Hasil pencarian
9597 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Benarkah Kalashnikov di Balik Lahirnya AK-47?
Lhokseumawe, 17 Juli 2017. Dua warga Kabupaten Pidie menyerahkan dua pucuk senapan serbu ke Korem 011 Lilawangsa, Lhokseumawe, Aceh. Menurut Danrem Kolonel Agus Firman, kedua senjata api itu masing-masing berjenis AK-47 dan AK-45. Meski tak diketahui apakah kedua warga yang identitasnya dirahasiakan itu mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau bukan, dua senapan yang mereka serahkan merupakan peninggalan masa konflik GAM di Serambi Mekah. Keberadaan AK-47 bukan hal aneh di sana karena senapan paling populer di dunia itu paling dicari para kombatan di berbagai tempat konflik di seluruh dunia. Dibandingkan senjata sejenis, AK-47 unggul dalam hal kemudahan penggunaan dan perawatan, tak mudah macet, dan murah. Kelahiran AK-47 tak lepas dari sosok prajurit Uni Soviet bernama Mikhail Kalashnikov. Pengalamannya dalam Parang Dunia II, dimana dia dan ribuan lain tentara merah sering mengalami masalah dengan senapan-senapan mereka, membuat dia berhasrat membuat senapan yang tahan banting. Maka, dia pun menciptakan Avtomat Kalashnikov (AK) 47, angka yang mengacu pada tahun penciptaan. Namun, benarkah kelahiran senapan serbu legendaris itu murni buah pemikiran dan kerja Kalashnikov? Kelahiran AK-47 berkaitan erat dengan program pengembangan senapan serbu Soviet pada 1944 dan kekalahan Jerman dalam Perang Dunia II. Setelah menduduki kota Suhl, Jerman pada Juli 1945, pasukan Soviet memanfaatkan betul pabrik senjata di kota itu. Mereka memproduksi senjata dan merampas cetak-biru persenjataan pabrik itu. “Secara keseluruhan, 10.785 lembar desain teknis disita sebagai bagian dari penelitian mereka,” tulis Alejandro de Quesada dalam MP 38 and MP 40 Submachine Guns . Pasukan Soviet bahkan membawa para ahli senjata Jerman, termasuk ahli senjata kondang Hugo Schmeisser, ke negerinya pada 24 Oktober 1946. Para ahli senjata Jerman yang menjadi tawanan itu lalu dipekerjakan di Izhevsk, Pegunungan Ural, kota tempat pusat pengembangan senjata api Soviet. Program pengembangan senjata Soviet berhasil. Salah satunya lahir pada 13 November 1947, ketika Mikhail Kalashnikov, yang bekerja di pabrik senjata Kovrov, memperkenalkan senapan serbu otomatis AK-47. Senapan serbu otomatis itu kemudian menjadi senjata paling laris di dunia, digunakan mulai dari militer resmi berbagai negara hingga para teroris. Nama Kalashnikov pun tenar dan melegenda. Persoalannya, Soviet mengklaim AK-47 sebagai senjata yang murni lahir dari buah pikiran dan kerja keras Kalashnikov. Padahal, fakta yang ada menunjukkan AK-47 punya banyak kesamaan dengan senapan serbu otomatis MP-43/MP-44/StG.44 karya Hugo yang mulai dipakai Angkatan Darat Jerman pada akhir Perang Dunia II. Pengamat senjata Gordon Rottman menulis dalam The AK-47: Kalashnikov-Series Assault Riffles, usai perang Hugo dipekerjakan oleh Soviet dalam pembuatan AK-47. Meski tak jelas apakah Hugo dan Kalashnikov pernah bekerjasama atau bahkan sekadar bertemu, kesamaan yang ada pada karya masing-masing membuktikan bahwa AK-47 bukan karya yang murni lahir tanpa “campur tangan” pihak lain. Terlebih, perkataan Kalashnikov tentang penciptaan AK-47 tak pernah konsisten. Dalam acara televisi “Tales of the Gun” pada akhir dekade 1990-an, misalnya, Kalashnikov mengklaim AK-47 tak memiliki kesamaan dengan MP-43/MP-44/StG-44. Beberapa tahun kemudian, dia menyatakan bahwa AK-47 sedikit terinspirasi oleh StG-44. Pada 2009, Kalashnikov mengatakan bahwa Schmeisser membantunya mendesain AK-47. Padahal, pada 1947 Kalashnikov masih bekerja di Kovrov, berjarak 900-an km dari Izhevsk. Meski Kalashnikov kemudian bekerja di Izhevsk, itu terjadi baru tahun 1949 atau dua tahun setelah AK-47 lahir. Hingga kini, para pakar senjata Rusia pun masih kesulitan mengungkap secara gamblang proses kelahiran AK-47. Sejauh mana keterlibatan Schmeisser dalam penciptaan AK-47, mereka juga tak tahu pasti lantaran dokumen-dokumen pada tahun itu masih classified . Satu hal yang perlu diperhatikan, propaganda Soviet yang gencar sejak Perang Dunia II. Jadi, benarkah AK-47 murni ciptaan Kalashnikov atau ia hanya bagian propaganda Soviet laiknya kebesaran Vassily Zaitsev dalam propaganda sniper era Perang Dunia II?
- Operasi Penyelamatan Seorang Pastor dari Kahar Muzakkar
DI tengah konflik TNI dengan pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan terdapat satu kisah penyelamatan seorang pastor asal Belgia. Adalah Harry Versteden, pemuka Katolik di Minangga, Tana Toraja yang pernah menjadi korban penculikan oleh DI/TII. “Pastor Harry Versteden dari CICM (Congregation of the Immaculate Heart of Mary) pernah disekap di pedalaman selama sembilan tahun,” tulis Huub JWM Boelaars dalam Indonesianisasi: Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia. Versteden diberitakan mulai menghilang sejak 12 Februari 1953. Menurut para saksi, ia telah dibawa oleh sekelompok orang bersenjata dari tempat peribadatan di Minangga, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, dengan alasan untuk menyambuhkan orang sakit lewat pelayanan sakramen. Kedatangan sekelompok orang itu juga disebutkan dalam kesaksian kolega Verstedan, M. Pijnenburg dalam tulisan Uit het Oirschotse Roomse leven oleh Clari van Esch-van Hout. Dalam tulisan itu, Pijnenburg mengaku mendapat surat tulisan tangan dari Versteden sendiri yang dikirimkan orang tak dikenal pada 19 Februari 1953. Surat yang intinya berisi bahwa dia masih hidup setelah sepekan diculik sekelompok orang yang belakangan, diketahui merupakan bagian dari pasukan DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar. “Kamis saya ditangkap ketika saya tengah memasuki sebuah kampung. Sekarang saya ditahan sampai ada keputusan lanjutan (tentang nasibnya). Tak perlu mengkhawatirkan saya. Saya baik-baik saja dan diperlakukan baik oleh para penahan saya. Doakanlah saya,” demikian isi surat Versteden kepada Pijnenburg. Seiring terdesaknya posisi pasukan Kahar Muzakkar, Versteden diberitakan terlihat bersama rombongan perwakilan Kahar Muzakkar yang hendak berunding dengan TNI di Makassar. Kehadirannya di antara rombongan itu segera diketahui Mayor Rais Abin, Kepala Staf Penguasa Perang Kodam Hasanuddin, bawahan langsung panglima teritorial Kolonel M Jusuf . Nama terakhir merupakan pimpinan TNI yang menemui rombongan DI/TII pada September 1961. Setelah menyelidiki lebih cermat, Mayor Rais baru menhetahui bahwa Versteden sudah menjadi seorang muslim. Dengan mata kepalanya sendiri, ia bahkan pernah melihat Versteden ikut melakukan shalat di rumah seorang perwira TNI sebelum perundingan berlangsung. “Begitu datang, ia langsung menggelar sajadah dan salat, lengkap dengan peci dan celana panjang dililit sarung,” ungkap Rais dalam biografinya Rais Abin: Dari Ngarai ke Gurun Sinai. Rupanya sejak diculik pada 1957 lalu, selain diislamkan, Versteden juga dimanfaatkan oleh Kahar Muzakkar untuk memantau siaran-siaran radio dan sejumlah surat kabar luar negeri. Beberapa waktu sebelum perundingan mulai, tetiba datanglah utusan Uskup Agung Makassar bernama Scheurs, seorang pastor yang juga berasal dari Belgia. Kepada Rais Abin, Scheurs menyampaikan permintaan Uskup Agung untuk bisa bertemu Versteden kepada Rais Abin. Permintaan itu kemudian diteruskan ke Kolonel M. Jusuf. Atasan Rais itu justru meninginkan Versteden diselamatkan. “Tapi jangan sampai ketahuan sama si Kahar. Aku ingin selamatkan pastor ini. Mungkin berefek positif bagi negara, di mata internasional,” ungkap Jusuf kepada Rais Abin. Dibantu sejumlah perwira lainnya, Rais Abin mulai mengatur siasat. Usaha menyelamatkan sang pastor, dirasa takkan berhasil tanpa peran Versteden sendiri. Rais Abin pun minta Versteden untuk mengumbar berita bohong bahwa dia telah diculik sekelompok orang dan dibawa pergi ke Jakarta. “Anda harus ikut berperan. Mungkin bertentangan dengan jiwa Anda yang tidak boleh berbohong. Tetapi pada waktunya nanti, Anda harus melaporkan bahwa Anda diculik,” ujar Rais kepada Versteden dalam suatu pertemuan rahasia. Lewat operasi senyap, TNI berhasil membawa Versteden ke Lapangan Terbang Mandai, Maros, Sulawesi Selatan, tanpa sepengetahuan Kahar Muzakkar yang memang belum datang ke tempat perundingan. Di Mandai itulah sebelum terbang ke Jakarta, Versteden diminta mengontak anak buah Kahar Muzakkar dan mengatakan bahwa dia diculik. Segera setelah mengontak seseorang di DI/TII, Versteden dibawa terbang ke Jakarta dan sehari kemudian, dikirim ke Vatikan oleh Keuskupan Jakarta. Di Vatikan oleh Sri Paus Yohannes XXIII, Versteden kembali diberkati untuk kembali menjadi seorang pastor. Terakhir pada 1987, Versteden ditempatkan pada salah satu daerah terpencil di pulau Luzon, Filipina. Dalam Operasi Tumpas Kilat pimpinan Kolonel Solichin GP, Kahar Muzakkar sendiri tewas diterjang timah panas yang disemburkan Carl Gustaf milik Kopral Sadeli di dekat Sungai Lasolo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara pada 3 Februari 1965. Sebelumnya pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) mendapati informasi tempat persembunyian Kahar. “Seorang perwira TII kepercayaan Kahar Muzakkar bernama Letkol Kadir Junus memberitahukan tempat persembunyian Kahar di sekitar Sungai Lasolo. Kepastiannya lagi didapat pada 22 Januari 1965 saat pasukan RPKAD menyergap sekelompok orang di Lawate. Turut disita beberapa surat Kahar dan dokumen,” tulis Atmadji Sumarkidjo dalam Jenderal M Jusuf: Panglima Para Prajurit. Pemberontakan Kahar Muzakkar pun berhasil ditumpas. Nama M. Jusuf juga kemudian dikenal luas, tidak hanya sebagai pemberantas DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar, tapi juga penyelamat pastor Versteden.*
- Emoji Tersenyum Tertua
Selain tulisan, kita biasa menggunakan simbol emoji dalam percakapan pesan singkat. Ternyata, emoji bukanlah simbol yang baru. Penelitian terbaru dari tim arkeolog menemukan lukisan mirip wajah tersenyum pada pecahan keramik kuno di situs Karkemish, Turki. Karkemish merupakan kota kuno seluas 55 hektar yang berada di Turki berdekatan dengan perbatasan Suriah. Nama Karkemish diartikan sebagai “dermaga/tambatan Dewa Kamis” yang terkenal luas di Suriah bagian utara. Kota itu berpenghuni sekitar abad ke-6 SM hingga abad petengahan ketika ditinggalkan dan dihuni oleh berbagai suku budaya termasuk bangsa Hitit, Neo Assiria dan Romawi. Kota itu juga pernah digunakan sebagai markas perbatasan militer Turki. Arkeolog Inggris mengunjungi situs tersebut pada akhir 1800-an dan awal 1900-an, namun masih banyak yang bisa ditemukan. Tim baru terdiri dari 25 arkeolog dipimpin oleh Nikolo Marchetti, profesor di Departemen Sejarah dan Kebudayaan Universitas Bologna Italia, mulai menggali situs itu pada 2003. Baru pada musim ini yang dimulai Mei 2017, mereka menemukan sebuah guci dengan lukisan mirip emoji tersenyum. Guci itu berusia 3.700 tahun yang memiliki tiga goresan cat yang terlihat seperti goresan senyum dan dua titik mata di atasnya. Ditemukan di tempat pemakaman di bawah sebuah rumah, guci itu mungkin digunakan untuk minum bir dan minuman manis. “Tidak diragukan lagi adanya wajah yang tersenyum dan tidak ada jejak lain pada guci tersebut,” kata Nikolo Marchetti seperti dikutip Livescience (21 Juli 2017) . Selama penggalian di Karkemish, arkeolog juga menemukan vas dan pot serta barang-barang yang terbuat dari logam. Menurut arabnews.com (19 Juli 2017), guci dengan lukisan emoji tersenyum tersebut akan dibawa ke Museum Arkeologi Gaziantep, Turki. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Turki, Nabi Avic menuturkan bahwa Taman Arkeologi Kota Kuno Karkemish akan dibuka kembali setelah tujuh tahun masa penggalian pada 12 Mei 2018. Indiatoday.in (24 Juli 2017) yang juga memberitakan penemuan guci bergambar emoji tersenyum menambahkan bahwa sebelumnya emoji tersenyum tertua diperkirakan berasal dari tahun 1635. Coretan berbentuk wajah yang tersenyum ditulis oleh seorang pengacara dalam sebuah dokumen hukum yang digali di Slovakia. Pada saat itu, emoji berbentuk senyuman merupakan bukti simbol tertua yang digunakan.
- Sehidup Semati Bersama Nasi
SEKETIKA melintas empat ekor burung: perkutut, puter, derkuku merah, dan merpati hitam tunggangan Bhatara Sri. Lima anak Raja Makukuhan memburu dan berhasil menembak dengan ketapel. Jatuhlah tembolok burung-burung itu yang berisi biji berwarna putih, kuning, merah, dan hitam. Karena baunya wangi semerbak, kelima anak raja memakan biji berwarna kuning sampai habis dan hanya menyisakan kulitnya.
- Aneka Olahraga Panglima
Di tengah kegiatannya yang segudang, Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Letjen TNI Ahmad Yani masih bisa meluangkan waktu untuk olahraga. Bahkan, dia menggemari beragam olahraga. Mulai dari berbagai jenis atletik, tenis, tenis meja atau ping pong, renang, sepakbola, hingga golf. Yani suka olahraga sejak sekolah di HIS (Hollandsch-Indische School) dan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwisj di Bogor pada 1929. “Yani menyenangi olahraga renang, lempar lembing, lempar cakram dan semua cabang atletik,” ungkap Amelia Yani dalam biografi ayahnya, Profil Seorang Prajurit TNI . Di zaman pendudukan Jepang, Yani melakoni Ken-Do, olahraga beladiri asal Jepang, ketika menjalani pendidikan perwira Pembela Tanah Air di Bogor. “Yani ahli dalam olahraga ini. Badannya atletis, sempurna sekali untuk gerakan-gerakan dengan samurai (kayu),” kata Amelia yang kini menjabat duta besar luar biasa dan berkuasa penuh untuk Bosnia-Herzegovina. Selepas Indonesia merdeka, Letkol Ahmad Yani yang memimpin sebuah resimen di Tegal, Jawa Tengah, menekuni olahraga tenis selain sepakbola dan renang. “Hari-hari tertentu bapak senang main tenis. Sudah menjadi cara rutin bahwa setiap sore sepulang bapak dari bermain tenis, kami dibawanya ke pinggir laut untuk berenang,” kata Amelia. “Dalam sepakbola, bapak adalah penyerang tengah dan kesebelasannya bernama Kesebelasan Kapuk. Kapuk adalah kapas pengisi bantal, kasur dan guling, jadi kesebelasan yang empuk, begitulah.” Yani meneruskan hobinya berenang, tenis dan golf, setelah pindah ke Markas Besar Angkatan Darat di Jakarta untuk menjabat Asisten Logistik Kepala Staf Angkatan Darat hingga akhirnya berpangkat Letjen dengan jabatan Menpangad. Kalau sedang ada waktu membawa keluarganya ke Pantai Sampur, Jakarta Utara, Yani acap mengukur kemampuannya berenang hingga tengah laut. “Setiap Minggu kalau lagi diajak ke pantai, bapak biasanya berenang sampai ke tengah-tengah. Bapak juga senang main pingpong dan golf. Sejak kecil memang tidak ada yang menonjol dari bapak, kecuali ya di bidang olahraga itu,” imbuh Amelia. Yani juga tak ketinggalan main golf, olahraga para elite politik dan pebisnis. Termasuk pada 30 September 1965, di mana dia terakhir kali melihat matahari sebelum jadi korban tragedi 1 Oktober 1965. “Sesudah makan siang bersama (30 September 1965), bapak berangkat ke Senayan untuk latihan memukul golf ditemani Om Bob (Bob Hasan). Sepulangnya, bapak berpesan pada Pak Dedeng (sopir pribadi) untuk membersihkan alat-alat golf yang baru saja dipakainya, kemudian disuruh menyimpannya. Alat-alat itu tak pernah digunakannya lagi,” tutur memori anak-anak Jenderal Yani dalam Tujuh Prajurit TNI Gugur: 1 Oktober 1965.
- Rasisme dalam Film Sejarah
Film-film sejarah seperti Merah Putih (2009), Sang Pencerah (2010), Soegija (2012), dan Soekarno (2013), di satu sisi berusaha mengenalkan sejarah perjuangan kemerdekaan. Namun, di sisi lain menampilkan rasisme karena melihat sejarah Indonesia secara hitam-putih. Orang Belanda selalu digambarkan sebagai orang jahat, orang Indonesia selalu nasionalis, khususnya pada film berseting tahun 1945-1949. Demikian dikemukakan Ariel Heryanto, profesor di Monash University Australia, dalam diskusi “Gerakan Global Kiri dalam Perjuangan Kemerdekaan RI” di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 17 Juli 2017. “Padahal, sebenarnya tidak begitu, orang kulit putih atau Belanda ada juga yang mendukung perjuangan Indonesia. Sebaliknya, orang Indonesia yang tidak ikut memperjuangkan kemerdekaan juga ada,” kata Ariel. Menurut Ariel hubungan Belanda dan Indonesia tidak melulu buruk, bahkan cenderung saling menguntungkan. “Bahkan para bumiputra yang bekerja pada pemerintah kolonial merasa bangga dengan apa yang dilakukan. Mereka juga berharap anaknya akan melanjutkan jejaknya,” ujar Ariel. Sejalan dengan pernyataan Ariel, sejarawan Henk Schulte Nordholt menulis dalam “Modernity and cultural citizenship in the Netherlands Indies: An illustrated hypothesis,” Journal of Southeast Asian Studies 42(3), 2011, bahwa tidak semua bumiputra mendukung gerakan kemerdekaan. Meningkatnya jumlah kelas menengah bumiputra seharusnya dibarengi dengan banyaknya pemuda yang bergabung dalam gerakan kemerdekaan. Akan tetapi, Henk menunjukkan hal sebaliknya. Kaum bumiputra terbagi menjadi dua, yakni kelompok yang pro-nasionalis dan kelompok yang tidak tertarik untuk bergabung. Kelompok kedua adalah kelas menengah yang terlanjur merasa nyaman dengan kondisinya. Mereka lebih tertarik pada karier yang bagus di pemerintah kolonial dibanding ikut gerakan kemerdekaan. Pasalnya, yang mereka inginkan sejak awal adalah gaya hidup, bukan negara. Dan akses terhadap gaya hidup semacam ini dapat diperoleh dalam kerangka sistem kolonial. Lebih lanjut Ariel menjelaskan bahwa film Indonesia bertema perjuangan selalu digambarkan melawan Belanda. Padahal, lawan Indonesia untuk memerdekakan diri tidak hanya Belanda, tatapi juga Inggris dan Prancis. Penceritaan dalam film tersebut akhirnya memisahkan cerita sejarah dari konflik global. “Yang menarik, film ini adalah film komersil yang jangkauan penontonnya lebih luas dari film indie,” jelas Ariel. Menurut Ariel model penggambaran orang kulit putih dalam film-film bertema perjuangan hampir sama dengan penggambaran citra tokoh jahat dalam cerita-cerita bertema komunisme. Tokoh jahat dalam cerita pasca 1965 selalu digambarkan sebagai orang komunis. Hal yang paling umum ditemui adalah tokoh pandai tapi licik dan suka menipu atau lugu tetapi bodoh. Model penggambaran lain adalah tokoh yang bernasib sial karena menikah dengan orang kiri atau berurusan dengan pemerintah kiri. “Film menegaskan norma yang dominan dalam masyarakat. Dari sini kita bisa melihat bagaimana masyarakat kita memandang sejarah bangsanya: tidak ada orang kulit putih atau komunis yang digambarkan baik,” pungkas Ariel.
- Riwayat Bandung Raya dari Kota Kembang ke Pulau Garam
BANDUNG memiliki tim-tim sepakbola yang berprestasi di tingkas nasional. Selain Persib, klub Kota Kembang yang juga pernah bikin urang Sunda bangga adalah Bandung Raya yang berdiri pada 17 Juni 1987 berbasis tim UNI Bandung. Bandung Raya sudah ikut kompetisi Galatama (liga semiprofesional), sementara saudara tuanya, Persib masih di Perserikatan (liga amatir). Debutnya di Galatama musim 1987/1988 gagal membuat kejutan. Mereka terdampar di urutan buncit klasemen akhir. Pada musim berikutnya (1988/1989), mereka naik ke posisi tujuh klasemen. Pencapaian ini buah dari perekrutan beberapa pemain anyar eks Persib, seperti Dadang Kurnia dan Dede Iskandar. Sayangnya, tren positif mereka tak berlanjut di musim 1990 yang terpuruk di posisi 17. Di dua musim berikutnya (1990/1992 dan 1992/1993), mereka tetap menempati posisi bawah. Di musim pamungkas (1993/1994), mereka hanya bisa menghuni posisi delapan Wilayah Barat. Pada 1994, Bandung Raya reuni dengan Persib di Liga Indonesia, ajang yang menyatukan tim-tim Galatama dan Perserikatan. Masa keemasan Bandung Raya terjadi di musim kedua Liga Indonesia (1995/1996) di bawah asuhan Brigjen TNI IGK Manila. Perwira TNI AD itu tengah memimpin Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) Jatinangor, Sumedang. Manila dikenal luas dalam persepakbolaan sejak menjadi manajer tim nasional sepakbola di SEA Games Manila, Filipina tahun 1991. Dia sukses membawa timnas memetik medali emas kendati tanpa diperkuat beberapa bintangnya seperti Ricky Yacob dan Mustaqim. Prestasi ini hingga kini belum lagi bisa dicapai Tim Garuda. Awal mula Manila mengasuh Bandung Raya tak lepas dari permintaan Letjen TNI (Purn.) Suryatna Subrata. Mantan wakil gubernur Jawa Barat dan ketua KONI Jawa Barat ini salah satu investor Bandung Raya. Untuk memenuhi permintaan itu, Manila harus mendapatkan izin dari Menteri Dalam Negeri Yogie S. Memet. “Saya mau lapor, Pak. Saya mungkin melanggar perintah Bapak,” kata Manila dalam biografinya, IGK Manila: Panglima Gajah, Manajer Juara . Yogie sempat terperangah menatap Manila dan menanyakan apakah ada kasus di STPDN. “Siap, tidak ada. Hanya saja saya diminta membantu Bandung Raya. Padahal Bapak melarang saya aktif di olahraga (selama memimpin STPDN),” lanjut Manila. Awalnya, Manila pesimis diizinkan. Namun, jawaban yang didapatnya tak disangka-sangka. “Manila, kamu itu orang Bali. Urang Sunda tidak akan sembarangan minta bantuan. Kalau urang Sunda sudah minta bantuan sama kamu yang orang Bali ini, berarti mereka sudah percaya sama kamu. Pegang itu Bandung Raya, kerja yang bener,” kata Yogie. Manila terjun mengurusi Bandung Raya meski tidak tercatat dalam kepengurusan resmi klub, hanya jabatan semacam chief de mission. Pasalnya, dia masih menjabat pemimpin STPDN. Dana menjadi kendala dalam membangun Bandung Raya. Suntikan dana datang dari Masyarakat Transportasi Indonesia hasil lobi manajer Tri Goestoro dan Suryatna kepada Ketua PSSI, Azwar Anas yang merangkap Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Bandung Raya pun berubah nama menjadi Mastrans Bandung Raya kala terjun di Liga Indonesia musim 1995/1996. Setelah masalah dana terpecahkan, Bandung Raya tak kesulitan mendatangkan pilar-pilar yang dibutuhkan. Mereka mendatangkan pelatih Henk Wullems dari Belanda, pemain asing Olinga Atangana dari Kamerun dan Dejan Gluscevic dari Pelita Jaya yang tergeser oleh Roger Milla dari Kamerun. Diperkuat oleh Herry Kiswanto sebagai kapten, Nuralim, Surya Lesmana, Hendriawan, Budiman Yunus, Adjat Sudradjat, Alexander Sanunu, Peri Sandria, serta kiper Hermansyah, membuat Bandung Raya jadi salah satu tim yang ditakuti di Liga Indonesia selain PSM Makassar. Bandung Raya tampil sebagai juara Wilayah Barat dan lolos ke babak 12 besar. Tren positif mereka terus terpelihara sampai partai final kontra PSM Makassar di Stadion Senayan (kini Stadion Utama Gelora Bung Karno). Kagok Edan, Juara Sakalian! Begitu slogan Bandung Raya kala itu yang artinya “Kepalang gila, jadi juara sekalian”. Di final Bandung Raya jadi kampiun setelah menang 2-0 dari gol Peri Sandria dan Heri Rafni Kotari. “Bandung Raya memang juara, tapi Bandung Raya bukanlah Persib. Mereka sudah menjadi yang terbaik di Indonesia, tapi tidak ada peristiwa macet totalnya jalur Jakarta-Puncak-Bandung seperti yang dibuat bobotoh Persib akibat euforia gelar kampiun. Tidak ada pula pawai keliling Kota Bandung layaknya Persib menjadi juara semusim sebelumnya. Tapi kesuksesan itu tetap membuat bangga publik Bandung,” kata Manila. Di musim berikutnya Liga Indonesia (1996/1997), Bandung Raya tetap tampil trengginas, meski tanpa pelatih Henk Wullems yang melatih timnas PSSI dan ditinggal sponsor Mastrans yang beralih ke Pelita Jaya. Tim bebuyutan Bandung Raya itu juga meminta kembali Dejan Gluscevic. Dengan pelatih baru, Albert Fafie yang direkomendasikan Wullems, serta rekrutan anyar Stephen Weah, Bandung Raya tampil tak mengecewakan, meski harus puas jadi finalis. Di partai puncak pada 28 Juli 1997, mereka keok 1-3 dari Persebaya Surabaya. Di kompetisi berskala inernasional, Bandung Raya sempat mewakili Indonesia di Asian Winners Cup 1996/1997. Sukses menekuk Pahang FA asal Malaysia dengan agregat 5-1 di fase pertama Wilayah Asia Timur, sayangnya langkah mereka terhenti di fase kedua setelah kalah agregat 1-5 dari South China AA asal Hong Kong. Ini jadi masa terakhir Bandung Raya menghiasi persepakbolaan nasional. Pasalnya, mereka tak bisa lagi tampil dan mesti bubar lantaran krisis finansial. Pelatih Albert Fafie dan sejumlah pemainnya pindah ke Persija Jakarta. Bandung Raya bangit kembali pada 2011 setelah dikuasai PT Retower Asia, investor yang membeli 65 persen saham Bandung Raya lewat Komisaris PS Bandung Tri Goestoro. Selepas musim 2011/2012, PT Retower Asia mengakuisisi Pelita Jaya Karawang milik PT Nirwana Pelita Jaya. Bandung Raya berubah nama menjadi Pelita Bandung Raya ketika tampil di Liga Indonesia 2012 di Divisi III. Tatkala terjadi dualisme liga (Indonesia Super League dan Indonesia Premier League), Pelita Bandung Raya melonjak tampil di ISL 2013. Mereka hanya menempati posisi 15 dan harus playoff kontra Persikabo Bogor dari Divisi IV. Dalam pertandingan yang digelar di Stadion Manahan, Solo pada 22 September 2013 itu, mereka menang 2-1 berkat gol Mijo Dadic dan Gaston Castano. Di ISL 2014, Pelita Bandung Raya diperhitungkan di Wilayah Barat. Mereka bercokol di posisi empat dan lolos ke fase perdelapan final bersama Semen Padang, Persib Bandung dan Arema Malang sebagai juara Wilayah Barat. Setelah lolos ke semifinal, langkah mereka dihentikan Persipura Jayapura lewat dua gol tanpa balas dari Boaz Salossa. Pelita Bandung Raya kembali menghadapi masalah keuangan ketika sepakbola Indonesia disanksi FIFA. Mereka lantas merger dengan Persipasi Bekasi dan berubah nama menjadi Persipasi Bandung Raya selama satu tahun. Perjalanan Bandung Raya berakhir di Pulau Garam, Madura. “Medio 2016, Persipasi Bandung Raya dibeli tokoh sepakbola dan politisi Achsanul Qosasi dan berubah nama lagi menjadi Madura United (FC),” pungkas Manila.*
- Perempuan Pertama Penerima Bintang Gerilya
Pada peringatan HUT TNI ke-4 tanggal 5 Oktober 1949 di Markas Divisi Siliwangi, Bandung, Panglima Siliwangi Kolonel Sadikin menyerahkan penghargaan Bintang Gerilya kepada Erna Djajadiningrat. Erna menjadi perempuan pertama yang menerima penghargaan Bintang Gerilya berkat jasanya selama perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Erna lahir di Serang, Banten, 4 Maret 1911. Anak ketiga Bupati Serang RAA Achmad Djajadiningrat ini mengenyam pendidikan sekolah dasar Europeesche Lagere School, sekolah menengah Hogere Burger School, dan Middelbare Huishouds School (Sekolah Kesejahteraan Keluarga). Ensiklopedi Sunda menyebutkan bahwa meski keluarga bangsawan, Erna dekat dengan rakyat kecil. Mendapat pendidikan agama Islam yang mendalam dan mempunyai rasa nasionalisme yang tinggi. Dia bersama saudara perempuannya diminta oleh ayahnya agar menjadi guru untuk mencerdaskan bangsa. Setelah menyelesaikan Sekolah Kesejahteraan Keluarga, dia menjadi guru di Van Deventer School di Solo, Jawa Tengah. Di luar waktu mengajar, dia aktif di berbagai kegiatan masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dia aktif pula mempelajari adat-istiadat Sunda. Sejak tahun 1932, dia berpindah-pindah tempat tugas, dan hampir semua kota di Pulau Jawa pernah ditinggali dalam rangka tugas mengajar. Pada Oktober 1945, Erna bersama Suwarni Pringgodigdo dan Maria Ullfah mendirikan organisasi Wani (Wanita Indonesia) di Jakarta. Dalam bahasa Sunda dan Jawa, wani artinya berani. Menurut buku Seperempat Abad Badan Penghubung Organisasi-organisasi Wanita (BPOW) DKI Jakarta, Erna bertugas di dapur umum Wani bersama Maria Ullfah dan Ibu Subari, mula-mula di Jalan Mampang 47 kemudian pindah ke Pegangsaan Timur 19. Dapur umum menghimpun bahan makanan seperti ikan asin, rokok, daging kering, gula, kopi, beras dan lain sebagainya. Bahan-bahan makanan ini kemudian dikirim ke garis depan. Permintaan pakaian seragam ditangani bagian penjahit. Biasanya dikirimkan ke garis depan bersama dengan pengiriman makanan. Anggota Barisan Putri Indonesia dan ibu-ibu pekerja di kantor-kantor membantu mengumpulkan bahan-bahan makanan dan mengirimkannya ke garis depan. “Dapur umum Wani menyediakan makanan nasi bungkus untuk beratus-ratus orang dari Badan Keamanan Rakyat, Polisi Umum, dan Jawatan Kereta Api,” tulis Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Volume 3 . Dapur umum Wani bekerja sama dengan Walikota Jakarta Soewirjo, Mayor Oetaryo dari Kantor Perhubungan Tentara, Mayor Kemal Idris dari Resimen Tangerang, dan Letkol Mufraeni dari Resimen Cikampek. “Mengingat situasi politik dan ekonomi pada masa itu, keamanan jelek, uang dan pangan sulit, maka usaha yang dijalankan oleh Erna dengan tabah dari hari ke hari patutlah memperoleh penghargaan,” kata Rosihan. Erna yang dijuluki “Si Nona Keras kepala” oleh Jepang dalam menyelenggarakan dapur umum benar-benar berkarakter wani atau berani. “Ketika saya di redaksi Merdeka mendengar berita bahwa rumah tempat Erna bekerja ditembaki serdadu NICA-Belanda yang lewat, sama sekali Erna tidak panik, tetap tenang. Itulah sosok wanita pejuang,” kata Rosihan. Erna pernah diperiksa oleh Belanda setelah mereka mengetahui kegiatan dapur umum Wani yang sebenarnya. Kepada Belanda, Erna mengatakan bahwa kegiatan dapur umum untuk membantu rakyat dengan makanan. Sementara itu, kegiatan pokok mengirim makanan ke garis depan tetap berlangsung. Belanda juga menggeledah rumah Erna. Meski tidak berhasil menemukan bukti bahwa Wani bekerja untuk kepentingan perjuangan, namun Belanda tetap melarang Wani. Agar pengiriman makanan ke garis depan tetap berjalan, Erna mengubah Wani menjadi PSKP (Panitia Sosial Korban Politik). Pengiriman makanan tetap diteruskan sehingga para pejuang di garis depan bisa terus melanjutkan perjuangannya. Selain pengiriman makanan, PSKP juga menangani pembebasan para pejuang yang ditahan Belanda. Salah satu yang dibebaskan adalah sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang masuk penjara Bukit Duri Jakarta tahun 1947. “Aku sendiri tercantum sebagai sersan mayor. Pada 12 Desember 1949 kami bersembilan dibebaskan sebagai orang-orang terakhir. Kebebasan kami dijemput oleh Panitia Korban Politik yang diketuai oleh Erna Djajadiningrat,” kata Pram dalam Nanyi Sunyi Seorang Bisu . Pada waktu penandatanganan penyerahan kedaulatan di Jakarta pada 27 Desember 1949, Erna bersama Maria Ullfah dan Ibu Yamin menjadi anggota delegasi dengan ketua Sultan Hamengkubuwono IX. Sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. Roofink. Erna menikah dengan Ir. Soetoto, Sekjen Departemen Perhubungan. Dia pernah menjadi anggota DPRDS Jawa Barat, penilik sekolah-sekolah rumah tangga seluruh Indonesia, serta kepala urusan pendidikan wanita pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dia meninggal di Rumah Sakit Setia Mitra Jakarta, 8 November 1984 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
- Cerita di Balik Gambar Sisingamangaraja XII
PADA 1954, Augustin Sibarani, pelukis dan karikaturis terkemuka Indonesia, menghadiri pertemuan besar keluarga masyarakat Tapanuli yang diselenggarakan Panitia Sisingamangaraja XII di gedung Adhuc Stadt (sekarang gedung Bappenas) di Menteng, Jakarta Pusat. Dalam pertemuan itu hadir seorang tokoh Batak yang sudah tua, Sutan Paguruban Pane, ayah pengarang terkenal Sanusi dan Armijn Pane. Waktu Sisingamangaraja XII bergerilya di daerah Dairi, Sutan bekerja sebagai klerk (juru tulis) di kantor pemerintah Hindia Belanda di Sibolga. Panitia memutuskan agar Sibarani membuat gambar Sisingamangaraja XII berdasarkan keterangan dari Sutan Paguruban Pane. Aneh memang, tidak ada foto Sisingamangaraja XII, sementara ayahnya, Sisingamangaraja XI ada fotonya yang dibuat oleh Franz Wilhelm Junghuhn, naturalis asal Jerman. Ada cerita bahwa tak ada foto Sisingamangaraja XII karena kesaktiannya membuat juru foto Belanda menjadi kaku ketika hendak memotret jenazahnya, dan kameranya hangus terbakar. Sibarani membuat lebih dari sepuluh sketsa Sisingamangaraja XII. Salah satunya, menurut Sutan Paguruban Pane, sudah cukup mirip tapi dia meminta Sibarani untuk menyempurnakannya. Untuk itu, Sutan menyuruh Sibarani untuk pergi ke Tapanuli, Sumatra Utara, menemui tokoh-tokoh lain yang mengenal Sisingamangaraja XII. “Ada sejumlah uang yang dikumpulkan oleh panitia untuk tujuan memberangkatkan saya ke Tapanuli. Tapi uang itu tidak pernah sampai ke tangan saya, karena ada anggota panitia yang menyeleweng, karena itu saya tidak jadi pergi ke Sumatra. Dan selama beberapa tahun kemudian persoalan pembuatan gambar Sisingamangaraja dilupakan,” kata Sibarani dalam Perjuangan Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII . Pada 1957, Joramel Damanik, tokoh Batak yang memiliki penerbitan, mengirim pelukis terkenal, Zaini, ke Sumatra Utara untuk menemui keluarga Sisingamangaraja XII. Lukisan Sisingamangaraja XII yang dibuat Zaini ditolak keluarga Sisingamangaraja XII karena kelihatan terlalu gemuk. “Bila saja Zaini memakai logika sedikit, dia akan menyadari bahwa seorang pemimpin yang bergerilya dan terus-menerus mengadakan long march di hutan belantara dan daerah berbatu di Dairi selama lebih kurang 20 tahun, tidak mungkin berbadan gemuk atau bertubuh penuh lemak,” kata Sibarani. Setelah itu, persoalan gambar Sisingamangaraja XII tidak bicarakan lagi sampai tahun 1961 ketika Sisingamangaraja XII akan diangkat menjadi Pahlawan Nasional. Pada Agustus 1961, Sibarani dikunjungi Kolonel Rikardo Siahaan, tokoh pejuang Medan Area, bersama Kapten Sinaga. Mereka meminta Sibarani segera pergi ke Tapanuli untuk merampungkan lukisan Sisingamangaraja XII. Mereka menyampaikan lukisan harus diserahkan kepada Presiden Sukarno pada Hari Pahlawan, 10 November 1961. Sibarani dibekali uang Rp6.000, jumlah yang cukup lumayan pada waktu itu. Sibarani pergi ke Tapanuli ditemani pelukis Batara Lubis dan Amrus Natalsya. Sesampainya di Medan, Sibarani didatangi pensiunan Bupati yang mengaku putra Raja Ompu Babiat Situmorang, raja yang berjuang bersama Sisingamangaraja XII di daerah Dairi. Sibarani mendatangi Raja Ompu Babiat Situmorang di Harianboho (Samosir) di tepi Danau Toba. Raja itu menerangkan ciri-ciri Sisingamangaraja XII: tingginya sekitar dua meter, wajahnya agak lonjong, tidak berkumis karena suka dicabutin pakai pinset, alisnya tebal, jenggotnya agak kemerahan pada ujung-ujungnya dan agak mengarah ke atas, rambutnya yang panjang diikat seperti timpus (buntelan di belakang kepala), dadanya yang bidang dipenuhi bulu yang agak kasar, hidungnya mancung tapi agak besar, dan dahinya lebar. Selain keterangan penting itu, Sibarani mendapatkan dua foto dari putri Sisingamangaraja XII, yaitu foto Raja Buntal dan Raja Sabidan, putra Sisingamangaraja XII. Menurut Raja Ompu Babiat Situmorang, kalau wajah Raja Buntal disatukan dengan wajah Raja Sabidan, maka Sibarani dapat melihat wajah Sisingamangaraja XII. Setelah mengetahui ciri-ciri Sisingamangaraja XII, Sibarani membutuhkan model. Dia mengunjungi Raja Barita Sinambela sekaligus meminta restu untuk melukis ayahnya, Sisingamangaraja XII. Kebetulan di rumahnya tinggal Patuan Sori, putra Raja Buntal, yang berusia 18 tahun dan masih duduk di SMA. Dia memiliki alis mata yang tebal dan matanya agak besar mencekam sesuai dengan keterangan Raja Ompu Babiat Situmorang. “Putra dari Raja Buntal inilah, yaitu Patuan Sori, yang saya minta untuk menjadi model,” kata Sibarani. Sibarani meminta bantuan seorang tua marga Sinambela untuk memakaikan pakaian kepada Patuan Sori. Orang tua itu mengenal Sisingamangaraja XII sekaligus sebagai pengantar surat-surat Sisingamangaraja XII kepada para panglimanya atau raja-raja lain. Selama beberapa hari, Patuan Sori dengan memakai pakaian Sisingamangaraja XII berpose di hadapan Sibarani. Sibarani menyelesaikan lukisan Sisingamangaraja XII di rumah iparnya di Medan yang tak jauh dari rumah Raja Barita Sinambela. Setelah selesai, Raja Barita Sinambela dan seorang tua marga Sinambela merestui lukisan Sisingamangaraja XII karya Sibarani. Sibarani menyerahkan lukisan Sisingamangaraja XII kepada Kolonel Rikardo Siahaan untuk diserahkan kepada Presiden Sukarno pada 10 November 1961. Namun, tidak jadi karena menunggu seorang ibu tua berusia 72 tahun, anak Sisingamangaraja XII. Dia mengaku kakak dari Lopian, putri Sisingamangaraja XII yang meninggal bersama ayahnya. Dia mengoreksi lukisan itu: bulu dada Sisingamangaraja XII tidak begitu tebal, jenggotnya tidak terlalu panjang, hidungnya harus dibesarkan sedikit, dan alis matanya terlalu tebal. Dia meminta Sibarani untuk mengubah lukisannya sebelum diserahkan kepada Presiden Sukarno. “Besoknya lukisan itu saya ubah lagi hingga lukisan Sisingamangaraja XII yang berdiri tegak memegang tongkat itu pun selesai,” kata Sibarani. Anggota panitia, tokoh-tokoh terkemuka sipil dan militer dan keluarga keturunan Sisingamangaraja XII menghadiri upacara penyerahan lukisan Sisingamangaraja XII kepada Presiden Sukarno di Istana Negara pada Desember 1961. Ketika lukisan itu diserahkan kepada Sukarno, ibu tua itu berteriak “Among (ayah)” lalu pingsan. “Semua tokoh yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan Sisingamangaraja XII menandatangani suatu pernyataan bahwa mereka mengakui lukisan Sisingamangaraja yang saya buat,” kata Sibarani. “Tapi sayang, ini semua tidak dapat saya hadiri sebagai pelukisnya karena saya tidak berada di Jakarta. Saya sedang berada di Medan menghadiri perayaan hari ulang tahun ibu saya.”*
- Anton Lucas dan Cerita Kutilnya
Di antara kerumuman peserta Indonesia Council Open Conference 2017 pekan lalu (3-4 Juli) di Universitas Flinders di Adelaide, Australia, seorang pria berdiri menjulang karena tingginya lebih dari yang lain. Dia berjaket kulit hitam dengan kerah warna coklat, sesekali tampak bicara kepada peserta lain dalam bahasa Indonesia yang jernih dan tertata. Orang-orang menyapanya takzim, “Pak Anton”, lengkapnya: Anton Lucas, Indonesianis yang dikenal karena melakukan penelitian tentang revolusi sosial di wilayah pantai utara Jawa. Hasil penelitian setebal lima ratus halaman itu kemudian diajukan sebagai disertasi doktor di Australian National University dengan judul The Bamboo Spear Pierces the Payung: The Revolution Againts the Bureaucratic Elite in North Central Java in 1945 . Buat para peneliti sejarah dan ilmu-ilmu sosial pada umumnya, nama Anton Lucas tak lagi asing. Karyanya, yang telah diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia berjudul Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi itu, menjadi rujukan bagi mereka yang ingin memahami dinamika politik lokal pada era revolusi. Kariernya sebagai sejarawan justru tak dimulai dari pendidikan profesional kesejarahan. “Pendidikan sarjana saya ekonomi pertanian,” kata Anton. Tapi dia tak kerasan menekuni ilmu yang sama untuk jenjang masternya. Ketika dikirim kuliah ke East West Center di Hawai, alih-alih meneruskan master dalam bidang ekonomi pertanian, Anton mencari kesempatan untuk menekuni kajian Asia dengan fokus Indonesia. “Sebelumnya penasihat akademik saya ragu, tapi akhirnya setuju dengan keputusan saya pindah jurusan,” kata Anton mengenai kejadian di pengujung tahun 1969 itu. Berhasil menjadi mahasiswa pascasarjana kajian Asia, Anton menuju Indonesia untuk belajar bahasa di Yogyakarta. Selama di Yogyakarta, dia menekuni bahasa Indonesia dan mengikuti kelas perkuliahan di Universitas Gadjah Mada. “Setiap sore saya naik sepeda ke rumah Ibu Sulastin Sutrisno untuk belajar bahasa Indonesia. Saya juga jadi mahasiswa pendengar kuliah kapita selekta sejarah Indonesia di kelas Pak Sartono,” kenangnya. Sulastin Sutrisno pengajar di Fakultas Sastra UGM (kini Fakultas Ilmu Budaya) jurusan bahasa Belanda, penerjemah surat-surat RA Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang . Sedangkan Sartono yang dimaksud Anton adalah Sartono Kartodirdjo, mahaguru sejarah UGM yang menulis disertasi Pemberontakan Petani Banten 1888. “Bu Sulastin sering mengingatkan saya. Mas Anton jangan bilang ‘pelan-pelan’, itu bahasa untuk tanda jalan,” kata Anton meniru ucapan Sulastin menegurnya pada masa-masa awal belajar bahasa Indonesia. Seiring makin mahirnya kemampun Anton berbahasa Indonesia, hasrat menekuni sejarah Indonesia pun makin meningkat. Namun Anton harus menemukan satu tema penelitian yang kelak bisa dijadikan bahan menulis disertasinya. “Dari Pak Sartono saya mendengar kisah tentang Sarimin Reksodiharjo, bupati Brebes zaman Jepang yang pernah ditangkap oleh pemuda,” ujar Anton. Kisah itu Anton peroleh langsung dari Sartono yang secara tak sengaja bertemu Sarimin dalam perjalanan kereta api dari Jakarta ke Yogyakarta. “Waktu itu Pak Sarimin ditangkap pemuda, “didaulat” istilahnya, digembleng dikasih pengertian tentang revolusi dan proklamasi kemerdekaan.” Sartono menilai kisah Sarimin menarik untuk diperluas menjadi sebuah tema penelitian tentang masa revolusi. Menurut dia apa yang dialami Sarimin juga terjadi pada pangreh praja lainnya. Bak kepingan fragmen yang harus dirangkai menjadi sebuah gambaran peristiwa sejarah yang utuh, peristiwa tersebut menggejala di wilayah karesidenan Pekalongan. Peristiwa Tiga Daerah bermula dari pergolakan sosial yang terjadi pascaproklamasi kemerdekaan Indonesia, di mana seluruh elite birokrat di wilayah tersebut diganti oleh kalangan revolusioner yang datang dari golongan Islam, sosialis dan komunis. Struktur pemerintahan yang semula dikuasai oleh golongan birokrat dari kalangan feodal, dipreteli satu per satu sehingga sepenuhnya menjadi pemerintahan baru yang senafas dengan semangat revolusi kemerdekaan. Peristiwa tersebut acapkali diiringi pula oleh kekerasan serta aksi-aksi kriminal lainnya. Namun demikian menurut Anton, berbagai kasus yang mengiringi peristiwa Tiga Daerah itu harus dipandang sebagai akumulasi kekecewaan yang berbuntut panjang hingga ke masa kolonialisme Belanda dan kemerosotan ekonomi di masa Jepang. “Saya juga membaca disertasi Ben Anderson yang baru terbit waktu itu. Di situ disebutkan tentang apa yang terjadi di Pekalongan. Ben cerita secara garis besarnya. Dia bilang cerita lengkap kejadian itu belum pernah ditulis dan perlu ada penelitian lanjutan lagi,” kata Anton. Untuk itu dia pergi ke Semarang, melacak saksi-saksi yang kemungkinan masih ada. Tempat pertama yang ditujunya dinas sejarah militer Kodam Diponegoro (Semdam), di mana dia menemukan dokumentasi mengenai peristiwa Tiga Daerah. Menurut Anton, di sanalah dia menemukan nama Wadyono, salah satu tokoh kunci dalam peristiwa tiga daerah. Wadyono adalah komandan TKR Resimen XVII wilayah Pekalongan. Dialah yang menyusun rencana kontra atas kaum revolusioner yang menguasai wilayah Tiga Daerah. “Dari Semdam saya langsung ke rumah Wadyono, ketok-ketok pintu rumahnya. Saya memperkenalkan diri dan memulai bertanya tentang peristiwa Tiga Daerah,” kenang Anton. Selain memperoleh keterangan dari Wadyono, Anton juga mendapat bantuan sejarawan Djoko Suryo yang berasal dari Pekalongan untuk mengenali wilayah penelitiannya. “Kebetulan Djoko Suryo berasal dari wilayah selatan Pekalongan dan dia juga mengetahui peristiwa Tiga Daerah.” Pelacakan informasi dimulai dari mengumpulkan data-data dan saksi-saksi yang pernah terlibat di dalam peristiwa yang terjadi di wilayah Brebes, Pemalang dan Tegal itu. Sejak saat itu Anton mulai rajin bolak-balik pergi mengunjungi ketiga daerah penelitiannya. Tokoh-tokoh Peristiwa Tiga Daerah di penjara Wirogunan, Yogyakarta, Desember 1946. Deret belakang: Khambali, Sakhyani (Kutil), Dr. Muryawan, Kromo Lawi, Mohamad Nuh, Supangat. Deret depan: Miad, Saleh Yusuf, Sapili, Moh. Salim, M (?), S. Widarta. (Koleksi Anton Lucas) Salah satu temuan menarik dari riset Anton itu adalah kisah seorang tokoh lokal bernama Kutil. Kutil alias Sakhyani terkenal sebagai jagoan rakyat dari Kecamatan Talang, Tegal. Daerah Talang menurut Anton, “menjadi contoh terkenal selama revolusi sosial di Tiga Daerah” karena siapa saja yang melewati Talang semasa revolusi sosial berisiko ditangkap bahkan dibunuh. “...Kecamatan Talang terkenal terutama karena Kutil, jagoan rakyat Talang, yang kehidupan dan kematiannya telah dimitoskan oleh sejarah,” tulis Anton dalam bukunya. Ada pula anggapan umum yang berkembang di luar wilayah Talang bahwa “Kutil adalah algojo yang telah membunuh banyak orang, kejam, buas, anarkis, alat PKI, tapi ada juga yang beranggapan bahwa dia adalah agen NICA (pemerintahan Belanda di pengasingan Australia semasa Jepang berkuasa di Indonesia , red .),” lanjut Anton mengungkap kisah Kutil. Dalam sidang pengadilan di Pekalongan, Kutil mengaku telah melakukan banyak pembunuhan , dan menurut pendukungnya hal itu dilakukan demi melindungi teman-temannya di Talang. “Ia adalah orang pertama dalam sejarah Republik Indonesia yang dijatuhi hukuman mati melalui proses pengadilan formal di Pekalongan. Peristiwa Tiga Daerah sering disebut sebagai ‘gerakan Kutil’,” tulis Anton. Di tengah tuduhan bahwa Kutil seorang komunis yang kerap digambarkan anti-Tuhan dan agama, Anton mengungkapkan kenyataan lain bahwa Kutil sebenarnya datang dari kalangan santri yang berprofesi sebagai guru agama. Mengutip keterangan dari anak Kutil, ayahnya seringkali bepergian jauh untuk memimpin pengajian dan baru pulang lewat tengah malam. Ketika masa revolusi tiba, Kutil mendirikan Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) di Talang. “Tujuan AMRI bentukan Kutil di masa revolusi sosial adalah pembagian kekayaan (kepada rakyat , red. ). Tujuan lain adalah menumpas setiap orang yang dicurigai menjadi agen NICA, yang dianggap sebagai pengkhianat Republik,” kata Anton. Salah satu yang dilakukannya adalah mendistribusikan kain di Talang dan wilayah sekitarnya. Saat itu kain menjadi kebutuhan mendesak karena selama pendudukan Jepang menjadi langka sehingga membuat sebagian besar rakyat menjadikan karung goni untuk pakaian. Kutil mementingkan pembagian itu atas dasar asas “sama rata sama rasa” tanpa pengecualian. Sebegitu legendarisnya Kutil sehingga kisahnya tetap bertahan sebagai mitos di kalangan masyarakat Tegal. Dadang Christanto seniman kelahiran Tegal yang kini bermukim di Australia bahkan masih ingat bagaimana nama Kutil digunakan untuk menakuti-nakuti anak-anak kecil. “Kalau ada anak nakal, orangtua zaman dulu suka bilang ‘awas nanti diculik sama Kutil’,” ujar Dadang kepada Historia . Anton merekam kisah tersebut dengan baik dalam bukunya. Tak hanya itu, riset yang dilakukannya selama lebih dari enam tahun itu berhasil membangun gambaran utuh peristiwa Tiga Daerah yang sebelumnya terpecah dalam beberapa kepingan cerita. Bahkan karya Anton diakui sebagai karya sejarah pertama yang menggunakan metode sejarah lisan ( oral history ) sebagai ikhtiar melengkapi kekurangan dokumen tertulis atas peristiwa tersebut. Kini Anton menikmati masa pensiunnya di kota Adelaide, Australia Selatan bersama istri tercintanya Sri Kadarsih. Anton bertemu Kadarsih ketika perempuan Yogyakarta itu bekerja sebagai asisten antropolog Masri Singarimbun. “Dulu waktu saya masih penelitian sering lewat mejanya di kantor Pak Masri,” kenang pria kelahiran Melbourne tahun 1946 itu mengingat kembali masa-masa awal cintanya bersemi. Mereka dikaruniai dua anak Trina dan Darma Lucas. Kecintaannya kepada Indonesia tak pernah padam. Sebagai wujudnya, seluruh koleksi dokumentasi yang dia kumpulkan sepanjang kariernya disumbangkan ke Flinders University sehingga bisa digunakan oleh para peneliti yang hendak meneliti Indonesia. Dia dan istrinya juga rajin mempromosikan sejarah dan kebudayaan Indonesia dalam berbagai acara di Australia.






















