Barisan. Sementara kediaman Rukmini di Jalan Sekip 4B, tidak jauh dari asrama Kodam. Walhasil, Pierre jadi rajin bertandang ke rumah Rukmini. Singkat cerita, cinta pun bersemi.   Pierre tidak lama berdinas di Medan. Pertengahan 1963, Pierre pindah ke Bogor karena harus mengikuti pendidikan intelijen yang dipersiapkan dalam Operasi Dwikora. Namun, hubungan cinta dengan Rukimini terus berlanjut. Mereka pun menjalin pacaran jarak jauh dengan saling berkirim surat. Tahun demi tahun berlalu. Pierre menjalani bermacam penugasan. Mulai dari misi intelijen sebagai mata-mata ke Malaya hingga akhirnya menjadi ajudan Jenderal Nasution pada 1965. Masa cuti dinas selalu dipakai Pierre untuk berkunjung ke Medan. Apalagi maksud hati kalau bukan untuk menemui Rukmini. Kendati berbeda keyakinan, Pierre mantap membawa hubungannya dengan Rukmini ke jenjang yang lebih serius. Pada 31 Juli 1965, Pierre mendampingi Nasution dalam tugas peninjauan di Medan. Kesempatan itu dimanfaatkan Pierre bertemu dengan Rukmini di sela-sela waktu. Pertemuan itu sekaligus digunakan membicarakan rencana pernikahan mereka yang sedianya akan dilangsungkan pada bulan Desember. Nahas, itu menjadi pertemuan terakhir kedua sejoli itu. Pada subuh 1 Oktober 1965, Pierre diciduk oleh sepasukan Tjakrabirawa yang hendak meringkus Jenderal Nasution. Pasukan penculik  kemudian membawa Pierre ke kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur. Di sana dia disiksa lalu dibunuh.  Kepergian Piere tentu saja membuat sedih hati Rukmini. Butuh waktu bertahun-tahun bagi Rukmini untuk memulihkan perasaannya. Baru pada 1972, Rukmini menemukan jodohnya kembali. Bukan tentara, melainkan seorang karyawan bank. “Mereka dikaruniai 3 anak serta 5 cucu dan hidup berbahagia sampai akhir hayat sang suami di tahun 2014,” tulis tim penulis buku Sang Patriot: Kisah Seorang Pahlawan Revolusi suntingan Abie Besman Tersimpan dalam Kenangan Rukmini sendiri enggan membahas lebih dalam soal kisah hubungan cintanya dengan Pierre. Menurut Noviriny Drivina, salah satu tim penulis biografi resmi Pierre Tendean, Rukmini tertutup bila ditanya soal Pierre. Pada 2018, tim penulis menyambangi Rukmini yang tentu saja sudah sepuh dan tinggal bersama tiga cucunya di Bekasi. “Dia sama sekali tidak mau cerita,” ujar Novi kepada Historia mengenang perjumpaannya dengan Rukmini,      Rukmini hanya berkenan mengonfirmasi apa yang didapat oleh tim penulis. “Itu privasi saya dan Mas Pierre,” kata Rukmini ditirukan Novi. Mengenai sifat Pierre yang berkesan maupun pertemuan dengan Pierre, Rukmini enggan menjawab. Hingga meninggalnya pada 27 Juli 2019, Rukmini tetap menyimpan rapat kenangan terhadap sosok Pierre Tendean.

  • Pangeran Diponegoro Suka Main Catur

    USTAZ Abdul Somad (UAS) menjadi viral di media sosial karena media daring memberitakan tausiahnya yang mengharamkan permainan domino dan catur. Berita itu turun setelah dia memberi tausiah di Komisi Pemberantasan Korupsi pada Rabu, 20 November 2019. Tausiah itu diunggah di channel  Youtube Teman Ngaji pada 26 Juli 2017. Dalam tausiahnya itu, UAS membacakan pertanyaan dari jemaah tentang hukum main domino. “Maaf Pak Ustaz, boleh tidak main domino untuk mengisi luang, biasanya 17 Agustus?” UAS menjawab bahwa mazhab Hanafi mengharamkan dadu dan catur. Alasannya karena main catur bisa membuat orang melalaikan salat dan lupa waktu. Dia juga tak setuju jika catur dijadikan olahraga. “Lari oke, lempar lembing oke, renang oke, tapi merenung sampai tiga jam…nah itu, bahwa ketua persatuan catur marah sama saya, terserahlah. Tapi saya tak setuju. Mengabiskan waktu itu. Banyak lagi yang perlu kita pikirkan. Memikirkan bagaimana politik, memikirkan anak. Ini yang dipikirkan, cemana pion-pion bisa selamat,” kata UAS disambut tawa jemaah. Warganet pun mengomentari pendapat UAS soal main catur haram itu. Di antaranya banyak yang membagikan tautan berita "Saudi Menjadi Tuan Rumah Turnamen Catur Dunia" di voaindonesia.com  (26 Desember 2017). Memang pada 2016, seorang ulama Arab Saudi, Abdulaziz al-Sheikh, dalam sebuah acara televisi, mengharamkan catur karena buang-buang waktu dan membuka peluang menghambur-hamburkan uang yang dapat menyebabkan permusuhan dan kebencian. Menanggapi fatwa haram itu, Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia Tengku Zulkarnaen, mengatakan bahwa catur hukumnya hanya makruh dan tidak perlu difatwakan haram. “Dalam mazhab Imam Syafi’i catur itu makruh karena membuang-buang waktu, manfaatnya enggak  ada. Tapi kalau main caturnya pakai taruhan baru haram. Catur tidak akan difatwakan haram di Indonesia. Namun hukum makruhnya juga tidak dapat dihilangkan karena sifat permainannya yang sangat membuang-buang waktu,” kata Tengku dikutip tempo.co   Diponegoro Main Catur Catur dimainkan oleh berbagai kalangan dan dipertandingkan mulai dari tingkat RT hingga dunia. Salah satu tokoh sejarah yang suka main catur adalah Pangeran Diponegoro. Sejarawan Peter Carey dalam biografi Pangeran Diponegoro, Kuasa Ramalan , mengungkapkan kesukaan Diponegoro yaitu berkebun, memelihara burung, dan main catur. Di tempat semadinya di Selarejo dan Selarong, Diponegoro membangun kebunnya dengan menanam bunga, sayuran, buah-buahan, dan pepohonan. Dia membanggakan tanah Jawa yang subur. Dalam otobiografinya, Babad Dipanegara , dia menyebut berbagai jenis binatang yang menemaninya selama masa semadinya yang sunyi: ikan di Selarejo; kura-kura, burung tekukur, buaya, dan harimau selama semadi rimbanya di sepanjang Perang Jawa; dan burung-burung perkutut dan kakatua kesayangannya ketika diasingkan di Manado dan Makassar. "Di tempat pengasingan pun dia menghabiskan banyak waktu dengan kakatuanya," tulis Peter Carey. Dalam pandangan Jawa, kedekatan dengan alam dan binatang semacam itu merupakan pantulan kepekaan dan keutuhan rohani seorang manusia. Inilah gambaran keadaan yang tepat disebut sebagai kesatria pengembara ( satrio lelono ) dalam kesusastraan wayang Jawa. “Dia juga suka sekali main catur,” tulis Peter Carey. Peter Carey menyebut seorang perempuan yang sangat dihargai oleh Diponegoro, yaitu Raden Ayu Danukusumo, putri Sultan Hamengkubuwono I dan ibunda Patih Danurejo II (menjabat 1799-1811). “Perempuan itu disebutnya dalam babad karyanya sebagai teman bermain catur, suatu permainan yang sangat disukai Diponegoro,” tulis Peter Carey. Bagi Diponegoro, Raden Ayu Danukusumo tak sekadar teman main catur. Perempuan ini terkenal karena pengetahuannya tentang bacaan Islam-Jawa dan penguasaannya terhadap aksara pegon, dua macam kemahiran yang dikagumi Diponegoro, yang juga menulis dalam huruf pegon. Termasuk di antara naskah koleksi Raden Ayu Danukusumo adalah karya Nuruddin ar-Raniri dalam bahasa Melayu, Bustan as-Salatin  (Taman Raja-raja), dan karya Muhammad ibn Fadl Allah al-Burhanpuri, al-Tuhfa al-mursala ila ruh an-Nabi  (Kiriman Cenderamata kepada Roh Nabi). “Rupanya keduanya adalah jenis naskah yang konon telah dipelajari oleh Diponegoro di masa mudanya,” tulis Peter Carey.*

  • Affandi dan Pengakuan Karya Zainal Beta

    KERTAS A4 itu segera berwarna kecoklatan setelah “berselimut” adonan tanah liat dan air. Dengan sebilah potongan bambu, tangan Zainal Beta beberapakali mengoleskan adonan itu. Setelah hampir semua bidang kertas itu dilumuri “adonan”, Beta mengganti “senjatanya” dengan potongan bambu lebih kecil. Sret…sret…sret! Tiga menit kemudian, kertas putih bersih itu telah menjadi sebuah lukisan tanah liat. “Ini yang saya buat, lukisan bergambar Bastion Bone,” ujarnya kepada Historia  yang menghitung waktu pengerjaan sembari merekam dengan kamera ponsel, 15 Oktober 2019. Seni lukis tanah liat itu merupakan metode melukis baru yang ditemukan Beta pada 1980. Bastion Bone hanya satu dari sekian koleksi Beta di “kantornya”, sebuah ruang eks penjara bawah tanah di salah satu sudut benteng Fort Rotterdam, Makassar. Ruang itu diberinya sebutan “Fort Rotterdam Art Gallery”. Di sanalah ia mengais rezeki lewat membuka kursus seni lukis maupun menjajakan karya-karyanya kepada turis manapun yang tengah berkunjung ke benteng.  Beta mengaku bukan termasuk seniman yang gemar jual mahal. Karya-karyanya dibanderol mulai harga Rp150 ribu sampai Rp10 juta, tergantung permintaan dan besar-kecilnya dimensi lukisannya. “Kepuasan saya bukan karena lakunya berapa, tetapi apa yang kita inginkan bisa kita tuangkan dalam karya. Ah, di situ saya punya kepuasan waktu kadang tidak ada duit. Paling mahal ada kolektor dari Jerman, dia tebus lukisan bergambar sebuah gubuk dan tukang becak seharga Rp10 juta di 2004. Yang paling banyak peminat biasanya ada pengunjung minta dilukiskan lukisan potret orang,” imbuhnya. Lukisan "Bastion Bone" dari tanah liat yang dibuat Zainal Beta dalam tempo tiga menit (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Melukis potret menurut Beta sebetulnya bukan “bidangnya”. Jika lukisan lain bisa dibuatnya dalam 30 menit sampai 1-2 jam, lukisan potret butuh waktu minimal empat hari. Namun demi sesuap nasi, Beta coba beradaptasi pada tipe lukisan yang bukan keahliannya itu. “Alhamdulillah dengan ini saja (mengajar, menjual lukisan), dengan perjuangan saya cukup. Kadang juga ada workshop yang saya diundang. Memang saya membuat karya kecil-kecil ini menyesuaikan kemampuan orang. Kan banyak teman pelukis kasih harga tinggi. Nah, saya tidak. Kadang kan banyak tamu cari cenderamata. Makanya kita tidak hanya harus kreatif melukis tapi juga kreatif memasarkan juga,” lanjut Beta. Meski dunia senirupa mengakui Beta sebagai penemu aliran baru seni lukis, Beta tetap sosok yang “membumi”. Ia juga bukan sosok yang banyak menuntut penghargaan. Penghargaan dunia internasional justru yang menghampirinya seiring lahirnya karya-karya Beta. Selain Philip Morris Award untuk kompetisi seni lukis se-ASEAN 1986, di mana Beta masuk dalam 60 besar, ada juara ketiga lomba poster pemberdayaan perempuan di Beijing, atau delapan besar karya terbaik Lomba Karikatur Anti-Apartheid pada 2003.  Meski begitu, pengakuan dari mancanegara itu tak serta-merta membuat Beta dihormati seniman tanah air. Masa-masa awal Beta melukis dengan “tanah-air”, cibiran, pandangan sebelah mata, hingga sebutan gila sering menghampirinya. Mengubah Cibiran Jadi Sanjungan Foto itu sudah kusam. Warnanya pun pudar. Beta memeliharanya dengan  melapisinya menggunakan plastik transparan. Beta memajangnya di sebidang sempit sekat tripleks yang membagi dua setengah ruang “galerinya”.  Potret yang paling dibanggakan Beta itu merupakan foto “ candid ” yang memotret dirinya tengah berbincang dengan maestro Affandi. Menurut Beta, pertemuannya dengan Affandi pada 1986 itulah yang membuka pintu pengakuan terhadapnya dari para seniman tanah air.  Itu terjadi di pameran “Nuansa Indonesia” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Oktober 1986. “Di pameran itu saya yang diutus ke ibukota bersama (wartawan harian Fajar Sinansari) Ecip, dari pembicaraan kawan-kawan setelah Temu Sastra Nusantara VI di Makassar. Saya juga ikut tata-tata dekorasi. Nah, di situ saya ketemu Affandi. Orang yang saya kagumi dari kecil,” kata Beta mengenang. Koleksi potret Zainal Beta bersama Affandi saat bersua di Jakarta (Foto: Repro Koleksi Zainal Beta) Saat pembukaan, Affandi berbicara di atas podium. Di hadapan para tamu undangan itulah Zainal Beta disanjung sang maestro. Beta pun heran ternyata Affandi sebelumnya sudah insyaf akan karya “tanah-air” Beta. “Dia bilang, ‘Berbanggalah Indonesia. Dari pelosok daerah kecil muncul di tengah kota dengan membawa segenggam penemuan. Inilah satu fakta bahwa Indonesia melahirkan penemu di abad ke-20. Adalah Zainal Beta’,” kata Beta. Pujian Affandi tentu membuat Beta kaget, bangga sekaligus nervous . Terlebih ketika Beta dipanggil ke podium bersanding dengan Affandi. “Saya disebut hebat. Penemu. Saya bilang enggak, Pak. Bapak (Affandi) yang hebat. Orang yang saya kagumi di Indonesia adalah bapak. Tapi dia bilang kemudian yang dia kagumi malah saya. Metode lukis sudah saya rombak dan dunia (seni) sekarang terbuka. Kelak generasi baru akan muncul lagi dengan media-media baru,” sambungnya. Zainal Beta alias Arifin, pelukis tanah liat pertama dunia asal Makassar (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Momen itu pun beredar hingga ke Makassar lewat berbagai suratkabar. Keluarga besar Beta yang tadinya menganggapnya gila, perlahan insyaf dan mau “menerima” Beta yang memilih seni sebagai jalan hidupnya.  “Bayangkan, baru ada pengakuan dari yang lain 1986 berkat Affandi, sejak saya memulainya tahun 1980. Keluarga juga heboh lihat berita itu. Saat saya pulang, saya berpesan, kalau ada dari keluarga yang mencari sesuatu dalam perjuangannya, tolong dukung. Saya sudah buktikan dengan usaha sendiri. Kalau kita cintai bakat itu, kejar (dukung) dia,” tutur Beta. Sejak itu, nama Beta dihormati kalangan seniman se-Indonesia. Pada 1990, Beta bahkan ditawari kursi Ketua Pakarti Indonesia Timur oleh Menteri Kehakiman Ismail Saleh. Namun, Beta enggan menerimanya. “Saya bilang, berat ini (jabatan ketua). Saya belum siap. Tapi setidaknya perjuangan saya 10 tahun dihargai dengan dikasih kartuanggota Pakarti,” ujar Beta menutup perbincangan.

  • Tak Payah Dirundung Fitnah

    DEMI mendapatkan tulisan nama masing-masing di telapak tangan, anak-anak perempuan di Simpang Tonang Tolu rela berkumpul di rumah Sitti Rohana (Kudus). Mereka rela mengantri. Mereka amat gembira begitu Rohana selesai menuliskan nama mereka. Telapak tangan terus mereka pandangi begitu sudah tertera nama diri sendiri. Mereka hafalkan tiap goresan. “M-A-L-A, Mala,” kata Rohana mengajari teman sebayanya. Kesenangan itu ternyata memantik dengki sebagian orang. Ada saja yang mencibir aktivitas Rohana dan kawan-kawannya dengan bilang “banyak lagak” atau menyamakan Rohana dengan anak lelaki. Rohana diam saja. Ia tak ambil pusing. Ketika kembali ke Koto Gadang di usia 17 tahun, Rohana langsung terpikir untuk mengajari teman-teman sebayanya membaca, menulis, menjahit, dan keterampilan lain. Rumah neneknya pun ia jadikan tempat untuk mengajar kecil-kecilan. Usaha dari nol itu berbuah manis. Muridnya terus bertambah dan makin beragam latar belakang. Namun, tetap saja usaha Rohana mengajar tak mulus. Pemikiran kolot beberapa anggota masyarakat yang kadung memfosil sulit dikikis. Ada saja tetua di kampungnya yang berpikir pendidikan yang diberikan hanya membuat anak-anak peremuan menjadi berani melawan adat karena merasa pintar. Ada pula yang khawatir kalau anak perempuan Koto Gadang menjadi pandai membaca, mereka akan berkirim surat dengan lelaki Belanda dan menikah dengan orang luar Koto Gadang. Rohana tak marah atau tersinggung dengan sikap mereka. Ia paham, maksud baik tak selamanya disukai orang. “Saya sama sekali tak berniat buruk apalagi sampai merusak budi pekerti anak gadis di Koto Gadang. Semua yang saya lakukan ini seamta-mata demi kemajuan kaum perempuan agar mendapat pendidikan yang layak,” kata Rohana seperti dikutip Fitriyanti dalam Wartawan Perempuan Pertama Indonesia: Rohana Kudus . Sayangnya, lambat-laun penolakan makin kencang. Terlebih setelah tahun 1908 Rohana menikah dengan Abdul Kudus yang aktivis pergerakan. Sebagian orang tua murid takut anak-anak mereka ditangkap Belanda karena ikut dalam gerakan politik ketika belajar tulis-menulis di rumah Rohana. Puncak dari ketakutan itu, mereka minta sekolah Rohana ditutup dengan alasan tak ada gunanya dan meresahkan. Banyaknya gunjingan dan tekanan membuat Rohana dan Abdul memilih pindah ke Kampung Maninjau. Mereka menetap di sana selama dua tahun, kemudian pindah ke Padang Panjang selama setahun. Selama di tanah rantau, Rohana tetap berkirim surat pada mantan murid-muridnya di Koto Gadang. Dia ingin sekali kembali mengajar di Koto Gadang. Keresahaannya itu ia sampaikan pada Abdul. “Barangkali selama ini saya berjalan sendiri memajukan pendidikan kaum perempuan di kampung.  Mereka merasa dilangkahi dan mengaggap saya telah melanggar adat-istiadat,” kata Rohana, sedih. “Apakah itu yang menurut Adik membuat mereka tersinggung?” kata Abdul menenangkan istrinya. “Memang tidak selamanya tujuan baik kita diterima dengan hati terbuka.”   Selama berada di tanah rantau, Rohana merasa kesepian karena tak punya kegiatan selain mendampingi Abdul. “Apalagi kita belum dikaruniai anak,” Rohana mengeluh. Setelah diskusi itu, keduanya sepakat untuk kembali ke Koto Gadang. Rohana sudah menyusun rencana agar usahanya membuka sekolah tak mendapat penolakan lagi. Begitu tiba di Koto Gadang, Rohana meminta bantuan Ratna Puti, istri seorang jaksa yang posisinya cukup dihormati. Lewat bantuan Ratna Puti, sekira 60 perempuan yang terdiri dari istri para pemuka adat, agama, dan pejabat daerah (para Bundo   Kanduang ) berhasil diundang dalam pertemuan perempuan. Dalam pertemuan itu, Rohana mengutarakan pentingnya membuka sekolah bagi anak perempuan di Koto Gadang untuk menyiapkan mereka menjadi orang yang mandiri. “Mari bersama-sama kita berniat mengatasi masalah pendidikan untuk kaum perempuan di Koto Gadang. Kita memerlukan sebuah sekolah resmi bagi kaum perempuan, yang tentu saja atas izin pemerintah daerah,” kata Rohana. Rohana Kudus bersama murid-muridnya. (Repro Wartawan Perempuan Pertama Indonesia: Rohana Kudus ). Pesan Rohana menyentuh hati para Bundo   Kanduang . Mereka pun mendukung pembentukan perkumpulan perempuan yang dinamai Kerajinan Amai Setia (KAS) pada 11 Februari 1911. Lewat perkumpulan ini, didirikanlah sekolah kepandaian putri yang mengajarkan baca-tulis, menjahit, dan menyulam. Rohana duduk sebagai presiden KAS dan sebagai direktris perguruan itu. Pada awal berdirinya, seluruh kegiatan sekolah KAS dilakukan di rumah nenek Rohana, seperti sekolah yang dulu ditentang. Makin hari muridnya makin banyak. Rumah nenek Rohana pun tak cukup menampung. Lebih lagi, lembaga rintisan Rohana sudah resmi berdiri, maka timbullah keinginan untuk membangun gedung sekolah dan sekretariat perkumpulan KAS. Namun, seperti diceritakan Tamar Djaja dalam Rohana Kudus, Srikandi Indonesia, kala itu Rohana tak punya uang. Rekannya yang orang Belanda, Tuan Groenevel, kemudian mengusulkan agar Rohana mengadakan lotere untuk menggalang dana. Rohana pun bergegas mengurus izin penyelenggaraan lotere ke pemerintah setempat. Setelah izin penyelenggaraan lotere berhasil didapatkannya, gunjingan tetangga kembali menerpa. Sebagian tokoh adat, agama, dan Bundo Kanduang  tak setuju dengan penyelenggaraan lotere karena dinilai haram. Sementara menurut Rohana, penyelenggaraan lotere ini didasari niat baik untuk pembangunan fasilitas pendidikan. Berhasil menampik satu rintangan, datang lainnya. Rohana dituduh mengkorupsi uang lotere yang berhasil digalang. Tuduhan itu diperparah dengan mengaitkan pekerjaan Abdul yang lebih banyak dikerjakan di rumah. Mereka menuding Abdul tak punya penghasilan hingga membuat Rohana harus memenuhi kebutuhan hidup dan mengutip uang pembangunan sekolah. Tudingan kejam itu membuat Rohana menangis. Ia menolak segala tudingan itu, membela kehormatan Abdul, dan membuktikan kalau ia tidak bersalah di pengadilan Bukittinggi. Pada 21 September 1914, Rohana menyerahkan catatan keuangan KAS pada pejabat negara W Frijling BB di Batavia untuk diperiksa. Pada 6 November 1914, Rohana juga menyerahkan buku catatan keuangan KAS ke pejabat lain, Van Ronkel. Kedua pejabat Hindia-Belanda itu tak menemukan ada kejanggalan. Pemeriksaan keuangan itu selesai pada 1916. Rohana tidak terbukti bersalah. Selama proses persidangan, posisi Rohana digantikan pengurus lain. Namun, ketika kasusnya selesai, alih-alih dikembalikan ke posisinya, Rohana malah disisihkan. Salah seorang murid Rohana yang ia bebaskan dari buta huruf hingga bisa berbahasa Belanda, menjegalnya. Rohana tak diperbolehkan menjabat direktris dan kepala perkumpulan lagi. Rohana juga difitnah berselingkuh dengan lelaki Belanda. Fitnah warga Koto Gadang itu berangkat dari fakta di masa itu hanya Rohana yang berani keluar-masuk kantor pemerintahan dan berkawan dengan lelaki Belanda. Fitnah itu diperparah dengan komentar miring, Rohana belum kunjung hamil padahal sudah menikah sembilan tahun. Namun saat fitnah belum punya anak sedang kuat menerpanya, Rohana hamil. Rohana girang bukan kepalang. Ketika kehamilannya sampai ke telinga banyak orang, tetap saja ada yang memfitnahnya dengan mengatakan kehamilan Rohana merupakan hasil hubungan gelap dengan petinggi Belanda. Sontak saja Rohana marah. “Kita buktikan saja nanti. Biarlah anak ini lahir berkulit hitam dan berhidung pesek!” kata Rohana. Hujaman fitnah itu membuat Abdul khawatir pada istrinya yang tengah hamil. Abdul percaya betul pada istrinya. Tak mungkin Rohana mengutip uang atau main serong dengan lelaki lain. Rohana dan Abdul akhirnya pindah ke Bukittinggi lantaran kondisi Koto Gadang sudah tidak nyaman. Di sanalah anak pertama mereka, Djasma Juni, lahir pada 1917. Rohana pun tak pusing memikirkan Amai Setia yang sudah diambil alih muridnya. Ia lebih memilih membangun sekolah baru di Bukittinggi, Rohana School.*

  • Hamka dan Patung Nabi Muhammad

    SUATU hari Hamka benar-benar dibuat heran. Keberadaan patung Nabi Muhammad SAW di New York, di luar akal sehatnya. Dalam muhibahnya selama 4 bulan (25 Agustus–25 Desember 1952) di Amerika Serikat (AS) itu, Hamka banyak dibuat terkejut. Dan soal patung Nabi Muhammad SAW tersebut menjadi yang paling menohok baginya. Namun di lain pihak, hal itu membuatnya sadar bahwa pengetahuan tentang Islam di negeri Paman Sam saat itu masih sangat kecil. Ada rasa ironik dalam diri Hamka jika mengingat Sang Nabi yang berupaya menjauhkan umatnya dari patung-patung seperti itu sekarang malah dipatungkan. Di dalam memoarnya, 4 Bulan di Amerika , Hamka menelusuri keberadaan patung tersebut dan menghubungkannya dengan pemahaman tentang Islam di negara Barat, khususnya AS. Menurutnya kebudayaan manusia memberi wujud kepada para Nabi setelah agama Nasrani memasuki Roma. Sejak itu, banyak ahli-ahli seni yang berlomba memahat patung menyerupai Nabinya. Hamka sendiri meyakini bahwa Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Daud, Isa, dan Muhammad sangat anti kepada patung. “Seluruh Nabi itu adalah mempunyai kesatuan maksud, yakni menghancurleburkan segala sesuatu yang dijadikan rintangan untuk menghadap langsung kepada Tuhan Yang Maha Esa,” kata Hamka. Maka ketika banyak seniman yang membuat patung menyerupai Nabi, itu merupakan sebuah kesalahan. “Kita tidak dapat bersikap masa bodoh, kalau Nabi Muhammad dipatungkan pula,” lanjut Hamka. Hasil penelusuran Hamka mendapati bahwa pembuat patung itu adalah pemahat Charles Albert Lopez. Dugaannya si pemahat itu berasal dari Amerika Selatan, yang masyarakatnya saat itu umum memeluk agama Katolik. Ia tidak tahu dari mana si pemahat mendapatkan gambaran tentang Nabi Muhammad, tetapi Nabi digambarkan gagah perkasa, kejam, pakai sorban, dan memegang pedang. Hamka semakin heran karena patung Nabi Muhammad itu ada di tengah usaha AS mendekati bangsa-bangsa Timur. Terlebih ketika di International Centre di Washington, Hamka dan sejumlah pemimpin agama yang hadir mendapat sebuah buku kecil berisi propaganda AS tentang usaha negara itu dalam mendamaikan dunia. Bagi Hamka buku itu cukup bagus. Tetapi di bagian akhir terdapat gambar tiga orang Nabi: Musa, Isa, dan Muhammad. Maksudnya sebagai lambang keberagaman tiga agama: Yahudi, Nasrani, dan Islam. Namun bukankah tindakan-tindakan itu malah membuat usaha mendekati bangsa Timur, yang mayoritas Muslim, semakin jauh? Seorang pejabat Amerika lalu bertanya kepada Hamka mengenai kesannya tentang buku tersebut. Diterangkan oleh Hamka bahwa patung dan gambar Nabi Muhammad yang ada di dalam buku itu telah menghancurkan maksud baik mereka. Karena tidak ada seorang pun yang akan senang Nabinya dipatungkan. Bahkan di zaman keemasan seni Islam pun tidak ada satu seniman yang berani menggambarkan sosok Nabi Muhammad. Bukan hanya haram hukumnya, tetapi sebaik-baiknya pelukis dan pemahat tidak akan ada yang dapat membayangkan rupa Nabi Muhammad. “Syukurlah kami mengetahui bahwa maksud buku ini adalah baik, tetapi mereka tidak mengetahui bahwasanya seluruh dunia Islam tidaklah suka akan patung Nabi Muhammad. Dan sekali-kali tidak ada patung Nabi Muhammad,” kata Hamka. Hamka lalu menyarankan agar mengganti gambar Nabi Muhammad itu dengan gambar Ka’bah jika memang buku itu akan disebar. Mengenai hal itu, Hamka sempat membicarakannya dengan George Fadle Hourani, seorang profesor di Michigan University yang seorang Kristen Arab. Demi mendengar curhatan Hamka, sang profesor hanya menggelengkan kepala dan berkata: “Pengetahuan bangsa Amerika tentang kebudayaan Islam dan kebudayaan Arab masih sangat sedikit. Bagaimana Nabi Muhammad dapat dipatungkan, kami orang Arab yang berhak lebih dahulu.” “Melihat contoh kejadian ini, dan melihat dalil-dalil perbuatan bangsa Amerika disegi lain, nyatalah bahwa maksud menghina atau menyinggung perasaam muslimin tidak ada. Mereka sekarang ini sedang berusaha betul-betul hendak mendekati hati umat Islam. Tetapi karena pengetahuan mereka masih sedikit, kadang-kadang yang disangka menghormati, telah menimbulkan penghinaan,” terang Hamka.

  • Gunakan Adat Jawa, Pernikahan Bung Hatta Bikin Hadirin Tertawa

    SUATU hari tak lama setelah Indonesia merdeka, Hasjim Ning kedatangan pamannya, Bung Hatta. “Bung Hatta memberi tahu kepadaku bahwa ia akan menikah tanggal 18 November 1945 di Megamendung di daerah Cipayung. Dimintanya aku dan ayahku yang ketika itu menetap di Bogor agar ikut menghadiri perkawinannya,” kata Hasjim dalam otobiografi berjudul Pasang Surut Pengusaha Pejuang . Kabar dari Bung Hatta itu membuat Hasjim senang. Sanak-famili Bung Hatta, termasuk Hasjim, telah lama menanti-nanti pernikahan Bung Hatta. Namun, mereka tak berani mengungkit soal itu lantaran Bung Hatta sudah berpendirian tak akan menikah sebelum Indonesia merdeka. “Bung Hatta sadar apa yang sedang dia prioritaskan,” kata Halida Hatta, putri bungsu Bung Hatta. Maka ketika hari pernikahan Bung Hatta dan Rahmi Rachim –putri Abdul Rachim sahabat Bung Karno– tiba, mereka suka-cita menghadirinya. Tidak banyak memang yang hadir dalam resepsi pernikahan itu karena Bung Hatta ingin resepsi sederhana. “Tidak lebih dari 30 orang, kiraku. Selain dari keluarga kedua pengantin, tentu saja Bung Karno yang menjadi ‘mak comblang’ pernikahan itu ikut hadir bersama Bu Fatmawati,” sambung Hasjim. Bung Karno merupakan orang yang amat memperhatikan Hatta dalam urusan yang satu itu. “Waktu saya bertanya kepada Hatta, gadis mana yang dia pilih, jawabnya: ‘Gadis yang kita jumpai waktu kita berkunjung ke Instituut Pasteur, yang duduk di kamar sana, yang begini, yang begitu, tapi saya belum tahu namanya,” kata Bung Karno kepada R. Soeharto, dikutip dalam Saksi Sejarah . Gadis pujaan Hatta itu ternyata Rahmi Rachim, anak kawannya sendiri. Maka, Bung Karno pun mengajak R. Soeharto ke rumah Abdul Rachim guna melamar Rahmi untuk Hatta. Entah karena jasa baik Bung Karno itu atau bukan, pernikahan Hatta digelar menggunakan adat Jawa. “Aku tidak tahu siapa yang punya gagasan agar diadakan upacara adat Jawa, yakni kedua pengantin melakukan upacara menginjak telur. Mungkin gagasan itu tumbuh karena kehadiran Bung Karno saja,” kata Hasjim. Lantaran menggunakan adat Jawa itulah Hasjim ketiban sial. Tanpa pemberitahuan apapun sebelumnya, Hasjim diminta mewakili Bung Hatta menemani Titi, adik Bu Rahmi, melakukan ritual injak telur. Permintaan itu jelas membuatnya kaget lantaran sebagai orang berdarah Minang-Palembang, dia tak tahu bagaimana cara melakukan ritual itu. Hasjim terpaksa menerimanya lantaran permintaan itu datang dari Bung Hatta. “Tidak seorang pun yang memberi petunjuk bagaimana mestinya melakukannya secara khidmat, maka aku menginjaknya tak ubahnya bagai tentara Jepang yang menginjak mangsanya meski aku sudah berusaha agar seindah orang menari payung. Dengan sendirinya, upacara adat Jawa yang halus itu menjadi sebuah lelucon yang menerbitkan air mata karena tertawa yang tak tertahankan dari para hadirin,” kenang Hasjim. Setelah resepsi pernikahan selesai, Hasjim berkesempatan ngobrol santai dengan Bung Karno. Di situlah dia mengorek bagaimana Bung Karno bisa “menaklukkan” Bung Hatta sehingga mau menikah padahal banyak sanak-familinya gagal untuk urusan satu itu. “Aku menagih janjinya, yang akan menikah bila Indonesia merdeka. Sekarang kita sudah merdeka, apa lagi. Kalau ia masih menolak, itu namanya tidak normal. Indonesia sulit dipimpin oleh orang yang tidak normal,” kata Sukarno menjawab pertanyaan Hasjim. “Kenapa dengan gadis yang berbeda jauh usianya?” Hasjim bertanya lebih jauh. “Jangan berlagak bodoh, Hasjim. Apa jij kira aku tidak sebanding dengan Fatma?” sahut Sukarno. “Kenapa presiden dan wakil presiden sama-sama memilih gadis muda?” “Supaya kelihatan vitalitasnya prima,” jawab Sukarno, membuat Hasjim tertawa.

  • Kemasan Anyar Nagabonar

    DALAM kelamnya malam yang diselingi sambaran petir, Nagabonar lahir ke dunia. Ia tumbuh tanpa ayah. Nagabonar kecil (diperankan Azka Dimas) tampil sebagai anak nakal tukang mencuri. Namun, ajaran keras emaknya (Rita Matumona) membuatnya insyaf. Maka ketika tumbuh dewasa (diperankan Gading Marten), Nagabonar tak lagi jadi pencopet. Ketika merantau ke Medan dari desanya di tepi Danau Toba pada 1937, Naga kaget melihat perilaku culas banyak orang, termasuk kawan lamanya Lukman (Rifky Alhabsyi), di kota besar itu. Dari Lukmanlah Naga mengenal mendapat kawan-kawan baru macam Mariam (Roby Tremonti), Bujang (Ence Bagus), Murad (Fermana Manaloe), hingga Sulung Panjaitan (Donny Damara) yang oleh kawanannya dijadikan figur paling dihormati. Mereka inilah yang lantas jadi pasukan Naga saat perang kemerdekaan. Dalam perjalanannya, Naga kepincut seorang gadis indo, Kirana (Citra Kirana). Gadis yang dianggap tercantik se-dunia itu jadi rebutan Naga, Mariam, Yoshida (Harry Ponto) si jenderal Jepang, dan Bastian (Delano Daniel) si kapten Belanda. Bagaimana kelanjutannya? Ah , lebih asyik Anda tengok sendiri di bioskop-bioskop tanah air. Nagabonar: Reborn  akan beredar mulai 21 November 2019. Para pemeran Nagabonar: Reborn dalam konferensi persnya, minus pemeran utama Gading Marten (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Di Bawah Bayang-Bayang Nagabonar Lawas Siapa tak kenal Nagabonar? Publik lintas generasi rasanya familiar dengan figur fiktif ciptaan Asrul Sani yang selegendaris Kabayan di cerita-cerita orang Sunda ini. Setiap penikmat filmnya punya kenangan masing-masing entah dari menonton langsung saat film pertamanya, Nagabonar (1987), ditayangkan bioskop maupun di televisi ketika film tersebut ditayangkan tiap 17 Agustus dan Hari Pahlawan 10 November di era 1990-an. Ibu saya berkisah, sehari setelah menontonnya di sebuah bioskop di Manggarai, Jakarta pada 3 Juli 1987, dia melahirkan saya yang lalu juga akrab dengan film yang diperankan Deddy Mizwar itu. Maka ketika Nagabonar: Reborn dirilis, teringat betul film Nagabonar- nya Asrul Sani itu yang tersedia di banyak situs streaming maupun YouTube . Jadi jangan heran bila banyak penonton masa kini bakal membandingkan Nagabonar milenial dengan versi lawasnya. Terutama, membandingkan Nagabonar versi Deddy Mizwar dengan versi Gading Marten. “Memang berat waktu kita punya ide mengangkat cerita Nagabonar. Karena kita tahu setiap film seperti itu (akan dibandingkan, red. ). Tapi kalau saya lihat ketika Gading memainkan peran ini total, satu menit-dua menit memang kita merasa begitu. Tetapi setelah itu hilang bayangan (Deddy Mizwar, red. ) itu. Yang kita lihat sosok Nagabonar Gading Marten,” ujar Gusti Randa, produser merangkap pemeran dokter Zulham, ayah Kirana, dalam konferensi pers screeningNagabonar: Reborn , Selasa (19/11/2019) di XXI Plaza Indonesia. Gusti Randa, produser film Nagabonar: Reborn (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Tim produksi mengklaim mereka mengangkat banyak konteks baru agar lebih dekat dengan kaum milenial sebagai sasaran. Oleh karena itu beberapa alur cerita dikembangkan lebih jauh untuk melahirkan sosok Nagabonar baru. Tim penulis skenario dan sutradara mengaku diberi kebebasan mengembangkan dasar cerita asli milik Asrul. “Ada tantangan Nagabonar harus dibungkus dan di- update supaya mendekati pada masyarakat kekinian. Juga tantangan isu-isu dan kontekstual yang relevan dengan realitas sekarang. Seperti saat dia merantau ke kota, dia menghadapi realitas majemuk hingga kemudian tumbuh menjadi seorang nasionalis sejati,” kata Fermana, anggota tim penulis skenario, menimpali. Setidaknya ada dua pesan yang ingin disampaikan sutradara dalam Nagabonar: Reborn . Pertama, soal jiwa nasionalisme seorang Nagabonar. Kedua, tentang Nagabonar sebagai seorang yang sangat menghormati perempuan, terutama sosok ibu. Jadilah Nagabonar versi anyar ini insyaf ketika masih kecil karena selalu teringat pesan ibunya. “Ada satu adegan saat perundingan garis demarkasi, di mana dia tak mau sejengkal tanah pun dikuasai Belanda. Saya mencoba menyampaikan pesan-pesan nasionalisme itu. Lalu dia sosok yang menghormati perempuan. Emaknya saat menasihati menanamkan budi baik, dia selalu berkata ‘jangan mencuri kalau kau tak mau masuk neraka.’ Mungkin bisa menjadi inspirasi bagi anak muda. Tentu ini baik untuk Indonesia maju,” ujar Dedi Setiadi sang sutradara. Dibungkus ala FTV, Apa Kata Dunia? Dari tontonan dua jam di layar bioskop, Nagabonar: Reborn menyisakan kesan sebuah suguhan FTV (film televisi). Itu tersua baik dari sisi sinematografi, music scoring , pemilihan angle , maupun alur cerita yang ke sana-sini. Celakanya, Nagabonar: Reborn tidak ditopang riset yang kuat. Properti dan wardrobe- nya sekadar mengulang kengawuran film-film bertema sejarah lain. Seragam serdadu, misalnya, tiada beda antara zaman kolonial, pendudukan Jepang, dan perang kemerdekaan. Ini didapati pada sosok Sulung Panjaitan, pengganti sosok Mayor Pohan, yang sudah berpakaian ala pejuang 1945, berkemeja dan mengenakan sidecap, meski di film tertera tulisan tahun 1937. Lebih ngaco lagi, tampak serdadu Jepang bersenjatakan Austen. Padahal, senapan otomatis asal Australia ini baru diproduksi pada 1942. Kalaupun sudah beredar, baru terbatas di lingkungan militer Australia yang baru masuk Indonesia pada 1946. Adegan tembak-menembak antara Kapten Bastian dengan Nagabonar secara historis terbalik logikanya. Bastian seorang perwira Belanda yang naik pangkat jadi mayor, namun menyandang pistol Nambu buatan Jepang. Sementara, Nagabonar menyandang dua pistol Vickers buatan Belanda. Tampilnya sejumlah tokoh tanpa kejelasan kaitan dengan kehidupan Nagabonar juga amat mengganggu. Itu terlihat misalnya di scene kemunculan eks Menko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani. Dedi mengungkapkan, dia menyampaikan pesan baru soal nasionalisme dalam adegan perundingan garis demarkasi dengan Belanda. Padahal, di Nagabonar (1987) racikan sineas M.T. Risyaf, soal ini dihadirkan lewat adegan Nagabonar enggan manut pada permintaan Belanda. Jiwa nasionalis dan patriotik yang dihadirkan Deddy Mizwar justru lebih “nendang” ketimbang Gading. Yang pasti, bumbu percintaan terlalu berlebihan ditonjolkan dalam film ini, mengalahkan tema kehidupan Nagabonarnya sendiri. Yang bikin ambyar adalah perangai Nagabonar terhadap Kirana, yang awalnya merupakan pacar kapten Belanda Bastian. Tiba-tiba, Naga menculiknya dan memaksanya jadi pacar. Hal itu bertolakbelakang dari sifat Nagabonar versi 1987, yang meski ceplas-ceplos dan konyol namun tetap tak sampai hati memaksa Kirana (diperankan Nurul Arifin) untuk menjatuhkan pilihan padanya. Tak ada adegan menculik Kirana di versi 1987, yang ada cinta itu datang dengan sendirinya tanpa paksaan. Kirana hadir di hati Naga untuk menggantikan kehilangan separuh jiwanya yang hilang, yakni si Bujang (Afrizal Anoda), sahabatnya yang gugur. Sayangnya di Nagabonar: Reborn sosok Bujang hanya jadi pelengkap. Padahal, dalam versi 1987 Bujang bukan figuran dalam hidup Naga. Suka-duka selalu dilalui bersama oleh keduanya. Ketika anak buah Naga yang lain berhamburan saat diserang Belanda, Bujang tetap di samping Naga dan tak pernah gentar menghadapi Belanda. Namun, produser punya alasan mengapa percintaan lebih ditonjolkan dalam Nagabonar: Reborn . “Karena kita tahu penonton kita adalah kaum milenial. Yang everlasting bagi kaum milenial adalah percintaan,” ujar Gusti Randa. Alasan itulah yang mungkin menjadi latar pemilihan Dedi Setiadi sebagai sutradara. Dedi malang-melintang di FTV maupun sinetron. Karena ini pula pesan-pesan nasionalisme yang disampaikannya sangat gamblang sehingga acapakali tak pas dengan suasana era 1930-an sampai era perang kemerdekaan yang jadi latar waktu film. Sekalipun begitu, Nagabonar: Reborn tetap pantas diapresiasi. Di tengah “invasi” film-film Hollywood di tanah air, ia berani muncul dengan pesan nasionalisme lewat tampilan baru. Penonton juga akan disuguhkan gambaran kehidupan dan budaya masyarakat Batak di pesisir Danau Toba yang jarang diangkat ke sebuah film. Sejumlah adegak kocak yang mengocok perut juga menjadi nilai plus tersendiri film ini.

bottom of page