Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Daging Kucing dalam Perang Kemerdekaan
BEBERAPA waktu lalu, jagad dunia maya dihebohkan dengan viral video seorang lelaki paruh baya memakan hidup-hidup seekor kucing di Pasar Jiung Kemayoran, Jakarta Pusat. Kejadian ini langsung direspon oleh pihak kepolisian setempat. "Jadi setelah itu viral kan saya langsung koordinasi dan perintahkan anggota. Termasuk saya nyariin yang bersangkutan. Cuma yang bersangkutan sudah tidak ada," kata Kapolsek Kemayoran Kompol Syaiful Anwarsaat dikonfirmasi oleh Kumparan , Senin (29/7). Hingga kini, polisi tengah menyelidiki kasus tersebut. Mengkosumsi daging kucing sejatinya pernah dilakukan oleh para pejuang kita di era Perang Kemerdekaan (1945-1949). Setidaknya itu yang pernah dikisahkan oleh Itoh (92), seorang eks petugas dapur umum di wilayah Bandung Selatan, kepada saya. Ceritanya, suatu pagi serombongan pasukan lasykar datang ke pos dapur umum. Salah seorang dari mereka menyerahkan dua bungkus daun jati berisi daging segar kepada Itoh dengan pesan agar daging tersebut dibuat gulai. “Saya tidak curiga itu daging apaan dan langsung memasaknya. Ya saya pikir daging kambing atau daging kebo-lah,” ujar Itoh. Begitu jadi, gulai pun dihidangkan ke para gerilyawan. Itoh yang sebelumnya mencicipi masakan itu, sebenarnya mulai merasa janggal akan daging tersebut yang rasanya agak-agak asam itu. “Itu daging apa ya, Pak? Kok rasanya agak aneh?” tanya Itoh. “Daging kucing!” jawab salah seorang dari mereka. Tanpa banyak cakap lagi, Itoh langsung beranjak keluar dan langsung muntah-muntah. Alih-alih merasa kasihan, para anggota lasykar itu malah tertawa-tawa melihat kelakuan Itoh. “Mulai saat itu, saya tidak makan daging lagi,” kenangnya. Soal mengkonsumsi daging kucing di kalangan para pejuang Republik memang bukan hal asing lagi. Soegih Arto dalam otobiografinya Sanul Daca (Saya Nulis Anda Baca): Pengalaman Pribadi Letnan Jenderal (Purn) Soegih Arto mengisahkan bagaimana saat pasukannya kelaparan mereka “secara tidak sengaja” memakan daging kucing. Itu terjadi di Cililin, Jawa Barat kala Soegih Arto berpangkat mayor dan memimpin Batalyon 22 Divisi Siliwangi melawan pendudukan tentara Belanda. “Ya apa boleh buat, kucing telah jadi mangsa,” ujarnya. Kebiasaan makan daging kucing malah menjadi rutinitas bagi Pasukan Terate (Tentara Rahasia Tertinggi) di front Subang, Jawa Barat. Menurut komandan mereka Jenderal Mayor Moestopo, hal tersebut harus dilakukan sebagai upaya untuk “meningkatkan kemampuan tempur” para pasukannya yang terdiri dari para eks kriminal itu. “…Supaya dapat melihat dalam gelap layaknya mata seekor kucing,” tulis Cribb dalam Ganster and Revolutionaries, The Jakarta People’s Militia and Indonesian Revolution 1945-1949. Tradisi nyeleneh itu sempat diketahui oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo saat Kepala Staf TNI itu berkunjung ke pos terdepan Pasukan Terate pada 1947. Pandangan Oerip yang teliti tertuju pada nisan-nisan sederhana di belakang pos tersebut. “Itu makam?” tanya Oerip “Ya, Jenderal!” jawab salah satu anggota pasukan Moestopo. “Jadi, banyak korban di sini?” “ Ya... Ya... Jenderal,” ujar sang prajurit tergagap-gagap. Dengan mimik serius, Oerip memperhatikan kembali makam-makam tersebut. Wajahnya terlihat sedih. “Tetapi maaf Jenderal. Itu bukan makam manusia," kata si prajurit agak segan. “Lha, terus makam apa?” “ Ehmm... Anu Jenderal… Itu hanya makam ayam, kambing dan kucing, yang menjadi korban santapan kami sehari-hari.” Menurut para prajuritnya, pembuatan kompleks pemakaman binatang itu diperintahkan langsung oleh Moestopo. Ya, guna menghormati jasa-jasa kucing dan kawan-kawannya dalam perjuangan karena “sudah disantap”. Ada-ada saja Pak Moes.*
- Soeharto Buka Praktik Pengaduan Korupsi
“TERNYATA dia bukan negarawan yang baik,” kata Marsillam Simanjuntak, aktivis mahasiswa angkatan ’66 tentang Presiden Soeharto. Dia sampaikan kesan itu dalam mingguan Ekspres, 26 Juli 1970, setelah menghadap presiden di Istana Merdeka, Jakarta, pada 14 Juli 1970.
- Gerakan Melawan Korupsi dari Bandung dan Yogyakarta
GERAKAN melawan korupsi tak hanya tumbuh di Jakarta, melainkan juga di kota besar lainnya seperti Bandung dan Yogyakarta. Pertumbuhan gerakan-gerakan tersebut di kota besar dipengaruhi oleh sensitivitas yang tinggi terhadap gaya hidup mewah para pejabat dan ketimpangan sosial antara yang kaya dan miskin akibat korupsi.
- Melawan Korupsi dengan Malam Tirakatan
SUDAH hampir pukul 22.00. Lalu lintas di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta, mulai lengang. Sebelas lelaki menyeberang jalan ke jalur hijau. Seorang di antaranya W.S. Rendra, sastrawan sohor. Kemudian mereka duduk di jalur hijau. Beberapa memejamkan mata, mulutnya komat-kamit merapal do’a, dan tangan menengadah ke atas.
- Pemberantasan Korupsi Setengah Hati Rezim Orde Baru
PRESIDEN Soeharto pernah mengumbar janji di sekitar pemberantasan korupsi. Dia berjanji pemerintahannya tidak akan mewariskan korupsi ke generasi muda. Kalau ternyata pemerintahannya bertindak salah dalam pemberantasan korupsi, dia bersedia menanggung derita. “Biarlah rakyat menggantung saya,” kata Presiden Soeharto pada 14 Agustus 1970.
- Pejuang Kemerdekaan Tindas Bangsa yang Ingin Merdeka
SEBAGAIMANA banyak pemuda Belanda lain, Johan Heinrich Christoffel Ulrici (1921-2000), yang dikenal juga sebagai Henk Ulrici tak tinggal diam waktu negerinya, Belanda, diduduki tentara Jerman pada Mei 1940. Dia memutuskan bergabung dalam gerakan bawah tanah untuk melawan tentara Jerman. Henk, sapaan akrab Heinrich Ulrici, bergabung ke dalam Knookploegen (KP), semacam pasukan pemukul dalam gerakan bawah tanah. Henk punya kerja penting di masa Perang Dunia II itu. Koran Het Parool edisi 12 Juli 1955 menyebut, pada musim dingin terakhir Perang Dunia II, Henk dan anggota kelompok perlawanan lain ikut meledakkan jalur keretaapi dari Amsterdam ke Amersfoort guna mengganggu perhubungan tentara pendudukan Jerman. Meski sempat tertawan, Henk termasuk yang lihai dalam melarikan diri sehingga selamat. Jan Baptist Vermeulen (1904-1992), yang juga disapa sebagai Om Henk, lebih tua daripada Henk Ulrici tapi juga ikut berjuang. Jika Henk Ulrici masih seorang pemuda yang belum berumur 20 tahun waktu Jerman datang, Om Henk sudah punya pengalaman jadi tentara Belanda. Dia pernah ditugaskan di Hindia Belanda sebelum akhirnya bertugas di Akademi Militer Belanda pada 1938. Setelah Belanda diduduki, Om Henk menolak tunduk. “Segera setelah penyerahan, saya menerima pesan bahwa saya harus melapor ke Akademi Militer Kerajaan (KMA) untuk mengatur penanganan peralatan dan pemindahan senjata kepada pasukan pendudukan. Saya diharuskan mengenakan segitiga putih atau tali biru. Saya menolak,” aku Om Henk di masa tuanya seperti dikisahkan Nieuw Israelietisch Weekblad tanggal 9 Mei 1986. Om Henk lalu jadi bagian gerakan bawah tanah Belanda. Dia termasuk dalam Orde Dienst (OD). Om Henk sempat membantu orang Yahudi yang kesusahan untuk hidup di zaman kekuasaan dipegang tentara fasis Jerman yang rasis itu. Om Henk kemudian tertangkap dalam misi menyelundupkan roll film ke pihak Sekutu di luar Belanda. Dia lalu dibawa ke Jerman dan ditahan lama, bahkan hampir dihukum mati. Om Henk kemudian dibebaskan tentara Amerika Serikat setelah Belanda terbebas dari tentara Jerman. Henk Ulrici dan Om Henk lalu bergabung dengan tentara Belanda yang dikirim ke Indonesia. Henk Ulrici mendapat pangkat letnan sementara Om Henk yang lebih senior hanya mendapat pangkat onderluitenant yang setara pembantu letnan. Kendati tempat penugasan masing-masing berbeda, keduanya sama-sama memimpin pasukan Khusus. Henk Ulrici pernah memimpin pasukan bernama Eric untuk memburu desertir tentara Belanda sohor Poncke Princen. “Pada 9 Agustus 1949, saya menembaki dia. Sayangnya, tembakan itu hanya mengenai pergelangan kakinya,” kenang Henk Ulrici di koran De Telegraaf tanggal 14 Agustus 1993. Kendati tak berhasil membunuh Princen, Letnan Ulrici begitu sohor dalam beberapa pertempuran menghadapi pejuang kemerdekaan Indonesia. Pangkatnya lalu naik hingga kapten. Belakangan, Kapten Ulrici mendapat penghargaan Ridders Militaire Willemsorde Kelas Empat. Sementara, Om Henk ditempatkan di Depot Special Troepen (DST) yang sohor karena aksi brutalnya di Sulawesi Selatan. Dia menjadi menjadi orang nomor dua di DST alias bawahan langsung Kapten Raymond Paul Pierre Westerling (1919-1987) yang juga pernah ikut membebaskan Negeri Belanda dari tentara Jerman Nazi. Demi operasi pembersihan terhadap para “ extremist , pasukan DST yang terdiri dari 123 personel lalu dipecah menjadi dua pada Januari 1947. Satu dipimpin langsung Westerling dan satu lagi dipegang Pembantu Letnan Vermeulen alias Om Henk. Pasukan Om Henk dibantu satu batalyon KNIL yang dipimpin oleh Mayor Stufkenz. De Leeuwarder Courant tanggal 3 September 1984 menyebut mereka terlibat pembantaian di Galung Galung. Sebanyak 364 orang Indonesia terbunuh di sana. Sebelumnya beberapa anggota pasukan khusus yang dipimpinnya terbunuh. Apa yang dilakukan Om Henk dan Henk Ulrici tentu ironis. Sebelum 1945 mereka membela negerinya yang tertindas untuk merdeka dari Jerman. Namun, setelah 1945 mereka menindas dengan kejam bangsa lain dengan dalih mengembalikan Hindia Belanda. Keduanya pun jadi mirip tentara Nazi Jerman yang pernah mereka lawan.*
- Sutan Sjahrir Bergerak di Bawah Tanah Menjelang Kemerdekaan
PERLAWANAN politik terhadap Jepang mulai bergejolak setidaknya pada akhir tahun 1944, saat Perdana Menteri Kuniaki Koiso mengucapkan janjinya di hadapan sidang Parlemen Kerajaan ke-85 tanggal 7 September 1944. Dalam pertemuan tersebut, ia menyatakan bahwa “Hindia Timur” akan diberikan kemerdekaannya “di kemudian hari”. Perlawanan terbuka terhadap Jepang mendapat hukuman kejam. Oleh karena itu, para pemuda dan tokoh-tokoh nasionalis non-kolaborator seperti Sutan Sjahrir mengambil langkah berjuang melalui gerakan bawah tanah. “Sjahrir termasuk di antara sedikit politisi sebelum perang yang menolak ambil bagian dalam pemerintahan selama pendudukan Jepang. [...] Karena sangat mecemaskan pengaruh indoktrinasi Jepang terhadap pemuda Indonesia, dengan sendirinya ia menemukan hubungan-hubungan dengan para mahasiswa Fakultas Kedokteran yang paling sedikit terdampak oleh indoktrinasi itu,” tulis Benedict Anderson dalam Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. Fakultas Kedokteran satu-satunya lembaga pendidikan tinggi Belanda yang diizinkan beroperasi selama masa pendudukan Jepang. Banyak di antara mahasiswanya berada di bawah pengaruh Sutan Sjahrir. Sjahrir memutuskan non-kolaborator bukan hanya karena pandangan sosial-demokratnya yang bertentangan dengan fasisme Jepang, tetapi juga karena ia yakin Sekutu akan memenangkan perang. Menurutnya, masa depan bangsa sebagian akan ditentukan oleh sejauh mana orang-orang Indonesia menentang para pejabat pendudukan. Menurut Rosihan Anwar dalam Sutan Sjahrir: Negarawan Humanis, Demokrat Sejati yang Mendahului Zamannya , Sjahrir tahu persis situasi sulit yang dihadapi oleh Jepang. Ia tidak pernah percaya Jepang akan memenangkan perang melawan Sekutu. Sebab, ia tahu industri perang dan logistik Amerika Serikat jauh lebih unggul ketimbang Jepang. Atas dasar ini, ia melakukan perlawanan untuk mewujudkan kemerdekaan bangsanya. Dalam pandangan Sjahrir, pemuda Indonesia harus mampu mengambil tindakan tegas untuk membebaskan tanah airnya begitu Jepang kalah perang. Untuk mewujudkan hal ini, ia mengadakan diskusi-diskusi politik dengan kader-kader PNI-Pendidikan, pemuda, dan mahasiswa. “Melalui diskusi, Sjahrir melatih mereka supaya berpandangan luas dan bersikap independen tanpa dipengaruhi fasisme Jepang,” tulis Rosihan. Sjahrir juga terus mendengarkan siaran radio luar negeri untuk memantau kondisi politik internasional. Melalui pemancar radio rahasia, Sjahrir mengetahui Jepang menuntut perdamaian setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom atom Amerika Serikat pada 6 dan 9 Agustus 1945. Sjahrir segera menyampaikan informasi ini kepada Sukarno dan Hatta pada malam hari setelah mereka tiba di Jakarta usai bertemu Marsekal Terauchi di Dalat pada 14 Agustus 1945. Sjahrir menyadari gerakannya di bawah tanah diawasi Jepang. Ia banyak melakukan perjalanan ke daerah-daerah. Ia juga menerima banyak tamu dari berbagai daerah yang terlibat gerakan bawah tanah. Rosihan mencatat, agar tidak memberikan alasan kepada Jepang untuk menangkapnya, Sjahrir bersedia mengajar di Asrama Indonesia Merdeka yang dikelola oleh Wikana dan Shigetada Nishijima, asisten Laksamana Tadashi Maeda. Menurut Des Alwi, anak angkat Sjahrir, dalam Friends and Exiles: A Memoir of the Nutmeg Isles and the Indonesian Nationalist Movement, gerakan bawah tanah mengadakan pertemuan di sejumlah rumah yang berbeda. Biasanya sebelum rapat, sebuah tangga bambu dipasang sebagai persiapan untuk melarikan diri jika Kenpeitai datang untuk menangkap para peserta rapat. Namun, pada suatu ketika, saat pertemuan rahasia diadakan di sebuah rumah di Manggarai, beberapa pemuda yang hendak mencuri buah di rumah tetangga mengambil tangga darurat tersebut. Tak berselang lama, tiba-tiba terdengar teriakan, “maling, maling” dari arah tetangga rumah dan dalam sekejap pertemuan rahasia itu bubar. Beberapa peserta bersembunyi, sementara yang lainnya melarikan diri dengan sepeda. Pada awal Agustus 1945, gerakan bawah tanah mulai bersiap untuk beraksi. Menurut Des Alwi, para anggota gerakan bawah tanah percaya sebelum Jepang menyerah, mereka harus merebut kekuasaan dan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. “Cara untuk melaksanakannya adalah melalui milisi rakyat di luar kota, dibantu oleh PETA dan siapa saja yang memiliki senjata api. Kelompok kami dipimpin oleh Abubakar Lubis dan bertanggungjawab langsung kepada Chaerul Saleh,” tulisnya. Tugas mulai dibagikan kepada masing-masing anggota, salah satunya mempersiapkan jaringan di stasiun Radio Jakarta Hosokyoku untuk menyiarkan proklamasi kemerdekaan. Tugas ini diberikan kepada Des Alwi. Teks proklamasi ini sendiri berbeda dengan teks yang nantinya akan dibacakan oleh Sukarno pada 17 Agustus 1945. Teks proklamasi yang akan disiarkan pemuda sebelum tanggal 17 Agustus sudah siap untuk ditandatangani oleh Sukarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Chaerul Saleh, dan Sukarni (mewakili Tan Malaka). Namun, pada malam 14 Agustus, Kenpeitai , dengan bantuan Kenpeiho , berjaga-jaga di sekitar Radio Jakarta Hosokyoku . Akibatnya, beberapa anggota gerakan bawah tanah di dalam studio tidak dapat keluar karena tidak memiliki tanda pengenal dengan huruf Jepang yang dikeluarkan oleh Kenpeitai . Di tengah menjalankan misi ini, Des Alwi dan rekannya disergap oleh dua kendaraan Jepang yang ditumpangi Kenpeitai . Para pemuda itu digiring ke kantor Kenpeitai di Gambir untuk diinterogasi. “Sore berikutnya, 15 Agustus, lima orang lainnya dari kelompok saya diantar pulang... Dari interogasi mereka malam itu, pihak Jepang tentu saja mengetahui bahwa banyak orang Indonesia sudah mengetahui tentang bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, dan Jepang akan segera menyerah kepada Sekutu,” tulis Des Alwi. Dorongan untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia semakin menguat di kalangan pemuda. Sekembalinya Sukarno dan Hatta dari Rengasdengklok pada 16 Agustus malam, sebuah pertemuan diadakan di rumah Laksamana Tadashi Maeda untuk menyusun teks proklamasi. Menurut Rudolf Mrazek dalam Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia , sebuah delegasi menemui Sjahrir pada 17 Agustus dini hari dan memintanya untuk hadir dalam pertemuan di rumah Laksamana Tadashi Maeda. Akan tetapi Sjahrir mengatakan, “dengan sendirinya... Saya tidak dapat menerimanya.” “Menurut catatan lain yang sedikit berbeda, atau mungkin sebuah catatan tentang misi lain kepada Sjahrir pada saat yang sama, sebuah informasi telah dikirimkan kepada Sjahrir tentang apa yang sedang terjadi. Memang, sebuah kelompok khusus telah dikirim untuk mencarinya, tetapi ia tidak ditemukan,” tulis Mrazek. Sjahrir tidak hanya tak hadir dalam pertemuan untuk menyusun teks proklamasi di rumah Laksamana Maeda. Ia juga tak tampak ketika Sukarno membacakan teks proklamasi pada 17 Agustus 1945.*
- Menteri Lisensi Tersangkut Korupsi
PADA Agustus 1955, Letnan Satu Polisi Militer R.A. Prawirakusumah bersama dua sejawatnya mendatangi rumah Iskaq Tjokrohadisurjo di Jalan Diponegoro 6 Jakarta. Mereka membawa surat perintah penangkapan bernomor 168/D.G. III-6/SP/55 dari Corps Polisi Militer Bandung. Isi surat: “menangkap Iskaq, menggeledah rumahnya, dan menyita surat dan atau barang yang berkaitan dengan perkaranya” terkait kebijakannya selama menjabat menteri perekonomian.
- Foto di Warung Padang Ini Dianggap Orang Sakti
WARUNG Padang semakin menjamur di tanah air. Banyak orang menyukai kelezatan hidangannya. Rendang yang jadi andalannya nyaris selalu tersedia di warung padang. Masakan yang pernah dinobatkan sebagai makanan terenak di dunia ini sudah sangat melegenda dan identik dengan Padang atau Minangkabau. “Kata rendang nyaris tidak disebut-sebut dalam literatur selama kurun abad ke-18. Namun jika kita kembali mempelajari kebudayaan Luso-Asia yang menancap di kawasan Malaka pada abad ke-16, tampaknya harus dipertimbangkan asal-usul memanaskan daging berulang-ulang hinga kering dan tahan lama ini diadopsi, khususnya kalangan orang Minang,” tulis Fadly Rachman dalam Jejak Rasa Nusantara . Bagaimanapun asal-usulnya, rendang sudah jadi kebudayaan Minangkabau yang kini menyebar ke pelosok tanah air. Selain rendang, gulai, dan hidangan-hidangan lainnya, warung Padang umumnya juga memiliki sebuah foto seorang tua berpeci hitam di salah satu sisi dindingnya. Lantas, siapa orang tua itu? Jawabannya adalah Syech Kiramatullah Ungku Saliah alias Ungku Saliah alias Tuanku Buya Saliah. Dia bukan orang yang punya reputasi sebagai juru masak atau pedagang, tapi seorang ulama atau pemuka agama Islam asal Minangkabau yang hidup antara tahun 1887 hingga 1974. “Tuanku Buya Saliah lahir di Nagari Pasa Panjang Sungai Sariak, VII Koto Sungai Sariak Kabupaten Padang Pariaman, Sumatra Barat pada tanggal 3 Agustus 1887,” catat Lifna Putri dan Kori Lilie Muslim dalam artikel mereka di Jurnal Thallub Vol. 2 No. 2, 2022, “Menapaki Jejak Tuanku Buya Saliah di Padang Pariaman: Kajian Arkeologi Islam”. Sejak remaja Ungku Saliah sudah belajar agama hingga di masa tuanya dia adalah panutan di Pariaman. Dia adalah pemimpin agama Islam di Lubuk Alung, Sumatra Barat sekaligus pemimpin kelompok sufi Shattariyah yang terkenal dengan urusan melawan keburukan akhlak. Ungku Saliah disebut-sebut mampu melakukan hal gaib dan menangkal sihir. “Yang paling istimewa adalah pengunaan ayat-ayat Al-Quran untuk mengalahkan pakasiah (pelet) mantra yang membuat kaum perempuan jatuh cinta pada seorang tertentu, atau kabaji, mantra yang menyebabkan saling benci antara suami dan istri,” catat Kevin W. Fogg dalam Spirit Islam Pada Masa Revolusi Indonesia . Ketika revolusi kemerdekaan Indonesia pecah (1945-1949), Ungku Saliah tak angkat senjata karena sudah sepuh. Tapi dia andil dengan memberi spiritmasyarakat. Suatu kali, Ungku Saliah menyuruh orang-orang yang sedang berjual beli di pasar Lubuk Alung untuk bubar karena di situ akan hujan kendati waktu itu belum masuk musim hujan. Banyak orang menurutinya. Sekitar dua jam kemudian, serangan udara Belanda datang di pasar itu. Namun tetap saja, Ungku Saliah pernah merasakan jeruji otoritas Belanda. Tak jelas apa penyebabnya. Oleh penduduk, Ungku Saliah digambarkan sebagai orang sakti yang bisa menembus jeruji ketika ditahan dan juga terkenal kebal peluru. Buku Managak-an Banang Basah: Membangun Tradisi Intelektual dalam Masyarakat Kampus yang Hedonis menyebut Ungku Saliah bisa berjalan tanpa menginjak tanah. Benar tidaknya cerita-cerita tersebut, Ungku Saliah tentu bisa dijadikan simbol perlawanan orang Minangkabau terhadap Belanda dan spiritnya berguna untuk menjalani kehidupan. Spirit itu agaknya yang membuat foto Ungku Saliah banyak dipajang rumah-rumah Sungai Sariak mulai era 1970-an. Foto itu dipercaya bisa membuat mereka terhindar dari marabahaya. Seiring perjalanan waktu, foto itu tak hanya dipajang di rumah-rumah tempat tinggal tapi juga rumah makan di daerah Pariaman. Para perantau Minang kemudian membawanya dan memajangnya di warung makan Padang di perantauan mereka di berbagai daerah di Indonesia.*
- Napoleon Ikut Perang Banjar
PERKAWINAN antar-bangsa bukan hal baru di negeri ini. Setidaknya sudah empat abad laki-laki Eropa mengawini perempuan pribumi. Seperti yang dilakukan Johan Fredrick Thierbach dan Ketjiel. Alhasil mereka punya anak yang umum disebut sebagai “Sinyo” jika laki-laki dan “Noni” jika perempuan. Johan menamai anak laki-lakinya yang lahir di Semarang pada 24 Oktober 1841 dengan Napoleon Fredrick Thierbach. Sinyo bernama Napoleon ini hidup di zaman pemerintah kolonial Hindia Belanda menghadapi banyak peperangan di wilayahnya yang sekarang disebut Indonesia. Maka, serdadu adalah pekerjaan yang sangat lowong bagi mereka yang butuh uang. Sinyo Napoleon pun mengambil jalan bedil itu untuk penghidupannya sekaligus ikut menegakkan Hindia Belanda. Stamboek militernya mencatat, dia mendaftar militer di Makassar ketika usianya masih belasan tahun. Pada usia 17 tahun dia menjadi relawan dalam tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL), di Batalyon Infanteri ke-7 di Makassar. Tinggi badannya ketika mendaftar 1,634 meter. Napoleon sempat dikirim ke sekitar Cirebon dan Pamanukan. Pada 11 Maret 1859, atau satu tahun empat bulan setelah bergabung sebagai sukarelawan, pangkatnya naik menjadi kopral. Baca-tulis, selain bahasa Belanda, adalah kemampuan yang menjauhkan seseorang dari pangkat terendah. Jika dalam ketentaraan, dia menjadi prajurit dengan pangkat terendah seperti fuselier. Itu terjadi saat sekolah masih sangat sedikit dibangun pemerintah kolonial. Menurut cerita orang tua di Bagelen, Jawa tnegah zaman dulu, kalau seseorang bisa menulis nama sendiri ketika mendaftar jadi tentara, maka dia bisa jadi kopral. Pangkat kopral hanya dijalani Napoleon sebentar, yakni setahun tiga bulan. Pada 11 Juni 1860, pangkat Napoelon sudah sersan meski tugasnya masih di Batalyon 7. Bersama batalyonnya, pada pertengahan 1860 Sersan Napoleon dikirim ke Kalimantan Selatan. Dia ditugaskan memadamkan perlawanan orang-orang Banjar pimpinan Pangeran Antasari dalam Perang Banjar (1859-1906). Di Kalimantan, Sersan Napoleon yang dalam catatan orang Belanda disebut sebagai Sersan Thierbach itu termasuk yang ditugaskan ke Amuntai. Komandannya Letnan Van Emde. Menurut Gusti Mayur dalam Perang Banjar, Letnan Emde terkenal berani dan cerdik. Pada 15 September 1860, tiga peleton KNIL berjumlah sekitar 60 personel di bawah Letnan Satu Emde, Letnan Verspyck, dan Letnan Van der Wyck bergerak ke luar kota. Mereka hendak mencari Datuk Haji Abdullah yang sedang sakit. Rombongan Letnan Emde kemudian tiba di daerah Sungai Malang. Letnan Emde sempat bertemu Haji Abdullah dan mengajaknya ikut ke Amuntai. Upayanya berhasil. Namun ketika Haji Abdullah ditandu ke luar rumah, orang-orang Banjar di sekitarnya mengamuk kepada serdadu-serdadu kompeni. Perkelahian adu klewang atau pedang pun terjadi. Letnan Emde sendiri kena bacok namun berhasil membalas dengan klewangnya hingga penyerangnya roboh. Ketika itu, Sersan Napoleon Thierbach masih berada di muka rumah. “Maka di situ ada juga seorang sersan yang bernama Thierbach yang amat muda, umurnya belum sampai 19 tahun maka ia dikepung oleh beberapa musuh tetapi tiada ia mundur. Maka barang siapa maju dibunuh oleh dia sehingga mati semua,” kisah Letnan H. Aars dalam Hikajat Perang . Napoleon tak terluka dalam perkelahian jarak dekat itu. Register Ridders Militaire Willemsorde 4e klasse Nomor 3801 menyebut Sersan Napoleon berusaha menyelamatkan Letnan Emde yang terluka parah dan seorang diri memukul mundur tiga peyerang. Napoleon menunjukkan kehebatannya dengan memberikan perintah yang diperlukan selama pertempuran jarak dekat itu. Berkat aksinya di Sungai Malang itu, berdasar Koninklijk Besluit tanggal 7 Maret 1863 nomor 68, Sersan Napoleon dianugerahi gelar Ridders Militaire Willemsorde kelas empat. Predikat tersebut membuatnya dihormati. Napoleon terus berkarier di KNIL. Dia pernah ditempatkan di Batalyon Infanteri ke-3 dan Batalyon Infanteri ke-13 dan pernah bertugas di Aceh dan Surabaya. Pada 12 Juni 1870, pangkatnya naik menjadi sersan mayor. Namun, prestasi cemerlang itu kemudian tercoreng. Di Yogyakarta, Napoleon terlibat masalah dengan melakukan sebuah pelanggaran. Pangkatnya pun diturunkan menjadi fuselier dan gelar ksatrianya nyaris dicabut. “Bintara terhormat ini diadili di depan pengadilan militer, dinyatakan bersalah dan dihukum oleh pengadilan itu, tetapi dibebaskan pada banding oleh Mahkamah Agung. Akan tetapi, Departemen Perang menemukan bahwa perilaku Thierbach sedemikian rupa sehingga ia tidak mungkin dapat terus bertugas di pangkatnya,” demikian De Sumatra Courant tanggal 29 Oktober 1878 memberitakan. Napoleon akhirnya harus hidup dalam kemalangan. Namun berdasar Keputusan Gubernur Jenderal Nomor 17 tanggal 10 Juni 1881, dia tetap mendapatkan uang sebesar 305 gulden tiap tahun atas pengabdian sebagai tentara. Pada 8 April 1883, Napoleon meninggal dunia di Magelang.*
- Mohammad Hatta di Prancis: Perjumpaan Pertama dengan Eropa
SELAMA menjadi mahasiswa di Belanda, Mohammad Hatta beberapa kali mengunjungi Prancis, terutama kota Paris. Apapun yang ia alami, saksikan, dan resapi menjadi satu episode di dalam kehidupannya yang panjang. Episode yang sebenarnya cukup penting bagi perkembangan pemikirannya dan sejarah nasionalisme Indonesia.
- Pita Memori Kotot Sukardi
“JIKA saudara-saudara kekurangan cerita, datanglah pada saudara Kotot Sukardi, atau datanglah pada saya.” Begitulah ucapan Bung Karno pada malam resepsi perpisahan pertemuan besar artis dan seniman film di Istana Negara pada 12 Maret 1956.





















