top of page

Sejarah Indonesia

Dari Bola Turun Ke Hati

Dari Bola Turun ke Hati

Di lapangan benih-benih asmara dua legenda hidup sepakbola nasional bersemi, di pelaminan asmara itu dipatri.

24 Desember 2017

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Papat Yunisal berpose di SSB miliknya/Foto: Nugroho Sejati

BAGI bintang sepakbola putri Papat Yunisal dan bintang sepakbola putra Zulkarnain Lubis, lapangan hijau tak hanya mendatangkan kebahagiaan lewat permainan, persaingan, dan gol. Lapangan hijau bagi keduanya juga mendatangkan kebahagiaan hati.


Papat dikenal sebagai salah satu maestro sepakbola putri Indonesia era 1980-an. Tak hanya mengukir prestasi di level klub bersama Putri Priangan, sejak 1981 penyerang mungil kelahiran Subang pada 1963 itu juga berseragam timnas. Bahkan, Papat menjadi penentu kemenangan yang membawa timnas putri Indonesia ke final ASEAN Women’s Championship 1982.


Meski sudah menikah, Papat tetap bermain. Sayang, pernikahannya kandas kendati sudah dianugerahi seorang anak. Dia dan suaminya cerai tak lama setelah Papat ikut orangtuanya pindah dari Bandung ke Batam, Kepulauan Riau.


“Iya, waktu itu sudah punya anak dan (sang suami) tidak mau tinggal di Batam. Ditinggal lama-lama, akhirnya bermasalah ya. Karena memang saya juga yang merasa salah pada suami,” kata Papat kala berbincang dengan Historia di STKIP Pasundan, Cimahi beberapa waktu lalu.


Namun, kecintaannya pada sepakbola tak pernah kandas. Setelah gantung sepatu, Papat kursus kepelatihan dan pada 2004 mendirikan Sekolah Sepakbola (SSB) Putri Queen di Bandung.


Sementara, Zulkarnain Lubis di era 1980-an merupakan bintang andalan klub-klub yang dibelanya dan juga timnas. Pemain yang mengidolakan legenda Inggris Kevin Keegan itu sampai mendapat julukan “Diego Maradona-nya Indonesia”. “Saya memang senang dengan pemain-pemain itu (Maradona dan Keegan),” ungkap Zul sebagaimana dimuat Kompas, 11 Agustus 1986.


Sayangnya, setelah pensiun di tahun 2000 Zul terpuruk. Legenda hidup kelahiran Binjai, Sumatra Utara tahun 1958 itu harus pontang-panting mengais nafkah. Dari berbisnis kecil-kecilan sampai berjualan nasi goreng di Cimahi pernah dilakoninya. Baru pada 2003 Zul mulai bangkit setelah diminta Ronny Pattinasarani untuk membantu menjadi pemandu bakat bibit-bibit pesepakbola U-15. Setahun berselang, kehidupan Zul kian membaik setelah dipercaya melatih SSB Queen milik Papat.


Terpilihnya Zul terjadi tak lama setelah Papat mendirikan SSB Queen. Papat mencari pelatih untuk melatih para pelajar SSB-nya. Salah seorang temannya lalu menyarankan nama Zul. “Sebenarnya sudah lama kenal dari dulu, tapi tidak begitu akrab. Karena waktu itu (semasa di timnas) training camp-nya bareng antara timnas wanita dengan timnas yang pria. Latihannya juga sama-sama di Senayan (Stadion Senayan, kini Stadion Utama Gelora Bung Karno),” kata Papat.


Papat langsung menawari Zul. Pria yang sedang menganggur tapi punya beberapa tawaran pekerjaan di bidang sepakbola itu langsung menerima tawaran Papat. “Dia mau saya tawari. Enjoy katanya melatih cewek,” ujar Papat sambil berkelakar.


Kerjasama dua mantan bintang lapangan hijau itu membuat penasaran banyak orang. “Banyak yang nanya emang berapa sih dibayar di Queen? Saya jawab aja, bayarnya pakai cinta,” cetus Papat sembari tertawa.


Kerjasama itu berjalan mulus di Queen. Pada akhirnya bukan semata urusan bola, tapi juga asmara. Benih-benih cinta antara Papat dan Zulkarnain muncul di sana.


“Cukup sering dan banyak yang tanya, soal di mana saya ketemu Pak Zul. Ya sering juga saya bercandain. Saya bilang aja pertama kali ketemunya di musala, hehehe...,” cetus Papat sembari terkekeh.


Seringnya bertemu di SSB Queen membuat Papat mengaku lama-lama ada kedekatan, ada kecocokan. Mereka akhirnya menikah di tahun itu juga (2004).

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

Sebagai murid, S.K. Trimurti tak selalu sejalan dengan guru politiknya. Dia menentang Sukarno kawin lagi dan menolak tawaran menteri. Namun, Sukarno tetap memujinya dan memberinya penghargaan.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
bottom of page