Hasil pencarian
9587 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Habis Natal Terbitlah Boxing Day
SEPEKAN liburan Nataru (Hari Raya Natal hingga tahun baru) jadi momen yang pas untuk berkumpul bersama keluarga atau dimanfaatkan untuk wisata jarak jauh. Namun tidak begitu di Inggris, yang punya tradisi Boxing Day dengan hiburannya berupa tontonan sepakbola. Untuk sepekan ini saja jadwal tim-tim elit Premier League sudah padat. Tentu membuat para pemain, pelatih, dan ofisial serta para penonton hanya akan merasakan liburan lewat menonton pertandingan sepakbola. Beberapa laga yang akan dihelat pun bakal krusial untuk perburuan gelar di momen Boxing Day , 26-28 Desember 2019: Chelsea vs Southampton, Tottenham Hotspur vs Brighton & Hove Albion, Sheffield United vs Watford, dan Liverpool vs Leicester City. Namun, apa itu Boxing Day ? Merujuk Oxford English Dictionary edisi pertama keluaran 1887, makna Boxing Day adalah liburan di pekan pertama setelah Hari Natal. Di era 1830-an, di Inggris mulai marak pemberian hadiah kado ( box ) sebagai bentuk rasa syukur di hari peringatan kelahiran Yesus Kristus. Kado itu biasa diberikan para orangtua kepada anak-anak mereka atau dari para juragan ke para pekerja. Meski belum disebut Boxing Day, tradisi itu sudah tercatat jauh sebelum abad ke-19. Catatan pelaut dan politisi Samuel Pepys dalam Diary of Samuel Pepys salah satunya . Dalam catatannya tanggal 19 Desember 1663, disebutkannya bahwa sudah menjadi kebiasaan untuk para pelayan diberi hadiah dari para majikan sekaligus diberi hari libur untuk pulang dan berkumpul bersama keluarga satu hari setelah Hari Raya Natal. Di hari besar itu para pelayan sudah bekerja seperti biasanya melayani para tuan. Tradisi itu terus berlanjut hingga kini, bahkan menyebar lewat negeri-negeri koloninya yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Boxing Day dan Si Kulit Bundar Meski sepakbola bukan ditemukan di Inggris, tetap diakui orang Inggrislah yang mengembangkan permainan ini dengan rupa-rupa aturannya. Maka wajar sepakbola senantiasa hadir sebagai hiburan masyarakat lintas “kelas” di banyak momen besar, semisal Natal. Inggris pula yang melahirkan klub tertua yang masih eksis sampai sekarang, yakni Sheffield FC. Ia lahir pada 24 Oktober 1857. Sheffield FC memainkan pertandingan antarklub resmi pertama melawan Hallam FC dalam tajuk “Rules Derby” di stadion Sandygate Road, 26 Desember 1860. Sebelumnya, klub-klub saat itu sekadar bermain melawan timnya sendiri. Sheffield FC menang 2-0 di momen Boxing Day itu yang stadionnya disesaki penonton. Sebagaimana yang diungkap buku perayaan satu setengah abad klub, Sheffield FC: Celebrating 150 Years of The World’s First Football Club , laga itu jadi laga sepakbola pertama Boxing Day . Laga itu dirancang kedua petinggi klub untuk menegaskan semangat Natal. “Tidak ada kejadian buruk yang terjadi –permainan dilakukan dengan suasana yang baik dan dalam semangat persahabatan– dan ketika langit mulai gelap, Sheffield Club menang dua gol tanpa balas dan pulang dengan kemenangan yang memuaskan,” tulis suratkabar Sheffield Daily Telegraph , 28 Desember 1860. Sheffield FC, klub sepakbola tertua di dunia (Foto: Repro "Sheffield FC: Celebrating 150 Years of The World’s First Football Club) Laga Boxing Day pertama dalam kompetisi resmi baru terjadi di Football League musim perdana, 1888-1889. Football League di musim itu diakui sebagai kompetisi resmi tertua dengan format liga dan tetap menjadi liga kelas paling atas di Inggris hingga 22 klubnya memisahkan diri dan membentuk Premier League. Sebelumnya FA Cup-lah kompetisi resmi pertama dengan format turnamen, bergulir sejak musim 1871-1872. Di laga Boxing Day 26 Desember 1888 itu, Preston North End meladeni West Bromwich Albion dan menang telak 5-0. “Di laga inilah performa terbaik Preston terjadi di musim rekor mereka. Saat wasit meniup peluit terakhir, para pemainnya diberi tepuk tangan paling meriah oleh para penonton yang datang di Boxing Day itu,” ungkap jurnalis dan sejarawan sepakbola Mark Metcalf dalam The Origins of the Football League: The First Season 1888/89 . Suksesnya Boxing Day di musim pertama liga itu bikin jadwal musim berikutnya lebih gila. Seperti yang dialami Aston Villa, misalnya. Dua hari berturut-turut mereka berlaga kontra Preston pada Hari Natal 25 Desember 1899 dan meladeni Accrington di Boxing Day keesokan harinya. Itu jadi kali pertama sepakbola tercatat dimainkan di Hari Natal dengan mencatatkan sembilan ribu penonton selama dua hari itu. Baru pada 1965, FA (induk sepakbola Inggris) menetapkan tiada lagi jadwal yang diperbolehkan eksis pada Hari Natal, merujuk pengalaman di beberapa musim sebelumnya yang tak hanya kerap diganggu cuaca buruk namun juga dampak para pemainnya cedera parah. Kalaupun cuaca memungkinkan, laga hanya boleh dimainkan pada 26 Desember. “Tidak satupun klub yang boleh memainkan pertandingan pada Hari Paskah dan Hari Natal,” demikian pernyataan FA, dinukil C.W Alcock dalam The Classic Guide to Football . Sebuah laga Boxing Day di Liga Inggris 1985 Laga Boxing Day juga pernah dimainkan di tengah berkecamuknya Perang Dunia I, 1914, antara serdadu Inggris dan Jerman. Mulanya kisah itu sempat diangap mitos, hingga terungkapnya sebuah surat seorang Sersan Clement Barker dari Batalyon Ke-1 Grenadier Guards, dari front barat ke keluarganya, kala terjadi gencatan senjata antara kedua kubu yang berperang di Hari Natal. “Seorang Jerman muncul dari paritnya – tidak ada tembakan – pasukan kami pun tak menembak, dan kemudian yang terjadi adalah permainan sepakbola. Lantas malam tiba dan belum juga ada tembakan. Pada Boxing Day (26 Desember) juga sama dan terus begitu sampai sekarang,” tulis Barker dalam suratnya tertanggal 29 Desember 1914 dengan tujuan kepada adiknya, Montagu Barker di Ipswich, sebagaimana dikutip Daily Mail , 23 Desember 2012. Seiring tempo menggelinding, semarak Boxing Day menular ke segenap Inggris Raya. Mulai dari Wales, Skotlandia, hingga Irlandia Utara. Pun dengan bertumbuhnya industri sepakbola di Negeri Tiga Singa, para pembuat kebijakan Liga Inggris merancang Boxing Day tak lagi antar-rival sekota atau klub yang basisnya berdekatan. “Jumlah penonton selalu lebih besar ketimbang hari biasa. Namun laga derbi mulai jarang dijadwalkan di hari itu karena mereka tahu bahwa mereka bisa selalu mengharapkan tiket habis di tanggal 26 Desember, hingga akhirnya mereka memilih laga-laga derbi yang juga menarik perhatian banyak penonton di hari lain,” kata jurnalis olahraga Nick Szczepanik dalam Pulp Football: An Amazing Anthology of True Football Stories You Simply Couldn’t Make Up. Sejak 1992, Liga Inggris mulai kebanjiran pelatih dan pemain asing. Banyak yang kaget mereka tetap harus merumput di masa-masa liburan Natal hingga tahun baru. Pasalnya, tak satupun negeri di luar Inggris Raya yang menjadwalkan pertandingan di masa liburan Nataru. Ada yang mengkritik kebijakan itu, namun tak sedikit yang menerima tradisi itu sebagai tantangan. Aloysius Paulus Maria 'Louis' van Gaal, salah satu pelatih asing yang mengkritik tradisi Boxing Day (Foto: manutd.com ) Salah satu pengkritiknya adalah Louis van Gaal, pelatih Manchester United periode 2014-2016 asal Belanda. “Tidak ada jeda musim dingin dan saya rasa itu hal terburuk dari budaya ini. Sebenarnya tidak baik buat sepakbola Inggris, buat klub atau timnas. Inggris belum pernah memenangkan apapun dalam beberapa tahun terakhir, kan? Itu karena para pemainnya kelelahan di akhir musim,” ujarnya kepada The Guardian , 23 Oktober 2015. Keluhan lain juga disampaikan bek Liverpool periode 1999-2009 asal Finlandia, Sami Hyypiä dalam otobiografinya, From Voikkaa to the Premiership . “Bahkan kami latihan di Hari Natal. Bukan rahasia bahwa Liga Inggris punya jadwal di musim dingin dan saya sadar telah memilih karier ini dengan risiko naik-turunnya performa,” tulisnya. Namun pandangan lain dilontarkan pelatih Arsenal 1996-2018 Arsène Wenger yang menganggap, tradisi Boxing Day adalah hal unik yang tak ditemukan di belahan bumi manapun. “ Itu adalah daya tarik dan kegilaan sepakbola Inggris. Jelas Boxing Day berkontribusi mempromosikan Liga Inggris. Semua orang di negeri lain yang sedang libur dan bosan, takkan lagi merasakan kebosanan setelah melihat pertandingan Liga Inggris,” cetusnya, dikutip Ian Ridley dalam There’s Golden Sky: How Twenty Years of Premier League Has Changed Football Forever . Melihat suksesnya sepakbola Inggris dari masa ke masa dengan tradisi Boxing Day- nya, Lega Calcio selaku operator Serie A Liga Italia mencoba menyontek konsepnya pada musim 2018-2019. Niatnya memang untuk mendongkrak finansial. Maklum sejak skandal bola terbesar di Italia pada 2006, pamor sepakbola Italia menukik tajam. Stadion-stadion tak lagi terisi penuh seperti sebelumnya. Sayang eksperimen itu gagal. Dari rapat evaluasi pada April 2019 setelah melihat hasil Boxing Day Liga Italia pada Desember 2018-Januari 2019, tak menampilkan grafik signifikan. Jadwal laga-laga Boxing Day tak lagi ditetapkan untuk musim ini (2019-2020).
- Kisah Cinta di Tepi Sungai Cisadane
Pada 16 November 1965, Tuba bin Abdul Rochim, seorang pemuda dari Brebes, ditangkap karena menjadi anggota Pemuda Rakyat. Laki-laki yang lahir pada 14 April 1944 ini kemudian ditahan di Rumah Tahanan Chusus (RTC) Salemba. Satu bulan kemudian, ia dipindahkan ke RTC Tangerang. Pada awal Februari 1966, proyek kerja paksa di RTC Tangerang dimulai. Para tahanan politik harus bekerja menggarap lahan untuk ditanami padi. Tuba termasuk di antara para pekerja paksa itu. Setelah tiga bulan menggarap lahan, Tuba dipindahkan ke bagian dapur untuk mempersiapkan ransum tapol, jatah makan peleton pengawal, dan petugas sipir penjara. Selain itu, Tuba dan 24 orang lainnya ditugasi untuk mencari kayu bakar ke daerah Serpong, Lengkong, Karawaci, dan sekitarnya. Dengan dikawal seorang CPM dan dua orang hansip penjara, mereka diperbolehkan mencari kayu bakar ke rumah-rumah penduduk dan menebang pohon yang cabangnya sudah berlebih. Setiap harinya, Tuba harus mengumpulkan 10 kubik kayu bakar. Hingga pada suatu hari, pekerjaan mencari kayu bakar ini membuatnya bertemu dengan seorang gadis desa yang tinggi semampai dan berkulit kuning langsat. Tuba jatuh hati dan mereka pun berkenalan. "Dia masih SMP. Namanya Aisyah. Tahi lalatnya itu gede di sini," kata Tuba kepada Historia sambil menunjuk dahi sebelah kirinya. Tuba dan Aisyah semakin dekat karena Tuba sering mencari kayu bakar di sekitar rumah Aisyah. Walaupun Tuba seorang tahanan politik, Asiyah menerima apa adanya. "Dan dia mengharapkan saya agar nanti, kalau misalkan bebas bisa bersatu lagi," cerita Tuba. Namun, perjumpaan Tuba dan Aisyah tak berlangsung lama. Hampir satu tahun mereka tidak bertemu karena Tuba pindah tempat mencari kayu bakar. Pada Agustus 1970, dalam rangka HUT ke-25 Republik Indonesia, Kota Tangerang ramai oleh pawai dan berbagai pertunjukan kesenian. Di Sungai Cisadane digelar perlombaan perahu. Sementara itu, Tuba yang dipekerjakan sebagai pembantu di rumah Komandan Kodim Tangerang, sedang mencuci pakaian di tepi Sungai Cisadane. Tak berapa lama, seorang gadis tiba-tiba datang mendekatinya dan berkata, "Bang, istirahat dulu." Gadis itu kemudian membungkukkan badan dan meletakan bungkusan makanan. "Bang istirahat dulu, ini aku bawain makanan," kata gadis itu lagi. Ketika Tuba menoleh ke arah gadis itu, ia terkejut mendapati Aisyah, gadis desa yang ia rindukan telah berdiri di hadapannya. Tuba langsung menjabat tangan Aisyah dengan erat dan enggan melepaskannya. Aisyah lalu bercerita tentang usahanya mencari Tuba. "Jadi dia selalu ingat Bang Tuba," kata Tuba. Hampir dua jam mereka bercerita sambil menghabiskan kue pancong. Aisyah kemudian pamitan sambil memberikan koran yang dibungkus kain putih. Sejak itu, setiap hari Aisyah menemui Tuba di tepi Sungai Cisadane dan memberikan koran kepada Tuba ketika ia sedang mencuci pakaian. "Kalau sore, dia itu beli koran yang baru, kemudian dibungkus pakai kain putih, kemudian ditaruh di bawah batu. Bang itu barangnya di bawah batu itu," kata Tuba menirukan Aisyah. Koran pemberian Aisyah itu menjadi satu-satunya sumber informasi tentang dunia luar bagi Tuba dan teman-temannya di dalam penjara. "Pertemuan saya dengan Mbak Aisyah diamini (oleh teman-teman), disetujui untuk kepentingan politik, bolehlah pacaran. Sehingga saya tidak ragu-ragu. Sehingga setiap hari berita masuk terus. Saat itu susah sekali untuk mendapatkan surat kabar," terangnya. Lagu Melati di Tepi Cisadane ditulis di dalam RTC Tangerang. (Andri Setiawan/Historia). Tuba kemudian meceritakan kisah cintanya kepada temannya, Slamet Riyadi. Slamet pun membuatkan lagu berdasar kisah Tuba dan Aisyah. "Kalau begitu saya ekspresikan kisah kamu itu jadi lagu," kata Slamet kepada Tuba. "Boleh silahkan saja. Asal namanya tidak perlu nama aslinya. Tapi bikin saja Melati," jawab Tuba. Akhirnya, jadilah lirik lagu berjudul Melati di Tepi Cisadane, yang mengisahkan asmara antara tahanan politik dan seorang gadis desa. Komposisi musiknya dibuat oleh teman Tuba bernama Ari Matupalewa. "Berkesan sekali lagu itu sampai sekarang betul-betul saya simpan," ungkap Tuba. Pada 1973, hubungan Tuba dan Aisyah harus terhenti. Tuba dipindah lagi ke penjara Salemba selama satu bulan. Kemudian bersama 1.000 lebih tahanan politik, ia dipindahkan ke Pulau Nusakambangan hingga akhirnya dibawa ke Pulau Buru pada November 1976. Pada November 1979, Tuba dibebaskan dari Pulau Buru. Ia mencoba untuk mencari Aisyah. Setelah beberapa kali mondar-mandir di sekitaran rumah Aisyah, ia bertemu dengan seorang perempuan yang mirip dengan pujaan hatinya. Namun, Tuba begitu sungkan untuk menegur. "Itu ada seorang perempuan mukanya persis sama, tahi lalatnya juga sama," ujar Tuba. Selain karena takut salah orang, Tuba berpikir bahwa mereka sudah putus hubungan cukup lama. Ia bahkan mendapat informasi bahwa Aisyah sudah menikah dengan orang lain. Tuba ikhlas tidak berjodoh dengan Aisyah. Toh, pada 1980, ia menikah dengan perempuan yang juga menerimanya apa adanya. Meski demikian, ia masih berharap bisa bertemu dengan mantan kekasihnya untuk melegakan hati.
- Agen Lokal CIA di Sumatra
SUATU pagi, pengusaha Hasjim Ning menemani Presiden Sukarno sarapan di Istana Merdeka. Selagi makan, Sukarno menyuruh Hasjim untuk pergi ke Padang menemui Letkol Ahmad Husein, Ketua Dewan Banteng dan Komandan Resimen IV. Sebagai bentuk protes terhadap pemerintah pusat, Husein mengambil alih pemerintahan sipil dari Gubernur Sumatra Tengah, Ruslan Muljohardjo, dan mengangkat dirinya sebagai Ketua Daerah.
- Kompi Kristen di Batalyon Hizbullah
BEKAS jalan raya Cianjur-Ciranjang-Bandung itu sudah tak berbentuk lagi. Permukaan aspalnya sudah tertutup semak-semak. Sementara berbagai pepohonan liar tumbuh subur di sekitarnya. Sebagian sudah menjulang tinggi dan berukuran raksasa, rimbun melindungi kawasan tersebut dari sengatan matahari. Jalan yang diapit oleh tebing tinggi dan jurang yang curam itu sejatinya masuk dalam wilayah tepi Sungai Cisokan dan termasuk dalam jalur De Postweg (Jalan Raya Pos) yang dibuat oleh Gubernur Jenderal H.M. Daendels (1808—1811). Namun sejak akhir 1970-an, jalur (sekaligus jembatan-nya yang melintasi Sungai Cisokan) itu sudah tidak lagi dipergunakan dan terbengkalai begitu saja. “Malah beberapa tahun lalu sempat dijadikan lahan pembuangan sampah untuk wilayah Kecamatan Ciranjang dan sekitarnya, tapi setelah ada protes dari warga lalu dihentikan,” ujar Achmad Saepudin, salah seorang penduduk di sekitar wilayah itu. Tak banyak orang mengerti, jika tempat itu 73 tahun lalu merupakan salah satu medan pertempuran paling brutal bagi tentara Inggris (terutama dari Kesatuan Gurkha Rifles) di Pulau Jawa. Mereka kerap menyebutnya sebagai jalur neraka Ciranjang, karena di sanalah banyak anggota pasukan Inggris menemui ajal. Begitu pentingnya arti tempat itu bagi mereka, sehingga Red Flash (majalah internal yang dikeluarkan oleh Asosiasi Resimen Gurkha Rifles, Inggris) pernah mengulasnya secara khusus dalam sebuah judul: “The Battle of Tjirandjang Gorge” (Pertempuran di Tebing Ciranjang). Salah satu kekuatan milisi yang sempat menyusahkan prajurit-prajurit asal Nepal itu adalah Kompi Yotham Marchasan dari Batalyon III Hizbullah. Kompi Yotham berisi para pemuda Kristen dari wilayah Gunung Halu (sebuah distrik Kristen di Cianjur yang dibentuk pada 1901 oleh pemerintah Hindia Belanda). Menurut Wijaya dalam Lasykar Hizbullah Antara Jihad dan Nasionalisme Mempertahankan Kemerdekaan RI, 1945-1949 , mayoritas anggota Kompi Yotham adalah pemuda-pemuda hasil didikan militer Jepang. Lantas bagaimana ceritanya para pemuda Kristen itu bisa menggabungkan diri dengan sebuah milisi muslim terbesar di Indonesia saat itu? * RADEN MAKMUR (95), masih ingat kali pertama melihat sosok Yotham Marchasan. Secara pribadi, dia yang saat itu masih seorang pemuda hijau, merasa terkesan dengan penampilan berwibawa pemimpin pemuda Kristen asal Rawaselang, Gunung Halu tersebut. “Orangnya memang kecil, tapi tatapannya tajam menusuk seperti tatapan seekor macan,” ujar lelaki yang juga pernah aktif di Lasykar Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI) itu. Yotham awalnya adalah anggota Pembela Tanah Air (PETA). Ketika militer Jepang kalah perang, dia lantas menggabungkan diri dengan Lasykar BBRI Ciranjang pimpinan Mohamad Ali. Namun ketika BBRI dipukul mundur ke arah selatan Ciranjang oleh pasukan Inggris, Yotham yang tertinggal di bagian utara memutuskan untuk bergabung dengan Batalyon III Hizbullah pimpinan Mochamad Basyir. “Abah (Yotham) dalam berjuang tak pernah membeda-bedakan agama. Selama orang-orang itu memerangi tentara Inggris dan Belanda, kata dia ya mereka adalah saudaranya,” ujar Missnetty Marchasan (77), salah satu putri dari Yotham Marchasan. Alih-alih ditolak, keinginan bergabung kelompok Yotham justru disambut secara baik oleh Mochamad Basyir. Para pemuda Islam di Hizbullah sendiri sebenarnya sudah akrab sejak lama dengan para pemuda Kristen. Mereka rata-rata berasal dari kampung yang sama di Gunung Halu. Begitu akrabnya, hingga untuk urusan markas besar saja, Batalyon III Hizbullah memilih rumah seorang janda tua yang merupakan seorang Kristen taat. Namanya Rachel. "Bagi kami saat itu, urusan agama adalah urusan pribadi dengan Tuhan," ungkap Makmur. Yotham tidak sendiri. Ada banyak pemuda-pemuda Kristen Gunung Halu yang kemudian bergabung dengan Hizbullah dan bernaung di bawah Kompi Yotham. Para pemuda itu antara lain Samuel dan Carson dari Rawaselang, Nabot dari Jatinunggal, Mojo dari Calingcing, Raiin Majiah dari Palalangon, Maad dan Madris dari Pangarengan, Cipto Adhi dari Ciendog dan Alfius dari Pasirkuntul. Batalyon III Hizbullah yang bermarkas di tengah-tengah umat Kristiani di Palalangon melangsungkan hubungan yang baik dengan masyarakatnya. Mereka selalu saling membantu jika ada kesulitan. Bahkan menurut peneliti sejarah Wijaya, saat awal berdirinya pada Februari 1946, Gereja Kristen Palalangon di bawah pimpinan Pendeta Empi pernah menyumbangkan beberapa barang milik gereja untuk Hizbullah. Soal itu memang dibenarkan oleh Raden Makmur. “Pendeta Gunung Halu (Empi) menyumbangkan dua ekor kuda dan satu mesin tik untuk keperluan administrasi Hizbullah,” ujar Makmur. Kedua ekor kuda tunggangan itu dalam kenyataannya sangat berguna untuk mobilitas pasukan Batalyon III Hizbullah. Terutama ketika mereka harus menyampaikan surat-surat penting ke induk pasukan di Purwakarta. Tidak hanya menyediakan fasilitas non-tempur, para pemuda Kristen di Hizbullah itu juga terbilang aktif mencari senjata api. Menurut Omek, eks pejuang Batalyon III Hizbullah, salah satu senjata api pertama yang dimiliki oleh kesatuannya merupakan hasil kerja keras para pemuda Kristen. Senjata jenis Steyr lengkap dengan 10 hower peluru-nya itu didapat oleh Raiin Majiah dari seorang bekas anggota polisi di era Hindia Belanda. “ Karaben itu kemudian dicoba oleh Alfius dan ternyata masih berfungsi baik. Lalu diberikan kepada Pak Komandan (Mochamad Basyir) dan diberi nama “Si Cikal”,” tutur Omek. Setelah mendapatkan Steyr itu, lambat laun Batalyon III Hizbullah terus melengkapi pasukannya dengan senjata api. Selain itu, mereka pun kemudian mendapatkan beberapa peti granat dan puluhan bom batok (ranjau darat). Dengan modal senjata-senjata sederhana itulah mereka bertempur melawan tentara Inggris dan Belanda. CIRANJANG awal 1946 adalah neraka terpanjang bagi para tentara Inggris yang melewati jalur Cianjur-Bandung. Sejak Desember 1945 hingga April 1946, tak henti-nya mereka selalu disergap dengan serangan mendadak dari balik tebing-tebing tinggi sepanjang Sungai Cisokan. “Pertempuran Cisokan berlangsung cukup lama,” tulis A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid V: Agresi Militer Belanda I. Bersama pemuda-pemuda Muslim, Kompi Yotham kerap terlibat dalam penghadangan konvoi militer Inggris di jalan raya Ciranjang-Bandung. Mereka pun menjadi saksi, bagaimana kuat dan “mengerikannya” alat-alat perang milik Sekutu. “Abah (Yotham) sering cerita, kalau dibawa perasaan mereka tentu saja merasa takut, tapi jika ingat mereka (maksudnya tentara Inggris) menginjak-injak tanah air Abah dengan seenaknya dan membunuh kawan-kawan Abah, muncul rasa marah dan keinginan untuk melupakan kematian,” ujar Missnetty. Tahun 1947, Indonesia seutuhnya diserahkan Inggris kepada Belanda. Seperti para pemuda Indonesia lain, pemuda-pemuda Kristen yang tergabung dalam Kompi Yotham Batalyon III Hizbullah pun tak bisa menerima itu. Mereka pun melawan dengan melakukan penyerangan-penyerangan terhadap markas militer Belanda di kota Ciranjang. “Dalam pergerakannya, Kompi Yotham dikenal sangat pemberani namun cerdas dalam berstrategi, hingga tak jarang menimbulkan kerugian besar di kubu musuh,” demikian diungkapkan dalam Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Rakyat Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur yang disusun oleh Panitya Penyusun Data Perjuangan Kecamatan Ciranjang. Militer Belanda sangat bernafsu sekali menguasai basis Batalyon III Hizbullah di Gunung Halu. Namun para petarung Hizbullah yang berbeda agama itu selalu bisa mengkandaskan serangan-serangan tentara Belanda dengan memanfaatkan situasi medan yang sangat sulit. Saat mempertahankan tanah tumpah darah itulah, satu-persatu anggota Hizbullah termasuk pemuda-pemuda Kristen, berguguran. Salah satu pemuda Kristen yang gugur ditembak tentara Belanda di depan gereja Rawaselang adalah Samuel. Namun militer Belanda tak puas sebelum membekuk Yotham. Sejak itulah, dia kemudian menjadi buruan militer Belanda, namun selalu berhasil lolos. Sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya harus terjatuh jua. Karena ulah seseorang yang masih terbilang saudaranya, militer Belanda akhirnya dapat meringkus Yotham. "Saya masih ingat, suatu sore Abah didatangi dua serdadu Belanda lalu digiring dengan tangan terikat,” kenang Misnetty Marchasan. Yotham lantas ditahan di penjara Cianjur. Sebagai pejuang gerakan pembebasan, dia mendapat perlakuan sangat buruk: dihina, dipukuli dan disiksa secara psikis maupun fisik. Hampir tiap hari dia dijadikan “mainan” para interogatornya. Namun Si Macan Gunung Halu tetap memilih bungkam dan bertahan untuk tidak membocorkan rahasia-rahasia batalyon-nya. Karena kekerasan prinsipnya yang bagai baja, para interogatornya menjadi patah arang dan pada suatu hari menyiksa Yotham hingga dia nyaris mati. Dalam kondisi tak sadarkan diri dan mandi darah, dia kemudian dilemparkan ke selnya. Tak ada yang berani menolong Yotham, kecuali seorang haji pemberontak bernama Ali. Dengan telaten, dia merawat Yotham. "Untuk megupayakan Abah tetap sadar, Abah bilang Haji Ali melap wajah Abah dengan kain yang direndam air seni karena di sel air sangat sedikit," ujar Misnetty. Hampir tiga bulan Yotham menjadi pesakitan. Atas jasa adik iparnya yang seorang perwira Belanda, dia berhasil dikeluarkan dari penjara. Tapi dasar tipikal pejuang tangguh, keluar dari bui dia malah langsung bergabung lagi dengan pasukannya. Terakhir Yotham menjadi anggota Batalyon Nasuhi Divisi Siliwangi. Pasca pengakuan kedaulatan, Yotham memilih menjadi orang sipil. Namun, api perjuangan senantiasa berkobar dalam jiwanya. Kepada anak-anak dan para cucunya, dia selalu menekankan bahwa harus baik-baik memanfaatkan alam kemerdekaan. Di usia senjanya, Yotham dikenang oleh para cucunya sebagai seorang lelaki yang sangat mencintai Indonesia. "Setiap 17 Agustus, dia selalu ingin merayakan Hari Ulangtahun Kemerdekaan secara khusus di rumah bersama anak-anak dan para cucunya. Dia akan marah dan sedih jika ada dari kami yang tidak ikut merayakannya,"kenang Lusi, salah seorang cucu Yotham. Tahun 1990, Yotham meninggal dengan tenang dalam usia 77 tahun. Jasadnya dikebumikan pada sebuah dataran tinggi di Rawaselang, Gunung Halu, seolah pertanda jiwa raganya tak pernah berhenti untuk menjaga dan mencintai tumpah darahnya tercinta, yang pernah dibelanya dengan keringat, darah dan air mata bersama-sama kawan-kawannya di Batalyon III Hizbullah.
- Pertempuran Natal
DINI hari 25 Desember 75 tahun silam. Cuaca membekukan dan kegelapan akibat padamnya listrik tak menghentikan sejumlah warga kota kecil Bastogne, Belgia untuk berkumpul di ruang bawah tanah di sekolah-asrama Notre-Dame. Dalam suasana mengerikan akibat hujan tembakan dan bom, mereka bersama para siswa dan tentara AS yang terluka maupun sehat menyanyikan kidung-kidung Natal di bawah pimpinan seorang pastor. “Kedamaian Christmas Eve hancur dalam pertempuran mengerikan dari baja (tank), tembakan, dan darah,” tulis Leo Barron dan Don Cygan dalam No Silent Night: The Chirstmas Battle for Bastogne . Mereka terpaksa merayakan Chirstmas Eve lebih lambat dari biasanya lantaran perang sedang berkecamuk hebat. “Tidak akan ada gencatan senjata Natal di Bastogne,” tulis Michael Collins dan Martin King dalam The Tigers of Bastogne: Voices of the 10th Armored Division in the Battle of the Bulge . Warga terpaksa bertahan di dalam kota karena tak ada akses ke luar. Seluruh perbatasan kota menjadi medan pertempuran karena para serdadu AS membentuk perimeter di sepanjang perbatasan guna mempertahankan kota kecil itu dari upaya perebutan oleh pasukan Jerman. Bastogne menjadi tempat berkecamuknya pertempuran terhebat dalam The Battle of Bulge. Pertempuran itu meletus setelah Hitler menggelar Operasi Wacht am Rhein ( Watch on the Rhine ), operasi konter-ofensif kilat terakhirnya di front barat guna merebut Antwerp. Dengan menguasai kota pelabuhan itu Hitler berharap dapat memecah pasukan AS (Sekutu), yang terus maju setelah sukses mendarat di Normandia (Juni 1944), dan kemudian menghancurkannya guna dijadikan posisi tawar untuk berunding. Di depan para jenderalnya, Hitler menjelaskan skema besar operasinya. Operasi itu merupakan pertaruhan terakhir mereka. Nasib Jerman ditentukan oleh keberhasilannya. “Tuan-tuan, jika kami berhasil, kemenangan adalah milikmu, para jenderal. Namun, jika kita gagal, saya akan bertanggung jawab. Butuh waktu terlalu lama untuk mengganti kerugian ini jika kita gagal. Tidak ada kesempatan kedua. Jika kita gagal, itu akan mengerikan bagi Jerman,” kata Hitler, dikutip Barron dan Cygan. Tanggal 16 Desember diset sebagai Hari-H. Bastogne ditetapkan sebagai sasaran awal, pijakan untuk mencapai tujuan akhir. “Bastogne secara umum dianggap sebagai pusat komunikasi vital yang memberi akses ke banyak jalan utama dan jalan kecil lain yang bertemu di kota itu. Selama itu dipegang oleh Amerika, hal itu menjadi penghalang besar bagi kemajuan ofensif Jerman. Hitler dan para komandannya tahu bahwa kendali atas kota persimpangan itu akan terbukti vital untuk menjaga perjalanan menuju Antwerp tetap utuh,” sambung Barron dan Cygan. Sementara Jerman melakukan maraton pemindahan pasukan dan persenjataan skala besar ke dekat perbatasan Luksemburg-Belgia yang berhimpitan dengan bagian barat Jerman, para prajurit dari empat divisi di Korps VIII AS pimpinan Mayjen Troy Middleton, yang menguasai Bastogne, hanya menunggu perintah lebih lanjut untuk bergerak. Tak ada penambahan apapun di kota itu karena upaya untuk memperkuat garis pertahanan Sekutu dari Aachen sampai Luksemburg yang berulangkali diminta Middleton selalu ditolak. “Komando tinggi ETO (European Theatre of Operations) agaknya salah menyimpulkan bahwa wilayah Ardennes tidak memiliki tujuan strategis serius sehingga tidak perlu menempatan banyak divisi di daerah ini. Akibatnya, hanya ada empat divisi yang ditempatkan di sana. Situasi itu diperburuk oleh kurangnya pakaian musim dingin karena quartermaster (perwira yang bertanggung jawab dalam urusan tempat tinggal, ransum, pakaian, dan suplai logistik lain) ETO telah memutuskan untuk tidak mengeluarkan itu dengan alasan mereka tidak mengira kampanye akan berlangsung hingga Desember 1944,” tulis Barron dan Cygan. Pada 15 Desember malam, pasukan Jerman tinggal menunggu perintah serang di pos masing-masing di tepi timur Sungai Our. Begitu perintah serang dikeluarkan pukul 05.30 pagi 16 Desember dan kanon-kanon memuntahkan peluru sebagai pembuka serangan, para prajurit infantri Jerman langsung bergerak maju. Banyak prajurit Jerman heran karena mereka tak mendapatkan perlawanan berarti dari serangan pagi itu. Mayoritas penduduk Bastogne merasakan hari berjalan seperti sebelumnya. Rutinitas tetap mereka lakukan seperti biasa. Xavier Gaspard, seorang apoteker, tetap membuka apoteknya. Namun tak seperti kebanyakan warga yang tak menyadari hal ganjil terjadi, dia kemudian insyaf akan adanya hal tak biasa. “Ia dengan gugup memperhatikan penumpukan pasukan Amerika di kota. Para petani dari desa-desa terpencil gugup membisikkan obrolan ketika mereka mengunjungi tokonya, menyebutkan percakapan dengan kerabat Belgia yang lebih jauh ke timur. Kerabat-kerabat itu telah melaporkan suara gerakan kendaraan yang mengganggu dari seberang perbatasan dengan Jerman,” tulis Barron dan Cygan. Kebingungan itu pula yang menghinggapi Mayjen Middleton. Hingga larut malam, dia terus mengumpulkan informasi dan mendiskusikan solusi terbaik yang mesti diambil dengan para komandan bawahannya. Sekira pukul 19.00 waktu setempat, Middleton pun memberi perintah agar semua pasukan bertahan menyelamatkan kota. Tidak ada izin untuk mundur kecuali keadaan mendesak. Kendati sempat kewalahan di awal, pasukan Divisi Infantri ke-28 AS gigih memberi perlawanan. Akibatnya, kata komandan Divisi Panzer Lehr Jenderal Fritz Bayerlein, Jerman gagal merebut Bastogne dalam sekali pukul. Perlawanan hingga 36 jam yang dilakukan pasukan Divisi Infantri ke-28 membuat jadwal yang telah ditentukan Jerman mulai berantakan. Mendapat informasi serangan masif Jerman, panglima ETO Jenderal Eisenhower langsung mengambil keputusan cepat. Divisi Lapis Baja ke-7, Divisi Lapis Baja ke-10 “Tiger”, Divisi ke-82 “All Americans”, dan Divisi Linud ke-101 “Screaming Eagle” pimpinan Brigjen Anthony McAuliffe langsung dia pindahkan ke Ardennes guna memberi bantuan pada Korps VIII yang terdesak di Bastogne. Pertempuran sengit pun dimulai. Suara gemuruh pertempuran makin keras didengar warga. Tanggal 17, pasukan Jerman memutus listrik kota. Pasukan AS terpaksa memberlakukan jam malam di kota tersebut hari itu juga. Kendati keesokan harinya ada sebuah sekolah masih belum meliburkan muridnya, kondisi kota sudah berubah drastis. Pengungsi dari Luksemburg sudah memenuhi kota. Artileri Jerman untuk kali pertama menghantam Bastogne, tepat di Kapel St. Therese. Bisnis mandek. Tiga tempat penampungan dibuka mulai tanggal 19. Institute of the Sisters of Notre Dame, salah satu dari tiga tempat penampungan itu, menjadi tempat tinggal hampir 600 pengungsi. Perlawanan gigih pasukan Divisi Lapis Baja ke-10 “Tiger” dan Linud ke-101 “Screaming Eagle” tetap belum bisa menghentikan gerak maju Jerman. Pada 22 Desember, Komandan Korps Panzer XLVII Jenderal Heinrich F von Luttwitz mengirim tiga bawahannya untuk menyampaikan suratnya kepada komandan “Screaming Eagle” Brigjen McAuliffe. Luttwitz meminta McAuliffe menyerah dan memberi tenggat waktu dua jam untuk mengambil keputusan. Alih-alih meneruti kemauan sang lawan, McAuliffe membalas surat itu dengan sebuah surat yang berbunyi: “NUTS!” Kendati sempat bingung arti kata yang ditulis McAuliffe, Luttwitz akhirnya tahu maksud McAuliffe adalah memilih terus melawan. Pertempuran pun semakin sengit. Luftwaffe (AU Jerman) terus membombardir Bastogne tiap malam. Bombardir artileri juga terus-menerus memangsa bangunan-bangunan di Bastogne berikut isi dan orang-orang di dalamnya. Sejumlah warga terbunuh oleh pertempuran sengit itu. Penguasa militer AS terpaksa meminta bantuan Leon Jacqmin, warga setempat yang veteran Perang Dunia I, untuk menangani urusan logistik dan penampungan warga. Leon mendirikan pos medis dan distribusi makanan dengan bantuan dua dokter lokal dan warga setempat. Upaya simpati juga datang dari para gadis perawat setempat, seperti Renee Lemaire. “Dia merawat siapapun yang terluka,” kata Letnan MacKenzei. Sayang, bombardir udara Luftwaffe merenggut nyawanya. “Lemaire menjadi legenda bagi orang Amerika yang terluka. Dia memberi setiap kebutuhan mereka, menggunakan kemampuan medis dasarnya, dan belas kasihnya.” Seiring waktu, semakin banyak serdadu AS tewas atau terluka. “Pada Sabtu, 23 Desember, para prajurit yang keras kepala Amerika pembela Bastogne mencapai saat paling menyedihkan. Pagi itu, banyak dari pasukan terjun payung dari Divisi 101 yang kesusahan –awak tank dan tank perusak dari unit lapis baja dan pasukan artileri yang menodongkan senjata mereka di lubang senjata beku– semakin kelelahan. Mereka kedinginan, lapar, dan kehabisan segalanya,” tulis Barron dan Cygan. Beruntung, di puncak kesulitan para prajurit AS itu, dropping logistik udara dari selatan mulai tiba pada siang hari yang sama. Masalah logistik untuk cuaca dingin pun berangsung dapat diatasi. Moril pasukan kembali meningkat. Ketika bombardir “hadiah Natal” dilancarkan Luftwaffe pada 25 Desember, para prajurit AS terus memberi perlawanan. Warga kota ikut membantu. Bersama para prajurit AS, mereka merayakan Natal bersama di ruang bawah tanah dalam suasana mencekam. Perlawanan bertambah besar ketika bala bantuan dari Tentara ke-3 pimpinan Jenderal George S. Paton tiba pada keesokan harinya. Jerman pun akhirnya dipukul mundur tak lama kemudian. Meski tak ada ketenangan bahkan hingga sesudah Natal, perlawanan para prajurit AS membuat warga Bastogne bisa merayakan Natal dengan aman tahun-tahun berikutnya. “Pertempuran yang dihasilkan dari perintah Hitler akan menjadi peristiwa klimaks dari hikayat Bastogne: serangan cepat, serangan putus asa oleh kekuatan lapis baja Jerman yang luar biasa, dipertahankan dalam perjuangan berdarah oleh para GI compang-camping tapi bertekad yang terjebak di Bastogne. Yang mana pun menunjuk ke pertikaian klimaks –sebuah pertumpahan darah putus asa di ladang bersalju Bastogne.”
- D.I. Pandjaitan Berkhotbah di Jerman
KETIKA menjabat Atase Militer (Atmil) Indonesia untuk Jerman, Kolonel Donald Isaac Pandjaitan punya pengalaman berkesan. Pendeta de Kleine, tokoh Gereja Protestan Jerman di Wuppertal-Barmen mengundangnya untuk memberikan ceramah. Dengan senang hati, Pandjaitan menerima undangan Pendeta de Kleine. Momentum itu berlangsung pada tahun 1960. “Mungkin maksudnya agar masyarakat Jerman mengetahui dan bangga, bahwa ada perwira TNI yang berasal dari Tanah Batak, tempat Mission Zending bertugas menyebarkan agama Kristen di sana sejak sebelum penjajahan,” kenang istri Pandjaitan, Marieke Pandjaitan br Tambunan dalam D.I. Pandjaitan: Gugur dalam Seragam Kebesaran . Kesediaan Pandjaitan bukan tanpa alasan. Sedari kecil waktu tinggal di Tarutung, Pandjaitan dibesarkan dalam lingkungan sekolah Zending Batakmission yang didirikan misionaris Jerman, Inger Ludwig Nommensen. Uniknya, Pandjaitan diminta mengenakan seragam formal TNI sedangkan istrinya memakai kebaya sebagai perlambang kebudayaan Indonesia. Dan tentu saja, Pandjaitan menyampaikannya dalam bahasa Jerman. Pandjaitan membuka khotbahnya dengan kelakar: “Dunia bisa berubah. Kalau dulu orang Jerman yang datang dan memberi khotbah kepada orang Batak, nanti bisa terbalik, orang Batak yang datang ke sini dan memberi khotbah kepada orang Jerman.” Para jemaat yang hadir mengiyakan sembari tersenyum. Album kenangan ketika Pandjaitan memberikan ceramah di Jemaat Wuppertal-Barmen, Jerman. (Sumber: dipandjaitan.blogspot.com .) Khotbah Pandjaitan dilanjut dengan mengenang ihwal mula penyebaran agama Kristen di Tanah Batak. Menurut Pandjaitan, gerakan misionaris Jerman melalui institusi pendidikannya meninggalkan warisan berharga bagi masyarakat suku Batak yang telah menerima ajaran Kristus. Peranan Batakmission yang dipelopori Nommensen kadang membuat orang-orang Batak bertanya dalam keheningan. “Mengapa justru orang Jerman yang berhasil memperkenalkan agama (dan pendidikan) ke kami Batak? (Mengapa bukan Belanda). Jawab: “Tentu ada maksud Tuhan!,” kata Pandjaitan. Naskah khotbah Pandjaitan setebal tujuh halaman ini termuat dalam laman yang dikelola keluarga Pandjaitan. Pandjaitan juga mempromosikan kehidupan toleransi beragama di Indonesia. Dia mengatakan lambang salib turut menghiasai nisan Taman Makam Pahlawan Indonesia yang merupakan pusara terakhir bagi para prajurit dan pejuang. Ini membuktikan semua anak bangsa Indonesia ikut berperang dan berkorban demi kemerdekaan tanpa membedakan agamanya. Kepada jemaat Wuppertal-Barmen, Pandjaitan menekankan betapa pentingnya bertahan dalam iman. Kegelisannya yang paling utama ditujukan kepada generasi muda. Menyitir laporan penelitian “Kinsey Report” tahun 1958, Pandjaitan mengungkapkan sebagian besar pemuda di Amerika telah meninggalkan gereja dan norma agama. Kemajuan teknologi, ekonomi, dan budaya, termasuk musik rock n roll turut mempengaruhi. “Karena mereka tidak TAHAN. Karena ajaran-ajaran Tuhan sudah tidak dianggap. Karena pemuda menjadi lemah maka cahaya kata kata Tuhan di hati mereka menjadi mati,” ujar Pandjaitan. Arsip naskah khotbah Pandjaitan yang ditulis dalam bahasa Jerman. (Sumber: dipandjaitan.blogspot.com .) Untuk meningkatkan daya tahan dari cobaan, kata Pandjaitan, kita perlu selalu mencari cahaya Tuhan. Dia berpesan kepada pemuda Jerman yang ada di jemaat itu agar terus maju ke depan membela negara dan bangsa terhadap serangan atheisme dari Jerman Timur. Karena menurut Pandjaitan, pemuda adalah darah dari suatu bangsa. Pemuda yang tidak mempunyai nasionalisme akan menjadi malapetaka bagi negaranya. “Pemuda yang sudah tidak lagi menghargai orang tuanya dan menolak bertemu pada Natalan akan mendapat ganjaran dari Tuhan. Nasib masa depan Kristen terletak pada pemuda-pemuda ini,” tegas Pandjaitan. Wejangan ini dipungkasi Pandjaitan dengan mengutip surat dari Rasul Paulus dalam 1 Korintus 10:31 yang berbunyi: “Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.” Khotbah Pandjaitan yang mengesankan itu ditutup dengan menyanyikan bersama lagu yang diciptakan oleh Martin Luther “Ein feste Burg ist unsere Gott” ( Benteng yang Kokoh adalah Tuhan Kami ). Berita Pandjaitan berkhotbah di Jerman terdengar sampai Jakarta, khususnya di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Pada pertengahan 1962, Pandjaitan menjadi Asisten IV Menteri Panglima AD yang membidangi logistik. Letjen Ahmad Yani yang menjadi Menteri Panglima AD menjuluki Pandjaitan dengan sebutan hormat: jenderal pendeta.
- Pesan Damai di Hari Natal
HARAPAN itu muncul tepat di malam Natal 1947. Usaha perdamaian telah membuahkan hasil. Indonesia yang sejak mengumandangkan kemerdekaan terus terjerat ambisi Belanda kembali menguasai negeri akhirnya dapat sedikit bernapas lega. Pasalnya Panitia Jasa-Jasa Baik (Committee of Good Offices) yang dibentuk atas dasar Resolusi Dewan Keamanan menyatakan kesediaannya membantu menengahi masalah kedua negara yang tengah berselisih itu. Lantas apa alasan Dewan Keamanan bersedia membantu menyelesaikan konflik Indonesia-Belanda tersebut? Berdasarkan penuturan Frank P. Graham, wakil Amerika Serikat (AS) dalam Panitia Jasa-Jasa Baik, Dewan Keamanan ingin negara-negara di Asia Tenggara yang baru merdeka, termasuk Indonesia, menjadi negara bebas. Mereka juga meminta agar Indonesia dan Belanda segera menghentikan segala bentuk tindakan-tindakan permusuhan. “Dewan Keamanan memutuskan memberikan jasa-jasa baiknya kepada kedua pihak untuk membantuk menyelesaikan sengketanya secara damai, sesuai dengan paragraf b dari resolusi Dewan Keamanan tanggal 1 Agustus 1947: menjelaskan sengketanya dengan arbitrasi atau dengan cara damai lainnya dan senantiasa memberitahukan kepada Dewan Keamanan tentang kemajuan dari usahanya,” tulis Alastair M. Taylor dalam Indonesian Independence and The United Nations . Resolusi itu diterima oleh keduanya. Sesuai kesepakatan, baik Indonesia maupun Belanda harus menunjuk satu negara sebagai perwakilan mereka di dalam Panitia Jasa-Jasa Baik. Belanda lalu memilih Belgia sebagai wakil, sementara Indonesia memilih Australia, sedang AS ditunjuk sebagai anggota ketiga. Maka terbentuklah anggota Komisi Tiga Negara (KTN), yang selanjutnya menjadi dewan penengah dalam persoalan diplomasi ini. Namun meski menerima usulan Dewan Keamanan, Belanda menunjukkan sikap kurang kooperatif dalam setiap perundingan. Mereka secara terang-terangan meminta agar Dewan Keamanan tidak ikut campur dalam sengketa di Indonesia. Baginya soal ini adalah urusan dalam negeri, yang berarti Belanda masih mengakui Indonesia bagian dari negaranya. Belanda begitu gigih menentang berbagai upaya Dewan Keamanan. Menurut Nugroho Notosusanto, dkk dalam Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia, dari hasil pengamatan Dewan Keamanan, Belanda masih melakukan aksi militernya ketika proses diplomasi sedang berlangsung. Mereka bahkan membuat kebijakan sepihak dengan menentukan garis batas kekuasaan mereka di Indonesia, yang kemudian dikenal sebagai Garis Van Mook. Di belakang garis itu nantinya akan berdiri wilayah milik Belanda. Walau pada kenyataannya daerah-daerah di sana masih dikuasai Republik dan masih banyak pejuang yang melakukan perlawanan. Tidak hanya soal wilayah, Belanda juga mempersulit berbagai upaya perundingan anggota KTN. Hingga akhirnya AS terpaksa turun tangan dengan meminjamkan kapal perangnya yang saat itu sedang merapat di Tanjung Priok. Pada 8 Desember 1947, secara resmi upaya perdamaian secara politik dimulai dimulai lagi dari Renville. Karena Belanda senantiasa mengadakan siasat mengulur waktu, dengan pendirian yang bukan-bukan, maka baikpun dalam bidang militer, maupun perundingan politik pada akhir Desember tahun 1947, belum tercapai sesuatu kemajuan. Berkah Hari Natal Tanpa terasa perundingan telah sampai pada usaha yang ke-49 kali, tepat pada 25 Desember 1947. Diceritakan Mohamad Roem dalam Bunga Rampai dari Sejarah , saat itu panitia sepakat menyerukan satu pesan sebagai bagian dari perayaan Natal, yakni “Pesan Hari Natal”. Pesan perdamaian itu menjadi harapan tersendiri bagi seluruh anggota perundingan yang ingin perselisihan segera berakhir dari kedua pihak. Pewakilan Belanda dan Indonesia diajak melihat kembali seluruh persoalan secara nyata dan lebih terbuka. Mereka diminta untuk menilai dampak dari perselisihan itu jika terus dilanjutkan. Banyak persoalan kemanusiaan yang pada akhirnya akan terabaikan dari situasi serba tegang tersebut. Hal itu juga akan merusak tujuan dari Dewan Keamanan dalam usahanya mendamaikan dunia. “Dalam pesan itu diingatkan dengan segala tekanan akan tanggung jawab kedua pihak untuk melaksanakan resolusi-resolusi Dewan Keamanan, kepada bahaya yang terkandung dalam pengangguhan lebih lama,” tulis Roem. Pesan Hari Natal memuat sedikitnya 12 usul untuk mencapai kesepakat politik antara Indonesia dan Belanda, di antaranya menerima garis Van Mook sebagai batas pemisah; menghentikan segala aktifitas yang berhubungan dengan pembentukan negara-negara di Jawa, Sumatera, dan Madura; menghentikan tindakan-tindakan agresif yang memicu perang, dan sebagainya. Mengetahui usulan itu, Belanda kembali melayangkan penolakan yang keras. Bagi mereka Panita Jasa-Jasa Baik sudah keterlaluan karena sebenarnya mereka tidak punya wewenang apapun. Kecuali kedua pihak setuju meminta panitia membuat usulan seperti itu. Terutama usulan untuk mengentikan pendirian negara-negara di Jawa dan Sumatera. Karena bagi mereka mendirikan negara boneka adalah siasat terbaik untuk menguasai kembali Indonesia. Ternyata tidak hanya Belanda yang kecewa dengan usulan itu, perwakilan Republik juga merasakan hal yang sama. Pihak Indonesia kecewa dengan usulan panitia karena dirasa tidak sesuai dengan keadilan dalam resolusi Dewan Keamanan. Terutama jika harus menerima genjatan senjata yang wilayahnya dibatasi oleh garis Van Mook. Bagi mereka garis itu dibuat satu pihak saja sehingga tidak adil rasanya jika menerima keputusan tersebut. Terlebih garis Van Mook memaksa Indonesia melepaskan daerah-daerah penting, yang didiami oleh kurang lebih 25 juta penduduk. Namun pihak Indonesia sendiri menerima usulan tersebut dengan syarat dipelajari terlebih dahulu. Sementara Belanda hanya menyutujui beberapa poin saja dan mengajukan konta usul kepada panitia. Salah satunya tetap memperbolehkan pembentukan negara-negara di dalam Republik. Perundingan pun berakhir dengan disetujuinya pembentukan negara bawahan Belanda. Seperti kita tahu, pada tahun-tahun berikutnya muncul negara-negara baru, seperti Negara Pasundan, Negara Indonesia Timur, dan lain-lain. “Dalam pandangan panitia, Pesan Hari Natal merupakan sebuah kesatuan yang terjalin dan seimbang. Mutlak bagi penyelesaian terakhir sengketa,” kata Roem.
- Menguliti Muasal Pertunjukan Wayang Kulit
Gunungan muncul menari-nari dalam layar. Pertanda pagelaran akan dimulai. Gamelan gaya baru mengiringi. Para sinden bernyanyi dalam bahasa Indonesia. Begitupula sang narator yang bagaikan dalang membuka kisah pewayangan. Munculah Kertanegara, raja terakhir Singhasari dalam layar. Dalam wujud wayang, ia bermakutha dan mengenakan praba. Suara-suara terdengar tengah merapal mantra. Di belakang Kertanegara tergambar stupa. Ini penggambaran Kertanegara sedang melakukan ritual dalam ajaran Buddha Tantrayana. Seketika langit serupa merah darah. Pasukan Jaran Goyang dari Kadiri menggempur Singhasari, membakar, dan membunuh yang dilewatinya. "Bakar! Bakar! Bakar!" teriak mereka. Kertanegara dan semua pendeta kebingungan. Mereka masih separuh jalan menyempurnakan ritual Tantrayana untuk membangkitkan kekuatan sang Kalacakra di lapangan ksetra. Namun, api sudah di mana-mana. Serangan mendekat. "Jayakatwang!" teriak Kertanegara. "Raja Glang Glang terkutuk! Tak bisakah kau bersikap seperti layaknya kesatria? Kau mengerahkan pasukanmu pada saat pasukanku berlayar ke Sriwijaya. Kau menyerang di saat kami semua sedang melakukan ritual Tantra. Jayakatwang tunjukan dirimu! akan ku..." Tiba-tiba sebuah panah melesat menembus dadanya. Serapahnya terhenti seketika. Tertawalah Jayakatwang. "Si tua bodoh Kertanegara," katanya. "Teruslah bermimpi! Hukum alam menyatakan yang kuat dan cerdiklah yang akan berkuasa. Bukan raja yang gemar melakukan ritual sia-sia!" Matilah Kertanegara di tangan besannya sendiri. Singhasari pun binasa bersamanya. Wijaya, sang menantu berhasil kabur. Ia menyimpan dendam dan cita-cita meneruskan kembali pemerintahan Singhasari di Jawa. Episode itu mengawali pagelaran sinewayang karya sutradara Sambowo Agus Herianto di Teater Kautaman, Gedung Pewayangan Kautaman akhir pekan ini. Sinewayang Babad Majapahit dengan lakon Adiparwa Wilwatikta atau Berdirinya Kerajaan Majapahit itu menggabungkan gerak wayang kulit dengan penyajian ala film layar lebar. Pertunjukan selama kurang lebih dua jam ini diramu dari kisah runtuhnya Kerajaan Singhasari dan berdirinya Kerajaan Majapahit. Kisahnya mudah dimengerti karena disajikan dalam bahasa Indonesia. Pagelaran wayang dalam bentuk sinewayang mengubah cara penyajiannya dari tradisi lama. Tradisi yang katanya telah ada sejak era perkembangan Hindu-Buddha di Jawa. Tak mudah menentukan kapan dan bagaimana wayang purwa pertama kali dikenal masyarakat Jawa. Tapi ada teori yang menyatakan kalau bentuk wayang kulit sekarang berasal dari penciptaan awalnya pada era pemerintahan Jayabhaya di Kadiri (1130-1160). Soedarso Sp menjelaskan itu dalam “Morfologi Wayang Kulit: Wayang Kulit dipandang dari Jurusan Bentuk”, yang disampaikan dalam Pidato Ilmiah Pada Dies Natalis Ketiga Institut Seni Indonesia Yogyakarta tahun 1987. Katanya , menurut R.M Mangkudimeja dalam Kawruh Asalipun Ringgit Sarta Gegepokanipun Kaliyan Agami ing Jaman Kina dan Pangeran Kusumadilaga dalam Serat Sastramiruda Jilid I, pada awalnya wayang dibuat di atas daun lontar. "Dalam proses penciptaannya si pembuat mengacu pada bentuk arca yang mendapat pengaruh budaya Hindu," kata Soedarso. Bentuk wayangnya tak seperti wayang kulit yang dikenal kini. Wayang kulit sekarang adalah gabungan dari tampak depan, tampak samping, dan pandangan menyudut. Kalau dulu, wayang dibuat tampak depan. Dari menggunakan lontar kemudian berkembang menggunakan kertas. Pada masa Majapahit wayang kertas itu berkembang menjadi wayang beber. Namun, Soedarso tak sepakat dengan teori itu. "Wayang kulit tidak baru diciptakan pada zaman pemerintahan Jayabhaya," tegasnya. Berdasarkan Kakawin Arjunawiwaha gubahan Mpu Kanwa pada 1036, wayang sudah dibuat dengan memahat kulit. Sementara naskah Bhoma Kawya dan Bharatayuddha melengkapi penggambaran tentang bagaimana pertunjukkan wayang kulit dimainkan waktu itu. "Sampai pada adanya kelir, blencong, serta instrumen pengiringnya, dapat dipastikan apa yang tergambar pada 1036 itu adalah hasil perkembangan dari sesuatu yang sudah dimulai lama sebelumnya," kata Soedarso. Karena sangat populer, ini kemudian mengilhami timbulnya ide menghiasi dinding candi dengan adegan dari pagelaran wayang kulit. Khususnya pada candi-candi dari periode Jawa Timur (di atas abad ke-10), seperti Candi Surawana, Candi Jago, Candi Tigawangi, dan Candi Panataran. Relief kisah Parthayajna di dinding Candi Jago menampilkan tokoh Arjuna dan dua punakawannya (Foto: Risa Herdahita Putri) Pendapat Soedarso itu didukung data prasasti. Arkeolog Dyah W. Dewi dalam "Kesenian Wayang Pada Masa Jawa Kuno dan Persebarannya di Asia" termuat di Pertemuan Arkeologi V mengungkapkan wayang sudah dikenal di Nusantarasejak kurang lebih abad ke-9. "Itu sehubungan dengan diselenggarakannya suatu upacara untuk memperingati suatu kejadian," katanya. Ada banyak buktinya. Timbul Haryono, guru besar arkeologi Universitas Gadjah Mada dalam "Masyarakat Jawa Kuna dan Lingkungannya Pada Masa Borobudur", termuat di 100 TahunPascapemugaran Candi Borobudur, menjelaskan bukti tertua yang menyebut kata dalang ( haringgit ) adalah Prasasti Kuti (840 M) yang ditemukan di Joho, Sidoarjo. Dalam prasasti ini, haringgit dimasukkan ke dalam kelompok wargga i dalem. Artinya berada di lingkungan istana. " Haringgit adalah bentuk halus dari kata ringgit. Kata ini sampai sekarang masih ada dalam Bahasa Jawa, yang berarti wayang," jelas Timbul. Sementara padanan kata untuk ringgit bisa dijumpai di Prasasti Tajigunung (910). Di sini istilah haringgit digunakan secara bergantian dengan awayang . Informasi lebih lengkap terkait wayang dihadirkan oleh Prasasti Wukajana dari dari masa Raja Balitung (907). Prasasti ini menyebut pertunjukkan lakon Bhimma Kumara , sebuah cerita sempalan dari Mahabharata. Kisahnya tentang Kicaka yang tergila-gila pada Drupadi. Di dalamnya juga tertulis kalimat "... mawayang bwat hyang ". Menurut prasasti itu, sang dalang menampilkan lakon Bhimma Kumara untuk hyang . Sejauh ini Bhima Kumara adalah satu-satunya lakon wayang yang disebutkan dalam prasasti. Ada pula wayang orang dan wayang beber. Istilah wayang wwang (wayang orang) muncul pertama kali dalam Prasasti Dhimanasrama dari masa Mpu Sindok (abad ke-10). Sementara informasi tentang wayang beber muncul dalam catatan Ma Huan, Yingya Shenglan pada awal abad ke-15.Catatan ini merupakan satu dari dua sumber penting Tiongkok yang banyak bercerita tentang Majapahit. Catatan itu menyebut adanya pertunjukkan seorang laki-laki yang mempertontonkan gulungan bergambar yang disangga dengan dua batang kayu. Ia berbicara dengan suara keras, menjelaskan kisah dalam gulungan itu kepada penonton. Di atas gulungan itu ada gambar manusia, burung, binatang buas, rajawali, atau serangga. Purwarupa Wayang Tradisi wayang kemudian diwariskan hingga masa perkembangan Islam. Menurut Sunarto dan Sagio dalam Wayang Kulit Gaya Yogyakarta Bentuk dan Ceritanya, diduga tradisi pewayangan yang telah ada pada masa Majapahit dilanjutkan pada masa Kerajaan Demak dan berakulturasi dengan kebudayaan Islam yang berkembang kala itu. Tradisi pewayangan ini kemudian didukung oleh kuasa keraton. Lalu dikembangkan oleh penguasa dan para sunan untuk dijadikan salah satu media dakwah Islam. Bentuk wayang kulit pada masa ini berubah lagi. Sunarto dan Sagiomenjelaskan bentuknya menyesuaikan dengan ajaran Islam yang berkembang. Terutama larangan membuat karya seni yang menyerupai bentuk makhluk hidup. "Penggambaran tokoh wayang seperti yang ada dalam relief candi kemudian berubah menjadi gaya yang telah distilasi dan mengarah pada perlambangan," jelasnya. Lebih lanjut, Sri Mulyono dalam Wayang, Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya menjelaskan, yang berubah terutama adalah bentuk muka dan lengan. "Bentuk muka wayang kulit digambar miring, lengan dan tubuh dibuat panjang sehingga menjauhi gambar manusia yang sebenarnya," jelasnya. Namun, Soedarsono, guru besar bidang seni dan sejarah budaya UGM, dalam Beberapa Catatan tentang Seni Pertunjukan Indonesia melihat bentuk wayang kulit menjadi seperti yang sekarang bukan merupakan akibat dari stilasi masa Islam yang melarang membuat karya seni menyerupai makhluk hidup. Proses penyamaran dari wujud manusia sudah terlihat dalam seni masa sebelum Islam, yang terwujud dalam relief candi-candi. Pasalnya waktu itu pun cara penggambaran tokohnya memperlihatkan muka menyamping, dua bahu yang terlihat dari arah depan, disambung dengan dada dan perut dari arah samping, dan berakhir dengan tubuh bagian bawah yang menampakkan kedua kaki. "Itu menandakan perbedaan gaya seni antarmasa yang berbeda bukan terletak pada mana yang tidak distilir dan mana yang kemudian distilir, namun lebih kepada perbedaan bentuk stilasinya," jelasnya. Perkembangan wayang, khususnya wayang kulit kemudian menjadi sangat rumit ditelusuri. Kendati masih ada standardisasi gaya, atau yang dalam istilah pewayangan disebut dengan pakem. Ini paling terlihat, misalnya di wilayah Yogyakarta dan Surakarta. Itu karena di sana ada pusat otoritas sebagai pemegang kendali berkembangnya tradisi. Di luar pakemnya, seni wayang berkembang leluasa. Makanya kini dikenal banyak bentuk wayang, dari segi bahan, tokoh, dan cerita. Wayang kulit Arjuna gaya Bali/Wikipedia Kendati sudah banyak perubahan, bentuk wayang kulit lawas itu kini masih bisa ditemukan jejaknya di Bali. Berdasarkan sejarahnya, hubungan Jawa dan Bali telah ada berkat Airlangga. Ia adalah seorang pangeran dari Bali, putra Raja Udayana dengan Putri Dharmawangsa Tguh yang naik takhta menggantikan kakeknya di Jawa. Berikutnya, Bali dan Jawa terhubung setelah adanya ekspedisi Majapahit ke wilayah itu pada 1343. Ini berakibat pada kekalahan di pihak Bali. Semenjak itu, menurutahli bahasa P.J. Zoetmulder dalam Kalangwan, dapat dikatakan wilayah Bali mengalami proses Jawanisasi. Figur dan tata busana wayang kulit Bali umumnya punya kemiripan dengan penggambaran tokoh dalam relief candi-candi masa Jawa Timur. Bahkan, Soedarsono dalam Wayang Wong Drama Tari Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta mengatakan kalau wayang Bali merupakan kesinambungan dari wayang Jawa Timur. Maka bisa dibilang kalau ingin membayangkan bagaimana rupa boneka wayang pada masa kuno, bisa dilihat wayang gaya Bali sekarang. Walaupun telah mengalami beberapa modifikasi, bentuk wayangnya tetap melestarikan bentuknya dari masa kuno.
- Kartini yang Pluralis
DI Indonesia, bisa jadi Kartini hidup hanya pada setiap 21 April. Anak-anak perempuan di sekolah merayakannya dengan mengenakan kebaya sebagai perlambang identitas gender. Sementara itu, Kartini dimasukan ke dalam sangkar emas sebagai pendekar feminisme. Namun nyatanya, dalam membaca pemikiran Kartini ada hal yang abai diperbincangkan, yaitu pandangannya tentang hak asasi manusia dan pluralisme. Demikian pendapat sejarawan Didi Kwartanada dalam diskusi panel Seminar Sejarah Nasional “Membayangkan Indonesia di Hari Depan” di Aston Priority Hotel & Conference, 4 Desember 2019. Apabila merujuk surat-suratnya dalam versi asli, Kartini juga mengungkapkan kegelisahannya tentang diskriminasi minoritas pada zaman kolonial. Menurut Didi, membaca ulang pemikiran Kartini tentang pluralisme - yang belum banyak diungkap - merupakan isu yang relevan bagi keadaan Indonesia dewasa ini. Dalam makalahnya “Membayangkan Indonesia yang Berbhineka: Kartini dan Pandangannya Mengenai Tionghoa dan Arab”, Didi mencatat empat surat Kartini yang memperlihatkan empatinya terhadap kalangan minoritas Tionghoa dan Arab. Mengapa Tionghoa dan Arab? Dalam struktur masyarakat kolonial, kedua etnis ini menempati posisi warga kelas dua sebagai kelompok vreemde oosterlingen (timur asing). Didi Kwartanada (memegang mikropon) dalam diskusi panel Seminar Sejarah Nasional "Membayangkan Indonesia di Hari Depan" di Aston Priority & Conference, 4 Desember 2019. Foto: Martin Sitompul/Historia. Bagi pemerintah kolonial, orang-orang Tionghoa dan Arab dapat dipakai sebagai minoritas perantara ( middleman minority ) yang membawahkan masyarakat pribumi. Orang Tionghoa dan Arab secara ekonomi relatif makmur tetapi rentan manakala ada gesekan politik. Di masa-masa terjadi kekosongan kekuasan atau ketika penguasa membutuhkan kambing hitam, merekalah yang kerap dipersalahkan dan menjadi korban. “Belanda itu seharusnya barat asing tetapi mereka mengasingkan-asingkan orang Tionghoa, Arab - yang notabene datang ke Nusantara jauh sebelum orang Belanda -, dan orang Hindia. Jadi, itu diskriminasi yang sangat parah dilakukan oleh Belanda,” ujar Didi. Kartini yang hidup di akhir abad 19, telah menyadari diskriminasi yang dialamatkan kepada etnis minoritas tersebut. Dalam kumpulan suratnya berjudul Door Duisternis tot Licht: Gedachten over en voor het Javaanse Volk ( DDTL ) yang diterbitkan pada 1911, termuat dua surat yang berbicara soal orang Tionghoa. Pertama , dalam surat bertanggal 3 Januari 1902, Kartini memuji Oei Tiong Ham, saudagar kaya pengusaha gula sebagai sosok yang dermawan. Di pihak lain, Kartini mencela sikap pemerintah kolonial yang selalu memojokan orang Tionghoa. Kedua , surat bertanggal 17 Juni 1902 yang ditujukan kepada Ny. De Boiij-Boissevain. Dalam surat itu, Kartini sangat terkesan dengan kabar beberapa perempuan Tionghoa yang hendak menempuh ujian guru. Hal ini membuat Kartini jadi ingin tahu lebih banyak tentang Tionghoa .Dia pun menyatakan simpati yang mendalam kepada kaum perempuannya. “Hura! Untuk kemajuan! Saya sungguh gembira tentang hal itu! Orang-orang Cina sangat keras dalam mempertahankan adat: sekarang kita lihat juga, bahwa adat yang paling keras dan paling lama dapat dipatahkan juga! Saya mendapat semangat dan harapan ,” seru Kartini sebagaimana dikutip Didi. Terlihat bahwa kemajuan di kalangan putri Tionghoa itu banyak menginspirasi Kartini. Satu budaya atau adat yang sudah berlangsung ribuan tahun dan membelenggu perempuan ternyata tidak bisa melawan kemajuan. Kartini optimis, betapa kerasnya kungkungan adat istiadat pada akhirnya dapat dipatahkan. Pada 27 Oktober 1902, dalam surat menyurat kepada Ny. Abendanon, Kartini menceritakan bahwa dia pernah sakit keras. Di tengah dera penyakit itu, Kartini mengaku tiada yang mampu menolongnya, termasuk dokter Eropa. Kartini barangsur sembuh setelah disuruh minum abu lidi dari Klenteng di Welahan, Jepara oleh seorang Tionghoa. Maka dengan penuh syukur, Kartini mendaku dirinya, “bahwa saya anak Buddha.” Sementara itu, surat tertanggal 14 Desember 1902 yang masih ditujukan kepada Ny. Abendanon adalah surat yang paling panjang dan memberikan argumen paling kuat dari Kartini tentang kemajemukan. Disini, selain golongan Tionghoa, Kartini banyak bicara juga mengenai golongan Arab di Rembang. Selain itu, Kartini juga menyuarakan protesnya akan sekat-sekat pemisah dan diskriminasi yang dibangun keluarganya serta masyarakat terhadap golongan Tionghoa. Sayangnya, surat-surat Kartini yang memuat pesan pluralisme itu luput ketika dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia. Pada 1938, Balai Pustaka untuk kali keduanya menerjemahkan DDTL melalui sastrawan Pujangga Baru, Armijn Pane. Ironisnya, Balai Pustaka memutuskan tidak mengalihbahasakan DDTL secara utuh seperti edisi sebelumnya dengan alasan keterjangkauan harga. Total 22 surat yang sengaja dihilangkan oleh Armijn Pane yang diberi kuasa untuk menyunting terjemahahan yang diberi judul Habis Gelap Terbitlah Terang . Penyensoran ini, menurut Didi, seturut dengan jiwa zaman saat itu yang masih dibatasi sekat rasial. Selain dipraktikan pemerintah kolonial, kaum nasionalis pun masih enggan memberikan ruang untuk berbaur dengan kelompok timur asing, khususnya Tionghoa dalam satu organisasi. Dan inipun jamak terjadi. Adapun versi terlengkap dari surat-surat Kartini dapat dilihat dalam terjemahan filolog UGM, Sulastin Sutrisno yang berjudul Kartini: Surat-surat Kepada Ny. R.M. Abendanon Mandri dan Suaminya , terbit pada 1989. Dalam terjemahan ini, Sulastin memuat surat Kartini secara lebih utuh, termasuk pandangan Kartini tentang kemajemukan. Di tengah zaman yang diliputi diskriminasi etnis minoritas, Kartini telah maju selangkah. Disamping perhatian terhadap kaum perempuan yang lain menonjol dari Kartini adalah ketulusan hatinya dalam berinteraksi dengan berbagai golongan. Bagi Kartini, kemajemukan adalah satu keniscayaan. Dengan begitu, kata Didi, “Kartini layak diberi gelar ‘Pelopor Pluralisme’”.
- Para Ibu di Lapangan Hijau
SEPAKBOLA modern tak lagi melulu milik pria. Kaum perempuan pun sudah jempolan memainkan si kulit bundar, termasuk di negeri kita. Tak jarang pula memunculkan ibu-ibu tangguh, para pesepakbola putri yang tetap merumput meski tengah hamil dan setelah melahirkan. Tengok saja Sydney ‘ The Kid ’ Rae Leroux, striker klub NWSL (Liga Sepakbola Putri Amerika) Orlando Pride dan timnas putri Amerika Serikat. Pada 2016, ia sudah jadi ibu dari seorang bayi laki-laki hasil pernikahannya dengan pesepakbola MLS (Liga Amerika) Dom Dwyer. Menjadi seorang ibu dari bayi bernama Cassius Cruz Dwyer tak menghentikan karier Leroux di lapangan hijau meski sempat cuti setahun dari klub dan timnas saat hamil dan setelah melahirkan. Cerita berbeda saat peraih emas Olimpiade 2012 itu hamil anak kedua. Leroux tetap berlatih di tengah usia kehamilan 5,5 bulan pada Maret 2019. “Mulanya saya mengira takkan ikut latihan pramusim saat hamil 5,5 bulan tapi lihatlah sekarang,” kicaunya di akun Twitter -nya, @sydneyleroux, 4 Maret 2019. Leroux mengaku menghindari kontak fisik dengan rekan-rekan setimnya di sesi latihan. Baru pada April 2019 Leroux mengajukan cuti. Namun pada 29 September 2019 ia sudah tampil lagi untuk klubnya selepas tiga bulan melahirkan. Sydney Leroux yang masih berlatih saat tengah hamil lima bulan (Foto: Twitter @sydneyleroux) Kisah Leroux hanya seujung kuku dari entah berapa banyak pesepakbola putri di abad ke-21 yang memilih tetap berkarier meski sudah jadi ibu. Tidak hanya yang straight , beberapa pesepakbola lesbian juga tetap bermain meski sudah jadi ibu hasil dari bayi tabung. Cerita agak berbeda datang dari para pesepakbola putri yang berkarier di era abad ke-20. Sebelum era 1990-an, sepakbola masih tabu buat kaum hawa. Selain jamak dinyinyiri, para pesepakbola putri acap dibikin was-was lewat argumen kesehatan, utamanya kesehatan organ wanita. Maka tidak sedikit dari mereka yang akhirnya pilih gantung sepatu saat sudah menikah dan punya anak. Berikut ini enam pesepakbola putri abad ke-20 yang tercatat masih punya kemauan kuat bermain saat sudah menjadi ibu, atau bahkan masih sempat berlatih dan tampil saat tengah hamil: Katrine Søndergaard Pedersen Pedersen mulai meniti karier pada 1993 bersama tim muda Stensballe IK. Setahun berselang, ia mentas di klub Denmark lainnya, HEI. Pada 1994 itu pula bek kelahiran 13 April 1977 itu masuk dan jadi langganan timnas putri Denmark hingga 2013 dengan rekor 210 laga internasional. Alhasil, ia termasuk pesepakbola putri paling dihormati di Eropa. Dari hubungan asmaranya dengan sesama pesepakbola, Maiken Pape, Pedersen hamil anak pertama pada November 2013, sekaligus mengumumkan pensiun dari pentas internasional. Namun ia tetap bermain di klub sekaligus jadi ibu hingga benar-benar gantung sepatu di klub terakhirnya, Stabæk, pada 2015. Ia pun jadi pesepakbola legendaris asal Denmark paling diingat publik selain Peter Schmeichel dan Laudrup bersaudara (Michael dan Brian). “Ia (Pedersen) menjadi inspirasi bagi sepakbola putri,” sebut Presiden FIFA Sepp Blatter saat merayakan 125 tahun DBU (induk sepakbola Denmark), dikutip situs FIFA, 18 Mei 2004. Brandi Denise Chastain Meski Piala Dunia putri sudah digelar pada 1991, baru pada 1999 mulai populer dan mengglobal. Pesepakbola putri AS Chastain adalah ikonnya, gegara ia mencetak gol penentu dalam drama adu penalti di final kontra China. “Sebelum 1999 publik tak banyak tahu pesepakbola putri. Itu tahun yang hebat bagi sepakbola putri hingga menjadi populer dan Chastain jadi pahlawannya. Selebrasinya tertangkap kamera banyak fotografer saat ia berlutut, berteriak dengan memejamkan mata dan meninju ke udara, melepas baju dan hanya mengenakan bra sport . Brandi menjadi ikon instan. Bahkan orang yang tak mengerti sepakbola pun mengenal Brandi –si bintang sepakbola dengan bra sport -nya,” ungkap jurnalis Michelle Medlock Adams dalam biografi Brandi Chastain: No Hands Allowed. Lahir di San Jose, California, 21 Juli 1968, Chastain sudah mengolah si kulit bundar sejak SMA. Hobi itu dilanjutkannya di kampus, sejak 1986 dia bermain untuk tim California Golden Bears dan Santa Clara Broncos. Pada 1993, ia hijrah ke tim Jepang Shiroki FC Serena. Sejak 1988, ia masuk timnas Amerika dan menjadi andalan hingga 2004. Chastain turut dalam tim juara Piala Dunia Putri pertama tahun 1991 dan turut dalam tim ketika menyabet emas di Olimpiade Atlanta 1996 dan Sydney 2000. Dia baru pensiun di klub California Storm pada 2010. Pemain serba bisa yang mampu tampil di posisi bek, gelandang, hingga penyerang itu sudah jadi ibu dari seorang putra, Jaden Chastain Smith, sejak 8 Juni 2006. Kendati sempat pensiun, istri dari pelatih Santa Clara Broncos Jerry Smith itu kembali bermain pada 2009 sembari mengurus Jaden dan putra tirinya, Cameron Smith. Chastain baru gantung sepatu lagi setahun setelahnya. Faye White Namanya populer baik di klub, Arsenal Ladies, maupun timnas Inggris dalam kurun 1996-2013. Ikut mengantarkan tim “Tiga Singa” hingga ke final Piala Eropa 2009, prestasi kapten tim Inggris selama 11 tahun itu lebih mentereng di klub. Dia sudah memenangi 10 gelar liga, sembilan FA Cup, empat Community Shield, dan satu Piala UEFA. Dari pernikahannya dengan Keith Mulholland, White hamil pada April 2012 dan memutuskan pensiun dari timnas. Namun ia masih bermain di klub meski sudah melahirkan putra pertamanya, Lukas Mulholland, pada 2013. Sayangnya di tahun yang sama ia terpaksa gantung sepatu. “Semua orang bilang karena saya sudah punya bayi. Tapi bukan itu alasannya. Saya masih mampu menjalankan tugas (pemain). Kemampuan saya masih ada. Tubuh saya juga masih kuat, namun lutut saya yang bermasalah,” ujarnya, dinukil Daily Mail , 20 Maret 2013. Martina Voss Sejak masuk timnas Jerman pada 1984, Voss turut mempersembahkan empat Piala Eropa. Di klub pun eks gelandang KBC Duisburg, TSV Siegen, FCR 2001 dan Duisburg itu termasuk langganan juara. Kini ia masih berkarier di sepakbola sebagai pelatih timnas Jerman. Mulanya sosok kelahiran Duisburg, 22 Desember 1967 itu dikenal sebagai seorang lesbian dan sempat berpacaran dengan sesama pemain timnas, Inka Grings. Namun pada 1 Oktober 2009 ia menikahi pria bernama Herman Tecklenburg dan tak lama kemudian mengandung anak pertamanya. Pun begitu, ia masih tetap bermain. “Saya masih bermain sampai hamil empat bulan di bawah pengawasan dokter kandungan. Saya tak pernah takut, namun lawan saya harus tahu bahwa saya sedang hamil. Dua minggu setelah melahirkan, saya sudah mulai latihan lagi dan bermain setelah lima pekan melahirkan. Tapi memang harus diakui sulit bagi saya untuk sekaligus menyusui karena sulitnya mengatur jadwal laktasi dan latihan,” aku Voss, dikutip jurnal FIFA terbitan 2007 bertajuk “Health and Fitness for the Female Football Player”. Christie Patricia Pearce Sebelum bercerai dengan suaminya, Chris Rampone, pada 2017, ia dikenal dengan nama Christie Rampone. Bek kelahiran Fort Lauderdale, Florida pada 24 Juni 1975 itu memulai karier sepakbolanya pada 1993 di tim kampus Monmouth Hawks. Empat tahun berselang dia masuk Central Jersey Splash yang menandai kiprahnya di kompetisi profesional. Tahun itu juga Christie masuk timnas Amerika. Namanya sempat viral pada Agustus 2009. Pasalnya, menyitat situs FIFA, 27 Agustus 2009, Christie, pemain merangkap pelatih caretaker tim Sky Blue FC, masih ikut tampil di babak play-off WPS (Women’s Professional Soccer) Champioship walau tengah hamil tiga bulan. Hal itu turut jadi faktor ia dianugerahi WPS Sportswoman of the Year. Ia cuti saat kehamilannya memasuki usia empat bulan hingga melahirkan putrinya, Reece. Pada 2010, kembali tetap merumput bersama timnas Amerika hingga 2015 dan bersama klubnya hingga pensiun pada 2017. Ia mencatat rekor dua kali juara Piala Dunia Wanita (1999 dan 2015). Papat Yunisal Hampir segenap hidupnya dihabiskan di sepakbola. Lahir di Subang, 11 Juni 1963, Papat Yunisal mulai berkarier di Putri Priangan sejak 1979 dan masuk timnas PSSI Putri pada 1981. Prestasi tertinggi striker mungil itu, mengantarkan timnas putri jadi finalis ASEAN Women’s Championship 1982. Empat tahun berselang ia dipersunting pria yang enggan ia sebutkan namanya. Tak lama kemudian ia pun mengandung dan sempat vakum dari rumput hijau. Papat sudah comeback berlatih bersama Putri Priangan tak lama setelah melahirkan anak pertamanya. “Saya baru 40 hari lahiran sudah main, saking antusiasnya ingin main lagi. Saya ke dokter untuk cek kesehatan saya, cek nadi saya semua. Saya juga tanya, masih layak (secara medis) enggak saya bermain bola?” kata Papat kepada Historia. “Terus sama dokternya dibolehin. Syaratnya harus pake gurita yang bener-bener nge- press . Setelah itu main saya. Enggak ada rasa-rasa sakit apa gitu,” lanjut perempuan yang pensiun dari timnas pada 1987 dan dari klubnya tiga tahun berselang itu. Kini sebagai ibu dan juga nenek dari lima cucu, ia masih mendarmabaktikan dirinya sebagai Ketua Asosiasi Sepakbola Wanita Indonesia (ASBWI).
- Kontemplasi Nan Sunyi di Gereja Sacrè-Coeur
Berbicara tentang Prancis tak akan bisa lepas dari kota Paris. Kota ini memberikan kesan kuat bagi para pelancong. Musik, kultur, seni, dan sepakbola bersatu di kota ini. Suasana kotanya romantis. Banyak pasangan ucap janji setia di menara Eiffel, Sungai Seine, dan Jembatan Ponts de Art. Sudut lain kotanya tak kalah ciamik. Bangunan bersejarah berlimpah. Salah satu bangunan bersejarah itu Gereja Sacrè-Coeur. Letaknya di Montmartre, daerah berbukit di pinggiran utara kota Paris. Saya harus melalui berbagai jalan sempit untuk menuju Sacrè-Coeur. Kanan dan kiri jalan sempit itu sesak oleh berbagai kafe untuk minum kopi, makan, dan menenggak wine . Ribuan wisatawan mengunjungi Sacrè-Coeur setiap harinya. (Fernando Randy/Historia). Setelah melewati jalan sempit, saya bertemu ratusan anak tangga dan harus menapakinya pelan-pelan. Cukup melelahkan. Tapi ketika sampai di puncak bukit, lelah itu sirna. Pemandangan Paris terhampar jelas. Gereja Sacrè-Coeur berdiri dengan megah di atas ketinggian 130 meter. Suasana jalan menuju ke Sacrè-Coeur di Montmarte Paris. (Fernando Randy/Historia) Sacrè-Coeur berusia lebih dari satu abad. Pembangunannya dimulai pada 1875. Tak lama setelah kekalahan Prancis dari Prusia pada 1871 dan revolusi Komune Paris pada tahun yang sama. Dua peristiwa ini begitu memukul orang Katolik Prancis. Mereka merasa peristiwa itu muncul tersebab dosa-dosa keseharian mereka. Sebagai bentuk pertobatan, mereka berikhtiar mendirikan sebuah gereja dan meminta Paul Abadie, seorang arsitek, untuk merancangnya. Gambar-gambar pada dinding Gereja Sacrè-Coeur. (Fernando Randy/Historia). Pembangunan Sacrè-Coeur selesai pada 1914. Kemudian gereja ini dikuduskan pada 1919, setelah Perang Dunia I berakhir. Kekhasan Sacrè-Coeur terletak pada pemilihan warnanya. Semuanya putih bersih. Simbolisasi dari arti namanya, Hati Suci. Warna putih dihasilkan dari penggunaan batu Château-Landon. Batu ini mengeluarkan zat kapur yang berfungsi sebagai pemutih alami dan sanggup bertahan lama sehingga membuat gereja ini terlihat putih bersinar. Berbagai patung umat Kristiani menghiasi Gereja Sacrè-Coeur di Paris. (Fernando Randy/Historia). Saat memasuki gerbang Sacrè-Coeur, saya dapat merasakan kekuatan arsitekturnya. Situasi di sana memang ramai, tapi nuansa ketenangan begitu kuat. Ramai di luar gereja, damai di dalam hati. Di dalam gereja tinggi menjulang itu terdapat berbagai patung tokoh umat Kristiani. Selain itu juga tersua lukisan dinding yang sangat indah berupa Yesus terbang. Menambah kuat kesan spiritual selama berada di Sacrè-Couer. Para wisatawan mengambil foto kota Paris dari atas Sacre-Coeur Paris. (Fernando Randy/Historia). Pesan-pesan yang teringgal di Sacrè-Coeur. (Fernando Randy/Historia). Sacrè-Coeur terbuka luas untuk semua penganut agama. “Wisatawan dari semua negara, dari agama apapun, bebas masuk ke dalam sini. Yang terpenting adalah sopan dan saling menghargai, karena ini adalah tempat ibadah,” ujar Adrien Rene (34), salah satu penjaga gereja. Lukisan Yesus Kristus di atap Gereja Sacrè-Coeur Paris. (Fernando Randy/Historia). Setelah menyelami kedalaman arsitektur Sacrè-Coeur, saya keluar gereja dan melihat berbagai atraksi kreatif para seniman Paris di sekitar gereja. Dari pemusik, pelukis jalanan, hingga pesulap. Mereka menggantungkan hidup pada gereja dan berharap berkatnya selalu terlimpah kepada mereka. Jules seorang pesulap saat mempertontonkan keahlianya di sekitar Sacrè-Coeur Paris. (Fernando Randy/Historia). Jules (25), seorang wanita pesulap di sekitar Sacrè-Coeur, mengatakan bahwa dia belum lama menggelar pertunjukan di sekitar gereja. "Namun Sacrè-Coeur selalu memberikan berkat melimpah kepada saya dalam setiap kepingan euro wisatawan." Para wisatawan menikmati sore hari di Sacrè-Coeur. (Fernando Randy/Historia).





















