Hasil pencarian
9589 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Sukarno, Gondang, dan Tor-tor
PADA Juni 1948, untuk kali pertama sejak Indonesia merdeka, Presiden Sukarno berkunjung ke Sumatra. Pagi 12 Juni, Sukarno berpidato dalam rapat raksasa di Padang Sidempuan yang dibanjiri rakyat. Hujan tak menghalangi mereka untuk mendengarkan pidato Sukarno. Bahkan ada yang datang dari Labuhan Batu (Sumatra Timur-Selatan) dan Pasir Pengarayan (Riau Utara) dengan berjalan kaki menempuh jarak ratusan kilometer. Sorenya, Sukarno memberikan kursus politik. Di kota ini, rakyat mempersembahkan kain Batak ( ulos ) kepada Sukarno, berikut seekor kerbau sebagai bentuk penghormatan terhadap pahlawan. Setelah rampung, Sukarno menuju Sibolga. “Presiden Sukarno tiba di Tapanuli untuk menggembleng dan mengobarkan semangat persatupaduan rakyat di Kota Nopan, Padang Sidempuan, Sibolga, Tarutung, Balige dalam perjalanannya ke Kutaraja. Semua persatuan menjadi bertambah kuat,” tulis Abdul Haris Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: Periode Renville.
- Tidak Membakar Buku
Buku terjemahan 5 Kota Paling Berpengaruh di Dunia karya Douglas Wilson mengundang reaksi. Halaman 24 buku itu tertulis: “Muhammad menjadi perampok dan perompak yang memerintahkan penyerangan terhadap karavan-karavan di Mekah. Muhammad memerintahkan pembunuhan untuk menguasai Madinah.” Front Pembela Islam (FPI) melaporkan ke Polda Metro Jaya bahwa buku tersebut menghina Nabi Muhammad Saw . Pada 13 Juni 2012, disaksikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, pihak penerbit membakar buku itu.
- Komponis dari Betawi
JAUH sebelum daerah Kwitang di Jakarta sesak dengan bangunan rumah, toko, dan gedung perkantoran, di sana pada 1900-an tinggallah sebuah keluarga Betawi berada. Pemiliknya, Marzuki, memiliki bisnis bengkel mobil. Dia tinggal bersama seorang anak lelakinya, Ismail, yang lahir pada 11 Mei 1914 –kelak nama sang ayah melekat pada namanya, menjadi Ismail Marzuki. Istrinya meninggal dunia saat Ismail berusia tiga tahun. Kepiawaian Marzuki dalam urusan kunci inggris dan oli rupanya tak menurun pada anaknya. Sedari kecil, Ismail yang kerap disapa Maing justru menaruh hati pada musik. Dia gemar mendengar alunan merdu dari gramafon milik keluarganya. Saat itu, dia pun mencoba bermain rebana, ukulele, dan gitar seperti kegemaran ayahnya bermain rebana dan kecapi serta handal melantunkan lagu bersyair Islam.
- Perang Ayam
Clifford Geertz tiba di sebuah desa kecil di Bali awal April 1958 bersama istrinya, Hildred Geertz. Sebagai antropolog, mereka bermaksud meneliti budaya dan masyarakat di sana. Pada hari ke-10 kunjungan, mereka pergi ke sudut desa yang tersembunyi. Di sana, puluhan orang telah berkumpul. Adu ayam tengah dihelat. Geertz dan istrinya menyaksikan dengan seksama. Tiba-tiba seseorang berteriak: “Polisi, polisi!” Orang-orang berlarian. Tak terkecuali Geertz dan istrinya. Geertz menuangkan pengalamannya dalam karyanya “Deep Play: Notes on the Balinese Cockfighting”, termuat dalam Intrepetation of Cultures . Karya itu mengupas aspek antropologis adu ayam ( tajen ) di Bali. Geertz mengungkapkan, bagi kebanyakan lelaki Bali, tajen menjadi simbol maskulinitas. “Pada arena adu ayam, yang terlihat bertarung memang ayam, tapi ayam-ayam tersebut merupakan perwakilan dari kaum pria di Bali,” tulis Geertz. Namun polisi beranggapan lain. Tajen adalah judi. Kriminal. Jauh dari tujuan awalnya.
- Bunga Mawar dari The Teng Chun
SEBAGAI anak tertua dari pengusaha hasil bumi kaya bernama The Kim Le, The Teng Chun mestinya bisa meneruskan jejak ayahnya berdagang. Pada usia 18 tahun, dia bahkan dikirim ke Amerika untuk belajar ilmu dagang di New York. Tapi minat Teng Chun justru tercurah pada dunia film setelah, bersama Fred Young, seorang sutradara peranakan Tionghoa, belajar menulis skenario di Palmer Play Theatre. Lima tahun tinggal di New York, Teh Teng Chun, lahir di Surabaya pada 18 Juni 1902, singgah di Shanghai. Di sana dia makin intens mendalami dunia film. Salah satu karyanya, sebuah film bisu Whell of Desteny . Balik ke tanah air pada 1930, setelah sempat menekuni profesi sebagai importir film-film Mandarin, setahun kemudian Teng Chun memproduksi film garapannya sendiri, Boenga Roos dari Tjikembang , diangkat dari roman karya Kwee Tek Hoay.
- Dalih Belanda Enggan Menyerah
PADA 8 Maret 1942, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tjarda van Starkenborgh dan Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda Letnan Jenderal Ter Poorten berunding dengan Panglima Tertinggi Balatentara Dai Nippon Jenderal Imamura di Kalijati, Subang, Jawa Barat. Hasilnya, Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Harian Asia Raya, 9 Maret 1943, memuat laporan panjang mengenai jalannya perundingan itu. "Apakah tuan sanggup membicarakan di sini tentang menyerah atau meneruskan perang?" tanya Imamura. "Itu tidak bisa," jawab Tjarda singkat. "Apa sebabnya?"
- Kesamaan Sukarno dan Diponegoro
KISAH mengenai Sukarno selalu menarik dibicarakan, termasuk kisah kesehariannya. Salah satunya percekcokan Sukarno dengan Sjahrir saat mereka diasingkan ke Prapat, Sumatra Utara, semasa agresi militer II. Sjahrir mengumpat Sukarno dengan kata-kata kasar. Bagi sejarawan Asvi Warman Adam, hal itu sangat melecehkan Sukarno baik sebagai kepala negara maupun tokoh bangsa. Asvi menjadi pembicara dalam bedah buku karyanya Menyingkap Tirai Sejarah: Bung Karno dan Kemeja Arrow dan Bung Karno Dibunuh Tiga Kali di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta, 29 Mei lalu. Dia berbicara hanya fokus kepada sebagian kecil dari isi buku-bukunya yang merupakan bunga rampai itu.
- Raden Saleh "Pulang Kampung"
PADA pertengahan abad 19, saat masyarakat bumiputera masih mengalami diskriminasi, dia dengan mudahnya berdansa-dansi dengan para bangsawan Eropa. Saat seniman tanah air belum mengenal aklirik untuk melukis, dia dengan asyiknya menggoreskannya di atas kanvas. Bakat melukisnya membuatnya diterima di tengah pergaulan kaum elite Eropa. "Di Jerman dia pernah diundang makan malam oleh Ratu Victoria. Itu luar biasa. Kalau diibaratkan saat ini, sama halnya diundang makan oleh Obama. Luar biasa, hebat, dan orang itu berasal dari sini, pelukis Jawa," kata kurator asal Jerman, Werner Kraus.
- Rin Tin Tin, Anjing Kandidat Oscar
SUATU pagi, 15 September 1918, Lee Duncan, ahli mekanik senjata pada Aero Squadron 135 Amerika Serikat, memeriksa reruntuhan bangunan tempat tentara Jerman di Fluiry, barat laut Toul, Prancis. Dia melihat penangkaran anjing untuk perang. Diperkirakan 16 juta hewan seperti kuda, unta, anjing, keledai, dan merpati disebarkan dalam Perang Dunia I. Di Jerman, tempat sekolah anjing militer pertama di dunia didirikan pada 1884, menempatkan 30 ribu anjing, disusul Inggris dengan 20 ribu ekor, dan Prancis 7 ribu ekor. Setiap negara yang terlibat perang menggunakan anjing, kecuali Amerika Serikat.
- Sukarno Tantang PBB
AMNESTI Internasional merilis laporan berjudul "The State of the World′s Human Rights" pada 24 Mei 2012. Laporan itu menyoroti kegagalan Dewan Keamanan PBB dalam menjaga perdamaian global. Salah satu akibatnya, menurut laporan itu, pelanggaran HAM meningkat. Bukan barang baru sebetulnya bila Dewan Keamanan atau PBB secara keseluruhan mendapat kritik keras. Sejak akhir 1950-an Sukarno berulangkali mengkritisi PBB. Dalam pandangannya, PBB sudah tak netral. Kepentingan bangsa-bangsa baru selalu dikalahkan oleh negara besar. Sukarno memberi contoh, PBB tak menghukum Amerika Serikat, Inggris, atau negara besar lain yang mencampuri bahkan mengganggu urusan dalam negeri negara lain.
- Menyibak Subak
KABAR gembira datang dari UNESCO, badan PBB yang menangani pendidikan dan kebudayaan. UNESCO menetapkan subak (organisasi pembagian air) dari Bali sebagai warisan budaya dunia. Keputusan ini menambah panjang daftar warisan budaya Indonesia yang diakui UNESCO. Sebelumnya, UNESCO mengakui keris, Candi Prambanan, angklung, dan karinding sebagai warisan budaya dunia. Kemunculan subak tak terlepas dari sistem pertanian yang diterapkan masyarakat Bali sejak berabad-abad lampau.
- Kawan Penasihat dan Pelawak
SUARA gamelan berhenti. Bagong masuk ke panggung menemui Petruk. “Truk, Gareng kini punya penyakit aneh. Suka menggigit pantat orang,” kata Bagong. Petruk percaya. Setelah itu, Bagong bertemu dengan Gareng. “Petruk kini berekor,” ujar Bagong mencoba membohongi. Seperti Petruk, Gareng percaya. Keduanya kemudian bertemu. Petruk waspada. Dia menutupi pantatnya dengan tangan. Penasaran, Gareng berusaha melihat pantat petruk. Keduanya berkejaran, hampir berkelahi. Beruntung, Semar datang menengahi. Mereka akhirnya tahu bahwa Bagonglah dalang keonaran ini. Semar berkata, “Membuat isu atau sas-sus itu tidak baik. Cuma bikin celaka orang dan kisruh.” Adegan-adegan ini terdapat dalam acara Ria Jenaka di TVRI pada 1980-an. Sebuah acara yang menjadi corong penguasa untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan melalui tokoh panakawan atau biasa disebut juga punakawan. Tokoh-tokoh wayang yang lekat dengan lawakan dan keanehan bentuk tubuh. Tak seperti awal kemunculannya.





















