Hasil pencarian
9598 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Pekerjaan Paling Buruk di Dunia
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengenai setoran dari pabrik farmasi kepada para dokter senilai Rp800 miliar. KPK pun menganalisis dan menelusuri indikasi korupsi dalam aliran dana mencurigakan tersebut. Praktik ini diduga sudah berlangsung lama. Itulah yang dikhawatirkan oleh Prof. dr. Raden Mochtar, pendiri Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Ben Mboi, yang menerima pengajaran public health (kesehatan masyarakat) dari Dokter Mochtar, masih ingat dengan apa yang tertulis di atas papan tulis di depan kelas: “Pekerjaan dokter itu baik, berdagang itu baik, tetapi gabungan pekerjaan dokter dan berdagang adalah pekerjaan yang paling buruk di dunia.” “Melihat kondisi sekarang, di awal abad XXI ini, saya tidak yakin kata-kata Prof. Mochtar (alm.) itu masih tertulis di sana. Pasti banyak dokter menertawakan pesan slogan tersebut,” kata Ben Mboi dalam Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja . Dalam Ensiklopedi Umum karya AG Pringgodigdo disebutkan bahwa Raden Mochtar lahir di Purwokerto, Jawa Tengah, pada 1900. Dia mengenyam pendidikan kedokteran di Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (Stovia) Batavia dan lulus pada 1924. Selama masa pendidikan, dia giat dalam gerakan pemuda. Dia mulai bekerja sebagai dokter asisten pada bagian chirurgi (bedah) rumah sakit pusat (Centrale Burgelijke Ziekenhuis) di Batavia, kemudian dipindahkan ke pelabuhan Tanjung Priok, Sumatra Barat, dan Demak. Pada 1939, Mochtar menjabat kepala bagian Medisch Hygienische Propaganda pada kantor pusat Dinas Kesehatan Rakyat (Dienst van Volksgezondheid, DVG) di Batavia. Ketika pendudukan Jepang, dia menjabat kepala bagian Pendidikan Kesehatan Rakyat. Dia sebelas kali menjadi anggota delegasi Republik Indonesia dalam konferensi internasional terkait kesehatan (1952-1959). Selain itu, dia menjadi pendiri dan pengurus besar Palang Merah Indonesia (PMI) serta anggota berbagai perhimpunan sosial/kesehatan internasional. Mochtar banyak menulis tentang kesehatan dan pendidikan kesehatan rakyat. Dia diangkat sebagai guru besar luar biasa pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Jakarta. Dia menjadi dekan pertama Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Ben Mboi, yang menjadi dokter tentara dan gubernur Nusa Tenggara Timur ketiga (1978-1983), menyesalkan bahwa dalam 50 tahun norma-norma kedokteran berubah, terutama berkaitan dengan hubungan pasien dan dokter. “Betapa pelayanan medis berubah dari karya yang bertitik berat pada sifat karitatif bergeser menjadi karya industrial, betapa pelayanan medis menjadi komoditas dan rumah sakit menjadi bursa kesehatan. Siapa yang beruang lebih dia yang mendapat pelayanan terbaik,” kata Ben Mboi. Tepat ketika Ben Mboi di tingkat senior clerkship, pada 24 Januari 1961, pesawat Garuda jurusan Jakarta-Bandung jatuh di Gunung Burangrang. “Di dalamnya ada Prof. Mochtar dalam perjalanan ke Bandung. Dia seorang guru yang tepat sekali untuk memotivasi mahasiswa bekerja bagi masyarakat,” kenang Ben Mboi.
- Nasib Sukarno Lebih Tragis dari Multatuli
SEBAGAI sesama pembongkar kejahatan kolonial, Sukarno justru mengalami nasib yang lebih tragis dibanding Eduard Douwes Dekker alias Multatuli. Demikian disampaikan oleh sejarawan Asvi Warman Adam dalam simposium “Para Pembongkar Kejahatan Kolonial: Dari Multatuli Sampai Sukarno”, Sabtu, 17 September 2016 di Museum Nasional, Jakarta Pusat. Dalam ceramahnya, Asvi Warman Adam membandingkan tiga tokoh yang di akhir hayatnya mengalami perbedaan perlakuan, yakni Eduard Douwes Dekker alias Multatuli, Ernest Douwes Dekker alias Setiabudi dan Sukarno. “Multatuli meninggal di Jerman pada tahun 1887, jenasahnya dikremasi. Ernest Douwes Dekker wafat di Bandung pada tahun 1950 dan dimakamkan di Makam Pahlawan Cikutra serta jadi Pahlawan Nasional, sedangkan Sukarno meninggal pada tahun 1970 setelah ditahan dan tidak dirawat sebagaimana layaknya seorang tokoh bangsa lainnya,” kata sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia itu. Padahal Sukarno, sebagaimana dua tokoh tersebut memiliki jasa besar bagi bangsa Indonesia. Bentuk lain dari diabaikannya Sukarno menurut Asvi adalah saat proklamator kemerdekaan itu dimakamkan di Blitar, yang bukan keinginan keluarga Sukarno. “Inspektur pemakamannya pun hanya Jenderal Panggabean,” kata Asvi. Panggabean menjabat Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) periode 1969-1973. Dalam ceramahnya juga Asvi mengemukakan tentang orang yang sering keliru membedakan antara Eduard Douwes Dekker dengan Ernest Douwes Deker. “Ernest Douwes Dekker alias Setiabudi itu masih terhitung cucu Multatuli, anak dari kakak Multatuli,” kata Asvi. Sementara itu Daniel Dhakidae mengatakan novel Max Havelaar karya Multatuli, kendati ditulis dengan gaya yang buruk, pada kenyataanya bisa mengganggu jalannya sistem kolonialisme. Bahkan gangguan itu “seperti merasuk ke dalam tubuh, tulang orang-orang, seperti sinar rontgen,” kata penulis buku Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru itu. Multatuli terbukti telah membuat banyak orang saat itu berpikir ulang tentang bagaimana sistem kolonial menindas rakyat di Hindia Belanda. Menurut Daniel, Douwes Dekker yang lain, yakni Setiabudi juga memainkan peranan penting di dalam membentuk pondasi kebangsaan Indonesia. “Dia mendirikan Indische Partij, sebuah partai politik yang memperjuangkan Hindia Belanda yang tanpa diskriminasi apapun. Orang Indo masuk, orang Cina masuk, orang Mongol apapun itu masuk, selama dia tinggal di Hindia Belanda itu tak masalah. Inilah kesadaran yang tinggi tentang sebuah nasion,” kata Daniel. Pembicara lain, Ubaidilah Muchtar, guru SMP Ciseel, Sobang, Lebak mengatakan banyak orang salah paham terhadap kisah Multatuli. Atas dasar itulah dia mendirikan Taman Baca Multatuli untuk mengajak anak-anak mempelajari lagi pesan-pesan yang disampaikan di dalam roman Max Havelaar . Sebagai guru di daerah pelosok, Ubai berhasil mendorong minat baca anak-anak di desanya. Simposium yang diselenggarakan Majalah Historia bekerjasama dengan Perhimpunan Multatuli ini juga dihadiri oleh Gubernur Banten Rano Karno dan Bupati Lebak Iti Octavia. Pemda Lebak kini sedang membangun Museum Multatuli dengan bantuan dana dari pemerintah Provinsi Banten. “Demi pembelajaran sejarah bagi generasi muda, saya dukung pembangunan itu. Itu wujud dari keinginan saya agar masyarakat Banten, juga Indonesia belajar dari masa lalu bahwa kezaliman terhadap rakyat bisa saja dilakukan oleh siapapun tidak memandang unsur primordial atau rasnya,” pungkas Rano Karno dalam sambutannya.*
- Derita Serdadu Belanda di Indonesia
PEMERINTAH Belanda mengerahkan 220.000 serdadu ke bekas jajahannya yang telah merdeka pada 17 Agustus 1945: Indonesia. Lebih dari setengahnya pemuda berusia tak lebih dari 20 tahun. Mereka mengikuti wajib militer ke Indonesia membawa misi pemerintah Belanda: menyelamatkan negeri koloni dari tangan fasis Jepang dan kolaboratornya. “Politik saat itu mengatakan harus perang. Namun hari ini, publik Belanda menyadari bahwa itu adalah keputusan yang salah,” ujar Gert Oostindie, sejarawan Universitas Leiden, Belanda, dalam diskusi bukunya, Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950, di Erasmus Huis, Jakarta Selatan (13/9) Gert Oostindie meneliti ribuan lembar dokumen subyektif yang ditulis langsung veteran perang Belanda saat bertugas di Indonesia. “Dokumen-dokumen ego” itu berupa buku harian, surat, kesaksian, dan memoir. Dari sumber sezaman tersebut terkuak dua hal yang kontradiktif: sejumlah kejahatan perang ( war crime ) yang dilakukan serdadu Belanda sekaligus beragam pahit getir yang dialami mereka. Menurut Gert, kebanyakan dari tentara itu sama sekali tak mempunyai pengetahuan dan pengalaman tentang Indonesia. Mereka cuma mengira-mengira saja, barangkali apa yang mereka lakukan dapat membantu kehidupan di sana (Indonesia). Setibanya di Indonesia, realitas berbicara lain. Rasa frustrasi melanda serdadu Belanda setibanya di Indonesia maupun sesudahnya. “Pertama-tama, mereka (serdadu Belanda) diperintahkan pergi perang yang sebenarnya tak mereka inginkan. Kedua, setelah pulang, tak ada orang yang mau mendengar kisah mereka. Ketiga, sebagian kalangan menganggap mereka sebagai bajingan, pelaku kejahatan perang. Jarang dari mereka yang mengaku diri sebagai pahlawan,” ujar Gert. “Mereka yang tadinya tak pernah melakukan kekerasan, tetapi begitu melihat rekannya diserang, akhirnya timbul rasa dendam yang berujung menjadi kejahatan perang. Perang selalu bisa mengubah seseorang,” lanjut Gert. Gert juga mengungkapkan, keputusan berisiko mengirimkan serdadu Belanda ke Indonesia sudah dikritisi oleh pers sosialis dan komunis di negeri Belanda. Namun euforia sebagai pemenang Perang Dunia kedua tak dapat membendung hasrat untuk menguasai kembali negeri jajahan. Menurut sejarawan Anhar Gonggong, para serdadu muda Belanda itu adalah korban dari “ilusi kolonialisme dan imperialisme pemerintah Belanda”. Pemerintah Belanda melakukan kebohongan terhadap pemuda-pemuda yang dimilisi ke Indonesia. Perang yang dipaksakan itu akhirnya tak dapat dimenangkan dan mendatangkan kekecewaan. “Perang tak memberikan apa-apa kecuali kehancuran bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya,” ujar Anhar Gonggong. Sementara itu, menurut sejarawan Universitas Gadjah Mada, Abdul Wahid, kisah suram serdadu Belanda di Indonesia dapat membuka pintu dialog antara sejarawan Belanda dan Indonesia untuk merekonstruksi historiografi mengenai periode 1945-1950 secara lebih objektif. “Masa lalu yang kelam seperti ini justru perlu diangkat dan harus dibicarakan agar tak menjadi duri dalam daging,” ujarnya.
- Arsip Terjaga Menjaga Indonesia
SEBUAH film dokumenter tentang masa awal berdirinya Republik Indonesia memperlihatkan suasana Stasiun Manggarai Jakarta dan sebuah rangkaian kereta api berlokomotif seri C-28 buatan Jerman. Itulah situs dan benda bersejarah yang menjadi saksi bisu hijrahnya pemerintahan Indonesia ke Yogyakarta pada awal 1946. “Kereta inilah yang dulu digunakan oleh rombongan Bung Karno dan Bung Hatta untuk hijrah ke Yogyakarta. Selain sumber arsip primer yang bisa bersaksi, ternyata benda ini pun juga penting,” ujar sejarawan Rusdhy Hoesein dalam diskusi “Dokumen Negara dan Ular Besi Penyelamat Republik” di Galeri Foto Jurnalistik Antara, Jakarta Pusat, 3 September 2016. Cerita soal kereta api bersejarah itu menjadi pemantik untuk menyoroti abainya pemerintah terhadap peninggalan sejarah di Indonesia. Rusdhy menunjukkan bahwa dulunya Stasiun Manggarai memiliki tiga peron yang konstruksinya berbahan kayu besi. Tetapi, kini hanya tersisa dua peron yang masih asli karena peron paling barat telah dibongkar dan diganti kostruksi besi. “Kalau peron (yang tersisa) ini dibongkar juga, habislah kenangan kita tentang Manggarai,” keluhnya. “Lokomotif bersejarah yang digunakan hijrah pun kini tidak terlacak ada di mana. Tetapi dengar-dengar Manggarai mau dibangun lagi menjadi tiga lantai.” Dari persoalan itu, Rusdhy beranjak pada tantangan kekinian dalam penulisan sejarah yang bias karena penggunaan sumber sejarah seperti arsip yang belum memadai. “Pada dasarnya peristiwa sejarah itu tetap. Tetapi berita kesejarahan disampaikan oleh orang per orang yang membawa subjektivitas tertentu,” terangnya. Oleh karena itu, dia menekankan kepada para penekun sejarah supaya berpegang kepada metodologi yang sahih dalam menulis dengan memanfaatkan sumber-sumber sejarah terutama arsip. Sementara itu, Djoko Utomo, mantan kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), mengatakan bahwa asumsi dasar yang selama ini berkembang dalam masyarakat soal arsip bahwa banyak orang terbatas menganggap arsip sebagai sumber dan bukti sejarah. “Tetapi kalau hanya untuk sumber sejarah, lalu buat apa?” tanya kurator Museum Jenderal Soeharto itu. Sepanjang pengalamannya di ANRI, pengguna arsip memang didominasi oleh kalangan akademisi. Padahal arsip bisa lebih berguna dari itu. “Selain untuk penelitian, arsip harusnya bisa diakses oleh masyarakat luas dan berguna untuk kemaslahatan masyarakat,” terangnya. Djoko mengemukakan banyak contoh kegunaan arsip. Salah satunya untuk menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah Indonesia. Sayangnya, hal itu pernah diabaikan oleh pemangku kebijakan. “Saat Belanda pergi dari Indonesia, banyak persoalan terkait perbatasan bekas negara kolonial yang tidak diperhatikan. Lihat lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan ke Malaysia,” ujar Djoko. Saat itu, dalam sidang Mahkamah Internasional, Malaysia memperkuat klaimnya atas kedua pulau di Selat Makassar itu berdasarkan dokumen-dokumen legal sejak masa Kesultanan Sulu, Inggris, dan Malaysia. Saat Inggris masih menguasai Malaysia, pemerintahan kolonialnya telah mengelola pulau itu sejak 1878. Sementara Indonesia, kata Djoko, lemah argumentasi hukumnya sehingga kedua pulau itu akhirnya masuk wilayah Malaysia. Berkaca dari masalah-masalah itu, Djoko mengusulkan suatu terminologi khas guna mencegah masalah seperti itu terulang kembali di masa depan. “Saat penyusunan undang-undang kearsipan saya memasukkan apa yang disebut sebagai arsip terjaga,” jelasnya. Menurut definisi dalam UU No. 43 tahun 2009 tentang Kearsipan, definisi arsip terjaga adalah arsip negara yang berkaitan dengan keberadaan dan kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dokumen yang dapat dikategorikan sebagai arsip terjaga meliputi dokumen kependudukan, kewilayah, kepulauan, perbatasan, perjanjian internasional, kontrak karya, dan masalah pemerintahan strategis. Meskipun dalam soal kearsipan ini Indonesia telah memiliki landasan hukum yang jelas, namun realisasinya belum maksimal. “Sayang sekali tindak lanjutnya masih belum maksimal,” kata Djoko.
- Mengungkap Struktur Dinding Benteng Rotterdam
ISBAHUDDIN, peneliti muda jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin Makassar, membawa saya mengelilingi benteng Rotterdam di Makassar. Dia begitu piawai melihat perbedaan dasar batuan yang melengket pada dinding benteng. “Ini batuan tufa (bahasa ilmiahnya disebut tuff ), ini andesit,” katanya. “Ini crystal tuff , yang ini victric tuff ,” lanjutnya. Dia meraba dengan penuh ketekunan batuan dinding itu dan menjelaskannya dengan sederhana. “ Tufa , itu kalau ditumbuhi lumut, hanya menempel di permukaan. Porinya kecil, jadi akar lumut tak bisa merangsek kedalamnya,” katanya. Kamis, 25 Agustus 2016, menjelang senja itu, beberapa pengunjung memperhatikan kami menelisik batuan dinding. Ada wajah yang penuh keheranan, ada pula pengunjung yang mendekat untuk sekadar mendengarkan Isbahuddin membuat penjelasan singkat, lalu kemudian berlalu. Dia kemudian mengangkat sebuah bongkahan batu di bagian selatan benteng. Lalu seperti mencongkelnya dengan ibu jari yang ditengkuk dengan kuat. “Ini tufa , dipegang terasa halus. Dan kalau pecah, seperti tanah,” katanya. Mengapa penting mengetahui struktur dan bahan yang digunakan benteng? “Itu akan menjelaskan bagaimana benteng ini dibangun. Dan bagaimana kekuatannya. Mengapa dominan memilih batuan tufa , saya kira itu keuntungan besarnya. Tufa tidak mudah retak dan peluru meriam hanya akan membuat bekas lubang kecil, atau bisa saja membuat peluru melengket,” kata Isbahuddin. Isbahuddin menelisik asal muasal bahan batuan benteng Rotterdam selama tiga tahun. Dia menelusurinya menggunakan catatan dan arsip sejarah. Salah satunya adalah kajian David Bullbeck, arkeolog dari Australia, yang menjelaskan jika beberapa batuan yang digunakan dalam struktur benteng Rotterdam berasal dari Gowa. Dan penggambaran dari catatan harian lontaraq bilang kerajaan Bone, tentang gambaran orang-orang Bone yang menyiapkan batu untuk benteng Rotterdam dari Maros. Dari bekal pengetahuan awal itu, ditemukanlah dua lokasi dimana sampel dari struktur benteng Rotterdam dari sebuah ekskavasi di bagian dinding selatan yang sama, antara batuan yang berada di Kampung Kuri, Desa Nison Balia, Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros. Dan sampel lainnya serupa dengan batuan di wilayah Pammakulang Batua di Desa Bonto Ramba, Kecamatan Palangga, Kabupaten Gowa. Penelitian ini menggunakan analisis petrografi di laboratorium Geologi Bandung (ITB) untuk mengetahui kandungan mineral yang terkandung dalam batuan penyusun benteng Rotterdam. Analisis kedua adalah spektrometri menggunakan X-ray Fluorescence Spectrometer (XRF)di laboratorium X-ray Dissfraction Fakultan MIPA Universitas Hasanuddin untuk mengetahui kandungan senyawa dalam batuan. Ada empat buah sampel batuan yang dijadikan titik pengujian. “Hasilnya semua tufa ,” kata Isbahuddin. “Tapi lebih detilnya, tufa dari Gowa jenisnya adalah crystal tuff dan dari Maros adalah victric tuff .” Perbedaan antara crystal dan victric tuff , dapat dilihat secara kasat mata. Yang crystal , batuannya agak kasar bila diraba sementara victric lebih halus. Tapi jenis batuan tufa mengandung clay (tanah liat) yang lebih dominan. Meski demikian, Isbahuddin juga tak menampik, jika beberapa batuan penyusun dari benteng Rotterdam, terdapat juga batuan andesit dan gamping (karst). “Tapi itu hanya ada beberapa persen,” lanjutnya. Pemugaran Benteng Rotterdam dibangun pertama kali pada abad ke-15 oleh Raja Gowa X, I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung dengan gelarnya Karaeng Tunipallangga Ulaweng menggunakan gundukan tanah sebagai struktur awal. Pada pemerintahaan Raja Gowa XV, I Manggerangi Daeng Manrabia atau dikenal Sultan Alauddin, struktur benteng dilakukan pemugaran dengan menggunakan tanah liat dan beberapa balok batu. Pada 1667 Belanda mengalahkan Makassar dan menghasilkan perjanjian Bongaya. Salah satu pasal dalam perjanjian itu mengharuskan seluruh benteng pertahanan kerajaan Gowa-Tallo dihancurkan, kecuali benteng Rotterdam. Sang penghancur adalah Cornelis Janszoon Speelman yang kelak menjadikan benteng Rotterdam sebagai pusat aktivitas pemerintahaan dan militer Belanda. Pada masa ini, perombakan terjadi dari mulai dinding yang seutuhnya menggunakan balok batu, penambahan enam menara pertahanan ( bastion ), dan pembangunan beberapa gedung dalam benteng, seperti gereja dan kediaman pejabat. Dinding benteng Rotterdam, memiliki ketebalan sekitar 2 meter, dengan tinggi masing-masing dinding untuk menara 7 meter, dan dinding penghubung antara menara adalah 5 meter. Sementara itu, balok-balok batu yang menjadi penyusun struktur benteng ada yang terlihat vertikal ada pula yang horizontal, dengan besaran bervariasi. Pemugaran berikutnya setelah kemerdekaan Indonesia yang dilakukan pemerintah Indonesia. Bagian dinding yang rusak ditambal menggunakan batuan andesit dari Kabupaten Jeneponto. “Kalau menurut saya, menggunakan andesit agak keliru. Karena kualitasnya tidak sama,” kata Isbahuddin. Andesit memiliki pori lebih besar dan mudah termakan lumut. Andesit pun mudah patah meskipun sangat kokoh. “Asumsi saya, menggunakan tufa menjadi keuntungan dalam pertahanan benteng. Kalau menggunakan andesit, jika terkena meriam akan mudah pecah,” katanya. Ketika kami berjalan dan memperhatikan tembok dan struktur benteng Rotterdam, terdapat ribuan balok batu. Jika dominan bahan utamanya dari Gowa dan Maros, bagaimana para perancangnya membawa batuan tersebut ke Makassar? “Di Gowa, tempat dimana batuan itu berasal dekat dengan sungai. Di Maros, jarak dari bibir pantai hanya sekitar 100 meter. Saya kira menggunakan jalur air artinya menggunakan kapal,” katanya. “Kemudian ada banyak pertanyaan. Bagaimana mereka membentuk balok-balok batu itu. Teknologi apa yang digunakan dalam membuat balok batu pada tahun 1600-an. Di sini, masih banyak teka-teki yang memerlukan penelitian lebih jauh,” kata Isbahuddin.
- Kisah dari Kampung Karadenan Kaum
DADANG Supadma, warga Kampung Karadenan Kaum Cibinong Bogor Jawa Barat menunjukkan bagan silsilah keturunan yang terpajang di Masjid Al-Atiqiyah (Masjid Kaum). Di sana ada nama Prabu Sri Baduga Maharaja Ratu Haji Siliwangi dan Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, yang kamudian bermoyangkan Nabi Muhammad Saw. Itulah yang membuat masjid dan Kampung Karadenan Kaum menjadi istimewa. Saya dan Komunitas Ngopi (di) Jakarta (Ngojak) sengaja mendatanginya karena dibisiki kampung itu merupakan pusat perkembangan agama Islam tertua di Priangan Barat. Dadang mengaku sebagai penyusun dan penelusur silsilah keluarga di Karadenan Kaum. Dia membutuhkan waktu dua tahun mencari buyut dan leluhur yang menurunkan warga kampung termasuk dirinya. Dia menyelesaikan pohon silsilah itu pada 2015. “Tahunya oleh orang tua dikasih nama Raden. Ketika ada pertanyaan Raden dari mana kami? Jawabannya dari Pangeran Sageri. Kan harus ada jalan ceritanya, nah itu yang kami telusuri,” tutur pria 48 tahun itu. Pangeran Sageri berasal dari Kerajaan Muara Beres, kerajaan vasal dari Pajajaran. Awalnya, Kerajaan Muara Beres dipimpin Pangeran Sangiang atau Prabu Wisesa. Prabu Wisesa memiliki putra bernama Raden Nasib. Anaknya bernama Raden Syafe’i yang mendirikan masjid di Karadenan Kaum pada 1667. Dia penyebar agama Islam dari wilayah Karadenan sampai Depok. “Makamnya di belakang ini,” katanya sambil menunjuk arah barat masjid. Sementara, leluhur Dadang, Pangeran Sageri menikah dengan putri dari Prabu Wisesa. “Saya keturunan ke-41,” sebut Dadang sambil menunjuk namanya di papan silsilah. Kisah penelusuran silsilah diawali ketika Dadang menemukan dokumen yang uzur dan robek. Dokumen ini dia jadikan patokan untuk membuat pohon silsilah yang lebih lengkap lagi. “Waktu pengurus masjid sebelumnya meninggal, lemari arsip di masjid dibongkar. Ternyata ada arsip yang mungkin kelupaan, dari situ baru bisa kami bikin silsilah ini,” tuturnya. Dadang mengaku bahwa bukti-bukti kesejarahan mengenai Keradenan Kaum masih tercecer. Dia sulit mencari arsip atau bukti lain. Sejauh ini hanya mengandalkan ingatan dan cerita turun-temurun. “Saya sempat dengar ada di arsip di Pemda Bogor, tapi saya belum sempat lihat,” ujarnya. Dadang menyayangkan masjid yang seharusnya menjadi bukti otentik sejarah Kampung Karadenan Kaum justru habis-habisan dipugar. Pada 1962 masjid itu dirombak dengan alasan kayunya aus. “100 persen hilang (keasliannya, red ). Sampai sempat ditegur Dinas Kebudayaan,” ungkap Dadang. Masjid itu awalnya sebesar surau. Kini diperlebar pada bagian baratnya, hingga memotong lahan pemakaman kuno. Ciri khas masjid kuno berupa empat pilar di bagian tengah bangunan hanya tersisa dua pilar. Bahkan bukti angka tahun pendirian masjid dengan aksara Arab pun dihilangkan. “ Nggak ada dokumentasinya. Ingatan saja mungkin yang masih ada,”lanjut Dadang. Menurut Dadang yang masih benar-benar asli adalah pajangan kaligrafi bertuliskan kalimat syahadat yang dipajang di mihrab masjid. Selain itu, mungkin satu-satunya petunjuk masjid itu kuno adalah namanya. Nama Al-Atiqiyah yang artinya antik atau unik disematkan jauh setelah masjid pertama kali dibangun. Tidak jelas nama sebelumnya masjid itu. Dadang mengungkapkan ada niat warga untuk mengembalikan wujud asli atap masjid karena bagian lain tak memungkinkan. “Justru yang disayangkan, dulu masih ada (bukti sejarah, red ) dihilangkan, sekarang sudah tidak ada baru mau digali,” sesalnya. Kendati sumber sejarah minim, budaya oral cukup mampu melestarikan sejarah asal-usul warga Kampung Karadenan Kaum. Sebab, warganya masih menjaga tradisi leluhur. “Itu keharusan yang harus dijaga,” tegas Dadang. Di Karadenan dikenal tradisi menyimpan dan merawat pusaka leluhur. Sebagian sudah dikumpulkan dari rumah-rumah warga untuk dirawat bersama di Museum Keris di lantai dua Masjid Al-Atiqiyah. Ada pula tradisi Mauludan dan tolak bala di Bulan Sapar yang masih rutin dilakukan. “Maulid biasanya diisi ceramah, kalau di sini salawatan,” jelasnya. Ketika Maulid Nabi Muhammad Saw, warga Karadenan yang merantau pun kembali. Ritual mudik ini tak berbeda dengan saat Lebaran. Bahkan, Lebaran justru kalah ramai dibanding peringatan hari lahir Sang Nabi Besar. Kini, di Karadenan tinggal 80 persen warga yang masih asli keturunan para bangsawan. Dari satu RW ada lima RT, kini tinggal tiga RT. Meski begitu, tanggung jawab mereka terhadap peninggalan leluhur masih tinggi. Misalnya, pemugaran dan perbaikan masjid tak pernah mereka meminta bantuan, khususnya dari pemerintah. Ini adalah cara agar kebanggaan dan rasa memiliki warga terus terjaga. Mereka saat ini lebih berharap akan adanya pihak yang mampu menunjukkan bukti peran Kampung Karadenan sebagai pembuka dakwah Islam di Priangan Barat. “Kami ingin sekali ini jadi cagar budaya,” ucap Dadang siang itu menutup perjalanan kami.
- Kisah Bung Dullah dalam Lukisan Sudjojono
BUNG Dullah, begitu dia dipanggil. Wajahnya terletak pada deretan tengah, sosok ketiga dari kanan lukisan: menggunakan pet hitam miring, topi khas laskar zaman revolusi. Kisah perjuangannya yang legendaris melatarbelakangi penciptaan lukisan berjudul Kawan-kawan Revolusi ini.
- Hasil Alami “Candi” di Purworejo
BEBERAPA waktu lalu masyarakat dihebohkan dengan temuan batu bersusun yang dikira bangunan candi di bukit Pajangan, Makem Dowo, Sidomulyo, Purworejo. Foto-fotonya sempat ramai di media sosial karena disangka merupakan candi yang sangat besar. Namun, berdasarkan survei yang dilakukan beberapa ahli termasuk dari BPCB (Balai Pelestarian Cagar Budaya) Jawa Tengah, di bukit Pajangan tidak ditemukan adanya artefak. Para ahli menyimpulkan susunan batu itu adalah hasil alami yang disebut columnar joint . Arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah, Muhammad Junawan menjelaskan, columnar joint merupakan hasil peristiwa geologis. Bentukan itu dihasilkan akibat aliran lava yang mengalami pendinginan dan pengkerutan hingga menyebabkan retakan. Struktur batuan beku ini sering kali memperlihatkan bentuk seperti kumpulan tiang-tiang maupun kolom-kolom. “Batuan tersebut murni peristiwa alam atau fenomena geologi,” jelas Junawan kepada Historia . Menurut Junawan, batu columnar joint di Purworejo tidak dimanfaatkan oleh masyarakat zaman dulu. Namun, ada batuan columnar joint yang dimanfaatkan masyarakat di sekitarnya seperti di Gunung Padang dan prasasti beberapa kerajaan, yaitu Prasasti Yupa dari Kutai, Prasasti Kota Kapur Kerajaan Sriwijaya, dan Prasasti Batutulis dari Kerajaan Pajajaran. “Dengan kata lain batu columnar joint tersebut tidak dimanfaatkan manusia. Di Purworejo belum ada intervensi dari budaya tertentu, tapi contoh di Gunung Padang batu kolom ditata sedemikian rupa,” kata Junawan. Junawan mengatakan, pemanfaatan bentukan columnar joint itu cukup beralasan. Intuisi manusia biasanya selalu mencari yang praktis: mudah dan murah. Batuan itu terutama untuk bangunan seperti candi atau bangunan lainnya. “Mereka mencari sumber bahan yang mudah dalam perolehannya dan ketersedian bahannya,” ucapnya. Itulah mengapa ada candi yang berbahan batu andesit, batu putih, bahkan bata. “Ada yang mencari batuan itu dengan upaya tertentu untuk tujuan filosofis,” terangnya. Misalnya, batu andesit yang biasanya dicari untuk membuat arca perwujudan dewa. Andesit dalam kasus ini dinilai sebagai batuan yang paling baik untuk keperluan yang sakral. “Karena dewa sesuatu yang dipuja tentunya harus dibuat semaksimal mungkin dengan bahan yang baik dan pahatan yang bagus juga,” jelasnya.
- Demi Jalan Layang Bunker Jepang Dihancurkan
Di wilayah Pattunuang –jalan poros Maros menuju Camba dan Kabupaten Bone– pembangunan jalan layang tahap pertama sudah dimulai awal tahun 2016. Kendaraan berat hilir mudik. Tebing-tebing karst terlihat memutih karena telah dipotong. Tanah merah bercampur batuan telah tersingkap. Ratusan pepohonan pun sudah tertebas tak tahu di mana lagi. Belum hilang rasa penasaran itu, ketika sampai di kelokan pertama menuju tanjakan, memasuki kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN Babul), saya kembali terperangah melihat sebuah bangunan kotak terbuat dari beton. Seakan berdiri telanjang, tanpa penghalang dan pelindung. Inilah bunker peninggalan Jepang. Tempat untuk mengintai dan perlindungan dari musuh. Beberapa tahun lalu pertama kali mengetahui adanya bunker di tempat itu, saya harus menghentikan kendaraan dan menelisik lebih detail. Berjalan menanjaki tebing karst untuk memastikannya. Tapi kini, melintas dengan kecepatan pun hanya perlu menoleh untuk melihat keberadaan bunker. Kini keberadaan bunker itu sangat memprihatinkan karena masuk dalam area pembangunan jalan. Bagian atasnya sudah tekelupas hingga memperlihatkan besi yang menjadi rangka beton. Tak hanya itu, bagian sampingnya pun beberapa sudah jebol. Wahyudin, aktivis pencinta karst, yang memperhatikannya sejak awal pembangunan mengatakan, para pembuat jalan berusaha menghancurkannya. Beberapa kali ada kendaraan berat macam eskavator mencoba menyeruduknya, tapi tak berhasil. Dilihat sepintas, bangunan itu cukup kecil. Hanya ada sebuah lubang jendela kecil berbentuk persegi yang menghadap langsung ke permukiman di wilayah Pattunuang. Tapi ketika mendekat, di bagian belakang jendela, ada pintu masuk. Bangunan yang berbentuk kotak itu sekiranya dapat menampung empat orang dalam keadaan berdiri. Namun, pintu masuk bunker sudah tak dapat lagi ditembus karena tertutup tanah kerukan dari pembangunan jalan. Tak jauh dari tempat itu, terdapat sebuah bunker lagi. Tapi nasibnya tak kalah memperihatinkan. Jika bunker yang berada di ketinggian masih terlihat bangunannya, meski sudah rusak, bunker yang berada di bagian bawah di samping mulut gua Salo Aja, sudah tertutup material tanah. Sama sekali tak ada jejak. Arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Makassar, Muhammad Tang mengatakan, keberadaan bunker di sepanjang jalan Maros Camba memang banyak ditemukan. Tak hanya itu, keuntungan mendirikan bunker di wilayah karst sangat strategis karena letaknya pada ketinggian. Pergerakan musuh akan mudah terpantau. Di Sulawesi Selatan, Jepang masuk tahun 1942. Pendudukan Jepang dengan cepat menguasai beberapa wilayah strategis, seperti bandar udara di Mandai Maros. Sementara itu, akses jalan menuju wilayah Bone satu-satunya yang terdekat adalah melalui jalur Maros-Camba. “Bisa jadi Jepang, menjadikan wilayah karst sebagai titik utama untuk mengontrol arus lalu lintas,” kata Muhammad Tang. Sementara itu, Sejarawan Universitas Hasanuddin Dias Pradadimara mengatakan, penemuan tinggalan Jepang sangat penting, karena akan membuka informasi yang selama ini sangat kurang di Sulawesi Selatan. “Selama ini kita kekurangan informasi mengenai masa Jepang, seperti kekuatan militer ataupun program-program yang dijalankannya. Jadi penemuan apa pun tentang Jepang akan membuka keran informasi yang penting,” katanya.
- Megawati Sukarnoputri: Tanpa Arsip Kita Tidak Tahu Siapa Kita
ARSIP berisi amanat Presiden Sukarno saat pemancangan tiang pertama Gedung Pusat Perbelanjaan Sarinah di Jakarta Pusat ditampilkan dalam pameran Indonesian Archive koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di gedung tersebut selama 23-31 Agustus 2016. Sukarno menyebut di dalam masyarakat sosialis, ekonomi tak akan berjalan tanpa alat distribusi. Pendirian pusat perbelanjaan ini adalah suatu alat distribusi berbagai barang keperluan sehari-hari. “ Departement store adalah satu toko serba ada di mana rakyat jelata terutama sekali wanita dapat membeli segala apa yang dia perlukan,” kata Sukarno. Sarinah juga merupakan wujud perjuangan untuk merealisasikan amanat rakyat. Dalam hal ini, pusat perbelanjan digunakan sebagai penjaga harga. “Kalau kita bisa menjual satu bahan kebaya di departement store dengan harga Rp10, di luar tidak akan berani menjual bahan kebaya Rp20 satu bahan,” kata Sukarno. Dengan demikian, Sarinah dibangun demi kemajuan pembangunan Indonesia. Sukarno juga berharap Sarinah akan menjadi alat penting bagi terselenggaranya sosialisme Indonesia. Mantan presiden Megawati Sukarnoputri mengatakan dengan terbukanya arsip nasional kepada masyarakat luas dapat menginspirasi generasi masa kini. Informasi dalam arsip menunjang terbukanya sumber pengetahuan mengenai asal usul bangsa. “Tanpa sebuah arsip kita tidak akan tahu siapa kita. Semoga dapat diapresiasi dan mengkontemplasi diri kita, bahwa kearsipan, kepustakaan dan museum adalah jejak peradaban manusia,” kata Megawati dalam pembukaan pameran Indonesian Archives di Pusat Perbelanjaan Sarinah, Jakarta Pusat, Selasa (23/8). Mengenai lokasi pameran di Sarinah, Megawati menyebutnya sebagai salah satu bukti sejarah. Menurutnya, Sukarno adalah manusia yang telah berpikiran maju di masa itu dengan membangun pusat perbelanjaan modern seperti Sarinah. “Banyak hal yang telah dia lakukan bukan hanya sebagai presiden Republik Indonesia, tapi sebagai insan manusia kreatif dan punya pandangan ke depan,” ujar Mega. Sarinah dipilih sebagai tempat penyelenggaraan pameran karena dianggap memiliki nilai historis yang tinggi. Kepala ANRI, Mustari Irawan menyatakan Sarinah sebagai mal pertama di Indonesia diresmikan oleh Proklamator kemerdekaan Republik Indonesia yang juga presiden pertama Republik Indonesia pada 17 Agustus 1962. “Bung Karno membangunnya pada saat ekonomi negara kurang baik, bahkan menjelang runtuh. Berdirinya Sarinah merupakan wujud ekonomi ketika itu. Sarinah juga pantas disebut sebagai kemandirian ekonomi pada saat krisis,” ujar Mustari. “Mengandung historis sekali selama Sarinah menjalankan bisnisnya. Ada sejarah panjang baik ekonomi dan politik. Ini adalah milestone dari ekonomi kemandirian kita yang dibangun Bung Karno,” lanjutnya. Mustari menyebutkan ada dua tujuan penyelenggaraan pameran ini: Pertama, pihaknya ingin mendekatkan arsip kepada masyarakat luas. Kedua, ANRI bermaksud memberikan pencerahan rasa nasionalisme kepada masyarakat. “Dengan pameran ini, sepekan lebih, masyarakat sambil berbelanja juga bisa melihat foto yang kami siapkan di sini. Mudah-mudahan bisa memperkaya. Ini harta karun informasi tentang perjalanan bangsa Indonesia,” harapnya. Selain bekerja sama dalam pameran ini, Mustari juga menawarkan bahwa ANRI bersedia memberikan bantuan melakukan pembenahan dan pengelolaan arsip yang ada di Sarinah. Dalam rangkaian acara, pihak ANRI juga menerima arsip statis dari organisasi Dharma Wanita Persatuan (DWP) yang diserahkan oleh Ketua DWP Wien Ritola Tasmaya. Mustari berharap arsip statis ini nantinya akan lebih berguna, tentunya bagi penelitian dan pendidikan. “Ini tanda Dharma Wanita Persatuan sudah mentaati UU yang mengharuskan seluruh organisasi menyerahkan arsip statisnya ke ANRI. Arsip statis ini akan kami simpan selamanya sebagai memori kolektif bangsa,” tuturnya.*
- Misteri Tulang Manusia di Gua Pattiro
PATU (60 tahun) adalah warga kampung Pattiro, Desa Labuaja, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Di rumah panggungnya dekat sekolah dasar, dia menunjukkan jalur yang hendak kami tempuh untuk membuktikan keberadaan sebuah gua, yang dipenuhi puluhan tengkorak kepala manusia. Patu adalah informan awal mengenai gua itu. Pada dekade tahun 1980-an dia menyaksikan sendiri gua tersebut. Ceritanya luar biasa, ada tulang tengkorak yang besar. Saya bersama tim dari Taman Nasional Bantiumurung Bulusaraung (TN Babul), penuh semangat menapaki jalur kawasan karst itu. Dari mulai medan menanjak, menurun, berhimpitan di lereng tebing dan jurang, atau melewati koridor karst. Kami menghabiskan perjalanan hingga lima jam dengan udara yang menyengat. Mulut gua itu berada di sebuah tebing curam, dengan ketinggian sekitar 50 meter. Patu menjadi orang pertama memanjat dan memasang tali untuk pegangan tim. Tapi sesampai di lokasi, tulang kepala tengkorak sudah lenyap. Di mulut gua, selasar dari daun gugur begitu tebal, tanaman merambat juga memenuhinya. Dan sebuah bongkahan tanah bercampur batu –kemungkinan mulut gua itu pernah longsor. Chaeril, seorang staf TN Babul mencoba mengoyak-ngoyak selasar. Dia menemukan sebuah singkapan tulang dan beberapa pecahan tembikar. Pecahan tembikar itu seukuran kepalan tangan yang terbuka. Berwarna merah dengan beberapa motif. “Ini dulu guci, seperti panci tempat memasak. Saya yang pecahkan, karena mau liat tanah betulkah,” kata Patu. Di wilayah desa Panaikang, beberapa cerita tutur sudah mengenal keberadaan gua tengkorak tersebut, dianggap keramat, dengan kisah tulang yang panjang dan besar. Serta tengkorak kepala sebesar helm standar saat ini. Tak ada yang berani menyambangi. “Jadi saya datang melihat langsung. Itu tahun 1980-an. Dan benar, banyak sekali dan tengkorak besar-besar. berjejer di sini (di mulut gua),” kata Patu. Arkeolog Universitas Hasanuddin, Iwan Sumantri menduga jika gua tersebut pada masa lalu dijadikan tempat penguburan ( secondary burial ). Di mana jenazah disimpan dan dibiarkan hingga mengering, lalu tulang belulang yang tercerai berai dimasukkan ke dalam wadah. Salah satunya adalah sebuah guci yang terbuat dari tembikar. Dari penampakan serpihan tembikar itu, kata Iwan, kemungkinan merupakan barang yang masuk ke Sulawesi Selatan. Teknologi tembikar itu diperkirakan pada kurun waktu antara abad 16-17, yang berasal dari Sukhotay, Vietnam. Pada masa itu, Vietnam di bawah pengaruh China. “Saya kira para pedagang China-lah yang membawanya dari Vietnam masuk ke Sulawesi,” kata Iwan. Untuk menjangkau gua itu, dalam radius jarak, sebenarnya lebih dekat melalui desa Panaikang dibanding kampung Pattiro. Namun, medan dari Panaikang menuju gua hampir dipastikan jarang tersentuh, hanya para pencari lebah hutan dan penyadap nira yang melaluinya. Arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Makassar, Rustan mengatakan, temuan dari masyarakat mengenai gua yang memiliki tinggalan arkeologis sangat membantu. “Kami akan mengecek keberadaannya,” katanya. Namun, menelisik dari fragmen tembikar yang ditemukan di gua itu setidaknya ada gambaran mengenai motifnya yang tua, meskipun tidak khusus menandakan dari mana. Namun, demikian penemuan fragmen tembikar dalam gua-gua di Sulawesi Selatan, umum dijumpai baik dari periode tua sekitar 1000 tahun sebelum masehi, hingga dekade tahun 1950-an masa pergolakan DI/TII. “Tapi temuan tulang manusia, tentu harus dianalisis lebih jauh untuk mendapatkan detailnya,” katanya.
- Istana Kepresidenan sebagai Ruang Budaya
PRESIDEN Sukarno menjadikan istana sebagai ruang budaya budaya. Istana kepresidenan menjadi galeri seni terbesar di Indonesia dengan 16.000 koleksi benda seni di seluruh istana, terdiri dari 2.700 lukisan, 1.600 patung, 11.800 karya kriya dan kerajinan. “Saya setuju kalau dikatakan koleksi lukisan dan benda-benda seni di istana itu adalah pernyataan kebudayaan, bukan hanya dekorasi. Koleksinya kini bisa dimaknai memiliki nilai historis dan pewarisan nilai budaya,” ujar sejarawan Eko Sulistyo, yang juga deputi bidang komunikasi dan diseminasi informasi pada Kantor Kepala Staf Kepresidenan Republik Indonesia dalam seminar “Karya Seni Rupa dan Sejarah Indonesia” di Galeri Nasional Jakarta, Senin (22/8). Mengapa Sukarno memberikan visi ruang budaya kepada istana? Menurut Eko, bagi Sukarno ruang politik saja tidak cukup. Ruang politik akan membuat komunikasi tersekat, muncul prasangka di tengah masyarakat. Sedangkan visi ruang budaya mempererat dialog dan suasana kebatinan. Ruang budaya yang diciptakan Sukarno juga telihat dengan seringnya diadakan pentas musik, pertujukan seni dan budaya. Bahkan, istana sering menggelar hiburan rakyat. Tarian dan wayang menjadi pertujukan rutin di halaman istana. “Bung Karno sering mendatangkan Ki Gitosewoko, dalang kesayangannya dari Blitar,” tutur Eko. Ruang budaya membuat istana semakin inklusif dan ramah terhadap masyarakat. Bahkan Sang Proklamator pernah mempersilakan rakyatnya melakukan akad nikah di Istana Negara dan resepsi pernikahan di Istana Bogor. “Ini contoh istana sebagai ruang budaya dan ruang dialog yang cukup dekat dengan masyarakat,” ucap Eko. Sukarno juga menjadikan istana sebagai alat diplomasi budaya karena dikunjungi tamu negara hingga dibuat kesepakatan. Dia terbiasa menjelaskan sejarah budaya melalui lukisan juga seni kriya kepada para tamunya. Hal ini dinilai mampu menunjukkan kekayaan bangsa Indonesia yang telah keluar dari cengkraman kolonialisme. Menurut Eko perspektif ruang budaya yang digagas Sukarno tak lepas dari kecintaannya terhadap seni. Darah seni yang dimiliki Sukarno mengalir dari ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai yang juga keponakan Raja Singaraja. Darah seni ini terus terasah, terutama ketika Sukarno berada dalam pengasingan. “Di Ende misalnya, dia menciptakan 12 naskah sandiwara, seperti ‘Dokter Setan’,” pungkas Eko.






















