Hasil pencarian
9590 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Pergundikan di Perkebunan
ATIMAH hanya bisa pasrah. Perempuan asal Jawa itu tak berhasil mengubah nasibnya kendati telah merantau. Alih-alih bisa memeperbaiki kehidupan ekonominya dan membantu keluarga, Atimah justru mengalami nasib yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Semua itu bermula di perkebunan Deli, tempat Atimah bekerja menjadi buruh. Pada paruh kedua abad ke-19, buruh-buruh perempuan pribumi direkrut dalam skala besar. Di satu sisi, perekrutan itu untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Di sisi lain, merupakan siasat para direksi perkebunan untuk memenuhi kebutuhan sosial dan seksual para pekerja perkebunan yang masih bujang. Mayoritas buruh perempuan didatangkan dari Jawa dan berasal dari kelompok masyarakat yang sangat miskin. Bagi mereka, kontrak kerja sebagai kuli di perkebunan Sumatera merupakan jalan keluar bagi kehidupan yang tanpa masa depan. Begitu tiba, para kuli perempuan langsung diperiksa di sebuah kamar kecil di kantor Perkebunan Deli. Di dalam kamar itu terdapat bangku istirahat, meja, cermin, dan peralatan cuci. Pengawas kulit putih kemudian memeriksa mereka satu per satu. Sudah dianggap wajar bila pegawai kulit putih mendapat kesempatan pertama memilih kuli perempuan yang baru tiba. Kuli yang dianggap paling menawan kemudian diambil menjadi gundik pengawas perkebunan. Para kuli perempuan terpilih tak punya daya untuk menolak. Penolakan dianggap sebagai sikap membangkang yang hanya berujung siksaan. Hubungan yang terjalin dari kekuasaan si lelaki kulit putih kepada para kulinya menyebabkan relasi ketertindasan yang berlapis. Menurut Reggie Baay dalam Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda, praktik pergundikan di perkebunan jauh lebih buruk dari pergundikan di tangsi maupun di tengah masyarakat sipil. Praktik pergundikan ini bahkan amat didukung oleh pemilik perkebunan. Para pemuda yang akan berangkat ke perkebunan di Hindia-Belanda disarankan memiliki gundik agar terbebas dari pekerjaan rumah selepas kerja dan kebutuhan seksualnya terpenuhi. Setiap perjanjian kontrak dengan para asisten perkebunan menjanjikan beberapa fasilitas kepada para pengawas kulit putih bujangan, seperti tempat tinggal dengan kamar berkelambu berikut perabot kayunya, bak mandi, dan kuli kontrak gratis untuk mengurus rumah (gundik) atau disediakan 10 gulden untuk menyewa seorang pelacur. Banyak asisten yang akhirnya memilih kuli kontrak untuk mengurus rumah tangga sekaligus teman tidur. Namun demikian, pegawai kulit putih muda tidak diperkenankan menikah selama enam tahun pertama masa kerja. Mereka dianggap tak mampu menghidupi keluarga Eropa dengan gajinya. Sementara, pernikahan antara lelaki Eropa dan nyai pribumi pun muskil dilakukan dan hanya menimbulkan keterkejutan bagi masyarakat Eropa. Lagipula, perusahaan tidak dapat menerima hal tersebut. Kalaupun akan menikahi gundiknya, para administrator perkebunan harus menunggu hingga pensiun agar kariernya tidak terganggu. Para buruh perempuan yang diambil jadi gundik terbebas dari status kuli kontrak berdasarkan aturan yang keluar pada awal abad ke-20. Mereka pun tak lagi kekurangan makan akibat upah yang amat kecil. Dengan upah dua setengah gulden per bulan atau delapan sen per hari, para buruh perempuan bahkan tidak bisa memenuhi kebutuhan makan. Menurut Van den Brand dalam De Millionen uit Deli , kuli perempuan setidaknya butuh 15 sen per hari untuk makan, belum termasuk kebutuhan lain. Jika diasumsikan warung di perkebunan mematok harga lebih mahal, setidaknya dalam sehari butuh 17 sen. Selain itu, di beberapa perkebunan ada aturan bahwa para perempuan tidak akan mendapat upah jika tidak bekerja. Sementara, pengawas perkebunanlah yang menentukan kapan si kuli perempuan bekerja. Sikap semena-mena ini ditambah pula larangan mencari penghasilan tambahan di perkebunan sekitar. Sistem yang mencekik itu membuat para kuli perempuan umumnya tidak mampu bertahan hidup. Tak mengherankan jika banyak dari kuli perempuan yang tidak menjadi gundik memilih prostitusi sebagai jalan keluar dari masalah. Para pemilik perkebunan senang-senang saja ketika kuli perempuan diambil menjadi gundik atau terjebak praktik prostitusi. Sejak awal, itulah salah satu alasan perekrutan mereka. Nasib buruh yang dilacurkan sama buruknya dengan para gundik pegawai kulit putih. Di tangan orang Eropa, mereka jadi korban kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan. Dalam Menjinakkan Sang Kuli, Jan Breman menyebut tuan kebun biasanya lelaki muda berperangai kasar dan agresif. Hubungan homoseksual yang jamak di Perkebunan Deli membuat para pengawas kulit putih seolah perlu menegaskan maskulinitas dan preferensi heteroseksual mereka. Caranya, bersikap kasar dan dengan hidup bersama perempuan (gundik). Maskulinitas beracun ini pula yang menyengsarakan hidup para buruh dan gundik perkebunan. Lelaki kulit putih, tulis Van den Brand, memperlakukan perempuan dengan sadis. Mereka tak segan memukul dan menyiksa gundik atau kulinya sendiri. Petugas hukum JTL Rhemrev mencatat seorang administrator Perkebunan Tanjung Kasau bernama Van Beneden punya reputasi buruk dalam memperlakukan gundik dan buruh perempuannya. Ia tak segan menyiksa mereka berkali-kali untuk satu kesalahan. Penganiayaan ini tercatat pula dalam laporan Van den Brand. Seorang buruh perempuan seringkali mendapat hukuman berat untuk kesalahan ringan seperti mengangkat sarungnya, tidak sengaja mengganggu tidur pemilik perkebunan, atau kurang bersih saat mencabuti rumput. Atimah bahkan mengalami penyiksaan nirmanusiawi. Lantaran sedang mengandung delapan bulan, Atimah tak bisa mengumpulkan ulat cukup banyak. Asisten perkebunan bernama Moens lantas menyiksanya dengan pukulan rotan kemudian pinggangnya diinjak-injak. “Tanpa mengindahkan keadaan sang perempuan yang sedang hamil tua,” tulis Rhemrev. Akibat penyiksaan itu, Atimah jatuh sakit dan tidak mendapat penghasilan karena tidak bisa bekerja. Dua minggu kemudian, ia melahirkan bayinya dalam keadaan sudah tidak bernyawa. Kepala si bayi ringsek di sebelah kiri hingga mata kirinya tak terlihat. Menjadi nyai tak lantas bebas dari penganiayaan. Dalam penelitian tentang penyelewengan yang terjadi di Deli, Rhemrev mencatat bahwa seorang gundik bernama Karimah dikurung berminggu-minggu di dalam kamar oleh tuannya dan dipukuli hingga berdarah. Buruh lain disiksa karena menolak pinangan pegawai kulit putih untuk jadi nyainya. Kedudukan inferior para buruh perempuan dan rasisme menjadi faktor tingginya kesewenang-wenangan dan buruknya nasib mereka.
- Minuman Beralkohol Khas Nusantara
Negeri ini sangat kaya. Terdapat sebuah gua di mana air garam keluar dengan sendirinya. Orang-orang di negeri ini membuat arak dari bunga pohon kelapa yang menggantung. Panjang bunganya lebih dari tiga kaki. Tebalnya sebesar lengan orang dewasa. Untuk menjadi arak, bunganya akan dipotong dan niranya dikumpulkan. Rasanya manis. Jika mereka meminumnya, mereka cepat mabuk. Proses pembuatan minuman memabukan itu tertulis dalam catatan Sejarah Lama Dinasti Tang (618-907) dan Sejarah Baru Dinasti Tang. Penulisnya membicarakan negara bernama Ho-ling atau Kalingga yang terletak di sebelah timur Sumatra dan sebelah barat Bali. Ery Soedewo, arkeolog Balai Arkeologi Medan, dalam “Produk Local Genius Nusantara Bernama Tuak” yang terbit di Jejak Pangan dalam Arkeologi menjelaskan, minuman yang menurut berita Tiongkok itu diolah dari air bunga kelapa, merujuk pada bahan bakunya yang berasal dari nira kelapa. Hasil olahannya kini dikenal sebagai tuak kelapa. Sejauh ini catatan itu merupakan sumber tertua tentang cara pembuatan tuak. Menurut Ery, nampaknya si penulis catatan benar-benar pernah mencicipi tuak kelapa Ho-ling. “Ia dapat menggambarkan citarasanya sekaligus dampaknya setelah meminum cairan beralkohol dari nira kelapa itu,” tulis Ery. Dari Nusantara, sumber-sumber tertulis tertua tentang tuak berasal dari abad ke-10 hingga abad ke-14. Artinya, itu dari masa Kerajaan Mataram Kuno (Medang) hingga Kerajaan Majapahit. Bukan cuma tuak, masyarakat juga mengenal banyak jenis minuman beralkohol. Berdasarkan prasasti dan naskah, minuman beralkohol yang dikenal di antaranya sura, waragang, sajeng, arak/awis, tuak, minu, jatirasa, madya, māsawa/māstawa , sajěng, tampo, pāṇa, siddhu , baḍyag/baḍeg, buḍur, brěm, cinca, duh ni nyū, juruh, dan kinca. Titi Surti Nastiti, ahli epigrafi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), dalam “Minuman Pada Masyarakat Jawa Kuno” termuat di Pertemuan Ilmiah Arkeologi V menyebutkan bahwa secara umum, minuman yang mengandung alkohol oleh orang Jawa Kuno biasanya disebut madya. Misalnya, naskah Adiparwa menyebut madya naranya, sajêng (minuman beralkohol namanya sajêng ) . Naskah itu disalin ke dalam bahasa Jawa Kuno pada era Raja Dharmawangsa Teguh yang memerintah di Medang Kahuripan (991-1016). Sajêng adalah minuman beralkohol yang dibuat dari palem. Dalam Adiparwa disebutkan minuman yang disebut sajêng di antaranya waragang, tuak, baḍyang, tuak tal, dan buḍur. Dalam Kakawin Ramayana yang dibuat sekira abad ke-9disebutkan beberapa jenis madya, seperti mastawa dan pāṇa. Prasasti Pangumulan A dari 824 Saka (902) juga menyebut jenis-jenis madya :“Demikianlah minuman keras yang diminum ada tuak, siddhu, ada jatirasa, dan air kelapa ( dun ni nyūng) .” Titi menyebutkan bahwa, dun ni nyūng (air kelapa) dalam Prasasti Pangumulan dikategorikan ke dalam salah satu jenis minuman keras. Berbeda dengan Kakawin Ramayana , disebutkan duh nikaṅ nyū sebagai air kelapa yang belum diolah. “Dengan riang gembira sambil saling berebut monyet-monyet mengunyah dan mematahkan tebu, mereka berjalan di jalan raya sambil mengenyangkan badan dengan meminum air kelapa, mengambil dagingnya sampai jatuh ke dada,” sebut naskah itu. Selain Prasasti Pangumulan A, nama-nama minuman beralkohol muncul dalam berbagai prasasti, khususnya yang berisi tentang upacara penetapan sima (tanah perdikan atau tanah bebas pajak) . Khususnya, pada bagian penutup, yaitu acara makan bersama sebagai rangkaian upacara. Contohnya, Prasasti Watukura (902) yang menyebutkan mastawa , pāṇa, siddhu, cinca, dan tuak. Prasasti Rukam (907) menyebut tuak, cinca, dan siddhu. Begitu pula Prasasti Lintakan (919) dan Prasasti Paradah (943). Dalam Prasasti Sanguran (928) disebutkan siddhu dan cinca. Sedangkan dalam Prasasti Alasantan (939) disebutkan tuak, siddhu. Bahan Baku Mudah Di antara minuman beralkohol yang disebut dalam prasasti dan naskah, dibuat dari beragam tumbuhan yang banyak tumbuh di Nusantara. Titi menjelaskan, siddhu adalah minuman keras yang disuling dari semacam gula. Asam Jawa digunakan untuk membuat cinca. Sementara tuakada beberapa jenis, yaitu tuak kelapa dan tuak siwalan. Tuak kelapa dibuat dari air kelapa. Tuak siwalan atau terkadang disebut tuak tal terbuat dari air siwalan atau tal. Adapun arak biasanya menggunakan air nira dari pohon aren. Namun, ada pula yang dari beras. Jenis arak yang disebutkan dalam naskah di antaranya adalah arak merah ( awis bang ) dan arak harum ( arak arum ). Kakawin Arjunawijaya yang digubah Mpu Tantular menyebutkan jenis-jenias brěm yang dinamakan sesuai bahannya. Menurut Titi keterangan itu memberikan penjelasan bahwa brem dibuat dari beras yang diketahui bisa berasal dari padi, jagung, dan gadung. “ Tampo dengan pengasih, kilang disertai dengan brem beras, brem jagung, dan brem gadung,” tulis naskah Arjunawijaya. Serupa dengan brěm, minuman bernama tampo dibuat pula dengan cara fermentasi. Bahannya dari beras atau singkong. Ada pula yang dibuat dari anggur, yaitu minu. Namun, minuman ini masih jadi pertanyaan apakah asli Nusantara atau impor. Pasalnya, pada masa itu anggur belum dibudidayakan. “Dengan ditemukannya wadah-wadah keramik yang dipakai untuk menyimpan anggur dan arak mungkin sekali kedua jenis minuman ini diimpor dari Tiongkok,” jelas Titi.
- Empat Tokoh Idola Habibie
BANYAK orang di negeri ini mengagumi Presiden Republik Indonesia ke-3 itu, baik sebagai ahli teknologi maupun tokoh politik. Prestasinya begitu membanggakan, hingga sosoknya digandrungi. Namun di balik tokoh yang diidolakan banyak orang ini ternyata ada sosok-sosok lain yang menjadi panutannya. Dalam otobiografinya, Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia menuju Demokrasi , Habibie pernah mengungkapkan kekagumannya kepada sejumlah tokoh nasional. “Seperti setiap orang, saya juga memiliki idola, selain orang tua yang melahirkan dan membesarkan saya,” ungkap Habibie. Sukarno Presiden Republik Indonesia yang pertama ini lahir di Surabaya pada 6 Juni 1901. Dalam beberapa narasi sejarah disebutkan bahwa Sukarno lahir di lingkungan bangsawan Bali dari keluarga ibunya, Ida Nyoman Rai; dan bangsawan Kediri dari keluarga ayahnya, Raden Sukemi Sosrodihardjo. Bersama tokoh nasional lainnya, Sukarno menjadi corong pergerakan kemerdekaan Indonesia. Kegigihannya menentang imperialisme, sejak duduk di bangku kuliah, sering kali membuat ia terlibat dalam perselisihan dengan pemerintah Belanda. Pemikirannya juga dianggap berbahaya sehingga para pejabat kolonial selalu mencoba menekan keberadaannya dengan cara diasingkan. Namun usaha pemerintah kolonial itu nyatanya tidaklah cukup. Sukarno terus berusaha menggapai kemerdekaan yang bangsa ini cita-citakan. Sampai akhirnya perjuangan itu mampu dibayar pada 17 Agustus 1945 melalui pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. “Presiden Soekarno yang memberi nasionalisme dan patriotisme,” ucap Habibie. Dalam berbagai kesempatan Habibie sering menyinggung peran Sukarno di dalam kehidupannya. Seperti ketika ia membacakan orasi ilmiah saat acara peluncuran Habibie Institute for Public Policy and Governance (HIPPG) di Universitas Indonesia, Depok pada 25 Juni 2019. Sejak 28 Januari 1974, Habibie sudah terlibat di dalam pekerjaan yang sama dengan tokoh-tokoh idolanya. Tetapi tidak dengan Sukarno. Si Bung meninggal dunia (21 Juni 1970) sebelum Habibie sempat secara langsung bekerja bersamanya. Meski begitu, Sukarno menjadi salah satu sosok penting bagi Habibie. Kesempatan belajar teknik penerbangan di Rheinisch-Westfälische Technische Hochschule Aachen, Jerman yang ia dapatkan merupakan program yang dijalankan Sukarno sekitar tahun 1950-an. Saat itu pemerintah Indonesia mengirim putra-putri terbaiknya ke luar negeri untuk belajar. Mereka dipersiapkan menjadi seorang profesional yang nantinya akan dilibatkan dalam pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Sukarno, kenang Habibie, pernah melarangnya untuk pulang ke Indonesia. Sang presiden meminta Habibie tinggal dan masuk ke dunia industri di Jerman. Ia baru boleh pulang saat Indonesia membutuhkannya. Soeharto Soeharto dilahirkan pada 8 Juni 1921 di Yogyakarta. Ayahnya, Kertosudiro, merupakan seorang petani dan pejabat rendah di kelurahan, sementara ibunya bernama Sukirah. Soeharto memulai karier kemiliterannya di Republik ini setelah resmi diangkat menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945. Di sana karirnya meningkat dengan cepat. Jauh sebelumnya, Soeharto memulai karir militernya sebagai seorang sersar KNIL. Kemudian ikut terlibat di dalam PETA sebagai komandan. Pada 1 Maret 1949, Soeharto berhasil memimpin upaya perebutan kota Yogyakarta. Ia juga menjadi salah seorang perwira kesayangan Panglima Besar Sudirman. Saat meletusnya Gerakan 30 September 1965, Suharto mengambil alih pimpinan Angkatan Darat. Ia lalu dikukuhkan sebagai Panglima Angkatan Darat oleh Sukarno. Pada Maret 1967, melalui Sidang Istimewa MPRS, Soeharto dikukuhkan menjadi presiden, menggantikan Sukarno. Selama 30 tahun selanjutnya, Suharto memegang jabatan tertinggi pemerintahan Indonesia. “Presiden Soeharto yang menjadi panutan sebagai pemimpin pada umumnya dan khususnya yang berkaitan dengan budaya kepimpinan Jawa,” ucap Habibie. Perkenalan Habibie dengan Suharto telah berlangsung lama. Kali pertama keduanya bertemu terjadi di Ujungpandang (sekarang Makassar) pada 1950. Habibie yang memang menghabiskan masa kanak-kanaknya di sana berjumpa dengan Soeharto saat sang Overste (komandan setara letnan kolonel) dari Tentara Teritorium IV/Diponegoro memimpin pasukannya menumpas pemberontakan Andi Azis di Makassar. “Sulit bagi saya untuk menulis mengenai Presiden Soeharto tanpa orang meragukan objektivitasnya. Kenyataan ini saya terima, karena memang saya mengenal Pak Harto sebagai seorang perwira berusia 28 tahun yang gagah, rendah hati, bahkan pemalu, sejak saya berusia 13 tahun pada 1950,” kata Habibie. Setelah itu kesibukan membuat keduanya berpisah. Soeharto melanjutkan karir kemiliterannya, sedangkan Habibie terus mengasah diri menjadi seorang insinyur. Hingga pada suatu hari di tahun 1961 keduanya kembali dipertemukan. Kali ini di Eropa. Soeharto yang saat itu menjadi atase militer di Kedutaan Besar Indonesia untuk Jerman Barat sedang mendampingi KSAD Jenderal AH Nasution di Bonn. “Pertemuan saya sebagai insinyur muda dengan Pak Harto, menanamkan kesan yang sangat mendalam di otak dan sanubari saya. Rupanya Pak Harto pun mengingat pertemuan itu,” kata Habibie. Perjumpaan di Eropa itu nyatanya semakin mempererat hubungan Habibie dengan Suharto. Ia lalu diminta pulang ke Indonesia. Selanjutnya Habibie menjadi salah satu kepercayaan Suharto selama karir kepresidenannya. Habibie diberi amanah pengembangan teknologi di Indonesia. Sampai akhirnya diangkat wakil presiden di ujung rezim Suharto tahun 1998. Sumitro Djojohadikusumo Lahir di Kebumen pada 29 Mei 1917, Soemitro Djojohadikusumo dikenal sebagai ekonom yang telah memberikan banyak sumbangsih kepada kemajuan bangsa ini. Sejak usia 18 tahun, Soemitro telah menempuh pendidikan tingginya di Belanda. Ia meraih gelar sarjananya pada 1937 di Nederlandse Economise Hogeschool. Soemitro kemudian melanjutkan sekolahnya di Universite de Sorbonne, Paris, Prancis antara 1937-1938. Setelah meraih gelar diploma di bidang filsafat dan sejarah, ia kembali ke Belanda untuk menempuh sekolah master bidang Ekonomi. Pada 1943 di Nederlandse Economise Hogeschool, Rotterdam, Soemitro menyelesaikan gelar doktoralnya. Antara tahun 1946 sampai 1950, Soemitro aktif terlibat dalam berbagai forum internasional untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia didapuk sebagai Wakil Ketua Delegasi Indonesia pada Sidang Dewan Keamanan PBB di Lake Success, Amerika Serikat. Karir politiknya dimulai saat ia dipercaya menjadi Menteri Perdagangan dan Perindustrian pada Kabinet Natsir. Dianggap sebagai pembangkan oleh pemerintah Sukarno, Soemitro lantas memutuskan melanglangbuana di luar negeri. Setelah dipanggil pulang oleh Presiden Soeharto, Soemitro menduduki kursi Menteri Perdagangan RI pada Kabinet Pembangunan I dan Menteri Negera Riset RI pada Kabinet Pembangunan II. Setelah satu periode menjabat Menteri Riset, Soemitro memutuskan untuk pensiun. Di samping alasan usia, keinginan putra-putrinya berkecimpung di dunia bisnis menjadi faktor penguat dirinya mundur dari jabatan menteri. “Di keluarga saya ada tradisi bahwa selama kepala keluarga jadi pejabat negara maka anak-anak tidak boleh berbisnis di negeri sendiri,” ucap Soemitro kepada Soeharto. Sebagai gantinya, Soemitro menyarankan beberapa nama kepada Suharto. Dari sekian tokoh yang diajukan, Habibie masuk ke dalam radar Soemitro. Baginya Habibie cocok ditempatkan sebagai menteri jika Soeharto ingin pengembangan di bidang teknologi. “harus mencari orang muda, sebab generasi di atas 40 tahun sudah tidak bisa mengikuti lagi.” Seperti diketahui bersama, pilihan Soeharto akhirnya jatuh kepada Habibie. Dalam buku Toeti Adhitama, Dari Parepare Lewat Aachen , Habibie mengungkapkan rasa terima kasihnya karena dipercaya memegang jabatan yang sebelumnya diemban Sumitro. “Bagi saya itu suatu kehormatan bahwa saya yang 20 tahun lebih mudah dari Pak Sumitro ditunjuk untuk meneruskan jabatan itu. Kata orang, ini akan jadi beban, tapi Insya Allah tidak,” kata Habibie. Begitu keluar dari urusan pemerintahan pada 1978, Soemitro berkeinginan kembali ke dunia pendidikan. Namun niatnya itu tidak begitu saja dapat diwujudkan karena banyak perusahaan yang meminta jasanya sebagai konsultan. Hubungan Habibie dengan Soemitro sendiri sebenarnya tidak selalu baik. Keduanya terkadang saling mengkritik. Namun di balik semua itu, baik Soemitro maupun Habibie sering mengungkapkan kekagumannya satu sama lain. “Profesor Dr. Sumitro Djojohadikusumo sebagai seorang intelektual yang berani mempertahankan pendapatnya dan tetap setia pada prinsip dan keyakinan,” ungkap Habibie. Widjojo Nitisastro Dilahirkan di Malang, Jawa Timur, 23 Septermber 1927, Widjojo dikenal sebagai arsitek perekonomian Indonesia era pemerintahan Orde Baru. Ia sempat terlibat dalam perang kemerdekaan saat masih duduk di kelas I SMT (tingkat SMA). Saat bergabung dengan pasukan TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar), Widjojo yang pemberani nyaris gugur pada sebuah pertempuran di daerah Ngaglik dan Gunung Sari, Surabaya. Usai perang, Widjojo menjadi guru SMP selama tiga tahun. Kemudian ia memutuskan kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, meminati bidang demografi. Setelah lulus, Widjojo mengambil gelar doktor ekonomi di Universitas Berkeley pada 1961. Sebagai sarjana yang menonjol, pada 1984 Widjojo menerima penghargaan Elise Walter Haas Award dari Universitas Berkeley. Penghargaan tahunan itu diberikan kepada alumni asing yang jasanya dianggap signifikan. Widjojo adalah orang Indonesia pertama yang menerimanya. Widjojo mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk dunia pendidikan dan pemerintahan. Di kampus UI, ia menjadi Direktur Lembaga Ekonomi dan Riset UI, guru besar dari 1964-1993, dan mejabat Dekan FE UI selama dua periode (1961-1964 dan 1964-1968). Widjojo juga tercatat pernah menjadi dosen Seskoad (sejak 1962) dan Lemhanas (sejak 1964), serta menjadi Direktur Lembaga Ekonomi dan Kebudayaan Nasional (Leknas) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (1964-1967). Pengabdian Widjojo untuk negera dimulai pada 1953 saat dipercaya menjadi perencana pada Badan Perencana Negara. Di usianya yang relatif muda (39 tahun) ia dipercaya sebagai ketua tim penasihat ekonomi presiden Soeharto pada 1966. Setelah mejabat Ketua Bappenas (1967-1971), ia diangkat menjadi Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (1971-1973). Kemudian secara berurut-turut, dari 1973 sampai 1983, Widjojo menjabat Menko Ekuin merangkap Ketua Bappenas. Habibie memiliki kedekatan yang cukup erat dengan Widjojo. Menurut penuturan putrinya Widjajalaksmi Kusumaningsih, dalam Widjojo Nitisastro: Panditaning Para Raja , Habibie sering berkunjung ke rumah Wijdojo setelah keduanya sama-sama istirahat dari dunia politik, bahkan jauh sebelum itu. “Bila Bapak Habibie datang ke rumah bertemu ayah saat hari raya, sebagian besar pembicaraan didominasi oleh Bapak Habibie. Ayah hanya mengangguk atau tersenyum. Terkadang saya berpikir bagaimana cara ayah berkomunikasi dengan Bapak Habibie karena ayah juga menjadi penasihat presiden sewaktu Bapak Habibie menjabat Presiden Republik Indonesia,” ucap Wijajalaksmi. Bahkan ketika Widjojo tutup usia pada 9 Maret 2012, Habibie ikut mengurusi prosesi pemakamannya. Ia menjadi wakil bagi pihak keluarga saat menyerahkan jenazah Widjojo kepada negara yang saat itu diwakili oleh Menteri Negara Ketua Bappenas, Armida Alisjahbana. “Profesor Dr. Widjojo Nitisastro sebagai seorang intelektual yang berwawasan jauh ke depan, pragmatis, setia pada prinsip dan keyakinannya, serta rendah hati,” kata Habibie.
- Sukarno Marah Ajudan Salah Cerita Sejarah
BRIGADIR Polisi M. TAMIM tak pernah lupa situasi pasca-diberlakukannya gencatan senjata antara pasukan Indonesia dan Belanda selepas Agresi Militer Belanda II. Perang pengaruh masih begitu kuat di berbagai tempat. Dalam suasana seperti itu, Tamim ditawari menjadi anggota polisi Belanda. Tentu saja Tamim menolak mentah-mentah tawaran itu. “Kalau tidak, obsesinya yang ingin mengabdi kepada keluarga Bung Karno dan dekat dengan Bung Karno akan menguap sia-sia,” tulis Kadjat Adra’i, teman dekat Guntur Sukarnoputra sekaligus wartawan yang pernah mewawancara Tamim, dalam bukunya Suka-Duka Fatmawati Sukarno: Seperti Diceritakan Kepada Kadjat Adra’i . Bagi Tamim, Presiden Sukarno dan keluarganya bukan merupakan orang asing. Ayah Tamim, Nur’ain, merupakan supir di Istana Bogor. Nur’ain tinggal di dalam perumahan karyawan istana yang terletak di kompleks istana. Di sinilah Tamim dilahirkan pada 1926 dan bertumbuh bareng-bareng anak-anak pegawai yang lain. Setelah dewasa, Tamim menjadi anggota Kepolisian Istimewa wilayah Bogor. Komandannya Komisaris Polisi Enoch Danubrata. Saat pemerintah mengungsi ke Yogyakarta, awal 1946, Tamim termasuk yang dipercaya bertugas mengawal keluarga presiden –setelah Resimen Tjakrabirawa dibentuk pada 1962, para anggota polisi pengawal pribadi presiden ini disatukan dalam wadah Detasemen Kawal Pribadi (DKP). Sekitar tahun 1948, Tamim mendapat tugas dari Sukarno untuk mendongengi Guntur setiap malam sebelum tidur. Kehadiran Tamim dengan dongeng-dongengnya saban malam membuat Guntur semakin dekat secara emosional dengan sang ajudan. Tamim pun dibawa serta ketika presiden kembali ke Jakarta pasca-pengakuan kedaulatan. Di Jakarta, Sukarno “menaikkan pangkat” Tamim dari sekadar pendongeng sebelum tidur menjadi pengasuh Guntur. Praktis hari-hari Tamim selalu dihabiskan di samping sang putra sulung presiden, sejak pagi hingga malam ketika Guntur hendak tidur. Sewaktu Guntur sudah masuk Taman Kanak-kanak, saban pagi Tamim mengantarkan ke sekolah yang berada di bagian belakang kompleks Istana Jakarta. Tamim menungguinya hingga jam pulang sekolah. Kegiatan itu berlanjut ketika Guntur masuk ke Sekolah Rakyat Perguruan Cikini. Saban pagi, Tamim mengantar Guntur dengan disupiri Saro’i yang juga dari anggota kepolisian. Di waktu malam, Tamim mesti menunggui Guntur belajar hingga pukul 20.00. Setelah itu, barulah Tamim bisa melakukan tugas terakhirnya: mendongengi Guntur sebagai pengantar tidur. Dongeng biasanya dimulai Tamim begitu Guntur sudah berbaring di dipannya. Karena tugas itu tugas hariannya, Tamim pun sering membawa beberapa buku cerita lantaran terkadang kehabisan topik dongeng. Mayoritas dongeng yang diceritakan Tamim adalah cerita horor karena disukai anak-anak. Namun, sering juga Tamim mendongengkan masa-masa penjajahan dan perang kemerdekaan. Kegiatan itu sering Tamim lakukan di kamar presiden karena Guntur sering tidur di kamar ayahnya. Presiden biasanya sedang asyik membaca ketika Tamim mendongengi Guntur. Suatu hari, di kamar presiden, Tamim dibuat kelipungan karena Guntur belum juga tidur meski dongengnya sudah habis. Alih-alih langsung memejamkan mata, Guntur malah minta didongengkan lagi. Tamim yang sudah kehabisan bahan cerita pun sempat bingung. Untung saja Guntur memintanya mendongengkan cerita masa pendudukan Belanda sebelum Jepang masuk. Tamim yang mengalami periode itu, pun lalu dengan lancar kembali mendongeng. Seperti biasa, Presiden Sukarno duduk di dekat mereka sambil membaca. Cerita terus keluar dari mulut Tamim. Selain mengisahkan tentang keberanian Bung Karno dan para pemuda pejuang lain. Diceritakannya pula kehidupan rakyat dan kekejaman Belanda. Tamim pun selesai dengan dongengnya. Namun, lagi-lagi dibuat bingung karena Guntur belum juga tidur. Sementara, bahan cerita di kepalanya sudah habis. Dalam kebingungan itu, Guntur justru menanyakan kelanjutan cerita. Tamim pun putar otak. “Akhirnya saya punya akal. Saya kemudian mengarang cerita, benar-benar mengarang, karena saat itu saya memang diharuskan bercerita,” kata Tamim, dikutip Kadjat. Guntur kembali asyik mendengarkan dongengan Tamim. Dia tak tahu bahwa dongeng yang dikisahkan Tamim murni fiksi. Tamim pun asyik terus membohongi sang anak. Selagi asik-asiknya membohongi Guntur, tiba-tiba Tamim dikejutkan oleh suara presiden yang diam-diam terus menyimak dongengan. “Nggak ada cerita itu,” kata Sukarno.
- Kebakaran Hutan Masa Majapahit
Kebakaran hutan di musim kemarau bukan hanya terjadi di masa kini. Tapi juga terjadi di masa Jawa Kuno. Ada beberapa petunjuk yang bisa menggambarkan kebakaran hutan pada masa lalu. Salah satunya Prasasti Katiden II atau Prasasti Lumpang. Prasasti tembaga itu ditemukan di Desa Katiden, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, pada lereng timur Gunung Arjuna. Berdasarkan pembacaan ahli epigrafi Puslit Arkenas, Titi Surti Nastiti, prasasti itu berisi pengumuman resmi pengukuhan kembali perintah pejabat Majapahit yang meninggal di Krrtabhuwana. Dia adalah penguasa yang mengeluarkan Prasasti Katiden I (24 Maret/22 April 1392). Sementara penguasa yang mengukuhkan ulang tiga tahun kemudian adalah Sri Bhatara Parameswara. Pengumuman itu ditujukan kepada pancatanda yang berkuasa di Turen, dan pejabat lainnya seperti wedana, juru, dan buyut. Seruan juga ditujukan kepada penduduk di sebelah timur Gunung Kawi, baik yang berada di timur atau di barat sungai. Pengumuman itu sehubungan dengan kedudukan warga Katiden yang meliputi sebelas desa. “Oleh karena mereka menjaga alang-alang ( hangraksa halalang ) di Gunung Lejar, mereka dibebaskan dari segala macam pajak, dibebebaskan dari jalang palawang , taker turun , demikian pula tahil dan segala macam titisara dibebaskan…,” sebut sisi bagian depan prasasti itu. Sejarawan Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, mengatakandari prasasti itu, penduduk di wilayah satuan desa ( wisayapumpunan ) Katiden mendapat anugerah berupapembebasan pajak, perburuan, pengkonsumsian tanaman, pemanfaatan kayu gaten dan telur penyu. Mereka diberikan hadiah itu lantaran berjasa menjaga ilalang. “Sangat boleh jadi untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan, yang kerap disebabkan terbakarnya ilalang kering pada puncak kemarau,” kata Dwi. Apalagi menurut pembacaan L.C . Damais, peneliti École française d'Extrême-Orient (EFEO) , prasasti ini ditulis pada 17 Juli atau 15 Agustus 1395. “Tergambar bahwa kala itu adalah musim kemarau , ketika ilalang di Gunung Lejar dalam kondisi kering dan karenanya rentan terbakar,” kata Dwi. Berdasarkan keterangan prasasti, wilayahKatidenberada di timur Gunung Kawi. Lokasi yang mungkin terbakar, ada di areal Gunung Lejar yang kini disebut Gunung Mujur, yaitu anak dari Gunung Arjuna.Toponimi Lejar masih ada pada nama Desa Nglajar di wilayah utara-timur Kota Batu. Hutan di Gunung Mujur memang termasuk area hutan yang rentan terbakar hingga kini. “Celakanya semenjak masa Majapahit lokasinya berada dekat dengan areal permukiman,” kata Dwi. Adapun warga Katiden kemungkinan masuk dalam kelompok wong kalang . Mereka bermukim di tepian gunung atau hutan yang hidup dengan memanfaatkan sumber daya hutan. Peristiwa kebakaran hutan juga tergambar lewat relief Jataka di dinding Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Kebakaran digambarkan melanda hutan kecil di tepian kota. Kobaran api membuat binatang penghuni hutan, seperti kijang, burung, dan hewan lainnya berlarian menyelamatkan diri. Seekor anak burung puyuh terjebak dalam kobaran api. “Dari relief itu bisa tergambar ketika terjadi bencana, seperti kebakaran hutan, hewanlah yang bereaksi paling awal,” kata Dwi.“Sehingga dapat dijadikan sebagai indikator atau peringatan dini bahwa tengah terjadi suatu bencana.” Soal mitigasi, kata Dwi, pengalaman masa lalu itu bisa dijadikan pelajaran. Seperti digambarkan dalam prasasti, pemerintah secara khusus memberikan tugas kepada warga yang bermukim di tepi hutan sebagai penjaga. Penguasa memberikan anugerah kepada mereka karena berhasil mengemban tugasnya. “ Warga dari desa-desa itu berada di garda depan, yang semestinya paling sigap terhadap bencana tahunan kebakaran hutan di sekitanya,” kata Dwi.
- Agen CIA di Medan
DEAN Almy, agen CIA di Konsulat Amerika Serikat di Medan, menerima telegram dari James M. Smith Jr., Kepala Stasiun CIA di Jakarta. Dia diperintahkan untuk menemui Kolonel Maludin Simbolon di Bukittinggi.
- Shili Foshi yang Berubah Jadi San-fo-tsi
Di laut selatan sebuah kerajaan bangsa liar dikenal dengan nama Kerajaan San-fo-tsi. Ia memerintah 15 macam negeri. Letak San-fo-tsi ada di antara Chen-la dan Shepo. Bila angin baik, berlayar dari Kwang-tung ke negara itu bisa ditempuh dalam waktu 20 hari. Negeri itu tak menghasilkan gandum. Mereka memproduksi padi, kapri kuning dan hijau. Masyarakatnya menggunakan huruf Sanskerta. Mereka juga mengenal huruf Tiongkok. Jika mereka mengirim utusan ke Tiongkok mereka menulis dengan huruf itu. Begitu Dinasti Song (960-1279) di Tiongkok mencatat keberadaan kerajaan San-fo-tsi. Sementara itu, berita dari Zhu Fan Zhi atau Catatan Bangsa Asing yang disusun kepala bea cukai di Quanzhou, Fujian, Zhao Rugua pada masa Dinasti Song, menguraikan San-fo-tsi adalah negeri di selatan Ch-uan-hou, yang berhadapan dengan Formosa Utara. Rakyatnya bersarung kain kapas dan berpayung sutra. Mereka pandai berperang, baik di laut maupun di darat. Organisasi ketentaraannya sangat rapi. Banyak ahli, termasuk W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa, yang menafsirkan San-Fo-tsi sebagai Kedatuan Sriwijaya yang ada di Palembang . Arkeolog George Cœdès dalam Kedatuan Sriwijaya pun mendukung pernyataan itu. Ia mengutip berita Tionghoa Zhao Rugua yang juga mengatakan kalau San-Fo-tsi berada di tepi laut besar dan menguasai lalu lintas pelayaran dari dan ke Tiongkok. Namun, Slamet Muljana dalam Kuntala, Sriwijaya, dan Suwarnabhumi berteori bahwa San-fo-tsi adalah kerajaan yang berbeda. San-fo-tsi mulai tercatat pada abad ke-10 merupakan kelanjutan dari kerajaan Sriwijaya yang pernah berjaya pada abad ke-7. Sebelumnya, Kerajaan Sriwijaya pernah disebut dalam catatan Tiongkok dengan nama Shili foshi (Che-li-fo-che). Nama ini tercatat dalam Sejarah Baru Dinasti T’ang ( Hsin-t’ang-shu ) dari 618-907, maupun dalam karya biksu Tiongkok I-Tsing yang mampir di Sumatra dalam perjalanannya ke Nalanda. Hsin-t’ang-shu mencatat, Kerajaan Shili foshi mengirim utusan ke Tiongkok dalam kurun waktu 670-673 dan 737-741. Namun, sejak itu, utusan dari sana tak dikabarkan lagi. Beberapa abad setelah Shili foshi tak muncul, dalam perdagangan internasional pada 960 muncul kerajaan di Sumatra yang dicatat dengan nama berbeda, San-fo-tsi. Negeri ini mengirim utusan ke Tiongkok berkali-kali. Sejarah Dinasti Sung ( Sung Shi ) mencatat kedatangan utusan itu ke Tiongkok pada 960, 962, 971, 974, 975, 980, 983, 985, dan 988. Utusan yang terakhir tinggal di Kanton sampai 990. Waktu itu ia medengar negerinya sedang diserang oleh tentara dari negeri Cho-p’o. Hampir bersamaan dengan berita Tiongkok tentang adanya sebuah kerajaan bernama San-fo-tsi di lautan selatan, sejarah India memberikan petunjuk keberadaan kerajaan di tanah Sumatra, yaitu dalam prasasti Nalanda dari abad ke-9. Tersebutlah Raja Dewapaladewa, Raja Benggala di India, memerintahkan membuat prasasti yang memberitakan Sri Maharaja Balaputradewa menghadiahkan beberapa bangunan vihara kepada Universitas Nalanda. Ia berasal dari Suwarnadwipa, yang berarti Pulau Emas, dan menganut agama Buddha. Tertulis pula kakek sang Raja Balaputradewa yang dikenal dengan sebutan Sailendravamsatilaka Sri Wirawairimathana atau permata keluarga Sailendra, pembunuh musuh-musuh yang gagah perwira. Sejarawan Slamet Muljana berpendapat Suwarnadwipa adalah nama Sanskerta asli yang tidak digunakan dalam prasasti-prasasti Jawa dan Melayu. Yang digunakan dalam prasasti Jawa, yaitu Prasasti Amoghapasa (1286), adalah Suwarnabhumi. Arca ini dikirim Raja Kertanegara dari Singhasari kepada Raja Tribhuwanaraja sebagai Raja Suwarnabhumi. Ekspedisi yang terjadi pada 1275 ini kemudian dikenal sebagai Pamalayu. Dengan begitu, San-fo-tsi sebenarnya adalah transliterasi dari kata swarnabhumi. Ia merupakan kelanjutan dari Sriwijaya yang pernah berjaya pada abad ke-7. Pendapat itu kemudian didukung oleh sejarawan Suwardono dalam Sejarah Indonesia Masa Hidu-Buddha. “Kerajaan San-fo-tsi merupakan kelanjutan atau kebangkitan kembali dari Sriwijaya (Shili Foshi),” kata Suwardono. Analoginya, menurut Suwardono, seperti Kerjaan Singhasari yang didirikan oleh Rajasa. Ia kemudian hancur pada 1292. Berikutnya timbul kerajaan baru bernama Majapahit. Mengapa tak diberi nama yang sama oleh Wijaya? Alasannya, Majapahit ibu kotanya tak lagi di tempat di mana Singasari beribukota. Wijaya memindahkannya ke Trik, Mojokerto. Begitu juga dengan Shili foshi yang sempat tenggelam dalam hubungan internasional selama sekira 150 tahun lebih. Ia baru bangkit lagi pada akhir abad ke-9. “Bangkitnya Sriwijaya sebagai negara baru serta nama yang baru yaitu San-fo-tsi (Suwarnabhumi), dengan kota yang baru pula, yakni Jambi." Ibu Kota Baru Sriwijaya Namun, dalam Sriwijaya, Slamet Muljana seakan mengubah pandangannya. Swarnadwipa tak mungkin ditranskripsikan San-fo-tsi dalam tulisan Tionghoa. Sementara Swarnadwipa yang ada dalam prasasti Nalanda jelas merujuk pada pusat pemerintahan yang sama dengan yang disebut dalam prasasti-prasasti Sriwijaya. Alasannya, nama Swarnadwipa telah banyak dikenal dalam berita Tionghoa. I-Tsing menyebut dalam karyanya dengan Chin-chou atau Pulau Emas. Baik Swarnadwipa maupun Swarnabhumi punya arti yang sama dengan itu sebagai sebutan lawas untuk Pulau Sumatra. “Ia tak mentranskripsikannya ke dalam huruf Tionghoa tapi menerjemahkannya,” jelas Slamet Muljana. Pun letaknya, menurut Slamet Muljana, bukan pula di Jambi. Justru Jambi mungkin adalah bawahan San-fo-tsi. Dalam Sung-hui-yao atau catatan pemerintahan pada masa Dinasti Sung, pada 1082, Kerajaan Jambi masih berdiri sendiri sebagai bagian dari kerajaan San-fo-tsi. Kerajaan Jambi itu disebut Chan-pei. Nama yang mirip, yaitu Kien-pi disebutkan dalam Zhu Fan Zhi sebagai salah satu dari 15 negara bawahan San-fo-tsi. Selain Kien-pi, Zhu Fan Zhi yang disusun pada 1225 menyebut negeri bawahan kerajaan San-fo-tsi lainnya yaitu Pong-fong, Tong-ya-nong, Ling-ya-si-kia, Kilantan, Fo-lo-an, Ji-lo-ting, Tsien-mai, Pa-t’a, Tan-ma-ling, Kia-lo-hi, Pa-lin-fong, Sin-to, Lan-mu-li, dan Siam. Slamet Muljana kemudian menyamakan Pong-fong dengan Pahang, Tong-ya nong dengan Trengganu, Ling-ya-si-kia dengan Langkasuka, Ki-lan-tan dengan Kelantan, Ji-lo-ting dengan Jelotong di ujung tenggara Semenanjung, Tan-ma-ling dengan Tamralingga, Kia-lo-hi dengan Grahi, Pal-lin-fong dengan Palembang, Sin-to dengan Sunda, Ken-pi dengan Pulau Kempe di teluk Aru, Lan-wu-li dengan Lamuri (Aceh), Si-lan dengan Cyelon atau Sailan atau Sri Lanka. Karena Palembang dan Jambi masuk ke dalam daftar bawahan San-fo-tsi, artinya kerajaan itu tak bisa dicari di keduanya. Slamet Muljana beranggapan San-fo-tsi haruslah transkripsi dari nama tempat yang sudah ada pada masa Sriwijaya. Pasalnya pada 960 ketika Sriwijaya masih berdiri, nama San-fo-tsi telah muncul dalam sejarah Tionghoa. Selain di dalam catatan resminya juga ada dalam Prasasti Kanton (1079) yang mencatat perbaikan kuil Ti’en Ching atas biaya raja San-fo-tsi bernama Ti-hu-ka-lo. Slamet Muljana lalu menemukan transkripsi San-fo-tsi tak jauh dari nama Sambhogin. Ini didapat setelah ia meminta dua orang Tionghoa menulis Sambhogin dengan huruf Tionghoa. “Keduanya menjawab sulit sekali. Namun mereka berusaha juga untuk menulisnya. Mereka lalu membacanya menurut ucapan Mandarin dan Kanton: San-fo-tsi,” kata Slamet Muljana. Berdasarkan percobaan itu, dia yakin kalau San-fo-tsi dalam sejarah Sung adalah transkripsi dari Sambhogin. Sekarang nama itu menjadi Sabukingking, yang kini ada di timur Palembang, di tepi Sungai Musi. “Demikianlah Sabukingking atau Sambhogin adalah ibu kota Sriwijaya pada abad ke-10 ke atas,” kata Slamet Muljana. Artinya, ibu kota Sriwijaya pada abad ke-10 berpindah. Tapi, perpindahan itu tak jauh, dari Palembang ke Sabukingking. “Orang-orang Tionghoa menyebut nama kerajaan, yang pada waktu itu masih jelas bernama Sriwijaya, dengan nama pusat kerajaannya,” kata Slamet Muljana.
- Dari Manila ke Manila
SORE itu, 5 September 2019, di salah satu bidang lapangan basket Gelora Bung Karno. Seolah tak mau kalah dari keriuhan sekitar arena yang dikeluarkan suporter timnas Indonesia jelang pertandingan Indonesia kontra Malaysia, Julisa Rastafari acap mengeluarkan suara lantangnya. Urat di tenggorokannya berulangkali menegang kala ia memberi instruksi lewat teriakan. Maklum, arahannya harus terdengar para anak asuhnya. Gaya melatih Julisa memang keras. Seringkali omelan dengan kata-kata kasar keluar dari mulutnya. Sesekali tangannya tampak “gatal” seperti ingin menampar. Namun, semua itu cair ketika anak-anak asuhnya bisa mempraktikkan arahannya dengan benar, yang diikuti tos atau sekadar acungan jempol. Pun begitu, tak sekali pun terlihat orangtua anak-anak didiknya naik pitam atas gayanya melatih pasukan putri U-14 Indonesia Muda (IM). Sebaliknya, laku-laku Julisa justru beberapakali mengundang tawa kecil beberapa aparat keamanan di pinggir lapangan. “Kalau orang baru kenal pasti enggak betah sama saya. Jadi sebelum mereka minta saya (melatih), duduk bersama dulu orangtuanya. Kalau di lapangan saya (seperti) pakai helm. Saya enggak mau tahu itu anak presiden, pejabat, kalau salah ya saya omelin. Jadi harus commit dulu bahwa di lapangan dia anak gue. Mau gue apain kek, mau dikatain, enggak boleh marah,” kata Julisa kepada Historia. Melatih di IM jadi rutinitas Julisa di usia yang tak lagi muda. Setelah pensiun dari pemain pada 1992, ia sempat masuk kepengurusan Perbasi di Bidang Pembinaan Wanita hingga Bidang SDM dan Sertifikasi (1994-2014). Pernah pula ia melatih timnas U-16 pada 2013 dan U-18 setahun setelahnya. Julisa M. Rastafari tak segan bersikap keras terhadap anak-anak didiknya. (Fernando Randy/Historia). Darah Atlet Ibu dari pilar timnas basket putra Andakara Prastawa Dhyaksa itu juga lahir dari ayah seorang olahragawan. Ia lahir di Jakarta, 30 Juli 1962 dari pasutri Tuti Basuki dan Mursanjoto, kiper timnas Indonesia era 1950-an. Nama lahirnya Julisa Moertoetyana. Rastafari ditambahkan di belakang namanya setelah ia dipersunting pelatih basket legendaris Rastafari Horongbala pada 1991. Belakangan diketahui, ternyata ia masih sepupu dari sprinter legendaris Mohammad Sarengat. Dalam program “Impact” yang dipandu Peter Gontha pada 2007, Sarengat berkisah bahwa ayah Sarengat yang merupakan petenis Prawirosuprapto, merupakan ipar dari Mursanjoto. “Dia (Mursanjoto) awalnya dari IM juga. Jadi darah olahraga orangtua menurun ke saya. Tapi kenapa saya lari ke basket, mulanya gara-gara diledekin kakak saya waktu SD. Sama kakak saya sering diajakin main basket tapi pakai bola tenis. Tempat lilin dijadikan ring mini. Tapi sering dicurangin karena saya enggak ngerti aturannya,” kenangnya. Maka ketika beranjak SMP, ia mulai menseriusi bola basket, termasuk memahami aturan-aturannya, dengan mengikuti ekstrakurikuler di sekolahnya, Santa Theresia. Di situ pula ia mengenal latihan keras hingga membuatnya nyaris kapok main basket. “Pelatihnya di (SMP) Santa Theresia kebetulan bagus. Darnoto, adiknya Ary Sudarsono (pebasket legendaris nasional dan pembawa acara). Galaknya minta ampun. Sadis itu pelatih. Sempat saya ngambek enggak mau basket lagi. Terus ketemu Mas Ary Sudarsono. Dia bilang, mental kamu kecoa! Begitu ‘doang’ ngambek enggak mau basket lagi,” tutur Julisa. Pertemuan dengan Ary Sudarsono itu jadi titik balik kiprahnya. Ia tertantang untuk berlatih lebih keras sembari menempa mental. Maka jika dibilang siapa orang paling berjasa bagi sepakterjangnya di luar keluarga, Ary Sudarsono jawabannya. “Ya karena itu tertantang. Dia bilang, siapa tahu sebentar lagi jadi pemain nasional. Saya pun lanjut latihan dan sering nambah sendiri latihannya. Kebetulan saya juga senang olahraga dari kecil. Stamina dan nafas terbantu dari kegemaran saya olahraga beladiri, mulai dari karate sampai pencak silat. Sempat juga saya ikut Merpati Putih (dilatih) sama Mas Poeng dan Mas Budi (mendiang guru besar Purwoto Hadipoernomo dan Budi Santoso Hadipoernomo) di SD Besuki 3,” imbuhnya. Bak nostalgia dengan masa-masanya menjadi pemain, Julisa kerap berlarian men-dribble bola untuk memberi contoh. (Fernando Randy/Historia). Prestasi di Manila Sejak diguyur wejangan Ary Sudarsono, perlahan tapi pasti kiprah Julisa melesat. Selain digembleng di tim SMP Santa Theresia, ia ditempa di klub pertamanya, Prambors, hingga masuk tim inti DKI Jakarta untuk Pekan Olahraga Pelajar Seluruh Indonesia (POPSI) hingga PON 1977. “Setelah POPSI saya masuk IM dan dari situ bisa terpilih seleksi timnas Perbasi untuk persiapan SEA Games 1983. Dari waktu ke waktu kita TC ( training camp ) di Malaysia. Setiap hari ketemunya tim Malaysia. Eh , enggak tahunya di SEA Games (edisi 1991) kita ‘ngalahin’ dia, hahaha …,” kata Julisa mengenang dibumbui tawa. Dari empat SEA Games, Julisa punya koleksi dua perunggu dan sekeping perak. Dua perunggu diraihnya bersama tim putri di SEA Games 1987 dan 1989. Sementara yang paling bernilai, satu perak, dipetiknya di SEA Games Manila 1991. Di ibukota Filipina itulah Julisa seolah menebus kegagalan ayahnya di Asian Games 1954 di kota yang sama. Timnas PSSI yang saat itu tergolong “macan Asia” justru gagal meraih medali. Catatan RSSSF , Mursanjoto yang tampil menggantikan Parengkuan di bawah mistar, tetap gagal membantu timnas menang di perebutan perunggu. Timnas PSSI keok 4-5 dari Burma (kini Myanmar). “Kalau dapat perunggu rasanya biasa saja ya. Tentu pas meraih perak yang paling berkesan buat saya dan paling saya banggakan. Saat itu kita enggak menyangka bisa mengalahkan Malaysia. Saat TC ketemunya dia terus. Malaysia juga sudah anggap kita di bawahnya dia. Kita juga berpikirnya rebutan perunggu lagi sama Filipina atau tim lain,” sambung Julisa. Di SEA Games 1991 yang bersistem klasemen itu, tim putri Indonesia menang empat dari lima partai yang dimainkan. Malaysia termasuk dari empat lawan yang mampu mereka bekap (Indonesia vs Malaysia: 58-49). Hanya saja, mereka takluk oleh Thailand (54-65) di partai penentuan medali emas. Dua puluh empat tahun lamanya prestasi itu belum pernah disamai apalagi dilewati oleh para penerus Julisa dkk. Baru pada SEA Games 2015, timnas putri di bawah manajer Augie Fantinus dan pelatih Bambang Asdianto Pribadi kembali membawa pulang medali perak. Julisa M. Rastafari bersama sepasukan asuhannya U-14 Indonesia Muda. (Fernando Randy/Historia). Julisa sendiri sempat punya nazar bahwa dia takkan bisa tidur nyenyak dan belum bersedia meninggalkan lapangan untuk melatih jika prestasi tim putri belum bisa menyamainya – medali perak SEA Games. Kini, ia sudah bisa tenang. “Bangga dan terharu melihat timnas basket putri yang meraih kembali perak di SEA Games 2015, kali pertama setelah 24 tahun. Peran Augie sebagai manajer timnas putri pantas diberi acungan jempol,” tulisnya dalam testimoni otobiografi sang manajer, Jump!: Dari Penonton Jadi Manajer Timnas Indonesia .
- Jagoan PKI Anti Peluru
PADA 19 September 1948, PKI dan aliansinya yang menamakan diri Front Demokratik Rakyat (FDR) melakukan gerakan bersenjata di Madiun. Menurut Soe Hok Gie, perebutan kota tersebut berlangsung sejak jam 02.00. “Pagi-pagi pada 19 September, pemerintah RI ditumbangkan…” ungkap sejarawan muda asal UI itu dalam Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan . Sehari kemudian Kolonel Djoko Soedjono, salah satu tokoh FDR, menegaskan bahwa tindakan-tindakan di Madiun bukanlah suatu pemberontakan. Dia menyebut istilah gerakan itu sebagai bentuk koreksi dari para pemuda revolusiener. Namun pemerintah RI di bawah Sukarno-Hatta terlanjur menganggapnya sebagai suatu upaya kudeta. Karena dianggap makar, maka pemerintah RI mengerahkan kekuatan militernya guna menumpas gerakan tersebut. Salah satu pasukan yang ditugaskan untuk menghancurkan kekuatan FDR adalah Divisi Siliwangi yang saat itu tengah berhijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta. Sejak awal Oktober 1948, unit-unit Siliwangi sudah bergerak memburu Tentara Merah (istilah untuk kekuatan militer di bawah FDR) ke Madiun. Tanpa perlawanan yang berarti pada 30 September 1948, Madiun bisa dikuasai lagi oleh pasukan pemerintah. “Mayor Sambas Atmadinata dengan Batalyon Kian Santang-nya dan Peleton I MA (Akademi Militer) memasuki kota Madiun…”tulis Himawan Soetanto dalam Perintah Presiden Sukarno: “Rebut Kembali Madiun…” Gerakan pasukan pemerintah usai menguasai Madiun dilanjutkan dengan operasi perburuan orang-orang FDR ke wilayah-wilayah sekitar Madiun. Laiknya di Madiun, kekuatan FDR di kota-kota lain pun seolah tak bertaji dan selalu berhasil dipukul mundur oleh pasukan Siliwangi. Saat pembebasan suatu kawasan dari tangan FDR, unit-unit Siliwangi dan pasukan pemerintah lainnya melakukan penangkapan terhadap sejumlah tokoh PKI. Mereka terdiri dari prajurit, perangkat desa, lurah dan camat yang diangkat oleh FDR begitu Insiden Madiun meletus. Pada 18 Oktober 1948, giliran Blora jatuh ke tangan pasukan pemerintah yang diwakili oleh Batalyon Kala Hitam dari Divisi Siliwangi. Seperti biasanya, saat pembebasan sebuah kawasan, terdapat sejumlah musuh yang menjadi tawanan. Menurut Mayjen TNI (Purn.) Rachwono (saat itu masih seorang kadet di MA), salah seorang tawanan terlihat bersikap menantang dan seolah tak mau menyerah. Seorang prajurit Kala Hitam kemudian membawa tawanan itu ke tengah alun-alun Blora yang sudah dipenuhi kerumunan rakyat. Dengan menggunakan sepucuk pistol, dia kemudian menembak jagoan PKI itu dari jarak sekitar 30 meter. Dor! Peluru mengenai kening. Namun dia sama sekali bergeming. Hanya asap tipis yang nampak terlihat di sekitar kepalanya. Melihat pemandangan tersebut, seorang sersan berlari ke arah tawanan itu, menuntunnya ke tempat lain lalu dia mundur. Begitu berjarak sekitar 8 meter dari sang tawanan, dia berhenti seraya mengeluarkan pistol mitrailleur Scmeiser kaliber 9 mm dari sarungnya. Pistol dikokang lalu ditarik pelatuknya. Klik. Hanya itu yang terdengar. Dipicu lagi. Klik. Hingga tiga kali ditembakan, pistol itu sama sekali tak berfungsi. Semua yang hadir menjadi bingung termasuk Mayor Kemal Idris, komandan Yon Kala Hitam. Di tengah kebingungan itu, seorang komandan peleton menghampiri Mayor Kemal. “Ada apa, Mayor?” tanyanya. “Itu tawanan mita mati,” jawab Kemal. Tanpa banyak cakap lagi, sang Danton mencabut pistol Parabellum kaliber 9 mm dari sarungnya. Dia melambaikan tangannya kepada tawanan itu supaya mendekat. Seperti kerbau dicocok hidungnya, sang tawanan berjalan pelan menghampiri. Begitu dekat, sang Danton lalu menempelkan pistolnya ke kening jagoan PKI itu. Thek! Thek! Dua kali dipicu kembali pistol tidak berbunyi. “Punya ilmu ya?” tanya sang Danton. “Ndak…” jawab tawanan. Pistol dikokang lagi. Laras ditempelkan kembali ke kening tawanan. Dor! Kali ini dia terjengkang dan langsung roboh tak berkutik lagi. “Rupanya, jawaban “ndak” dari sang jagoan merupakan kunci pelepasan ilmu kebalnya sehingga dia mati sesuai permintaannya…” ungkap Rachwono dalam sebuah dokumen pribadinya. Mayor Kemal Idris termasuk orang yang kerap melihat kejadian aneh seperti di alun-alun Blora. Saat membebaskan Pati (pada Oktober 1948 juga), dia pun terlibat dalam kejadian serupa. Bahkan menurut Kemal, kejadian itu bukan saja disaksikan masyarakat banyak dan puluhan anak buahnya namun juga melibatkan mata perwira Australia Kolonel Stewart, seorang peninjau dari Komisi Tiga Negara (KTN). Itu nama sebuah lembaga yang dibuat PBB untuk mengawasi gencatan senjata antara Belanda-Indonesia pasca Perjanjian Renville. “Dia pun sampai heran dan bingung melihat kejadian itu,” ujar Kemal Idris dalam biografinya, Bertarung dalam Revolusi yang disusun oleh Rosihan Anwar, Ramadhan K.H. , Ray Rizal dan Dien Madjid. Ceritanya, seorang benggol (jagoan) PKI berhasil ditangkap. Setelah melalui pengadilan kilat, diputuskan dia mendapat hukuman mati. Maka eksekusi pun dilangsung di alun-alun Pati dengan disaksikan banyak orang. Namun berkali-kali ditembak dengan menggunakan berbagai jenis senjata (termasuk senapan otomatis), si benggol tetap segar bugar. Giliran Letnah Ahmad yang kemudian mencoba untuk mengeksekusi tawanan kebal peluru itu. Saat berhadapan dengan sang benggol , terjadilah dialog. “Kemana kawan-kawan kamu?” tanya Letnan Ahmad. Si benggol diam seribu bahasa. “Kalau kamu diam saja, kamu saya tembak!” hardik Letnan Ahmad. “Tembak saja,” ujar tawanan dalam nada tenang. Letnan Ahmad mengeluarkan sebutir peluru dari magasin pistolnya. Setelah menggesek-gesekannya ke tanah, peluru itu dimasukan kembali ke magasin. “Kamu mau mati ya?” “Ya.” Sang letnan kemudian mengarahkan pistol ke dada sang benggol . Dor! Suara pistol memecah ketegangan. Tawanan terhukum mati pun terpental. Dia langsung tewas seketika. Di Punung, Pacitan, para kadet MA mengalami kejadian serupa. Seperti dikisahkan oleh Daud Sinjal dalam Laporan Kepada Bangsa Militer Akademi Yogya , tersebutlah seorang lurah pro PKI yang diputuskan pengadilan kilat harus dihukum mati. Lurah yang dikenal sebagai seorang warok (jawara) itu lantas menghadapi regu tembak dengan sikap jumawa. Benar saja ketika ditembak, sang lurah sama sekali tidak mati. Alih-alih mati, darah yang keluar dari batok kepalanya malah dihirup kembali dengan tenangnya. Untunglah dalam situasi kritis itu, seorang tua menghampiri kadet Suhardiman. Dia kemudian berbisik,” Den Hardiman, dia punya aji-aji hitam di kolornya.” Jimat itu kemudian diambil. Hukuman tembak dilanjutkan. Barulah pada tembakan ke-4, sang warok itu tewas bersimbah darah.
- Gamelan Rantang dari Pengasingan
Kamp Tanah Merah terletak di pedalaman hutan kawasan atas aliran Sungai Digul yang penuh buaya. Jaraknya kira-kira 160 km dari Merauke, empat malam jika naik sampan. Pada Maret 1927, kapal dari Surabaya berlayar menuju tempat itu membawa rombongan besar pertama tahanan politik Belanda. Mereka yang dikirim ke kamp adalah orang-orang yang membangkang terhadap pemerintah kolonial Belanda. Salah satu dari para tahanan rombongan pertama itu adalah Pontjopangrawit. Seorang seniman sekaligus pejuang kemerdekaan dari Surakarta. Di Tanah Merah, Pontjopangrawit membuat seperangkat gamelan yang di kemudian hari dikenal sebagai Gamelan Digul. Kaleng-Kaleng Susu Di Kamp Tanah Merah, para tahanan harus membangun rumah sendiri. Mereka menebang pohon untuk papan dan tiang dengan dua kilogram paku dan besi-besi yang sudah berkarat. Paku dan perkakas bangunan itulah yang dimanfaatkan Pontjopangrawit untuk membuat gamelan. “Ia mula-mula membuat gamelannya dari kaleng tempat susu bubuk (yang tentunya didatangkan dari Ambon) sebagai pengganti bonang-bonangnya. Rebabnya terbuat dari kaleng sardine dan kulit binatang, karena ia tidak bisa menemukan isi perut atau kantung empedu kerbau, begitu juga tidak ada separoh tempurung kelapa yang bisa digunakan untuk membuat perut rebab,” tulis Margaret J. Kartomi dalam Gamelan Digul di Balik Sosok Seorang Pejuang . Sementara itu, untuk membuat gong gedhé kemodhong , Pontjopangrawit dan kawan-kawannya menggunakan periuk tanah besar, yang biasa digunakan di dapur. Periuk itu ditaruh di dalam sebuah kotak kayu, dengan dua bilahan-nada berjendul dari besi. Gong dipasang bergantung pada rentangan tali di atasnya. Kaleng-kaleng susu yang dipakai untuk dua bonangnya, pada akhir 1920 diganti dengan rantang besi yang sangat berat. Menurut Makmud Amin, eks Digulis yang diwawancarai Kartomi, Pontjopangrawit berhasil mendapat rantang buatan Belanda yang bagus dan tidak lagi dipakai oleh penduduk Belanda di Hindia. “Rantang tentu saja berbunyi lebih bagus dan lebih panjang daripada kaleng susu yang tidak ada harganya. Sampai hari ini pada umumnya bunyinya masih tetap murni dan stabil,” sebut Kartomi. Gamelan Digul dicat warna hijau dan kuning. Namun analisis sayatan melintang pigmen menunjukan bahwa sebelumnya gamelan tersebut berwarna hijau muda. Awalnya gamelan ini juga tidak diberi nama sepeti gamelan-gamelan lain. Nama “Gamelan Digul” disematkan untuk membedakannya dengan gamelan perunggu lain di Universitas Monash, lokasi gamelan itu saat ini. Rantang besi digunakan untuk bonang barung. (Chrish Basile/Arsip Departemen Musik Universitas Monash). Hari Buruh Di kamp, Gamelan Digul sering digunakan untuk mengiringi pertunjukan kesenian Jawa seperti wayang orang dan ketoprak. Menurut Kartomi, Gamelan Digul menjadi sarana hiburan, kesibukan kesenian, dan kegembiraan di tengah kehidupan kaum buangan. Membuat mereka merasa agak longgar dari kerasnya kehidupan di kamp. Mas Marco Kartodikromo, penulis yang juga diasingkan ke Digul hingga meninggal karena malaria, menyebut gamelan ini dalam bukunya berjudul Pergaulan Orang Buangan di Boven Digoel . “Pada 1 Mei 1928 orang-orang itu mengadakan perayaan untuk memperingati Hari Buruh tanggal 1 Mei dan menyelenggarakan berbagai pertunjukan seperti gamelan, musik, barongan, liongan, sport padvinder (kepanduan) dst. Gamelan dibuat dari rantang seng oleh Pontjopangrawit, buangan dari Solo,” tulis Marco. Pada Hari Buruh itu, kebetulan pukul delapam pagi kapal Segah datang membawa 98 buangan baru. Pertunjukan yang sedang diadakan kemudian sekaligus untuk menyambut orang-orang baru tersebut. “Tapi gara-gara penyambutan yang luar biasa ramainya itu, orang-orang baru terpaksa dijemur di tanah lapang dari pukul 8 sampai pukul 12 siang, dan baru sesudah itu mereka disuruh datang ke Interneeringskamp . Banyak di antara mereka menderita pusing kepala karena terlalu panas, sedang anak-anak banyak yang menangis,” sebut Marco. Malamnya, orang-orang menonton tonil, pandu, musik hingga wayang orang. Namun pertunjukan dibubarkan pasukan militer. “Kurang lebih 400 orang lelaki dipaksa jongkok, berjajar lima-lima, lalu digiring ke tangsi, dimasukan gudang gabah. Semalam suntuk mereka tak dapat tidur. Paginya mereka diperintahkan mengangkut zink dari motorboot milik kapal Segah yang baru datang,” tulis Marco Perayaan Hari Buruh itu mengakibatkan tiga orang dihukum lima hari yaitu Siswoditardjo, Brotosiswojo pendiri perkumpulan wayang orang, dan Pontjopangrawit, pembuat gamelan. Kempul pada Gamelan Digul. (Annette Bowie/Arsip Departemen Musik Universitas Monash). Dibawa ke Australia Pada 1932, Pontjopangrawit menjadi salah satu tahanan yang dibebaskan dan dikirim pulang ke rumahnya di Surakarta. Sedangkan gamelan buatannya tetap berada di kamp dan dimainkan kawan-kawannya. Gamelan Digul kemudian dibawa ke Australia pada masa pendudukan Jepang. Para eks Digulis memainkan gamelan ini dan alat musik Indonesia lainnya seminggu sekali di Hotel Metropole, Melbourne pada 1943 sampai 1945. Hubungan Indonesia dan Australia kala itu juga sedang mencapai puncaknya. Gerakan kemerdekaan Indonesia didukung oleh para pelaut dan aktivis serikat buruh Australia. “Dukungan Australia pada perjuangan Indonesia melawan kekuasaan kolonial telah mendekatkan kedua bangsa ini menjadi lebih akrab. Maka Gamelan Digul boleh dipandang sebagai lambang persahabatan yang kuat antara rakyat Australia dan Indonesia,” sebut Kartomi. Pada 1945, para eks Digulis dan aktivis politik kembali ke Indonesia. Sementara itu, Gamelan Digul ditinggal di Australia. Pada 1946, gamelan tersebut disumbangkan ke Museum Victoria. Kemudian menjadi milik Departemen Musik Universitas Monash pada 1977.
- Curhat Habibie ke Nasution
SEKALI waktu Profesor Bacharuddin Jusuf Habibie mendatangi Jenderal TNI (Purn.) Abdul Haris Nasution. Saat itu, Nasution belum lama pensiun dari TNI. Seingatnya pertemuan dengan Habibie terjadi pada awal 1970. Habibie sendiri kala itu tengah menjabat sebagai Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). “Habibie datang mengeluh kepada saya. Dengan idealismenya telah ia programkan pembuatan pesawat-pesawat keperluan pertanian (penyemprotan) yang diperlukan oleh program Bimas (Bimbangan Massal Penyuluhan Pertanian, red. ) kita, dan ia usahakan kredit dari Jerman untuk itu,” kenang Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 8: Masa Pemancangan Orde Pembangunan. Habibie menuturkan gagasannya kepada Nasution tentang pengembangan teknik pertanian dengan bantuan pesawat penyemprot lahan. Dalam upaya itu, Habibie kerap mendapat sikutan. Alih-alih dieksekusi, gagasan Habibie justru mentah ditangan koleganya sesama pejabat. Habibie juga mengatakan cadangan peralatan pesawat AU pada era Sukarno masih banyak yang bisa dimanfaatkan. Pemeriksaan dan perawatan pesawat-pesawat itu tidak perlu dibawa ke Hongkong tapi bisa dikerjakan di Indonesia. Habibie telah menghadap menteri-menteri bersangkutan dan pejabat tinggi lainnya. Tetapi satupun dari mereka tiada yang memberi respon positif. Menurut Nasution, usaha Habibie mentok karena Departemen Perhubungan tidak bersedia membangun fasilitas pemeliharaan pesawat-pesawat lama dengan kredit dari Jerman. Padahal, persediaan alat-alat untuk fasilitas itu amat banyak dan masih tersimpan dalam peti-peti. Jika digunakan akan banyak yang bisa diperbuat. Tampaknya, departemen terkait lebih senang memperbaikinya di Hongkong. Pada akhirnya, alat-alat itupun tidak terpakai dan hilang digerogoti atau rusak. “Rupanya pula overhaul (pemeriksaan) di luar negeri merupakan satu vested interest tertentu, ” kata Nas. Bagi Nas vested interest (kepentingan poribadi) dalam program pemerintah adalah “hama” paling berbahaya, penyakit yang begitu dikutuk oleh Angkatan 66. “Sedih rasanya jika kita menyadari bahwa telah tumbuh vested interest baru pada tubuh kekuasaan Orde Baru,” kenang Nas dengan nasa prihatin. Habibie memang punya kedekatan secara pribadi dengan Nasution. Bagi Habibie, Nas adalah kolega sekaligus pamong. Padahal, Habibie tidak punya banyak rekan dari kalangan yang berlatar belakang militer. Tentang rapatnya relasi dengan Habibie, Nasution pernah mengisahkan. “Keluarga Habibie dari dulu dekat dengan saya,” kata Nas dalam Jenderal Tanpa Pasukan, Politisi Tanpa Partai: Perjalanan Hidup A.H. Nasution. Hubungan itu semakin dipererat dengan tali kekeluargaan. Mantan ajudan Nasution, Soedarsono (terakhir berpangkat mayor jenderal) menikah dengan Sri Rejeki yang merupakan adik Habibie. Soedarsono selama beberapa tahun menjabat Kepala Pelaksana Harian Otorita Batam yang dibentuk oleh Habibie. Nasution sendiri juga sering berkunjung ke rumah keluarga Habibie yang berada di Kuningan, Jakarta Selatan. Hubungan keduanya tidak lantas putus ketika pemerintah memusuhi Nasution yang tergabung dalam kelompok oposisi Petisi 50. Di masa itu, kiprah Habibie melesat sebagai Menteri Riset dan Teknologi dan mengepalai sejumlah proyek besar pemerintah di bidang industri berat. Dalam perantaraannya, Habibie berperan mencairkan kebekuan hubungan rezim Orde Baru dengan tokoh-tokoh kritis seperti Nasution dan Ali Sadikin Pada 1993, Habibie menggelar silahturahmi Hari Raya Idul Fitri dengan kelompok Petisi 50 di kediaman Nasution. Dalam suasana itu terlihat Habibie cukup dekat dengan keluarga Nasution. Disitulah Habibie lantas berinisiatif mengundang para tokoh Petisi 50 berkunjung ke PT PAL –dimana Habibie sebagai direktur utama– yang membuat Ali Sadikin terharu. “Saya lebih cenderung melihat B.J. Habibie sebagai orang bertakwa,” ujar Nasution dikutip Tempo, 12 Juni 1993. “Habibie dengan rencana positif itu berniat baik untuk memperoleh masukan dari berbagai pihak atas apa yang dikerjakan.” Dan setelah itu pula, kehormatan terhadap Nasution mulai dipulihkan. Untuk pertama kalinya sejak 1980, Nasution dikunjungi sejumlah pejabat tinggi militer. Mereka antara lain Menhankam Jenderal TNI Edi Sudrajat, Menko Polkam Jenderal TNI Soesilo Soedarman, Panglima ABRI Jenderal TNI Feisal Tanjung, dan lainnya. Pihak ABRI pun secara resmi menyatakan penghentian status cekal terhadap Nasution.*
- Pasang-Surut Hubungan Bali dengan Bangsa Asing
HINGGA kini, Bali masih menjadi ujung tombak pariwisata Indonesia. Bagi warga asing tak lengkap rasanya jika mengunjungi Indonesia tanpa menikmati suasana Bali. Gelar salah satu ‘surga dunia’ pun tak ayal disematkan kepada pulau di sebelah timur Jawa tersebut. Data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Bali menunjukan bahwa tiap tahunnya jumlah kunjungan pelancong asing ke Bali selalu meningkat. Hingga Juli 2019, dilansir bali.bps.go.id , telah ada 3,4 juta kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali. Walau menjadi destinasi terfavorit di Indonesia, tidak semerta-merta menjadikan Bali sebagai daerah yang aman. Dari daftar kota-kota teraman tahun 2019 yang dipublikasikan Majalah CEOWORLD, di situs resminya ceoworld.biz , bulan Agustus lalu, Bali menempati urutan 212 dari 334 kota di dunia. Namun sejarah bangsa ini mencatat rakyat Bali abad ke-16 hingga abad ke-18 merupakan sosok masyarakat yang ramah. Jaminan perlindungan dan keamanan didapatkan oleh orang-orang Belanda dan Inggris yang berkunjung ke sana. Mereka membuka selebar-lebarnya kesempatan bagi para penjelajah itu membangun kehidupannya di Pulau Dewata. Hubungan Erat Kontak pertama rakyat Bali dengan bangsa asing dimulai sekitar abad ke-16. Kapal penjelajah Belanda Cornelis de Houtman tercatat merapat di pantai Bali pada 25 Januari 1597. Selama 30 hari lamanya de Houtman beserta anak buahnya menjelajah sebagian besar pulau itu. Ia lalu mencatat semua hal yang dilihat dan didengarnya dalam sebuah laporan perjalanan, yang kemudian oleh peneliti Belanda Cornelis Lekerkerker dalam Bali en Lombok: Overzicht der Litteratuur Omtrent deze Elianden tot einde 1919 , disebut Bali Verslag . Menurut Made Sutaba, dkk. dalam Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Bali , Cornelis de Houtman dan awak kapalnya diterima dalam suasana yang baik oleh masyarakat Bali. Hal itu tentu membuat de Houtman terkejut. Mengingat selama ini kedatangannya selalu mendapat penolakan dari masyarakat di daerah-daerah yang ia singgahi. “Kunjungan Cornelis de Houtman di beberapa tempat sebelumnya boleh dikatakan kurang berhasil. Ia disambut dengan penuh kecurigaan oleh masyarakat setempat sehingga menimbulkan beberapa insiden,” tulis Sutaba. Keramahan penguasa serta rakyat Bali diterima baik oleh de Houtman. Ia lalu mengutus dua orang bawahannya, Lintsgentsz dan Manuel Rodenberch untuk menyampaikan rasa hormat dan memberikan sejumlah buah tangan kepada Raja Gelgel. Dalam Sedjarah Hukum Internasional di Bali dan Lombok: Pertjobaan sebuah Studi Hukum Internasional Regional di Indonesia , E. Utrecht menyebut jika tindakan de Houtman itu merupakan percobaan pertama Belanda menjalin hubungan diplomasi dengan salah seorang raja di Pulau Bali. “Namun kesempatan ini rupanya belum dimanfaatkan untuk mengadakan suatu traktat atau kontrak antara kekuatan politik Belanda dengan salah seorang raja Bali,” ungkap Sutaba. Pada saat de Houtman meninggalkan Bali, Manuel Rodenberch dan seorang kawannya, Yacob Claess, tidak turut serta. Keduanya memutuskan untuk tinggal lebih lama di Bali. Mereka bermaksud meneliti masyarakat di sana dan membuat laporan yang lebih rinci mengenai kehidupan di Bali. Pada 1601, Belanda singgah di Bali untuk kedua kalinya. Kali ini Cornelis van Heemskerck yang dipercaya memegang kendali kapal. Meski beda pimpinan, kedatangan orang-orang Belanda ini tetap disambut dengan hangat oleh masyarakat Bali. Menurut Utrecht kedatangan Heemskerck merupakan tindak lanjut dari hubungan sebelumnya. Dalam kesempatan ini Heemskerck menyampaikan surat dan hadiah dari Pangeran Maurits (memerintah 1590-1625) untuk penguasa Bali. Sebagai balasan, raja Bali menghadiahi Heemskerck seorang gadis bangsawan Bali. Walau mulanya sang kapten menolak, namun berkat saran dari Rodenberch akhirnya diterima pula. “Sebab bila hadiah itu ditolak berarti suatu penghinaan kepada raja Bali, sehingga dapat menimbulkan keretakan dalam hubungan yang telah terjalin baik itu.” Mengalami Keretakan Seiring waktu berjalan, hubungan Bali dengan orang-orang Eropa semakin erat terjalin, terutama sekitar abad ke-17 dan abad ke-18. Hal itu disebabkan oleh peningkatan jumlah perdagangan budak di Bali. Umumnya para budak ini dikirim ke tempat-tempat strategis yang menjadi pusat pemerintahan Belanda, seperti Batavia, Maluku, dan Sumatera. Di kalangan orang-orang Eropa budak dari Bali cukup terkenal. Budak laki-lakinya dikenal memiliki kesetiaan yang besar dan keinginan belajar yang tinggi. Sementara budak perempuan Bali dikenal sebagai pengasuh yang baik, serta pandai dalam melakukan perawatan kesehatan. Setelah H.W. Daendels (1808--1811) menduduki jabatan gubernur jenderal, Belanda memulai serangkaian penguasaan di Nusantara, tidak terkecuali Bali. Daendels berusaha mendirikan pemerintahan kolonial di sana. Ia memulainya dengan mengirim Van den Bahl sebagai konsul dan pengawas perdagangan di Bali. Ketika Sir Thomas Stamford Raffles (1811-1816) mengambil alih kekuasaan, peraturan perdagangan budak di Bali dihapuskan. Bukannya senang, hal itu malah mendapat reaksi keras dari raja Buleleng dan Karangasem. Dua kerajaan itu lalu melakukan serangan terhadap orang-orang Inggris di Banyuwangi. Mengetahui penyerangan itu, Raffles merespons balik dengan menundukkan Buleleng dan Karangasem. Setelah itu kerajaan-kerajaan di Bali menyutujui gagasan penghapusan perbudakan di wilayahnya. “Namun demikian rupanya perdagangan budak masih berlangsung terutama oleh orang-orang Cina,” ungkap Utrecht. Tahun 1817 rombongan Belanda pimpinan Van den Broek tiba di Bali. Ia bermaksud mendirikan pangkalan dagang di sana. Namun, usahanya itu mengalami kegagalan karena sikap raja-raja Bali yang mulai berubah terhadap orang-orang Eropa. Kesalahpahaman yang sebelumnya jarang terjadi pun kini menjadi hal yang lumrah, dan kecurigaan-kecurigaan terhadap orang-orang Eropa mulai menumpuk di dalam diri rakyat Bali. Tahun 1824, melalui perantara pedagang Arab, Belanda berusaha membujuk raja-raja Bali membuka wilayahnya untuk perdagangan mereka. Tawaran tersebut ternyata ditolak oleh sebagian besar raja-raja Bali. Pada 1827, J.S. Wetters berhasil mendapatkan kepercayaan dari para penguasa Bali. Ia pun akhirnya mendapat kepercayaan untuk mengatur perdagangan di pulau itu. Rupanya kelonggaran dari penguasa Bali itu dimanfaatkan oleh Belanda untuk memperlemah hukum di Bali. Mereka mencoba menanamkan kekuasaan mereka secara mutlak di Bali. Namun, berbagai usaha pelemahan itu selalu berujung kegagalan. “Pada saat itu Bali hanya mengenal satu hukum saja, yaitu hukuman mati. Di samping itu kesewenang-wenangan seorang raja tidak dapat dirubah sedikitpun,” tulis Sutaba. Puncak retaknya hubungan Belanda dengan rakyat Bali terjadi saat para kolonial itu mencampuri urusan internal kerajaan-kerajaan di Bali. Pemerintah Belanda sebelumnya telah memutuskan untuk memperoleh pengaruh politik di sana. Bagi mereka cara terbaik untuk melakukannya hanyalah dengan turut ambil bagian di dalam pemerintahan raja-raja Bali. Sebagian penguasa dan rakyat yang tidak menghendaki hal itu terjadi akhirnya menentang keras tindakan orang-orang Belanda. “Usaha Belanda untuk ikut berperan dalam pemerintahan kerajaan Buleleng tampak dalam berbagai perjanjian. Tujuan sebenarnya ialah untuk menjerat secara diplomatis supaya Bali dapat dijajah dengan mudah tanpa mempergunakan intervensi bersenjata karena yang terakhir ini akan memerlukan biaya dan kurban yang besar,” tulis Sutaba.






















