Hasil pencarian
9572 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Masjid Habis Tumpang Terbitlah Kubah
Kolase masjid dengan tumpang dan kubah. KITA cenderung beranggapan bahwa masjid beratap kubah adalah yang paling Islami. Padahal kubah tidaklah identik dengan Islam. Kubah juga belum dikenal pada masa Nabi Muhammad. Arsitek terkemuka Profesor K.A.C. Cresswell dalam Early Muslim Architecture , mengatakan bentuk pertama Masjid Madinah (Masjid Nabawi) belum menggunakan kubah. Desain masjid pertama umat Islam itu sangat sederhana, “hanya berbentuk segi empat dengan dinding pembatas di sekelilingnya,” tulis Cresswell. Kubah sudah lama menjadi bagian dari arsitektur lama; biasanya terbuat dari dahan kayu sebagai penyangga yang lalu dipadatkan dengan lumpur atau batu. Semisal Kubur Mikene Greeks di Yunani ( Mycenaean Greeks ) yang berasal dari abad ke-14 SM. Namun teknik pembuatannya berbeda di masing-masing wilayah. Honai , rumah adat suku Dani di Papua misalnya, menggunakan daun rumbia sebagai penutupnya. Penggunaan kubah meluas pada abad pertengahan setelah imperium Romawi mulai menggunakan struktur kubah yang diletakkan di atas bangunan berbentuk segiempat. Ini dibuktikan dengan keberadaan bangunan Panthenon (kuil) di Kota Roma yang dibangun pada 118 M-128 M oleh Raja Hadria. Arsitektur Islam tertua yang menggunakannya adalah Kubah Batu ( Qubbat as-Shakrah ), tempat suci di dalam Masjid al-Aqsa di Yerussalem, yang dibangun Abdul Malik bin Marwan, khalifah Ummaiyyah, pada 691 M. Ia menjadi monumen Islam tertua yang masih bertahan hingga kini. “Pembangunan kubah itu dimaksudkan untuk mengungguli atap Gereja Sepulchre Suci yang indah,” tulis Phillip K. Hitti dalam History Of The Arabs . Menurut Taufik Ikram Jamil dalam “Penggalan Kepala untuk Sultan Melayu”, yang dimuat Kompas , 1 Agustus 2003, masjid pertama di Nusantara yang menggunakan atap kubah adalah Masjid Sultan di Riau, yang dibangun 1803, ketika direnovasi Yang Dipertuan Muda VII, Raja Abdul Rahman (1833-1843). Di Nusantara, masjid umumnya beratap tumpang. Kubah belum dikenal. Penggunaan kubah di Asia Tenggara dimulai setelah Perang Rusia-Turki pada 1877-1878 –antara Rusia, Romania, Serbia, Montenegro, dan Bulgaria melawan Kekaisaran Ottoman– yang mencuatkan ide revitalisasi Islam dan Pan-Islamisme. Saat itu Kekaisaran Ottoman melancarkan gerakan budaya, termasuk pengenalan jenis masjid baru. Gerakan ini bergema di Asia Tenggara. “Masjid-masjid tradisional beratap tumpang digantikan masjid kubah ( qubbah ) dengan minaret-minaret gaya Timur Tengah atau India Utara,” tulis Peter J.M. Nas dalam Masa Lalu Dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia . Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia , juga merunut dari gerakan reformis atau “pemurnian” Islam atas kebiasaan lama pra-Islam atau sinkretisme yang diambil Islam berabad-abad lampau. Bentuk atap kubah dibawa para kiai/ulama yang naik haji. “Lambat-laun kubah menjadi simbol arsitektur Islam paling modern, yang seakan-akan wajib ada pada masjid-masjid baru di Asia Tenggara,” tambah Peter J.M. Nas. Perubahan itu terlihat pada Masjid Baiturrahman di Banda Aceh. Setelah dikuasai dan dibakar sebagian untuk meredam perlawanan rakyat Acheh, Belanda membangun kembali pada 1879 dan rampung dua tahun kemudian dengan tambahan sebuah kubah. Arsiteknya adalah kapten Zeni Angkatan Darat Belanda ( Genie Marechausse ) de Bruijn. Pembangunan kembali itu, menurut Abdul Baqir Zein dalam Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia , merupakan strategi Belanda untuk mengambil hati rakyat Acheh. Pengaruh arsitektur modern, dengan campurtangan orang Eropa, juga terdapat pada Masjid Tua Palembang, yang dibangun masa kekuasaan Sultan Mahmud Baddaruddin I (1724-1757). Pada abad ke-19, ketika mengunjungi Palembang, komisaris Belanda J.I. van Sevenhoven melihat Masjid Tua Palembang sudah memiliki kubah, yang mungkin ditambahkan setelah bertahun-tahun masjid itu berdiri. Kubah itu, yang terbuat dari daun kelapa, berada di atas menara. Kubah kemudian menghiasi masjid-masjid di Nusantara, sebagaimana ditunjukkan Peter J.M. Nas. Dalam lukisan cat air bertahun 1822 karya J.W. van Zanten dan sebuah karya litografi tanpa warna dari Le Moniteur des Indes-Orientalis et Occidentalis (1846-1849), menara masjid Banten yang menyerupai mercusuar digambarkan mempunyai kubah. Pijper dalam Studien over de geschiedenis van de Islam , menduga masjid pertama di Jawa yang menggunakan kubah ada di Tuban, yang peletakan batu pertamanya dilakukan pada 1894. Masjid Agung Ambon, yang dibangun pada 1837, dihiasi kubah. Di Kudus, sebuah beranda ditambahkan pada Masjid Al-Aqsa pada 1933 dilengkapi kubah yang sangat besar. Kubah menjadi bagian arsitektur yang identik dengan masjid-masjid di Nusantara, hal yang disesali Pijper karena punahnya “gaya arsitektur Indonesia kuno nasional.” Sukarno, lulusan Technische Hoogeschool di Bandung, awalnya bukanlah pengagum kubah. Ketika dia berada di pengasingan di Bengkulu pada 1939 hingga 1942, dia merancang Masjid Jamik beratap tumpang susun tiga di Bengkulu. Tapi kemudian dia mulai terpengaruh olehnya. Ketika Indonesia menggelar Konferensi Asia-Afrika pada 1955, Presiden Sukarno menginstruksikan untuk mengganti atap tumpang Masjid Agung Bandung, yang dibangun pada 1810, dengan kubah. Karena Bandung akan menjadi pusat perhatian dunia, tulis Peter J.M. Nas, “Sukarno menganggap sebuah masjid beratap tumpang tidak pantas dalam menggambarkan bangsa Islam modern”. Sukarno juga mendorong arsitektur yang tak terikat pada masa lalu dan wawasan sempit bangsanya. Ini terlihat pada Masjid Istiqlal, dengan arsitek Frederich Silaban, seorang Nasrani, yang dibangun pada 1961. Penggantinya, Soeharto, kebalikannya. Ia seorang pengagum nilai-nilai dan tradisi Jawa. Ketika proyek Masjid Istiqlal hendak diteruskan, sempat terhenti karena krisis politik dan transisi kekuasaan, tampaknya Soeharto keberatan dengan penggunaan kubah. Tak heran jika Silaban senang ketika Soeharto akhirnya menyetujui semua rancangannya. “Saya meminta pada Presiden Soeharto agar soal kubah tidak ditawar-tawar,” kata Silaban dikutip Tempo , 27 Agustus 2007. Masjid Istiqlal diresmikan pada 22 Februari 1978. Soeharto juga meminta agar kubah Masjid Agung Bandung dikembalikan lagi ke atap tumpang pada 1970. Alasannya, mengembalikan jatidiri kebudayaan nasional. Soeharto lalu mendorong pembangunan masjid bergaya tradisional, yang didanai Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila (YAMP). Sejak berdiri hingga 2007, menurut buku Pengabdian 25 Tahun YAMP , yang diterbitkan yayasan tersebut, sudah berdiri 960 masjid. Masjid-masjid itu –yang bentuknya sama, tak peduli dibangun di Jawa atau di Papua, dengan Masjid Agung Demak sebagai prototipe– beratap tumpang tiga susun. Soeharto jatuh, penggunaan kubah kembali populer.*
- Upacara Natal Bersama Haram
Ketua MUI Buya Hamka dan Menteri Agama Letjen TNI (Purn.) Alamsjah Ratu Perwiranegara tahun 1969. (Repro H. ARPN: Perjalanan Hidup Seorang Anak Yatim Piatu). Majelis Ulama Indonesia (MUI) menganjurkan umat Islam tak mengikuti kegiatan-kegiatan perayaan Natal. Mengikuti upacara Natal Bersama bagi umat Islam hukumnya haram. Demikian bunyi fatwa tentang perayaan Natal Bersama yang dikeluarkan MUI pada 7 Maret 1981. Kala itu MUI dipimpin Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), sedangkan ketua Komisi Fatwa-nya adalah Syukuri Ghozali. Fatwa tersebut dilatarbelakangi fenomena yang kerap terjadi sejak 1968 ketika Hari Raya Idul Fitri jatuh pada 1-2 Januari dan 21-22 Desember. Lantaran perayaan Lebaran berdekatan dengan Natal, banyak instansi menghelat acara perayaan Natal dan Halal Bihalal bersamaan. Ceramah-ceramah keagaman dilakukan bergantian oleh ustadz, kemudian pendeta. Menurut Jan S. Aritonang dalam Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia , Hamka mengecam kebiasaan itu bukan toleransi namun memaksa kedua penganut Islam dan Kristiani menjadi munafik. Hamka juga menilai penganjur perayaan bersama itu sebagai penganut sinkretisme. Dalam fatwanya, MUI sendiri melihat bahwa perayaan Natal Bersama disalahartikan oleh sebagian umat Islam dan “disangka sama dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw”. Karena salah pengertian itu, ada sebagian umat Islam ikut dalam perayaan Natal dan duduk dalam kepanitiaan Natal. Padahal, lanjut MUI, perayaan Natal bagi umat Kristen adalah ibadah. Baca juga: Kado Natal 1000 Gulden Dengan pertimbangan, umat Islam perlu mendapat petunjuk jelas, tak tercampuraduknya akidah dan ibadahnya dengan agama lain, perlu menambah iman dan takwa, serta tanpa mengurangi usaha menciptakan kerukunan antarumat beragama, MUI mengeluarkan fatwa tentang Perayaan Natal Bersama. MUI berharap umat Islam tak terjerumus dalam syubhat (perkara-perkara samar) dan larangan Allah. Fatwa MUI kemudian ramai diperdebatkan. Kebiasaan saling menghadiri, saling mengucapkan selamat dan merayakan bersama di kantor atau sekolah lantas membuat para pimpinan sekolah maupun instansi dilema. Menurut Ketua Komisi Fatwa, Syukri Ghozali, dikutip Tempo 30 Mei 1981, fatwa itu sebenarnya dibuat agar Departemen Agama menentukan langkah dalam menyikapi Natalan-Lebaran yang kerap terjadi. “Jadi seharusnya memang tidak bocor keluar,” ujar Syukri. Namun, fatwa yang disiarkan buletin Majelis Ulama 3 April 198 dikutip harian Pelita 5 Mei 1981. Jadilah fatwa itu menyebar ke masyarakat sebelum petunjuk pelaksanaan selesai dibuat Departemen Agama. Baca juga: Gencatan Senjata Natal Dianggap dapat menegangkan kerukunan antarumat beragama, pemerintah turun tangan. Menteri Agama Letjen TNI (Purn.) Alamsjah Ratu Perwiranegara dalam memoarnya H. ARPN: Perjalanan Hidup Seorang Anak Yatim Piatu , menuliskan: “Saya undang pimpinan Mejelis Ulama. Saya sarankan agar fatwa tersebut dicabut dan saya akan mengambil-alih dengan mengeluarkan peraturan.” Hamka tak lantas mencabut fatwa itu. Dia hanya mengeluarkan Surat Keputusan MUI No. 139 tahun 1981 mengenai penghentian edaran fatwa. Namun, dalam surat pembaca yang ditulisnya dan kemudian dimuat di Kompas 9 Mei 1981, dia menjelaskan Surat Keputusan MUI itu tak mempengaruhi kesahihan fatwa tentang perayaan Natal. “Fatwa itu dipandang perlu dikeluarkan sebagai tanggung jawab para ulama untuk memberikan pegangan kepada umat Islam dalam kewajiban mereka memelihara kemurnian aqidah Islamiyah,” tulis Hamka. “Drama” kemudian bergulir. Hamka meletakkan jabatan. Dalam buku Mengenang 100 Tahun Hamka , Shobahussurur mencatat perkataan Hamka: “ Masak iya saya harus mencabut fatwa,” kata Hamka sambil tersenyum sembari menyerahkan surat pengunduran dirinya sebagai ketua MUI kepada Departemen Agama. Baca juga: Kado Natal untuk Yogyakarta Gonjang-ganjing MUI dan fatwa tersebut sampai ke DPR. Menurut Kompas , 21 Mei 1981, dalam tanggapannya di depan rapat kerja dengan Komisi IX DPR, Menteri Agama berencana menghelat pertemuan dengan Musyawarah Kerukunan Antar Agama untuk merumuskan batasan kegiatan seremonial atau ibadah mana yang bisa dan tidak bisa diikuti orang di luar umat agama tersebut. Pada 2 September 1981 Menteri Agama mengeluarkan Surat Edaran Nomor MA/432/1981 kepada berbagai instansi pemerintah. Isinya menjelaskan: selepas acara kegiatan ibadah umat Kristiani, yakni acara seremonialnya, boleh saja pemeluk agama lain hadir mengucapkan dan merayakan Natal. Kegiatan ibadah, menurut surat edaran tersebut, adalah sembahyang, berdoa, puji-pujian, bernyanyi, membakar lilin, dan lain-lain. Demikian juga umat Islam, ketika salat Idul Fitri atau Idul Adha tak pernah mengundang pemeluk agama lain, tapi setelah selesai salat pintu terbuka untuk semua tamu.
- Jihad ala NU
KH Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama, dan Bung Tomo, yang menggelorakan perjuangan dalam Pertempuran Surabaya, 10 November 1945. Dalam pertempuran sengit di Surabaya pada 10 November 1945 –kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan– banyak pejuang tersulut semangatnya oleh seruan Bung Tomo melalui corong radio. Bung Tomo tentu sadar betul bagaimana menggelorakan semangat juang, termasuk umat Islam. Tak heran jika dia tak melupakan seruan takbir. “Dan kita yakin saudara-sudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita. Sebab, Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah saudara-saudara, Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar...! Allahu Akbar...! Allahu Akbar...! Merdeka!” Bung Tomo mungkin tak pernah menjadi santri, “Tetapi diketahui meminta nasihat kepada Kiai Hasyim Asy’ari,” tulis Martin van Bruinessen dalam NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru . Baca juga: KH Hasyim Asy'ari Menjaga Tradisi Pesantren Namun, bagi warga nahdliyin , ada seruan lain yang lebih hebat dan membangkitkan semangat juang mereka, yakni Resolusi Jihad –monumennya diresmikan pada 23 Oktober 2011 di Surabaya untuk mengenang peran ulama dalam memperjuangkan kemerdekaan. “Deklarasi ini,” tulis van Bruinessen, “yang kemudian terkenal sebagai Resolusi Jihad, tidak mendapat perhatian yang selayaknya dari para sejarawan. Resolusi itu menunjukkan bahwa NU mampu menampilkan diri sebagai kekuatan radikal yang tak disangka-sangka.” NU tergerak menyatakan Resolusi Jihad setelah melihat sejumlah daerah jatuh ke tangan Inggris. Akhir September 1945, atas nama Netherlands Indies Civil Administration (NICA), Inggris menduduki Jakarta. Pertengahan Oktober, pasukan Jepang merebut kembali beberapa kota di Jawa dan menyerahkannya kepada Inggris. Beberapa hari sebelum Resolusi Jihad, Bandung dan Semarang diduduki Inggris setelah melalui pertempuran hebat. Demikian juga Surabaya; kedatangan pasukan Inggris pada 25 Oktober disambut dengan gelisah. Sementara itu pemerintah Republik Indonesia yang baru saja memproklamasikan kemerdekaannya, masih menahan diri untuk melakukan perlawanan dan mengharapkan adanya penyelesaian secara diplomatik. Baca juga: Palu Arit di Ladang NU “Resolusi Jihad merupakan pengakuan terhadap legitimasi pemerintah Republik Indonesia sekaligus kritik tidak langsung terhadap sikap pasifnya,” tulis Van Bruinessen. Agaknya, NU menginginkan seruan jihad langsung diperintahkan oleh pemerintah Republik Indonesia. Namun, karena pasif, NU melalui Resolusi Jihad-nya “memohon dengan sangat kepada pemerintah Republik Indonesia supaya menentukan sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan... supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan bersifat ‘Sabilillah’ untuk tegaknya negara Republik Indonesia merdeka dan agama Islam.” “Resolusi jihad itu,” tulis Zuhairi Misrawi dalam Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari , “memberi rangsangan motivasi yang amat kuat kepada para pemuda Islam untuk berjihad membela negara.” Pada 21 dan 22 Oktober 1945, delegasi Nahdlatul Ulama (NU) se-Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya. Pertemuan yang dipimpin langsung oleh pendiri NU, Kiai Hasyim Asy’ari, menyatakan perjuangan kemerdekaan sebagai jihad atau Perang Suci dan menentang kembalinya Belanda adalah kewajiban setiap Muslim (fardhu ‘ain). Pertemuan itu menghasilkan Resolusi Jihad, yang menyatakan bahwa, “pihak Belanda (NICA) dan Jepang telah banyak menjalankan kejahatan dan kekejaman, dengan maksud melanggar kedaulatan negara dan agama, serta ingin kembali menjajah. Di beberapa tempat telah terjadi pertempuran yang sebagian besar dilakukan oleh umat Islam yang merasa wajib menurut hukum agamanya. Karenanya umat Islam dan alim ulama di seluruh Jawa-Madura memiliki hasrat yang besar untuk mempertahankan dan menegakkan agama dan kedaulatan negara Republik Indonesia.” Menurut Van Bruinessen, pasukan-pasukan nonreguler yang bernama Sabilillah –nama ini merujuk kepada Perang Suci– rupanya dibentuk sebagai respons langsung atas resolusi ini. Komandan tertinggi Sabilillah adalah pemimpin NU, Kiai Masykur dari Malang, yang kelak menjadi politisi terkenal dan menjabat sebagai menteri agama. Baca juga: Kiai NU dan Daging Babi Resolusi Jihad juga dilontarkan dalam Muktamar Umat Islam Indonesia di Yogyakarta pada 7-8 November 1945, yang diselenggarakan oleh Masyumi, di mana NU menjadi anggotanya –sayangnya, muktamar ini lebih dikenal hanya sebagai deklarasi pembentukan Partai Masyumi. Seperti diberitakan Warta Indonesia , 17 November 1945, resolusi tersebut menyatakan, “tiap bentuk penjajahan adalah kezaliman yang melanggar perikemanusiaan dan diharamkan oleh Islam. Untuk membasmi tindakan imperialisme, setiap Muslim wajib berjuang dengan jiwa raga bagi kemerdekaan negara dan agamanya. Untuk itu, harus memperkuat umat Islam untuk berjihad fisabilillah .” Muktamar menghasilkan Program Perjuangan, yang antara lain terealisasi dalam pembentukan pasukan nonreguler Sabilillah. Berbeda dengan pasukan Hizbullah sebagai “gabungan keinginan Jepang dan ulama” –dibentuk pada Februari 1945 dan dipimpin Kiai Zainul Arifin–, Sabilillah tak memiliki asal-usul resmi pada masa Jepang, tak memiliki latihan militer formal, dan tak terorganisasi. “Nampaknya,” tulis Benedict Anderson dalam Revolusi Pemuda , “ia tidak pernah menjadi suatu organisasi terpadu, tetapi merupakan nama umum bagi sejumlah besar gerombolan bersenjata yang dipimpin oleh para kiai desa, yang bermunculan selama zaman pengambil-alihan dari Jepang.” Pada 10 November 1945, dua minggu setelah kedatangan pasukan Inggris di Surabaya, sebuah pemberontakan massal pecah. Banyak pengikut NU terlibat dalam pertempuran di Jembatan Merah, Wonokromo, Waru, Buduran, dan daerah-daerah lain di Surabaya. Pemakaian jimat dan ilmu kanuragan, tanpa senjata, kerap mewarnai kisah perjuangan mereka. Baca juga: PBNU Tolak Beri Maaf PKI Sikap radikal NU selama revolusi seakan bertentangan dengan reputasi NU sebagai organisasi moderat dan kompromistis. Anggaran dasar formal (Statuen) NU, yang kali pertama dibuat pada Muktamar III pada 1928, sesuai dengan undang-undang perhimpunan Belanda. Yang melatarbelakanginya: keinginan mendapatkan pengakuan pemerintah Belanda. Atas dasar anggaran dasar ini, NU diberi status berbadan hukum (rechtspersoonlijkheid) pada Februari 1930. “Sepanjang dasawarsa akhir pemerintahan Belanda, NU selalu memberikan kesetiaannya kepada pemerintah Hindia Belanda,” tulis Van Bruinessen. “Sikap ini sejalan dengan pandangan Sunni tradisional bahwa sebuah pemerintahan yang memperbolehkan umat Islam menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya lebih baik daripada fitnah (chaos) akibat pemberontakan.” Meski demikian, bukan berarti NU tak bisa berani sama Belanda. Menurut Fathurin Zen dalam NU Politik: Analisis Wacana Media , pertentangan antara kaum Islam tradisionalis dan Islam modernis dapat mengendur saat keduanya sama-sama menghadapi perlakuan tak adil dari penjajah Belanda atau menghadapi masalah-masalah lain yang sangat serius. Misalnya pada 1931, NU memprotes Belanda ketika masalah kewarisan dihapus dari kewenangan Pengadilan Agama dan diserahkan kepada Pengadilan Negeri (landraad), menentang keleluasaan mengkritik agama Islam, dan menolak penguasa untuk mengawasi pengetahuan keagamaan para pegawai yang ditugaskan di berbagai kantor yang mengurusi umat Islam. Baca juga: Mengapa NU Keluar dari Masyumi? Apa yang menyebabkan NU berubah drastis, dari sikap moderat dan kompromistis menjadi militan? Menurut Van Bruinessen, selain tindakan Jepang yang melibatkan umat Islam dalam kegiatan politik, yang membuat NU mengubah tradisi politik Sunni-nya adalah proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. NU mengakui para pemimpin Republik sebagai pemimpin yang sah –Muslim lagi. Karena itu, ketika Belanda ingin kembali berkuasa di Indonesia, NU menganggapnya sebagai tentara kafir yang berusaha menjatuhkan pemerintah Muslim Indonesia yang sah. “Apabila tanah Muslim berada dalam serbuan orang kafir, sebagaimana disepakati ulama,” tulis Van Bruinessen, “Perang Suci menjadi kewajiban agama.” Semangat membela agama dan tanah air yang dipicu oleh Resolusi Jihad kemudian diperkuat lagi dengan pidato Kiai Hasyim Asy’ari, pada pembukaan Muktamar NU ke-16 dan, yang pertama setelah perang, pada 26-29 Maret 1946 di Purwokerto, “... sesungguhnya pendirian umat adalah bulat untuk mempertahankan kemerdekaan dan membela kedaulatannya dengan segala kekuatan dan kesanggupan yang ada pada mereka, tidak akan surut seujung rambut pun.”
- Kala Musim Semi Tiba
Warga Tionghoa sedang bersembahyang di kelenteng. (Fernando Randy/Historia). ALKISAH, di negeri Tiongkok, hiduplah seekor raksasa Nian. Ia muncul dari pegunungan –ada juga yang menyebutkan dari dasar laut– setiap kali musim dingin berakhir dan melahap apa saja yang djumpainya. Hasil panen, hewan ternak, hingga manusia ludes. Agar selamat, setiap kali musim semi tiba, penduduk menaruh sesaji di depan pintu rumah untuk Nian. Prosesi itu tak berlanjut setelah penduduk menjumpai Nian lari ketakutan saat bertemu seorang bocah berpakaian merah. Penduduk berkesimpulan, Nian takut warna merah. Maka, menjelang musim semi, mulailah mereka menghias rumah dengan pernak-pernik berwarna merah, dari lentera hingga gulungan kertas. Mereka juga mengenakan Cheongsam –pakaian tradisional bernuansa merah. Mitos lain menyebutkan Nian mucul saat ladang bulu (bambu) milik penduduk terbakar dan menimbulkan bunyi letusan keras. Nian sang raksasa ketakutan, lari tunggang-langgang dan tak pernah kembali lagi. Setiap awal musim semi tiba, penduduk pun menyulutkan mercon. Petualangan Nian berakhir setelah ditaklukan seorang pendeta Tao bernama Honjun Laozu. Laozu kemudian menjadikan Nian sebagai kendaraan tunggangannya. Hingga kini, tradisi menghias rumah hingga menyalakan mercon mewarnai perayaan tahun baru, atau dikenal dengan sebutan Guo Nian yang berarti “menyambut tahun baru” atau secara harfiah “mengusir Nian”. Tahun Baru Cina, atau juga dikenal dengan sebutan Imlek, di negeri asalnya pada dasarnya merupakan perayaan menyambut musim semi. Tradisi ini lekat dengan sistem penanggalan kalender Tionghoa yang berpatokan pada peredaran bulan berpadu peredaran matahari. Sistem penghitungan tersebut juga dikenal dengan sebutan kalender Lunisolar, di mana awal tahun bertepatan dengan masuknya musim semi. Karenanya, di Tiongkok, Tahun Baru Imlek lebih dikenal dengan sebutan Chunjie (perayaan musim semi). Imlek di Indonesia Masyarakat Tionghoa memiliki sejarah persentuhan yang panjang dengan Nusantara. Ribuan tahun lalu orang dari Tiongkok daratan mengunjungi dan mendiami kepulauan Nusantara. Perayaan Imlek pun menapaki jejaknya di sini. Sempat dilarang pada masa penjajahan Belanda, Imlek kembali dirayakan pada masa Jepang. Pemerintah pendudukan Jepang bahkan menjadikannya hari libur resmi berdasarkan keputusan Osamu Seiri No. 26 tanggal 1 Agustus 1942. Itulah kali pertama dalam sejarah Tionghoa di Indonesia Imlek menjadi hari libur. Jepang meleluasakan kegiatan etnis Tionghoa dengan tujuan “membersihkan” masyarakat Tionghoa dari pengaruh budaya Barat. Karena alasan itu pula pemerintah Jepang menutup sekolah-sekolah Belanda dan mengaktifkan sekolah-sekolah Tionghoa dengan memberi tambahan mata pelajaran bahasa Jepang. Perayaan Imlek tetap dirayakan ketika Sukarno berkuasa. Namun, lewat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 tahun 1967, Presiden Soeharto melarang segala hal yang berbau Tionghoa, keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat, termasuk perayaan Imlek. Masyarakat Tionghoa memilih merayakan Imlek secara diam-diam. “Kalau sembahyang kami tetap jalankan, biasanya ya di rumah masing-masing. Perayaan Imlek saat itu kami lakukan dengan sangat sederhana. Yang pasti tidak ada mercon dan barongsai,” kata Oey Tjing Eng, salah seorang sesepuh masyarakat Tionghoa Tangerang dalam satu wawancara. Larangan itu berakhir ketika Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjadi presiden, yang segera mencabut Inpres Nomor 14 tahun 1967. Penerusnya, Megawati Soekarnoputri, melanjutkannya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19 tahun 2002 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional. Sejak itu di sejumlah pertokoan seperti di daerah Pancoran Raya, Glodok, ramai dengan penjual pernak-pernik Imlek. Kelenteng-kelenteng kembali bersih-bersih dan menghias diri setiap kali menjelang Imlek. Barongsai pun kembali meliuk-liuk. Penuh Makna Imlek mulai dirayakan di hari pertama bulan pertama kalender Tionghoa, dan berakhir dengan Cap Gomeh di tanggal kelimabelas. Namun, sebelumnya masyarakat Tionghoa membersihkan rumah, mendekor ulang rumah, serta melunasi atau mengurangi hutang. Membersihkan rumah, misalnya, mengandung makna rumah akan bersih dari keburukan dan siap menerima keberuntungan di tahun baru. Pada hari pertama Sin Nien atau tahun baru, mereka melakukan sembahyang pada leluhur, dan tak lupa menyajikan makanan, minuman, dan buah di altar. Yang tak punya altar di rumah pergi ke kelenteng terdekat untuk sembahyang, mengucapkan terima kasih atas lindungan Thien (Tuhan) sepanjang tahun. Setelah itu mereka memberikan hormat kepada orangtua, saling mengunjungi sanak keluarga dan kerabat dekat. Banyak pantangan yang tak boleh dilakukan pada hari tersebut. Menyapu dan membuang sampah konon akan mengusir rezeki ke luar dari rumah. Mereka juga tak boleh memecahkan piring. Jika tak sengaja memecahkannya, mereka harus cepat-cepat mengucapkan Sue sue Phing an, yang artinya setiap tahun tetap selamat. Pantangan lainnya: tak boleh bertengkar atau mengeluarkan kata-kata fitnah. Hari kedua adalah saat hue niang cia atau pulang ke rumah ibu. Perempuan yang sudah menikah membawa Teng Lu yang merupakan bingkisan atau angpao (kantong merah kecil yang berisi uang) untuk ibu dan adik-adiknya. Secara tradisi, angpao atau hung pau juga diberikan kepada anak-anak dan orangtua. Pada hari ketiga, mereka lebih banyak tinggal di rumah, tanpa melakukan banyak perjalanan dan aktivitas. Layaknya tradisi Lebaran, masyarakat Tionghoa mengenakan pakaian baru; biasanya berwarna merah atau warna terang lainnya. Warga Tionghoa percaya pentingnya penampilan dan sikap baru yang optimis menghadapi masa depan. Segala tradisi dalam perayaan Imlek sarat makna. Hidangan yang disajikan pada perayaan Imlek biasanya terdiri atas 12 macam masakan dan 12 macam kue. Ini melambangkan 12 macam Shio. Mie menjadi makanan wajib karena simbol panjang umur. Selain itu, lapis legit dan ikan bandeng yang melambangkan rezeki. Ada juga beragam kue, dari lapis hingga kue keranjang, dengan rasa yang lebih manis dari biasanya; berharap kehidupan yang lebih manis di tahun mendatang. Sementara bubur pantang dimakan saat Imlek karena melambangkan kemiskinan. Makanan berasa pahit seperti pare juga dihindari karena melambangkan kepahitan hidup. Buah-buahan wajib selama Imlek adalah pisang raja atau pisang mas, jeruk kuning, delima hingga tebu yang melambangkan kemakmuran dan rezeki berlimpah. Buah berduri seperti salak atau durian harus dihindari. Nanas menjadi perkecualian karena namanya Wang Li dengan pengucapan mirip dengan kata Wang yang artinya berjaya –nanas juga dilambangkan sebagai mahkota raja. Dianjurkan makan manisan seperti kolang-kaling agar pikiran menjadi jernih. Agar-agar juga dianjurkan, yang sebaiknya disajikan dalam bentuk bintang agar kehidupan maupun jabatan di masa datang bisa terang dan bersinar. Semua hal yang mewarnai Imlek pada dasarnya bermakna satu: membuang segala keburukan di tahun lalu dan berharap tahun baru yang lebih baik. Sama seperti musim semi, saat bunga-bunga mulai bermekaran, tunas-tunas tanaman mulai tumbuh, dan matahari muncul dengan kehangatan sinarnya. Musim semi adalah musim harapan, di mana segala sesuatu yang lama digantikan yang baru. Selamat Tahun Baru Imlek. Gong xi fa cai.
- Adik Kandung Pindah Agama, Haji Agus Salim: Alhamdulillah
Sekali waktu, seorang Belanda pernah bertanya kepada Haji Agus Salim, “ Zeg Salim, bagaimana itu, adik Anda masuk agama Katolik?”. “ God zij dank , Alhamdullilah, ia sekarang lebih dekat dengan saya,” jawabnya santai. “Mengapa Anda malah berterima kasih kepada Tuhan?” tanya orang Belanda itu semakin heran. “Dia dulu orang komunis, tidak percaya Tuhan, sekarang dia percaya Tuhan,” katanya. Adik Haji Agus Salim yang dimaksud orang Belanda itu adalah Chalid Salim. Selama lima belas tahun, Chalid menjadi Digulis karena dituduh komunis. Dia dijatuhi hukuman pembuangan ke Digul karena tulisannya yang tajam di Pewarta Deli , atas sikap polisi kolonial dalam menumpas pemberontakan komunis tahun 1926. Sebelum di Pewarta Deli , Chalid memulai karir jurnalistiknya dari mingguan Halilintar Hindia di Pontianak, yang banyak mengadopsi asas PKI. Lalu pindah ke majalah Proletar di Surabaya yang juga "merah." Pada Juli 1928, vonis dijatuhkan kepada Chalid. “Sebagai orang yang ‘berbahaya bagi ketenteraman dan ketertiban negeri’ maka saya dibuang ke Digul sebagai nomor 925,” seperti ditulisnya dalam memoar Lima Belas Tahun Digul . Meski ayahnya, Sutan Mohammad Salim yang bekerja sebagai anggota Landraad (pengadilan negeri , red. ) Medan berupaya membebaskannya, Chalid tetap dibuang. Selama di Digul, dia mulai meninggalkan sikap ateisnya. Mulanya dia menggandrungi ajaran teosofi, dengan membaca karya Annie Besant, Krishnamurti dan W.C. Leadbeater. Namun kemudian tertarik pada Katolik, sebab kedekatannya dengan Soekardjo Prawirojoedo, Digulis yang terlibat peristiwa kapal Zeven Provincien , yang sudah lebih dulu dibaptis dalam Katolik Roma. Chalid akhirnya berkenalan dengan pastor Mauwese. Dia pun mulai mengakrabi aktivitas gereja. Keyakinannya semakin kuat untuk memeluk agama Katolik. Dia pun meminta Mauwese mengajarkan langkah untuk masuk Katolik. Namun Mauwese tak mau begitu saja meluluskan permintaan Chalid beralih iman. “Tidak sadarkah Anda, tuan Salim, konsekuensi dari ini? Ada kemungkinan anak-keluarga Anda yang menganut Islam akan memutuskan segala hubungan kekeluargaan,” tanya Mauwese. Chalid pun langsung menerangkan bahwa dia telah berpikir matang. Dia pun mulai belajar kathekismus. Mauwese juga menghadiahinya buku karangan Thomas A. Kempis yang berjudul Imitatione Christi , yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Maka, pada 26 Desember 1942, Chalid dibaptis oleh pastor Mauwese. Namanya pun bertambah menjadi Ignatius Fransiscus Michael Chalid Salim. Langkah Chalid ini ternyata didukung oleh sanak keluarganya. Saat Haji Agus Salim menemuinya di Belanda, Agus Salim justru senang mendengar Chalid memeluk Katolik. “Aku bersyukur bahwa Anda akhirnya percaya pula kepada Tuhan. Dan pilihanmu tentu sudah menjadi takdir Illahi,” ujar Agus Salim kepada Chalid.
- Makam di Sisi Masjid Perlawanan
SEBUAH masjid berdiri megah di ruas Jalan Jatinegara Kaum Raya, Jakarta Timur. Namanya Masjid Jami’ As-Salafiyah (Masjid Tertua), berdiri pada 1620. Tepat di sisi kanan masjid berdiri sebuah bangunan, mirip pendopo, yang berisi lima makam: Pangeran Achmad Jayakarta, Pangeran Lahut, Pangeran Surya, Pangeran Shogeri, dan makam Ratu Rafi’ah. “Pangeran Lahut itu anak dari Pangeran Achmad Jayakarta. Pangeran Shogeri masih kerabatnya dan anak dari Sultan Agung Titayasa. Sedangkan Ratu Rafi’ah adalah istri dari Pangeran Shogeri,” kata Raden Manaf, generasi kesembilan dari keturunan Pangeran Jayakarta. Banyak orang sempat meragukan makam di sisi masjid itu adalah makam Pangeran Jayakarta. Keberadaannya juga pernah dirahasiakan dari publik dan baru diberitakan pada 1950. Menurut Raden Manaf, Pangeran Jayakarta berwasiat agar keberadaan makamnya baru diberitakan bila Belanda sudah tak lagi bercokol di Nusantara. Sebab, bila diketahui pihak Belanda, keturunannya akan dihabisi. Selain kelima makam itu, puluhan makam mengitari sisi kanan dan belakang masjid. Semuanya makam keturunan dan kerabat Pangeran Jayakarta. “Di sisi pojok paling kanan, ada makam Pangeran Sang Hyang (Raden Syarif bin Pangeran Senopati Ngalaga), tokoh Islam keturunan keluarga Kesultanan Banten yang aktif berjuang melawan penjajah Belanda,” lanjut Manaf. Pada 30 Mei 1619 tentara Belanda di bawah Gubernur Jenderal Jan Pieterzoen Coen menyerang dan menghancurkan kota dan Keraton Jayakarta. Awalnya Coen berniat menamakan kota yang baru ditaklukannya itu dengan nama Nieuw Horn (Horn Baru) untuk mengenang kota kelahirannya. Namun penguasa tinggi di Belanda memutuskan agar tempat itu dinamakan Batavia. Menurut Thomas B. Ataladjar dalam Toko Merah , nama Batavia diusulkan seorang pegawai VOC bernama van Rai. Batavia berasal dari kata Batavieren, nama suku bangsa nenek-moyang bangsa Belanda yang berasal dari Jerman. Untuk menabalkan kekuasaan di daerah baru, Coen membangun sebuah kastil atau benteng Batavia dengan luas 3,6 hektar. Adapun nama Batavia untuk kastil dan kota baru itu disahkan pada 1620, untuk kemudian dikukuhkanlah sebuah pemerintahan ( Stad ) Batavia pada 4 Maret 1621. Sejak itu pula Jayakarta disebut Batavia selama tiga ratus tahun lebih (1619-1942). Raden Manaf dalam Sejarah Pangeran Jayakarta Jatinegara Kaum menuliskan,keadaan memburuk akibat dari perjanjian sewa-menyewa tempat antara Jayakarta-Belanda-Inggris, sehingga Pangeran Djayawikarta/Wijayakrama yang oleh Belanda dan Inggris dberi gelar Regent van Jacatra atau Koning van Jacatra atau King of Jacatra diturunkan dari jabatannya sebagai Bupati Jayakarta pada 2 Februari 1619. Dia kemudian dipulangkan Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir, Sultan Banten IV, ke Banten. Pada 15 Februari 1619, untuk menghindari vakum pemerintahan di Jayakarta, anak Pangeran Wijayakrama, Pangeran Achmad Jaketra yang bergelar sama dengan sang ayah, Pangeran Jayakarta, diangkat menggantikan posisi ayahnya. Jadi ketika Coen menyerang Jayakarta, kekuasaan berada di bawah kendali Pangeran Achmad Jaketra. “Belanda menyerang dengan cara licik, menembaki peluru yang sudah dilumuri dengan barang najis seperti kotoran manusia. Itu membuat pasukan Pangeran yang taat beragama Islam terpukul mundur,” kata Raden Manaf. Jayakarta jatuh ke tangan Belanda. Tak patah arang Pangeran Jayakarta secara bergerilya terus menggalang kekuatan. Alwi Shihab dalam Betawi Queen of the East menuliskan, setelah Jayakarta jatuh ke tangan Belanda, Pangeran Achmad Jaketra dan para pengikutnya hijrah ke sebuah daerah yang ditumbuhi pohon jati. Daerah ini kemudian dikenal dengan sebutan Jatinegara Kaum. Kata Jatinegara ditafsirkan sebagai “negara sejati.” “Awalnya dikenal dengan sebutan Kampung Dalem atau Kampung Ningrat Keraton pada 1619-1799. Lalu berganti jadi Jatinegara, yang artinya negara atau pemerintahan sejati pada 1799-1901. Daerah ini sendiri kemudian dikenal dengan sebutan Jatinegara Kaum,” kata Manaf. Pada 1620, Pangeran Achmad Jaketra mendirikan sebuah masjid bernama Masjid Jami’ As-Salafiyah. Awalnya hanya seluas empat pilar dengan selasar lima meter di setiap sisinya. Dalam perkembangannya, masjid ini rupanya juga digunakan untuk menyusun perlawanan. Ketika Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten menyerang VOC, Jatinegara Kaum kembali memegang peran penting. Sepeninggal Pangeran Jayakarta, Pangeran Sugeri, putera Sultan Fatah dari Banten, memugarnya pada 1700. Pangeran Sugeri dan Fatah merupakan tokoh yang terbuang dari Kasultanan Banten karena Sultan Haji, saudara Sultan Fatah, melakukan kudeta dengan bantuan pemerintah Belanda. Anak dan bapak ini kemudian bergabung dengan Pangeran Jayakarta. Mereka bahu-membahu mengusir VOC di Batavia. Pangeran Jayakarta dan Pangeran Shogeri kemudian dimakamkan bersebelahan dengan masjid. Pangeran Achmad Jaketra tinggal di Jatinegara Kaum hingga akhir hayatnya. Meninggal pada 1640, dia dimakamkan di dekat masjid yang didirikannya. Bangunan makam ini pernah direnovasi di masa Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada 1968 dan juga Gubernur DKI Jakarta R. Soeprapto pada 1982. Kompleks Makam Pangeran Jayakarta ditetapkan sebagai Situs Sejarah, Purbakala Cagar Budaya. Makam ini tak pernah sepi dari peziarah yang datang dari berbagai daerah.
- Kisah Si Burung Merak Masuk Islam
WS Rendra dianggap sebagai penyair terbesar setelah Chairil Anwar. Sajak-sajaknya dikenal tajam mengkritik keadaan sosial yang disebutnya “pamflet.” Padahal, di awal kepenyairannya, Si Burung Merak banyak menulis sajak tentang agama dan Tuhan sesuai dengan keyakinannya sebagai Katolik, seperti terangkum dalam Balada Orang-orang Tercinta (1957). Rendra lahir dari keluarga Katolik taat pada 7 November 1935 di Solo. Namun belakangan dia resah dan menceritakan kegelisahannya itu kepada sastrawan Ajip Rosidi. “Selama di Amerika untuk menenteramkan kegelisahan itu dia mempelajari agama Budha dan agama-agama Asia yang banyak dipelajari anak-anak muda Amerika… seperti agama Krisyna dan semacamnya. Tapi belakangan minatnya tertarik kepada Islam,” kata Ajip dalam otobiografinya, Hidup Tanpa Ijazah . Menurut Ajip, pengaruh terbesar kepada Rendra untuk menyelami Islam adalah Syu’bah Asa, yang ketika itu mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga dan aktif menjadi anggota Bengkel Teater yang dipimpin Rendra. Syu’bah Asa memperkenalkan naskah Barjanzi yang diterjemahkannya kepada Rendra. Barjanzi merupakan karya sastra berisi pujian, sanjungan dan doa yang ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. yang ditulis oleh Sayid Ja’far al-Barzanji. Rendra sangat tertarik kepada naskah tersebut, yang kemudian dipentaskan oleh Bengkel Teater. Pertunjukan itu mendapat sambutan hangat dari penonton dan kritikus, sehingga dipertunjukkan di berbagai kota. “Saya kira tidak kecil pengaruh pengalamannya mementaskan Barzanji itu sehingga dia sampai pada keputusan untuk memeluk agama Islam,” kata Ajip. Rendra merasa hatinya sudah mantap untuk menjadi Muslim. Secara resmi dia mengucapkan sahadat di depan KH Ghafar Ismail, Taufik Ismail, dan Ajip Rosidi, di rumah Taufiq di lingkungan Taman Ismail Marzuki Jakarta. Setelah itu, Taufiq membuat pernyataan tertulis yang dia tandatangani bersama Ajip. Ghafar, kakak Taufiq, mengajari Rendra salat. Setelah menjadi Muslim, nama awal (WS) berubah dari Willibrordus Surendra Broto Rendra menjadi Wahyu Sulaiman Rendra. Menurut peneliti dan penerjemah sastra Indonesia, Harry Aveling, surat kabar Angkatan Baru (1 Mei 1969) menerangkan bahwa Renda itu “adalah pemeluk agama Katolik yang baik.” Namun, anehnya enam bulan sebelumnya, Angkatan Baru (24 November 1968) telah memberitakan bahwa “WS Rendra dan istri keluar dari agama Katolik.” Padahal, Rendra baru masuk Islam pada 1970. “Sebab menurut perasaannya gereja tidak lagi menghubungkan manusia dengan Tuhan. Sekarang Rendra adalah seorang Islam,” tulis Harry Aveling dalam Rumah Sastra Indonesia . Tidak lama setelah masuk Islam, Rendra menikah lagi dengan Sitoresmi. “Dan ketika tak lama kemudian dia menikahi istri keduanya yang masih muda –anggota Bengkel Teaternya– orang mengerti mengapa Rendra begitu bersemangat masuk Islam,” tulis Niels Mulder dalam Di Jawa Petualangan Seorang Antropolog . Menurut Ajip, sebagai Muslim Rendra tentu saja boleh bermadu (poligami). Karena itu ada orang yang mengatakan bahwa Rendra masuk Islam hanya karena mau bermadu. “Tetapi suara demikian selalu aku bantah karena aku boleh dikatakan mengikuti proses kegelisahan Rendra sejak awal. Aku yakin Rendra masuk Islam karena keyakinan dan karena hidayah dari Allah. Bahwa dia kemudian memanfaatkan kemuslimannya untuk bermadu, aku anggap soal lain,” kata Ajip. Kesungguhan Rendra masuk Islam, menurut kesaksian Ajip, terlihat dalam menjalankan syariat sehari-hari seperti salat, “walaupun dia tidak segera meninggalkan kebiasaannya minum-minuman keras. Ketika dia berkunjung beberapa hari ke rumah saya di Osaka pada tahun 1988 misalnya dia masih minum bir. Tapi saya kira kebiasaan itu pun kemudian ditinggalkannya.” Niels Mulder sepakat dengan Ajib bahwa “tampaknya Rendra bersungguh-sungguh dalam hal ini (masuk Islam, red ): dia berhenti minum-minuman keras dan tidak lagi makan daging babi.” Rendra hidup serumah dengan dua istrinya, Sunarti dan Sitoresmi dan kerukunan keduanya menjadi berita media massa yang tak berkesudahan. “Namun ketika dia bermaksud hendak menambah istri lagi, kedua istrinya memberontak meminta cerai. Maka sukses sebagai suami yang dapat merukunkan dua istri dalam satu rumah, tak dapat dicapainya ketika dia hendak merukunkan tiga orang istri dalam satu rumah,” kata Ajip. Rendra bercerai dengan Sunarti dan Sitoresmi, kemudian menikahi Ken Zuraida. Rendra meninggal pada 6 Agustus 2009.
- Sinterklas Hitam
Sinterklas dan Piet Hitam. BELANDA punya tradisi pesta Sinterklas setiap 5 Desember. Konon, Sinterklas ini mengilhami Santa Claus di Amerika Serikat dan Father Chritsmas di Inggris. Mulanya, Sinterklas penyayang anak-anak ini tinggal di sebuah istana di Spanyol. Ditemani pembantunya, Piet Hitam (Zwarte Piet), Sinterklas datang ke Belanda naik kapalapi. Mereka lalu masuk setiap rumah melalui cerobong asap untuk mengantarkan hadiah bagi anak-anak yang bertingkahlaku manis –sedangkan anak-anak nakal dimasukkannya ke karung untuk dibawa ke Spanyol. Di Hindia, perayaan Sinterklas juga ditunggu-tunggu dan dirayakan secara meriah. Setelah tiba di pelabuhan Sunda Kelapa, lalu dijemput walikota Batavia, Sinterklas berkeliling kota dalam arak-arakan yang meriah. Gedung Societeit Harmoni, yang sudah didandani, menyambut kedatangannya. Di sana anak-anak Belanda sudah menunggunya. Hampir setiap kantor dan perusahaan mengadakan perayaan Sinterklas untuk anak-anak pegawai mereka. Biasanya pegawai Belanda memerankan Sinterklas dan pegawai Indonesia menjadi Piet Hitam. Perayaan ini juga dilakukan di sejumlah daerah. Menurut antropolog Frieda Amran, rumah-rumah di Hindia umumnya tak memiliki cerobong asap sehingga anak-anak Belanda dan Indo menaruh sepatu berisi rumput dan cawan minuman kuda Sinterklas di bawah jendela. Ada pula yang menaruh sepatu di bawah tempat tidur. “Dan pagi-pagi, tanggal 5 Desember, semua anak Belanda, Belgia, dan Indo-Belanda di seluruh dunia bersorak gembira mendapatkan hadiah di sepatu mereka. Dan permen serta coklat tersebar di antara sisa-sisa rumput yang tak habis dimakan oleh kuda Sinterklaas,” kata Frieda. Perayaan ini tetap dilakukan pada 1950-an, termasuk oleh orang-orang Indonesia yang kaya. Mereka saling bertukar hadiah. “Seperti di Sekolah Dasar Tjikini tempat saya bersekolah di awal tahun 1950-an,” kenang Firman dalam Jakarta 1950-an. Namun, pada 1957, Sinterklas tak menyambangi anak-anak. Situasi politik memanas akibat gagalnya Indonesia memperoleh dukungan atas masalah Irian Barat dalam pemungutan suara di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 29 November 1957. Terjadilah nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, yang diikuti dengan pengusiran semua orang Belanda dari Indonesia. Presiden Sukarno juga melarang pesta Sinterklas yang dianggap budaya Belanda, sekalipun tiga tahun sebelumnya pernah menerima kehadirannya di Istana Negara, Jakarta. Tahun 1957 pun dikenal Sinterklas Hitam. “Pada hari itu, di seluruh dunia, hanya bumi pertiwi yang tidak boleh diinjak oleh si janggut putih itu,” ujar Frieda Entah bagaimana reaksi orang-orang Kristen atas larangan itu. Namun, menurut Frieda, pesta Sinterklas tak pernah dianggap sebagai pesta keagamaan. Bobotnya tak bisa disamakan dengan perayaan Natal. “Seandainya Sukarno melarang pesta Natal, nah barulah orang Kristen (dan orang beragama lainnya) patut marah,” ujarnya. Sejak itu, pesta Sinterklas menghilang. “Sesudah 1970-an, sosok Sinterklas digantikan dengan Santa Claus model Amerika saat perayaan Natal dengan brewoknya yang putih lebat dan mengenakan jubah Natal merah-putih serta menggoyang-goyangkan lonceng sambil berteriak ho…ho…ho…,” kata Firman. Namun, di Manado pesta Sinterklas dengan Piet Hitam gaya Belanda masih dirayakan hingga kini. Baca juga: Masuknya Kristen di Indonesia
- Sunan Kalijaga Sebelum Menjadi Wali
RADEN Syahid merasa prihatin melihat keadaan masyarakat Tuban akibat upeti dan kemarau panjang. Dia bongkar gudang kadipaten dan bagikan bahan makanan kepada orang-orang yang memerlukannya. Dia tertangkap basah dan dihadapkan kepada ayahnya, adipati Tuban Tumenggung Wilatikta. Merasa tercoreng, ayahnya mengusir Raden Syahid. Pengusiran itu tidak membuat jera Raden Syahid. “Dia malah melakukan perampokan dan pembegalan terhadap orang-orang kaya di Kadipaten Tuban,” tulis Achmad Chodjim dalam Sunan Kalijaga: Mistik dan Makrifat. Raden Syahid tertangkap lagi dan diusir keluar dari Kadipaten Tuban. Dia melangkahkan kaki sampai di hutan Jati Wangi. Dia melihat Sunan Bonang, tapi tidak kenal siapa sebenarnya orangtua itu. “Karena itu, wali tua itupun hendak dimangsanya. Pikirnya, ada orang kaya yang bisa dibegal,” tulis Chojim. Raden Syahid berhasil melumpuhkan Sunan Bonang dan diminta menyerahkan barang bawaannya. Sunan Bonang tidak mau menyerahkannya. Lalu Raden Syahid mengatakan untuk menekan Sunan Bonang bahwa tujuannya membegal untuk menolong orang miskin. Cerita lain menyebutkan, Sunan Bonang menasihati Raden Syahid bahwa harta hanya titipan Tuhan. Dia memamerkan kesaktiannya menunjuk pohon aren dan tiba-tiba buahnya menjadi emas. Raden Syahid terperangah, meminta maaf dan bertobat. “Pertemuan dengan Sunan Bonang itulah yang membuat Raden Syahid tercerahkan hidupnya,” tulis Chojim. “Ia akhirnya menyadari bahwa perbuatan yang dilakukannya itu meski tampak mulia, tetapi tetap merupakan jalan yang salah.” Raden Syahid memohon menjadi murid. Sunan Bonang mengambulkan dengan syarat harus bersemedi di pinggil kali sampai dia kembali. Tiga tahun kemudian, Sunan Bonang mendapatinya masih bersemedi. Badannya dirambati rerumputan. Sunan Bonang takjub akan keteguhan hati Raden Syahid. Sejak itu, dia berguru kepada Sunan Bonang, kemudian kepada Sunan Ampel dan Sunan Giri. Menurut Umar Hasyim dalam Sunan Kalijaga , Raden Syahid kemudian berganti nama menjadi Kalijaga artinya “penjaga kali”. Ada yang menafsirkan “penjaga kali” sebagai orang yang menjaga semua aliran (kali sebagai air yang mengalir) atau kepercayaan yang hidup di masyarakat. Sebab, dia satu-satunya wali yang paham dan mendalami segala pergerakan dan aliran atau agama yang hidup di masyarakat. Sunan Kalijaga juga dikenal dengan Syekh Sa’id atau Syekh Malaya karena dia berdakwah ke Semenanjung Malaya. Dia diakui sebagai tabib karena menyembuhkan Raja Patani dari penyakit kulit yang parah. Pendapat lain dengan segala argumen dan sanggahannya menyebut Kalijaga keturunan Arab dan namanya berasal dari bahasa Arab: Qodli Zaka berarti hakim suci atau penghulu. Ada juga yang menyebut dia keturunan Tionghoa: nama kecilnya Said dari sa-it (sa = 3, dan it = 1; maksudnya 31) sebagai peringatan waktu lahir ayahnya berusia 31 tahun. Ketika sudah menjadi Sunan Kalijaga dia bernama Tionghoa, Gan Si Cang, anak Gan Eng Cu alias Arya Teja, kapiten Tionghoa yang berkedudukan di Tuban. Arya Teja adalah mertua Bong Swi Hoo atau Sunan Ampel. Namun, menurut Chojim, Tumenggung Wilatikta atau Aria Teja IV merupakan keturunan Aria Teja III, dan berpangkal pada Aria Teja I. Sedangkan Aria Teja I adalah putra dari Aria Adikara atau Ranggalawe, salah seorang pendiri Kerajaan Majapahit. Karena itu, Aria Teja IV menjadi adipati Kadipaten Tuban yang berada di bawah kekuasaan Majapahit. Menurut Hasyim, Sunan Kalijaga adalah satu dari sembilan wali yang paling tenar di kalangan masyarakat karena dia satu-satunya yang paling berhasil dan sebagai manusia komplet. “Kecuali sebagai mubalig, beliau juga adalah seniman, budayawan, politikus, ahli tasawuf, ahli filsafat, dan cendekiawan,” tulis Hasyim. Sunan Kalijaga berdakwah ke berbagai pelosok, menyelami kehidupan rakyat biasa, namun dapat tetap bergaul dengan kalangan atas: bangsawan, ningrat, dan cendekia. Sebagai seniman, dia menciptakan seni batik bermotifkan burung dalam beragam bentuk dan menciptakan baju takwa. “Surjan Jawa yang semula lengan baju pendek, diganti dengan lengan panjang. Dengan kreasi semacam inilah Sunan mengajarkan Islam tanpa menimbulkan konflik di masyarakat,” tulis Achmad Chodjim dalam Sunan Kalijaga: Mistik dan Makrifat. Sunan Kalijaga juga mengarang tembang Jawa, Ilir-ilir; menciptakan seni ukir berupa dedaunan, bentuk gayor atau alat menggantungkan gamelan, alat-alat rancakan gamelan, peti-peti klasik, bentuk ukiran rumah-rumah adat di Kudus, Demak, dan Gresik. Dia juga menciptakan gamelan yang disebut Gong Sekaten, yang berasal dari kata sahadatain (dua kalimat sahadat). Yang paling melekat pada Sunan Kalijaga adalah wayang sebagai media dakwah. Dia membuat wayang kulit hasil pengembangan dari wayang beber pada 1437. Dia juga berperan dalam pembangunan masjid Demak, terutama dalam membuat soko tatal (tiang terbuat dari serpihan-serpihan kayu). Dalam pemerintahan, Sunan Kalijaga pernah menasihati Raden Patah, Raja Demak, agar tidak menyerang Majapahit. Alasannya, menurut Hasyim, Raja Brawijaya V, ayah dari Raden Patah sendiri, tidak mengganggu masyarakat Islam; banyak di antara keluarga dan pejabat kerajaan telah masuk Islam; serta Majapahit sudah lemah dan akan jatuh dengan sendirinya. Kemungkinan besar karena Sunan Kalijaga menyadari leluhurnya berasal dari Majapahit. Namun, Raden Patah bergeming tetap akan menyerang Majapahit. Setelah serangan pertama (1524-1526) gagal, serangan kedua dipimpin Sunan Kudus pada 1526 dan 1527 baru berhasil menjatuhkan Majapahit. Sunan Kalijaga menikah dengan Dewi Sarah binti Maulana Ishak dan dikaruniai tiga orang anak: Raden Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rukayah, dan Dewi Sofiyah.*
- Riwayat Baha'i di Indonesia
MENTERI Agama, Lukman Hakim Saifuddin melalui akun Twitter -nya, @lukmansaifuddin menyatakan bahwa Baha’i merupakan agama dari sekian banyak agama yang berkembang di lebih dari 20 negara. “Baha'i adalah suatu agama, bukan aliran dari suatu agama,” tulis Lukman. “Saya menyatakan bahwa Baha’i adalah termasuk agama yang dilindungi konstitusi sesuai Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945.” Lukman juga menjelaskan bahwa berdasarkan UU 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, agama Baha’i merupakan agama di luar Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu, yang mendapat jaminan dari negara dan dibiarkan adanya sepanjang tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. “Saya berpendapat umat Baha'i sebagai warganegara Indonesia berhak mendapat pelayanan kependudukan, hukum, dll dari pemerintah,” tulis Lukman. “Kemenag itu produk kesepakatan luhur pendiri bangsa yang berkomitmen bahwa (nilai-nilai) agama harus jadi jiwa yang mengisi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita. Saya hanya menjalankan kewajiban saja,” kata Lukman kepada Historia (24/7). Penjelasan Lukman tersebut karena adanya surat dari Menteri Dalam Negeri yang menanyakan apakah Baha’i memang benar merupakan salah satu agama yang dipeluk penduduk Indonesia. Pertanyaan tersebut terkait keperluan Kemendagri memiliki dasar dalam memberi pelayanan administrasi kependudukan. Menurut Iskandar Zulkarnain dalam Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, agama Baha'i dipelopori oleh Mirza Husein Ali, seorang ulama dari Persia yang mengaku dirinya sebagai Baha’ullah (kemuliaan Allah). Baha’ullah, menurut Situs Resmi Agama Baha’i di Indonesia ( bahaiindonesia.org ), adalah pembawa wahyu agama Baha’i. Pada 1863, dia mengumumkan misinya untuk menciptakan kesatuan umat manusia serta mewujudkan keselarasan di antara agama-agama. Dalam perjalanannya di sebagian besar kerajaan Turki, dia banyak menulis wahyu yang diterimanya dan menjelaskan secara luas tentang keesaan Tuhan, kesatuan agama serta kesatuan umat manusia. Dia mengajarkan bahwa semua agama berasal dari Tuhan dan mereka saling mengisi serta melengkapi. Semua utusan Tuhan mengajarkan keesaan Tuhan dan mewujudkan cinta Tuhan dalam kalbu-kalbu para hamba-Nya. Dalam A Concise Encyclopedia of the Baha'i Faith , Peter Smith, salah satu sarjana terkemuka dalam kajian Baha’i, menyatakan bahwa Baha’i adalah ajaran baru yang diyakini sebagai agama independen dan bisa diterima kehadirannya termasuk di Amerika Serikat, Eropa, Asia, Afrika, dan Australia. Berdasarkan Situs Resmi Agama Baha'i di Indonesia, secara geografis, agama Baha'i adalah agama kedua yang paling tersebar di dunia –berada di lebih dari 120.000 tempat di seluruh dunia– dan telah resmi diakui sebagai agama yang berdiri sendiri di lebih dari 237 negara dan wilayah teritorial. “Organisasi PBB secara resmi mengakui bahwa ajaran Baha'i telah menjadi bagian gerakan agama dan sosial yang mempunyai peran penting dalam membangun perdamaian antarumat beragama serta upaya kesejahteraan ekonomi dan pendidikan bagi masyarakat di seluruh dunia,” tulis Amanah Nurish dalam “Belenggu Diskriminasi pada Kelompok Minoritas Baha’i di Indonesia dalam Perspektif HAM,” dimuat jurnal Ma’arif Institute , Vol. 7, No. 1, 2012. Kedatangan Baha'i di Indonesia Menurut Iskandar Zulkarnain, penyebaran agama Baha'i di Indonesia dilakukan oleh pedagang dari Persia dan Turki bernama Jamal Effendy dan Mustafa Rumi di Sulawesi sekitar tahun 1878. Dari Sulawesi, ajaran ini menyebar ke tempat lain. Namun, menurut Amanah Nurish, ajaran Baha'i di Indonesia dibawa oleh seorang dokter dari Iran yang datang ke Mentawai, Sumatera, untuk menjadi relawan membantu orang miskin, pada 1920. Dari waktu ke waktu, dia berhasil menyampaikan iman Baha'i sebagai gerakan keagamaan baru di Indonesia, sehingga menyebar ke pulau-pulau lain seperti Kalimantan, Jawa, Bali, dll. Lukman menyajikan data pemeluk agama Baha'i di Indonesia, yang tersebar di Banyuwangi (220 orang), Jakarta (100 orang), Medan (100 orang), Surabaya (98 orang), Palopo (80 orang), Bandung (50 orang), Malang (30 orang), dll. Pada 15 Agustus 1962, Presiden Sukarno mengeluarkan Keppres No. 264/1962 yang melarang organisasi Baha'i bersama organisasi-organisasi lainnya: Liga Demokrasi, Rotary Club, Divine Life Society, Vrijmet, Selaren-Loge (Loge Agung Indonesia), Moral Rearmament Movement, Ancient Mystical, dan Organization Of Rucen Cruisers (AMORC). “Keputusan itu dikeluarkan karena Sukarno menilai paham Baha'i tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia, menghambat revolusi, dan bertentangan dengan cita-cita sosialisme Indonesia. Akan tetapi, setelah era reformasi, paham Baha’i dapat bernapas lagi,” tulis Iskandar Zulkarnain. Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mencabut Keppres No. 264/1962 dengan Keppres No. 69/2000. Dengan demikian, Gus Dur mengakui secara konstitusional keberadaan ajaran Baha’i dan memperbolehkan menjalankan aktivitas keagamaannya. “Pembelaan Gus Dur dalam memperjuangkan kelompok minoritas dan hak-hak umat Baha’i di Indonesia di dalam menjalankan aktivitas keagamaannya menunjukkan keberanian yang cukup serius terhadap warisan politik peninggalan rezim Sukarno dan Suharto,” tulis Amanah Nurish. Menurut Iskandar Zulkarnain, Gus Dur menaruh simpati terhadap ajaran Baha'i. Hal itu terbukti dengan kesediaan Gus Dur untuk hadir di tengah penganut Baha'i di Jalan Menteng, Jakarta Pusat pada 21 Maret 2000.*
- Mata Air Zubaidah
DALAM ramah-tamah dengan Korps Wanita Angkatan Bersenjata di Istana Negara Jakarta, 28 Desember 1965, Presiden Sukarno mengatakan bahwa perempuan selalu ikut dalam setiap revolusi besar dalam sejarah manusia. Sukarno menyebut Zubaidah yang membangun aliran air ke Mekah yang dinamakan “air Zubaidah.” “Revolusi yang diadakan Nabi Muhammad saw. misalnya, mengenal nama Zubaidah,” kata Sukarno. Zubaidah (wafat tahun 831) adalah istri paling dicintai Harun al-Rasyid (memerintah 786-803). Harun salah satu khalifah Dinasti Abbasiyah yang kerap melaksanakan haji. Dia bersama istri, anak-anak, dan para fukaha telah sembilan kali naik haji. Jika tidak pergi haji, dia memberangkatkan 300 orang berhaji dengan dibekali biaya besar dan pakaian mewah. Menurut Michael Wolfe dalam Haji , karena ingin mempermudah para jemaah haji di abad-abad mendatang, Zubaidah membiayai penggalian seratus sumur di sepanjang jalur al-Kufa di Irak selatan sampai ke Mina di Mekah. Air merupakan kebutuhan mendasar bagi para jemaah haji di daerah yang gersang itu. Saluran itu, tulis Wolfe, “abu-abu yang kelihatan usang dan terbuat dari batu serta bata melalui proses peleburan. Ini adalah saluran air yang cukup besar yang berasal dari abad ke-8.” Pembuatan saluran dan sumur-sumur itu menelan biaya sebesar 1.500.000 dinar. “Zubaidah merupakan sosiawan yang jarang tandingannya. Sampai sekarang saluran air itu terkenal dengan Air Zubaidah (mata air Zubaidah),” tulis Huzaemah T., “Konsep Wanita Menurut Quran, Sunah, dan Fikih,” termuat dalam Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual . Selain itu, menurut Huzaemah, Zubaidah membuat banyak masjid, waduk untuk irigasi, dan jembatan di wilayah Hijaz, Syam, dan Bagdad. Bahkan, dia bersama suaminya berjasa dalam rekonstruksi dan rehabilitasi Mekah. Menurut Christiaan Snouck Hurgronje dalam Tulisan-tulisan Tentang Islam di Hindia Belanda , di waktu biasa sumber-sumber air tersebut memasok air lebih dari cukup ke kota Mekah untuk keperluan rumahtangga, mencuci pakaian, dan mandi. Persediaan air di sumur-sumur itu tidak berkurang walau lama tak turun hujan. Terkait sumber air tersebut, Dr Dickson, wakil Inggris di Dewan Kesehatan Internasional, melaporkan mengenai ibadah haji pada 1885: “Tempat-tempat penampungan air di Arafah diisi dengan air jernih dari pipa air Zubaidah dan setiap orang dengan sesuka hati boleh mengambil air dari situ dengan cuma-cuma; tetapi oleh karena orang tidak mengambil tindakan untuk melarang mandi di tempat itu, maka airnya lalu tidak layak (untuk diminum).” Seorang ulama takjub dengan amal saleh Zubaidah. Dalam mimpinya, ulama itu bertanya kepada Zubaidah: “Pahala apa yang engkau terima dari Allah sebagai balasan atas amalmu membangun oase ini?” Zubaidah menjawab: “Pahalanya sudah diberikan Allah kepada rakyat yang memberikan keringat dan tenaganya untuk membangun sungai ini.” “Zubaidah hanyalah istri khalifah,” tulis Jalaluddin Rakhmat dalam The Road to Muhammad . “Artinya, dia sekadar memberi perintah saja; sebenarnya, yang membangun adalah rakyat.”
- Sejarah Pemakaian Jubah
Pangeran Diponegoro. DI masa lalu pemerintah kolonial Belanda memberlakukan aturan ketat soal pemakaian jubah atau pakaian bergaya Arab. Pakaian ini diasosiasikan dengan orang-orang yang pulang beribadah haji di Mekah, yang kerap menjadi penyebab keonaran. Dalam berbagai pemberontakan dan peperangan besar maupun kecil di Hindia Timur, Belanda dihadapkan pada masyarakat yang memakai jubah panjang putih dengan serban di kepala. Mereka juga mempropagandakan cara hidup puritan; melarang perjudian, minuman-minuman beralkohol; mengisap opium dan tembakau; dan semacamnya. “Dalam gelombang propaganda anti-VOC pada 1670-an di Banten, banyak orang meninggalkan pakaian Jawa dan memakai pakaian Arab,” tulis Kees van Dijk dalam “Sarung, Jubah, dan Celana: Penampilan sebagai Sarana Pembedaan dan Diskriminasi”, yang termuat dalam Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan. Salah satu lawan tangguh Belanda adalah Pangeran Diponegoro, pemimpin Perang Jawa (1825-1830). Dalam Babad Dipanegara disebutkan Pangeran Diponegoro pergi ke medan perang dengan mengenakan pakaian berupa celana, jubah, dan penutup kepala berwarna putih. Pada kesempatan-kesempatan lain, dia mengenakan pakaian hitam dalam gaya Arab dan serban hitam atau hijau, terlebih setelah dia mengundurkan diri dari kehidupan istana dan mengembara ke pedesaan. Menurut Dijk, masa itu, seiring kepopuleran Wahabi di Mekah, kalangan ulama memang kerap menggunakan busana jubah dan serban. Nanang Tahqiq, dosen Fakultas Ushuluddin dan Falsafah Universitas Islam Negeri Jakarta, mengatakan pemakaian jubah sebagai pakaian perang untuk menunjukan siapa “kami” dan siapa “kamu”. Jika Pangeran Diponegoro dan pasukannya mengenakan pakaian yang sama dengan pakaian yang dipakai Belanda, berarti tak ada bedanya. Kenapa jubah? “Karena kalau sarung pasti ribet,” kata Nanang yang juga mengajar di jurusan Falsafah dan Agama Universitas Paramadina. Selain Diponegoro, Imam Bonjol yang memimpin Perang Padri, dan pasukannya, juga mengenakan pakaian gaya Arab serbaputih. Kaum Padri, seperti juga kaum Wahhabi di Arab, menekankan pada pelaksanaan ajaran-ajaran Islam secara ketat. Dalam hal pakaian, mereka mengharuskan perempuan memakai kerudung dan laki-laki mengenakan pakaian putih bergaya Arab –dari sinilah muncul istilah “kaum putih”. Menurut Nanang, jubah atau pakaian gaya Arab kali pertama diperkenalkan di Nusantara oleh para pedagang Arab. Selain itu, orang-orang yang pergi ke Mekah untuk berhaji dan menuntut ilmu agama kembali ke Nusantara dengan mengenakan pakaian jubah. “Jubah di sini sebagai petanda ( signified ) dan penanda ( signifier ) orang yang memiliki ilmu agama yang tinggi,” kata Nanang. Menurut Dijk, pada abad ke-19, ketika perjalanan haji ke Mekah masih merupakan perjalanan yang panjang dan berbahaya serta relatif sedikit orang Indonesia yang mampu melaksanakannya, mereka yang kembali dari pejalanan suci tersebut biasanya mengadopsi pakaian gaya Arab –kala itu disebut “kostum Muhammad dan serban”. Di Tanah Suci mereka memupuk sikap antikolonialisme. Snouck Hurgronje seperti dikutip Martin van Bruinessen dalam Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik Haji, mencatat bahwa orang-orang dari seluruh Nusantara membicarakan perlawanan Aceh terhadap Belanda. Mata mereka dibuka untuk melihat penjajahan Belanda, Inggris, maupun Prancis atas bangsa-bangsa Islam. Para haji hidup dalam suasana antikolonialisme. Pemberontakan petani Banten 1888 jelas diilhami pengalaman tokoh-tokohnya ketika mereka berada di Mekah. “Dengan demikian, perjalanan haji mulai berfungsi sebagai pemersatu Nusantara dan perangsang antikolonialisme,” tulis Martin van Bruinessen. Karena citra itu, Belanda menganggap para pemimpin Muslim adalah penghasut dan pembuat onar. Belanda pun menerapkan sejumlah kebijakan untuk membatasi pengaruh mereka. Muncullah ketentuan tahun 1825 dan 1831 yang mewajibkan mereka yang ingin menunaikan ibadah haji dari Jawa dan Madura untuk mendapatkan paspor khusus dengan biaya yang luar biasa mahal, dan denda yang tak kalah besar bagi yang tak mengikuti aturan. Aturan itu tak berjalan efektif; jumlah jemaah haji tetap meningkat. Pada 1859, serangkaian peraturan lebih lanjut diperkenalkan di wilayah-wilayah jajahan Belanda, dan tetap berlaku sampai akhir abad ke-19. Menurut William R. Roff dalam “Islam di Asia Tenggara dalam Abad ke-19”, yang dimuat dalam buku antologi Perspektif Islam di Asia Tenggara , alasannya tak jelas, tapi berkaitan dengan kekhawatiran atas simbol-simbol prestisius pemenuhan ibadah haji, khususnya gelar haji dan pakaian gaya Arab yang dikaitkan dengannya. Jemaah haji harus punya sarana yang mencukupi untuk menyelesaikan ibadah haji dan biaya bagi keluarga yang ditinggalkan. Dan ketika mereka kembali, mereka harus memenuhi pemeriksaan khusus untuk mengetahui apakan mereka benar-benar pergi ke Mekah atau tidak. Jika lulus ujian, mereka akan menerima sertifikat yang mengizinkan mereka berpakaian seperti layaknya seorang haji. Jika tidak lulus, “kaum Muslim tak bisa menyebut diri mereka dengan nama haji dan mengadopsi kostumnya,” tulis Dijk. Jubah tak hanya menjadi pakaian perang melawan penjajah Belanda, tapi juga menjadi semacam pakaian tempur dalam perlawanan terhadap lingkungan non-Muslim atau masyarakat Muslim setengah hati. Cara berpakaian Islami ini sering ditafsirkan oleh orang-orang Belanda yang tinggal di Hindia Timur, Eropa Baru, atau orang-orang Amerika sebagai salah satu dari ciri “kebangkitan Islam”. Pemerintah Orde Baru menafsirkannya sebagai sentimen-sentimen Islami. “Untuk alasan ini pemerintah Indonesia Orde Baru mencemaskan meningkatnya gejala yang mereka deskripsikan sebagai partikularistis yaitu sentimen-sentimen Islami,” tulis Dijk. Kini, terutama setelah reformasi, jubah dapat dipakai oleh siapa saja. Bahkan oleh kelompok yang menampilkan wajah Islam yang sangar dan penuh kekerasan. Buya Syafii Maarif, mantan ketua PP Muhammadiyah, menyebut mereka “preman berjubah”.*





















