Hasil pencarian
9597 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Dua Rute Migrasi Leluhur Nusantara
Penutur Austronesia yang diyakini bermigrasi dari Taiwan bukan satu-satunya populasi ras Mongoloid yang pernah mendiami Nusantara. Ada kelompok lain yang diperkirakan lebih dulu bermigrasi ke Nusantara, bergerak dari Asia Daratan, melewati rute barat. Austronesia adalah istilah yang diberikan ahli linguistik untuk menyebut rumpun bahasa yang dituturkan oleh orang di Kepulauan Indo-Malaysia dan kawasan Oceania. Rumpun bahasa Austronesia terdiri dari 1.200 bahasa dan digunakan oleh sekira 270 juta penutur. Sebelum masa kolonialisme Eropa, persebaran bahasa Austronesia mencapai lebih dari separuh belahan dunia. Penuturnya meliputi Madagaskar di ujung barat hingga Kepulauan Paskah di ujung timur Pasifik, serta dari Taiwan-Mikronesia di batas utara hingga Selandia Baru di batas selatan. Kepala riset Balai Arkeologi Yogyakarta, Harry Widianto , menjelaskan kawasan penutur bahasa Austronesia di Indonesia sangat luas. Indonesia berada di tengah kawasan sebaran. “Penghuninya melingkupi 60 persen lebih dari seluruh penutur Austronesia di dunia,” kata Harry . Mayoritas penutur bahasa Austronesia adalah orang-orang di Indonesia bagian barat. Sedangkan orang-orang di Indonesia timur hingga kini memakai bahasa non-Austronesia atau Bahasa Papua. Secara bahasa, warisan Austronesia ditandai dengan kata-kata yang mirip dalam bunyi dan makna. Beberapa kata, seperti bilangan satu sampai sepuluh di berbagai kawasan persebaran Austronesia, menunjukkan kekerabatan itu. Misalnya, dalam bahasa Jawa kuno, hitungan satu sampai sepuluh, yaitu sa , rwa , telu , pat , lima , nem , pitu , wwalu , sanga , sapuluh . Dalam bahasa Minangkabau, hitungan satu sampai sepuluh, yaitu: ciek , duo , tigo , ampek , limo , anam , tujuah , salapan , sambilan , sapuluah . Dalam bahasa Bugis, hitungannya menjadi seddi , dua , tellu , eppa , lima , enneng , pitu , aruwa , asera , seppulo . Tak jauh beda dengan Tagalog,bahasa resmi di Filipina, yaitu isá , dalawa , tatló , ápat , lima , ánim , pitó , waló , siyám , sampû . Dua Cabang Migrasi Banyak ahli mengatakan bahwa persebaran rumpun bahasa Austronesia yang luas disebabkan proses perpindahan bangsa penutur rumpun bahasa itu ke luar dari daerah asalnya. Peter Bellwood, dosen arkeologi di School of Archaeology and Anthropology Australian National University, dalam Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia , mengajukan teori bahwa daerah asal bangsa Austronesia adalah Taiwan dan pantai Cina bagian selatan yang kemudian turun ke selatan melewati Filipina dan masuk ke Nusantara. Daerah itu menghasilkan bukti budaya khas Austronesia yang paling tua di Asia Tenggara. Seperti situs Hemudu di teluk Hangzou, Provinsi Zhejiang yang berumur 7.000 tahun. Selanjutnya, pada 5.000 tahun yang lalu, mereka menyebar ke berbagai bagian dunia. Mereka tiba di Nusantara paling tidak 4.000 tahun yang lalu, sebelum mereka mencapai wilayah Pasifik pada 2.000 tahun yang lalu. “Rute migrasi mereka itu yang diyakini teori Out of Taiwan , yang menyebut wilayah Cina bagian selatan, kemungkinan wilayah Fujian atau Zhejiang, adalah daerah asal mereka sebelum bermigrasi ke Taiwan,” kata Harry. Bangsa Austronesia banyak dikaitkan dengan dimulainya budaya Neolitik di Nusantara. Munculnya budaya ini dianggap sebagai peristiwa penting dalam sejarah pendudukan manusia di wilayah itu karena membawa perubahan yang signifikan.Budaya khas ini ditandai oleh kehidupan masyarakat yang menetap, penjinakan tanaman dan hewan, peralatan batu yang dipoles, pembuatan tembikar, perhiasan, dan pemujaan leluhur. Semua itu diyakini dibawa para penutur Austronesia sembari mereka berdiaspora. Rupanya penutur Austronesia bukan satu-satunya yang dihubungkan dengan persebaran budaya Neolitik. Kemungkinan ini diungkap pula oleh Truman Simanjuntak, arkeolog senior di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, dalam “The Western Route Migration: a Second Probable Neolithic Diffusion to Indonesia” termuat di New Perspectives in Southeast Asian and Pacific Prehistory . Herawati Supolo-Sudoyo, peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. (Fernando Randy/Historia). Menurut Truman data baru dari berbagai disiplin ilmu mengungkapkan kemungkinan masuknya budaya Neolitik lain dari Asia Tenggara Daratan yang kemudian masuk ke Indonesia bagian barat. Ini nampak ketika melihat temuan di situs Gua Sireh di Sarawak, Malaysia (Borneo), memiliki lebih banyak kesamaan dengan yang ada di Semenanjung Malaysia dan Thailand daripada yang tersebar melalui jalur Taiwan dan Filipina. Rute migrasi ini pun mencapai Indonesia barat lebih awal ketimbang migrasi rute timur oleh para penutur Austronesia. Mereka diperkirakan mulai ber migrasi ke Nusantara sekira 4.300–4.100 tahun lalu. Pembawanya mungkin orang-orang yang berbahasa Austroasiatik , rumpun bahasa yang berbeda dengan Austronesia namun diduga tetap berasal dari satu rumpun yang sama. Truman menjelaskan,Austronesia dan Austroasiatikberasal dari bahasa Austrik yang dipakai di Yunan. Bahasa itu kemudian terpecah dan berkembang masing-masing. Bahasa Austroasiatik digunakan di sekitar Asia Tenggara Daratan. Adapun bahasa Austronesia digunakan di sekitar wilayah kepulauan, seperti Taiwan, Filipina, Pasifik, Madagaskar, hingga Pulau Paskah, sesuai persebarannya. Bedanya adalah produk budayanya. Austroasiatik dicirikan dengantembikar berhias tali. Sedangkan Austronesia ditandai dengan gerabah berslip merah. Bukti Genetika Kemungkinan leluhur Nusantara datang lewat jalur barat itu dibuktikan secara genetika. Herawati Supolo-Sudoyo, peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, menjelaskan adanya pembauran gen leluhur penutur Austronesia dengan penutur Austroasiatik yang menetap di Indonesia bagian barat. Misalnya, gen manusia Jawa membawa gen Austroasiatik dan Austronesia. Begitu pula manusia etnis Dayak dan manusia di Pulau Sumatra yang nampak pada etnis Batak Toba dan Batak Karo. Dua gen leluhur itu kian tak muncul semakin ke timur. Misalnya, penduduk Lembata dan Suku Lamaholot, Flores Timur, membawa genetika Papua (Melanesia) dengan persentase paling tinggi dan sedikit genetika bangsa penutur Austronesia. Lebih ke timur, misalnya penduduk di Pulau Alo r , semakin kuat genetika Papua nya . “Latar belakang genetis itu bergradasi. Dari (Indonesia, red .) barat Austronesia yang dominan, lalu gen Papua dimulai dari NTT, Alor, dan seterusnya (di Indonesia bagian timur, red .),” kata Herawati. Genetika juga membuktikan migrasi kelompok Austroasiatik ini terjadi lebih dulu dibandingkan migrasi Austronesia. Dari asalnya di Yunan, mereka tak pergi ke Taiwan tapi langsung ke selatan menuju Asia Tenggara Daratan, seperti Vietnam dan Kamboja, menyusuri Semenanjung Malaya hingga ke Sumatra, Jawa, dan Kalimantan. Dua kelompok sesama ras Mongoloid itu (penutur Austronesia dan Austroasiatik) kemudian berbaur di Sumatra, Jawa, dan Kalimantan . Jika kini seluruh masyarakat akhirnya berbahasa Austronesia, itu karena penuturnya lebih bisa mempengaruhi penutur Austroasiatik kendati lebih dulu tiba di Nusantara.
- Kisah Mantri Hutan Selamatkan Buron PKI
PADA pertengahan 1944, satuan Polisi Militer Angkatan Darat Jepang (Kempeitai) menggelar razia besar-besaran di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka mengincar tempat-tempat persembunyian para pemberontak –dalam hal ini dimotori oleh PKI– yang kerap merepotkan pemerintah militer Jepang. Penyergapan oleh Kempeitai itu merupakan buntut dari kegiatan anggota PKI yang sejak 1942 terus melakukan gerakan bawah tanah menyebarkan propaganda anti-Jepang kepada masyarakat. Kegeraman militer Jepang semakin bertambah mana kala para kader PKI tersebut melakukan sabotase terhadap sejumlah fasilitas seperti lapangan terbang, penyulingan minyak, galangan kapal, kereta api, dan sebagainya. Tindakan-tindakan itulah yang membuat militer Jepang akhirnya memutuskan bergerak memberantas para pembuat onar ini. Dijelaskan Sidik Kertapati dalam Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 bahwa antara 1942-1944 sudah banyak kader PKI yang ditangkap dan dihukum mati. “… Hampir semua (gerakan) PKI di Jawa Timur telah dihancurkan, kader-kadernya ditangkap dan kekejaman yakni siksaan berlanjut dan menjalar sampai ke Jawa Tengah dan Jawa Barat.” Meski banyak kadernya yang diberantas, aksi-aksi propaganda PKI itu tetap berlangsung. Salah satu alasannya adalah keberadaan tempat persembunyian di Karesidenan Pekalongan yang tidak mampu dihancurkan tentara Jepang. Selain karena lokasinya yang berada jauh di hutan jati Sukowati, Pemalang Selatan, keberadaan seorang mantri kehutanan asal Ambon bernama K. Holle juga turut memberi pengaruh besar. Berdasarkan penelitian Anton E. Lucas, dalam Persitiwa Tiga Daerah: Revolusi Dalam Revolusi , disebutkan kalau Holle merupakan penduduk Pulau Nusa Laut, Kepulauan Maluku, yang dilahirkan pada 1914. Ayahnya, Jonathan Holle, adalah seorang pendeta di Ambon. Setamat dari MULO, ia dikirim ke Malang untuk memperdalam bahasa Belanda sebelum memasuki Pusat Pendidikan Zending Protestan di Oestgeest, Belanda. Namun meski telah dikirim ke Malang Holle tidak kunjung menguasai bahasa Belanda. Ia pun gagal mengikuti jejak ayahnya menjadi pendeta. Holle lalu memutuskan melanjutkan pendidikannya di Sekolah Kehutanan di Bogor. Setelah selesai, ia memulai karirnya di hutan jati Sukowati sesaat setelah militer Jepang tiba. “Baru dalam masa pendudukan itu ia memasuki gerakan bawah tanah, dan membantu menyembunyikan tokoh-tokoh pelarian pada keluarga bawahannya,” tulis Lucas. Holle sangat mengenal daerah hutan Sukowati. Sebagian besar waktunya dihabiskan menjaga dan meneliti hutan tersebut. Karena itu ia mampu menyembunyikan dan mempertahankan keberadaan tempat pesembunyian para pelarian PKI di sana dengan baik. Ditambah, dengan memanfaatkan kedudukannya sebagai pejabat senior kehutanan di Sekowati, Holle dapat membuat kamuflase yang sangat rapi, yakni dengan mengangkat sejumlah pelarian menjadi bawahannya. Dituturkan oleh seorang bawahan Holle dari Lasem yang diwawancara Lucas pada 1976, Holle telah mendapat kepercayaan dari militer Jepang. Buktinya tindakan apapun yang ia lakukan, pemerintah tidak pernah mengusiknya. Bahkan ketika ia mengangkat delapan pelarian menjadi mandor pengawas penebangan pohon jati dan membantu pembagian jatah makanan serta pakaian bagi para romusha. “Setiap hari dapur di dekat rumah Holle menerima pemberitahuan berapa banyak romusha yang harus diberi makan. Kalau ada 30 orang, kami memuat kupon untuk 60 orang. Jatah beras secara resmi adalah 200 gram per hari, tetapi kami melipatduakannya. Kempeitai tidak pernah datang. Kalau bukannya Holle yang bertugas, tak seorang pun berani melipatduakan jatah. Ia menguasai segalanya.” Di samping menyediakan tempat bersembunyi, Holle juga aktif memberikan bantuan dana untuk berbagai keperluan kegiatan para buron PKI itu. Sebenarnya sumber dana tersebut tidak langsung diperoleh dari Holle melainkan datang dari pemerintah militer Jepang. Saat itu para pekerja romusha di Sukowati mendapat upah setiap harinya berdasarkan jumlah batang pohon yang berhasil dikumpulkan. Selain upah perhari, para pekerja itu mendapat hadiah berupa uang dan potongan kain setiap tiga bulan sekali. Hadiah itulah yang langsung diambil oleh para pejuang bawah tanah sebagai tambahan dari dana berbagai keperluannya. Menurut Lucas alasan mereka mengambil jatah itu adalah “Para romusha telah mendapatkan cukup jatah pangan dan pelayanan yang baik.” Menurut Holle, sumber dana lain (yang jumlahnya tidak kalah besar) diterima para pelarian dari seorang pemilik perkebunan teh dan karet asal Swiss bernama Victor Stober. Sang pengusaha yang posisinya terancam setelah Belanda keluar dari Indonesia, diselamatkan oleh Holle. Berkat bantuan itu, Stober memberikan sebagian hartanya kepada Holle dalam bentuk mata uang Belanda yang kemudian ditukarkan ke mata uang Jepang untuk kepentingan pergerakan. “Entah karena rasa terima kasih atas campur tangan dan perlindungan Holle, atau entah karena dipaksa, Stober juga memberikan kepada Holle senapan berlaras ganda dan sebuah radio yang sangat bermanfaat bagi kelompok Pemalang (anggota PKI),” ungkap Lucas. Peran Holle yang tidak kalah penting juga terlihat saat ia membantu kelompok Pemalang memperoleh informasi perkembangan peperangan, utamanya terkait posisi Jepang di dalam perang. Lewat perangkat radio yang diberikan Stober, Holle berhasil memecah kode pembatas yang dipasang Jepang sebagai bagian dari upaya memutus jaringan informasi mancanegara ke Indonesia. Caranya yaitu dengan membongkar bagian penerima sinyal di dalam perangkat radio, sehingga sinyal dapat diterima kembali. “Dan orang-orang Jepang tidak pernah mengetahui bahwa segelnya telah dirusak,” tulis Lucas.
- Kesendirian Gajah Atraksi
“DAME… Me… Ayo kita pulang Me,” suara lantang mahout (pawang gajah) Wagino membelah keheningan sore. Dame berjalan menyeruak dari balik pepohonan. Seharian sudah gajah betina itu berjalan-jalan di bukit serta melahap rumput dan dedaunan. Belalainya menjelajah punggung sang mahout yang membawa tas goni berisikan pisang.
- Mimpi Juara Luciano Leandro Diraih di Ibukota
MIMPI menjadi juara mendorong Luciano Leandro memutuskan harus mengadu nasib ke negeri orang. Maka ketika kesempatan untuk merumput di negeri seberang menghampirinya, ia tak menyia-nyiakannya. Ia tak peduli tujuan yang akan dicapainya merupakan negeri yang sama sekali tak dia kenal. Masih kental di dalam ingatan Luciano kala meminta izin ayahnya untuk merantau sekira 15 ribu kilometer ke belahan bumi lain. “Karena saya ingin berhasil. Waktu mau ke Indonesia, aku bilang mau juara di sini. Papa (Cecilio Leandro, red .) saya juga bilang agar jangan takut gagal. Kalau gagal, mereka tetap akan menyambut saya pulang,” kata Luciano mengenang, kepada Historia . Bersama Marcio Novo, rekan senegaranya, ia lalu merintis karier di sepakbola Indonesia bersama PSM Makassar pada Liga Indonesia II musim 1995-1996. Sayangnya meski tampil apik dan kerap masuk line-up utama, Luci gagal mengentaskan ambisi juaranya. PSM sekadar runner-up setelah di final keok 0-2 dari Bandung Raya. Musim berikutnya, tim berjuluk Juku Eja justru hanya mampu melaju sampai semifinal. Luci dkk. disingkirkan Persebaya Surabaya yang lantas keluar sebagai juara. Sementara di Liga Indonesia IV 1997-1998, kompetisi dihentikan di tengah jalan akibat huru-hara Mei 1998. Luci lantas pilih mudik ke Brasil. Luciano Gomes Leandro kini masih ingin berkiprah di Indonesia sebagai pelatih (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Menerima Pinangan “Macan” Kemayoran Sepulihnya kondisi Indonesia pasca-Mei 1998, kompetisi bergulir lagi. Pada 1999, Luci comeback ke Liga Indonesia usai menerima pinangan Persija Jakarta yang tengah berbenah di bawah kepemimpinan eks-manajer timnas Indonesia IGK Manila. “Di 1999, Persija merekrut Luciano Leandro, gelandang elegan asal Brasil yang sebelumnya membela PSM Makassar. Lini depan diperkuat lagi oleh Miro Baldo Bento, pemain lama Persija asal Timor Timur yang sempat bermain di Arseto. Di bawah mistar gawang, berdiri tegar Mambolou Mbeng Jean, kiper setinggi 188 cm asal Kamerun,” ungkap IGK Manila dalam biografinya yang ditulis duet jurnalis Hardy Hermawan dan Edy Budiyarso, Panglima Gajah, Manajer Juara . Namun, Luci belum bisa tampil di musim tersebut lantaran masih terikat kontrak setahun dengan salah satu klub lokal Brasil. Luci baru benar-benar berseragam Persija pada Liga Indonesia VII musim 2000-2001. “Waktu saya di Brasil ada telefon dari Jakarta. Dari manajernya, Ibu Diza Rasyid Ali. Dia tanya apakah saya mau main di Persija. Saya lihat Jakarta (adalah) ibukota. Hidup di Jakarta kupikir untuk keluarga saya ada lebih untuk mereka, lebih ada tempat yang mereka lebih enjoy. Lebih banyak fasilitas. Di Makassar juga aman tapi di Jakarta aku melihat sesuatu yang baru. Gara-gara itu aku pindah ke Persija,” sambung Luci. Setelah terjadi deal dengan nilai kontrak yang enggan dia sebut, pada 2000 pemain asal negeri samba itu kembali ke Indonesia. Di Persija ia bermain bersama pemain Brasil lain Antonio Claudio. Di permulaan milenium ketiga itulah Luci bisa meneguk segarnya gelar juara. Birahinya akan prestasi sudah mulai terjawab di Brunei Darussalam lewat gelar juara Toyota League of Champions Invitational Cup, 25 Februari-8 Maret 2000. “PSSI menunjuk Persija karena juara dan runner-up Liga Indonesia V PSIS Semarang, dan Persebaya sudah bertarung di Piala Champions dan Piala Winners Asia,” kata Manila. Gelar juara Persija diperoleh setelah di penyisihan mempecundangi BAFA XI (Brunei) dan Pahang FC (Malaysia), menggilas Thai Farmers Bank 2-0 di semifinal dan menggasak Happy Valley (Hong Kong) 4-3 di final. Luci mencetak gol ketiga Persija, yang membuatnya ditetapkan sebagai topksorer sepanjang turnamen dengan total empat gol. “Ya kita (Persija) juara di Brunei dan saya cetak satu gol di final. Kostum di final yang jersey putih masih saya simpan dan pajang di hotel saya (Hotel Makassar di Rio de Janeiro). Karena itu jersey momen di mana keluarga saya bisa lihat saya juara. Karena ternyata pertandingan final itu semua televisi dari Brasil bisa nonton (disiarkan). Keluarga sampai telefon saya dan itu bikin saya bahagia sekali,” kata Luci. Skuad Persija dalam perayaan juara Liga Indonesia 2001, di mana nampak Luciano Leandro di tengah-tengah tim (Foto: Repro "Panglima Gajah, Manajer Juara) Sepulangnya dari Brunei, Luci bersama Bambang Pamungkas-Gendut Dony-Budi Sudarsono jadi pemain kunci Persija di Liga Indonesia. Puncak dari kerjasama apik mereka, Persija juara setelah mengalahkan PSM 3-2 di laga final nan sengit. “Bonus juara? Saya tidak ingat berapa. Tapi lebih dari uang adalah sesuatu yang kamu ada di dalam. Sesuatu yang kamu happy . Karena aku ke Indonesia ingin juara. Sekarang saya berhasil dan rasanya sangat senang. Ikut dengan tim diarak keliling kota bersama fans (Jakmania),” lanjutnya. Namun, itu momen “manisnya” saja. Sepanjang kiprah Luci bersama Persija, ia turut mengalami momen-momen “pahit” akibat keberingasan suporter. Saat itu permusuhan keras antara Jakmania dan Viking –suporter fanatik Persib Bandung– tengah dimulai. Luci acapkali melihat sendiri aksi-aksi brutal suporter yang lebih dari yang pernah ia lihat semasa memperkuat PSM. “Itu yang tidak pernah aku alami di Brasil, friend . Kalau main di Bandung bersama Persija sulit sekali. Sampai mereka (suporter) di pinggir lapangan juga. Mereka lempar-lempar batu ke saya. Sempat kena di muka. Tapi walau luka, aku tetap mau main,” tambah Luci. Momen saat Luci terluka terjadi kala Persija bertandang ke Bandung, 23 Maret 2000. Skor akhir 3-2 untuk sang tamu membuat suporter tim tuan rumah tak terima dan menyerang Luci cs. “Yang cetak gol itu Rochy Putiray, saya, dan Dedy Umarella. Gol saya dari crossing Rochy dan pakai heading saya bikin gol. Penonton (Persib)… waaah, mereka marah sekali sampai lempar-lempar (benda ke lapangan) gara-gara saya pergi begini,” lanjut Luci sambil memeragakan selebrasi pegang telinga usal mencetak gol. Luciano Gomes Leandro dengan latar foto lawas koleksinya semasa berseragam Persija (Foto: Instagram @lucianogomesleandro) Kericuhan terjadi setelah wasit meniup peluit panjang. Para pemain, pelatih, dan ofisial Persija mesti dikawal polisi untuk ke luar stadion. “Kita keluar dengan truk tentara. Kita di- drop di tempat tentara, baru kita pulang ke Jakarta. Saya memang heran karena tak alami yang seperti ini di Brasil. Tapi teror penonton tidak membuat saya menyerah, friend .” Pada 2001, Luci dkk. kembali mempersembahkan gelar juara Brunei League of Champions Invitation Cup. Karier Luci bersama Persija berjalan hingga 2004. “Kontrak saya habis 2004 dan pensiun. Jadi Persija klub profesional terakhir saya. Aku tidak bilang lebih cinta PSM atau Persija. Dua tim itu memang saya akan selalu cinta. Ada dua history yang sangat baik pada (karier) saya. Kalau saya ke Makassar, aku yakin mereka akan sambut dengan hati besar. di Jakarta semua orang kenal sama saya. Jadi, bagaimana saya tidak cinta dua tim itu?” tandas Luci.
- Jenderal Nas dan Kamerad Khruschev
ABDUL HARIS NASUTION dikenal sebagai jenderal antikomunis. Namun sekali waktu, Nas –panggilan akrabnya – juga bisa bersikap luwes mengalahkan egonya. Ada momen bersejarah dalam hidup Nas yang mengharuskannya rapat dengan tokoh komunis. Siapakah itu? “Minggu ke-3 Februari 1960, Indonesia sedang menerima kunjungan Nikita Khruschev PM USSR (Union of Soviet Socialist Republics),” tutur Nas dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5: Kenangan Masa Orde Lama. Di Lapangan Udara Kemayoran, Nas dan Khruschev berkenalan. Keduanya berjabatan tangan. Melalui penerjemahnya, Khruschev berkata bahwa Nas masih muda. Demikianlah kesan pertama pemimpin salah satu negara komunis terbesar di dunia saat itu. Pertemuan berlanjut di Kedutaan Besar Uni Soviet. Dalam sebuah resepsi, Nas datang hampir bersamaan dengan Presiden Sukarno. Saat akan memasuki ruangan resepsi, para hadirin harus melalui patung Vladimir Lenin – tokoh revolusi Bolshevik yang begitu dihormati rakyat Soviet. Khruschev terlihat mengambil sikap sempurna yang diikuti rombongannya untuk melakukan penghormatan militer kepada patung Lenin. Ketika giliran Nas memasuki ruangan, dia hanya berlalu karena tidak mengetahui aturan protokol pihak Kedubes USSR harus demikian. Nas boleh lega aksi melengosnya tidak dipermasalahkan oleh Khruschev. Kendati demikian, Nas jadi kikuk karena baru sadar belakangan. Namun di luar dugaan, Khruschev malah menyambut dan merangkulnya. Keramahan itu menyebabkan Nas tertekan oleh perut Khruschev yang cukup tambun itu. Khruschev menyempatkan berbincang agak lama dengan Nas. Khruschev menanyakan kabar keluarga Nas. Pertanyaan itu dijawab Nas dengan mengatakan bahwa istrinya, Sunarti tengan menantikan kelahiran anak ke-2 mereka. Khruschev tanya lagi, apakah Nas menginginkan anak laki-laki atau perempuan. “Perkenalan ini saya rasakan aneh. Bagi saya, ia adalah pimpinan komunis sedunia dan saya tahu, bahwa saya adalah orang yang dianggap musuh nomor satu oleh komunis Indonesia,” kenang Nas. Selama safarinya di Indonesia, Khruschev menginap di paviliun Istana Bogor. Nas menyempatkan berkunjung ke sana atas permintaan Khruschev. Kepada Nas, Khruschev menyerahkan senapan berburu sebagai kenang-kenangan. Nas menuturkan, “(senapan) langsung ia taruh pada bahu saya pada posisi menembak, tapi ialah yang menarik platuknya ( trekker ). Kami sama-sama tertawa!” Keakraban yang ditampilkan Khruschev ternyata bukan basa-basi belaka. Padahal, pimpinan PKI, D.N. Aidit pernah menyampaikan cerita yang kurang positif mengenai Nasution kepada Khruschev dalam satu pertemuan di Moskow. Namun di luar dugaan, Khruschev menanggapinya dengan kata-kata penghargaan terhadap pribadi Nasution. Hal ini diketahui Nasution dari salah seorang anggota politbiro PKI yang telah bebas dari penjara Pulau Buru. “Memang pandangan-pandangan tersebut tidaklah bisa lepas sama sekali dari persoalan politik, namun juga tidak bisa lepas sama sekali dari pandangan manusianya,” ujar Nas. Khruschev sendiri dalam memoarnya Memoirs of Nikita Khruschev Volume 3: Statesman (1953—1964) menyinggung perkenalannya dengan Nas. Khruschev mengakui bahwa dia sering berbicara dengan Nas. Menurutnya, mereka saling menghormati satu sama lain. Dalam pertemuan tatap muka, Khruschev tidak mendapatkan gelagat Nas membenci Uni Soviet. “Dia tahu bagaimana menyembunyikan perasaannya, sehingga kami tidak punya alasan untuk berpikir bahwa ia memusuhi kami. Meski begitu, dia memang musuh,” tulis Khruschev.
- Ludruk Marhaen di Kiri Panggung
Gelanggang kebudayaan Indonesia pasca kemerdekaan memang cukup riuh. Bukan hanya pada ranah sastra, musik atau film, panggung seni pertunjukan pun turut masuk dalam pusaran di mana bangsa Indonesia tengah mencari identitas kebudayaannya. Salah satunya ludruk, teater rakyat asal Jawa Timur. Dan nama Ludruk Marhaen merupakan yang paling terkenal pada era 1950-an hingga 1965. Tak hanya menyematkan nama Marhaen yang terdengar politis, ludruk ini juga turut andil dalam pergulatan kebudayaan Indonesia saat itu. Semangat Revolusi Menurut Henri Supriyanto dalam Lakon Ludruk JawaTimur , Ludruk Marhaen didirikan oleh pelawak Rukun Astari dan Shamsudin pada 19 Juni 1949. Namun, kelompok ludruk asal Surabaya ini awalnya telah dibentuk sekitar tahun 1945, pasca Proklamasi. “Dan di jaman bergejolaknya api revolusi 1945 lahirlah sebuah rombongan ludruk yang terdiri dari anak-anak muda dan hidup terus sehingga kini di bawah nama 'Marhaen'. Sandiwara ini terpaksa menghentikan kegiatannya pada tahun 1948 karena terserak-sebarnya para anggota-anggotanya dan pada permulaan tahun 1950 dibentuk kembali dan berkedudukan di Surabaya,” tulis Harian Rakyat , 14 April 1958. Setelah lahir kembali pada 1950, Ludruk Marhaen mulai aktif mementaskan lakon-lakon terutama terkait revolusi dan patriotisme. Ludruk ini kemudian dikenal luas tak hanya di wilayah Surabaya maupun Jawa Timur. “Sejak itu sandiwara ludruk membuka tradisi baru dalam sejarah ludruk: drama tragedi dipanggungkan, dan bersamaan dengan zamannya, ia sepenuhnya didukung oleh gelora dan api patriotisme tetapi tanpa kehilangan wataknya yang khas sebagai ludruk yaitu satirenya. Dari saat berdirinya itulah, kini Ludruk Marhaen tetap mempertahankan tradisinya sendiri dan ia tetap memelihara kecintaan dan kesayangan publik terhadapnya, sejak dari Bung Karno sampai rakyat jelata,” tulis Harian Rakyat . James L. Peacock dalam Rites of Modernization: Symbolic and Social Aspects of Indonesian Proletarian Drama, menyebut Ludruk Marhaen muncul pada 1945 sebagai bagian dari sayap drama Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), yang pada 1950 menjadi Pemuda Rakyat. Meskipun Ludruk Marhaen tidak memiliki hubungan resmi dengan PKI atau Pemuda Rakyat, banyak aktornya terpegaruh ideologi komunis melalui ceramah, menghadiri kongres Pemuda Rakyat, atau ambil bagian dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Menurut Supriyanto, Rukun Astari mengatakan bahwa Ludruk Marhaen tidak berbau politik. Namun, Shamsudin mengatakan bahwa Ludruk Marhaen condong ke perjuangan kaum kiri. Dalam wawancara dengan Peacock, Shamsudin mengatakan bahwa panggung ludruk memang telah menjadi bagian dari propaganda politik. “Mereka yang mengkritik ludruk karena tidak menjadi seni, tidak berani berbicara tentang bagaimana ludruk diberangus oleh pemerintah kolonial, bagaimana Pak Gondo disiksa oleh Jepang karena perbuatannya. Kritik terhadap mereka yang menikmatinya... bagi kita di ludruk yang lahir dan menjadi hebat dalam kuali revolusi, ludruk menarik warisan heroik dari generasi rahim revolusioner!” kata Shamsudin. Pak Gondo yang dimaksud Shamsudin adalah Gondo Durasim atau yang lebih dikenal dengan sebutan Cak Durasim. Dia adalah seniman ludruk yang menciptakan parikan atau semacam pantun berbunyi, “ Pagupon omahe doro, melu Nippon tambah soro ” yang artinya “Pagupon rumah merpati, ikut Nippon tambah sengsara.” Parikan itu membuat Jepang geram. Sang seniman dibui dan setahun setelahnya meninggal dunia. Sukarno tertawa saat menonton Ludruk Marhaen di Istana Negara, 11 April 1958. (Perpusnas RI). Ludruk Marhaen dan Sukarno Di antara kelompok ludruk Surabaya, Ludruk Marhaen paling sering mendapat undangan Presiden Sukarno untuk pentas di Istana Negara. “Berdasarkan pengakuan Rukun Astari, tercatat 16 kali Ludruk Marhaen menerima undangan Presiden Sukarno,” kata Supriyanto. Dalam pidato Sukarno, Tjapailah Bintang-Bintang Di Langit! (Tahun Berdikari) tahun 1965 Ludruk Marhaen juga disebut Bung Besar. Sukarno mengatakan: "Kalau kaum tani menghasratkan tanah, tanah 'senyari bumi', apakah itu tidak masuk akal? Aku teringat kepada seniman-seniman Ludruk Marhaen yang mengatakan, 'Ia kalau punya pacul tapi ndak punya tanah, kemana pacul itu mesti dipaculkan!'" Beberapa lakon luruk seperti, Kunanti di Djogja , Memburu Menantu , Mawar Merah di Lereng Bukit , dan Pak Sakerah pernah difilmkan. Film Kunanti di Djogja digarap oleh sutradara Lekra, Tan Sing Hwat. Film ini kemudian menerima penghargaan kategori skenario terbaik dan hadiah khusus pada Festival Film Indonesia 1960. Sementara itu, pada 1961, kelompok ludruk bernama Tresno Enggal diindoktrinasi melalui ceramah oleh perwira militer yang menekankan tema "perang melawan Imperialisme dan Kolonialisme" dan "Cegah revolusi multi-level Sukarno dengan membangun negara secara moral, ekonomi, dan budaya,". Sejak itu Tresno Enggal membagi waktunya antara pertunjukan komersial untuk keuntungan sendiri dan tampil di kamp militer. “Marhaen dan Tresno Enggal adalah dua kelompok yang paling terkenal karena loyalitas partai atau faksi mereka: Marhaen kepada PKI, Tresno Enggal kepada tentara,” sebut Peacock. Selain dua ludruk tersebut, pada masa yang sama, di Surabaya berkembang berbagai ludruk seperti Ludruk Mari Katon, Ludruk Massa, Ludruk Sari Rukun, Ludruk Irama Enggal, Ludruk Massa Rukun, dan Ludruk Panca Bakti. Nama Marhaen ternyata tak hanya dipakai oleh Ludruk Marhaen Surabaya. Di Jombang, terdapat beberapa ludruk yang menyematkan nama Marhaen seperti Ludruk Banteng Marhaen, Ludruk Suluh Marhaen, dan Ludruk Marhaen Muda. Sebagian besar kelompok ludruk tersebut memiliki kecenderungan mendukung politik berhaluan kiri. Namun pasca peristiwa G30S 1965, semua hal yang terkait atau dikaitkan dengan PKI, termasuk ludruk kena imbasnya. Organisasi-organisasi ludruk dilebur dan pembinaannya berada di bawah militer. Ada pula yang senimannya dikirim ke Pulau Buru. Eks Ludruk Marhaen akhirnya dilebur menjadi Ludruk Wijaya Kusuma Unit I.
- Menak Sunda di Balik Murka Bung Karno
DARI semua presiden Republik Indonesia, hanya Sukarno yang berani melawan Amerika terang-terangan. Ini pernah dibuktikan lewat ucapan kerasnya, “ Go To Hell With Your Aid ” atau persetan dengan bantuan mu! Makian tersebut ditujukannya langsung kepada pemerintah Amerika Serikat. “Dia benar-benar melakukannya,” kenang Howard Jones dalam memoarnya Indonesia: The Possible Dream . Jones adalah Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia yang menyaksikan langsung murka Sukarno. Pada 25 Maret 1964, Sukarno tampil dalam sebuah acara peresmian gedung Wisma Mandiri di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta. Hadir disana sebanyak 2.000 orang, termasuk para diplomat dari berbagai negara. Sukarno memulai pidatonya dengan mengutip berita dari mingguan terkemuka Amerika Serikat. Dalam editorialnya, mingguan itu menyebutkan bahwa Indonesia berada di ambang keruntuhan ekonomi. Selain itu, diterangkan pula rencana Amerika Serikat yang akan menghentikan semua bantuan kepada Indonesia, kecuali Sukarno bersedia menarik pasukan gerilyawannya dari Malaysia. Menyikapi editorial itu, Sukarno tidak goyah. Dia sesumbar Indonesia yang kaya sumber daya alam akan berkembang secara ekonomi. Dengan lantang, Sukarno berseru: “Kami menerima bantuan dari banyak negara dan kami berterima kasih atas bantuan tersebut. Tapi kami tidak akan menerima hal itu dengan ikatan politik. Ketika ada negara yang menawarkan bantuan dengan ikatan politik, akan ku beri tahu mereka,” Sukarno diam sejenak lalu lanjut mengumpat dalam bahasa Inggris. “ Go to hell with your aid! ” Sambil menumpahkan amarahnya, Sukarno menujuk-nunjuk telunjuknya ke arah Jones. Hari itu, Jones hanya bisa makan hati menelan penghinaan yang dia terima dari Presiden Indonesia. Bantuan Semu AS Makian Sukarno kepada Amerika Serikat (AS) bermula dari perdebatan dalam Kongres AS seputar bantuan ekonomi terhadap Indonesia. Washington hanya mengenal dua pilihan: diteruskan atau berhenti. Melanjutkan bantuan ekonomi kepada Indonesia dipertimbangkan karena Sukarno sedang menyengketakan pembentukan Federasi Malaysia. Blok Barat, termasuk Presiden AS Lyndon Johnson mendukung pembentukan federasi. Sementara Sukarno menentangnya dan mengirimkan paramiliter ke perbatasan Malaya. Pada 24 Maret 1964, Menteri Luar Negeri AS Dean Rusk menyampaikan kebijakan kontroversial kepada Komisi Luar Negeri di Senat. Dia mengatakan bahwa pemerintah AS memutuskan untuk tidak memulai program bantuan baru untuk Indonesia. Rusk juga mengisyaratkan bantuan baru tidak akan diberikan sampai konfrontasi yang dilancarkan Sukarno berhenti. Pernyataan Rusk disiarkan media AS. Polemik ini semakin kusut setelah berbagai suratkabar Indonesia ikut bersuara memberikan tanggapan. Sukarno membalasnya dengan kata-kata cercaan sekaligus mempertegas posisi yang berlawanan dengan AS. “Seruan Sukarno mengobarkan kemarahan yang sudah bisa diduga,” tulis sejarawan Bradley Simpson dalam Economist with Guns. “Kedua lembaga di Kongres mengajukan rancangan undang-undang untuk menghentikan sepenuhnya bantuan Amerika untuk Indonesia.” Bukan tanpa alasan Sukarno melontarkan umpatan demikian. Dalam otobiografinya, Sukarno berkeluh kesah tentang sikap AS yang membuatnya merasa terhina. Menurut Sukarno, pemerintah AS mempermainkan Indonesia lewat tawaran bantuan yang sarat kepentingan. “Bantuan Amerika itu TIDAK gratis. Ia bukanlah satu hadiah dari seorang ayah yang kaya kepada anak yang melarat. Ini adalah satu pinjaman dan harus dibayar kembali,” kata Sukarno kepada jurnalis Amerika Cindy Adams, penyusun otobiografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia . Figur Djuanda Akan tetapi, mengapa Sukarno bisa punya nyali bersuara selantang itu? Ganis Harsono, juru bicara Departemen Luar Negeri berkisah tentang ihwal mulanya. Menurutnya ada sosok lain yang berperan dalam mengasup keberanian Sukarno agar tidak bergantung dengan bantuan asing. Sejak akhir masa kepemimpinan Presiden John F. Kennedy, sebenarnya Sukarno sudah gamang. Surat dari Kennedy pada Oktober 1963 mengisyaratkan pemutusan bantuan Amerika apabila Sukarno bersikeras melancarkan konfrontasi “Ganyang Malaysia”. Setelah menerima pesan Kennedy, Sukarno mengumpulkan semua pembantu-pembantunya ke Istana Bogor. Diantara mereka yang paling banyak bicara ialah Sudibyo, Ketua Front Nasional. Setelah satu persatu memberi masukan, tibalah giliran Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja. Menak Sunda ini dikenal sebagai intelektual bersosok lembut. Dengan suaranya yang lunak, Djuanda membuka buku catatannya. Dibaliknya lembar demi lembar, diperhatikannya angka-angka. Kemudian, tanpa hendak meninggikan suara, Djuanda menyimpulkan langkah yang mesti ditempuh. “Kalau kita harus makan batu, ya kita makan batu. Akan tetapi saya kira tak perlu sampai begitu,” kata Djuanda ditirukan Ganis Harsono sebagaimana terkisah dalam Cakrawala Politik Era Sukarno . “Dalam hal ini kita harus sama-sama menderita dengan rakyat yang selanjutnya akan rela memikul bersama-sama pula. Bagaimanapun perjuangan kita bisa menjadi fatal bila kita berusaha mendapatkan bantuan luar negeri, tapi tidak menemukan jiwa kita sendiri. Wejangan Djuanda tersebut disampaikan dengan penuh ketenangan tanpa emosi. Menurut Ganis, petuah dari Djuanda itulah yang menjadi tumpuan dari tindakan Sukarno untuk mempersetankan bantuan luar dengan mengatakan, “ Go to hell with American aid ” – persetan dengan bantuan Amerika. Dengan latar belakang sebagai teknokrat, Djuanda menjadi penopang Sukarno menjalankan pemerintahan. Hingga akhir hayatnya, Djuanda terus mendampingi Sukarno. Dia wafat pada 7 November 1963. Tiada sosok sepadan yang mampu menyamai Djuanda dalam mengimbangi Sukarno. Ketiadaannya digantikan oleh tiga wakil perdana menteri sekaligus: Soebandrio. Johannes Leimena, dan Chairul Saleh.
- Tjong Ling, Mata-mata Sultan Banten
Pramoedya Ananta Toer ditahan hampir setahun (1960-Agustus 1961) karena menerbitkan buku yang bersimpati kepada Tionghoa, berjudul Hoakiau di Indonesia . Buku itu berisi kumpulan tulisannya setiap minggu di Bintang Timur , koran Partindo (Partai Indonesia). Dalam buku itu, Pram menyebut bahwa Hoakiau (orang Tionghoa) di masa penjajahan Belanda mempunyai sumbangsih yang bisa diperhitungkan, tidak dapat disangkal, sekalipun ada juga Tionghoa yang merusak jasa itu. Misalnya, Sacanegara, seorang Tionghoa, berkong-kalikong dengan Ratu Syarifah Fatimah dari Banten, seorang keturunan Arab, yang bekerja sama dengan Belanda hendak menguasai Kesultanan Banten. Pram mengutip buku Fakta yang Dilupakan karya E.H. Bahruddin untuk menyebut contoh orang Tionghoa yang berjasa. Bahruddin menulis, karena Tionghoa bisa berdagang dan berhubungan, tidak jarang mereka menjadi mata-mata: “Demikian Sultan Ageng mempergunakan seorang Tionghoa sebagai mata-mata untuk menyelidiki Pasar Ikan dan kedudukan Belanda. Tionghoa itu yang dalam dokumen Belanda dinamakan de Chinees Jonge-ling (rupa-rupanya Tjong Ling atau Lin) kemudian ditangkap dan digantung setelah disiksa. Karena sikap Tionghoa yang sependirian dengan rakyat Indonesia, wajarlah bahwa VOC mencurigai mereka.” Pram tidak menjelaskan siapa Tjong Ling, mungkin karena Bahruddin juga hanya menyebut namanya tanpa menguraikan sepak terjangnya sebagai mata-mata? Mungkin karena itu pula, penulis sejarah Tionghoa yang mengutip buku Pram, berbeda soal siapa yang memerintahkan Tjong Ling menjadi mata-mata: Sultan Agung (berkuasa 1613-1645) atau Sultan Ageng (berkuasa 1651-1683)? Benny G. Setiono dalam bukunya yang tebal (lebih dari seribu halaman), Tionghoa dalam Pusaran Politik , menyebut Tjong Ling menjadi mata-mata Sultan Agung dari Mataram ketika menyerang VOC di Batavia. “Sultan Agung dari Mataram yang bertikai dengan kerajaan Banten meminta VOC untuk bersekutu dan membantunya, tetapi Belanda menolaknya. Belanda lebih menyukai bila tanah Jawa terpecah-pecah. Akibatnya Sultan Agung yang marah berusaha menyerang Batavia pada 1628 dan 1629,” tulis Benny. Sedangkan penulis lain, Hembing Wijayakusuma dalam Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke , menyebut Tjong Ling menjadi mata-mata bagi Sultan Ageng Tirtayasa. Pada masa itu, nasionalisme warga etnis Tionghoa sudah terlihat sejak VOC berniat menguasai Banten. Sumbangsih warga Tionghoa kepada perjuangan rakyat Banten melawan VOC tidak dapat begitu saja dilupakan. Akan tetapi, lanjut Hembing, sulit untuk menentukan jumlah mereka secara pasti sebab mereka telah banyak berasimilasi, sehingga bukan saja menggunakan nama pribumi tetapi juga memasuki adat istiadatnya. “Salah seorang di antaranya yaitu Tjong Ling, yang membantu Sultan Ageng Tirtayasa dengan cara menjadi mata-mata bagi Banten, dalam menyelidiki gerakan Belanda. Dalam sebuah dokumen Belanda, Tjong Ling dinamakan de Chiness Jonge-ling , yang kemudian ditangkap dan digantung setelah disiksa oleh Belanda,” tulis Hembing. Agaknya memang yang lebih tepat adalah Tjong Ling mata-mata Sultan Ageng Tirtayasa. Sebab, Bahruddin pun menyebutnya “Sultan Ageng” bukan “Sultan Agung.” Dan dia disebut setelah Sacanegara, seorang Tionghoa yang merusak jasa kaum Tionghoa. Dia bersekutu dengan perempuan keturunan Arab, Ratu Syarifah Fatimah, istri Sultan Zainul Arifin (1733-1748), untuk menguasai Kesultanan Banten. Supono Soegirman, mantan anggota Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin, sekarang Badan Intelijen Negara), dalam Intelijen: Profesi Unik Orang-orang Aneh , menjelaskan bahwa Sultan (Supono menyebutnya Sultan Agung) sudah paham benar arti penting seorang “agen lokal” yang beretnis Tionghoa, dengan pertimbangan agen yang diduga bermatapencaharian sebagai pedagang ini pasti memiliki “akses” dan kemudahan untuk mendekati sumber informasi terkait pelabuhan Sunda Kelapa dan basis-basis tentara Kompeni. “Kesediaan Tjong Ling membantu Sultan diduga bermotif kenyamanan berusaha…Di sinilah, kejelian dan keberhasilan Sultan yang telah merekrut Tjong Ling dengan memanfaatkan sentimen ‘nasionalisme’ dicampur dengan sentimen kenyamanan mencari nafkah,” kata Supono, yang pernah menjabat Ketua II Sekolah Tinggi Intelijen Negara yang didirikan BIN. Menurut Supono, nasib Tjong Ling yang tertangkap, disiksa, dan digantung, memang sebuah risiko yang harus dihadapi oleh seorang yang melakukan kegiatan intelijen bila gagal melindungi kedoknya. “Betapapun,” kata Supono, “Tjong Ling merupakan orang Tionghoa nasionalis yang pemberani.”
- Kisah Menteri Termuda dalam Sejarah Indonesia
Tangga Veranda Istana Merdeka, Jakarta, kembali menjadi saksi lahirnya putra-putri terbaik bangsa. Rabu (23/10/2019) sekira pukul 08.30 WIB, Presiden Joko Widodo resmi mengumumkan jajaran menterinya. Kompak berseragam batik, menteri-menteri terpilih dalam Kabinet Indonesia Maju ini akan mendampingi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf selama 5 tahun kedepan. Dari sekian menteri yang sebelumnya dipanggil oleh Jokowi, sosok Nadiem Makarim cukup mendapat sorotan. Diberitakan detik.com, pendiri perusahaan transportasi berbasis daring, Gojek , ini menjadi menteri termuda dalam jajaran pemerintahan Jokowi. Berusia 35 tahun, Nadiem resmi menempati kursi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. “Saya penggilnya mas. Mas Nadiem Anwar Makarim,” kata Jokowi. Namun Nadiem bukanlah menteri termuda dalam sejarah Indonesia. Masih ada Suprijadi, menteri masa Presiden Sukarno yang diangkat pada usia 22 tahun. Meski tidak pernah hadir, nama Suprijadi telah ditetapkan di dalam jajaran menteri kala itu. Pemimpin Pemberontakan Dilahirkan pada 13 April 1923 di Jawa Timur, Supriyadi dikenang sebagai pemimpin tertinggi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan pemimpin pemberontakan di Blitar masa pendudukan Jepang. Setelah menamatkan Europeesche Lagere School (setingkat Sekolah Dasar), Supriyadi menempuh pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (setingkat Sekolah Menengah Pertama), kemudian masuk Sekolah Pamong Praja di Magelang, Jawa Tengah. Namun masuknya Jepang ke Hindia Belanda membuat ia terpaksa harus meninggalkan sekolahnya. Supriyadi lalu mengikuti pelatihan khusus pemuda bentukan Jepang, Seimendoyo , di Tangerang, Jawa Barat. Ketika Oktober 1943 Jepang membentuk PETA, Supriyadi terlibat di dalamnya. Ia bergabung dengan diberi pangkat shodanco atau komandan pleton. Selama masa pelatihan, Supriyadi telah merencanakan perlawanan terhadap Jepang. Kabar kekejaman romusha di berbagai tempat yang santer terdengar membuat Supriyadi marah. Maka ketika ditempatkan di Blitar, Jawa Timur, Supriyadi telah bertekad untuk melawan. “Apa pun yang diperlakukan Jepang kepada kita, harus kita hadapi,” ucap Kemal Idris menirukan ucapan Supriyadi sebelum pemberontakan, dimuat Kemal Idris: Bertarung dalam Revolusi . Pada 14 Februari 1945, Supriyadi dan sejumlah tentara PETA berontak melawan Jepang. Dikisahkan Ratnawati Anhar dalam Pahlawan Nasional Supriyadi , sebagai tanda dimulainya pemberontakan, para perwira PETA menembakkan mortir sebanyak tiga kali ke arah Hotel Sakura, tempat yang banyak digunakan orang-orang Jepang. Setelah itu, Muradi melapor kepada Supriyadi bahwa persiapan telah sepenuhnya siap. “Shodanco Suprijadi masuk ke kantor Honbu dan menelepon Bapak Bupati Blitar dan Kepala Kepolisian Blitar, memberitahukan bahwa hari itu tentara PETA Blitar akan mengadakan latihan besar-besaran dengan menggunakan peluru tajam. Hal ini diberitahukan agar kedua pembesar itu jika menerima laporan dari siapa saja dapat menenangkan rakyat dan anak buahnya,” tulis Ratnawati. Namun kekuatan Jepang rupanya masih terlampau besar. Rapatnya pertahanan tentara Jepang membuat komando PETA mulai kesulitan mengatur pasukannya. Meski sempat merepotkan, perlawanan pasukan PETA akhirnya berhasil dipadamkan. Pemerintah militer Jepang yang marah, segera menangkap para pemberontak. Sebagian dihukum mati, sementara sisanya dipenjara. Tetapi Supriyadi tidak masuk di dalam keduanya. Keberadaan pemimpin pemberontakan itu tidak diketahui. Hilang Tak Berjejak Setelah Sukarno mengikrarkan kemerdekaan Indonesia, susunan pemerintahan pun segera dibentuk. Ada 12 menteri yang memimpin departemen dan 5 menteri negara yang ditunjuk dalam kabinet presidentil tersebut. Satu di antaranya Kementerian Kemanan Rakyat dengan menterinya Supriyadi, yang ketika diangkat masih berusia 22 tahun. Bibit Suprapto dalam Perkembangan Kabinet dan Pemerintahan Indonesia menyebut Supriyadi tidak pernah sekalipun menunjukan dirinya di depan para menteri. Semua orang bahkan tidak tahu apakah ia bersedia menduduki jabatan Menteri Kemanan Rakyat atau tidak. “Maka tanggal 20 Oktober 1945 Presiden mengangkat Sulyadikusumo sebagai Menteri Keamanan Rakyat ad Interim yaitu menteri sementara sebelum menteri yang asli ditemukan,” tulis Bibit. Hilangnya Supriyadi masih diselimuti misteri hingga kini. Belakangan banyak orang yang mengaku sebagai dirinya. Namun sejarawan meragukan kebenarannya. Bahkan mulai banyak orang yang mempertanyakan sosok Suprijadi, apakah dirinya memang benar-benar ada atau tidak. Jika memang sosok Suprijadi ini tidak jelas rimbanya, lantas mengapa bisa Sukarno mengangkatnya menjadi menteri? Rupanya di dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat , Sukarno pernah menceritakan kisah pertemuannya dengan Supriyadi. Si Bung dibuat terkagum-kagum dengan semangat militernya. DIkisahkan beberapa minggu sebelum pemberontakan, Suprijadi, Muradi, dan Sunanto datang menemui Sukarno yang saat itu sedang berada di rumah orangtuanya di Blitar. Dalam wajah serius, ketiga perwira PETA itu mengutarakan niat mereka melakukan pemberontakan. Kendati mengagumi semangat cinta tanah air para opsir muda itu, Sukarno menyatakan "tidak setuju" dengan rencana pemberontakan tersebut.






















