Hasil pencarian
9600 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Kajoran Makar
ALUN-alun Keraton Pleret, satu pagi di tahun 1670. Lapangan besar di depan keraton disesaki ulama beserta sanak keluarga. Mereka, sekira berjumlah 5.000 orang, berkumpul di alun-alun atas undangan Amangkurat I, raja Mataram. Di tepi alun-alun, satu legiun tentara bersiap dengan senjata terhunus.
- Kado Manis dari Tionghoa untuk Tenis Indonesia
MALAM itu Tan Liep Tjiauw kecewa. Lapangan tenis untuk partai final kejuaraan tenis tahunan Malaya, Agustus 1949, basah dan licin. Dan dia pun kalah melawan KH Ip, petenis China. Namun, media tetap memuji prestasinya dan mafhum karena dia kelelahan karena sebelumnya harus bermain di final ganda campuran.
- Jejak Pablo Neruda di Jakarta
HARI pertama Pablo Neruda di Batavia (sekarang Jakarta) tidak menyenangkan. Ketika mendatangi konsulat Chile dan memperkenalkan diri sebagai konsul yang baru, ia kena semprot. “Saya satu-satunya konsul di sini,” kata orang Belanda itu.
- Batu Sandungan di Jerman
MARET 1958, pengurus Pusat Perkebunan Negara (PPN) Baru menggelar rapat untuk mengatasi pemasaran tembakau ke pasar internasional. Musim panen akan segera tiba. Tapi mereka sadar tembakau-tembakau itu tak bisa lagi dilelang ke Amsterdam dan Rotterdam, Belanda, yang sebelumnya menjadi pusat pemasaran tembakau Indonesia. Maklum, sentimen Belanda terhadap Indonesia lagi tinggi-tingginya. Dan lagi panen tembakau itu diperoleh dari perkebunan-perkebunan Belanda yang dinasionalisasi.
- Dan Westerling Pun Tersenyum
SIAPA tak kenal Westerling? Di bangku sekolah, guru-guru sejarah mengenalkannya sebagai sosok kejam, yang membantai ribuan orang di Sulawesi Selatan. Bahkan penyanyi Iwan Fals mempopulerkan namanya lewat lagu “Pesawat Termpurku”, meski liriknya tak ada sangkut-pautnya dengan Westerling: Kalau hanya senyum yang engkau berikan, Westerling pun tersenyum Tapi rasanya tak semua orang tahu bagaimana perjalanan hidupnya dan banyak kisah lainnya. Westerling adalah legenda kekejian dalam sejarah Indonesia. Dia dituduh membantai 40 ribu orang di Sulawesi Selatan. Menganggap kepala Sukarno tidak lebih mahal dari sebutir peluru yang menjadikannya alasan untuk tak membunuhnya. “Orang Belanda sangat perhitungan, satu peluru harganya 35 sen, Sukarno harganya tidak sampai 5 sen, berarti rugi 30 sen yang tak dapat dipertanggungjawabkan,” kata Westerling di depan para pendukungnya di Belanda. Seperti nyawa tak berarti, Westerling pun memerintahkan pembunuhan terhadap tentara Siliwangi dalam peristiwa Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di Bandung. Dia, bersama kongsinya, Sultan Hamid II melancarkan aksi kudeta terhadap kepemimpinan Republik Indonesia Serikat pada 23 Januari 1950. Kudeta gagal. Para pemberontak kocar-kacir. Sultan Hamid II ditangkap dan diadili sementara Westerling kabur. Ia kemudian hidup dalam pelarian. Belakangan diketahui, aksi kudeta APRA tersebut disokong oleh Pangeran Bernhard, suami Ratu Juliana. Aksi Westerling mempercepat jalannya sejarah. Republik Indonesia Serikat berada di ujung tanduk. Kaum unitaris menyongsong kemenangan, menyingkirkan kaum federalis dukungan Belanda. Indonesia kembali ke dalam bentuk negara kesatuan. Belanda hengkang total. Westerling menjadi noda hitam dalam sejarah Indonesia. Kali ini, noda hitam itu kami angkat, bukan untuk menjadikan Westerling semakin melegenda, tetapi menjadikannya pelajaran bahwa kekerasan bukan cara yang baik untuk mencapai tujuan. Berikut ini laporan khusus Westerling. Drama Sebabak Lelaki Stambul Jalan Menuju Pembantaian Atas Nama Ketertiban Teror Subuh di Timur Matahari Kongsi Dagang Meneer Komandan Unjuk Bedil Serdadu Ratu Adil Misi Klandestin Pangeran Oranye Akrobat Gagal Sultan Ketujuh Sponsor Utama Anti Republik Balada Petualang dalam Pelarian Lakon Cavaradossi Si Kapten Turki Masa Senja Serdadu Tua
- Sepucuk Kenangan dari Selcuk
SAYA berdiri menatap Selcuk dari gigir Pegunungan Bul-bul. Dari ketinggian bukit, Selcuk hanya sebuah titik kecil dari wilayah Turki yang agung. Kota kecil ini, yang masuk wilayah Provinsi Izmir, jauh dari hiruk-pikuk dan dipenuhi orang tua dengan rambut memutih.
- PON di Masa Perang
DALAM suatu upacara di Istana Kepresidenan Yogyakarta (Gedung Agung), Presiden Sukarno menyerahkan bendera Pekan Olahraga Nasional (PON). Barisan pembawa bendera PON dan bendera Merah Putih kemudian membawanya dengan jalan beranting menuju Solo.
- Demi Minyak Hindia
TUJUH puluh tahun yang lalu, kilang minyak penting di Sumatra didirikan di masa perjuangan antara Belanda dengan Repubik Indonesia muda. Sebagai industri besar di wilayah jajahan, BPM (De Bataafsche Petroleum Maatschappij) hanya memiliki satu tujuan setelah pendudukan Jepang berakhir: kembali ke masa lalu, ketika minyak Hindia membawa ketenangan dan kesejahteraan. Di tengah segala turbulensi keadaan, BPM melakukan diplomasi cerdas untuk mengamankan kepentingannya. Bendera Belanda tampaknya akan tetap berkibar di Nusantara, BPM tetap tinggal di sini.
- Menggali Liangan, Peradaban yang Hilang
MENDUNG bergelayut di atas Liangan, sebuah dusun di Temanggung, Jawa Tengah. Di tengah lahan pertanian, di sebuah lahan seluas sekira 6.000 meter persegi, terhampar kotak-kotak galian dengan pembatas semacam garis polisi. Tak ada aktivitas penambang pasir yang biasanya ramai. Tak ada pula aktivitas penggalian arkeologis yang mencoba menyibak misteri kejayaan masa lalu dusun itu.
- Alam Indonesia yang Tercerabut dari Akar Sejarahnya
TEMA debat Calon Wakil Presiden (Cawapres) pada minggu, 21 Januari 2024 lalu menyoal pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup, sumber daya alam dan energi, pangan, agraria, serta masyarakat adat dan desa. Semua hal itu memang sarat dengan permasalahan aktual terkait kebijakan dan kesungguhan pemerintah dalam mengelola sumber daya alam yang memberikan kemaslahatan baik untuk masyarakat adat maupun keberlanjutan lingkungan alam itu sendiri.
- Bermukim di Tanah Bencana
KISAH hilangnya sebuah desa di wilayah yang kini bernama dusun Liangan terpatri di benak Istiarso, juru jaga Situs Liangan. Dia mendengar kisah turun-temurun kalau di wilayah itu pernah ada sebuah desa, bahkan pasar yang ramai, sebelum akhirnya terkubur bencana letusan gunung berapi.
- Perjuangan Ani Idrus untuk Perempuan Sumatera
MASIH lekat dalam ingatan (Rohani) Ani Idrus bagaimana ayah dan ibunya bertengkar. Kala itu Ani dan kakaknya Ana (Rohana) masih amat kecil untuk mengetahui duduk perkaranya. Keduanya hanya menduga, persoalan yang dipertengkarkan seputar uang belanja atau bisa juga perkara poligami. Djalisah, ibu Ani, merupakan istri kedua dari Sidi Idrus. Kala itu, praktik poligini (poligami) amat jamak ditemui di lingkungan sekitar Ani. Ani lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat pada 25 November 1919. Ayah kandung Ani, Sidi Idrus, bekerja sebagai kerani (juru tulis) di kantor tambang batubara Ombilin. Sementara ibunya, Djalisah, merupakan ibu rumah tangga yang mengurus Ani dan Ana dengan penuh kasih sayang. Pertengkaran Djalisah dan Sidi Idrus yang disaksikan Ani dan Ana ternyata berujung perceraian. Pada masa kecilnya di Sawahlunto, Ani sudah melihat kondisi pernikahan yang menurutnya tidak ideal. Ada banyak laki-laki yang sudah berumah tangga masih mau menambah istri. Entah karena dibujuk mamak, ibu, atau sanak famili lainnya akhirnya si perempuan mau menjadi istri kesekian. “Aku hanya dua bersaudara yang semuanya perempuan. Mungkin karena itulah, sejak kecil aku sudah memikirkan nasib kaumku,” tulis Ani dalam kumpulan memoar perempuan berjudul Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi. Ani merasa tak enak melihat nasib perempuan yang diperlakukan tak adil oleh lelaki dan lingkungannya. Ia mengambil contoh suami yang tak mencukupi uang belanja istrinya, menceraikan atau memperlakukan istrinya dengan sewenang-wenang, main serong atau bahkan kawin lagi tanpa pernah memberitahu istri sebelumnya. Masalah-masalah terkait nasib perempuan yang ia temui di Sawahlunto mendorong Ani untuk terus berusaha memperbaiki nasib perempuan. Setelah bercerai, Djalisah membawa dua anaknya pindah ke Medan pada 1929. Ani kemudian dimasukkan ke Methodist Girls School. Namun lantaran kekurangan biaya, Ani pindah ke sekolah kepandaian putri Meisjes Kopschool, hingga lulus. Ia kemudian melanjutkan ke Schakel School Taman Siswa pimpinan Sugondo Kartoprodjo dan setelah lulus melanjutkan ke MULO Perguruan Kita pimpinan Munar S Hamidjojo. Sejak masa penjajahan, Ani aktif dalam gerakan politik dengan masuk Indonesia Muda dan Gerakan Rakyat Indonesia. Menurut Tridah Bangun dalam Ani Idrus, Tokoh Wartawati Indoensia, Ani juga terlibat dalam pengorganisasian kaum perempuan dalam perang kemerdekaan dan ikut dalam pembubaran Negara Sumatera Timur di permulaan 1950. Pasca-proklamasi, Ani mulai membangun wadah-wadah untuk kepentingan perempuan. Pada akhir 1945, Ani bekerjasama dengan pemimpin harian Pewarta Deli Amarullah Ombak Lubis mendirikan Majalah Wanita . Terbitan ini tak bertahan lama. Pada Juni 1949 ia kembali membuat media perempuan, Dunia Wanita, yang jadi bacaan banyak tokoh perempuan seperti Fatmawati dan Rahmi Rachim (Hatta). Dwiminguan Dunia Wanita inilah yang jadi prestasi penting Ani dalam gerakan perempuan. Tak berhenti di situ, pada 1952 Ani mendirikan yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan dan kepentingan perempuan. Yayasan ini dibuat untuk mewujudkan mimpi Ani berupa penyediaan Balai Penitipan Bayi agar kaum ibu yang bekerja tak perlu risau atau harus mengorbankan keinginannya untuk berkarier ketika sudah memiliki anak. Yayasan ini rencananya juga menyediakan pendidikan dari Taman Kanak-kanak (TK) hingga SMA. Namun pembangunannya dilakukan secara bertahap. Ani juga berusaha menemukan tenaga pendidik dan pemelihara yayasan yang mumpuni. Pembangunan tahap pertama selesai tepat waktu. Pada Hari Ibu 1953, Balai Penitipan Bayi dan TK Indria diresmikan di Jalan Sisingamangaraja 84 Medan. Beberapa tahun setelahnya, SD dan SMP Indria diresmikan pada Hari Kartini. Pada awal pendiriannya, murid di Yayasan Indria hanya sedikit sehingga berpengaruh pada kas yayasan. Ani pun terus mencari biaya operasional dan memenuhi honorarium para pendidik. Beruntung, ia dibantu oleh para staf yang juga peduli pada perbaikan nasib perempuan. Kerja-kerja Ani untuk memperbaiki nasib perempuan ini didorong oleh pemikirannya. Menurut Ani, perempuan harus dinamis dan giat menuntut ilmu, tidak apatis dan terus berjuang mempertahankan haknya sebagai warga negara Indonesia. “Wanita harus dapat menaikan derajatnya, duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan laki-laki. Jangan diberi kesempatan kepada laki-laki untuk memandang rendah lawan jenisnya,” kata Ani.*






















