top of page

Hasil pencarian

9599 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Cerita di Balik Pengunduran Diri Bung Hatta

    PARLEMEN gempar ketika Wakil Presiden Mohammad Hatta resmi mengundurkan diri dari jabatannya. Tidak hanya di parlemen, berita pengunduran diri Bung Hatta mengisi halaman depan semua suratkabar nasional. Sejak Bung Hatta meletakkan jabatannya pada 1 Desember 1956, kepemimpinan dwitunggalnya bersama Presiden Sukarno telah pecah kongsi. “Mulai hari ini RI tak punya wakil presiden. Dr. Mohammad Hatta tetap pada pendiriannya meletakkan jabatan mulai tanggal 1 Desember 1956,” demikian diwartakan Kedaulatan Rakjat , 1 Desember 1956. Sebelum resmi meletakkan jabatan, wacana pengunduran diri Bung Hatta sejatinya telah bergulir cukup lama. Pada 1955, Bung Hatta telah mengajukan permohonan pengunduran diri. Namun, permohonan itu tidak mendapat tanggapan dari parlemen. Pada 23 November 1956, Bung Hatta kembali menegaskan niatannya untuk mundur dari posisi RI-2. Dalam suratnya kepada parlemen, ia menyatakan masa tugasnya sebagai wakil presiden berakhir pada 1 Desember 1956. Keputusan Bung Hatta amat disayangkan oleh begitu banyak pihak. Di tengah kesenjangan antara daerah dan pusat, sosok Bung Hatta menjadi tumpuan bagi aspirasi masyakat Indonesia di daerah-daerah luar Jawa, khususnya Sumatra. “Ada satu masa Hatta bukan sebagai orang kedua. Di zaman Perang Kemerdekaan, Indonesia dipimpin oleh dwitunggal Sukarno-Hatta. Jadi satu, walaupun isinya dua orang. Hatta pemimpin yang berkarakter dan selama periode itu menujukkan integritas yang tinggi, baik sebagai seorang pemimpin bangsa dan juga seorang pemimpin negara,” terang sejarawan dan kurator museum Erwin Kusuma dalam siniar “Topsecret: Mundurnya Bung Hatta Sebagai Wakil Presiden” di kanal Youtube  ANRI, 4 Desember 2024. Dari penelusurannya, Erwin mengungkap berbagai persoalan kompleks yang melatari pengunduran diri Bung Hatta. Dalam berbagai kesempatan, Bung Hatta menganggap bahwa Presiden Sukarno melampaui tugasnya sebagai seorang kepala negara. Sukarno misalnya kerap kali mengintervensi hal-hal tertentu dalam jalannya pemerintahan. Sementara itu, sistem pemerintahan parlementer yang diterapkan pada periode 1950-an membatasi kekuasaan presiden sebagai kepala negara. Batasan dwitunggal itu akhirnya mulai terkuras dan merenggang secara perlahan-lahan. Dari hal yang sifatnya kenegaraan sampai hal yang sifatnya pribadi, Hatta dan Sukarno semakin bertentangan. “Ketika Presiden Sukarno memutuskan untuk menikahi Hartini, Mohammad Hatta termasuk yang mempertanyakan. Apakah langkah Sukarno itu bisa menjaga nama baik Sukarno sebagai seorang presiden dan kepala negara. Itu hal yang sifatnya pribadi,” kata Erwin. Menurut Erwin, alasan pengunduran diri Bung Hatta yang dikemukakan secara publik berkenaan dengan terselenggaranya Pemilu 1955. Dari hasil pemilu itu telah terpilih anggota legislatif maupun Konstituante. Para anggota dewan yang baru itulah yang nanti akan memilih presiden dan wakil presiden selanjutnya. Namun, mengutip pendapat Deliar Noor, intelektual Muslim yang menulis biografi politik Bung Hatta, menggejalanya korupsi dalam penyelenggaraan negara turut berkontribusi menyebabkan Bung Hatta muak atas kondisi pemerintahan. “Karena batasan konstitusinya itu, Hatta tidak mampu menghentikan praktik-praktik korupsi dan penyelewengan dalam penyelenggaraan negara sehingga dia menyatakan mundur dari jabatan wakil presiden. Dan itu sudah dinyatakan sejak 1955,” jelas Erwin. Harian Kedaulatan Rakjat  membeberkan sejumlah penyebab di balik pengunduran diri Bung Hatta. Perkara politik yang dihadapi Hatta saat itu menyangkut grasi yang diberikan kepada Mr. Djody Gondokusumo (Menteri Kehakiman Kabinet Ali I), masalah internal AURI, persoalan Jenderal Mayor Simatupang, lisensi istimewa Mr. Iskaq Tjokroadisurjo (Menteri Perdagangan Kabinet Ali I), hingga Proyek Asahan. Dalam soal-soal penting tersebut, Wapres Hatta telah lama mengeluhkan bahwa dirinya sering tidak dilibatkan untuk berunding di parlemen. Dalam pemberian grasi enam bulan untuk Mr. Djody yang tersangkut kasus korupsi, Bung Hatta sama sekali tidak pernah diajak untuk membicarakannya. Mengenai pemecatan Jendral Simatupang, Bung Hatta juga kurang setuju. Menurutnya, apabila kabinet tidak menyukai pribadi Simatupang, hendaknya kedudukan Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) jangan dikorbankan atau dihapuskan. Namun, masukan Bung Hatta itu tidak dihiraukan. Menteri Pertahanan Iwa Kusumasumantri tetap memecat Simatupang dengan hanya menggunakan Peraturan Pemerintah. Soal Proyek Asahan di Sumatra Utara, menurut Hatta, amat sedikit perhatian yang dicurahkan pemerintah. Padahal, proyek tersebut merupakan salah satu usaha meningkatkan produksi dan meluaskan industri dalam negeri. Beberapa nasihat dan usaha untuk memperbesar anggaran proyek serta menjalankannya dengan sungguh-sungguh ternyata tidak mendapat perhatian sepantasnya. “Mengenai lisensi istimewa Iskaq dalam Kabinet Ali yang lalu, menurut pendapat Hatta adalah suatu Tindakan yang memorat-matirkan kedudukan ekonomi dan keuangan negara, akan tetap nasihat-nasihat untuk mencegahnya yang diberikan oleh Hatta tidak dilaksanakan,” sebut Kedaulatan Rakjat , 1 Desember 1956. Sepeninggal Bung Hatta, pandangan bernegara yang tadinya utuh dari dwitunggal Sukarno-Hatta, berubah menjadi pandangan yang sifatnya personal terbatas pada diri Sukarno saja. Perubahan yang paling kentara, sambung Erwin, salah satunya dalam pelaksanaan kebijakan luar negeri. Ciri yang tadinya menjaga komitmen bebas-aktif, menjadi politik luar negeri yang sangat Sukarno sekali. “Bung Hatta tidak mau turut bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dia tidak bisa langsung memperbaikinya karena itu (terkendala) batasan konstitusional. Jadi dia lebih baik memilih sebagai seorang pemimpin bangsa di luar pengelolaan negara. Itu sikap yang dia ambil,” tutup Erwin.*

  • Eksploitasi Hutan Ugal-ugalan Sejak Orde Baru

    KEKAYAAN hutan tropis dari Merauke sampai Sabang menjadikan Indonesia sebagai salah satu paru-paru dunia. Setidaknya begitu yang melekat di ingatan dari buku-buku pelajaran Biologi dan Geografi di sekolah-sekolah.

  • Kisah Putra-Putri Bung Karno dalam Peristiwa Cikini

    CIKINI, 30 November 1957. Sedari siang kesibukan terjadi di Perguruan Cikini. Para guru dan siswa tengah bersiap menyambut kedatangan Presiden Sukarno ke sekolahnya. Hari itu adaah hari istimewa bagi Perguruan Cikini. Sekolah yang dibangun pada masa Jepang tersebut akan merayakan hari jadi ke-15.

  • Kisah Sedih dari Peristiwa Cikini

    POTONGAN peristiwa malam itu teramat jelas di ingatannya. Kata demi kata ia rangkai untuk menggambarkan bagaimana pilunya situasi 63 tahun lalu, saat sebuah granat meledak tepat dua meter di depannya. Ledakan yang sebenarnya diarahkan kepada presiden pertama RI itu ternyata malah berujung pada kisah sedih baginya dan ratusan orang yang hadir dalam perayaan hari jadi ke-15 Perguruan Cikini pada 1957.

  • Riwayat Buah Emas di Tanah Hindia

    KELAPA sawit punya julukan yang mentereng: buah emas. Disebut demikian lantaran tanaman keras dengan nama latin Elaeis guineensis ini bernilai ekonomi tinggi. Minyak yang diperoleh dari pengolahan biji sawit merupakan bahan baku minyak nabati yang lazim digunakan untuk mengolah berbagai bahan makanan. Untuk soal kelapa sawit ini, Indonesia boleh berbangga karena sekarang tercatat sebagai negara produsen minyak sawit terbesar di dunia.

  • Manis Pahit Kelapa Sawit

    KEBAKARAN hutan dan lahan (karhutla) melanda Sumatra dan Kalimantan sejak awal September 2019. Jerebunya bergerak ke Singapura dan Malaysia. Puluhan ribu orang terkena infeksi saluran pernapasan atas. Banyak sangkaan tertuju ke pengusaha perkebunan kelapa sawit sebagai biang onar karhutla. Tapi pengusaha kelapa sawit membantahnya.

  • Jejak Kelapa Sawit di Kebun Raya Bogor

    TANAMAN kelapa sawit ( Elaeis guineensis ) menjadi salah satu komoditas penyumbang devisa terbesar di Indonesia. Bersama dengan Malaysia, Indonesia masuk dalam daftar negara penghasil sawit terbesar di dunia. Walau begitu, kelapa sawit bukanlah tanaman asli Indonesia. Tanaman ini mulai hadir pada zaman kolonial Belanda. Kelapa sawit belum muncul dalam katalog ke-2 Kebun Raya Bogor tahun 1844, yang disusun oleh J.K. Hasskarl. Elaeis guineensis mulai disebutkan pada halaman 73 dalam katalog J.E. Teysmann dan S. Binnedijk yang terbit tahun 1866. Menurut Dr. F.W.T. Hunger dalam De oliepalm (Elaeis guineensis) , kelapa sawit mulai dikenal di Hindia Belanda tahun 1848. Pada Februari 1848, Kebun Raya Bogor menerima dua tanaman kelapa sawit dari Bourbon, Mauritius melalui perantara Mr. D.T. Pryce di Batavia, dan pada Maret di tahun yang sama, dua spesimen dari spesies yang sama dikirim oleh Hortus di Amsterdam, Belanda. Dalam laporan selanjutnya, Johannes Elias Teijsmann (J.E. Teysmaan), seorang ahli botani Belanda yang pernah menjabat Direktur Kebun Raya Bogor, melaporkan bahwa tanaman yang ia perkenalkan di Jawa telah berumur setidaknya satu tahun. Sejumlah ahli botani meneliti keempat tanaman kelapa sawit yang diterima Kebun Raya Bogor. Salah seorang ahli botani, P.J.S. Cramer menyebut dalam Teysmannia , jilid 28, hal. 448 (1917), bahwa ia telah mencari informasi mengenai asal-usul kelapa sawit pertama yang diterima di Bogor. Direktur Pertanian Mauritius saat itu, Dr. Stockdale, memberitahukan kepadanya bahwa Elaeis guineensis tidak ditemukan di alam liar di pulau-pulau di kepulauan Maskarenes. “Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa Mauritius atau Bourbon hanyalah tempat transit atau aklimatisasi bagi kelapa sawit yang pertama kali diimpor ke koloni kami,” sebut Cramer. Sementara itu, ada pula yang menyebut sangat mungkin kelapa sawit yang diterima di Bogor berasal dari Réunion, bukan Bourbon. Réunion, sebuah region Prancis di Samudra Hindia, yang terletak di sebelah barat daya Mauritius. Keempat tanaman kelapa sawit yang diterima Kebun Raya Bogor tumbuh dengan baik. Tanaman itu memiliki batang setinggi 5 hingga 6 kaki, kecuali mahkota dengan daun, yang ukurannya mirip dengan capercaillie , tetapi daunnya lebih padat, tidak tegak tetapi lebih melengkung dan jumlahnya lebih banyak. Sekelompok bunga juga mulai muncul secara teratur, baik jantan maupun betina. Meski begitu, dalam surat yang dikirim kepada Kepala Kantor Pemerintah pada 1858, Teysmann menulis bahwa sebagian besar tandan bunga betina gagal dan tidak menghasilkan buah jika tidak dibuahi secara artifisial, karena tandan bunga jantan muncul sangat tidak beraturan di antara tandan bunga betina dan bahkan tidak membuahi dalam jarak yang dekat. “Inseminasi buatan dilakukan di sini, seperti pada pohon kurma di Arab, dengan memotong tangkai bunga jantan, yang akan digunakan untuk menyerbuki bunga betina pada waktu yang tepat. Jika pembuahan dilakukan dengan baik, sehingga semua tandan bunga menghasilkan buah, pohon ini dapat menghasilkan buah dalam jumlah yang cukup banyak setiap tahun,” tulis Teysmann. Pada 1853, banyak buah kelapa sawit yang diperoleh membutuhkan waktu beberapa bulan untuk berkembang, tetapi segera setelah mereka menghasilkan daun pertama, lebih banyak lagi yang segera menyusul, dan setelah 5 hingga 6 tahun tanaman sudah cukup berkembang untuk menghasilkan buah, yang muncul di antara daun pada ketinggian 3 hingga 4 kaki di atas tanah. Seiring berjalannya waktu, pengembangbiakkan kelapa sawit mulai dilakukan di luar Kebun Raya Bogor. Antara tahun 1854–1858, bibit-bibit pohon ini disediakan dan ditanam di Ciomas, Ciogrek, serta tanah Pamanukan dan Ciasem. Surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië , 22 Mei 1920, melaporkan bahwa bibit pohon kelapa sawit juga ditanam di Banyumas tahun 1859. Penanaman bibit pohon itu bahkan dilakukan di bawah kepemimpinan Teysmann. Selanjutnya, pada 1871 beberapa ratus tanaman sawit disediakan. Dari tahun 1854 dan seterusnya, bibit kelapa sawit telah dipasok ke beberapa perusahaan perkebunan swasta, terutama yang berlokasi di Jawa Barat. Untuk sementara waktu keterlibatan Kebun Raya Bogor dengan kelapa sawit tidak berlanjut lebih jauh sampai pada 1857 Dewan Tertinggi di Belanda memberikan perhatian khusus pada manfaat kelapa sawit. Setelah dekade pertama diperkenalkan di Hindia Belanda, kelapa sawit sudah ditemukan di beberapa perkebunan swasta di Jawa Barat, misalnya di distrik Bogor, Batavia, Karawang, dan tanah Pamanukan dan Ciasem. Lebih dari satu dekade kemudian, penanaman baru dimulai di Bogor di tanah Nuripan dan di Banten di Cikande Udik. Di Jawa Tengah, menurut Hunger, sekitar tahun 1867 terdapat penanaman kelapa sawit dalam jumlah kecil di sejumlah tanah milik Tuan Weynschenk yang luas di kawasan Yogyakarta, yang dimaksudkan untuk menyediakan bahan baku pembuatan sabun. Di Jawa Timur, Tuan Perret di Lawang menjadi orang pertama yang mulai merintis perkebunan kelapa sawit. Pada masa itu penanaman bibit sawit mulai dilakukan dalam skala cukup besar, baik di lahan pribadi, lahan sewa maupun di pekarangan rumah penduduk.*

  • Chipko, Gerakan Memeluk Pohon di India

    SEJAK berabad-abad, penduduk desa di India, terutama di wilayah perbukitan dan pegunungan, menggantungkan hidup pada hutan. Hutan menyediakan makanan, bahan bakar, pakan ternak, serta menjaga kelangsungan sumberdaya tanah dan air. Kekeselarasan dengan alam sangatlah penting. Hutan adalah segala-galanya.

  • Ibu Para Pohon

    SETELAH bersusah payah melangkah sambil dipapah seorang pengawal presiden, perempuan berusia lebih dari 90 tahun itu akhirnya sampai ke tempat Presiden India Ram Nath Kovind berdiri. Sebuah penghargaan diterimanya dari sang presiden. Naluri keibuannya muncul dengan mengusap kepala sang presiden sebagai bentuk restu tatkala sang presiden memintanya menghadap kamera. Gemuruh tepuk tangan langsung memenuhi seisi ruangan pada 16 Maret 2019 itu. Senyum tipis langsung tersungging di bibir Saalumarada Thimmakka, perempuan tadi. Senyum itu menjadi tanda perjuangannya selama puluhan tahun menjaga lingkungan akhirnya berbuah manis. Thimmakka lahir di Gubbi, Tamakuru, Karnataka, India pada 1 Januari 1926 (sumber lain menyatakan tahun 1927, ada pula 1912) dari pasangan Smt Vijayamma dan Sri Chikkarangayya. Kemiskinan membuat Thimmakka kecil tak pernah mencicipi bangku sekolah. Sedari usia 10 tahun, Thimmakka sudah membantu keluarganya dengan bekerja menggembalakan ternak milik beberapa tetangganya. Beranjak dewasa dia juga menjadi buruh kasar. Kehidupan yang berat tetap menggelayutinya ketika sudah berumahtangga dengan Sri Bikkala Chikkayya. Maklum, pemuda asal Hulikal, Magadi Taluk, Distrik Ramnagar itu juga datang dari keluarga ekonomi lemah. Namun, kemiskinan sama sekali bukan peruntuh semangat hidup Thimmkka dan suaminya. Keluarganya tetap berjalan harmonis kendati mesti berjuang keras untuk sekadar membuat dapur ngebul. Bahu-membahu selalu dilakukan pasangan suami-istri itu untuk mengatasi rintangan. Sekian tahun keluarga itu berjalan, Thimmakka kemudian merasa ada yang kurang pada keluarga mereka. Kesepian selalu menemani mereka karena anak yang dirindukan tak kunjung hadir. Kehidupan Thimmakka semakin berat karena cemoohan orang-orang sekitar. “’Anak-anakmu yang akan mengingatmu hidup.’ Begitulah mitos yang abadi. Di India, mitos ini begitu kuat sehingga pasangan tanpa anak seperti terkutuk. Perempuan yang tidak memiliki anak dianggap tidak memiliki kehidupan. Mitos inilah yang jadi ejekan buat Thimmakka,” tulis laman goodnewsindia.com , Mei 2002. Seiring perjalanan waktu, hinaan itu membuat Thimmakka kian tersiksa. Saking frustrasinya, Thimmakka sampai ingin mengakhiri hidupnya sendiri. Beruntung, sang suami menggagalkannya. Dengan setia sang suami terus membesarkan hati Thimmakka. “Malam hari kami kesepian. Tapi dia pria yang baik. Ada tekanan padanya untuk mencari istri lain tetapi dia menolak. Dia terus memikirkan sesuatu yang harus dilakukan dalam hidup kami,” kata Thimmakka mengenang kebaikan suaminya, dimuat goodnewsindia.com. Keduanya lalu sepakat untuk menanam pohon. Mereka memilih menanam pohon itu bukan di pekarangan rumah tapi di pinggir jalan antara Hulikal dan Kudur yang merentang sepanjang empat kilometer. “Itu jalan yang kering dan panas. Penduduk desa kami harus sering ke Kudur dan takut. Jadi kami pikir akan lebih baik jika pohon-pohon muncul dan memayungi jalan,” sambungnya. Thimmaka dan suami pun menanam 10 bibit pohon beringin di satu sisi tepi jalan itu. “Dia memilih pohon beringin karena spesies itu tersedia secara bebas saat itu. Selain itu, beringin, atau pohon ‘bodhi’, dipuja di India,” demikian majalah Outlook Vol. 5 Th. 1999 memberitakan. Tanpa peduli cemoohan orang akan perbuatannya yang dianggap aneh, setiap hari Thimmakka dan suaminya menyirami pohon-pohon itu dan merawatnya. Lantaran kesukaran mesti menggotong kendi-kendi penampung air setiap hari, Thimmakka lalu membuat tangki air untuk menyirami pohon-pohonnya. Kawat berduri juga dibuat untuk melindungi pohon-pohon itu. Kendati ada beberapa pohon yang rusak oleh cuaca dan orang-orang tak bertanggung jawab, perjalanan waktu akhirnya mengubah bibit beringin itu menjadi pohon rindang. Kerindangan di kedua sisi jalan itu kian bertambah karena Thimmakka dan suaminya menanam 15-20 pohon baru setiap tahun, yang akhirnya membentang sejauh bentangan jalan itu. “Pada 1991, ketika Chikkaiah meninggal, ada 284 pohon beringin sehat yang menyediakan perlindungan bagi banyak burung dan hewan, selain tempat teduh dan tempat peristirahatan bagi para pejalan kaki. Bagi Thimmakka, pohon-pohon itu dulu dan sekarang adalah anak-anaknya,” kata Vinathe Sharma-Brymer, peneliti dan pemimpin Forest School di Brisbane, dalam “Locations of Resistance and Agency: The Actionable Space of Indian Women’s Connection to the Outdoors” yang termuat di The Palgrave International Handbook of Women and Outdoor Learning. Thimmakka tetap melanjutkan merawat pohon-pohonnya dan terus menanam pohon baru selepas kepergian sang suami. Penduduk desa lalu menambahkan Saalumarada, kata dalam bahasa Kannada yang berarti “sebaris pohon”, di depan nama Thimmakka. Upaya itu membuat nama Thimmakka makin dikenal sehingga dia kerap diminta menjadi pembicara atau motivator lingkungan oleh berbagai organisasi lokal maupun internasional. Di California, AS, sebuah organisasi lingkungan sampai menamakan dirinya dengan Thimmakka’s Resources for Environmental sebagai bentuk penghargaan. Lebih dari 45 penghargaan diterima Thimmakka sejak 1995, tahun ketika dia dianugerahi National Citizen Award oleh pemerintah. Pada Maret 2019, pemerintah India menganugerahinya penghargaan sipil tertinggi, Padma Shri. Berbagai penghargaan itu tetap tak mengubah diri Thimmakka sebagai perempuan rendah hati, ulet, setia pada pendirian, dan penyayang. Dia tetap menanam dan merawat pohon. Saat menjadi pembicara dan motivator lantaran diundang berbagai organisasi dalam maupun luar negeri pun Thimmakka terus mengkampanyekan tanam pohon. Lebih dari 8000 pohon telah ditanam perempuan yang juga berjuluk “Ibu para pohon” itu di berbagai tempat sepanjang pengabdian tanpa pamrihnya selama hampir 70 tahun. “[Sekarang] Aku punya cukup banyak anak (mengacu ke 284 pohon yang ditanamnya), sekarang Anda juga harus mencapainya,” kata Thimmakka beberapa tahun silam sebagaimana ditulis BR Srikanth, editor senior, di laman outlookindia.com .*

  • Wabah Penyakit Gondok

    ADA yang berbeda di Desa Ngepos, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, tahun 1972. Hampir seluruh warganya menderita penyakit gondok. Di leher mereka terdapat benjolan; bahkan ada yang sebesar kepalan tangan orang dewasa. Orang-orang menyebutnya penyakit gondok, gangguan akibat kekurangan yodium.

  • Tak Sekadar Aspirasi Umat

    MUNCULNYA Republik Maluku Selatan (RMS) pada April 1950 menarik perhatian Johannes Leimena. Di depan umat Kristen di Maluku, dia menyerukan bahwa yang terpenting bagi warga Maluku adalah tetap memeluk Kristen dan menjadi warga negara Indonesia.

  • Setelah Peluit Kapal Berbunyi

    KAPAL Hr. Ms. De Zeven Provincien bertolak dari pelabuhan Surabaya pada 2 Januari 1933 untuk keliling Sumatra selama tiga bulan. Dalam pelayaran latihan ini, awak kapal terdiri dari 141 Eropa (30 perwira dan 26 perwira menengah) dan 256 pribumi (tujuh perwira menengah dan 80 siswa KIS atau Kweekschool voor Inlandse Schepelingen atau Pendidikan Dasar Pelaut Pribumi).

bottom of page