top of page

Hasil pencarian

9596 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Mengungkap Struktur Dinding Benteng Rotterdam

    ISBAHUDDIN, peneliti muda jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin Makassar, membawa saya mengelilingi benteng Rotterdam di Makassar. Dia begitu piawai melihat perbedaan dasar batuan yang melengket  pada dinding benteng. “Ini batuan tufa (bahasa ilmiahnya disebut tuff ), ini andesit,” katanya. “Ini crystal tuff , yang ini victric tuff ,” lanjutnya.  Dia meraba dengan penuh ketekunan batuan dinding itu dan menjelaskannya dengan sederhana. “ Tufa , itu kalau ditumbuhi lumut, hanya menempel di permukaan. Porinya kecil, jadi akar lumut tak bisa merangsek kedalamnya,” katanya.  Kamis, 25 Agustus 2016, menjelang senja itu, beberapa pengunjung memperhatikan kami menelisik batuan dinding. Ada wajah yang penuh keheranan, ada pula pengunjung yang mendekat untuk sekadar mendengarkan Isbahuddin membuat penjelasan singkat, lalu kemudian berlalu. Dia kemudian mengangkat sebuah bongkahan batu di bagian selatan benteng. Lalu seperti mencongkelnya dengan ibu jari yang ditengkuk dengan kuat. “Ini tufa , dipegang terasa halus. Dan kalau pecah, seperti tanah,” katanya.  Mengapa penting mengetahui struktur dan bahan yang digunakan benteng? “Itu akan menjelaskan bagaimana benteng ini dibangun. Dan bagaimana kekuatannya. Mengapa dominan memilih batuan tufa , saya kira itu keuntungan besarnya. Tufa tidak mudah retak dan peluru meriam hanya akan membuat bekas lubang kecil, atau bisa saja membuat peluru melengket,” kata Isbahuddin.  Isbahuddin menelisik asal muasal bahan batuan benteng Rotterdam selama tiga tahun. Dia menelusurinya menggunakan catatan dan arsip sejarah. Salah satunya adalah kajian David Bullbeck, arkeolog dari Australia, yang menjelaskan jika beberapa batuan yang digunakan dalam struktur benteng Rotterdam berasal dari Gowa. Dan penggambaran dari catatan harian lontaraq bilang kerajaan Bone, tentang gambaran orang-orang Bone yang menyiapkan batu untuk benteng Rotterdam dari Maros.  Dari bekal pengetahuan awal itu, ditemukanlah dua lokasi dimana sampel dari struktur benteng Rotterdam dari sebuah ekskavasi di bagian dinding selatan yang sama, antara batuan yang berada di Kampung Kuri, Desa Nison Balia, Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros. Dan sampel lainnya serupa dengan batuan di wilayah Pammakulang Batua di Desa Bonto Ramba, Kecamatan Palangga, Kabupaten Gowa. Penelitian ini menggunakan analisis petrografi di laboratorium Geologi Bandung (ITB) untuk mengetahui kandungan mineral yang terkandung dalam batuan penyusun benteng Rotterdam. Analisis kedua adalah spektrometri menggunakan X-ray Fluorescence Spectrometer (XRF)di laboratorium X-ray Dissfraction Fakultan MIPA Universitas Hasanuddin untuk mengetahui kandungan senyawa dalam batuan. Ada empat buah sampel batuan yang dijadikan titik pengujian. “Hasilnya semua tufa ,” kata Isbahuddin. “Tapi lebih detilnya, tufa dari Gowa jenisnya adalah crystal tuff dan dari Maros adalah victric tuff .” Perbedaan antara crystal dan victric tuff , dapat dilihat secara kasat mata. Yang crystal , batuannya agak kasar bila diraba sementara victric lebih halus. Tapi jenis batuan tufa mengandung clay (tanah liat) yang lebih dominan. Meski demikian, Isbahuddin juga tak menampik, jika beberapa batuan penyusun dari benteng Rotterdam, terdapat juga batuan andesit dan gamping (karst). “Tapi itu hanya ada beberapa persen,” lanjutnya. Pemugaran Benteng Rotterdam dibangun pertama kali pada abad ke-15 oleh Raja Gowa X, I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung dengan gelarnya Karaeng Tunipallangga Ulaweng menggunakan gundukan tanah sebagai struktur awal. Pada pemerintahaan Raja Gowa XV, I Manggerangi Daeng Manrabia atau dikenal Sultan Alauddin, struktur benteng dilakukan pemugaran dengan menggunakan tanah liat dan beberapa balok batu. Pada 1667 Belanda mengalahkan Makassar dan menghasilkan perjanjian Bongaya. Salah satu pasal dalam perjanjian itu mengharuskan seluruh benteng pertahanan kerajaan Gowa-Tallo dihancurkan, kecuali benteng Rotterdam.  Sang penghancur adalah Cornelis Janszoon Speelman yang kelak menjadikan benteng Rotterdam sebagai pusat aktivitas pemerintahaan dan militer Belanda. Pada masa ini, perombakan terjadi dari mulai dinding yang seutuhnya menggunakan balok batu, penambahan enam menara pertahanan ( bastion ), dan pembangunan beberapa gedung dalam benteng, seperti gereja dan kediaman pejabat.  Dinding benteng Rotterdam, memiliki ketebalan sekitar 2 meter, dengan tinggi masing-masing dinding untuk menara 7 meter, dan dinding penghubung antara menara adalah 5 meter. Sementara itu, balok-balok batu yang menjadi penyusun struktur benteng ada yang terlihat vertikal ada pula yang horizontal, dengan besaran bervariasi.  Pemugaran berikutnya setelah kemerdekaan Indonesia yang dilakukan pemerintah Indonesia. Bagian dinding yang rusak ditambal menggunakan batuan andesit dari Kabupaten Jeneponto. “Kalau menurut saya, menggunakan andesit agak keliru. Karena kualitasnya tidak sama,” kata Isbahuddin.  Andesit memiliki pori lebih besar dan mudah termakan lumut. Andesit pun mudah patah meskipun sangat kokoh. “Asumsi saya, menggunakan tufa menjadi keuntungan dalam pertahanan benteng. Kalau menggunakan andesit, jika terkena meriam akan mudah pecah,” katanya. Ketika kami berjalan dan memperhatikan tembok dan struktur benteng Rotterdam, terdapat ribuan balok batu. Jika dominan bahan utamanya dari Gowa dan Maros, bagaimana para perancangnya membawa batuan tersebut ke Makassar? “Di Gowa, tempat dimana batuan itu berasal dekat dengan sungai. Di Maros, jarak dari bibir pantai hanya sekitar 100 meter. Saya kira menggunakan jalur air artinya menggunakan kapal,” katanya.  “Kemudian ada banyak pertanyaan. Bagaimana mereka membentuk balok-balok batu itu. Teknologi apa yang digunakan dalam membuat balok batu pada tahun 1600-an. Di sini, masih banyak teka-teki yang memerlukan penelitian lebih jauh,” kata Isbahuddin.

  • Kisah dari Kampung Karadenan Kaum

    DADANG Supadma, warga Kampung Karadenan Kaum Cibinong Bogor Jawa Barat menunjukkan bagan silsilah keturunan yang terpajang di Masjid Al-Atiqiyah (Masjid Kaum). Di sana ada nama Prabu Sri Baduga Maharaja Ratu Haji Siliwangi dan Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, yang kamudian bermoyangkan Nabi Muhammad Saw.  Itulah yang membuat masjid dan Kampung Karadenan Kaum menjadi istimewa. Saya dan Komunitas Ngopi (di) Jakarta (Ngojak) sengaja mendatanginya karena dibisiki kampung itu merupakan pusat perkembangan agama Islam tertua di Priangan Barat.  Dadang mengaku sebagai penyusun dan penelusur silsilah keluarga di Karadenan Kaum. Dia membutuhkan waktu dua tahun mencari buyut dan leluhur yang menurunkan warga kampung termasuk dirinya. Dia menyelesaikan pohon silsilah itu pada 2015. “Tahunya oleh orang tua dikasih nama Raden. Ketika ada pertanyaan Raden dari mana kami? Jawabannya dari Pangeran Sageri. Kan harus ada jalan ceritanya, nah itu yang kami telusuri,” tutur pria 48 tahun itu.  Pangeran Sageri berasal dari Kerajaan Muara Beres, kerajaan vasal dari Pajajaran. Awalnya, Kerajaan Muara Beres dipimpin Pangeran Sangiang atau Prabu Wisesa. Prabu Wisesa memiliki putra bernama Raden Nasib. Anaknya bernama Raden Syafe’i yang mendirikan masjid di Karadenan Kaum pada 1667. Dia penyebar agama Islam dari wilayah Karadenan sampai Depok. “Makamnya di belakang ini,” katanya sambil menunjuk arah barat masjid. Sementara, leluhur Dadang, Pangeran Sageri menikah dengan putri dari Prabu Wisesa. “Saya keturunan ke-41,” sebut Dadang sambil menunjuk namanya di papan silsilah.  Kisah penelusuran silsilah diawali ketika Dadang menemukan dokumen yang uzur dan robek. Dokumen ini dia jadikan patokan untuk membuat pohon silsilah yang lebih lengkap lagi. “Waktu pengurus masjid sebelumnya meninggal, lemari arsip di masjid dibongkar. Ternyata ada arsip yang mungkin kelupaan, dari situ baru bisa kami bikin silsilah ini,” tuturnya.  Dadang mengaku bahwa bukti-bukti kesejarahan mengenai Keradenan Kaum masih tercecer. Dia sulit mencari arsip atau bukti lain. Sejauh ini hanya mengandalkan ingatan dan cerita turun-temurun. “Saya sempat dengar ada di arsip di Pemda Bogor, tapi saya belum sempat lihat,” ujarnya. Dadang menyayangkan masjid yang seharusnya menjadi bukti otentik sejarah Kampung Karadenan Kaum justru habis-habisan dipugar. Pada 1962 masjid itu dirombak dengan alasan kayunya aus. “100 persen hilang (keasliannya, red ). Sampai sempat ditegur Dinas Kebudayaan,” ungkap Dadang. Masjid itu awalnya sebesar surau. Kini diperlebar pada bagian baratnya, hingga memotong lahan pemakaman kuno. Ciri khas masjid kuno berupa empat pilar di bagian tengah bangunan hanya tersisa dua pilar. Bahkan bukti angka tahun pendirian masjid dengan aksara Arab pun dihilangkan. “ Nggak ada dokumentasinya. Ingatan saja mungkin yang masih ada,”lanjut Dadang.  Menurut Dadang yang masih benar-benar asli adalah pajangan kaligrafi bertuliskan kalimat syahadat yang dipajang di mihrab masjid. Selain itu, mungkin satu-satunya petunjuk masjid itu kuno adalah namanya. Nama Al-Atiqiyah yang artinya antik atau unik disematkan jauh setelah masjid pertama kali dibangun. Tidak jelas nama sebelumnya masjid itu. Dadang mengungkapkan ada niat warga untuk mengembalikan wujud asli atap masjid karena bagian lain tak memungkinkan. “Justru yang disayangkan, dulu masih ada (bukti sejarah, red ) dihilangkan, sekarang sudah tidak ada baru mau digali,” sesalnya. Kendati sumber sejarah minim, budaya oral cukup mampu melestarikan sejarah asal-usul warga Kampung Karadenan Kaum. Sebab, warganya masih menjaga tradisi leluhur. “Itu keharusan yang harus dijaga,” tegas Dadang.  Di Karadenan dikenal tradisi menyimpan dan merawat pusaka leluhur. Sebagian sudah dikumpulkan dari rumah-rumah warga untuk dirawat bersama di Museum Keris di lantai dua Masjid Al-Atiqiyah. Ada pula tradisi Mauludan dan tolak bala di Bulan Sapar yang masih rutin dilakukan. “Maulid biasanya diisi ceramah, kalau di sini salawatan,” jelasnya. Ketika Maulid Nabi Muhammad Saw, warga Karadenan yang merantau pun kembali. Ritual mudik ini tak berbeda dengan saat Lebaran. Bahkan, Lebaran justru kalah ramai dibanding  peringatan hari lahir Sang Nabi Besar. Kini, di Karadenan tinggal 80 persen warga yang masih asli keturunan para bangsawan. Dari satu RW ada lima RT, kini tinggal tiga RT. Meski begitu, tanggung jawab mereka terhadap peninggalan leluhur masih tinggi. Misalnya, pemugaran dan perbaikan masjid tak pernah mereka meminta bantuan, khususnya dari pemerintah. Ini adalah cara agar kebanggaan dan rasa memiliki warga terus terjaga. Mereka saat ini lebih berharap akan adanya pihak yang mampu menunjukkan bukti peran Kampung Karadenan sebagai pembuka dakwah Islam di Priangan Barat. “Kami ingin sekali ini jadi cagar budaya,” ucap Dadang siang itu menutup perjalanan kami.

  • Kisah Bung Dullah dalam Lukisan Sudjojono

    BUNG Dullah, begitu dia dipanggil. Wajahnya terletak pada deretan tengah, sosok ketiga dari kanan lukisan: menggunakan pet hitam miring, topi khas laskar zaman revolusi. Kisah perjuangannya yang legendaris melatarbelakangi penciptaan lukisan berjudul Kawan-kawan Revolusi ini.

  • Hasil Alami “Candi” di Purworejo

    BEBERAPA waktu lalu masyarakat dihebohkan dengan temuan batu bersusun yang dikira bangunan candi di bukit Pajangan, Makem Dowo, Sidomulyo, Purworejo. Foto-fotonya sempat ramai di media sosial karena disangka merupakan candi yang sangat besar. Namun, berdasarkan survei yang dilakukan beberapa ahli termasuk dari BPCB (Balai Pelestarian Cagar Budaya) Jawa Tengah, di bukit Pajangan tidak ditemukan adanya artefak. Para ahli menyimpulkan susunan batu itu adalah hasil alami yang disebut columnar joint . Arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah, Muhammad Junawan menjelaskan, columnar joint merupakan hasil peristiwa geologis. Bentukan itu dihasilkan akibat aliran lava yang mengalami pendinginan dan pengkerutan hingga menyebabkan retakan. Struktur batuan beku ini sering kali memperlihatkan bentuk seperti kumpulan tiang-tiang maupun kolom-kolom. “Batuan tersebut murni peristiwa alam atau fenomena geologi,” jelas Junawan kepada Historia . Menurut Junawan, batu columnar joint di Purworejo tidak dimanfaatkan oleh masyarakat zaman dulu. Namun, ada batuan columnar joint yang dimanfaatkan masyarakat di sekitarnya seperti di Gunung Padang dan prasasti beberapa kerajaan, yaitu Prasasti Yupa dari Kutai, Prasasti Kota Kapur Kerajaan Sriwijaya, dan Prasasti Batutulis dari Kerajaan Pajajaran. “Dengan kata lain batu columnar joint tersebut tidak dimanfaatkan manusia. Di Purworejo belum ada intervensi dari budaya tertentu, tapi contoh di Gunung Padang batu kolom ditata sedemikian rupa,” kata Junawan. Junawan mengatakan, pemanfaatan bentukan columnar joint itu cukup beralasan. Intuisi manusia biasanya selalu mencari yang praktis: mudah dan murah. Batuan itu terutama untuk bangunan seperti candi atau bangunan lainnya. “Mereka mencari sumber bahan yang mudah dalam perolehannya dan ketersedian bahannya,” ucapnya. Itulah mengapa ada candi yang berbahan batu andesit, batu putih, bahkan bata. “Ada yang mencari batuan itu dengan upaya tertentu untuk tujuan filosofis,” terangnya. Misalnya, batu andesit yang biasanya dicari untuk membuat arca perwujudan dewa. Andesit dalam kasus ini dinilai sebagai batuan yang paling baik untuk keperluan yang sakral. “Karena dewa sesuatu yang dipuja tentunya harus dibuat semaksimal mungkin dengan bahan yang baik dan pahatan yang bagus juga,” jelasnya.

  • Demi Jalan Layang Bunker Jepang Dihancurkan

    Di wilayah Pattunuang –jalan poros Maros menuju Camba dan Kabupaten Bone– pembangunan jalan layang tahap pertama sudah dimulai awal tahun 2016. Kendaraan berat hilir mudik. Tebing-tebing karst terlihat memutih karena telah dipotong. Tanah merah bercampur batuan telah tersingkap. Ratusan pepohonan pun sudah tertebas tak tahu di mana lagi. Belum hilang rasa penasaran itu, ketika sampai di kelokan pertama menuju tanjakan, memasuki kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN Babul), saya kembali terperangah melihat sebuah bangunan kotak terbuat dari beton. Seakan berdiri telanjang, tanpa penghalang dan pelindung. Inilah bunker peninggalan Jepang. Tempat untuk mengintai dan perlindungan dari musuh. Beberapa tahun lalu pertama kali mengetahui adanya bunker di tempat itu, saya harus menghentikan kendaraan dan menelisik lebih detail. Berjalan menanjaki tebing karst untuk memastikannya. Tapi kini, melintas dengan kecepatan pun hanya perlu menoleh untuk melihat keberadaan bunker. Kini keberadaan bunker itu sangat memprihatinkan karena masuk dalam area pembangunan jalan. Bagian atasnya sudah tekelupas hingga memperlihatkan besi yang menjadi rangka beton. Tak hanya itu, bagian sampingnya pun beberapa sudah jebol. Wahyudin, aktivis pencinta karst, yang memperhatikannya sejak awal pembangunan mengatakan, para pembuat jalan berusaha menghancurkannya. Beberapa kali ada kendaraan berat macam eskavator mencoba menyeruduknya, tapi tak berhasil. Dilihat sepintas, bangunan itu cukup kecil. Hanya ada sebuah lubang jendela kecil berbentuk persegi yang menghadap langsung ke permukiman di wilayah Pattunuang. Tapi ketika mendekat, di bagian belakang jendela, ada pintu masuk. Bangunan yang berbentuk kotak itu sekiranya dapat menampung empat orang dalam keadaan berdiri. Namun, pintu masuk bunker sudah tak dapat lagi ditembus karena tertutup tanah kerukan dari pembangunan jalan. Tak jauh dari tempat itu, terdapat sebuah bunker lagi. Tapi nasibnya tak kalah memperihatinkan. Jika bunker yang berada di ketinggian masih terlihat bangunannya, meski sudah rusak, bunker yang berada di bagian bawah di samping mulut gua Salo Aja, sudah tertutup material tanah. Sama sekali tak ada jejak. Arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Makassar, Muhammad Tang mengatakan, keberadaan bunker di sepanjang jalan Maros Camba memang banyak ditemukan. Tak hanya itu, keuntungan mendirikan bunker di wilayah karst sangat strategis karena letaknya pada ketinggian. Pergerakan musuh akan mudah terpantau. Di Sulawesi Selatan, Jepang masuk tahun 1942. Pendudukan Jepang dengan cepat menguasai beberapa wilayah strategis, seperti bandar udara di Mandai Maros. Sementara itu, akses jalan menuju wilayah Bone satu-satunya yang terdekat adalah melalui jalur Maros-Camba. “Bisa jadi Jepang, menjadikan wilayah karst sebagai titik utama untuk mengontrol arus lalu lintas,” kata Muhammad Tang. Sementara itu, Sejarawan Universitas Hasanuddin Dias Pradadimara mengatakan, penemuan tinggalan Jepang sangat penting, karena akan membuka informasi yang selama ini sangat kurang di Sulawesi Selatan. “Selama ini kita kekurangan informasi mengenai masa Jepang, seperti kekuatan militer ataupun program-program yang dijalankannya. Jadi penemuan apa pun tentang Jepang akan membuka keran informasi yang penting,” katanya.

  • Megawati Sukarnoputri: Tanpa Arsip Kita Tidak Tahu Siapa Kita

    ARSIP berisi amanat Presiden Sukarno saat pemancangan tiang pertama Gedung Pusat Perbelanjaan Sarinah di Jakarta Pusat ditampilkan dalam pameran Indonesian Archive koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di gedung tersebut selama 23-31 Agustus 2016. Sukarno menyebut di dalam masyarakat sosialis, ekonomi tak akan berjalan tanpa alat distribusi. Pendirian pusat perbelanjaan ini adalah suatu alat distribusi berbagai barang keperluan sehari-hari. “ Departement store adalah satu toko serba ada di mana rakyat jelata terutama sekali wanita dapat membeli segala apa yang dia perlukan,” kata Sukarno. Sarinah juga merupakan wujud perjuangan untuk merealisasikan amanat rakyat. Dalam hal ini, pusat perbelanjan digunakan sebagai penjaga harga. “Kalau kita bisa menjual satu bahan kebaya di departement store dengan harga Rp10, di luar tidak akan berani menjual bahan kebaya Rp20 satu bahan,” kata Sukarno. Dengan demikian, Sarinah dibangun demi kemajuan pembangunan Indonesia. Sukarno juga berharap Sarinah akan menjadi alat penting bagi terselenggaranya sosialisme Indonesia. Mantan presiden Megawati Sukarnoputri mengatakan dengan terbukanya arsip nasional kepada masyarakat luas dapat menginspirasi generasi masa kini. Informasi dalam arsip menunjang terbukanya sumber pengetahuan mengenai asal usul bangsa. “Tanpa sebuah arsip kita tidak akan tahu siapa kita. Semoga dapat diapresiasi dan mengkontemplasi diri kita, bahwa kearsipan, kepustakaan dan museum adalah jejak peradaban manusia,” kata Megawati dalam pembukaan pameran Indonesian Archives di Pusat Perbelanjaan Sarinah, Jakarta Pusat, Selasa (23/8). Mengenai lokasi pameran di Sarinah, Megawati menyebutnya sebagai salah satu bukti sejarah. Menurutnya, Sukarno adalah manusia yang telah berpikiran maju di masa itu dengan membangun pusat perbelanjaan modern seperti Sarinah. “Banyak hal yang telah dia lakukan bukan hanya sebagai presiden Republik Indonesia, tapi sebagai insan manusia kreatif dan punya pandangan ke depan,” ujar Mega. Sarinah dipilih sebagai tempat penyelenggaraan pameran karena dianggap memiliki nilai historis yang tinggi. Kepala ANRI, Mustari Irawan menyatakan Sarinah sebagai mal pertama di Indonesia diresmikan oleh Proklamator kemerdekaan Republik Indonesia yang juga presiden pertama Republik Indonesia pada 17 Agustus 1962. “Bung Karno membangunnya pada saat ekonomi negara kurang baik, bahkan menjelang runtuh. Berdirinya Sarinah merupakan wujud ekonomi ketika itu. Sarinah juga pantas disebut sebagai kemandirian ekonomi pada saat krisis,” ujar Mustari. “Mengandung historis sekali selama Sarinah menjalankan bisnisnya. Ada sejarah panjang baik ekonomi dan politik. Ini adalah milestone dari ekonomi kemandirian kita yang dibangun Bung Karno,” lanjutnya. Mustari menyebutkan ada dua tujuan penyelenggaraan pameran ini: Pertama, pihaknya ingin mendekatkan arsip kepada masyarakat luas. Kedua, ANRI bermaksud memberikan pencerahan rasa nasionalisme kepada masyarakat. “Dengan pameran ini, sepekan lebih, masyarakat sambil berbelanja juga bisa melihat foto yang kami siapkan di sini. Mudah-mudahan bisa memperkaya. Ini harta karun informasi tentang perjalanan bangsa Indonesia,” harapnya. Selain bekerja sama dalam pameran ini, Mustari juga menawarkan bahwa ANRI bersedia memberikan bantuan melakukan pembenahan dan pengelolaan arsip yang ada di Sarinah. Dalam rangkaian acara, pihak ANRI juga menerima arsip statis dari organisasi Dharma Wanita Persatuan (DWP) yang diserahkan oleh Ketua DWP Wien Ritola Tasmaya. Mustari berharap arsip statis ini nantinya akan lebih berguna, tentunya bagi penelitian dan pendidikan. “Ini tanda Dharma Wanita Persatuan sudah mentaati UU yang mengharuskan seluruh organisasi menyerahkan arsip statisnya ke ANRI. Arsip statis ini akan kami simpan selamanya sebagai memori kolektif bangsa,” tuturnya.*

  • Misteri Tulang Manusia di Gua Pattiro

    PATU (60 tahun) adalah warga kampung Pattiro, Desa Labuaja, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Di rumah panggungnya dekat sekolah dasar, dia menunjukkan jalur yang hendak kami tempuh untuk membuktikan keberadaan sebuah gua, yang dipenuhi puluhan tengkorak kepala manusia. Patu adalah informan awal mengenai gua itu. Pada dekade tahun 1980-an dia menyaksikan sendiri gua tersebut. Ceritanya luar biasa, ada tulang tengkorak yang besar. Saya bersama tim dari Taman Nasional Bantiumurung Bulusaraung (TN Babul), penuh semangat menapaki jalur kawasan karst itu. Dari mulai medan menanjak, menurun, berhimpitan di lereng tebing dan jurang, atau melewati koridor karst. Kami menghabiskan perjalanan hingga lima jam dengan udara yang menyengat. Mulut gua itu berada di sebuah tebing curam, dengan ketinggian sekitar 50 meter. Patu menjadi orang pertama memanjat dan memasang tali untuk pegangan tim. Tapi sesampai di lokasi, tulang kepala tengkorak sudah lenyap. Di mulut gua, selasar dari daun gugur begitu tebal, tanaman merambat juga memenuhinya. Dan sebuah bongkahan tanah bercampur batu –kemungkinan mulut gua itu pernah longsor. Chaeril, seorang staf TN Babul mencoba mengoyak-ngoyak selasar. Dia menemukan sebuah singkapan tulang dan beberapa pecahan tembikar. Pecahan tembikar itu seukuran kepalan tangan yang terbuka. Berwarna merah dengan beberapa motif. “Ini dulu guci, seperti panci tempat memasak. Saya yang pecahkan, karena mau liat tanah betulkah,” kata Patu. Di wilayah desa Panaikang, beberapa cerita tutur sudah mengenal keberadaan gua tengkorak tersebut, dianggap keramat, dengan kisah tulang yang panjang dan besar. Serta tengkorak kepala sebesar helm standar saat ini. Tak ada yang berani menyambangi. “Jadi saya datang melihat langsung. Itu tahun 1980-an. Dan benar, banyak sekali dan tengkorak besar-besar. berjejer di sini (di mulut gua),” kata Patu. Arkeolog Universitas Hasanuddin, Iwan Sumantri menduga jika gua tersebut pada masa lalu dijadikan tempat penguburan ( secondary burial ). Di mana jenazah disimpan dan dibiarkan hingga mengering, lalu tulang belulang yang tercerai berai dimasukkan ke dalam wadah. Salah satunya adalah sebuah guci yang terbuat dari tembikar. Dari penampakan serpihan tembikar itu, kata Iwan, kemungkinan merupakan barang yang masuk ke Sulawesi Selatan. Teknologi tembikar itu diperkirakan pada kurun waktu antara abad 16-17, yang berasal dari Sukhotay, Vietnam. Pada masa itu, Vietnam di bawah pengaruh China. “Saya kira para pedagang China-lah yang membawanya dari Vietnam masuk ke Sulawesi,” kata Iwan. Untuk menjangkau gua itu, dalam radius jarak, sebenarnya lebih dekat melalui desa Panaikang dibanding kampung Pattiro. Namun, medan dari Panaikang menuju gua hampir dipastikan jarang tersentuh, hanya para pencari lebah hutan dan penyadap nira yang melaluinya. Arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Makassar, Rustan mengatakan, temuan dari masyarakat mengenai gua yang memiliki tinggalan arkeologis sangat membantu. “Kami akan mengecek keberadaannya,” katanya. Namun, menelisik dari fragmen tembikar yang ditemukan di gua itu setidaknya ada gambaran mengenai motifnya yang tua, meskipun tidak khusus menandakan dari mana. Namun, demikian penemuan fragmen tembikar dalam gua-gua di Sulawesi Selatan, umum dijumpai baik dari periode tua sekitar 1000 tahun sebelum masehi, hingga dekade tahun 1950-an masa pergolakan DI/TII. “Tapi temuan tulang manusia, tentu harus dianalisis lebih jauh untuk mendapatkan detailnya,” katanya.

  • Istana Kepresidenan sebagai Ruang Budaya

    PRESIDEN Sukarno menjadikan istana sebagai ruang budaya budaya. Istana kepresidenan menjadi galeri seni terbesar di Indonesia dengan 16.000 koleksi benda seni di seluruh istana, terdiri dari 2.700 lukisan, 1.600 patung, 11.800 karya kriya dan kerajinan. “Saya setuju kalau dikatakan koleksi lukisan dan benda-benda seni di istana itu adalah pernyataan kebudayaan, bukan hanya dekorasi. Koleksinya kini bisa dimaknai memiliki nilai historis dan pewarisan nilai budaya,” ujar sejarawan Eko Sulistyo, yang juga deputi bidang komunikasi dan diseminasi informasi pada Kantor Kepala Staf Kepresidenan Republik Indonesia dalam seminar “Karya Seni Rupa dan Sejarah Indonesia” di Galeri Nasional Jakarta, Senin (22/8). Mengapa Sukarno memberikan visi ruang budaya kepada istana? Menurut Eko, bagi Sukarno ruang politik saja tidak cukup. Ruang politik akan membuat komunikasi tersekat, muncul prasangka di tengah masyarakat. Sedangkan visi ruang budaya mempererat dialog dan suasana kebatinan. Ruang budaya yang diciptakan Sukarno juga telihat dengan seringnya diadakan pentas musik, pertujukan seni dan budaya. Bahkan, istana sering menggelar hiburan rakyat. Tarian dan wayang menjadi pertujukan rutin di halaman istana. “Bung Karno sering mendatangkan Ki Gitosewoko, dalang kesayangannya dari Blitar,” tutur Eko. Ruang budaya membuat istana semakin inklusif dan ramah terhadap masyarakat. Bahkan Sang Proklamator pernah mempersilakan rakyatnya melakukan akad nikah di Istana Negara dan resepsi pernikahan di Istana Bogor. “Ini contoh istana sebagai ruang budaya dan ruang dialog yang cukup dekat dengan masyarakat,” ucap Eko. Sukarno juga menjadikan istana sebagai alat diplomasi budaya karena dikunjungi tamu negara hingga dibuat kesepakatan. Dia terbiasa menjelaskan sejarah budaya melalui lukisan juga seni kriya kepada para tamunya. Hal ini dinilai mampu menunjukkan kekayaan bangsa Indonesia yang telah keluar dari cengkraman kolonialisme. Menurut Eko perspektif ruang budaya yang digagas Sukarno tak lepas dari kecintaannya terhadap seni. Darah seni yang dimiliki Sukarno mengalir dari ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai yang juga keponakan Raja Singaraja. Darah seni ini terus terasah, terutama ketika Sukarno berada dalam pengasingan. “Di Ende misalnya, dia menciptakan 12 naskah sandiwara, seperti ‘Dokter Setan’,” pungkas Eko.

  • Jejak Revolusi dalam Fotografi

    SITUASI revolusi kemerdekaan tidak semata-mata didominasi peran militer, namun banyak pihak memainkan perannya sendiri. Publik bisa melihatnya dari koleksi foto dan gambar yang dipamerkan di lantai dasar gedung Grha Bhakti, Jalan Antara No. 61, Pasar Baru Jakarta. Demikian diungkapkan Oscar Motuloh, Direktur GFJA sekaligus kurator pameran bertajuk “71th RI Bingkisan Revolusi.” Pameran dibuka pada Jumat, 19 Agustus 2016. Dalam pameran ini, GFJA menggandeng beberapa pihak yang memiliki dokumen sejarah dalam bentuk foto atau gambar yang menggambarkan situasi Indonesia pada rentang 1945-1950. Seperti koleksi foto Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI); koleksi dari Museum Bronbeek yang menampilkan tulisan dan karya foto dari seorang prajurit Belanda bernama Charles Ernest van der Heijden; lalu dari Perhimpunan Filateli Indonesia dengan koleksi Perangko vs Blokade Belanda yang disarikan dari katalog “Vienna & Philadelphia printings and sub Area of the Republik Indonesia”; kemudian koleksi dari Moh. Ichsan, mantan menteri sekretariat negara era Sukarno. Kebanyakan dari foto-foto yang terjumpa di pameran itu belum banyak diketahui orang, sehingga menarik untuk dicermati, salah satunya adalah foto-foto dari Museum Bronbeek. Mulai dari foto sekumpulan prajurit yang antri membeli makanan dari sebuah mobil penjual makanan keliling di daerah Pacet Jawa Timur, lalu pemindahan tahanan dari Kediri ke Tulungagung, hingga surat tulisan tangan Charles Ernest van der Heijden tentang keruntuhan mental kelompok pasukannya di Jawa Timur. “Satu demi satu berjatuhan di rumah sakit karena terluka atau terguncang. Saya sempat merasa sudah hampir gila selama beberapa hari, tetapi saya menenagkan diri dengan ramuan bromida, dan sementara bisa bertahan,” tulis Charles kepada orang tuanya di Belanda, sekira Januari 1949.  Menurut sejarawan dari Museum Bronbeek, Willy Adriaan, Charles lahir di Amsterdam 9 Mei 1923. Mulanya dia mendaftar sebagai sukarelawan dengan tugas militer untuk melawan Jerman. Namun, dia justru ditugaskan ke Hindia Belanda, dan ditempatkan sekitar Jawa Timur. Tugas utamanya adalah membantu dokter batalion di desa dan kegiatan medis lain. Selain itu, dia memiliki bakat menulis, memotret dan membuat ilustrasi. Hal inilah yang kemudian membawanya ke dinas penerangan militer sebagai penyelia dan penghimpun foto untuk publikasi internal dan majalah prajurit. Foto lain yang ditampilkan dalam pameran tersebut adalah koleksi Mohammad Ichsan, mantan menteri sekretaris negara tahun 1960-an. Dalam koleksi Moh. Ichsan tersaji beberapa foto mengenai penerbangan rombongan pejabat negara Republik Indonesia ke Sumatera Utara dan Aceh pada 1948 dengan menggunakan pesawat dakota kepresidenan. Mulai dari foto Sukarno yang sedang bercakap santai, higga penumpang yang berselimut karena kedinginan berada di dekat pendingin udara di dalam pesawat. Selain foto, terdapat pula replika gerbong kereta yang menyelamatkan Soekarno, Hatta, dan beberapa tokoh lain dari ancaman Belanda pada 3 Januari 1946. Replika tersebut merupakan sumbangan dari Museum Transportasi. “Pameran ini menyajikan kombinasi menarik dari pihak Belanda maupun dari pihak kita sendiri. Seperti foto-foto sekitar Proklamasi itu, jadi dari sini mulai terbuka lagi bagaimana sebenarnya suasana masa itu dan ini penting untuk konstruksi sejarah,” ujar sejarawan JJ Rizal, yang juga hadir malam itu sebagai pengunjung.

  • Sayuti Melik Mengubah Beberapa Kata dalam Naskah Proklamasi

    SETELAH konsep (klad) naskah Proklamasi disetujui, rumusan itu harus diketik terlebih dahulu sebelum diajukan kepada para anggota PPKI dan lainnya yang menunggu di ruangan tengah. Terdapat beberapa coretan dan perubahan akibat pertukaran pendapat. Seperti kata “secermat-cermatnya” diganti dengan “saksama.” Menurut Ahmad Subardjo, Sukarni yang kebetulan memasuki ruangan, diminta untuk mengetiknya. “Saya lihat dia pergi ke suatu ruang dekat dapur di mana Sayuti Melik dan lain-lain duduk-duduk. Terdapat satu mesin tik di situ dan Sayuti Meliklah mengetik teks dari tulisan tangan Sukarno,” kata Subardjo. Namun, dalam Wawancara dengan Sayuti Melik karya Arief Priyadi, Sayuti Melik mengaku bahwa Sukarno langsung memintanya mengetik naskah Proklamasi, tidak melalui Sukarni. Perintah Sukarno: “Ti, Ti, tik, tik!” Pengakuan Sayuti Melik diamini BM Diah, wartawan harian Asia Raya. “Bung Karno memanggil Sayuti Melik yang kebetulan lewat ruangan itu: ‘Ti, Ti, tik ini,’ kata Bung Karno, sambil melambai-lambaikan selembar kertas yang berisi teks Proklamasi.” Sayuti kemudian menghampiri meja Sukarno dan menerima konsep teks tersebut. “Dia menuju ke ruang lain yang ada meja tulis dan mesin tik. Saya berdiri di belakang Sayuti ketika dia mengetik,” kata BM Diah dalam biografinya, BM Diah Wartawan Serba Bisa karya Toeti Kakiailatu. Sayuti Melik menyatakan naskah Proklamasi tidak langsung bisa diketik karena di rumah Maeda tidak tersedia mesin tik. Tetapi, ada sumber yang menyebutkan, sebenarnya mesin tik ada tetapi berhuruf kanji sehingga sulit digunakan. Untuk itu, Satzuki Mishima, pembantu Maeda dengan mengendarai jeep pergi ke kantor militer Jerman untuk meminjam mesin tik. Satzuki bertemu Mayor Kandelar, perwira Angkatan Laut Jerman, yang lalu meminjamkan mesin tik itu. Sayuti Melik, ditemani BM Diah, mengetik naskah Proklamasi di ruangan bawah tangga dekat dapur. Dia mengetik naskah Proklamasi dengan perubahan: “tempoh” menjadi “tempo”; kalimat “wakil-wakil bangsa Indonesia” diganti “Atas nama Bangsa Indonesia” dengan menambahkan nama “Soekarno-Hatta”; serta “Djakarta, 17-8-05” menjadi “Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05. Angka tahun ’05 adalah singkatan dari 2605 tahun showa Jepang, yang sama dengan tahun 1945. “Saya berani mengubah ejaan itu adalah karena saya dulu pernah sekolah guru, jadi kalau soal ejaan bahasa Indonesia saya merasa lebih mengetahui daripada Bung Karno,” kata Sayuti Melik. Jadi, naskah Proklamasi yang dibacakan pada 17 Agustus 1945 sebagai berikut: PROKLAMASI Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-2 yang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja. Djakarta, hari 17, boelan 8 tahoen 05 Atas nama Bangsa Indonesia Soekarno-Hatta Sayuti Melik mengetik naskah Proklamasi itu dengan tergesa-gesa. Maka hasil ketikannya tidak rapi, sedikit agak mencong (tidak lurus). Sedangkan konsep tulisan tangan Sukarno dia tinggalkan begitu saja di dekat mesin tik. Setelah naskah Proklamasi yang diketik itu dibacakan di depan rapat dan disetujui, barulah Sukarno dan Hatta membubuhkan tanda tangannya. “Karena tergesa-gesa tadi maka tidak terpikirkan perlunya mengetik rangkap untuk arsip. Jadi hanya saya buat satu lembar saja,” kata Sayuti Melik. “Dengan demikian naskah yang resmi adalah naskah yang saya ketik yang kemudian dibacakan pada 17 Agustus 1945 oleh Sukarno di Pegangsaan Timur 56 Jakarta pukul 10.00 pagi. Sedangkan naskah yang masih berupa tulisan tangan Sukarno itu sebetulnya baru konsep.” “Setelah konsep saya ketik, saya tinggalkan begitu saja di dekat mesin ketik dan ternyata tidak saya temui lagi. Saya beranggapan bahwa konsep yang ditulis tangan oleh Bung Karno itu telah hilang, mungkin sudah sampai di tempat sampah dan musnah,” kata Sayuti. “Tetapi ternyata anggapan saya itu salah. Saudara BM Diah ternyata memberikan perhatian terhadap konsep naskah tulisan Bung Karno tadi, mungkin beliau telah memikirkan untuk keperluan dokumentasi maka konsep itu diselamatkan.” Untuk terakhir kali, BM Diah melongok lagi ke tempat Sayuti Melik mengetik. “Saya melihat teks asli (konsep, red ) itu tergolek di meja. Karena rasa gembira, teks asli itu terlupakan. Kertas itu kemudian saya ambil, saya lipat baik-baik dan kemudian saya masukkan ke dalam kantung. Empat puluh tujuh tahun lamanya saya simpan teks asli itu dan selalu saya bawa ke mana saja saya berkeliling dunia.” BM Diah baru menyerahkan naskah konsep Proklamasi tulisan tangan Sukarno itu kepada Presiden Soeharto pada 1993.

  • Kisruh Penandatanganan Naskah Proklamasi

    SETELAH naskah Proklamasi selesai diketik oleh Sayuti Melik yang kemudian disebut “naskah Proklamasi otentik,” Sukarno menyampaikan bahwa keadaan yang mendesak telah memaksa kita semua mempercepat pelaksanaan Proklamasi kemerdekaan. “Rancangan teks telah siap dibacakan di hadapan saudara-saudara semua dan saya harapkan benar-benar bahwa saudara-saudara sekalian dapat menyetujuinya sehingga kita dapat berjalan terus dan menyelesaikan pekerjaan kita sebelum fajar dini hari,” kata Sukarno. Menurut Adam Malik dalam Riwayat dan Perjuangan sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 , Sukarno mengusulkan supaya naskah Proklamasi ditandatangani besok siang dan diumumkan di depan anggota PPKI. Usul ini ditolak keras oleh Sukarni dan Chaerul Saleh. “Kami tidak mau dibawa-bawa segala badan-badan yang berbau Jepang seperti Badan Persiapan, dan kami tidak suka jika jika orang-orang yang tak ada usahanya dalam hal ini ikut campur, sebab nanti mungkin Proklamasi ini mundur-mundur lagi,” kata Chairul Saleh. Hatta menyuarakan “baiklah kita semuanya yang hadir di sini menandatangani naskah Proklamasi Indonesia merdeka ini sebagai suatu dokumen yang bersejarah. Ini penting bagi anak cucu kita. Mereka harus tahu, siapa yang ikut memproklamasikan Indonesia merdeka. Ambillah contoh kepada naskah Proklamasi kemerdekaan Amerika Serikat dahulu. Semuanya yang memutuskan ikut menandatangani keputusan mereka bersama.” Bukan hanya Hatta yang menginginkan naskah Proklamasi ditandatangani oleh semua seperti Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat. Sukarno juga mengusulkan supaya semua yang hadir ikut menandatangani. “Seperti Declaration of Independence -nya Amerika,” kata Sukarno, ditirukan B.M. Diah. Usul ini, menurut Subardjo, menimbulkan suara ramai. Sukarni segera berteriak, “Pendapat itu sama sekali tidak bisa diterima. Mereka yang tidak menyumbang sedikit pun kepada persiapan-persiapan Proklamasi tidak berhak untuk menandatangani.” Subardjo melihat Sayuti Melik bergerak dari satu orang ke orang lainnya. Dia melobi golongan tua dan golongan muda, di antaranya Sukarni. Karena Subardjo berada di sebelahnya, dia mendengar apa yang dikatakan Sayuti Melik kepada Sukarni: “Saya kira tidak ada yang keberatan jika Sukarno dan Hatta yang menandatangani Proklamasi kemerdekaan atas nama rakyat Indonesia.” Hatta tidak setuju dengan keterangan Subardjo yang menyebut Sayuti Melik yang mengusulkan supaya naskah Proklamasi ditandatangani oleh Sukarno-Hatta atas nama rakyat Indonesia. “Dalam lukisan Subardjo itu Sayuti Melik sekonyong-konyong mendapat peranan yang besar dalam sejarah, menjadi deus ex machina –dewa penolong. Sepanjang ingatan saya, Sukarnilah yang mengemukakan usul itu,” kata Hatta. Dan dalam tulisannya di harian KAMI , 18 Agustus 1969, Sukarni mengaku dialah yang mengusulkan supaya naskah Proklamasi hanya ditandatangani oleh Sukarno dan Hatta atas nama rakyat Indonesia. “Karangannya itu membenarkan ingatan saya,” kata Hatta. Setelah semua setuju, naskah Proklamasi otentik kemudian ditandatangani oleh Sukarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia. Persoalan berikutnya, dimana Proklamasi itu akan dibacakan? Sukarni memberitahukan bahwa “rakyat di dan sekitar kota Jakarta telah diserukan untuk berbondong-bondong ke Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggal 17 Agustus untuk mendengarkan Proklamasi kemerdekaan. Demikianlah yang telah dipersiapkan dan adalah wajar bahwa kita semua datang ke sana dan membacakan Proklamasi itu.” “Tidak,” kata Sukarno, “lebih baik di tempat kediaman saya di Pegangsaan Timur. Pekarangan di depan rumah cukup luas untuk ratusan orang. Untuk apa kita harus memancing-mancing insiden?” Sukarno menjelaskan, “Lapangan Ikada adalah lapangan umum dan suatu rapat umum tanpa diatur sebelumnya dengan penguasa militer mungkin akan menimbulkan salah paham dan suatu bentrokan kekerasan antara rakyat dan penguasa militer yang akan membubarkan rapat umum tersebut mungkin terjadi. Karena itu saya minta semua saudara sekalian untuk hadir di Pegangsaan Timur 56, sekitar pukul 10.00 pagi.”

  • Lukisan Saksi Bisu Pembacaan Proklamasi Kemerdekaan

    JIKA mencermati foto atau video peristiwa pembacaan teks Proklamasi oleh Sukarno, 71 tahun lalu di Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta, terdapat sebidang kotak simetris gelap, di belakang Sukarno. Jendela atau daun pintukah? Bukan. “Baru tahun 2009 saya tahu bahwa bidang kotak hitam itu adalah lukisan yang tergantung di dinding,” terang Mike Susanto, kurator pameran “17/71: Goresan Juang Kemerdekaan.” Mikke mengungkapkan visualisasi paling terang mengenai keberadaan lukisan yang tergantung di beranda rumah Sukarno terdapat dalam sebuah video rekaman seorang jurnalis asing yang meliput konferensi pers pertama tentang kemerdekaan Indonesia. Pada 4 Oktober 1945, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta untuk kali pertama mengadakan konferensi pers bersama para jurnalis asing yang datang setelah Sekutu mendarat di Tanjung Priok pada September 1945. “Para wartawan itu berasal dari Amerika, Inggris, Belanda, India, dan Tiongkok,” tulis Rosihan Anwar dalam Sejarah kecil ‘petite histoire’ Indonesia Volume 3. Bagaimana lukisan itu bisa tergantung di dinding rumah Sukarno di Pegangsaan Timur dan menjadi saksi bisu pembacaan teks Proklamasi 17 Agustus 1945? Sekira tahun 1943, Keimin Bunka Sidosho, lembaga kebudayaan bentukan Jepang, menggelar pameran lukisan dan dihadiri Bung Karno. Dia tertarik dengan lukisan orang berlatih memanah karya pelukis Henk Ngantung. Usai pameran, Sukarno diam-diam mendatangi studio lukis Henk. “Aku ingin membeli lukisan itu,” ucap Bung Besar tanpa basa-basi. “Henk belum mau melepasnya karena lukisan itu belum sepenuhnya selesai,” tulis Agus Dermawan T dalam Bukit-Bukit Perhatian. Kekurangannya di bagian tangan yang menarik tali busur, dan dia butuh model. “Jadikan aku modelnya,” jawab Sukarno. Henk pun tak kuasa menolak. Maka jadilah tangan Sukarno menjadi model lukisan. Sementara untuk bagian wajah pemanah, Henk mengambil model seorang sastrawan era revolusi bernama Marius Ramis Dajoh. Jadi lukisan karya Henk adalah perpaduan dua model: wajah milik Dajoh dan tangan milik Sukarno. Lukisan yang dibuat dengan cat minyak di atas selembar triplek berukuran 153x153 cm itu beralih tangan. Sukarno memajang lukisan itu di rumahnya Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, dan terus di sana hingga peristiwa bersejarah pembacaan Proklamasi 17 Agustus 1945. “Lukisan Henk itu salah satu yang sangat disukai Sukarno, oleh karena itu diletakkan sebagai penyambut tamu di rumah Pegangsaan. Saat ibukota negara pindah ke Yogyakarta, lukisan tersebut turut berpindah,” terang Mikke. Lukisan itu baru dipindah ke Istana Bogor pada 2010. Kini, saksi bisu pembacaan naskah Proklamasi itu sudah lapuk dimakan usia. Bagian atas di dekat kepala pemanah, sudah habis dimakan rayap. Melukis ulang pada media baru adalah satu-satunya cara untuk menikmati lukisan tersebut. “Restorasi lukisan Henk itu mahal, butuh ahli khusus, apalagi itu lukisan menggunakan media triplek. Yang terpenting, butuh pelukis yang bisa merestorasi dan bisa memahami teknik goresan khas milik Henk Ngantung,” terang Mikke. Akhirnya, atas persetujuan pihak Istana Kepresidenan, lukisan berjudul “Memanah” itu dilukis ulang oleh pelukis kontemporer kenamaan, Haris Purnomo. Lukisan aslinya bisa dinikmati dari balik lemari kaca hingga akhir Agustus 2016 di Galeri Nasional Jakarta.

bottom of page