Hasil pencarian
9599 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Muslim Keturunan Konghucu
ADANYA keturunan filsuf Kongzi alias Konghucu (551 SM–479 SM) yang menganut agama Islam masih jarang menjadi bahasan sejarawan sampai sekarang. Minimnya literatur terkait barangkali menjadi penyebab utamanya. Atau, bagi orang-orang tertentu, boleh jadi karena hal itu dipandang sebagai “hil yang mustahal”.
- Di Pusaran Angin Musim Barat
BADAN Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika khususnya bidang Meteorologi Maritim, memberikan analisis prediksi sebaran hujan. Potensi hujan lebat disertai petir berpeluang terjadi di Laut Andaman, Perairan Barat Aceh, Samudra Hindia Barat Bengkulu, Perairan Kepulauan Lingga, Perairan Utara Bangka, Selat Karimata, Laut Jawa bagian Barat, Perairan pulau Buton, Laut Banda, Laut Maluku, Perairan Kepulauan Raja Ampat, Perairan Biak, Teluk Cendrawasih, Laut Aru, Perairan Jayapura. Adanya awan gelap ( cumulonimbus ) di lokasi tersebut, seperti dikutip dari laman maritim.bmkg.go.id (06/12), dapat menimbulkan angin kencang dan menambah tinggi gelombang. “Kalau dunia nelayan, Desember hingga Januari disebut musim baratan, gelombang tinggi,” ujar Sutejo Kuwat Widodo, penulis buku Ikan Layang Terbang Menjulang: Perkembangan Pelabuhan Pekalongan Menjadi Pelabuhan Perikanan 1900-1990 , kepada Historia . Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa adalah tempat angin pasat –angin yang bertiup tetap sepanjang tahun dari daerah subtropis menuju ke daerah ekuator– berhimpun. Dari sisi selatan berhembus angin pasat tenggara, sementara di utara ekuator adalah angin pasat timur laut. Pun demikian, sistem angin di Indonesia memiliki karakteristik, yaitu adanya angin musim yang berubah arah tujuan setiap setengah tahun. Pelayaran yang akan melewati perairan Nusantara pada masa lalu, akan mempertimbangkan musim dan arah angin. Mei hingga Oktober berhembus angin musim Timur yang bertiup dari arah tenggara, atau daratan Australia. Hembusan angin Timur ini digunakan oleh kapal-kapal dari timur masuk ke Nusantara. “Pada bulan Oktober, kapal-kapal sudah berangkat dari Maluku menuju pusat-pusat perdagangan di Makassar, Gresik, Demak, Banten, sampai kota-kota lain di sebelah barat,” tulis Adrian B. Lapian dalam Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke 16 dan 17 . Sementara pada November hingga April, tulis Djoko Pramono dalam Budaya Bahari , bertiup angin musim Barat dari arah Barat Laut, dari daratan Asia. Angin ini digunakan oleh kapal-kapal yang sudah berlabuh di selat Malaka untuk melanjutkan pelayarannya ke perairan laut Jawa. Puncak keramaian pelayaran di laut Jawa terjadi di bulan Juni-Juli, di mana pelabuhan Batavia penuh sesak oleh pedagang. Di dalam kedua angin musim itu, April-Mei dan Oktober-November, terjadi perubahan angin atau yang dikenal musim pancaroba. Ciri-cirinya adalah adanya badai di lautan dan gelombang tinggi sehingga membahayakan pelayaran. “Sekarang pancaroba menuju angin Barat yang disertai hujan lebat dan ombak besar. Perahu harus berlindung dulu di pelabuhan jika kondisi tidak baik,” ujar Singgih Tri Sulistyono, sejarawan Universitas Diponegoro yang mengkhususkan diri di bidang sejarah maritim, kepada Historia . Pada situasi yang gawat itu, kapal-kapal dari daratan India dan Tiongkok harus menunda pelayaran dengan berlabuh beberapa waktu di pelabuhan sembari menunggu musim pancaroba lewat. Namun dalam pelayaran lokal, menurut Djoko Pramono, di perairan Jawa, tidak begitu terganggu dengan musim pancaroba, sebab dampak yang ditimbulkan tidak sehebat seperti yang terjadi di Samudra Hindia. “Prinsipnya hampir semua pelabuhan kuno di pantai utara Jawa aman karena terlindung dengan pulau-pulau kecil atau pun karang dan juga ada yang berada di teluk atau selat,” ujar Singgih.
- Konflik Kawan Seiring
Wajah Letnan Jenderal (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo (89) tiba-tiba berubah menjadi keruh saat disebut nama Darul Islam (DI). Sebagai eks prajurit Divisi Siliwangi, ia menganggap apa yang dilakukan oleh gerakan DI/ TII (Tentara Islam Indonesia) pada saat itu merupakan bentuk pengkhianatan yang paling fatal. “Ketika kami beradu nyawa melawan tentara Belanda, mereka menusuk kami dari belakang,” ujar mantan komandan peleton di Yon Nasuhi tersebut. Hubungan antara Divisi Siliwangi dengan orang-orang DI/TII pada mulanya memang berlangsung baik. Kendati tidak menyetujui Perjanjian Renville dan menolak hijrah ke Jawa Tengah, orang-orang DI/TII tetap menganggap Divisi Siliwangi sebagai kawan seiring. Bahkan saat masa-masa Jawa Barat menjadi daerah pendudukan, kesatuan-kesatuan Siliwangi yang ditinggal hijrah kerap melakukan serangan gabungan ke pos-pos militer Belanda bersama TII . Seperti yang pernah terjadi pada 26 Januari 1949, saat 30 anggota Yon II Siliwangi bahu membahu bersama 15 prajurit TII menghajar kedudukan militer Belanda di Purwakarta. “Dalam penyerangan itu, pihak Siliwangi dan TII masing-masing kehilangan satu anggotanya,” demikian disebutkan Pusat Sejarah Divisi Siliwangi dalam buku Siliwangi dari Masa ke Masa. Sikap bermusuhan mulai diperlihatkan pihak DI/TII saat rombongan Siliwangi yang berhijrah ke Jawa Tengah secara bertahap melakukan penyusupan kembali ke Jawa Barat melalui long march pada Desember 1948- Maret 1949. Menurut Holk H. Dengel, ketika bataliyon-bataliyon Siliwangi sampai di daerah perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, mereka menemukan selebaran dan plakat yang ditempel pada pohon-pohon. “Selebaran dan plakat itu berisi seruan agar para prajurit Siliwangi secepatnya menggabungkan diri dengan Tentara Islam Indonesia (TII),” tulis peneliti gerakan DI/TII asal Jerman itu dalam bukunya Darul Islam dan Kartosuwirjo: Angan-Angan yang Gagal . Sebagian besar anggota Divisi Siliwangi tentu saja menolak seruan tersebut. Sejak itulah, sebutan tentara liar atau walanda hideung (Belanda berkulit hitam) yang ditujukan kepada para tentara hijrah mulai sering terdengar dari kubu DI/TII. Bahkan bukan hanya ejekan, organ-organ bersenjata DI/TII secara sengaja kerap menembaki rombongan tentara Siliawangi yang baru tiba di perbatasan Jawa Barat dengan Jawa Tengah. Hal itu dialami pula oleh peleton Asikin Rachman dari Yon Huseinsjah yang pernah kehilangan beberapa anggotanya saat mereka tiba di kawasan Kalapanunggal (masuk Majalengka). “Awalnya mereka menjamu kami dengan makanan enak, tetapi setelah kami lengah dan tertidur mereka berusaha menyembelih kami satu persatu,” kenang mantan perwira menengah di Kodam V Jaya tersebut. Sadar bahwa situasi itu hanya akan menguntungkan pihak Belanda, para pimpinan Siliwangi tidak cepat terpancing dengan provokasi-provokasi tersebut. Alih-alih membalas, mereka malah menawarkan dialog dan kerjasama kembali dalam menghadapi militer Belanda di Jawa Barat, seperti yang pernah dilakukan oleh Yon Nasuhi di Ciamis. Pihak DI/TI setuju untuk mewujudkan ide tersebut, namun dengan dua syarat: anak-anak Siliwangi harus bertaubat kepada Allah Swt. terlebih dahulu dan menerima bulat-bulat adanya suatu negara berdasarkan Islam di Indonesia. “ Siapa pula orang Siliwangi yang mau menerima tuntutan-tuntutan keblinger seperti itu?” ujar Sayidiman Suryohadiprojo. Gagal dengan upaya itu, Siliwangi berusaha untuk tidak patah arang. Pada pertengahan Februari 1949, saat pasukan Kapten Machmud Pasha berhasil menangkap Panglima Divisi DI/TII Agus Abdullah, tawaran damai tetap disodorkan. Diadakanlah kemudian suatu perjanjian tertulis antara pihak DI/TII dengan TNI (diwakili Divisi Siliwangi) untuk tidak saling menyerang serta bahu membahu kembali menghadapi militer Belanda. “Pihak DI/TII ternyata mengkhianati kesepakatan itu. Mereka berdalih perundingan tersebut dilakukan di bawah ancaman senjata…” demikian tulis Pusjarah Divisi Siliwangi. Singkat kata, kedua pihak akhirnya memilih “jalan pedang” untuk mencapai tujuannya masing-masing. Selanjutnya, perseteruan antara Divisi Siliwangi (baca:TNI) dengan TII terus berlangsung hingga penyerahan kedaulatan dilakukan Belanda kepada Indonesia pada 27 Desember 1949. Memasuki tahun 1950, perlawanan DI/TII bukannya melemah, malah semakin menebarkan jaringnya ke wilayah luar Jawa seperti Kalimantan Selatan, Aceh dan Sulawesi Selatan. Untuk mematahkan perlwanan DI/TII, Siliwangi lantas melangsungkan upaya kontra gerilya lewat Operasi Baratayudha atau lebih populis disebut sebagai Operasi Pagar Betis. Secara militer, operasi ini berjalan baik. Itu terbukti dengan menyerahnya pemimpin tertinggi DI/TII Sekar Maridjan Kartosuwirjo menyerah kepada Yon Kudjang Divisi Siliwangi pada 4 Juni 1962 di kaki Gunung Geber (masuk wilayah antara Garut dan Tasikmalaya). Dengan diakhirinya gerakan ini, perlawanan DI/TII tertabalkan sebagai salah satu perang saudara paling panjang dalam sejarah politik di Indonesia, yakni berlangsung hampir 13 tahun. “Jumlah korban tewas (termasuk penduduk sipil) hingga Agustus 1962 secara resmi disebut mencapai angka 22.895 jiwa…” tulis Holk H.Dengel
- Sigap Menangkal Babi-Babi Suap
KOLONEL I Gusti Kompyang (IGK) Manila tahu betul beragam tantangan yang bakal dihadapi ketika menduduki jabatan manajer timnas Indonesia untuk SEA Games 1991 di Manila, Filipina. Bukan hanya soal segudang problem persiapan tim, tapi juga “hantu” judi dan suap yang sudah lama membayangi persepakbolaan Indonesia. Manila (kini Mayjen TNI Purnawirawan) punya keyakinan bahwa para bandar judi dan tukang suap masih jadi ancaman buat tim Garuda. Empat tahun sebelumnya, sebuah kasus suap menggegerkan persepakbolaan nasional. Suap hinggap ke timnas Indonesia pra-Olimpiade 1987. Elly Idris, Bambang Nurdiansyah, Noach Maryen, Louis Mahodim langsung dikenai hukuman larangan bertanding selama tiga tahun akibat kasus itu. Dalam persiapan timnas jelang SEA Games 1991 sendiri, Manila sudah beberapa kali bentrok pemikiran baik dengan pelatih Anatoly Polosin maupun dengan Ketua PSSI Kardono. Dengan Kardono, Manila sampai “berperang” argumen gara-gara mencoret nama pemain bintang Ricky Yakob dari skuad timnas . Toh, timnas akhirnya berangkat ke Manila setelah melewati berbagai persiapan, termasuk penggojlokan ala militer di Pusdik POM Cimahi. Namun, tantangan di luar lapangan belum kelar. Manila masih harus memantau dan menangkal para gembong judi yang acap menyuap pemain. Manila menyebutnya “babi-babi suap”. “Ya, mereka memang babi semua. Babi-babi suap,” kata Manila dalam biografi IGK Manila: Panglima Gajah, Manajer Juara karya Hardy R Hermawan dan Edy Budiyarso. Manila terbang ke Manila tak hanya membawa ofisial tim dan para pemain, namun juga sejumlah anak buahnya dari POM ABRI. Satu regu POM ABRI berpakaian sipil itu dibekali sejumlah identitas dan jadwal para tukang suap yang datang dari Jakarta ke Manila. Namun, anak buah-anak buah Manila hanya efektif menciduk para bandar judi “kelas teri”. Bandar kelas kakap ditangani langsung oleh Manila. “Ada satu, orang Sulawesi Selatan, tokoh sepakbola bangkotan tapi kerjanya enggak benar. Suka berhubungan dengan bandar judi dan sering menyuap pemain,” ujar Manila. Untuk menanganinya, Manila melakukannya dengan cara persuasif guna memberi pengertian sang bandar. Lantaran kenal baik dengan ayah sang bandar, Manila mengontak ayahnya terlebih dulu. Kepada mafia kelas kakap lain, yang berasal dari militer dan jauh lebih senior darinya, Manila memberi pengertian bahwa dia sedang menjalankan tugas negara dan bersedia pasang badan menghadapi segala macam gangguan. “Dia pun kemudian memahami dan detik itu juga meninggalkan hotel. ‘Selamat bertugas, Dik’,” ujar Manila menirukan kata-kata terakhir sang senior. Namun, masalah tak selesai sampai di situ. Oknum PSSI pun ternyata ada yang turut “bermain”. Untuk menanganinya, Manila menggunakan Bambang Nurdiansyah, salah satu pemain timnas, sebagai informan. Manila membawa Bambang untuk mendeteksi, mengenali, dan menginformasikan keberadaan sang mafia di hotel tim di Manila. “Bambang pemain berpengalaman, dia kenal semua orang bola, bandar, dan tukang suap. Ia sudah bertaubat dan mau bekerjasama dengan saya. 'Anda (Bambang) sekarang ada di timnas, bantu saja cegah babi-babi itu masuk ke area timnas. Lapor pada saya jika kau lihat ada babi-babi itu',” kata Manila. Bambang menyanggupi “tugas khusus” itu. Dia lalu mendeteksi ada oknum PSSI yang "bermain" dan segera melaporkan ke Manila. Dengan sigap dan segera, Manila mengusir anasir PSSI tersebut. Timnas sendiri pada akhirnya sukses merebut medali emas cabang sepakbola putra. Di final, anak asuh Manila menaklukkan Thailand 4-3 via adu penalti. Namun, pernyataan Manila itu dibantah Bambang. “Enggak, enggak. Saya sebagai apa (informan), enggak. Memangnya saya tukang bandar suap? Enggak ada. Saya enggak kenal (para tukang suap), memangnya saya bandar suap,” kata Bambang via sambungan telepon kepada Historia .
- Letusan Gunung Agung dan Pariwisata Bali
SUTOPO Purwo Nugroho setidaknya dua kali menulis di akun twitter -nya tentang letusan Gunung Agung sebagai potensi wisata. Menurutnya, fenomena letusan gunung api adalah langka. Tak semua negara punya gunung api. Sedangkan Indonesia punya 127 gunung api aktif. “Saat meletus dapat dinikmati wisatawan di tempat aman. Turis asing terpesona letusan Gunung Agung. Biarkanlah gunung bekerja, kita menyingkir dulu,” kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana itu. Menurut Sutopo letusan gunung api dapat dinikmati sebagai karya Ilahi, jika masyarakat tidak panik, memahami informasi gunung api dengan baik, dan berada di tempat aman (daerah berbahaya di Bali hanya di radius 8-10 km dari puncak kawah). Ajakan itu mengingatkan kembali pada peristiwa letusan Gunung Agung pada 1963. Saat itu, pemerintah daerah Bali dan pemuka masyarakat sepakat menggelar upacara Eka Dasa Rudra setelah 400 tahun tidak dilaksanakan. Upacara itu sebenarnya belum waktunya, tetapi diadakan karena insidental ( padgata-kala ). Menurut I Gede Mugi Raharja, dosen Program Studi Desain Interior Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Denpasar, Bali, upacara Eka Dasa Rudra dilaksanaan dengan pertimbangan sebagai pembayaran utang ( penregteg ) karena beberapa kali tidak pernah dilaksanakan pada pergantian abad, sejak abad ke-15. Upacara itu juga dimaksudkan sebagai pembersihan bumi ( pemarisuda jagat ) akibat bencana-bencana yang dialami Pulau Bali, seperti penjajahan Belanda, gempa 1917, Gunung Batur meletus 1926, penjajahan Jepang, perang kemerdekaan dan Puputan Margarana. “Eka Dasa Rudra pada hakikatnya adalah upacara memuja dan menyembah Hyang Widhi yang Maha Esa di sebelas arah (8 penjuru + titik tengah + atas + bawah), agar kekuatan-Nya yang Maha Dahsyat (Rudra), berubah kepada sifat sejati-Nya yang Maha Kasih dan Maha Luhur. Upacara ini pada intinya merupakan upacara kurban suci Bhuta Yadnya tertinggi yang dilaksanakan 100 tahun sekali, agar unsur-unsur alam senantiasa memberikan keselamatan dan kesejahteraan kepada masyarakat, khususnya umat Hindu di Bali,” tulis I Gede Mugi Raharja dalam, "Makna Gunung Agung dalam Kebudayaan Bali," isi-dps.ac.id. Rangkaian upacara Eka Dasa Rudra diselenggarakan pada 10 Oktober 1962 hingga 20 April 1963. Pemerintah pusat menjadikan upacara itu sebagai ajang untuk mendongkrak pariwisata Bali. “Pemerintah memanfaatkan kesempatan itu untuk berpromosi, dengan mengundang para peserta konferensi biro perjalanan yang tengah berlangsung di Jakarta untuk datang ke upacara tersebut bersama Presiden Sukarno,” tulis Michel Picard dalam Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata . Rangkaian upacara yang direncanakan akan berlangsung selama dua bulan itu hampir dihentikan oleh gejala-gejala awal letusan Gunung Agung. "Tanpa menghiraukan kekhawatiran berbagai pemuka agama, diputuskan untuk tetap melaksanakan upacara boleh jadi karena kepentingan nasional turut dipertaruhkan," tulis Picard. Letusan yang dikhawatirkan itu terjadi di tengah pelaksanaan upacara. Gunung Agung meletus mulai 18 Februari 1963 hingga 27 Januari 1964. Letusan paling dahsyat terjadi pada 17 Maret 1963, tiga hari sebelum Hari Raya Galungan. Akibatnya, seluruh bagian timur Bali porak-poranda, menelan ribuan korban jiwa, disusul bencana kelaparan dan wabah penyakit. “Pemerintah konon mengundang wakil-wakil dari biro-biro perjalanan untuk terbang di atas Gunung Agung dan menikmati pemandangan yang megah atas letusan gunung tersebut,” tulis Picard. “Sebagian orang Bali pun menduga bahwa bencana itu adalah hukuman para dewata yang marah melihat upacara dijadikan komoditas pariwisata.” Letusan gunung pernah jadi objek wisata ketika Gunung Krakatau meletus pada 1883. Biro pariwisata mengundang para pelancong dari Eropa untuk datang ke Hindia Belanda menyaksikan akibat dari bencana dahsyat itu. “Pada Mei 1883 ada pengumuman di Klub Harmonie dan Concordia berupa iklan dari Netherlands Indies Steamship Company untuk perjalanan ke wilayah dekat dengan Gunung Krakatau yang baru meletus, menggunakan kapal Loudon. Biaya sebesar 25 gulden. Ada sekitar 86 penumpang yang ikut. Di antara mereka ada yang berani mendekat dengan perahu. Bahkan ada yang sempat mengambil foto,” ujar Ahmad Sunjayadi, sejarawan yang mendalami pariwisata era kolonial, kepada Historia .
- Masa Lalu Orang Kaya Baru
Fredrich Yunadi, pengacara Setya Novanto sesumbar. “Warisan saya saja untuk 10 turunan juga nggak habis kok. Sejak lahir saya sudah hidup berkecukupan. Supaya tahu. Jadi jangan kira saya ini OKB’,” katanya . Dia menolak anggapan bahwa reputasi dirinya sebagai orang kaya lantaran menangani kasus korupsi E-KTP yang menjerat Ketua DPR, Setya Novanto. Sontak ucapan angkuhnya menjadi viral di lini massa. Lantas, bagaimana ceritanya sebutan OKB (Orang Kaya Baru) mengemuka? Fenomena OKB sebenarnya bukan barang baru. Ia telah mengakar sejak zaman kolonial. Istilah ini mengacu kepada mentalitas suatu kelas sosial dalam masyarakat. Sejarawan Belanda terkemuka Bernard Vlekke mencatat, struktur masyarakat Batavia terbagi atas dua kelompok: pegawai Kompeni dan warga bebas. Hampir semua warga bebas adalah mantan pegawai Kompeni dan orang-orang kaya baru Batavia yang suka pamer kekayaan namun berselera rendahan. “Dianggap tanda kemakmuran bila punya banyak budak dan melepaskan semua kerja dan urusan, bahkan pendidikan anak-anak kepada pelayan,” tulis Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia . Ki Hadjar Dewantara dalam obituari mengenang Mr. C. Th. van Deventer bertajuk “De Taak” (Tugasnya) termuat di mingguan Algemeen Indisch Weekblad , Agustus 1917 pernah menyentil kaum perlente sebangsanya yang banyak gaya ini. Ki Hadjar menyebut mereka sebagai borjuis pribumi yang berorientasi Barat. Mereka memuja sesuatu yang berbau Barat dan fasih dalam penguasaan tata budaya Belanda. “Dia (Ki Hadjar Dewantara) mencela para parvenue (orang kaya baru) Jawa tertentu yang selalu ingin pamer dan menonjolkan materi, namun tidak mampu menghargai bentuk pendidikan yang tidak menyertakan bahasa Belanda,” demikian menurut Frances Gouda dalam Dutch Cultures Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda, 1900--1942 . Namun istilah OKB sendiri barangkali mulai mengkhalayak setelah meletusnya revolusi sosial di Sumatera Timur. Mohammad Radjab, wartawan Kantor Berita Antara , dalam reportasenya di Pematang Siantar pada 23 Juni 1947 melaporkan, banyak orang biasa yang tiba-tiba bergelimang harta; punya mobil, perhiasan, dan rumah mewah. Kekayaan itu ditengarai berasal dari penjarahan saat terjadi revolusi sosial yang menumbangkan kekuasaan kesultanan feodal di Sumatera Timur. Ratusan orang yang ”beruntung” itu hilir-mudik di jalan, berbelanja dan memborong di pasar. “Inilah busa tiap-tiap pergolakan. Oleh rakyat di sana mereka dinamakan O.K.B. (Orang Kaya Baru) atau kaum feodal baru yang menggantikan kaum feodal yang dibasminya setahun yang lalu,” tulis Radjab dalam memoarnya Tjatatan di Sumatera (1949). Antropolog Universitas Nasional Malaysia, Shamsul Amari Baharuddin juga meyakini istilah OKB bermula dari Sumatera. Istilah ini sejak tahun 1950-an sering disinggung dan menjadi diksi yang melekat dalam masyarakat hanya dengan singkatannya. OKB bahkan populer hingga ke Malaya. “Istilah OKB digunakan dalam percakapan sehari-hari, lirik lagu, pertunjukan komedi, cerita pendek, ataupun tajuk rencana koran-koran lokal berbahasa Melayu,” ungkap Shamsul dalam artikel “From Orang Kaya Baru to Melayu Baru” termuat di kumpulan tulisan Cultural Privilege in Capitalist Asia suntingan Michael Pinches. Gaya dan tren OKB pun mewabah. Di Jakarta yang telah menjadi ibu kota negara Indonesia, mereka teridentifikasi dari bangunan rumahnya yang menyolok. Firman Lubis dalam memoarnya Jakarta 1950-an:Kenangan Semasa Remaja menyaksikan bangunan rumah yang aneh-aneh di sekitaran Menteng, Kebayoran baru, Simpruk, atau Pondok Indah. Rumah-rumah ini dibangun dengan arsitektur meniru berbagai gaya bangunan asing seperti gaya Spanyol, klasik Eropa, Yunani, Italia, dan lain-lain. Padahal desain rumah demikian sangat tidak cocok dengan iklim tropis. “Tetapi memang begitulah umumnya yang terjadi pada orang kaya baru (OKB) yang mendadak duitnya banyak tetapi kurang diimbangi dengan kemampuan intelektualitasnya sehingga mempunyai selera seni yang rendah, kurang mempunyai estetika. Memang tidak ada istilah lain kecuali sekali lagi, norak!" celoteh Firman Lubis. Seiring dengan genjotan pembangunan dan modernisasi di era Orde baru, OKB berdandan mengikuti zaman. Mereka ini biasanya merujuk kepada para pejabat yang tiba-tiba kaya setelah menduduki jabatan strategis dalam pemerintahan. Sebagian lainnya menyebut kepada orang yang ketiban warisan. Sebagai sebuah “suku urban”, menurut sejarawan Universitas Leiden Henk Schulte Nordholt, orang kaya macam ini dapat dikenali dari pakaian mereka yang berbeda dan mahal. Identitas kelasnya mencuat lewat gaya hidup baru: konsumerisme. Nordholt mencatat, ragam kebiasaan orang kaya baru yang menarik adalah upaya mereka untuk mengoleksi kartu nama, undangan, relasi (sosialita), alat pembakar roti, mobil hingga apartemen. Juga tak ketinggalan, aktivitas plesiran mancanegara. “Secara serempak dunia orang kaya baru ini terdiri atas sekumpulan jaringan kerja yang lebih besar, termasuk Hongkong (untuk belanja), Amerika Serikat (tempat anak-anak mereka bersekolah), Eropa (untuk perjalanan lima hari), dan Makah (untuk ibadah haji bintang lima),” tulis Nordholt dalam Outward Appreances: Trend, Identitas, Kepentingan.
- Akhir Pertempuran Surabaya
SENIN, 3 Desember 1945. Langit Surabaya masih berwarna kelabu karena asap gedung-gedung terbakar. Bau mesiu tercium menyengat. Di tengah kota yang porak poranda, pasukan infanteri Inggris bergerak perlahan. Mereka menduduki tempat-tempat strategis sejengkal demi sejengkal. “Pasukan Indonesia hanya bisa diusir dari Surabaya setelah pengeboman artileri dan penembakan meriam dari kapal perang secara besar-besaran,” ungkap Mayor R.B. Houston dari Batalyon Gurkha Rifles ke-10 dalam What Happened in Java; History of the 23rd Division. Kendati kekuatan tempur para pejuang Indonesia sudah mundur ke wilayah-wilayah sekitar Surabaya, namun kondisi keamanan di kota tersebut belum sepenuhnya pulih. Menurut Moekajat, para penembak runduk ( sniper ) masih menempati gedung-gedung tersembunyi dan kerap mengganggu pergerakan pasukan Inggris saat memasuki kota. “Banyak serdadu Inggris yang mati karena tembakan para sniper kita itu,” ujar eks veteran Pertempuran Surabaya tersebut. Penyelundupan para pejuang ke Surabaya pun masih berlangsung secara diam-diam. Mereka yang sebagian besar berasal dari kesatuan-kesatuan PRI (Pemoeda Republik Indonesia) itu menjalankan aksi-aksi gerilya kota secara sendiri dan nyaris tanpa koordinasi dengan pasukan Indonesia lainnya. “Mereka bangga merasa dapat mempermainkan pasukan Inggris, yang dari segi keperkasaannya jauh lebih menonjol,” ujar Des Alwi dalam Pertempuran Surabaya November 1945. Militer Inggris sendiri sudah menghentikan sama sekali aksi bombardir dan penembakan artileri sejak hari Minggu, 2 Desember 1945. Menurut Frank Palmos dalam Surabaya 1945: Sakral Tanahku , sekira 15 ribu orang Indonesia meninggal akibat aksi militer tentara Inggris tersebut. Dari pihak Inggris sendiri diperkirakan 1200 prajurit gugur (termasuk dua jenderal) dan ratusan lainnya hilang atau melakukan aksi pembelotan ke kubu lawan. Dalam catatan Inggris sendiri, Pertempuran Surabaya disebut sebagai pengalaman tempur terberat pasca Perang Dunia II. Dalam surat kabar New York Times edisi 15 November 1945, para serdadu Inggris menjuluki “The Battle of Soerabaja” sebagai inferno atau neraka di timur Jawa. Palmos menyatakan keterlibatan Inggris di Indonesia pasca menyerahnya Jepang merupakan suatu “kecelakaan”. Itu terjadi selain adanya sikap meremehkan pihak Inggris terhadap daya juang orang-orang Indonesia, juga karena kecerobohan pihak intelijen Belanda yang memberikan informasi keliru sekitar situasi Indonesia pasca berakhirnya Perang Dunia II. Heroisme Pertempuran Surabaya berpengaruh besar kepada daerah-daerah lainnya di Indonesia. Di beberapa titik wilayah Jawa lainnya, tentara Inggris harus menghadapi perlawanan-perlawanan yang tak kalah sengit dari Surabaya. Dalam buku The Fighting Cock, Being the Story of the 23rd Indian Division 1942-1947 karya Latnan Kolonel A.J.F. Doulton, dilukiskan bagaimana tentara Inggris yang sejatinya sudah lelah berperang harus bekerja keras kembali menghadapi orang-orang Indonesia di Semarang, Ambarawa, Batavia, Bogor, Sukabumi, Cianjur, Ciranjang dan Bandung serta beberapa tempat di wilayah Sumatera. “Kami seolah harus memasuki sebuah gudang mesiu yang siap meledak,” ujar Doulton. Pihak Inggris mulai mencari jalan keluar. Pada 15 November 1946, Lord Killearn, Komisioner Istimewa di Asia Tenggara (1946-1948) yang pernah ditugaskan secara khusus oleh pemerintah Inggris menyelesaikan persoalan-persoalan Inggris di Indonesia, menulis di buku hariannya bahwa membiarkan tentara Inggris bercokol lebih lama di Indonesia adalah suatu tindakan bunuh diri. “Jalan bijak yang harus kita ambil adalah meninggalkan tempat itu secepat mungkin,” tulis Killearn seperti dikutip Palmos.
- Musibah Kapal Hibah
TNI AL kehilangan salah satu kapalnya Sabtu, 2 Desember 2017, kemarin. KRI Sibarau (nomor lambung 847) dilaporkan karam di Selat Malaka dekat Sumatra Utara setelah diterpa badai dan kerusakan mesin. Menurut Kepala Dinas Penerangan AL Laksamana Pertama Gig Jonias Mozes Sipasulta dalam keterangan tertulis, KRI Sibarau tenggelam dalam tugas patroli di perairan Sumatra Utara dan tak ada korban dalam peristiwa nahas itu. “Penyebab tenggelamnya masih dalam penyelidikan,” ujarnya. Tak bisa dipungkiri, kapal patroli cepat yang tergabung dalam satuan patroli Armada Barat (Armabar) itu sudah uzur. Kapal tersebut didapatkan Indonesia dari Australia bukan karena pesanan baru, tapi hibah. Kapal buatan Walkers Ltd. of Maryborough itu dibuat khusus untuk AL Australia pada 1964. AL Australia resmi menggunakan kapal itu pada 14 Desember 1968 dengan nama HMAS Bandolier (P-95). Kapal “imut” berbobot (bersih) 100 ton dan panjang 32,8 meter serta lebar 6,1 meter itu ditenagai mesin diesel Paxman YJCM 2x16 silinder yang mampu memacu laju hingga 24 knot. Untuk persenjataan, kapal yang diawaki 16 pelaut plus tiga perwira itu memiliki sepucuk meriam Bofors kaliber 40 milimeter dan sepasang senapan mesin M2 Browning. HMAS Bandolier sering bertugas ke perairan perbatasan, terutama ketika Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia. Pada 16 November 1973, pemerintah Australia menghibahkan Bandolier kepada TNI AL. “Kapal seri ( Attack Class ) ini dirancang untuk misi pengintaian dan pengawasan sepanjang garis pantai Australia. Mereka punya 20 unit dan delapan unit di antaranya digunakan TNI AL lewat program hibah secara bertahap mulai 16 November 1973,” kata pengamat alutsista Haryo Adjie Nogo Seno kepada Historia via pesan singkat. Tujuh unit lainnya yang juga dihibahkan ke Indonesia adalah HMAS Archer (P-86) yang dihibahkan pada 21 Mei 1974 dan berganti nama menjadi KRI Siliman (848), HMAS Barricade (P-98), 20 Mei 1982, menjadi KRI Sigalu (857); HMAS Barbette (P-97), 15 Juni 1984, menjadi KRI Siada (862); HMAS Acute (P-81), 6 Mei 1983, menjadi KRI Silea (858), HMAS Bombard (P-99), 12 September 1983, menjadi KRI Siribua (859); HMAS Attack (P-90), 21 Februari 1985, menjadi KRI Sikuda (863); dan HMAS Assail (P-89), 18 Oktober 1985, menjadi KRI Sigurot (864). “Hadirnya kapal patroli dengan senjata meriam ini seolah jadi angin segar buat TNI AL untuk armada patroli (di era 1970-an dan awal 1980-an), terutama setelah berubah haluan alutsista dari blok Timur ke blok Barat,” imbuh Haryo. Nahas yang menimpa KRI Sibarau ini bukan kali pertama menimpa kapal TNI AL. Pada Juni 1994, KRI Teluk Lampung (540) nyaris mengalami hal sama. Ketika tengah berlayar kembali setelah direparasi di Jerman, KRI Teluk Lampung dihadang badai di Teluk Biscay, Spanyol. Amukan ombak sampai menjebol beberapa pintu kapal hingga air laut masuk. “Kapal terancam tenggelam. Namun masih bisa mengirim SOS (pesan darurat) yang lantas didengar SAR Prancis dan diteruskan ke SAR Spanyol,” lanjut Haryo. Nasib KRI Teluk Lampung tak sampai senahas KRI Sibarau. Kapal pendarat itu masih tertolong. Lima puluh satu awaknya diselamatkan dua helikopter SAR Spanyol dan kapalnya diseret kapal tunda hingga diamankan ke Gijon, Spanyol.
- Sumber Hidup Orang Melayu
LAUT sahabat orang Melayu. Berkat budaya laut, orang Melayu berdiaspora ke wilayah pesisir pulau-pulau di Indonesia. Mereka banyak menempati wilayah pesisir Sumatra, kepulauan sekitar Selat Malaka, pesisir Kalimantan, pesisir Sulawesi, pesisir Kepulauan Maluku, dan Pesisir Jawa. “Sampai Jawa? Sampai Jawa berkat hubungan dagang,” ucap Lily Tjahjandari, wakil direktur Lembaga Kajian Indonesia, dalam Seminar Nasional Memori Kolektif dalam Kebudayaan Melayu, di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Kamis (30/11). Pada perkembangannya orang Melayu yang sampai di pesisir berbaur dengan suku lain. Mereka melahirkan keanekaragaman tradisi Melayu pesisir yang dilestarikan oleh masyarakat pesisir Indonesia. Wilayah pesisir memungkinkan berbagai pertemuan antarbudaya. Meski begitu, masih tetap terlihat kekhasan budaya pesisir yang mirip satu sama lain. Misalnya, Lily menyebut permainan perahu layar “jong” di wilayah Riau. Permainan ini merupakan ikon masyarakat Melayu pesisir. Biasanya dimainkan tak hanya oleh anak-anak tapi juga dewasa. Bukti persebaran budaya Melayu juga terlihat dari beberapa kesamaan tradisi di berbagai wilayah di Indonesia saat ini. Ada kemiripan antara ornamen pengantin Betawi mirip dengan ornamen perempuan Riau. “Untaian yang menutup itu kena dua pengaruh, Melayu dan Cina. Hanya warnanya beda, Riau juga untaiannya lebih jarang, kalau Betawi padat,” ujar Lily. Dalam budaya Melayu juga mengenal tradisi ritus laut sebagai bentuk persembahan masyarakat pesisir pada Sang Pencipta. Biasanya dengan cara menghanyutkan berbagai bentuk persembahan di laut, baik makanan, pakaian, dan buah-buahan. Ritual laut ini masih dilakukan di wilayah pesisir Jawa, Sulawesi, dan Sumatra. Di Jawa, ritual ini bisa dijumpai di Banten dan Cirebon. Kedekatan budaya Melayu dengan laut diwujudkan dengan lahirnya UU laut dalam UU Malaka pada sekira abad 14-15 M. Di dalamnya ada pasal-pasal yang mengatur soal kapal karam. Disebutkan, apabila karam, anak buah kapal yang karam harus menjadi hamba kapten kapal yang menolong mereka. “Mereka harus taat pada nakhoda kapal penyelamat,” kata Lily. Dalam undang-undang itu pula nakhoda kapal diwajibkan untuk memperhatikan anak buahnya. Dia tak boleh berlaku semena-mena. “Ada ancaman juga, jika masuk wilayah Malaka tanpa maksud baik, akan ada sanksi dari sultan,” jelasnya. UU itu, kata Lily, tak pernah disiarkan dengan bebas. Namun, aturannya dilakukan sebagai tindakan yang berpola. Karenanya, meski naskah tidak berpindah, pelakunya terus menerus mengamalkan aturan UU Malaka. “Sehingga menjadi sebuah sistem dan berlaku tidak selalu di wilayah Malaka,” ujar Lily. Bagaimanapun, baik laut maupun sungai, keduanya merupakan sumber kehidupan orang Melayu. Mereka memandangnya bagai sebuah semesta. Mereka pun menerapkan pantangan-pantangan untuk memberikan penghormatan terhadap sungai dan laut. “Laut adalah jiwa mereka. Sebagian besar mereka tinggal di dekatnya. Mereka melakukan ritus di dekat-dekat situ. Di situ pula sumber mereka mencari nafkah,” kata Welli Aprian, wakil ketua Yayasan Alam Melayu Sriwijaya.
- Raja Diraja Pengawal Mistar Dunia
SETELAH logo dan maskot, FIFA meresmikan poster resmi Piala Dunia 2018. Poster itu dibuat oleh seniman Rusia Igor Gurovich dengan inspirasi dari pergerakan konstruktivisme Rusia di akhir 1920-an. Dalam poster itu digambarkan seorang kiper berseragam serba hitam tengah “terbang” menangkap bola. Bola yang ditangkap bermotif lampau berpadu peta daratan Rusia yang mengeluarkan enam sinar berwarna oranye. Yang jadi sorotan dalam poster itu adalah gambaran sang kiper. Siapa lagi kalau bukan gambaran sosok Lev Ivanovich Yashin, penjaga gawang legendaris Uni Soviet. Menurut Sekjen FIFA Fatma Samoura, poster itu merupakan cerminan warisan sepakbola Rusia. Poster itu, kata Ketua Panitia Piala Dunia 2018 Vitaly Mutko, diharapkan akan jadi salah satu simbol Piala Dunia paling dikenang. “Penting bagi kami menggambarkan Rusia sebagai tuan rumah di poster resmi. Itu alasannya kami pilih Lev Yashin sebagai simbol sepakbola Rusia sebagai figur utama. Saya yakin para fans dan partisipan Piala Dunia juga sepakat,” cetus Mutko sebagaimana dikutip FIFA dalam situs resminya. Rekam jejak kiper berjuluk “The Black Spider” dan “Black Panther” itu dalam gelanggang sepakbola tak perlu diragukan. Bisa dibilang Yashin raja dirajanya kiper. Hingga zaman now , belum ada satu kiper pun yang bisa menyamainya dalam merebut trofi Ballon d’Or. Dino Zoff, kiper sekaligus kapten Italia ketika menjuarai Piala Dunia 1982, dan “Gigi” Buffon, portiere Italia saat menjuarai Piala Dunia 2006, hanya mampu jadi runner up Ballon d’Or. Yashin merupakan pionir dalam inovasi passing kaki dan lemparan bola dari kiper kepada rekan-rekannya agar bisa memulai serangan balik cepat. Dia juga yang memperkenalkan teknik meninju bola untuk menggantikan menangkap bola umpan silang lawan. Meski sepele, teknik itu acap vital mencegah dirinya dicederai lawan. Terkadang, Yashin menghalau bola lambung menggunakan kepalanya alias disundul. “Dia sering membuka topinya saat umpan lambung datang dan menyundul bola keluar dari sarangnya, kemudian dia memakai topinya lagi,” kenang istri Yashin, Valentina Yashina, saat diwawancara majalah asal Inggris The Blizzard pada 2013. Yashin juga dikenal sebagai sosok yang mempopulerkan peran kiper yang sering keluar sarang untuk memotong bola serangan lawan. Meski kiper Hungaria Gyula Grosics dan kiper Argentina Amadeo Carrizo sudah lebih dulu memainkan peran keluar sarang, Yashin melengkapinya dengan membaca serangan lawan dan memberi instruksi khusus kepada barisan belakang tim. Rekor statistik Yashin juga patut diacungi jempol. Selain punya catatan 270 pertandingan tanpa kebobolan, Yashin punya rekor 150 kali penyelamatan penalti. “Kebahagiaan melihat Yuri Gagarin terbang ke angkasa hanya tergantikan oleh kebahagiaan menyelamatkan penalti,” cetus Yashin, sebagaimana dikutip Adrian Adams di buku We Love Football . Di luar prestasi perorangan itu, Yashin mampu mengantarkan klubnya Dynamo Moskva lima kali menjadi juara Liga Soviet. Bersama Yashin, Dynamo juga tiga kali menjuarai Piala Soviet. Uni Soviet tak kalah beruntung dari Dynamo dengan memiliki Yashin. Ketika gawangnya dijaga Yashin, tim “Beruang Merah” berhasil menjuarai Piala Eropa pada 1960. Empat tahun sebelumnya, “Beruang Merah” berhasil merebut medali emas Olimpiade Melbourne 1956. Olimpiade Melbourne itu tak hanya dikenang rakyat Soviet tapi juga Indonesia. Dalam olimpiade itu, Indonesia sempat bertemu Soviet di perempat final. “Saya di gawang sini, dia (Yashin – red .) di gawang sana,” kenang Maulwi Saelan, kiper Indonesia dalam pertandingan itu, kepada Historia beberapa tahun lalu. Dalam pertandingan yang berlangsung di Olympic Park Stadium, 29 November 1956, itu Indonesia menahan imbang Soviet tanpa gol. Namun, Indonesia harus mengakui keunggulan Yashin cs. dalam pertandingan ulang dua hari berikutnya. Dalam pertandingan di stadion yang sama itu, Indonesia kalah 0-4. Soviet kemudian merebut emas setelah di final menang 1-0 atas Yugoslavia. Sayang, Yashin hanya mampu membawa Soviet empat kali berpartisipasi dalam Piala Dunia. Tak sekali pun trofi Piala Dunia pernah dia bawa ke negerinya. Tapi, FIFA tetap memasukkan Yashin ke dalam daftar tim terbaik abad ke-20. “Yashin kiper kelas satu, seorang kiper super. Dia menjadi model untuk kiper dalam kurun waktu 10-15 tahun berikutnya. Saya pribadi sering belajar darinya,” kata kiper legendaris Inggris Gordon Banks sebagaimana dilansir BBC , 21 Mei 2012. Di luar sepakbola, Yashin juga berprestasi dalam hoki es. Bersama tim hoki Dynamo Moskva, Yashin pernah menjuarai Soviet Champions Cup pada 1953. “Di waktu senggangnya dari sepakbola, dia mengasah skill bermainnya di tim hoki es Dynamo (Moskva). Refleksnya kian tajam dan rasa percaya dirinya makin kuat. Dia kembali (ke lapangan hijau) sebagai sosok yang berbeda,” tulis David Squires dalam The Illustrated History of Football: Hall of Fame . Pasca-pensiun pada 1970, Yashin “dikaryakan” dalam kepengurusan klub Dynamo Moskva. Seiring usianya yang menua, Yashin mulai dihantui beragam penyakit. Pada 1986, salah satu kakinya harus diamputasi karena mengalami penggumpalan darah beku. Empat tahun berselang, Yashin menghembuskan nafas terakhirnya akibat kanker perut. Jimmy Greaves dalam Football’s Great Heroes and Entertainers menuliskan, Yashin dimakamkan pada 20 Maret 1990 dengan upacara pemakaman kenegaraan sebagai tokoh kehormatan olahraga Soviet. Yashin meninggalkan seorang istri, Valentina Yashina, dan dua putri, Irina dan Elena. Jejak Yashin kini diteruskan cucunya, Vasili Frolov yang menjadi kiper di klub lama Yashin, Dynamo Moskva.
- Hakim Garis Azerbaijan Pujaan Publik Inggris
KETIKA berkunjung ke Baku, Azerbaijan untuk menyaksikan tim pujaannya menjalani laga kualifikasi Piala Dunia 2006 melawan tim tuan rumah, para suporter Inggris menyempatkan diri berziarah ke sebuah makam. Makam itu bukanlah makam tokoh besar, negarawan, politisi hebat, bintang lapangan hijau, pelatih, petinggi AFFA (Federasi Sepakbola Azerbaijan), atau pahlawan Inggris yang gugur di negeri seberang. Para suporter Inggris juga menyempatkan diri bertemu Bahram Bahramov, anak dari orang yang makamnya mereka ziarahi itu. Dalam momen itu, para suporter mengenakan t - shirt merah bertuliskan “Bahramov” dengan nomor punggung 66 –mengingatkan “jasa” Bahramov untuk Inggris pada Piala Dunia 1966. Para fans Inggris itu lalu menghadiahi Bahram t-shirt bertuliskan “ Cox Sag Ulun ” atau “terima kasih” dalam bahasa Azerbaijan. “Saya sangat senang melihat fans Inggris dan Azeri berada dalam atmosfer yang bersahabat. Sekarang Azerbaijan sudah merdeka dan waktunya sangat tepat untuk menghormatinya sebagai bagian dari bangsa Azeri. Figur seperti Tofiq Bahramov hanya lahir seratus tahun sekali,” ujar putranya, sebagaimana dikutip Football First, 17 Oktober 2004. Siapa Tofiq Bahramov? Dia hanya mantan seorang ofisial pertandingan alias wasit. Tapi pemerintah maupun rakyat Azerbaijan amat mengormatinya. Dua tahun setelah merdeka dari Uni Soviet pada 1991, pemerintah tak hanya membuatkan patung Bahramov di dekat sebuah stadion berkapasitas 31 ribu penonton tapi juga menamakan stadion itu Tofiq Bahramov adina Respublika Stadion. Sebelumnya, stadion yang dibangun para tahanan perang Nazi-Jerman pada 1951 itu bernama Stadion Joseph Stalin (1951-1956) dan Stadion Vladimir Lenin (1956-1993). Publik Inggris menghormati Bahramov karena momen “Wembley Goal” atau “Wembley-Tor” bagi publik Jerman. Peran kecil Bahramov amat berharga bagi gelar Piala Dunia 1966 yang diraih Inggris –satu-satunya gelar Piala Dunia yang dimiliki Inggris hingga kini. Dalam pertandingan final Piala Dunia 1966 yang dimainkan di Stadion Wembley, 30 Juli, Bahramov bertindak sebagai hakim garis bagi wasit utama Gottfried Dienst asal Swiss. Pertandingan antara Inggris kontra Jerman Barat (Jerbar) itu terpaksa berlanjut ke babak perpanjangan lantaran skor 2-2 bertahan hingga peluit akhir babak kedua. Peran penting Bahramov bagi Inggris terjadi tak lama setelah sebuah “gol hantu” terjadi pada menit ke-11 babak tambahan. Pada menit itu, striker Inggris Geoff Hurst menembak bola ke sisi dalam gawang Jerbar yang dikawal Hans Tilkowski. Bola itu lalu memantul ke tanah tepat di garis gawang dan terlontar kembali ke luar gawang gawang. Papan skor berubah 3-2. Para pemain Inggris bersorak merayakan gol sementara para pemain Jerbar terpaku dengan wajah datar lantaran merasa itu bukan gol. Para pemain Jerbar langsung mengerubungi wasit Dienst. “Awalnya wasit Dienst juga ragu. Oleh karenanya, dia mencoba berdiskusi dengan Bahramov sebagai hakim garis,” tulis The Glasgow Herald , 1 Agustus 1966. “Pada akhirnya, wasit dan hakim garis menunjuk titik tengah lapangan (pertanda gol),” tulis Max Palme dalam The Heroes of World Cup 1966 . Meski ada protes keras dari Franz Beckenbauer dan kawan-kawan, wasit Dienst melanjutkan laga. Hurst menambah golnya menjadi hattrick beberapa saat sebelum wasit Dienst meniup peluit akhir. Inggris akhirnya menekuk Jerbar 4-2 dan untuk pertamakalinya jadi juara Piala Dunia. Para pemain Jerman kembali mengerumuni wasit Dienst dan Bahramov dengan protes yang sama. Mereka merasa dirugikan oleh “gol hantu” Hurst. Mereka mengaku melihat kapur garis gawang berterbangan, pertanda bola hanya memantul tepat di garis gawang dan belum melewatinya. “Para pemain Jerman terus mengikuti Dienst ke tengah lapangan. Beckenbauer terus memprotesnya. Dengan mengabaikan para pemain Jerman, Dienst dan Bahramov saling bersalaman. Di dekat mereka, Siggi Held (pemain Jerman) memberi aplaus yang sarkastik,” ungkap Jonathan Mayo dalam The 1966 World Cup Final: Minute by Minute. Dalam memoarnya, Bahramov meyakini bahwa tendangan Hurst itu gol murni. Bukan “gol hantu” sebagaimana diprotes para pemain Jerman. Bahramov tak ragu menyebut bahwa bola bisa memantul keluar gawang karena sebelumnya mengenai jaring gawang. Selain para pemain, publik Inggris juga memuja Bahramov. Walau lahir di Azerbaijan, sang hakim garis kadung dikenal dengan sebutan “ Russian Linesman ” alias hakim garis Rusia, julukan yang bermula dari komentar pelatih Inggris Alf Ramsey terhadap Bahramov. Bahramov sendiri kian tersohor. Pada 1971 dia pernah menjadi wasit utama dalam laga final Piala UEFA antara Wolverhampton Wanderers kontra Tottenham Hotspur. Selepas pensiun dari wasit, Bahramov sempat menjabat Sekjen AFFA. Dia menghembuskan nafas terakhirnya pada 1993. Peristiwa getir di final Piala Dunia 1966 itu seolah menjadi titik nol “permusuhan” Jerman-Inggris di lapangan hijau. Meseki pada Piala Eropa 1996 Jerman sukses mempermalukan Inggris, perhitungan sebenarnya baru bisa mereka tunaikan di Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Di perdelapan final, 27 Juni 2010, Inggris merasakan tulah “gol hantu” itu saat tendangan Frank Lampard di menit ke-38 membentur mistar dan memantul ke tanah. Dari tayangan ulang, bola memantul melewati garis gawang dan mestinya disahkan sebagai gol. Namun, saat itu goal-line technology belum digunakan . Ditambah, reaksi kiper Jerman Manuel Neuer langsung menangkap bola pantulan itu agar bisa senatural mungkin melanjutkan pertandingan. Keputusan wasit Jorge Larrionda asal Uruguay lantas tak menetapkan kejadian itu sebagai gol. Inggris kerugian dan di akhir laga, mereka keok 1-3. “Saya berusaha untuk tidak bereaksi di hadapan wasit. Saya sadar bahwa bola itu sudah melewati garis gawang dan cara saya menanggapinya dengan cepat, seolah menipu wasit agar berpikiran bahwa itu bukan gol,” cetus Neuer, dilansir Goal , 29 Juni 2010.






















