Hasil pencarian
9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Bagaimana Gajah Mada Menjadi Mahapatih?
ARYA Tadah, patih amangkubhumi Kerajaan Majapahit sedang sakit. Dia tak enak hati karena sering absen menghadap Tribhuwana Tunggadewi. Dia pun mengajukan pengunduran diri, tapi Sang Rani menolak. Arya mendekati Gajah Mada agar suka menjadi patih, tapi bukan amangkubhumi. “Seganlah saya. Jika nanti sepulang dari Sadeng, saya baru mau. Maafkanlah segala kesalahan saya. Mudah-mudahan saya bisa,” jawab Gajah Mada. “Baiklah anakku, dalam segala kesulitan kau akan saya bantu,” janji Arya. Gajah Mada kemudian berangkat ke Sadeng untuk memadamkan pemberontakan terhadap Majapahit. Jika berhasil di Sadeng, dia akan terima tawaran seniornya itu. Namun, alangkah sedih hatihnya ketika mengetahui pengepungan Sadeng telah terjadi sebelum kedatangannya. Ra Kembar mendahului Gajah Mada. Mendengar berita itu, para menteri dan patih sangat marah. Patih amangkubhumi lalu mengirim utusan seorang mantra bersama 30 orang untuk mencegah Kembar dan pasukannya agar tak menyerbu Sadeng. Ketika utusan datang, Kembar sedang duduk di atas batang kayu di dalam hutan. Posisinya seperti orang mengendarai kuda. Tangannya membawa cemeti. Para utusan menyampaikan pesan patih amangkubhumi agar menghajar Kembar karena mendahului perintah kerajaan. Bukannya gentar, Kembar malah memecut dahi utusan itu. Untungnya utusan itu segera berkelit, bersembunyi di balik batang kayu. “Kembar tiada takut kepada tuanmu!” kata Kembar. Mendengar ucapan itu, para utusan kembali dan menyampaikan ujaran Kembar itu. Untuk menghindari sengketa antara Kembar dan Gajah Mada yang sedang kecewa, Sang Rani datang ke Sadeng memimpin tentara Majapahit. Kemenangan atas Sadeng pun akhirnya tercatat atas nama Sang Rani. Nagarakrtagama hanya mencatat sepintas bahwa pemberontakan di Sadeng terjadi pada 1253 Saka atau 1331 M. Serat Pararaton mencatat tahun yang sama lewat candrasangkala, kaya bhuta non daging artinya seperti raksasa melihat daging. Dalam Nagarakrtagama , peristiwa Sadeng disatukan dengan peristiwa di Keta. Sementara dalam Pararaton penundukan Keta tak disinggung sama sekali. Hal yang sama dijumpai dalam pemberitaan tentang penumpasan pemberontakan Nambi dan Wiraraja di Pajarakan dan Lumajang. Penumpasan itu dilakukan dalam rentetan dan dianggap sebagai satu peristiwa saja. Menurut arkeolog Agus Aris Munandar, baik Sadeng maupun Keta ada di wilayah Besuki. Dalam Gajah Mada Biografi Politik, Agus menjelaskan ketika Gajah Mada diminta jadi patih oleh Arya Tadah, dia telah berkedudukan sebagai Patih Daha (Kadiri), salah satu wilayah paling penting Majapahit. Hayam Wuruk sebelum jadi raja, kemungkinan ditunjuk oleh ibunya untuk memimpin wilayah itu. “Dia sangat mungkin ditunjuk sebagai penguasa Daha dan didampingi oleh Gajah Mada,” tulis Agus. Adapun Kembar menurut Agus punya alasan kenapa menyerang Sadeng mendahului Gajah Mada. Dia berkeinginan juga menjadi patih amangkubhumi menggantikan Arya Tadah. Namun, pada akhirnya tetap Gajah Mada yang diangkat sebagai patih amangkubhumi. Sementara Kembar menjadi bekel (koordinator) para mantra araraman (kekuatan bersenjata pemukul musuh). Para pahlawan Majapahit lainnya, seperti Jaranbhaya, Jalu, Demang Buncang, Gagak Minge, Jenar, Arya Rahu, dan Lembu Peteng menjadi pejabat setingkat tumenggung. Setelah menjadi patih, Gajah Mada mengucap Sumpah Palapa di balairung istana di hadapan para pembesar Majapahit. Namun, mantan patih Arya Tadah malah mengoloknya. Dia bersama Jabung Tarewes, Lembu Peteng, Kembar, dan Warak, menertawakannya. Gajah Mada tak terima lalu ke halaman istana menantang Kembar yang congkak. Dalam perkelahian, Gajah Mada menewaskan Kembar. Begitu juga Warak, Jabung Tarewes dan Lembu Peteng. “Dengan demikian melalui sumpah itu Gajah Mada telah membuka jalan mempersatukan Nusantara,” tegas Agus.*
- Ikhtiar Mengubah Wajah Film Silat Indonesia
Sheila Timothy, produser perusahaan film Lifelike Pictures, memperoleh tawaran mengejutkan dari Vino Giovani Bastian, aktor sohor sekaligus adik iparnya, pada 2015. Tawaran dari Vino berupa memfilmkan cerita silat laris Wiro Sableng karya Bastian Tito, ayah Vino. Lala, panggilan akrab Sheila Timothy, seperti memperoleh kembali serpihan masa lalunya ketika mendapat tawaran itu. Lala mengaku masa remajanya tumbuh bersama film-film silat. “Karena termasuk angkatan tua, saya suka nonton film silat zaman dulu. Saya suka sejarah,” kata Lala kepada Historia . Dia juga punya mimpi suatu hari nanti ingin mencipta film aksi dan fantasi. Dia menilai tawaran Vino cukup menarik. “Tapi saya takut untuk memfilmkan Wiro Sableng . Saya masih ragu-ragu. Saya tahu untuk membuat Wiro Sableng jadi film yang keren pasti butuh persiapan matang, riset mendalam, dan budget yang tak sedikit,” ungkap Lala. Padahal saat itu Lala belum pernah sekalipun membaca buku Wiro Sableng . Dia hanya tahu Wiro Sableng dari sinetron televisi dekade 1990-an. Vino kemudian memberi Lala sepuluh buku Wiro Sableng. Lala membacanya dan langsung jatuh hati. “Pak Bastian punya style sendiri. Cara dia bercerita itu detail. Karakter tokohnya, kostum, dan perguruan si tokoh. Saya jatuh cinta dengan ceritanya,” terang Lala. Dia berpikir jika Wiro Sableng beralih rupa menjadi film akan cemerlang. Ketakutan Lala perlahan sirna. Dia mulai berani wujudkan mimpinya. Dia menghubungi teman-temannya seperti Yayan Ruhian, instruktur silat; Adrianto Sinaga, desainer produksi; dan Aria Prayogi, komposer musik. Ketiganya nama tenar pada bidangnya masing-masing dan bersedia membantu Lala. Kepada Yayan, Lala mengatakan ingin silat di Wiro Sableng berbeda dari film-film silat umumnya. “Silat itu beauty . Banyak filosofinya. Bukan violence ,” kata Lala. Lalu dia berdiskusi dengan Adrianto tentang detail produksi seperti konsep seni, ilustrasi, komik, game , latar tempat, senjata, dan arsitektur bangunan. Terakhir dia menemui Aria untuk memintanya menghadirkan musik yang sesuai dengan cerita Wiro Sableng . Lala dan teman-temannya berupaya menuju ke satu titik: menghadirkan wajah Indonesia dalam Wiro Sableng . “Film ini harus kelihatan Indonesia. Jangan sampai penonton malah berpikir, ‘kok film Hongkong sih, kok film Korea sih’,” kata Anto, panggilan akrab Adrianto Sinaga. Adrianto Sinaga, production designer Wiro Sableng, di kantor Historia . (Dok. Sheila Timothy). Film Silat Masa Lalu Ikthiar Lala dan teman-temannya serupa dengan segelintir idealis perfilman nasional masa lalu. Mereka punya kepercayaan bahwa film silat juga mampu mengetengahkan wajah dan permasalahan tentang keindonesiaan. Buat mereka, film silat bukan sekadar alat dagang dan hiburan bermutu rendah. Kehadiran film silat di Indonesia tak lepas dari pengusaha film berdarah Tionghoa. “Ada kemungkinan mereka yang membawa film-film itu ke Indonesia pada saat bisnis film mulai berkembang pada 1920-an,” kata Sofian Purnama, pengajar mata kuliah kajian film Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Banyak film impor dari negeri Tiongkok menghadirkan kuntao (salah satu ilmu beladiri dari Tiongkok) sebagai unsur utama. Film-film seperti ini kurang berkutat pada jalan cerita dan urusan estetik, tapi mempunyai banyak penggemar dari kalangan bawah. Tergiur dengan kelarisan film silat Tiongkok, pengusaha film di Hindia Belanda berupaya menerapkan resep ala film silat Tiongkok. J.B. Kristanto, kritikus sohor film, mencatat ada beberapa judul film bertema silat produksi dalam negeri selama 1930-an. Antara lain Si Ronda, Si Pitoeng , dan Delapan Djago Pedang . Dua judul pertama mengangkat cerita tentang jago silat lokal di Batavia. “ Si Pitoeng jadi pola film silat berlatar Betawi,” tulis J.B. Kristanto dalam Katalog Film Indonesia 1926-1995 . Sedangkan Delapan Djago Pedang bercerita tentang para ahli kuntao. Resep laris ala film silat Tiongkok mulai dapat lawan pada 1953. Masa ini mencatatkan kesan berbeda pada film silat berjudul Harimau Tjampa produksi Perfini, perusahaan film pimpinan Usmar Ismail, tokoh film idealis. Harimau Tjampa tak lagi menjadikan silat sebagai unsur utama dalam film. Unsur kekerasan berkurang, sementara penceritaan memperoleh porsi tambahan. Tapi jalan ceritanya masih mirip kebanyakan film silat: tentang balas dendam. “Dengan dendam terhadap pembunuh ayahnya, Lukman berguru silat di Kampung Pau,” demikian J.B. Kristanto mendeskripsikan jalan cerita awal Harimau Tjampa . Film ini mengambil latar alam Sumatra Barat dan memakai bakaba —cara bercerita tradisional masyarakat Minangkabau— untuk menghadirkan wajah Indonesia. Dan untuk itu pula, bebunyian alat musik tradisional Minangkabau diperdengarkan dalam film ini. Hasilnya, panitia Festival Film Asia di Singapura pada 1955 memberi film ini penghargaan kategori musik terbaik. Selain itu, Harimau Tjampa juga menyabet penghargaan dalam Festival Film Indonesia 1955 untuk skenario terbaik. Setelah keberhasilan Harimau Tjampa, produksi film silat dalam negeri justru menghilang. Kalaupun ada, film silat itu bermutu rendah. “Film silat tidak dibuat berencana dan massal sehingga lekas saja dilupakan orang,” tulis Kompas , 5 Mei 1971. Film-film silat dari negeri Tiongkok, Hongkong, dan Jepang mengisi kekosongan pasar film silat dalam negeri. Penonjolannya pada kekerasan, darah, eksploitasi tubuh perempuan, dan seks. Keadaan ini berlangsung hingga akhir 1960-an. Saat bersamaan, produksi film nasional turun drastis. “Pada tahun 1967 film impor mencapai 499 judul, sedangkan film nasional hanya berjumlah 6 judul saja,” catat Haris Jauhari dalam Layar Perak 90 Tahun Bioskop di Indonesia . Penyebabnya, masyarakat enggan menonton film Indonesia. Mereka menilai film Indonesia tidak bermutu. Karena film nasional sepi penonton, pengusaha film kesulitan memutar modal untuk bikin film. Keadaan ini mendorong Menteri Penerangan mengeluarkan kebijakan Nomor 71/SK/M/1967. Isinya kewajiban importir film menyisihkan uang sebesar 250 ribu rupiah untuk tiap satu film asing yang mereka impor mulai 1 Januari 1968. Dana itu akan masuk kas Dewan Produksi Film Nasional (DPFN), kemudian menjadi modal bagi pengusaha film nasional untuk memproduksi film. Salah satu hasilnya ialah film silat berjudul Djampang Mentjari Naga Hitam pada 1969. Film ini berasal dari cerita silat bersambung karya Zaidin Wahab di harian Api Pancasila pada 1967. DPFN memilih cerita ini lantaran cerita silat ini punya banyak pembaca dan menampilkan hal-hal yang dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia seperti makanan, bebuahan, alam, dan masalah-masalah sosial yang biasa ditemui di Indonesia. Pertimbangan lainnya ialah besarnya selera publik pada film-film silat. Lilik Sudjio, sutradara Djampang Mentjari Naga Hitam , mengatakan bahwa selera publik boleh saja diikuti. “Asal kita mampu memberi variasi,” kata Lilik dalam Kompas, 22 Januari 1969. Untuk menghindari latah dan hal klise seperti dalam film silat Tiongkok dan Jepang, dia menekankan pentingnya kreativitas. “Dengan silat saja akan membosankan,” lanjut Lilik. Cerita film Djampang Mentjari Naga Hitam masih sekitar pembalasan dendam dan kemenangan kebaikan atas kejahatan. Tapi tim DPFN berupaya menonjolkan segi estetis silat dengan melibatkan instruktur silat dari Korps Pentjak Silat DCI Djaja. Latar keindahan alam dan kekayaan busana Nusantara tampil sebagai unsur penguat film ini. Kekerasan, darah, eksploitasi tubuh perempuan, dan seks hanya memperoleh ruang minimal. Sehingga film ini diikutsertakan dalam sejumlah festival film di luar negeri seperti Kairo (Mesir) dan Frankfurt (Jerman). Ikhtiar DPFN bikin film silat bermutu baik tak menyentuh pengusaha film. Sebagian besar pengusaha film justru memproduksi film silat dengan pakem lama yang itu-itu saja: kekerasan, darah, eksploitasi tubuh perempuan, dan seks. "Ini dimaksudkan penuh sebagai film silat. Dramanya bukan soal yang penting," kata Tati Widodo, produser Tati and Sons film yang memproduksi film Tjisadane dalam Kompas , 9 Agustus 1971. Film itu memuat adegan penari sensual dan ciuman panas. Asrul Sani, sutradara film sohor, mengkritik keras perilaku jumud semacam itu. Menurutnya, terus berpaku pada pakem yang itu-itu saja merupakan sebentuk bunuh diri. “Bangsa yang tidak kreatif adalah yang tenggelam dalam lubuk yang airnya tidak mengalir lagi dan makin lama makin berbau busuk, untuk akhirnya berubah jadi racun yang membunuh bangsa itu sendiri,” tulis Asrul dalam “Sikap Kreatif dalam Pembuatan Film Indonesia” termuat di Surat-Surat Kepercayaan . Bertahun-tahun kekerasan, darah, seks, dan eksploitasi tubuh perempuan mendominasi film-film silat. Kini Lala dan kawan-kawannya berupaya mengusung kreativitas dalam film silat Wiro Sableng . Janji Lala dan kawan-kawan Wiro Sableng akan berbeda dari film silat yang sudah-sudah. Mereka coba menghadirkan wajah Indonesia lewat elemen sejarah, fantasi, aksi, dan komedi. Benarkah? Mari tunggu penayangan Wiro Sableng pada 30 Agustus 2018 nanti di bioskop.
- Semesta Wiro Sableng Menyapa Dunia
AKSI pendekar konyol tapi sakti, Wiro Sableng, akhirnya turun gunung ke layar perak. Film garapan Lifelike Pictures berdurasi 123 menit ini diputar perdana pada Senin (27/8/2018) petang di Epicentrum XXI, Jakarta Selatan. Namun, film ini baru resmi tayang di seluruh biskop pada 30 Agustus 2018. Film Wiro Sableng diangkat dari novel karya Bastian Tito yang terbit pertama kali pada 1967 dan mencapai 185 judul. Cerita silat ini pernah difilimkan pada 1980-an dan sinetron pada 1990-an. Kali ini, Wiro Sableng diperankan oleh Vino G. Bastian, anak bungsu Bastian Tito. “Ini mungkin yang dimimpi-mimpikan keluarga saya. Bahwa Wiro Sableng bisa kembali dengan level sebesar ini. Mungkin tiap orang yang membaca buku Wiro Sableng punya bayangannya masing-masing tentang sosok Wiro yang sempurna. Tapi seperti yang Sinto (Gendeng, guru Wiro) bilang, enggak ada yang sempurna di dunia ini,” kata Vino dalam konferensi pers pasca press screening film berjudul Wiro Sableng, Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 . Vino berharap film Wiro Sableng bisa ikut menginspirasi perfilman Indonesia ke depannya untuk dikenal dunia. Suami aktris Marsha Timothy ini mendedikasikan filmnya untuk mendiang ayah yang meninggal pada 2 Januari 2006. Asa Vino itu bersandar pada distributor film ternama, 20th Century Fox, yang berhasil digandeng Lifelike Pictures demi bisa mengglobalkan Wiro Sableng. “Ini pengalaman yang luar biasa bisa bekerja sama dengan mereka (Lifelike Pictures). Kami merasa kualitas film ini sebagus film luar negeri (Hollywood),” kata Kurt Rieder, Wakil Presiden Eksekutif Asia Pasifik 20th Century Fox. Yang patut dibanggakan, semua detail film digarap anak-anak bangsa. Mulai dari ilustrasi dan tata suara, efek visual, CGI dan tentunya mengenalkan beladiri asli Indonesia, pencak silat. Koreografi silat ditangani Yayan Ruhian, yang juga memerankan tokoh antagonis, Mahesa Birawa, dengan dibantu Cecep Arif Rahman, pemeran karakter jahat lainnya, Bagaspati. “Ada banyak jurus yang kita hadirkan di film ini. Tapi kita tetap mengacu pada apa yang ada di buku. Kita tidak melihat jurus-jurusnya dari aliran-aliran tertentu, tapi kita melihat inilah Wiro Sableng, inilah pencak silat Indonesia dan kami mencoba membuat gerakan-gerakannya tidak hanya menarik tapi juga mudah diikuti anak-anak muda. Karena film ini kan juga bisa ditonton anak-anak umur 13 tahun ke atas,” terang Yayan. Kebanggan lain dari film ini seperti diakui produser Sheila “Lala” Timothy adalah keterlibatan desainer terkemuka dunia, Tex Saverio, yang bikin kostum Jennifer Lawrence di seri Hunger Games , kostum Lady Gaga, Kim Kardashian, dan banyak lagi. Sheila Timothy, produser Lifelike Pictures penggarap film "Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212" (Foto: Randy Wirayudha/Historia) “Saya yang approach ke Tex dan dia menyambut dengan baik dan sangat antusias sekali,” kata Lala Timothy. “Tentu bangga banget dia bisa kerja sama untuk film Indonesia.” Tex Saverio mendesain kostum khusus untuk Bidadari Angin Timur, karakter yang diperankan Marsha Timothy. “Kalau di buku sosok Bidadari Angin Timur misterius. Kemudian Tex Saverio menerjemahkannya jadi fantasi,” kata Lala. Lala Timothy ingin menjadikan Wiro Sableng punya universe atau semestanya sendiri, ibarat Avengers (Marvel) atau Justice League (DC Comics). Di sinilah peran 20th Century Fox untuk membawa Wiro Sableng ke bioskop-bioskop mancanegara. “Saat saya mendekati Fox pada Februari 2016, yang kami tawarkan bukan hanya film, tapi universe yang turunannya banyak sekali. Bisa jadi sequels , komik, animasi, merchandise , action figure dan lain-lain. Bahkan Wiro Sableng juga sudah masuk mobile game. Wiro jadi pahlawan lokal pertama dunia di mobile game AoV (Arena of Valor). Itu visi yang awalnya saya tawarkan ke mereka,” pungkas Lala.
- Kala Soeharto Jadi Panglima (1)
SOEHARTO sumringah begitu mendengar dirinya akan ditugaskan ke medan tempur. Sebagai perwira lapangan, dia memang cukup berpengalaman dalam soal perang. Itu pula yang mengantarkannya menjadi Panglima Divisi Diponegoro di Jawa Tengah. Kali ini, Presiden Sukarno mendapuknya memimpin operasi militer pembebasan Irian Barat.
- Kala Nyonya Disangka Antek Belanda
SUATU malam, sekelompok orang bersenjata masuk secara paksa ke rumah Rohmah Soemohardjo Soebroto, janda Oerip Soemohardjo, di daerah Bausasran, Yogyakarta. Mereka menggasak harta benda Rohmah seperti emas dan uang perak Belanda. Kejadian itu membuat Rohmah dan anaknya trauma parah. Setelah Oerip yang meninggal karena serangan jantung, Rohmah menghadapi masa sulit. Revolusi membelah masyarakat jadi pro-republik atau pro-Belanda. Keberpihakan itu tak pandang ras, ada orang pribumi yang pilih membela Belanda, ada yang bersetia pada cita-cita kemerdekaan, ada pula Belanda yang mendukung kaum republik. Situasi jadi penuh kecurigaan. Rohmah, Dina Maranta Pantow (isrtri Mr. Sunario Sastrowardoyo, dan Saadah Alim (penulis asal Sumatera Barat) mengalami pahitnya jadi orang yang dicurigai. Kedekatan Rohmah dengan orang-orang Belanda membuatnya dicurigai para pemuda dan laskar-laskar sebagai pribumi pro-Belanda. Kecurigaan itu berangkat dari latarbelakang Oerip yang pernah jadi opsir KNIL dan keputusan Rohmah-Oerip mengadopsi anak perempuan berdarah Belanda bernama Abby. Kecurigaan makin bertambah karena Rohmah tidak menguasai bahasa Indonesia. Akibat kecurigaan itu, hampir tiap hari Rohmah dan Abby mendapat ancaman pembunuhan. Harta bendanya sering diminta paksa. Padahal, Rohmah punya banyak peran yang bisa membuktikan bahwa dirinya pro-republik. Ketika seorang istri prajurit republik datang meminta bantuan pengobatan suaminya yang terluka ke rumah Rohmah, misalnya, dIa langsung memberi bantuan. Rohmah juga acap membagikan obat khusus untuk anak-anak dan bayi. “Saya membantu sejauh kemampuan saya. Saya tidak membelot kepada penjajah,” kata Rohmah seperti dikutip Galuh Ambar Sasi dalam “Menjadi Manusia Indonesia: Pergulatan Identitas, Jejaring, dan Relasi Perempuan di Yogyakarta pada masa Revolusi” yang dimuat dalam Pluralisme dan Identitas. Namun, semua itu belum cukup membuktikan kalau Rohmah seorang pro-republik. Akibatnya, Rohmah terpaksa keluar dari rumah kontrakannya di Bausasran untuk menghindari berulangnya perampokan. Dia pindah ke Yap Boulevard, daerah permukiman tentara Belanda, yang membuatnya merasa jauh lebih aman dan dekat dengan teman-tamannya yang orang Belanda. Di Yap Boulevard, dia juga menerima secara cuma-cuma fasilitas seperti majalah, makanan, bahkan biskuit. Hal serupa juga dialami Dina Pantow ketika pindah ke Jakarta dari Ujung Pandang. Ketika anak-anak Dina hendak disekolahkan ke Perguruan Cikini yang terkenal sebagai sekolah “kaum republiken”, mereka tak diterima lantaran Dina berasal dari Sulawesi Utara dan dianggap tidak berjiwa republik. “Seakan-akan orang yang berasal dari Sulawesi Utara atau Indonesia Timur tidak ada yang berjiwa patriot,” kata Dina dalam kumpulan memoar perempuan Sumbangsihku Bagi Pertiwi. Padahal, semasa di Yogyakarta Dina menjadikan rumahnya sebagai tempat penampungan bahan makanan dan persembunyian para pejuang. Usaha ini membuat Dina nyaris ditembak Belanda. Sementara, Saadah mendapati keluarganya dicurigai pro-Belanda lantaran tak ikut mengungsi ke Yogyakarta semasa revolusi. Dari penuturan anaknya, Aida Hasnan Habib, Saadah dan keluarganya yang tetap tinggal di Jakarta mendukung anak-anaknya aktif menjadi relawan perjuangan kemerdekaan meski dicurigai pro-Belanda. Kakak-kakak Aida kala itu ikut menjadi sukarelawan medis, mengumpulkan bantuan logistik, bahkan ada yang menjadi prajurit. Kecurigaan pada Dina, Saadah, dan Rohmah muncul tanpa dasar yang kuat. Meski demikian, ketiganya tidak goyah. Mereka tetap setia pada republik meski harus mengalami diskriminasi sampai kekerasan. “Saya sadar saya harus tinggal demi suami saya. Nama suami saya harus tetap bersih tidak ternoda!” kata Rohmah menjelaskan besarnya godaan kala teman-temannya pindah ke Belanda.
- Gajah Sultan Banten
FRANCOIS VALENTIJN (1666-1727), misionaris dan naturalis Belanda, yang berkunjung ke Kesultanan Banten pada 1694 menyaksikan gajah sebagai salah satu hewan peliharaan sultan. Dia menggambar pemandangan Banten yang menunjukkan bahwa pada pertengahan pertama abad ke-17 terdapat seekor gajah di lapangan di bawah sebuah bangunan beratap. Sajarah Banten (pupuh 44) menyebutkan bahwa gajah itu bernama Rara Kawi yang diikat pada sebuah tonggak di panyurugan (galangan kapal kerajaan) di tepi sungai. Jean Baptiste Tavernier, pedagang dan penjelajah Prancis, berkunjung ke Banten pada Juli 1648. Dia menghitung ada 16 ekor gajah di bagian dalam istana Kesultanan Banten. Dia juga menyebut bahwa raja memiliki jauh lebih banyak gajah. “Mengingat bahwa keraton-keraton Jawa Tengah tetap meneruskan tradisi memiliki gajah sampai abad ke-20, kita memperkirakan bahwa tradisi ini tidak ditinggalkan di Banten meskipun sultan lebih percaya kepada persenjataan modern,” tulis Claude Guillot dalam Banten: Sejarah dan Peradaban Adad X-XVII. Hal itu terlihat ketika Cornelis Speelman diangkat menjadi gubernur jenderal pada November 1681. Sultan Banten menghadiakan seekor gajah kepadanya dalam upacara yang dianggap sama pentingnya dengan penobatan raja. Pada Januari 1681, datanglah rombongan kedutaan pertama Kerajaan Siam untuk Prancis ke Banten. Rombongan ini, yang kemudian mengalami kecelakaan di tengah laut dalam perjalanannya menuju Prancis, singgah di Banten untuk alasan teknis dan tinggal selama delapan bulan. Di dalam kapal tersebut terdapat dua ekor gajah yang ditujukkan untuk Raja Prancis, Louis XIV. Raja Siam itu, menurut Heriyanti Ongkodharma Untoro dalam Kapitalisme Pribumi Awal: Kesultanan Banten 1522-1684 Kajian Arkeologi-Ekonomi , menghadiahkan seekor gajah kepada sultan Banten. Hadiah ini bersifat politik dan dapat diartikan sebagai persahabatan antara dua kerajaan yang saling menghormati dengan kedudukan yang setara.
- Menghubungkan Titik Demi Titik
GUNA memahami kenapa pemerintah Belanda akhirnya memutuskan untuk mendanai sebuah investigasi/riset berskala besar tentang Perang Kemerdekaan Indonesia (1945-1950), kita perlu mengakui adanya akibat politik dari kasus-kasus pengadilan yang menggugat negeri Belanda. (Salah satunya kasus pengadilan Rawagede, diadvokasi K.U.K.B, yang memaksa pemerintah Belanda akhirnya membayar kompensasi kepada para janda yang suaminya dieksekusi secara massal pada masa Perang Kemerdekaan). Terlalu naif jika kedua hal tersebut dipisahkan. Investigasi/riset ini kelihatan seperti usaha tulus dan tegas dari Belanda yang pada akhirnya bertanggungjawab penuh pada kekejaman penjajahan. Meskipun begitu, pemerintah Belanda kerap mengutarakan keinginannya untuk melupakan masa lalu dan beranjak menatap masa depan. Tanpa tekanan dari kasus pengadilan yang sedang berjalan sekarang ini, pemerintah Belanda seperinya tak akan mau mendanai investigasi kasus itu lebih lanjut. Namun, bukannya mengakui rintisan dari ketua K.U.K.B. (Komite Utang Kehormatan Belanda), Jeffry Pondaag, para pimpinan proyek investigasi/riset tersebut justru menyingkirkan dan mengabaikannya. Kenapa bisa begitu? Saya pikir penelitian ini adalah strategi untuk meyakinkan dunia internasional bahwa pihak Belanda sedang melakukan hal luar biasa. Katakanlah seperti laporan pemerintah tahun 2004 berjudul “Melupakan masa lalu untuk janji masa depan” yang fokus pada perjanjian keuangan tahun 1966. Setahun setelah Soeharto naik tahta, Belanda mengatur kesepakatan yang membuat Indonesia membayar kerugian perusahaannya di Indonesia. Soeharto dikenal lebih pro-Barat dibanding Sukarno. Hingga kini, pandangan umum di Belanda yang menyebut sang presiden RI pertama itu berlaku bengis dengan menasionalisasi seluruh perusahaan Belanda pada 1957, masih hidup. Dalam narasi ini, sepertinya tak ada orang yang peduli apakah “properti-properti” kolonial ini sejak awal didapatkan secara legal. Lihatlah laporan tahun 2004 itu, kesimpulannya menyatakan bahwa wajar bagi Indonesia untuk membayar sejumlah besar uang kepada Belanda, seperti juga para bekas koloni Inggris yang melakukan hal sama. Dalam laporan Belanda ini, pertanyaan kritis terkait dengan pembayaran ini direkduksi dalam "logika sederhana hitam dan putih" yang tidak benar. Lebih lanjut, tahun 2008, pemerintah Belanda menolak klaim kasus Rawagede dengan alasan bahwa perjanjian tahun 1966 sudah mengakhiri segala kewajiban keuangan. Nampaknya, Belanda memasukkan perjanjian ini (yang hanya menguntungkannya) yang tak bisa dibatalkan sebagai bantahan. Oleh karena itu, mereka menganggap kompensasi pada para korban perang Indonesia adalah mustahil –menakjubkan, bahwa perjanjian 1966 dimaksudkan untuk menjamin pembayaran Indonesia kepada Belanda namun bukan untuk sebaliknya. Pengalaman pribadi saya membuktikan sikap pengabaian yang disengaja ini. Pada Juni 2016, Saya datang ke seminar di The Hague yang menghadirkan sepuluh profesional Indonesia dan Belanda secara bersamaan. Sebagai sebuah kelompok, kami diundang oleh Kementrian Luar Negeri Belanda untuk lebih mempelajari tentang hubungan bilateral kedua negara. Selama presentasi tersebut, pejabat pemerintah Hanjo de Kuiper tak henti-hentinya berbicara tentang masa depan. Menurutnya, inilah saatnya untuk beranjak; Belanda dan Indonesia pada akhirnya menjadi rekan yang setara. Dia juga mengucapkan terima kasih pada seluruh bantuan pembangunagn yang (diantara negara-negara lain) telah dilunasi Belanda, Indonesia bukan lagi negara berkembang. Namun De Kuiper juga memperingatkan bahwa Belanda (dengan bayangan standart moral yang lebih tinggi) akan tetap kritis terhadap kasus pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia yang sedang berjalan. Hanya ada satu slide presentasi power point yang merujuk pada topik hangat kejahatan perang Belanda di Indonesia. Slide itu menunjukkan gambar Bert Koenders, menteri luar negeri sebelumnya, yang mengunjungi para janda Rawagede. Gambar tersebut secara jelas melukiskan sebuah pertanggungjawaban. Tentu pada bagian ini tak menerangkan bahwa awalnya negara Belanda telah menolak klaim. Secara keseluruhan, rahasia umum – tentang berabad-abad pelanggaran hak asasi manusia Belanda terhadap Indonesia dan pembayaran hutang ke Belanda – diabaikan. Pertanyaannya sekarang, apa maksudnya ketika seorang pejabat Belanda menyajikan propaganda tentang kunjungan ke orang Indonesia itu hanya 4 bulan sebelum riset Rémy Limpach membuatnya merevisi pernyataan resminya? Dengan mantra tentang masa depan, De Kuiper tampaknya tak berpikir bahwa meneliti kekejaman penjajahan adalah kewajiban moral bagi Belanda untuk bisa beranjak. Menariknya, ketika proyek riset/investigasi itu akhirnya diluncurkan pada September 2017, saya melihat De Kuiper lagi. Dia duduk diantara penonton, tepat di belakang para pemimpin proyek. Saya heran bagaimana kebijakan pemerintah untuk mendanai penelitian baru tentang masa lalu itu bisa langsung mempengaruhi pandangannya. Sulit membayangkan bahwa slide, mantra menuju masa depan, dalam presentasi power point nya berubah secara drastis. Kemudian, pada Oktober 2017, bersama yayasan saya Histori Bersama, kami menyelenggarakan diskusi di Universitas Leiden. Diskusi ini tak hanya memberikan dasar bagi inisiasi Surat Terbuka ( OpenLetters ), tetapi juga memberikan kesempatan pada ketua K.U.K.B. Pondaag untuk menjelaskan motivasinya selama bertahun-tahun mendampingi para korban perang Indonesia, namun tak dianggap penting bagi para pemimpin proyek riset itu. Pondaag, yang berjuang bertahun-tahun untuk membangun kesadaran lebih besar tentang kasus korban perang Indonesia di Belanda ini, tidak diakui peran pentingnya, yang justru adalah pemicu sebenarnya adanya investigasi baru ini. Sekali lagi, De Kuiper ada diantara penonton, Duta Besar Indonesia Gusti Agung Wesaka juga berusaha datang. Dari kehadiran mereka saja, saya menggambarkan betapa sangat politisnya proyek riset ini. Baru-baru ini, The Jakarta Post memuat tulisan-tulisan tentang Surat Terbuka yang ditujukan pada pemerintahan Belanda akhir November lalu, “Mempertanyakan Investigasi”. Kebanyakan artikel tersebut secara optimis mengarahkan pada keuntungan yang mungkin didapatkan dari proyek riset itu, sementara mengabaikan hal spesifik dari Surat Terbuka tersebut. Sejak awal publikasi tulisan di Jakarta Post itu akan membuat orang berpikir bahwa Surat Terbuka itu mengkritik bahwa para peneliti harus menandatangani kontrak, mengikat mereka untuk memproduksi hasil tertentu untuk kepentingan pemerintah Belanda. Namun mereka yang benar-benar membaca Surat Terbuka itu akan tahu bahwa itu tak benar. Konflik kepentingan bukanlah soal perjanjian/kontrak tertulis. Saya pikir bahwa tak mungkin juga para peneliti yang terlibat akan mau menandatangani kontrak itu. Biarpun begitu, ketiadaan kontrak tertulis tersebut tak berarti tak ada yang perlu dikhawatirkan. Surat Terbuka secara jelas menerangkan hubungan politis apa yang mesti dipertimbangkan untuk memahami konstruksi besar proyek itu. Jadi, percuma Kedutaan Besar Belanda mengatakan kepada Jakarta Post bahwa “pemerintah tak punya perjanjian/kontrak (dengan para peneliti),” karena Surat Terbuka itu sejak awal tak menyisipkan soal keberadaan kontrak itu. Hal sederhana lain adalah pernyataan sejarawan Belanda Maarten Manse (“Memeriksa dekoloniasasi untu pemahaman lebih baik”, The Post , Jan. 23) bahwa: belum ada indikasi bahwa para peneliti yang bekerja sama dalam proyek ini beralih dari disiplin akademik mereka demi keuntungan politik.” Saya jadi heran apakah ia benar-benar membaca Surat Terbuka itu, yang tertera daftar semua faktor di balik titik berangkat riset yang problematis. Niat baik dan kompetensi akademik bukanlah masalah utama. Politiklah masalahnya. Tulisan ini sebelumnya dimuat di The Jakarta Post, 8 Februari 2018.
- Di Balik Lagu dan Bendera Pemersatu
DI tiga cabang olahraga Asian Games XVIII Jakarta-Palembang 2018 ini, Korea tampil bersama dalam satu tim. Mereka tampil di bawah bendera Unifikasi serta lagu kebangsaan “Arirang” , bukan bendera Korut-Korsel dan lagu kebangsaan masing-masing. Bendera Unifikasi, bendera putih bermotif Semenanjung Korea berwarna biru itu disepakati delegasi Korut dan Korsel pada 1989 dalam pembicaraan bilateral jelang Asian Games 1990. Bendera ini bakal dikibarkan dengan iringan lagu “Arirang” seandainya para atlet tim Korea Bersatu mendapat medali emas di cabang basket putri, dayung putra dan putri, serta kano/kayak putra dan putri. “Kalau lagu ‘Arirang’ itu dari lagu tradisional sejak zaman kerajaan (Dinasti Joseon). Tidak diketahui asalnya (penciptanya). Tapi karena lagu ini sudah banyak diketahui masyarakat di (Korea) selatan dan utara, maka lagu ini yang dipakai untuk tim bersama Korea,” ujar Bae Dong-sun, penulis dan peneliti sejarah modern Korean Cultural Center, kepada Historia . Para Suporter Tim Unifikasi Korea (Foto: INASGOC) Menurut Keith Howard dalam Perspectives on Korean Music , “Arirang” merupakan lagu rakyat yang pertamakali tercatat dalam manuskrip kuno pada 1756. Lagunya menceritakan legenda penguasa Semenanjung Korea 2000 tahun lampau. Rekaman pertama “Arirang” baru dibuat pada 1896 oleh antropolog Amerika Serikat Alice Cunningham Fletcher. Semasa pendudukan Jepang (1910-1945), “Arirang” dijadikan lagu pemberontakan terhadap penjajah. Hingga kini, lagu “Arirang” memiliki 60 versi. Baik Korsel maupun Korut sama-sama mendaftarkannya sebagai warisan budaya dunia UNESCO pada 2012. Ramainya Pendukung Tim Korea Bersatu Menyemangati Tim Basket Putri Unifikasi Korea yang Berasal dari Korea Utara dan Korea Selatan (Foto: INASGOC) Adapun soal bendera Unifikasi berwarna putih bermotif siluet Semenanjung Korea tanpa garis perbatasan, gagasannya sudah muncul sejak 1989. “Jadi awalnya perwakilan kedua pihak juga ingin turunkan tim bersama untuk Asian Games 1990, namun dibatalkan,” sambung Bae. Baru pada 1991 di Kejuaraan Dunia Tenis Meja ke-41 di Chiba, Jepang dan Piala Dunia Yunior kedelapan di Lisbon, Portugal bendera ini menaungi para atlet dari dua Korea. Bendera ini kembali mengiringi Kontingen Korea Utara dan Korea Selatan di upacara pembukaan Olimpiade Musim Panas 2000 di Sydney meski tak disertai turunnya tim bersama di cabang-cabang olahraganya. Pertamakali Tim Korea Selatan dan Korea Utara Berdefile sebagai Satu Kontingen pada Olimpiade Sydney 2000 Hal serupa kembali dipertontonkan pada pembukaan Asian Games 2002 di Busan, Korea Selatan, Olimpiade Musim Panas 2004 Athena, Olimpiade Musim Dingin 2006 Turin, Asian Games 2006 Doha, dan Olimpiade Musim Dingin 2018 Pyeonchang di mana tim Korea Bersatu turun di cabang hoki putri. Bendera Unifikasi ini sudah beberapakali mengalami perubahan. Kala bendera ini pertamakali muncul tahun 1991, desainnya mengikutsertakan Pulau Jeju di bawah motif siluet Semenanjung Korea. Pada tahun 2006, benderanya ditambahkan siluet Pulau Ulleungdo di kanan siluet semenanjung. Pada 2009, motifnya ditambahi Karang Liancourt atau Dokdo, rangkaian karang yang masih jadi sengketa antara Korea Selatan dan Jepang.
- Bela Negara dari Belantara Minangkabau
MESKIPUN menuai pro dan kontra, Kementerian Pertahanan tetap menyelenggarakan program bela negara. Padahal, pada 2006 pemerintah sendiri telah menetapkan 19 Desember sebagai Hari Bela Negara. Tanggal itu terkait sejarah PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) di Sumatera yang berdiri pada 19 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949. Kala PDRI menyambung nyawa Republik Indonesia, masyarakat Minangkabau telah membela negara dengan menjadi penopang PDRI. Pada 22 Desember 1948, PDRI diumumkan di Halaban, termasuk menyebutkan susunan kabinet. Namun, PDRI memilih nomaden untuk menghindar kejaran Belanda sembari menyuarakan Republik masih ada lewat radio transmitter dan mobiele x-mitter yang dioperasikan oleh AURI. Selama tujuh bulan, PDRI menjaga eksistensi Republik, dengan berpindah dari satu nagari ke nagari lainnya. Sepanjang itu pula, masyarakat di nagari-nagari yang didaulat menjadi ibukota menunjukan semangat kebangsaan dan cinta tanah air. Tercatat ada delapan nagari yang pernah menjadi ibukota PDRI. Di semua nagari, masyarakat menyambut dengan hangat dan bersahabat, menyediakan rumah-rumah untuk ditempati, surau sebagai ruang silaturahmi, rumah yang didaulat menjadi ‘istana’ untuk rapat kabinet, dan penyediaan makan yang cukup. Salah satu nagari paling lama dihuni Sjafruddin Prawiranegara dan rombongan PDRI adalah Bidar Alam di Solok Selatan. Selama lebih kurang 3,5 bulan, mereka mendapati loyalitas dan totalitas yang tak terbatas. “Di Bidar Alam kami mengadakan hubungan dengan luar. Membuat instruksi-instruksi, mengkoordinir perjuangan. Mengirimkan utusan-utusan, kurir-kurir, mengadakan kontak-kontak dengan pembesar-pembesar. Kami juga membentuk Komisariat Pemerintah di Jawa,” ujar Sjafruddin seperti tercatat dalam PDRI Dalam Khasanah Kearsipan . Selama di Bidar Alam, pejabat PDRI mendapat pengamanan dari anggota Badan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK). BPNK yang digagas Mohammad Hatta mengatur dan mengerahkan sumber daya yang ada sebagai pengaman dan mata-mata untuk melihat kedatangan Belanda. “Semasa PDRI, pengembala ikut menasbihkan diri mengamankan nagari Bidar Alam. Mereka diminta melapor kepada BPNK jika masuknya orang-orang yang mencurigakan,” jelas Ibnu Abbas, mantan komandan BPNK Bidar Alam, beberapa waktu silam. Selain itu, masyarakat juga memastikan logistik untuk pejabat PDRI. “Di sini tidak ada dapur umun. Tiap rumah disuruh membuat nasi bungkus tiap pagi dan sore hari. Kita berpesan kepada warga untuk menyediakan nasi bungkus paling telat 15 menit sebelum jam makan,” cerita Ibnu. Selain penyediaan nasi bungkus di tiap rumah, beberapa pemuda juga ditunjuk untuk berburu kijang dan rusa. Ibnu mengatakan, Alimin dan Afan sering ditunjuk menjadi pemburu. Punggawa PDRI seperti Supono dan Dick Tamini juga sering ikut berburu. Spontanitas pelayanan maksimal untuk PDRI juga ditunjukan oleh nagari-nagari lain yang pernah disinggahi dan dijadikan pusat pemerintahan. Intan Sari Datuak Magek Karajan, Ketua Perbekalan saat PDRI beribukota di Silantai, Kabupaten Sijunjung, diberi wewenang untuk menunjuk warga memasak. Nursani ditunjuk sebagai ketua masak. “Makanan kesukaan Pak Sjaf adalah gulai ikan,” timpalnya. Bahkan, ada di antaranya warga memberi hewan ternak seperti kambing karena bernazar atau berzakat. Dan warga yang panen padi, menyisihkan beras untuk kebutuhan dapur umum. Di masa PDRI, ada juga masyarakat yang memainkan peran sebagai tukang pijat dan tukang gendong para pemimpin PDRI. Pola-pola ini hampir terjadi di tiap nagari yang mendapat kesempatan menjadi ibukota. “Para pejuang di medan laga tidak mungkin memiliki tenaga untuk berperang tanpa dibekali nasi bungkus oleh kaum ibu dari dapur umum,” ujar Mestika Zed, sejarawan Universitas Negeri Padang. Mestika mengatakan, PDRI menjadi sebuah periode dimana panggung sejarah perjuangan kemerdekaan beralih dari kota ke pedesaan, ketika pemimpin mengungsi ke pedalaman, ketika perjuangan melibatkan partisipasi rakyat.
- Bastian Tito, Pendekar Cerita Silat
LARUT malam di rumah keluarga Bastian Tito. Anak-anak terlelap di kamarnya, sedangkan Bastian masih terjaga di depan mesin tik ruang kerjanya. Dia mengambil kertas dan memasukkannya ke mesin tik. Jarinya lincah menekan tuts huruf. “Suara ketikan beliau terdengar sampai ke kamar kami. Beliau mengetik kayak pakai 11 jari. Cepat sekali,” kata Vino Giovani Bastian, aktor sohor sekaligus anak bungsu Bastian Tito, bercerita tentang proses kreatif cerita silat (cersil) Wiro Sableng kepada Historia . Vino mengungkapkan dirinya saat itu masih berusia anak sekolah dasar. “Tahun 80-an ya, saya ingat Bapak saya itu menulis Wiro Sableng ketika anak-anaknya mulai tidur,” lanjut Vino. Bastian Tito lahir pada 23 Agustus 1945. Dia berdarah Minang dan merantau ke Jakarta sejak muda. Dia pindah untuk bersekolah dan mencari uang. Bakatnya berada di dunia aksara dan tumbuh sedari kelas 3 sekolah dasar. Bastian Tito menjajak pendidikan tinggi di Jakarta. Penampilannya setiap mau ke kampus atau tempat kerja selalu enak dilihat. Kemeja panjang, celana cutbray, dan sepatu bot mengilap lekat pada dirinya. Dia menyambi sebagai jurnalis di majalah hiburan Vista pada 1960-an untuk membiayai kuliah. Dan pada dekade yang sama pula, cersil pertamanya terbit. “ Wiro Sableng kali pertama terbit pada 1967,” kata Vino. Wiro Sableng bercerita tentang petualangan seorang lelaki muda bernama Wira Saksana untuk mencari makna hidup. Dia lihai bersilat, hasil tempaan bertahun-tahun dari Sinto Gendeng, gurunya. Sikapnya riang sehingga punya banyak teman, laki atau perempuan. Dia menggunakan kelihaiannya bersilat untuk menolong orang lemah dan menegakkan keadilan. Tapi di sebalik itu, Wira Saksana punya perilaku serampangan: asal bertindak dan sering bercanda dalam situasi genting, bahkan dengan musuh. Kadang dia labil, lain waktu malah kekanak-kanakan. Tingkahnya lebih mirip seorang tak waras atau sableng. “Karakter jenaka Wiro ini mirip Bapak. Kadang serius, kadang jenaka. Tapi ini bukan berarti bahwa Wiro itu Bapak saya,” kata Vino. Begitulah cara Bastian menampilkan jagoan utamanya. Seorang pahlawan dengan sifat-sifat urakan. Hati dan pikirannya berupaya condong pada kebenaran meski dengan cara tak lazim. Sebagai petualang, Wira Saksana menjelajah banyak negeri. Tidak hanya Jawa, melainkan juga Sumatera, Jepang, dan Tiongkok. Penggambaran Bastian terhadap tempat, budaya, dan masyarakat di tempat-tempat tersebut sangat detail. “Ya karena Bapak saya itu sebelum menulis, pasti riset. Tempat-tempatnya, sejarahnya, dan budayanya. Macam-macamlah. Mungkin ini terbentuk dari latar belakangnya yang seorang jurnalis,” ungkap Vino. Bastian tak secara khusus menyediakan waktu untuk riset lapangan. “Pokoknya setiap kali dia mengajak keluarga jalan-jalan, itulah juga waktu risetnya,” lanjut Vino. Selain riset lapangan, Bastian membaca buku tentang sejarah dan kebudayaan Jawa. “Bapak juga punya banyak kamus,” kata Vino. Ini menambah daya pikat cersil Wiro Sableng . Kelebihan lain Bastian ialah bahasa plastis dan kreatif. Misalnya Bastian mengambil nama-nama unik untuk tokohnya seperti Pangeran Matahari, Dewa Tuak, Bujang Gila Tapak Sakti, Tua Gila, dan Kakek Segala Tahu. Lebih menghibur lagi nama-nama jurus seperti Kunyuk Melempar Buah, Pukulan Matahari, dan Membuka Jendela Memanah Rembulan. Kekuatan cerita silat Semua ciri-ciri tadi mengingatkan orang pada cersil-cersil sebelum Wiro Sableng . Menurut sastrawan Ajip Rosidi cersil mempunyai sejumlah ciri antara lain ketegangan, realitas, dan bahasa yang hidup. Ketegangan terbentuk dari konflik fisik antar tokoh di cersil. Untuk membangkitkan ketegangan, detail perkelahian menjadi unsur penting. Penulis cersil harus mampu memainkan imajinasi pembaca pada seputar bunyi dan gerakan golok, tombak, dan pukulan. “Tapi tidak semua cerita silat itu hanya terdiri dari ketegangan melulu,” tulis Ajip dalam “Cersil yang Tegang, Plastis, dan Hidup Bahasanya Hendaknya Diperhatikan Ahli Sastra Indonesia”, termuat dalam Star Weekly , 8 Februari 1958. Hal menarik lainnya dari cersil terletak pada realitas cerita. “Semua kepandaian jago-jago adalah hasil latihan sekian puluh tahun dan bukan semata-mata keajaiban suatu ajimat,” lanjut Ajip. Segi realitas lainnya tergambar pula pada karakter para tokoh cersil. Pahlawan tak selalu sempurna. Ada juga yang kurang ajar. “Manusia-manusia dengan suka duka, percintaan, kekurangajaran, kepatriotan, tak ubahnya dengan suatu roman biasa,” catat Ajip. Segi menarik terakhir cersil berada pada kekuatan bahasa. Ajip menyebut satu nama beken: Oey Kim Tiang. Dia keturunan Tionghoa dan penyadur mumpuni cersil negeri Tiongkok. “Para sastrawan tertarik pada cerita-cerita silat buah tangannya, terutama karena bahasanya yang plastis,” tulis Ajip. Bisa dibilang bahasanya bukan bahasa sekolahan. Sederhana tanpa banyak bunga, tapi mampu menghidupkan dialog, deskripsi tokoh, dan pertempuran. Sementara itu, menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 2 , cersil mempunyai kekuatan pada tema pencarian makna hidup para tokohnya. “Dengan menerima kehidupan sebagai pengembara dengan segala gangguan yang diakibatkannya (jangan bicara tentang berumah tangga tetap), manusia melepaskan dirinya dari beban ruang dan mendaki jaringan yang lebih tinggi itu yang memungkinkannya melakukan kebajikan, sampai akhirnya menemukan rahasianya,” tulis Lombard. Apa yang diungkap oleh Ajip Rosidi dan Denys Lombard termuat dalam karya Bastian Tito. Seperti karya-karya cersil sebelumnya yang memuat unsur-unsur terbaik cersil, Wiro Sableng cepat memperoleh tempat di banyak orang. Ia bertahan lama sekali di memori pembaca. B. Rahmanto, seorang pengajar Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, bahkan menyarankan Wiro Sableng agar masuk ke sekolah sebagai jembatan antara pengajaran dan pembelajaran sastra pada 1996. Menurutnya pengajaran berbeda dari pembelajaran. Pengajaran selalu berupa instruksi satu arah dari guru ke murid berdasarkan kurikulum, sedangkan pembelajaran turut melibatkan kreativitas siswa. Untuk menjembatani pengajaran dan pembelajaran itu, karya seperti WiroSableng perlu digunakan di sekolah. “Karya itu ada dan banyak diminati orang. Mengapa tidak digunakan untuk menjembataninya,” kata B. Rahmanto dalam Pertemuan Ilmiah Nasional VII Himpunan Sarjana Kesusasteraan Indonesia (HIKSI) pada September 1996, termuat di Kompas , 5 September 1996. Saat bersamaan, Wiro Sableng mengalami ekranisasi atau pemindahan cerita bacaan ke dalam bentuk film. Wiro Sableng mulai tampil di layar kaca setiap hari Minggu pada 1996. Ini sebenarnya bukan kali pertama. Wiro Sableng pernah pula hadir di layar bioskop pada 1988, tapi kurang berhasil. Sementara sinetronnya di layar kaca berhasil menawan perhatian penonton. Ratingnya, menurut Kompas , termasuk tiga besar dalam acara Minggu. Vino bilang ayahnya merasa terhormat dengan segala alih-media karyanya. “Bapak tidak pernah mengatur harus begini, harus begitu. Karya seni tak bisa dibatasi. Beliau memberi kebebasan pada setiap orang untuk menafsir karyanya sepanjang tidak meninggalkan karakter dan ceritanya,” kata Vino. Meski Bastian telah meninggal dunia pada 2006, para pembaca Wiro Sableng berupaya tetap hidup bersama dengan cerita Wiro Sableng . Dan pada 30 Agustus nanti, Wiro Sableng akan menyapa para pembacanya dalam bentuk film bioskop. Vino, sebagai aktor pemeran tokoh Wiro sekaligus anak mendiang Bastian Tito, berharap bapaknya bisa menyaksikan dari jauh di alam sana. “Saya berharap Bapak senang dan bangga ada anak-anak muda yang melestarikan kembali karyanya. Inilah wujud penghormatan kami. Terimakasih atas karya besarnya, terimakasih Bapak Bastian Tito,” tutup Vino.
- Kerajaan Misterius di Pulau Sumatra
SRIWIJAYA tak lagi disebut dalam sumber luar negeri maupun prasasti lokal pada abad ke-14. Kerajaan itu telah bergeser ke pedalaman di hulu Sungai Batang Hari di mana raja Adityawarman meninggalkan arca dan prasasti dari tahun 1347. Setidaknya ada tiga kerajaan semenjak nama San-fo-tsi itu tak lagi kondang, yaitu Kerajaan Dharmaçraya, Palembang, dan Minangkabau. Menurut sejarawan Slamet Muljana dalam , Kerajaan Minangkabau didirikan oleh Adityawarman setelah berangkat ke Sumatra pada 1339. Sebelumnya, sebagaimana disebut Prasasti Manjusri (1341 M) di Candi Jago, dia menaklukkan Bali bersama Gajah Mada. Sebenarnya, Adityawarman adalah putra Majapahit, keturunan Melayu. Dia keturunan Mahamantri Adwayawarman. Darah Melayu dari Dara Jingga, putri Kerajaan Dharmaçraya. Namun, Adityawarman tidak berhasil menjadi raja di Dharmaçraya, tempat kakeknya memerintah. Di sana sudah ada raja keturunan Tribuwanaraja Mauliwarmadewa. “Adityawarman lalu mendirikan kerajaan baru di Pagaruyung,” tulis Slamet. Dari prasasti yang banyak ditemukan di daerah Minangkabau, dapat diketahui pada pertengahan abad ke-14 ada raja yang memerintah di Kanakamedinindra (raja pulau emas). Namanya Adityawarman. Pada 1347, setelah meluaskan kekuasaannya sampai Pagaruyung, Minangkabau, Adityawarman mengangkat dirinya menjadi maharajadhiraja bergelar Udayadityawarman atau Adityawarmodaya Pratapaparakramarajendra Maulimaliwarmadewa. Sebelum Adityawarman datang, telah ada dua kerajaan yaitu Dharmaçraya dan Palembang sebagai pelanjut kerajaan Melayu dan Sriwijaya. Keberadaan kerajaan itu diperkuat catatan dari Dinasti Ming. Kronik ini membedakan kerajaan Melayu dan San-fo-tsi. “Yang dimaksud dengan Kerajaan Melayu adalah kerajaan di daerah Jambi. Pusatnya di Dharmaçraya. San-fo-tsi ada di Palembang bekas Sriwijaya,” jelas Slamet. Sejarawan Anthony Reid dalam berpendapat, kemungkinan kerajaan Budha Raja Adityawarman memberi jalan bagi munculnya tradisi kekuasaan raja di Sumatra Barat bagian tengah. “Tradisi itu hidup berdampingan tetapi kurang harmonis dengan masyarakat Minangkabau yang matrilineal dan pluralistik,” tulis Reid. Sekira tiga abad setelah masa Adityawarman, raja-raja Minangkabau di Pagaruyung dikenal punya kharisma kuat bagi masyarakat pesisir, hampir di seluruh Pulau Sumatra. Sejak tahun 1660-an perwakilan Belanda di pantai barat Sumatra mulai berurusan dengan raja-raja itu, di sebuah tempat yang disebut “Negeri”. “Sementara Belanda yang menguasai Melaka untuk VOC setelah 1641 mengetahui, meski samar tentang penguasa Minangkabau di tempat yang mereka sebut Pagaruyung,” kata Reid. Thomas Diaz, salah satunya. Dia yang bekerja pada VOC, diutus Gubernur Belanda untuk Melaka, Cornelis van Quelbergh, pada 1683 pergi ke hulu Sungai Siak untuk menjalin hubungan dengan Raja Minangkabau. Peneliti masa kini, kata Reid, menyatakan kalau deskripsi Diaz tentang Pagaruyung tak sesuai dengan lokasi Pagaruyung modern di Sungai Selo, Tanah Datar. Sementara Pagaruyung yang dideskripsikan Diaz terletak jauh ke timur di Sungai Sinaman, antara Buo dan Kumanis. “Kemungkinan nama Pagaruyung dipindahkan ke lokasi sekarang, sekira akhir abad ke-17, sebagai persaingan kekuasaan yang dulu terjadi antara beberapa cabang kerajaan,” jelas Reid. Dalam perjalanannya itu, Diaz menempuh banyak bahaya. Menurut catatannya, dia harus melewati hutan belantara, gunung terjal, rawa-rawa, dan tumbuhan berduri untuk sampai di istana raja. Catatan Marco Polo Pada masa yang lebih tua, keberadaan kerajaan-kerajaan selain Sriwijaya dicatat pula oleh Marco Polo. Catatannya dia buat berdasarkan perjalanannya bersama ayah dan pamannya yang merupakan pedagang Venesia. Kata Reid, sebenarnya Marco Polo memberikan deskripsi yang relatif akurat kepada Eropa tentang pesisir utara Sumatra, meski banyak yang tak percaya pada kisahnya. Pulau Sumatra atau yang disebut Marco Polo dengan “Jawa Kecil” adalah daerah di Asia Tenggara yang dia tinggali cukup lama pada 1290-an. Kunjungan keluarga Marco Polo kala itu bertepatan dengan pembentukan negara pelabuhan Islam pertama di sepanjang pantai utara Pulau Sumatra. Di awal catatannya, dia menyebut ada delapan kerajaan di Pulau Sumatra yang memiliki bahasa masing-masing. Namun, dia hanya menjelaskan empat kerajaan. Pertama, Kerajaan Ferlec atau Perlak. Penduduknya menyembah berhala. Karena sering berhubungan dengan pedagang Saracen yang berlabuh di sana, para penduduk kota menganut ajaran Muhammad. Sementara penduduk desa masih hidup seperti binatang. Kedua, Kerajaan Basman atau Peusangan. Warga Peusangan mengaku setia pada Kubilai Khan. Namun, mereka tak mengirim upeti kepada kaisar Mongol itu. Lokasi mereka yang terpencil sulit terjangkau oleh utusan Mongol. Mereka hidup tanpa hukum dan menganut hukum binatang buas dan kejam. “Tak ada satu pun tempat di seluruh Hindia atau pun di wilayah lain yang lebih liar pernah ditemukan manusia yang begitu kecil sebagaimana yang ada di sini,” catat Marco Polo. Ketiga, Kerajaan Sumatra atau Samudera, yang kemudian dikenal sebagai Pasai. Marco Polo dan keluarganya lima bulan di sana, menunggu cuaca yang mendukung untuk melanjutkan perjalanan. Penduduk di sana memuja berhala dan orang-orangnya liar. Mereka punya raja yang kaya dan sangat berkuasa. Sang raja pun menyatakan dukungan pada Khan Yang Agung. Keempat, Kerajaan Dragoian atau Pidie. Kerajaan ini punya raja dan bahasa sendiri. Masyarakatnya juga menyatakan dukungan pada Khan Yang Agung. Mereka menyembah berhala. Keadaan Pulau Sumatra sudah berubah ketika Ibn Batuta sampai ke Kerajaan Samudera Pasai pada 1345. Kota yang dia catat dengan nama Sumutra itu, sudah diperintah seorang sultan. Mereka punya kadi dan ahli hukum. Sang sultan juga rajin sembahyang Jumat. “Sebuah kota yang besar dan indah, yang dikelilingi dinding dan menara-menara kayu,” ujar Batuta dalam catatannya yang disusun sepuluh tahun kemudian dalam perjalanan kembali ke Maroko.
- Operasi Jayawijaya, Kisah Invasi yang Tak Terjadi
Mayor Jenderal Soeharto menjadi rombongan terakhir pasukan ABRI yang bergerak dari Ambon menuju Teluk Peling, tempat pertemuan satuan amfibi. Dia menumpang kapal patroli Angkatan Kepolisian diiringi kapal penyapu ranjau dan kapal anti kapal selam milik ALRI. Di gugusan pulau lepas pantai Sulawesi Tengah itu, Soeharto tiba pada 5 Agustus 1962. Reputasi sang jenderal selaku Panglima Komando Mandala dalam pertaruhan. Rakyat Indonesia akan memperingati hari kemerdekaan, sementara Irian Barat masih dikuasai Belanda. “Sesuai dengan tugas yang telah ditentukan, selambat-lambatnya tanggal 17 Agustus 1962 bendera Merah Putih harus sudah berkibar di Irian,” kata Soeharto kepada Ramadhan K.H dalam Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Di Teluk Peling, semua unit armada laut yang tergabung dalam Angkatan Tugas Amfibi (ATA) 17 sudah siap siaga. Penyerbuan tinggal menunggu perintah Panglima Tertinggi. Soeharto harap-harap cemas. Jakarta masih belum memberikan keputusan. Perang terbuka di depan mata sementara jaminan menang belum pasti. “Kita ini hanya mampu menyusun satu kali kekuatan pukul yang terdiri atas darat, laut, dan udara. Lebih dari itu tidak bisa. Kita tidak punya cadangan” kata Soeharto kepada seluruh pasukannya. “Ibarat pertandingan tinju: sekali pukul dengan semua tenaga yang ada dan musuh harus KO.” Sandi Operasi: Jayawijaya Memasuki tahun 1962, pemerintah Belanda menolak berunding soal Irian Barat dengan Indonesia. Untuk memukul Belanda, sebuah operasi militer gabungan skala besar dipersiapkan. Operasi ini direncanakan di Markas Komando Caduad (kini Kostrad) di Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat pada Februari 1962. Di Markas Caduad terjadi perdebatan. Sebagian menghendaki kota industri minyak Sorong sebagai target penyerbuan. Sebagian lagi mengehendaki pulau Biak. Alasannya, Biak merupakan jantung pertahanan Belanda di Irian Barat. Pemilihan Biak memang sangat riskan. Di sana, militer Belanda memusatkan kekuatan Angkatan Laut sekaligus basis Angkatan Udara-nya. Menurut Julius Pour dalam Konspirasi Di Balik Tenggelamnya Matjan Tutul , markas operasional pasukan Belanda sengaja ditempatkan di Biak, berhadapan langsung dengan wilayah Republik Indonesia. Untuk menentukan target operasi diadakan rembug bersama Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi (KOTI), Mayor Jenderal Ahmad Yani. KOTI memutuskan Biak sebagai sasaran operasi besar-besaran (B-1). Sedangkan hari-H operasi ditetapkan bulan Agustus 1962. Kode operasi diberi sandi: Jayawijaya. Menurut Amir Machmud, Kepala Staf Gabungan II (bidang operasi) Komando Mandala, Soeharto sendiri yang menamai sandi Jayawijaya merujuk puncak tertinggi di Irian Barat. Selanjutnya, diadakan pembagian tugas masing-masing pimpinan komponen Mandala. Komodor (AL) Soedomo memimpin operasi amfibi; Brigadir Jenderal (AD) Rukman memimpin operasi pendaratan; Kolonel (AU) Leo Wattimena memimpin serangan udara. Sementara Panglima Mandala Mayjen Soeharto akan memimpin langsung operasi penerjunan ( airborne ). Skema Operasi Jayawijaya. Pulau Biak menjadi target invasi. Foto: Pusat Sejarah TNI Dalam buku SejarahOperasi-operasi Pembebasan Irian Barat karya M. Cholil, Operasi Jayawijaya akan diawali dengan serangan sporadis dari satuan lintas udara. AU Mandala mengincar basis militer vital di Biak lewat serangkaian pemboman dan penembakan. Selanjutnya, pasukan-pasukan komando melakukan penyerbuan serta pemburuan bebas oleh AL Mandala. Setelah Biak dikuasai, maka pusat pemerintahan di Kotabaru (Jayapura) harus direbut. Menurut rencana, hari-H jatuh pada tanggal 12 Agustus 1962. Namun karena perhitungan cuaca, mundur menjadi 14 Agustus. “Pokoknya sebelum Hari ulang tahun ke-17 Proklamasi Kemerdekaan, Irian Barat sudah harus di tangan Republik Indonesia,” ujar Amir Machmud dalam Otobiografi H. Amir Machmud: Prajurit Pejuang. Operasi Jayawijaya mengerahkan hampir seluruh kekuatan inti TNI. Dari AD, sebanyak dua puluh ribu pasukan dari berbagai divisi diturunkan. AL menyumbang 126 kapal meliputi: buru torpedo, kapal selam, kapal fregat, buru selam, kapal cepat torpedo, penyapu ranjau, tangker, kapal rumah sakit, termasuk 33 kapal pengangkut, dan tiga batalion (sepuluh ribu) pasukan elite marinir Korps Komando. Sedangkan AU mempersiapkan pesawat tempur tercanggih yang dibeli dari Uni Soviet antara lain: 38 unit bomber TU-16, 18 unit MIG-17, 6 unit P-51/Mustang, 1 Skuadron Gannet, dan 6 unit Albatros. “Operasi ini melibatkan personil pasukan sebanyak 70.000 orang,” tulis Saleh Djamhari dan tim pusat sejarah ABRI dalam Tri Komando Rakyat Pembebasan Irian Barat. Batal Seketika Di saat Soeharto hendak melaksanakan misinya, tetiba keluar perintah untuk menunda operasi. Di belahan bumi yang lain para negosiator Indonesia beraksi. Atas tekanan Amerika Serikat (AS), Belanda bersedia berunding dengan Indonesia. Pada hari-H Operasi Jayawijaya, 14 Agustus yang jatuhnya sama dengan 15 Agustus waktu New York, berita menyerahnya Belanda di meja diplomasi terdengar di Ujungpandang, Markas Komando Mandala. Perundingan yang dimediasi pemerintah AS dan PBB itu berbuah Perjanjian New York yang mengakhiri sengketa Irian Barat. Hasilnya, wilayah Irian Barat akan berada di bawah pemerintah Indonesia sedangkan Belanda harus angkat kaki. Pemerintahan transisi berlaku hingga pertengahan 1963. Kendati urung dieksekusi, persiapan Operasi Jayawijaya turut menentukan posisi tawar Indonesia. Menteri Luar Negeri Soebandrio, delegasi Indonesia dalam Perjanjian New York setidaknya mengakui hal ini. Dalam Meluruskan Sejarah Perjuangan Irian Barat , Soebandrio menuturkan, pesawat U-17 milik AS melintas dua kali ketika aktivitas militer TNI kian meningkat di Irian Barat. Pengintaian itu sengaja dilakukan. Potret dari udara memberikan gambaran betapa perang siap pecah. “Hasil pemotretan itu yang benar-benar memperlihatkan bagaimana Irian Barat sudah dikepung oleh armada Angkatan Laut Indonesia yang siap menyerang,” kata Soebandrio. Kesepakatan damai antara Indonesia dan Belanda ditindaklanjuti dengan genjatan senjata. Presiden Sukarno memerintahkan pengehentian permusuhan yang berlaku sejak 18 Agustus pukul 19.31 waktu Irian Barat. Seminggu kemudian, Mayor Jenderal Soeharto secara resmi membatalkan Operasi Jayawijaya.





















