Hasil pencarian
9600 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Duri dalam Daging Bernama Irian Barat
Mohammad Hatta, ketua delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) boleh bernapas lega. Hari itu, 27 Desember 1949, pemerintah Kerajaan Belanda bersedia mengakui kedaulatan negeri jajahannya yang telah merdeka: Republik Indonesia. Seremonial yang berlangsung di Istana Kerajaan Belanda di Amsterdam itu menyudahi konflik kolonial antara kedua negara. “Konferensi Meja Bundar adalah salah satu konferensi yang besar, yang memakan waktu beberapa bulan, dimana lebih dari 250 orang anggota delegasi dan penasihat atas salah satu cara terlibat,” tulis Pieter Drooglever dalam Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri . Perundingan yang pelik telah digelar sejak 23 Agustus sampai 2 November 1949. Ada tiga pihak yang menjadi delegasi dalam perundingan: Indonesia, Belanda, dan United Nations Commissions for Indonesia (UNCI) sebagai penengah. Delegasi Indonesia terdiri dari dua kelompok yaitu Republik Indonesia yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta dan Badan Permusyawaratan Federal (BFO) dengan Sultan Hamid II sebagai ketuanya. Sementara delegasi Belanda dipimpin oleh Menteri Wilayah Seberang Lautan Mr. Johannes Henricus van Maarseven. Meski demikian, kesepakatan damai itu tak serta merta mengakhiri sengketa. Pengakuan tersebut mengecualikan Irian Barat dari peta teritorial Indonesia. Pemerintah Belanda menangguhkan penyerahan wilayah itu ke dalam kekuasaan Indonesia. Kepentingan Belanda Ide Anak Agung Gde Agung adalah satu delegasi Indonesia dalam KMB dari kelompok BFO. Dalam buku Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia Serikat , Agung mencatatkan pengalamannya mengenai perdebatan dan situasi KMB. Sebagai tuan rumah, Perdana Menteri Belanda William Drees memimpin perundingan itu yang bertempat di Gedung Parlemen Rideerzaal (Bangsal para Ksatria) di Den Haag. Dari berbagai kesepakatan yang tercapai hingga tanggal 29 Oktober, perundingan terbentur pada pembicaraan tentang penentuan status kenegaraan wilayah Irian Barat. Keesokan harinya, persoalan Irian Barat kembali dirundingkan sebagai agenda pembicaraan terakhir. Perdebatan bermula ketika Menteri Maarseveen menerangkan bahwa masyarakat Irian Barat bukanlah bagian dari lingkungan Indonesia secara etnologis dan kultural. Selain itu, Maarseveen juga meragukan kemampuan Indonesia sebagai negara yang baru merdeka dalam membangun kesejahteraan rakyat Papua. “Dengan mengacu kepada keadaan penduduk asli yang masih terbelakang, ia (Maarseveen) menyatakan bahwa kepemimpinan Belanda di wilayah itu akan lebih baik dalam mengembangkan martabat masyarakat Irian Barat,” tulis Agung. Menurut Agung, sikap politik yang kuat dari pemerintah Belanda mempertahankan Irian Barat dipengaruhi situasi dalam parlemen Belanda. Partai Katolik yang saat itu menguasai parlemen Belanda menginginkan penguasaan Irian Barat di bawah kendali pemerintah Belanda yang juga didukung oleh golongan Protestan dan Partai Liberal. Hal ini dapat dipahami mengingat sejak tahun 1855 telah dimulai aktivitas penyebaran agama Kristen melalui missi (Katolik) dan zending (Protestan) di Irian Barat. Tetap dipertahankannya Irian Barat di bawah penguasaan Belanda dianggap sebagai bentuk tanggung jawab moral (politik etis) terhadap masyarakat asli. “Jika Irian Barat dimasukan ke dalam agenda penyerahan kedaulatan, dapat dipastikan ratifikasi hasil KMB di parlemen tidak akan mendapat dua pertiga suara mayoritas menurut ketentuan konstitusi Kerajaan Belanda,” ungkap Agung. Tak dapat dikesampingkan pula nilai strategis Irian Barat sebagai motif tersembunyi di pihak Belanda. Arti penting Irian Barat bagi pemerintah Belanda adalah untuk mengatasi masalah kepadatan penduduknya. Pemerintah Belanda merasa terbebani dengan banyaknya repatriasi orang Belanda dari Indonesia terutama kaum Indo-Belanda. Dalam surat-menyuratnya yang dibukukan berjudul Melintasi Dua Jaman , Elien Utrecht menyebutkan transmigrasi ke Irian Barat sebagai ruang hidup baru bagi kaum Indo-Belanda merupakan alternatif terbaik untuk mengatasi persoalan demografi ini. Ditinjau dari segi ekonomi, Irian Barat menawarkan daya tarik yang menjanjikan. Sejak tahun 1935, Belanda telah mengusahakan eksplorasi minyak bumi oleh perusahaan swasta NNGPM (Nederlandsche Nieuw Guinea Petroleum Maatschaapiij). Pusat pertambangan minyak NNGPM berada di Sorong yang disebut-sebut sebagai ibu kota kongsi minyak di Irian Barat. Usaha ini telah membawa hasil yang baik namun harus terhenti ketika Perang Dunia meletus di Eropa. “NNGPM sudah memulai kembali kegiatannya sesudah perang. Apalagi terdapat juga petunjuk-petunjuk kuat bahwa terdapat bauksit di pegunungan Syklop,” tulis Drooglever. Menurut Drooglever, Menteri Maarseveen telah menyadari potensi ekonomi Irian Barat setelah menerima laporan dari kepala residen Irian Barat, J. P. K van Echoud dalam ‘Nota inzake de economische toekomst vanNieuw-Guinea’ (nota mengenai masa depan ekonomi Nieuw-Guinea). Nota itu menyebutkan bahwa tim geologi telah menemukan jejak-jejak mineral berupa nikel dan tembaga dengan konsentrasi tinggi di pegunungan sekitar ibu kota, Hollandia. Dengan demikian, Irian Barat menjadi harapan bagi Belanda untuk memperbaiki perekonomiannya yang terpuruk akibat Perang Dunia II sekaligus kompensasi atas kehilangan Hindia Belanda. Akhirnya, pada penandatanganan KMB, dikompromikan bahwa persoalan Irian Barat akan diselesaikan setahun kemudian. Selama masa jeda tersebut, Irian Barat berada dalam status quo di bawah penguasaan sementara Belanda. Pada kenyataannya, masalah Irian Barat kian berlarut-larut. Kedua negara berdaulat ini saling mengklaim bahwa Irian Barat merupakan wilayah kekuasaannya yang sah. Adu klaim ini berbuntut panjang. Untuk bertahun-tahun kemudian, Irian Barat menjadi duri dalam daging hubungan bilateral Indonesia dan Belanda.
- Setelah Multatuli Mudik
TAK begitu sulit menemukan bangunan tempat Multatuli alias Eduard Douwes Dekker pernah tinggal di Brussel, Belgia. Ia terletak pada sebuah sudut dari jalan bersimpang lima, tepat di seberang gereja katedral. Pintu masuk ke dalam gedung terimpit di antara dua kafe dan toko roti. Sebuah plakat peringatan terpasang di atas pintu, ditulis dalam dua bahasa: Belanda dan Prancis. “Pada September–Oktober 1859 Multatuli (Edward Douwes Dekker) menulis adikaryanya Max Havelaar di penginapan “Au Prince Belge” yang sampai 1876, dengan alamat Bergstraat No 80, berada di bangunan ini.” Demikian bunyi plakat tersebut. Dalam secarik surat bertitimangsa 22 September 1859 yang ditujukan kepada istrinya, Everdine Huberte van Wijnbergen, Multatuli menyebutkan bahwa dia sedang menulis sebuah naskah buku di losmen tersebut. Pada 13 Oktober tahun yang sama, buku tersebut selesai ditulis. Namun ada dua versi lain tentang berapa lama naskah Max Havelaar ditulis: mulai dua minggu sampai tiga bulan. Namun kini penginapan itu sudah tak ada lagi. Fungsi gedung sudah berubah, begitu pula dengan penomoran jalan. Kecuali bagi orang yang sengaja ingin mencarinya, plakat informasi sejarah itu agaknya bakal terlewatkan begitu saja: letaknya tersamar dan papan plakat mulai menghijau berlumut. Terkesan seperti tak ada lagi yang peduli pada kisah yang pernah terjadi di sana. Kesan itu bukan terjadi di Belgia saja. Di Belanda tempat asal Multatuli juga demikian. Museumnya sepi pengunjung, pemerintah kurangi subsidi. Lizzy van Leeuwen, penulis di majalah De Groene Amsterdamer , beberapa waktu menulis tokoh sejarah Belanda, seperti Multatuli, mulai terdesak ke pinggiran karena memang sejarah Belanda dan Hindia Belanda sejak dulu selalu dipisah. Ada pula kesan kalau Multatuli jadi “kuda tunggangan” sebagian kalangan di Belanda tentang contoh manusia Barat beradab yang membela bangsa jajahan. Kesan tersebut justru dibangun untuk menutupi penindasan yang sesungguhnya terjadi di Hindia Belanda. Maklum saja, sebagaimana umumnya kaum kolonialis, penguasa kolonial Belanda selalu bersembunyi di balik tujuan mulia “mengadabkan” rakyat jajahan yang tertinggal di belakang. Padahal, “30 juta rakyat Hindia ditindas dan dihisap atas nama Anda,” kata Multatuli di dalam suratnya kepada Raja Willem III. Soal pemisahan sejarah antara Belanda dan Hindia Belanda, tak terjadi di Belanda saja, ada miripnya dengan Indonesia. Penulisan sejarah di Indonesia terkesan menjaga jarak dengan tokoh-tokoh Belanda yang berperan dalam dinamika kehidupan warga jajahan di Hindia Belanda. Mungkin ini ada kaitan erat dengan perspektif sejarah Indonesia-sentris yang dirintis oleh para sejarawan Indonesia generasi awal pascakemerdekaan. Narasi tersebut menempatkan orang Indonesia sebagai faktor dalam sejarahnya, membalikkan cara pandang yang pernah dibangun di dalam historiografi Hindia Belanda karya para sejarawan Belanda. Ini bisa dipahami karena konteks cara pandang tersebut dilahirkan dalam suasana semangat kemerdekaan dan anti-kolonialisme Belanda yang masih euforia. Kongres pertama sejarah Indonesia pun diselenggarakan pada 1957, 12 tahun setelah kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Walhasil tak banyak kisah tentang orang-orang Belanda (juga orang dari bangsa lain) yang diperkenalkan kepada masyarakat, betapa pun pentingnya peranan mereka bagi pembentukan negara-bangsa Indonesia. Pemahaman terhadap sejarah memiliki kecenderungan yang bias rasisme: terbatas pada pengertian bahwa kolonialisme adalah penindasan kaum kulit putih terhadap kulit sawo matang (baca: bumiputra) dan seringkali hitam-putih. Tidak mengherankan jika karya sastra seperti Max Havelaar tak jadi bacaan wajib di sekolahan. Tokoh-tokoh penting seperti Henk Sneevliet , J.E. Stokvis, Adolf Baars serta figur lain yang berlatar belakang ras berbeda, jarang kelihatan perannya kecuali sebagai figuran yang muncul dalam beberapa kalimat pelengkap narasi yang sepenuhnya disesaki oleh orang Indonesia. Suatu identitas kebangsaan yang baru lahir pada abad 20. Barangkali inilah salah satu sebab mengapa, mengutip Ariel Heryanto, kita memiliki historiografi yang rasis. Kecenderungan yang sama juga akhirnya menyebarluas lebih dari sekadar perspektif sejarah, tapi juga menjadi sikap di dalam kehidupan masyarakat, tidak terkecuali dalam urusan politik. Jangan heran kalau belakangan muncul ego-sentrisme peran pribumi di dalam sejarah, betapapun buramnya istilah pribumi itu . Sejarah memang perlu ditulis lebih gamblang. Seperti kisah Multatuli: seorang kulit putih yang menjadi advokat rakyat kecil; Poncke Princen serdadu Belanda yang berpihak kepada Republik atau malah kisah Mas Slamet, orang Jawa yang memihak kepada Ratu Belanda karena tidak “sreg” pada kemerdekaan Indonesia . Dengan demikian banyak orang memahami bahwa cita-cita Indonesia merdeka dari penindasan kolonialisme, ada di banyak kepala orang dengan beragam latar belakang ras dan agama. Bukan milik sepihak dengan klaim paling berjasa bagi bangsa Indonesia.
- Pahit-Manis Kisah Martunis
Hari ini 15 tahun lalu. Martunis, bocah berusia tujuh tahun, amat bersemangat Minggu pagi itu. Meski rencananya baru akan bermain bola pada sore hari, sejak pagi usai mandi dia sudah mengenakan kaos kesayangannya, jersey timnas Portugal bernomor punggung 10 milik Manuel Rui Costa. Martunis amat mengidolakan mantan playmaker Fiorentina dan AC Milan itu. Untuk menunggu waktu, dia dan adiknya nonton televisi. Saat itulah tiba-tiba dia merasakan ruangan bergoyang seperti perahu di atas laut. Buru-buru dia, adik, dan ibunya keluar rumah. Orang-orang sudah berkerumun di luar setelah gempa terjadi. Sarbini, ayah Martunis, pulang tak lama kemudian. Namun, pertemuan keluarga secara utuh untuk terakhir kali itu tak berlangsung lama. Beberapa orang berteriak air laut naik. Sarbini segera menyuruh anak-istrinya naik pick up di depan mereka untuk menyelamatkan diri, dia sendiri memilih berlari ke arah jalan raya. “Padatnya jalan yang dipenuhi orang-orang yang berlarian membuat mobil yang ditumpangi Martunis tidak dapat melaju kencang. Dalam kepanikan tersebut, gelombang air segera menyapu mobil tersebut. Mobil pun terguling-guling. Para penumpang yang berada di datas mobil berhamburan diterjang gelombang,” tulis kbr.id . Martunis melihat Annisa, adiknya, terus memanggil namanya. Dia segera meraih tangan bocah itu namun kemudian terlepas. Pertemuan terakhir Martunis dengan Annisa itu berjalan amat cepat. Martunis terus berusaha menyelamatkan diri dengan bergonta-ganti pegangan, hingga akhirnya dia berhasil meraih sebuah kasur spring bed . Lantaran kelelahan, Martunis akhirnya pingsan di atas kasur itu. Ketika siuman, dia mendapati dirinya telah berada di tengah lautan. Dalam kesendirian itu, Martunis bertahan hidup dengan mengandalkan mie instan yang ditemukannya pada hari ketiga. Hitungann jarinya telah mencapai angka tujuh, tapi daratan tak kunjung ada di hadapan. Martunis bosan dan putus asa hingga di suatu siang dia tertidur. Begitu bangun, matanya melihat daratan tak jauh dari tempatnya. Seorang pemulung sedang mengais-ngais reruntuhan di sana. Martunis segera berteriak minta tolong. Sempat takut, pemulung itu akhirnya menolong Martunis. Dia menyerahkan Martunis kepada Ian Dovaston, reporter TV Sky News yang sedang meliput daerah Pantai Kuala. Wartawan asal Inggris yang prihatin itu segera memberi air minum dan biskuit yang dibawanya. “Kondisi badannya sangat kurus dan sekujur tubuhnya penuh bekas gigitan nyamuk,” kata Dovaston, dikutip Frank Worrall dalam The Magnificent Sevens: They All Wore the No 7 Shirt . Dovaston dan seorang penerjemah lantas mengevakuasi Martunis ke Yayasan Save the Children, untuk dirawat di RS Fakinah. Beruntung dalam pemeriksaan medis Martunis tak mengalami luka dalam, hanya luka ringan. Namun Martunis tetap harus berduka setelah tahu hanya ayahnya yang selamat. Dovaston kemudian meliput tentang bocah itu. Yang kemudian menjadi sorotan besar adalah, Martunis ditemukan dan diselamatkan setelah tiga pekan terdampar dengan mengenakan jersey merah-hijau, warna seragam timnas Portugal. Kisahnya mendapat perhatian di Semenanjung Iberia, terutama karena beberapa stasiun TV Portugal menyiarkan berita Sky News hasil liputan Dovaston. Dari situlah kisah Martunis mulai menarik simpati hampir segenap publik Portugis. “Gilberto Madail dari Federasi Sepakbola Portugal menjadwalkan klub-klub yag tergabung di liga (Portugal) untuk menghimpun bantuan solidaritas. Dia mengontak Dovaston dan menanyakan hal apa yang bisa dilakukannya untuk bocah itu dan keluarganya,” tulis Luca Caioli dalam biografi Ronaldo, Obsession for Perfection . Sejumlah pemain timnas Portugal juga bersimpati. Lebih-lebih Luiz Felipe Scolari (yang saat itu masih melatih) dan Ronaldo yang emosional mendengar kisah Martunis. “Saya terhenyak melihat bocah berumur 7 tahun itu bisa bertahan hidup setelah hanyut berhari-hari,” kata Ronaldo dalam biografinya. Selebihnya, hidup Martunis begitu berbeda. Bersama ayahnya, Martunis sampai diundang ke Portugal pada akhir Mei 2005. Mereka disambut pelatih Scolari dan kapten tim Luis Figo. Mereka diajak bertemu para punggawa timnas Portugal, termasuk Ronaldo di hotel tim, sekaligus menyaksikan langsung laga kualifikasi Piala Dunia 2006 antara Portugal vs Slovakia di Estadio Da Luz, Lisbon. “Kami berbicara dengan bantuan penerjemah. Tapi dia anak yang pemalu dan nyaris tak bicara sepatah katapun. Saya memperlihatkan telepon selular saya dan dia langsung meminta nomor saya. Ketika saya membuka komputer (laptop) saya dan menunjukkan foto-foto dan video games, matanya berbinar-binar. Dia anak istimewa yang sudah melalui pengalaman yang belum tentu bisa dilalui orang dewasa,” ungkap Ronaldo lagi. Sebelum kembali ke tanah air, Martunis diberi bantuan uang sebesar 40 ribu Euro yang berasal dari sumbangan para pemain, pelatih, dan ofisial timnas Portugal untuk membangun kembali rumah Martunis. Ronaldo berjanji untuk menyambangi Indonesia, utamanya Aceh dan Jakarta untuk bertemu Martunis lagi. “Perasaan kami luar biasa. Sebelum tsunami, untuk bisa ke Jakarta saja rasanya sudah mewah sekali. Sekalinya ke luar kota, kami hanya pernah ke Medan. Kemudian tiba-tiba kami berkesempatan ke Eropa,” cetus Sarbini, ayah Martunis, dikutip situs resmi FIFA. Ronaldo memenuhi janjinya. Medio Juni 2005, bintang yang masih memperkuat Manchester United itu datang ke Serambi Mekah. Kedatangannya ke Stadion Neusu, Banda Aceh, disambut antusiasme penggila bola. Ronaldo lantas terbang ke Jakarta untuk bersua Wakil Presiden RI Jusuf Kalla di kediamannya, dalam rangka makan malam amal. Cita-cita Martunis untuk jadi pesepakbola sebagaimana kakeknya, perlahan mulai terwujud. Terlebih, setelah Martunis diangkat anak oleh Ronaldo yang lantas membiayai semua kebutuhan pendidikannya. Kian dekatnya Martunis dengan ayah angkatnya memberinya kesempatan lebih sering ke Eropa. Martunis berkesempatan menonton laga-laga yang dimainkan Ronaldo, termasuk ketika sang bintang sudah pindah ke Real Madrid. Status istimewa Martunis ikut berperan dalam mengasah skill bolanya di akademi Sporting Lisbon, klub yang membesarkan nama Ronaldo. Meski sempat menandatangani kontrak, Martunis akhirnya dinyatakan gagal di tahun kedua dengan alasan usia. Namun, Martunis tak patah arang. Pesan Ronaldo yang selalu melekat dalam kepalanya membuatnya terus optimis. “Ia bilang kalau belajar ilmu sepak bola sudah dimulai sejak usia delapan tahun. Kalau misalnya tetap ingin jadi pemain profesional, ia bilang harus kerja keras, disiplin,” ujar Martunis sebagaimana dilansir liputan6.com .
- Alkitab Seribu Bahasa
Ketika berkunjung ke Perpustakaan Wurttembergische Landesbibliothek di kota Stuttgart, Jerman, Harsiatmo Duta Pranowo, sekretaris umum Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), berniat membuat replika Injil Matius terjemahan Albert Cornelisz Ruyl. Pihak perpustakaan memberikan dukungan dan kemudian mengirim scan naskah Ruyl dalam resolusi tinggi. LAI segera bekerja. Rencananya, replika itu akan diterbitkan pada 2014 saat perayaan 60 Tahun Pelayanan LAI dan 385 Tahun terbitnya Injil Matius tersebut. Namun, sebagaimana diberitakan dalam laman LAI, alkitab.or.id , permintaan dan pesanan datang dari Pertubuhan Bible Malaysia, yang 5 November lalu memperingati 400 tahun penerjemahan Injil ke dalam bahasa Melayu-Indonesia kali pertama. Ruyl, seorang pedagang Belanda, berlayar ke Nusantara pada 1600, empat tahun setelah armada Belanda pertama mendarat di Nusantara. Di luar kesibukannya berdagang, dia menerbitkan semacam buku pelajaran bahasa Melayu dan beberapa buku gerejawi. Merasa bahwa penduduk setempat perlu membaca Alkitab, dia membujuk rekan-rekannya untuk patungan biaya penerbitan untuk proyek terjemahannya. Duabelas tahun kemudian Ruyl menyelesaikan penerjemahan Injil Matius dalam dua bahasa, Belanda dan Melayu –satu tahun setelah terbit Alkitab bahasa Inggris The King James Version. Sayangnya, baru 17 tahun kemudian karyanya diterbitkan, oleh Jan Jacobiz Palenstein di Enkhuizhen, Belanda. Inilah untuk kali pertama Alkitab diterjemahkan ke dalam bahasa non-Eropa untuk kepentingan penginjilan. Cetakan aslinya, selain di Jerman, kini tersimpan di British Museum di London, Inggris. Namun, upaya menterjemahkan Alkitab secara lebih baik dan lengkap dilakukan Mechior Leijdecker, pendeta jemaat berbahasa Melayu di Batavia. Pada 1691, atas permintaan majelis gereja di Batavia dan disponsori Kongsi Dagang Belanda (VOC), dia mulai menerjemahkan Alkitab lengkap ke dalam bahasa Melayu Tinggi. “Tujuannya untuk melayani para jemaat Kristen Eurasia, Ambon, Jawa, Tionghoa, dan etnis lainnya,” tulis Lourens de Vries, “Ikhtisar Sejarah Penerjemahan Alkitab di Indonesia”, dimuat dalam Sadur . Vrije adalah profesor linguistik umum dan penerjemahan Alkitab di Universiteit Amsterdam. Belum sempat merampungkannya, Leijdecker meninggal dunia. Proyek penterjemahannya dilanjutkan penggantinya, P. van der Vorm. Meski rampung lama, terjemahan ini baru terbit pada 1733. Terjemahan Leijdecker terus dipakai bertahun-tahun, serta direvisi dan diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa daerah. Puncak penterjemahan Alkitab terjadi pada abad ke-19. Muncul Alkitab dalam ragam bahasa. “Abad ke-19 menjadi saksi terbitnya berbagai Alkitab dalam bahasa Jawa (1854), Sunda (1877), Bugis (1888) dan Batak Toba (1878), sekadar menyebut beberapa di antaranya,” tulis De Vries. Setelah Indonesia merdeka, alihbahasa Alkitab ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah berada di tangan LAI, yang dibentuk pada 1950.
- Pasang Surut Kristen di Sulawesi Tenggara
KRISTEN Protestan di Sulawesi Tenggara pernah berjaya di era Hindia Belanda. Jumlahnya terus meningkat: 2609 jiwa pada medio 1930-an, 2806 jiwa pada akhir 1937, 3270 jiwa pada akhir 1940 masih ditambah calon baptis 6000 jiwa. Pada masa yang sama, majalah De Opwekker khusus Kristen berbahasa Belanda, mencatat jumlah penganut Protestan di seluruh Hindia Belanda sekira 700.000 orang, 100.000 orang di antaranya adalah orang Eropa. “Fakta ini menimbulkan pertanyaan, mengapa di Sulawesi Tenggara pada masa kolonial Hindia Belanda mengalami perkembangan yang pesat. Berbanding terbalik dengan kondisi kekinian di mana penganut Protestan hanya sekitar satu persen dari seluruh jumlah penduduk Sulawesi Tenggara,” ujar Basrin Malamba, sejarawan dari Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara. Kristen Protestan di Sulawesi Tenggara dibawa oleh Nederlandsche Zendings Vereeniging (NZV). Misi zending atau pekabaran injil ini mulai bekerja disana sejak 1916 hingga runtuhnya negara kolonial, 1942. “NZV didirikan di Rotterdam pada 2 Desember 1858 oleh beberapa orang yang kecewa terhadap Nederlanche Zending Genootscap (NZG). Mereka menganggap NZG telah dirasuki oleh teologi modern. Para pendirinya banyak tinggal di kota Rotterdam, Belanda,” tulis Th. van den End dalam Sumber-sumber Zending tentang Sejarah Gereja di Jawa Barat 1858-1963. Semula NZV melakukan syiar di Jawa Barat, tetapi kurang berhasil. NZV mengalihkan pekabaran injil ke Sulawesi. Hendrik van der Klift, utusan NZV, tiba di Sulawesi Tenggara –dulu Sulawesi Timur– pada 8 Mei 1915. Klift mendirikan pos-pos guru agama di pedalaman seperti Mowewe, Lambuya dan Moronene. Dari kampung Mowewe ini, pekabaran Injil menyebar keseluruh pelosok Sulawesi Tenggara. Mereka fokus melakukan pendekatan bagi masyarakat yang masih beragama asli yang ada di pedalaman Sulawesi Tenggara. “Wilayah Moronene dan Tolaki merupakan wilayah subur yang menjadi sasaran zending protestan di Sulawesi Tenggara. Jika dibandingkan pulau Muna dan Buton yang begitu tandus. Pulau Muna menjadi basis pewartaan bagi misi Jesuit Katholik, sementara pulau Buton, baik misi dan zending tidak berkembang karena kesultanan Buton melarang keduanya menyebarkan pengaruh di Buton,” tulis Basrin dalam “Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda dan Kristen Protestan di Asia Tenggara 1915-1942,” termuat dalam Agama dan Negara di Indonesia suntingan Sri Margana. NZV melakukan pekabaran injil melalui pendidikan. Bagi para zending, pendidikan penting untuk penduduk agar dapat membaca dan menulis supaya memahami ajaran Kristen dalam Injil. Pemerintah kolonial mengizinkan NZV mengelola pendidikan di Tolaki dan Moronene, terutama di Kolaka, Kendari, Taubonto, Poleang. “Salah satu yang paling efektif mengkristenkan orang, ya melalui pendidikan. Mereka mau naik status, kok. Selain itu juga dukungan para elite lokal. Di Sulawesi Tenggara, kemampuan agensi para pendeta mendekati para bangsawan, berhasil. Mereka tidak mendapat tantangan. Kalau bangsawan bilang jangan diganggu, ya dipatuhi. Bahkan, anak mereka dikasih masuk. Di sana ada juga bangsawan Islam yang anaknya masuk kristen. Jadi, dalam satu rumah ada dua iman, Kristen dan Islam. Mereka melakukan konversi agama,” ujar Basrin. Guna menunjang pembelajaran, Klift menyusun buku bagi sekolah dasar dalam bahasa Tolaki berjudul Sura Pobasaa , dan Sala Salamaa (Jalan Keselamatan) berisi bagian-bagian dari Alkitab. Hingga 31 Juli 1941, ada 60 sekolah dasar negeri berbahasa lokal untuk kelas 1 sampai kelas 3 dengan jumlah siswa mencapai 7078 anak. Sepuluh sekolah dasar swasta dengan subsidi pemerintah memiliki 598 siswa dan 74 sekolah swasta berbahasa Belanda memiliki murid 8335 anak. Data tersebut sudah mencakup sekolah-sekolah yang dikelola zending Protestan di Sulawesi Tenggara. Menurut Basrin, pemberian izin kepada NZV juga dilandasi cara berpikir praktis. Pemerintah berharap penduduk yang sudah bertautan dengan zending atau bersekolah di sekolah-sekolah zending akan dapat menurut dan tunduk kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda. Setelah runtuhnya kolonial Belanda pada 1942 dan Jepang masuk, zending di Sulawesi Tenggara mengalami kemunduran. Basrin mengungkapkan tentara Jepang membunuh banyak jemaat dan merusak gereja. Keadaan tersebut berlanjut pasca kemerdekaan, terutama masa DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang melanda sebagian besar Sulawesi, termasuk Sulawesi Tenggara. Gerakan ini mengusung pendirian negara Islam yang berdampak buruk pada kehidupan sosial warga Kristen Sulawesi Tenggara. “Masa DI/TII yang dipimpin Kahar Muzakkar itu, basisnya juga ada di Sulawesi Tenggara. Saat itulah Sulawesi Tenggara porak poranda. Gereja dibakar, banyak pendeta dibunuh, jemaat yang tertekan mengungsi, bahkan untuk alasan keamanan mereka rekonversi agama kembali ke Islam,” ujar Basrin. Kini, jumlah penduduk Sulawesi Tengara yang memeluk Kristen Protestan sudah jauh berkurang. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik Sulawesi Tenggara tahun 2015, penganut Kristen Protestan di Kolaka hanya 8394 jiwa. Padahal, basis zending NZV di era kolonial Belanda berada di Kolaka.
- Dari Bola Turun ke Hati
BAGI bintang sepakbola putri Papat Yunisal dan bintang sepakbola putra Zulkarnain Lubis, lapangan hijau tak hanya mendatangkan kebahagiaan lewat permainan, persaingan, dan gol. Lapangan hijau bagi keduanya juga mendatangkan kebahagiaan hati. Papat dikenal sebagai salah satu maestro sepakbola putri Indonesia era 1980-an. Tak hanya mengukir prestasi di level klub bersama Putri Priangan, sejak 1981 penyerang mungil kelahiran Subang pada 1963 itu juga berseragam timnas. Bahkan, Papat menjadi penentu kemenangan yang membawa timnas putri Indonesia ke final ASEAN Women’s Championship 1982. Meski sudah menikah, Papat tetap bermain. Sayang, pernikahannya kandas kendati sudah dianugerahi seorang anak. Dia dan suaminya cerai tak lama setelah Papat ikut orangtuanya pindah dari Bandung ke Batam, Kepulauan Riau. “Iya, waktu itu sudah punya anak dan (sang suami) tidak mau tinggal di Batam. Ditinggal lama-lama, akhirnya bermasalah ya. Karena memang saya juga yang merasa salah pada suami,” kata Papat kala berbincang dengan Historia di STKIP Pasundan, Cimahi beberapa waktu lalu. Namun, kecintaannya pada sepakbola tak pernah kandas. Setelah gantung sepatu, Papat kursus kepelatihan dan pada 2004 mendirikan Sekolah Sepakbola (SSB) Putri Queen di Bandung. Sementara, Zulkarnain Lubis di era 1980-an merupakan bintang andalan klub-klub yang dibelanya dan juga timnas. Pemain yang mengidolakan legenda Inggris Kevin Keegan itu sampai mendapat julukan “Diego Maradona-nya Indonesia”. “Saya memang senang dengan pemain-pemain itu (Maradona dan Keegan),” ungkap Zul sebagaimana dimuat Kompas, 11 Agustus 1986. Sayangnya, setelah pensiun di tahun 2000 Zul terpuruk. Legenda hidup kelahiran Binjai, Sumatra Utara tahun 1958 itu harus pontang-panting mengais nafkah. Dari berbisnis kecil-kecilan sampai berjualan nasi goreng di Cimahi pernah dilakoninya. Baru pada 2003 Zul mulai bangkit setelah diminta Ronny Pattinasarani untuk membantu menjadi pemandu bakat bibit-bibit pesepakbola U-15. Setahun berselang, kehidupan Zul kian membaik setelah dipercaya melatih SSB Queen milik Papat. Terpilihnya Zul terjadi tak lama setelah Papat mendirikan SSB Queen. Papat mencari pelatih untuk melatih para pelajar SSB-nya. Salah seorang temannya lalu menyarankan nama Zul. “Sebenarnya sudah lama kenal dari dulu, tapi tidak begitu akrab. Karena waktu itu (semasa di timnas) training camp -nya bareng antara timnas wanita dengan timnas yang pria. Latihannya juga sama-sama di Senayan (Stadion Senayan, kini Stadion Utama Gelora Bung Karno),” kata Papat. Papat langsung menawari Zul. Pria yang sedang menganggur tapi punya beberapa tawaran pekerjaan di bidang sepakbola itu langsung menerima tawaran Papat. “Dia mau saya tawari. Enjoy katanya melatih cewek,” ujar Papat sambil berkelakar. Kerjasama dua mantan bintang lapangan hijau itu membuat penasaran banyak orang. “Banyak yang nanya emang berapa sih dibayar di Queen? Saya jawab aja, bayarnya pakai cinta,” cetus Papat sembari tertawa. Kerjasama itu berjalan mulus di Queen. Pada akhirnya bukan semata urusan bola, tapi juga asmara. Benih-benih cinta antara Papat dan Zulkarnain muncul di sana. “Cukup sering dan banyak yang tanya, soal di mana saya ketemu Pak Zul. Ya sering juga saya bercandain. Saya bilang aja pertama kali ketemunya di musala, hehehe...,” cetus Papat sembari terkekeh. Seringnya bertemu di SSB Queen membuat Papat mengaku lama-lama ada kedekatan, ada kecocokan. Mereka akhirnya menikah di tahun itu juga (2004).
- Jalan Berliku Federasi Perempuan
Ruth Indiah Rahayu, peneliti feminis di Institut Kajian Kritis dan Studi Pembangunan Alternatif (Inkrispena), mengatakan gerakan perempuan “mati” setelah rezim Orde Baru berkuasa. Penguasa militer itu menggunakan intimidasi untuk menaklukkan semua elemen, termasuk gerakan perjuangan perempuan, agar tunduk dan sejalan dengan misi pemerintahannya. “Kalau nggak (sejalan – red .), dianggap musuh negara,” ujarnya kepada Historia . Dalam kacamata penguasa, tempat perempuan hanya di dapur dan kasur. Penguasa memberi citra negatif kepada perempuan yang berpolitik. Alhasil, gerakan perjuangan perempuan yang telah dilakukan berbagai organisasi perempuan sejak masa kolonial langsung mandek. Perjuangan mereka untuk memperjuangkan hak dan memajukan kaum serta bangsanya seketika digantikan oleh aktivitas-aktivitas seremonial ibu-ibu Dharma Wanita atau PKK. Perjuangan Nan Terpaksa Kembali ke Dapur dan Kasur Budaya patriarki yang meletakkan perempuan semata hanya dalam urusan dapur dan kasur menimbulkan ketidakadilan sejak lama. Perempuan menjadi korban darinya. Dalam rumahtangga, ruang geraknya terbatas karena posisinya yang selalu dibuat bergantung pada pria. Syahdan, hal itulah yang coba dilawan oleh para perempuan aktivis pada paruh pertama abad ke-20. Lewat berbagai organisasi, mereka memperjuangkan hak-hak perempuan guna memajukan kaumnya. Namun, meski organisasi perempuan sudah banyak berdiri kala itu, mereka masih berjuang sendiri-sendiri. Pikiran untuk mengadakan kongres guna menyatukan gerakan belum terbersit. Dua kongres pemuda, pada 1926 dan 1928, lalu membuka mata para aktivis perempuan. Kongres itu menginspirasi Nyonya Soekonto, Nyi Hadjar Dewantoro, dan Nona Sujatin untuk menginisiasi diadakannya Kongres Perempuan (KPI). Upaya ketiganya berhasil dengan suksesnya Kongres Perempuan I di Yogyakarta, 22-25 Desember 1928. Menurut Susan Blackburn dalam Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang, di kongres pertama itu yang menjadi perhatian utama adalah masalah perkawinan yang adil bagi perempuan, pendidikan perempuan, dan pernikahan dini. Hak-hak perkawinan dibicarakan dalam sejumlah pidato oleh perempuan anggota oragnasasi yang tidak berlandaskan agama. Kongres itu lalu menghasilkan keputusan untuk mendirikan Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI). Di kemudian hari, PPPI berubah menjadi Perikatan Perkumpulan Isteri Indonesia (PPII), cikal-bakal Kowani kini. Pada masa itu politik belum menjadi perhatian utama gerakan. Ia (hak politik perempuan) baru terpikir di kongres Surabaya, akhir 1930. Kongres itu sendiri menghasilkan keputusan pembentukan badan perantara. Selain mengurusi masalah kematian bayi, perburuhan, dan perdagangan anak, badan itu bertugas mempelajari hak pilih kaum perempuan. Hampir bersamaan, hak politik juga dibicarakan dalam internal Kongres PPII tahun 1930. Dua tahun kemudian, Istri Sedar (IS) mendeklarasikan diri sebagai organisasi politik pada kongres keduanya di Bandung. IS menyerukan kepada para anggotanya untuk aktif berpolitik. Tapi, IS tak mau bergabung dalam KPI dengan alasan perkumpulan organisasi yang terlalu berbeda dari segi agama, sosial, dan masalah nasional akan sulit bersepakat untuk menyelesaikan masalah perempuan. KPI sendiri baru memutuskan terjun ke politik pada kongres keempatnya, 1941. Kongres itu, menurut sebuah Arsip Kowani, menghasilkan keputusan mendukung Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dan mengajukan tuntutan agar perempuan Indonesia mempunyai hak pilih aktif dan pasif. Namun, baru sekira setahun keputusan itu berjalan, Jepang keburu masuk lalu membekukan KPI. Satu-satunya organisasi perempuan yang diperbolehkan adalah Fujinkai, organisasi perempuan yang berbau militeris. KPI baru mengadakan kongres kembali pada 1946 dengan mengganti nama payung organisasi menjadi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Berkongres di masa perang, hasil dua kongres tahun 1946 memutuskan mendukung perjuangan kemerdekaan. Para perempuan berhasil menjalankan kongres di masa-masa sulit untuk mempertahankan kemerdekaan antara 1946-1950. Setelah penyerahan kedaulatan, Kowani kembali menyelenggarakan kongres pada 1950 dan mengganti nama federasi menjadi Kongres Wanita Indonesia (KWI). Cora Vreede-deStuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia menulis, pada 1953 hasil kongres juga membentuk komite yang mengurus Yayasan Hari Ibu. Perayaan 22 Desember sebagai Hari Ibu sebelumnya diputuskan dalam kongres KPI ketiga di Bandung, Juli 1938. Arsip Kowani mencatat, maksud pemaknaan Hari Ibu dalam kongres adalah hari dimulainya derap kesatuan pergerakan perempuan Indonesia dalam memperjuangkan harkat, martabat, dan negaranya. SK Trimurti dari Gerakan Wanita Istris Sedar (Gerwis), yang sudah bergabung dengan federasi, menjadi salah seorang yang dipilih sebagai panitia Yayasan Hari Ibu. Menurut kesaksian Sukanti Suryochondro dalam Potret Pergerakan Wanita di Indonesia, Gerwis menjadi salah satu pemimpin KWI setelah kongres tahun 1958. Sejak 1950-an hingga 1966, KWI sangat aktif menyuarakan hak-hak perempuan. Para anggotanya aktif dalam politik. Hal itu sejalan dengan kondisi sosial-politik yang mendorong perempuan untuk menjadi ibu progresif revolusioner yang aktif dalam politik dan memiliki kewenangan besar dalam keluarga. Menurut Cora, setelah kemerdekaan, gerakan perempuan aktif dalam membangun dan memperkuat negara yang baru merdeka. Namun, G30S 1965 mengubah segalanya. Orde Baru (Orba) memberangus seluruh organisasi yang dianggap berhaluan kiri. Gerwani dan beberapa organisasi perempuan yang dianggap berhaluan kiri dikeluarkan dari Kowani. Orba juga memastikan bahwa organisasi-organisasi yang hidup bisa dikontrol untuk kepentingan politiknya. Setelah Sidang Umum MPRS 1966, Pemerintah Orba melakukan konsensus politik dengan semua ormas, termasuk Kowani. Maka, diselenggarakanlah Kongres Luar Biasa Kowani pada pertengahan 1966. Ada sekira 35 organisasi yang mengirimkan wakilnya. “(Suharto memastikan – red. ) mereka mendukung pemerintahan yang sah, yakni Suharto yang mendapat wewenang Supersemar. Semua takut. Karena kalau enggak, dianggap musuh negara,” kata Ruth Indiah Rahayu. Lebih lanjut Ruth menjelaskan, strategi Orba untuk menundukkan gerakan perempuan adalah dengan memegang federasinya, yakni Kowani. Dengan demikian, organisasi yang berada di bawah payung Kowani juga ditundukkan. “Jamannya Pak Harto itu ditunjuk aja. ‘Kamu jadi ketua umum’. Pimpinan itu sudah diarahkan. Ya kan waktu itu begitu iramanya,” kata Sri Yulianti Sugiri, ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan Kowani.
- Hukuman Bagi Pelaku Pelecehan Seksual di Majapahit
KERAJAAN Majapahit mengatur hubungan perempuan dan laki-laki cukup ketat. Aturan itu ada dalam prasasti dan kitab perundangan-undangan Agama. Prasasti Cangu (1358 M) yang berisi peraturan tempat penyeberangan di Bengawan Solo memuat pula keterangan yang menyiratkan hukuman berat bagi pelaku pelecehan seksual yang disebut strisanggrahana. Aturan itu mengambil contoh kasus seorang tukang perahu tambang. Ia tak akan dianggap bersalah bila menyebrangkan perempuan manapun bila sudah bersuami. Selama dia tidak berbuat astacorah, yaitu delapan macam kejahatan yang berhubungan dengan pencurian. Pun jika ada perempuan tenggelam dan dipegang oleh tukang perahu. Misalnya, jika tukang perahu mengangkat dan memegangnya. Sementara dalam teks perundang-undangan Agama, terdapat bab mengenai paradara. Bab ini ada di antara 19 bab yang jika ditotal semuanya berjumlah 275 pasal. Secara harfiah paradara berarti istri orang lain atau perbuatan serong. Dalam bab ini menyebutkan berbagai jenis hukuman dan denda yang dikenakan kepada laki-laki yang mengganggu perempuan. Paling tidak ada 17 pasal dalam bab paradara. Di antaranya ketentuan bagi pemerkosa. Orang yang memperkosa istri orang lain, dendanya disesuaikan dengan kedudukan sang perempuan dalam kasta. Bila dia perempuan berkasta tinggi, yang dikategorikan sebagai perempuan utama, jumlah dendanya dua laksa . Jika berasal dari kasta menengah, dendanya selaksa . Jika istrinya berkasta rendah, dendanya lima tali . Dalam hal ini penentu jumlah denda memang raja yang berkuasa. Kendati begitu, penerima denda menjadi hak sang suami. “Jika sedang memperkosa tertangkap basah oleh sang suami, pemerkosa boleh dibunuh,” tulis arkeolog Puslit Arkenas, Titi Surti Nastiti dalam Perempuan Jawa. Denda diberlakukan jika sang suami menghendaki denda uang. Hukuman lainnya, pelaku bisa dipotong tangannya oleh raja. Dia diusir dari desa tempat tinggalnya dengan membawa tanda ciri kalau dia pernah memperkosa istri orang. Jika yang diperkosa belum menikah, dirayu, diajak lari, atau ke tempat sepi, laki-laki ini disebut babi. Laki-laki ini dikenakan denda empat tali oleh raja. Adanya saksi juga bisa menjadi pertimbangan kuat dalam kasus pemerkosaan. Dalam hal ini bila seorang gadis diperkosa dan berteriak menangis, dan banyak orang yang menyaksikan, orang-orang ini bisa menjadi bukti. Adapun pelaku dikenakan pidana mati oleh raja. Sementara jika seorang laki-laki meniduri istri orang lain setelah dia menguntitnya sampai rumah si perempuan, dia dikenakan pidana mati oleh raja. Namun, bila si istri berhasil meloloskan diri dari pelukan laki-laki itu, pelaku didenda dua laksa . “Denda diserahkan kepada yang punya istri sebagai penebus hidupnya. Jika berhasil menidurinya, dikenakan pidana mati oleh yang punya istri,” lanjut Titi. Berbicara dan menegur perempuan yang bukan istrinya juga bisa dianggap pelecehan seksual. Itu bila dilakukan di tempat sepi. Dendanya dua laksa. Bahkan aturan ini juga mengikat pendeta. Jika tak mampu mematuhinya, status kependetaannya terancam hilang. “Jangan bicara dengan perempuan yang sudah menikah, terutama di tempat sepi, karena nafsu birahi susah dikendalikan,” tulis Titi. Dendanya menjadi lebih sedikit apalagi perempuan yang diajak bicara di tempat sepi bukan istri larangan, atau istri utama yang dipingit. Laki-laki ini didenda sebesar lima tali. Pun jika si laki-laki tak tahu kalau yang dia ajak bicara sudah bersuami. Dia tetap dikenai denda lima tali. “Meskipun perempuan itu istri saudaranya, istri pamannya, istri menantunya, pokonya dengan perempuan yang telah menikah, perempuan larangan,” lanjutnya. Perbuatan strisanggrahana juga meliputi mereka yang membantu dan memfasilitasi perbuatan dalam pasal paradara. Misalnya, orang yang menyuruh si laki-laki untuk meniduri istri orang. Dia akan dikenakan denda dua laksa. Sementara menurut Kutara, orang yang meniduri perempuan bersuami dikenakan hukuman mati. Ia bisa hidup jika membayar denda empat laksa. Sementara orang yang menghasut dan menyuruh untuk meniduri si perempuan di rumahnya, juga dikenakan denda empat laksa oleh raja. Meskipun dalam teks undang-undang Majapahit begitu tegas menghukum mereka yang melecehkan perempuan, dalam prasasti ditemukan juga adanya profesi juru jalir. Profesi ini tugasnya memungut pajak dari para pelacur. Dalam hal ini tak ada keterangan pasti yang menyebut pelacur itu pasti perempuan. Namun bisa dikatakan, pelacur pada masa Majapahit mendapat pengesahan dari penguasa.*
- Menolak Feodalisme
Ketika bertandang ke rumah Gusti Putri, Sujatin mendapat suguhan minuman yang disajikan dalam cangkir biasa tanpa penutup. Tuan rumah menyuguhkannya tanpa menggunakan nampan. Suguhan itu berbeda dari yang diterima Gusti Putri, bangsawan Jawa yang merupakan wali murid Sujatin. Selain dibawa dengan nampan, minuman Gusti Putri disajikan dalam cangkir cantik yang dilengkapi penutup. Sujatin merasa diperlakukan tak setara. Sebagai bentuk protes, dia tak menyentuh suguhan itu sama sekali. Sejak lama, Sujatin penentang keras praktik feodalisme dalam budaya Jawa. Hal itu merupakan bagian dari fokus perjuangannya untuk memerdekakan Indonesia dan memperbaiki hak serta nasib perempuan. Bersama beberapa rekannya sesama guru yang kebanyakan bekas anggota Jong Java, dia mendirikan perkumpulan Poetri Indonesia tahun 1926. Sujatin terpilih sebagai ketua. Ketika para perempuan pejuang dari berbagai daerah akan menghelat Kongres Perempuan I, Sujatin aktif memperjuangkannya. Bersama rekan-rekannya dia mondar-mandir untuk untuk menyiapkan kongres, mulai dari menyiapkan penginapan di kediaman kerabat yang bisa ditumpangi menginap, meminjam Gedung Joyodipuran kepada bangsawan Joyodipuro, sampai mencari taplak meja yang selaras. “Tak mungkin memperoleh cukup taplek warna hijau. Apa boleh buat, kekurangannya kupinjamkan dari persediaan pribadi yang kubeli dari lelang-lelang orang Belanda yang pindah rumah,” kata Sujatin dalam biografinya yang ditulis Hanna Rambe, Mencari Makna Hidupku . Usai kongres, perjuangan Sujatin melawan feodalisme tetap berjalan. Dalam keseharian, penentangan itu antara lain berbentuk penolakan Sujatin menggunakan bahasa Jawa krama kepada bangsawan. Sujatin lebih senang menggunakan bahasa Indonesia (saat itu masih disebut bahasa Melayu) kepada semua orang yang dia temui meski kala itu penggunaannya di kalangan bangsawan belum umum. Sujatin tak peduli penggunaan bahasa Indonesianya menjadi perbincangan. “Aku tidak suka tingkat hidup manusia dibedakan melalui bahasa. Perbuatan itu sangat kasar menurutku, menusuk hati golongan rendah,” kata Sujatin dalam biografinya yang ditulis Hanna Rambe, Mencari Makna Hidupku . Selain soal penggunaan bahasa, Sujatin selalu menolak menyembah sultan Yogyakarata. Sujatin pernah mengajukan beberapa syarat ketika diminta Gusti Putri menjadi guru privat bagi anaknya. Selain disediakan kereta kuda untuk antar-jemput mengajar, Sujatin baru akan menerima permintaan Gusti Putri bila diperbolehkan duduk di kursi, agar setara, bukan duduk di lantai laiknya perlakuan bangsawan saat itu. Sujatin aktif memprotes perlakuan terhadap perempuan keraton. Sejak masih sekolah di HIS, dia tak pernah tertarik gaya hidup ala keraton lantaran persoalan selir. Menurutnya, itu sangat memalukan. “Hanya sebagai barang untuk diperdagangkan, diambil sebagai selir kapan saja raja masih suka, untuk diberikan pada laki-laki lain jika raja sudah merasa puas,” kata Sujatin sebagaimana dikutip Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia . Ketika menghadiri rapat PPII di Rembang, 1930, dia berpidato mengenai nasib buruh dan gadis yang dijadikan selir. Posisi selir, yang dia umpamakan sebagai “pelipur lara”, menurutnya amat hina dan menyedihkan. Pidato itu membuat Sujatin dipanggil polisi keesokan harinya. Kepala polisi memperingatkannya agar berhenti mengkritik keluarga keraton. Sujatin juga diancam akan dikucilkan atau diusir dari Yogyakarta atau Surakarta bila masih mengkritik kehidupan istana. Sementara, pidatonya tentang nasib buruh perempuan tak disinggung. Tukang Bikin Patah Hati Lelaki Sebagai aktivis, waktu Sujatin untuk kehidupan pribadi tak sebanyak perempuan kebanyakan. Kehidupan pribadinya pun harus dia jalani berbeda dari kebanyakan gadis kala itu, termasuk soal asmara. Saat mempersiapkan Kongres Perempuan I, dia sedang menjalin kasih dengan bekas anggota Jong Java yang sudah lama dikenalnya. Keduanya terpaksa menjalani hubungan jarak jauh lantaran sang pria harus melanjutkan studi ke fakultas hukum di Batavia. Saat kongres, pacar Sujatin kebetulan sedang libur kuliah sehingga bisa pulang kampung sekaligus menemui Sujatin. Keduanya sudah punya rencana jalan-jalan bareng ke Kaliurang dan nonton di bioskop. Namun karena teramat sibuk menyiapkan kongres, Sujatin tak sempat menemui si pacar. Akibatnya, si pacar merasa tak diacuhkan lalu mengambek. Ketika si pacar sudah kembali ke Batavia, Sujatin mengiriminya surat permintaan putus. “Baru diuji sekian hari saja karena persiapan kongres, sudah marah. Berarti kita tidak sehaluan, tidak cocok. Lalu untuk apa hubungan yang sudah nyata-nyata tak selaras diteruskan?” tulis Sujatin dalam surat itu. Hubungan asmara Sujatin kembali kandas menjelang kongres bulan Desember 1930 di Surabaya. Pacar Sujatin, seorang mahasiswa Technische Hooge School, sengaja ke Yogyakarta untuk mengunjunginya. Namun, Sujatin malah sibuk menyiapkan materi pidato “Pendidikan Wanita”. Si pacar yang datang jauh dari Bandung pun kecewa dan hubungan berakhir. Lantaran membuat dua lelaki patah hati, Sujatin sempat mendapat julukan “tukang bikin patah hati lelaki”. Tapi dia punya pendapat lain. “Aku bukan mematahkan hati lelaki. Aku sedang berjuang, demi kemerdekaan bangsa dan perbaikan derajat kaum wanita.” Sujatin akhirnya menikah dengan laki-laki yang mau memahami dan mendukung perjuangannya, Pudiarso Kartowijono, pada 14 September 1932. Sejak menikah, namanya lebih dikenal sebagai Sujatin Kartowijono.
- Perdebatan di Kongres Perempuan
DENGAN khidmat, gadis-gadis anggota paduan suara menyanyikan lagu dalam bahasa Indonesia untuk menyambut para tamu. Layar panggung langsung menutup begitu mereka selesai menyanyi. Ketika layar kembali terbuka beberapa saat kemudian, deretan gadis berpakaian tradisional yang mewakili beberapa daerah di Indonesia telah berdiri di panggung. Para hadirin yang duduk di kursi-kursi dekat meja-meja bertaplak hijau langsung terkagum-kagum. “Hidup persatuan perempuan Indonesia!” kata mereka spontan. Suasana itu terjadi dalam pembukaan Kongres Perempuan I di Yogyakarta, 22-25 Desember 1928. Kerjakeras panitia membuat acara itu terlaksana. “Sebagai panitia, kami harus hilir-mudik keliling kota menyelesaikan berbagai urusan. Kendaraan kami hanya sepeda. Tulis-menulis dilakukan dengan tangan karena mesin tik belum umum, mungkin hanya di kantor pemerintah,” ujar Sujatin, salah seorang panitia kongres, dalam biografinya, Mencari Makna Hidupku . Acara yang berlangsung di Gedung Joyodipuran itu dihadiri oleh mayoritas perempuan berusia 20-an tahun. Mereka kebanyakan kelas menengah-atas yang telah mengenyam pendidikan formal. Profesi mereka beragam, mulai guru, direktur asrama yatim piatu, hingga pedagang meski ada juga yang masih pelajar. Namun, kongres terbuka bagi perempuan non-pendidikan formal. Dua perempuan dari golongan ini yang hadir adalah Nyonya Soekonto dari Wanito Oetomo dan Marakati Drijowongso dari organisasi perempuan PSII. Nyonya Soekonto, yang berusia 39 tahun, merupakan ketua kongres. Dia dipilih karena paling tua. Menurut Susan Blackburn dalam Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang, unsur kejawaan sangat kuat dalam kongres pertama karena para panitia dan lokasi kongres yang berada di pusat kebudayaan Jawa, Mataram (kini Yogyakarta). Peserta lain yang belum mengenyam pendidikan formal adalah Marakati Drijowongso. Dia seorang pedagang kecil yang keadaan ekonominya sulit. Kemiskinan orangtuanya membuatnya tak bisa merasakan bangku sekolah. Meski begitu, dia aktif dalam organisasi wanita PSII sehingga menjadi salah satu wakil yang hadir dalam kongres. Kongres itu, menurut catatan Nyonya Toemenggoeng yang meliput, berjalan lancar. “Benar-benar tidak ada perdebatan: masing-masing pembicara mengucapkan gagasan-gagasannya sendiri,” tulisnya. Namun, kata Susan dalam buku yang sama, sempat ada perdebatan antara Siti Moedjijah, perwakilan dari markas besar Aisyiyah Yogyakarta, dengan beberapa perempuan penentang poligami. Perdebatan bermula ketika hak-hak perkawinan dibahas dalam pidato perwakilan organisasi-organisasi perempuan yang tak berlandaskan agama. Beberapa di antaranya, RA Soedirman, wakil dari organisasi Poetri Boedi Sedjati Surabaya. Dia mengatakan, “Sudah saatnya merebut hak-hak perempuan sebagai tujuan pokok gerakan kita.” Dominasi laki-laki atas perempuan, terutama dalam perkawinan, amat mengakhawatirkannya. RA Soedirman juga memberikan kritik pedas kebiasaan orang tua yang menikahkan anaknya dengan orang tak dikenal kemudian dalam pernikahan si perempuan harus tunduk pada suaminya. Djojoadigoeno, wakil Wanito Oetomo, juga membahas hal serupa. Menurutnya perempuan tidak mendapatkan hak setara dalam perkawinan. Diskriminasi terhadap perempuan dan upaya pembelaan terhadapnya itu pula yang menjadi isi pidato Djami dari Darmo Laksmi. Sedangkan Ny. Moegaroemah, wakilan Poetri Indonesia, mengkritik praktik perkawinan anak-anak dan mendesak para perempuan untuk bersatu melawan kebiasaan tersebut. RA Hardjodiningrat dari Wanita Katolik nimbrung ke dalam predebatan. Dia mengatakan pendekatan Katolik dalam perkawinan sebagai yang paling sempurna. Pandangannya diperkuat Djami, yang juga mengecam poligami. Mendengar banyak yang kritik mengenai perkawinan, Sitti Moendjijah berbicara membela hukum perkawinan Islam, termasuk poligami. Ketika Moendjijah membacakan pidatonya, anggota-anggota Aisyiyah bertepuk tangan mendukung pidatonya. Sementara, perwakilan dari Wanita Katolik saling mendekatkan kepala dan berbisik-bisik membicarakan isi pidato Moendjijah. Kata poligami yang menggema ketika Moendjijah berpidato, tulis Susan, bagai sengatan lebah bagi para perempuan muda dan membuat mereka sangat gelisah. Siti Soendari langsung mendebat pidato Sitti Moendjijah. Dia menyebut Moendjijah sebagai pembela standar ganda. Mendengar hal ini, Siti Moedjijah langsung menanggapi bahwa dirinya hanya menyampaikan apa yang diperbolehkan. Moendjijah juga membalas Siti Soendari dengan mengatakan bahwa Soendari terlalu banyak memandang dunia dengan kacamata merah muda. Panasnya suasana kongres membuat Nyonya Siti Zahra Goenawan, perwakilan Roekoen Wanodijo, berinisiatif melerai. Upaya perempuan yang datang dari Weltevreden (Jakarta) itu berhasil dengan tak dilanjutkannya perdebatan tentang poligami dan hak-hak perkawinan. Menurut Toemenggoeng dalam catatannya, para peserta kongres berusaha keras menunjukkan itikad baiknya untuk menciptakan persatuan perempuan. Ketegangan yang ada karena bahasan tentang perkawinan tak menghalangi tekad mereka untuk membentuk federasi Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI). Kongres itu, tulis Cora Vreede-de Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia, tak menitikberatkan perjuangan perempuan dalam urusan politik tetapi memajukan posisi sosial perempuan dan kehidupan keluarga. Hasil kongres menuntut pemerintah kolonial untuk meningkatkan jumlah sekolah untuk anak perempuan, penjelasan taklik pada mempelai perempuan saat pernikahan, juga pembuatan aturan tentang pertolongan janda dan anak yatim piatu pegawai sipil.
- Totalitas Srikandi Lapangan Hijau
KETIKA dirawat di Rumahsakit Hasan Sadikin, Papat Yunisal kedatangan banyak teman. “Suatu malam, kakak kelas Yati Sumaryati (ibu pesepakbola Airlangga Sucipto) datang jenguk saya yang waktu itu dirawat karena sakit kuning. Dia datang pakai jeket (klub) Putri Priangan yang tulsannya ‘Sepakbola Wanita’. Saya tanya, itu dari mana jaketnya. Dia bilang dari klub yang ikut kejuaraan sepakbola wanita di Yogyakarta,” ujar Papat kepada Historia saat ditemui di Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) Pasundan, Cimahi, beberapa waktu lalu. Kedatangan Sumaryati itu menjadi tonggak penting dalam sejarah kehidupan Papat. Sejak itu, dia berhasrat pada sepakbola. Olahraga terpopuler di jagat itulah yang kemudian mematri namanya di antara segelintir perempuan lain dalam persepakbolaan perempuan di tanah air. Mendobrak Monopoli Sepakbola Lahir di Subang pada 11 Juni 1963 dari pasangan Otman Atmo dan Juhariah Sabur, darah olahraga Papat datang dari ayahnya. “Ibu itu desainer, sedangkan bapak awalnya kepala perkebunan di Subang. Tapi memang sebelumnya bapak aktif di kompetisi-kompetisi mahasiswa. Ikut sampai delapan cabang olahraga,” kata Papat. Sejak kecil, Papat telah bersentuhan dengan bulutangkis, basket, hingga hoki. Dia lalu mengambil pendidikan formal di Sekolah Guru Olahraga (SGO) Bandung. Namun, kecintaan Papat pada sepakbola baru muncul setelah dia sakit kuning. Rasa penasarannya yang besar terhadap sepakbola membuatnya bersemangat untuk cepat sembuh. Usai opname, Papat dan tiga temannya mendatangi ketua klub Putri Priangan, Indra Tohir. Mereka mengajukan diri untuk ikut bergabung dengan klub sepakbola wanita tertua di Indonesia itu (1969). “Senang banget dia waktu kedatangan empat calon pemain baru. Waktu itu kan ya terbilang susah untuk cari pemain (wanita),” tambahnya. Setelah melewati beberapa tes, Papat lulus masuk klub Putri Priangan pada 1979 dengan posisi penyerang. Dia ikut memperkuat klub itu ke sejumlah kejuaraan, mulai Kartini Cup, Pangdam Cup, hingga Galanita. Penampilan baiknya membuat dia kemudian terpilih masuk timnas (Galanita) PSSI putri pada 1981. Meski sepanjang sejarah keikutsertaannya di berbagai ajang internasional sejak 1979 timnas PSSI putri belum pernah menjadi juara, Papat ikut mengantarkan timnas PSSI putri menjadi runner up ASEAN Women’s Championship 1982 –prestasi tertinggi yang belum bisa disamai para pesepakbola putri generasi-generasi berikutnya. “Juaranya waktu itu tuan rumah Thailand,” kata Papat. Bagi Papat, prestasi itu lebih berkesan karena dia berhasil menjawab keraguan ofisial. “Yang paling saya ingat di kompetisi itu, saat bikin gol satu-satunya di pertandingan sebelumnya lawan Singapura yang awalnya saya di bangku cadangan. Saya merasa harus ngotot sama pelatih untuk minta dimainkan,” sambungnya. Kengototan Papat berbuah setelah pelatih memberinya kepercayaan untuk menggantikan rekan di menit-menit akhir. Dari sebuah situasi scrimmage , Papat mencetak gol penentu kemenangan 1-0. “Keunggulan saya itu power (duel fisik). Makanya saya tabrak semua pemain lawan yang menghadang untuk dapat bola. Golnya kemelut, bolanya saya dorong dengan badan ke gawang. Saya sempat enggak percaya bisa gol. Rasanya seperti ada lautan yang akan menimbun saya,” tuturnya. Kemenangan itu membawa Indonesia ke final melawan Thailand. Sayang, dalam pertandingan pada 28 Maret di National Stadium, Bangkok itu Indonesia kalah. “Timnas Kerajaan (Thailand) menang 4-1 di laga final melawan tim Indonesia dan menerima trofi Putri Maha Chakri Sirindorn yang diserahkan langsung Marsekal Armporn Kondee kepada kapten Wannipa Yeepracha,” tulis Bangkok Post , 29 Maret 1982. Karier Papat kian moncer usai kejuaraan itu, terutama di klub. Tak seperti kebanyakan pesepakbola perempuan yang menyudahi karier usai menikah, totalitas Papat tetap terjaga bahkan setelah menikah pada 1986. “Pernah saya baru 40 hari habis lahiran, sudah main saking antusiasnya kembali ke lapangan. Tapi saya tetap harus cek dokter dulu, apa masih layak bermain bola. Sama dokternya saya dikasih syarat harus pake gurita (stagen) yang benar-benar ngepres. Pas main, syukurnya enggak ada rasa sakit atau nyeri sama sekali,” kenang Papat. Papat pensiun dari timnas PSSI putri pada 1987 dan tiga tahun kemudian total gantung sepatu. Tapi kecintaannya pada sepakbola membuat Papat tak bisa jauh darinya. Pada 2004, dia mendirikan Sekolah Sepakbola (SSB) putri bernama Queen. Dia juga mengambil kursus kepelatihan sehingga punya lisensi C AFC. Itu semua dilakukan Papat bukan semata untuk kepuasan pribadi tapi juga untuk memajukan sepakbola putri. Budaya patriarki membuat sepakbola putri di Indonesia tak populer. Jangankan prestasi, kaum perempuan sendiri banyak yang tak meminati. Butuh upaya dua kali lipat untuk mendongkraknya lagi dan itu yang terus dilakukan Papat. Totalitasnya dalam sepakbola meski sudah pensiun membuat Papat kemudian dipercaya PSSI memegang manajerial timnas PSSI putri di beberapa level usia dan kompetisi sejak 2006. Lewat Kongres PSSI 2016, Papat masuk ke Komite Eksekutif PSSI. Di sela-sela kesibukannya mengajar di STKIP Pasundan, Papat aktif menggalakkan Pertiwi Cup. Pada 9 Desember 2017, Papat didaulat secara aklamasi menjadi ketua Asosiasi Sepakbola Wanita.
- Petaka Pasadena
BERBEDA dari pelatih Fransisco Maturana dan gelandang Gabriel Jaime Gomez yang amat gelisah, bek Andres Escobar Saldarriaga tetap tenang menjelang laga kedua Kolombia di Piala Dunia 1994 Amerika Serikat (AS). Pemain kelahiran Medellin, 13 Maret 1967, itu tak ingin tekanan publik negerinya merusak konsentrasi untuk bermain sebaik mungkin. Kedewasaan sikap Escobar, anak emas klub Atletico Nacional (Medellin), membuat dirinya kerap menjadi teladan di dalam maupun luar lapangan. Publik menjulukinya “ El Caballero del Futbol ” atau “Pria Sejati dalam Sepakbola”. Laga Petaka Para pemain Kolombia punya tekanan lebih berat saat memasuki Stadion Rose Bowl, Pasadena, California pada 22 Juni 1994. Selain lawan yang akan dihadapi adalah tuan rumah, mereka harus memenangkan pertandingan itu jika tak ingin terdepak dari perhelatan. Sebab, di laga perdana melawan Rumania mereka kalah 1-3. Keinginan untuk terus berada dalam turnamen itulah yang membuat para pemain Kolombia bersemangat. Selain memiliki catatan baik selama kualifikasi, mereka semangat karena lawan yang bakal dihadapi secara kualitas masih kalah baik. “Saya sudah siap main bagus,” kata Faustino Asprilla, penyerang Kolombia andalan klub Parma, dalam dokumenter besutan jurnalis Richard Sanders, Escobar’s Own Goal . Namun, petaka menghampiri Kolombia di menit ke-35. Escobar salah mengantisipasi umpan silang pemain sayap AS John Harkes. Upayanya menghalau bola justru mengarahkan bola ke gawang sendiri yang dijaga kiper Oscar Cordoba. Kolombia akhirnya kalah 1-2. Meski menang 2-0 atas Swiss di pertandingan berikutnya, Kolombia gagal melaju ke babak kedua. Kegagalan Kolombia dinilai ganjil. Terutama, karena sebelumnya di babak kualifikasi Kolombia tampil trengginas. Publik negeri itu, utamanya media-media dalam negeri, melayangkan beragam kritik pedas yang lantas memicu banyak ancaman penculikan dan pembunuhan terhadap entrenador (pelatih) Francisco Maturana dan pemain Gabriel Jaime Gomez. “(Suratkabar) La Pensa mendeskripsikan kelompok pengancam itu sebagai ‘Skuad Kematian Bayangan’. Mereka mengancam Maturana dan Gomez lewat telepon. Polisi kemudian mengawal kediaman Maturana dan Gomez selama beberapa saat,” tulis Koran New York Times , 24 Juni 1994. Sementara, Escobar sekembalinya ke kota asalnya di Medellin, terakhir kali terlihat di dekat sebuah klub malam El Indio oleh sejumlah saksi mata pada dini hari 2 Juli 1994. Escobar yang berada di dalam mobilnya, disebutkan didekati dan kemudian terlibat percekcokan dengan tiga orang tak dikenal. Seketika, meletuslah 12 kali tembakan. “Disebutkan seorang saksi, salah satu penembaknya sebelumnya mengatakan, ‘Terima kasih untuk gol bunuh dirinya’. Kemudian mereka melepas tembakan 12 kali dan meneriakkan ‘gol’ saat menembak Escobar. Trio pelaku kemudian kabur dengan dua mobil,” ungkap suratkabar LA Times , 3 Juli 1994. Escobar meninggal di tempat dengan keadaan tubuh yang berdarah-darah di dalam mobil. Kepolisian Medellin menduga kuat bahwa pembunuhan Escobar ada kaitannya dengan perjudian dalam sepakbola. Entah diduga bahwa Escobar dan kawan-kawannya disuap untuk kalah dari AS dan Rumania, atau karena memang para penjudi dari kelompok Kartel Medellin tak terima mereka kalah banyak akibat kekalahan Kolombia dari AS gara-gara gol bunuh diri Escobar. “Dalam penjelasan yang paling dipercaya, Kartel Narkoba Medellin bertaruh uang yang sangat besar dan kalah dalam taruhan itu karena Kolombia gagal maju dari fase grup. Kartel itu mengambinghitamkan Escobar,” sebut Nicolae Sfetcu dalam buku Game Preview. Tidak hanya publik Kolombia yang geger. John Harkes, pemain AS yang secara tidak langsung menyebabkan gol bunuh diri Escobar, turut terpukul kala mendengar kabar duka itu. “Saya seperti mati rasa mendengar berita itu. Di Kolombia dia pemain yang dihormati, dikenal sebagai pria sejati. Kami olahragawan dan semestinya tidak begini kejadiannya,” kenang Harkes dalam kolom yang ditulisnya di situs theplayerstribune.com , 3 Juni 2016. “Jelas saya merasakan kesedihan. Keprihatinan saya untuk keluarganya. Hari itu anda tak bisa fokus. Di hotel malam itu, Anda berusaha untuk terus fokus pada pertandingan, namun tidak bisa. Anda berusaha menemukan jawabannya dan tetap tidak bisa,” ujarnya. Pun begitu dengan pihak FIFA, yang diwakili Sekjen Sepp Blatter. “Ini hari paling menyedihkan dalam sepakbola menurut saya, baik dalam Piala Dunia maupun dalam kompetisi apapun,” ucap Blatter, dikutip koran Orlando Sentinel , 3 Juli 1994. Tidak butuh waktu lama buat kepolisian menangkap pelakunya. Seorang tersangka, Humberto Castro Munoz dalam interogasi polisi, tak membantah bahwa dia membunuh Escobar. Castro dikenal sebagai sopir seorang gembong kartel Santiago Gallon Henao yang diduga, kehilangan banyak uang akibat kalah taruhan. Namun Castro dan kedua tersangka penembak Escobar lainnya, Hernan Dario Velez Correa dan Luz Mila Correa, menyanggah bahwa pembunuhan itu sudah direncanakan dan ada hubungannya dengan kartel narkoba. Castro sebagai tersangka utama, dijatuhi hukuman 43 tahun penjara. Akan tetapi karena kelakuan baik, pada 2015 ketiganya bebas bersyarat. Kenangan akan Escobar tetap abadi di setiap jiwa rakyat Kolombia. Sekitar 120 ribu orang mendatangi pemakamannya. Setiap tahun di hari kematiannya, publik Kolombia mengenangnya dengan membawa serta foto-fotonya ke berbagai pertandingan. Memorinya juga diabadikan dalam sebuah patung yang disingkap pada 2 Juli 2002 di kota kelahirannya yang dibuat seniman Alejandro Hernandez. Dalam sebuah kesempatan pada Piala Dunia 2014 di Brasil, FIFA mengundang para kerabat Escobar untuk mengenangnya dalam laga pembuka Brasil vs Kroasia di Rio de Janeiro, 2 Juli 2014 yang kebetulan juga menghadirkan gol bunuh diri bek Brasil, Marcelo Vieira. “Piala Dunia yang dibuka dengan gol bunuh diri menghadirkan kenangan sedih itu kembali. Namun hal seperti ini acap terjadi kapapun. Kami senang bisa ada di sini dan punya kesempatan berbagi kebahagiaan tentang apa makna sepakbola bersama semua orang yang ada di sini,” kata Maria Ester Escobar, kakak perempuan Escobar, dilansir situs resmi FIFA, 2 Juli 2014.*






















