Hasil pencarian
9597 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Awal Mula Pariwisata di Indonesia
Cikal bakal pariwisata di Hindia Belanda yaitu kegiatan perjalanan yang dilakukan suatu perkumpulan olahraga dan gaya hidup (sepeda dan motor), perkumpulan sosial masyarakat dan komersial, serta perseorangan. Orang-orang yang menjadi perintis pariwisata di Hindia Belanda seperti pendeta Marius Buys, wartawan Karel Zaalberg, profesional bidang perhotelan Johan Martinus Gantvoort, pegawai negeri Louis Constant Westenenk, dan militer yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda J.B. van Heutsz. “Pariwisata di Hindia Belanda merupakan suatu gagasan dari para individu dan sekelompok individu yang diawali dengan kegiatan perjalanan mengunjungi tempat lain di luar tempat tinggalnya,” tulis Achmad Sunjayadi dalam disertasinya berjudul “Dari Vreemdelingenverkeer ke Toeristenverkeee : Dinamika Pariwisata Di Hindia-Belanda 1891-1942,” yang dipertahankan dalam sidang terbuka senat akademik Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 6 Juli 2017. Mereka mencatat perjalanannya yang memuat tempat-tempat yang dikunjungi, objek-objek yang dilihat, dan tata cara dan kebiasaan hidup di Hindia Belanda. Catatan perjalanan ini kemudian menjadi panduan atau pedoman bagi para wisatawan yang akan berkunjung ke Hindia Belanda. Namun, ketika datang ke Hindia Belanda, mereka mengeluhkan keadaan pariwisata yang belum terorganisir, tidak ada fasilitas-fasilitas pendukung pariwisata, seperti pusat informasi dan akomodasi di wilayah yang memiliki objek wisata. Hal itu menjadi perhatian pemerintah Hindia Belanda, masyarakat, dan swasta, yang melihat ada kebutuhan terkait kegiatan pariwisata, terutama untuk menarik wisatawan datang ke Hindia Belanda. Oleh karena itu, pemerintah dan swasta membentuk organisasi yang bergerak dalam menangani pariwisata. “Dalam proses mewujudkan gagasan tersebut, pemerintah Hindia Belanda meniru Kihinkai (Welcome Society ) yang dibentuk pada 1893 di Jepang. Perhimpunan pariwisata di Jepang yang mengatur kegiatan pariwisata,” tulis Achmad. Awalnya, Kihinkai belum melibatkan pemerintah sehingga perhimpunan tersebut bersifat nonpemerintah. Kihinkai didukung dan didanai dari sumbangan perusahaan kereta api dan pelayaran swasta, pemilik hotel dan penginapan. Pada 1907, Konsul Belanda di Kobe, Jepang, J. Barendrecht mengirim surat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda J.B. van Heutsz mengusulkan agar pemerintah Hindia Belanda meniru Kihinkai dalam mengelola pariwisata. Sebelumnya, pada 1905, Karel Zaalberg, redaktur Bataviaasch Nieuwsblad menuliskan pendapatnya tentang pariwisata yang menurutnya jika dikelola dengan baik dapat menjadi potensi pemasukan besar bagi pemerintah Hindia Belanda. J.M. Gantvoort, direktur Hotel des Indes, juga mengusulkan soal promosi pariwisata di Hindia Belanda. Akhirnya, pada 13 April 1908, didirikan Perhimpunan Pariwisata ( Vereeniging Toeristenverkeer atau VTV) di Batavia. Sebagai perhimpunan pertama di Hindia Belanda, pendirian VTV bertujuan untuk mengembangkan vreemdelingenverkeer (lalu lintas orang asing) di Hindia Belanda. Struktur organisasi VTV mirip dengan Kihinkai , khususnya dalam bentuk perhimpunan yang terdiri dari para pengusaha dan inisiatif pihak swasta. Seperti Kihinkai , para anggotanya terdiri dari pihak swasta, seperti perusahaan pelayaran, perhotelan, dan perbankan. Pemerintah menempatkan wakilnya dalam susunan pengurus VTV. Untuk mendukung kegiatannya, VTV memiliki jaringan yang luas baik di dalam maupun di luar negeri. Di dalam negeri, VTV membuka kantor cabang di Surabaya, Semarang, Padang, dan Medan, serta perwakilan di Surakarta, Yogyakarta, Kedu, Singapura, Amsterdam, Hongkong, dan Shanghai. Pada periode berikutnya, VTV juga memiliki perwakilan baru di Amerika, Australia, dan Afrika. Selain itu, upaya lain yang juga dilakukan adalah menjalin kerjasama dengan organisasi sejenis dan lainnya di Belanda guna mempromosikan pariwisata di Hindia Belanda. Kemunculan VTV turut mendorong menculnya berbagai organisasi pariwisata di tingkat lokal, seperti di Padang, Bandung, Magelang, Malang, Lawang, Yogyakarta, dan Batavia. Dengan demikian, menurut Achmad, para pelaku yang berperan sebagai penggerak pariwisata di Hindia Belanda adalah masyarakat, swasta, dan pemerintah.
- Cerita di Balik Gambar Sunan Kalijaga
Pernahkah Anda bertanya siapa yang menggambar Walisongo atau sembilan wali penyebar Islam di Jawa? Gambar itu sangat terkenal karena dibuat posternya dan dijual. Gambar Kalijaga berbeda dengan delapan wali lainnya. Kalijaga digambarkan berkumis tanpa jenggot, memakai pakaian surjan, dan mengenakan blangkon. Sedangkan delapan wali lainnya mengenakan jubah dan sorban sebagai ikat kepala. Ternyata, ada dua gambar Kalijaga. Selain gambar di poster yang telah diketahui masyarakat luas, terdapat gambar Kalijaga yang lebih awal, sekitar tahun 1970-an. Cerita lahirnya gambar Kalijaga bermula ketika Suhadi, berusia 102 tahun dan tinggal sekitar 40 kilometer dari pusat Kota Demak, bermimpi didatangi orang yang diyakini Sunan Kalijaga. Berdasarkan mimpi itu dibuatlah lukisannya. Lukisan itu ditunjukkan kepada R. Akhmad Mulyadi, sesepuh (juru kunci) makam dan masjid Sunan Kalijaga. Dia terperanjat karena lukisan itu persis dengan orang yang hampir sepuluh kali datang dalam mimpinya. “Dilakukanlah kompromi apa yang dilihat mereka dalam mimpi adalah wajah Sunan Kalijaga. Kemudian diminta kepada salah seorang mahasiswa Akademi Seni Rupa Yogyakarta untuk membuatkan lukisannya berdasarkan hasil mimpi itu,” tulis Wasif Yafhisam dalam majalah Selecta , No. 780, 30 Agustus 1978. Setelah menyelesaikan lukisannya, pelukis bernama Joko itu bernasib malang. Dia tabrakan dan meninggal dunia. Lukisan asli Sunan kalijaga itu dipinjam oleh Bardosono, ketua umum PSSI (1975-1977). Sedangkan Akhmad Mulyadi hanya menyimpan duplikatnya. “Lukisan Sunan Kalijaga dipajang di sebuah ruangan dalam rumah sesepuh yang berada di desa Kadilangu,” tulis Wasif. “Ketika ingin mengambil foto tersebut, seorang pegawai Departemen Agama Kabupaten Demak, yang menemani wartawan Selecta berulang kali membisikkan agar membaca bismillah .” Selain duplikat lukisan Sunan Kalijaga, Akhmad Mulyadi juga menyimpan beberapa peninggalan Sunan Kalijaga di antaranya dua buah tombak yang ujungnya terbuat dari emas bernama Kiyai Sirikan dan Kiyai Panatas.
- Pembersihan PKI di DPRD Yogyakarta
SEJAK Pemilu 1955, Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi partai paling kuat di Daerah Istimewa Yogyakarta. PKI menguasai mayoritas kursi DPRD dari 1955 sampai 1965. Pada pemilu pertama itu, PKI meraih 10 dari 40 kursi DPRD. PKI merebut 14 kursi Pada pemilihan anggota DPRD untuk menggantikan DPRD Peralihan pada 1957. Menurut Julianto Ibrahim, pada kampanye Pemilu 1955, PKI aktif melakukan agitasi, infiltrasi, dan penggalangan massa di desa-desa melalui organisasi onderbouw -nya. PKI juga melakukan pengkaderan terhadap para buruh perkotaan, mahasiswa, pelajar, guru, bahkan militer. Selain itu, dalam upaya menguasai pemerintahan, PKI lebih suka berkerja sama dengan PNI. “Upaya melakukan penggalangan massa di desa maupun perkotaan dan bekerja sama dengan partai lain terbukti membawa hasil yang baik pada Pemilu 1955,” tulis Julianto, “Goncangan pada Keselarasan Hidup di Kesultanan,” termuat dalam Malam Bencana 1965 dalam Belitan Krisis Nasional Bagian II Konflik Lokal. Sementara itu, menurut Selo Soemardjan dalam Perubahan Sosial di Yogyakarta , salah satu faktor yang membuat PKI menarik minat banyak rakyat Yogyakarta adalah model kampanyenya yang berbeda. PKI melakukan pendekatan kepada rakyat dengan melakukan kunjungan langsung yang disebut Anjangsana. Untuk mencegah kejenuhan para calon pemilih, partai membuat sistem rolling kunjungan sehingga tiap kader mengunjungi tempat yang berbeda. Untuk melakukan kampanye ini, PKI membutuhkan kader yang loyal mengingat strategi ini sangat menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Selain Anjangsana, PKI juga menyelenggarakan hiburan rakyat, misalnya pertunjukan ketoprak. Dalam pertunjukan diselipkan dialog yang mengandung nilai-nilai komunisme. Orang-orang berbondong-bondong datang ke balai desa untuk menonton pertunjukan tersebut, mengingat penduduk desa saat itu kekurangan hiburan. Model kampanye yang berbeda ini menjadi metode yang efektif untuk menarik simpati rakyat. Dominasi PKI di DPRD Yogyakarta berakhir pasca peristiwa 1 Oktober 1965. PKI dan semua organisasinya dilarang. Orang-orang PKI dibersihkan, mulai dari lembaga negara hingga rakyat biasa. DPRD Yogyakarta salah satu lembaga yang melakukan pembersihan terhadap anggotanya dari PKI. Sebelum peristiwa 1 Oktober 1965, DPRD Yogyakarta melakukan penyusunan ulang anggota pada 26 Januari 1965. Berdasarkan arsip DPRD Yogyakarta No. 1/K/DPRD-GR/1965 terdapat 42 orang yang duduk di DPRD Yogyakarta dengan 8 orang berasal dari PKI. Bersih-bersih lembaga negara dilakukan berdasarkan Pedoman Pemberantasan PKI dalam Tubuh Aparatur Negara yang ditandatangani Wakil Kepala Daerah Pakualam VIII tanggal 26 Juli 1966. Pedoman tersebut berdasar pada Instruksi Kogam No. 09/1966. Berdasarkan arsip tersebut, diinstruksikan bahwa pembersihan di tiap lembaga berdasarkan laporan kepala dinas di masing-masing instansi. Kepala dinas bertugas untuk melaporkan nama-nama bawahannya yang menjadi anggota PKI atau organisasi yang dekat dengan PKI tanpa perlu melakukan interogasi. Orang yang tidak terima dituduh PKI diberi kesempatan untuk mengajukan pembelaan diri kepada kepala daerah selambatnya September 1966. Di tubuh DPRD Yogyakarta, terdapat 14 orang yang diberhentikan. Dari Surat Keputusan Pimpinan DPRD DIY No. 14/Kt-DPRD-GR/1965 anggota Fraksi PKI yang dikeluarkan dari DPRD Yogyakarta adalah Sudjiono, Sudibjo, A.M. Hardjono, Djaetun Dirdjowijoto, Nyonya S. Partoarmodjo, Marlan, Suwarno, dan Alimu Hardjodisastro. Sedangkan enam orang lainnya adalah Nyonya Sumarni Effendi (Gerwani), D.D. Susanto (Angkatan ‘45), Sudjadi Tjokroatmodjo (seniman Lekra), S. Djojohutomo (Barisan Tani Indonesia), Nona Murwani (SOBSI), dan Ir. Munadji (cendekiawan). Dari 14 orang yang dikeluarkan, dua di antaranya anggota pengganti yang belum sempat dilantik. Dua orang tersebut adalah Nona Murwani, yang seharusnya menggantikan posisi Sutikno dan Ir. Munadji menggantikan Prof. Ir. S. Purbodiningrat. Purbodiningrat merupakan anggota DPRD Yogyakarta dari fraksi PKI sejak 1958 hingga 1961. Baru pada 1964, dia masuk sebagai golongan fungsional, khususnya cendekiawan. Setelah pembersihan selesai dilakukan, DPRD Yogyakarta melakukan pengangkatan anggota baru melalui Keputusan Kepala Daerah No. III/1966 tanggal 20 Oktober 1966. Sebanyak 13 orang diangkat untuk mewakili Golongan Politik. Mereka berasal dari PNI (6 orang), NU (2 orang), serta IPKI, PSII, Partai Katholik, Parkindo, Partindo (masing-masing 1 orang). Sedangkan wakil dari Golongan Karya diangkat sebanyak 17 orang, terdiri atas fraksi Angkatan Bersenjata (6 orang), rohaniawan (2 orang), pembangunan spiritual (5 orang), dan pembangunan materiil (4 orang). Baru berjalan enam hari, pengangkatan tersebut direvisi dengan mengadakan open-talk . Pertemuan pada 26 Oktober 1966 itu dipimpin oleh Komandan Korem 072/Pekuper Yogyakarta/Kedu. Hasil pertemuan mengubah jumlah wakil dari kedua golongan, yakni 27 orang wakil berasal dari Golongan Politik dan 21 orang berasal dari Golongan Karya.
- Perkesa 78, Kisah Klub Sepakbola Orang Papua
Mayjen TNI (Purn.) Acub Zainal gila bola. Mantan Panglima Kodam (Pangdam) XVII Cendrawasih yang juga mantan Gubernur Irian Jaya (1973-1975) itu mencari bibit-bibit pesepakbola dari Papua dan menampungnya dalam klub Perkesa 78. Klub ini menjadi peserta dalam Kompetisi Galatama (Liga Sepakbola Utama), kompetisi semiprofesional pertama di Indonesia yang dibentuk pada 17 Maret 1978. Berbeda dengan Kompetisi Perserikatan yang levelnya masih amatir, Galatama jadi kompetisi yang bisa dibilang cikal bakal kompetisi profesional Liga Indonesia sekarang. Sayangnya, Galatama tinggal kenangan karena berakhir pada 1994. Peserta-peserta Galatama musim pertama 1979-1980 belum mencakup seluruh daerah Indonesia. Dari Indonesia timur, pesertanya datang dari Bali, Makassar dan Palu. Belum ada Persipura Jayapura yang mewakili provinsi paling timur. Kendati begitu, bukan berarti Galatama tanpa para pemain Papua. Para pemain dari Papua bergabung dengan klub Perkesa 78 yang didirikan Acub Zainal. Namanya melejit di dunia olahraga dan sepakbola berkat kesuksesannya sebagai ketua pelaksana Pekan Olahraga Nasional VII tahun 1969 di Surabaya. Awalnya, Perkesa 78 hanya tim amatir di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Nama klubnya juga merupakan kependekan dari asal daerah itu: Persatuan Sepakbola Kebayoran dan Sekitarnya. Klub itu kemudian menjadi perseroan terbatas (PT) pada November 1978 untuk diikutkan dalam kompetisi Galatama pada musim pertama. Acub Zainal sebagai direktur utama, Martalegawa sebagai direktur pemasaran, R.A.S. Kartawidjaja sebagai direktur umum dan Wijatno Darman sebagai direktur keuangan. Harian Kompas, 7 November 1978, melaporkan Perkesa 78 diisi para pemain berprospek cerah dari Papua seperti Salim Alkatiri, Salim Permana, Saul Sibi, Fredrik Sibi, Tonny B, Alo T, Onny Mayor, Yulius Wolff, Bertus, Erren SP, Baco Ivac Dallon dan Jafeth Sibi sebagai kapten tim. Mereka dibawa dari Papua untuk kemudian ditempa di Cipaku, Bogor dengan suasana penuh optimisme. Meski dilatih keras dengan disiplin ala militer, bukan berarti Acub mengabaikan perasaan para pemainnya. Dilatih untuk menang, tapi pemain harus tetap senang. “ Boys , kamu semua main bukan buat Irian, bukan buat Bogor atau siapapun. Kamu main buat meningkatkan sepakbola Indonesia. Oke , everybody happy ?” kata Acub. Harapan Acub hancur karena para pemain Perkesa 78 menerima suap dari bandar judi. Terlebih perantara suap adalah sang kapten, Jafeth Sibi. Tempo , 14 Juli 1979, melaporkan para pilar Perkesa 78 melalui Jafeth Sibi disogok Rp1,5 juta dari JSG (Jeffry Suganda Gunawan) untuk mengalah dari tim Cahaya Kita dalam laga di Stadion Menteng, Jakarta pada 5 Juni 1979. Selain Jafeth, para pemain yang rata-rata menerima Rp80 ribu antara lain Fredrik Sibi, Saul Sibi, Baco Ivac Dallom, dan Yulius Wolff. Acub yang mengetahui dari seorang “Mister X” lewat sepucuk surat, bak tersambar petir. Setelah mericek laporan dari sepucuk surat tersebut, Acub membawa skandal suap ini ke pengurus Galatama. Tidak lama setelah rapat Komisi Galatama, Acub memutuskan membubarkan Perkesa 78. Kapten Jafeth Sibi dipecat dan para pemain yang menerima suap diganjar sanksi. “Bagaimana tidak sakit? Saya mencari pemain langsung ke Irian. Bukan mengambil orang yang sudah jadi, bukan! Tapi setengah jadi. Malah yang belum setengah jadi! Saya bawa ke sini. Saya didik di sini, sampai berkembang. Tetapi akhirnya kena suap juga. Bayangin gimana enggak sedih?” kata Acub dalam biografinya, Acub Zainal: I Love the Army . Masyarakat Papua geger dan berharap Perkesa 78 tidak dibubarkan. Banyaknya desakan dan saran dari berbagai kalangan, membuat Acub batal membubarkan Perkesa 78. Namun, klub harus berpindah-pindah tempat. Dari Bogor, klub pindah ke Sidoarjo menjadi Perkesa Sidoarjo pada 1980, kemudian pindah lagi ke Yogyakarta menjadi Perkesa Mataram pada 1987 hingga tamatnya Galatama pada 1994.
- Ketika Malaysia Meminta Tenaga Kerja kepada Indonesia
SABTU, 1 Juli 2017, pemerintah Malaysia merazia pekerja asing dari 15 negara termasuk Indonesia. Sekira tiga juta pekerja migran Indonesia tersebar di tiga sektor: industri, perkebunan dan pekerja rumah tangga. Setengahnya tanpa dokumen alias ilegal. Pemerintah Negeri Jiran menggelar operasi yustisi terkait habisnya masa program E-Kad atau dokumen legal sementara yang berjangka waktu 15 Februari-30 Juni 2017. Program tersebut ditujukan agar para pekerja migran nondokumen bisa melegalkan status mereka. “Dalam pelaksanaannya program ini gagal memenuhi target untuk memutihkan 600 ribu buruh migran tak berdokumen di Malaysia. Hingga tenggat waktu, hanya sekitar 23% (155.680 orang),” ungkap Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo kepada Historia. Dari jumlah itu, hanya 22 ribu pekerja migran yang ikut program pemutihan dan pelegalan status mereka. Namun, menurut Migrant Care, kebijakan pemerintah Malaysia merazia dengan cara-cara koersif dan represif dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Migrant Care mencatat bahwa razia-razia terhadap pekerja migran tidak jarang dilandaskan pada tendensi rasisme, xenophobia, hingga diskriminatif. “Seharusnya setiap upaya penegakan hukum keimigrasian harus berbasis pada standar HAM. Migrant Care juga menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk membuka crisis center dan melakukan monitoring langsung ke basis-basis buruh migran Indonesia yang tak berdokumen,” lanjutnya. Untuk sementara ini, data Migrant Care menyebutkan 155 pekerja migran yang terjaring operasi. Pemerintah Indonesia harus segera melakukan diplomasi dan mendorong kesepakatan dengan pemerintah Malaysia soal penegakan hukum berbasis HAM. Dengan berkaca pada sejarah, penyelesaian pekerja migran asal Indonesia bisa dilakukan dengan cara yang baik. Sejarah telah mencatat bahwa pemerintah Malaysia pernah kekurangan tenaga pekerja dan meminta bantuan Indonesia untuk mengirimkan TKI. pada 1969, Malaysia dilanda huru-hara antara etnis Melayu dengan Tionghoa yang menguasai sektor ekonomi. Akibatnya, roda perekonomian dan pembangunan negeri bekas jajahan Inggris itu terganggu. Untuk mengatasi masalah itu, Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Razak diam-diam meminta bantuan kepada Presiden Soeharto. Agus Sudono, Ketum Gasbiindo (Gabungan Serikat-Serikat Buruh Islam Indonesia) yang sedang mengikuti sidang ILO (International Labour Organization) di Jenewa, Swis, dipanggil pulang ke Jakarta. Asisten pribadi Soeharto, yaitu Sudjono Humardhani dan Ali Murtopo, menugaskan Agus untuk merekrut ribuan TKI yang diperlukan Malaysia untuk mengisi kekosongan tenaga kerja di sana. “Sebagai negara muda, Malaysia membutuhkan tenaga kerja tingkat atas dan pimpinan. Dengan bertambahnya tenaga kerja berpendidikan tinggi dan berkualifikasi pimpinan, Malaysia dapat menyeimbangkan perkembangan ekonomi antara etnis Melayu dan Tionghoa,” kata Agus Sudono dalam biografinya, Pengabdian Agus Sudono . Syarat dan kualifikasi TKI antara lain berpendidikan sekolah dasar sampai perguruan tinggi, beragama Islam dan rajin salat lima waktu. “Syarat lain yang mesti saya pegang teguh, pengiriman TKI ke negara tetangga ini harus dijalankan dalam rangka silent operation (operasi senyap), tak bolah diketahui oleh rakyat Malaysia maupun Indonesia,” kata Agus. Pimpinan operasi senyap pengiriman TKI adalah Tan Sri Gazali dari pihak Malaysia dan Ahmad Yusuf, kepala intelijen Malaysia, serta Benny Moerdani, konsul jenderal Indonesia di Malaysia. “Dalam waktu cukup singkat saya dapat merekrut 1.500 TKI sesuai persyaratan, di antara mereka terdapat dosen lulusan Universitas Indonesia dan perguruan tinggi lainnya, karyawan GIA (Garuda Indonesian Airways), dan perusahaan-perusahaan negara,” kata Agus. Mereka diberangkatkan dengan kapal Bogowonto menuju Sabah, kemudian diteruskan ke Kuala Lumpur dan kota-kota lain di Malaysia. Operasi yang tersamar ini nyaris bocor karena sebuah koran di Sabah mempertanyakan mengapa para TKI itu berpendidikan tinggi. Perkelahian TKI dengan pekerja dari Filipina di Sandakan juga hampir membocorkan proyek itu. “Akhirnya proyek ini benar-benar sukses,” kata Agus. “Hampir tiga puluh tahun setelah pengiriman TKI, masih banyak di antara mereka yang menduduki jabatan penting di Malaysia, seperti di RTM (Radio dan Televisyen Malaysia), MAS (Malaysian Airways), sebagai guru agama, pengurus masjid dan sebagainya.” Alangkah baiknya bila pemerintah Malaysia dalam menyelesaikan masalah pekerja migran nondokumen asal Indonesia menengok sejarah bahwa TKI pernah berjasa dalam pembangunan Malaysia saat usianya masih muda.*
- Asal Usul Halalbihalal
K.H. Wahab Chasbullah, pendiri Nahdlatul Ulama, dianggap sebagai penggagas halalbihalal pada 1948. Istilah itu diajukan Wahab kepada Presiden Sukarno karena elite politik tidak bersatu dan selalu saling menyalahkan. Ternyata, istilah halalbihalal telah ada sejak zaman kolonial Belanda. Sunarto Prawirosujanto (lahir di Solo tahun 1927) yang kelak menjadi dirjen Pengawasan Obat dan Makanan Kementerian Kesehatan, menceritakan asal usul lahirnya istilah halalbihalal. “Acaranya terkait dengan agama Islam dan bunyinya bernapaskan bahasa Arab, tapi baik acara maupun kata-katanya tidak terdapat di negeri Arab. Arti kata halalbihalal sudah dibakukan ( KBBI : hal maaf-memaafkan setelah puasa Ramadan), akan tetapi rasanya sudah puluhan tahun belum dapat ditemukan asal mula perkataan itu,” kata Sunarto dalam biografinya, Rintisan Pembangunan Farmasi Indonesia. Sunarto mengingat bahwa perkataan halalbihalal sudah ada sejak sekitar tahun 1935-1936. Ketika itu, dia belum berusia sepuluh tahun dan suka main ke Taman Sriwedari yang terletak di tengah-tengah kota Solo. Taman ini dibangun oleh Pakubuwono X pada 17 Juli 1901 dan menjadi tempat rekreasi. Di taman itu ada pulau di tengah-tengah danau buatan serta kebun binatang. Di Taman Sriwedari terdapat pedagang martabak seorang India. Kalau di jalanan harga martabak hanya 7 sen per potong, tapi pada Maleman, acara keramaian di malam bulan puasa, harganya dinaikkan menjadi 9 atau 10 sen. Khusus pada hari Lebaran, dia berjualan di luar taman di depan pintu keluar penonton. Dia dibantu oleh seorang pribumi yang disuruh mendorong gerobak dan mengurusi api penggorangen. “Untuk menarik perhatian pembantu itu berteriak ‘martabak Malabar, halal bin halal, halal bin halal’ terus-menerus sehingga setiap penonton yang melalui gerbang itu pasti mendengarnya. Tidak ayal lagi anak-anak dan anak-muda sepulangnya dari Sriwedari ikut berteriak ‘martabak, martabak, halalbehalal di sepenjang jalan menirukan penjual martabak itu,” kata Sunarto. Waktu itu, kemungkinan martabak adalah makanan baru dan untuk menarik pembeli Muslim disebutlah bahwa martabak adalah halal. Perkataan halalbehalal atau alalbalal menjadi populer di kalangan masyarakat Solo. Pergi ke Sriwedari di hari Lebaran disebut berhalalbalal; pergi keluar berpakaian rapi di hari Lebaran disebut berhalalbalal; dan pergi silaturahmi pada hari Lebaran, biasanya berpakain rapi, disebut berhalalbalal. Semula acara halalbihalal hanya berupa selamat datang dari pihak penyelenggara, disusul pertunjukan dan makan bersama. “Kemudian saya pernah mendengar anjuran Bapak Mulyadi Joyomartono agar pertemuan menjadi bermakna, sebelum acara pertunjukkan hendaknya didahului oleh ceramah keagamaan Islam,” kata Sunarto. “Saya masih ingat salah satu pidatonya di muka corong SRI (Siaran Radio Indonesia), yang mencontohkan kebesaran Tuhan kepada umat manusia pada kafilah yang kelaparan di tengah padang pasir. Tiba-tiba burung-burung berjatuhan dari langit, sudah dalam keadaan digoreng, kata beliau, disusul dengan jatuhnya hujan, sehingga kafilah itu terhindar dari kematian.” Menurut Sunarto, istilah halalbihalal kemudian masuk dalam kamus Jawa-Belanda karya Dr. Th. Pigeaud yang terbit tahun 1938. Persiapan penyusunan kamus itu dilakukan di Surakarta pada 1926 atas perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 1925. Pada huruf A dapat ditemukan kata “alal behalal”: “ de complimenten (gaan, komen) maken (vergiffenis voor fouten vragen aan ouderen of meerderen na de Vasten (Lebaran, Javaans Nieuwjaar) vgb . Artinya “dengan salam (datang, pergi) untuk (memohon maaf atas kesalahan kepada orang lebih tua atau orang lainnya setelah puasa (Lebaran, Taun Baru Jawa).” Selain itu pada urutan huruf H terdapat kata "halal behalal": “ de complimenten (gaan, komen) maken (wederzijds vergiffenis vragen bij Lebaran, vgb). Artinya kurang lebih “dengan salam (datang, pergi) untuk (saling memaafkan di waktu Lebaran).” Menurut Sunarto, alfabet huruf Jawa adalah ha na ca ra ka. Meskipun ditulis dengan huruf ha selalu diucapkan sebagai huruf a (Latin), kecuali untuk perkataan asing. Jadi, mengapa ada dua versi: alalbalal dan halalbalal? Hal itu dikarenakan adanya dua pandangan. Apabila dianggap sebagai bahasa Jawa, penulisannya dalam huruf Latin adalah alalbalal, tapi kalau dianggap sebagai bahasa asing, maka harus ditulis halalbalal atau halalbehalal.
- Korupsi di Bengkulu Tempo Dulu
KURANG dari sepekan menjelang lebaran, KPK menangkap tangan Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti dan istrinya terkait suap proyek jalan di Kabupaten Rejang Lebong. Dalam penangkapan tersebut KPK berhasil menyita uang Rp1 milyar sebagai persekot dari total 4,7 milyar uang yang dijanjikan oleh pemenang proyek. Tak hanya kali ini, perkara korupsi pun pernah terjadi di Bengkulu pada masa yang lalu. Korupsi yang menggejala di tengah-tengah kehidupan elite Bengkulu saat itu menurut sejarawan Agus Setiyanto dalam bukunya Elite Pribumi Bengkulu: Perspektif Sejarah Abad ke-19 disebabkan, “gaya hidup yang lebih mengutamakan status,” sehingga mengarah kepada “kehidupan yang boros karena mengeluarkan uang lebih banyak daripada pendapatannya sendiri,” tulis Agus. Praktik penyelewengan keuangan juga merebak di kalangan pegawai pemerintah kolonial Inggris. Pada awal abad ke-19, Bengkulu adalah karesidenan yang berada di bawah kekuasaan Inggris. Pada saat itu pemerintah Inggris di Benggala, India, sebagai pusat kekuasaan tempat Bengkulu menginduk, sudah memberikan perhatian khusus kepada pola pengelolaan keuangan residensi Bengkulu. Agus menulis, “Sistem manajemen Residensi yang tidak efisien tersebut ternyata membawa efek semakin tingginya tingkat korupsi dan kolusi di antara amtenar (pegawai pemerintah kolonial, red .) dan kepala pribumi, baik dalam perdagangan maupun dalam peradatan.” Berdasarkan catatan William Marsden dalam bukunya The History of Sumatra , Bengkulu telah dikenal lama sebagai penghasil lada. Penjajahan Inggris atas Bengkulu kemudian mengupayakan penanaman lada dan kopi secara besar-besaran yang melibatkan pemerintah dan pemuka masyarakat setempat untuk mengumpulkan hasil panen lada dari para petani. Kendati pemerintah kolonial Inggris melakukan pengawasan ketat, dalam praktiknya, menurut Agus, “terjadi korupsi dan kolusi di antara para amtenar, para pengusaha dan para kepala pribumi.” Mengutip catatan J. Kathirithamby-Wells dalam A Survey of the Effects of British Influence on Indigenous Authority in Southwest Sumatra (1685-1824) , Agus menulis praktik penyelewengan itu terjadi dalam bentuk penimbangan palsu, pembayaran yang kurang tepat dan pemberlakuan harga komoditi yang sangat rendah untuk kemudian dijual dalam harga yang lebih tinggi. Walhasil praktik koruptif dan pemerasan tersebut tak hanya merugikan pemerintah Inggris, lebih-lebih para petani. “Para petani kebun semakin terjerat oleh hukum perdagangan yang tidak jelas baik dilakukan oleh para amtenar maupun oleh para kepala pribumi yang cenderung korup,” tulis Agus. Pemecatan pejabat pribumi yang ketahuan korupsi kali pertama terjadi pada Daeng Mabela. Mabela adalah pemuka masyarakat Bugis yang ada di Bengkulu. Dia diangkat sebagai kapten, jabatan yang lazim diberikan kepada pemimpin komunitas suku dalam masyarakat jajahan, sebagaimana pula kapten (kapiten) dalam masyarakat Tionghoa atau Arab di Hindia Belanda. Pemecatan itu dilakukan oleh residen Thomas Parr yang bertugas di Bengkulu 1805-1807. Joana Cicely Fenell dalam tulisannya The Assasination of Thomas Parr, Resident of Bencoolen menyebutkan Thomas Parr adalah anak pasangan John Parr dan Sarah Walmesley. Keluarga Parr mengklaim masih keturunan Sir William Parr, saudara lelaki Katharine Parr, istri keenam Raja Henry VII. Sebelum dilantik jadi residen Bengkulu pada April 1805, Parr adalah usahawan senior yang banyak berhubungan dengan Kompeni Dagang Inggris untuk Hindia Timur. Parr dikenal sebagai pejabat yang tertib dan keras hati memperjuangkan kepentingan Inggris di wilayah jajahannya. Ketika ditugaskan ke Bengkulu, Parr banyak melaporkan penyelewengan di kalangan pejabat pribumi dan juga amtenar Inggris, seperti yang terjadi pada Thomas Blair, residen Sillebar yang dinilainya kurang cakap menjalankan tugas. Dalam kasus Mabela, Parr menuduh pemuka masyarakat Bugis di Bengkulu itu telah menyelewengkan uang yang semestinya digunakan untuk keperluan karesidenan. Menurut Agus, karena temuan kasus itu, “Daeng Mabela tidak saja dipecat dari kepegawaian kompeni Inggris sebagai kapten, tetapi juga didepak dari keanggotaannya di dewan pangeran , sebuah dewan yang paling bergengsi di antara dewan-dewan pengadilan pribumi yang lain.” Pemberhentian tidak hormat tersebut merugikan sekaligus mempermalukan Mabela. Terlebih jabatan yang dipegangnya itu diperoleh secara turun temurun. Namun demikian cara Thomas Parr memerintah sebagai residen, yang terkenal ketat dan teliti atas nama kepentingan kompeni Inggris, pun menimbulkan kebencian di kalangan penduduk. Semua kejadian itu kemudian terakumulasi dan memantik kemarahan masyarakat yang bermuara kepada peritiwa Mount Felix 23 Desember 1807. Dalam kerusuhan itu, Thomas Parr tewas dibunuh di kediamannya di Mount Felix (masyarakat Bengkulu menyebutnya Bukit Palik). Kepalanya dipenggal oleh sekelompok warga yang datang ke rumahnya pada malam hari saat ia tertidur. Sebuah komisi yang bertugas menyelidiki pembunuhan tersebut kesulitan menemukan petunjuk siapa yang jadi dalang pembunuhan Parr. Dugaan semula mengarah kepada Mabela karena dinilai punya motif sakit hati atas pemecatanya. Tuduhan itu dilontarkan oleh Depati Sukarami, kolega Mabela, yang kemudian malah jadi tersangka utama dari pembunuhan Parr. Tuduhan bahwa Mabela dalang pembunuhan tak pernah bisa dibuktikan. Usai kasus pembunuhan tersebut, kendati sempat dipecat karena korupsi, Mabela kemudian mendapatkan kembali jabatannya.*
- Prabu Siliwangi Ada Delapan bukan Satu
Prabu Siliwangi telah menjadi identitas orang Sunda. Mereka meyakini bahwa Prabu Siliwangi adalah Sri Baduga Maharaja, raja Kerajaan Pajajaran. Namun, Prof. Dr. Ayatrohaedi, arkeolog, ahli bahasa, peneliti sejarah Sunda, dan guru besar arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia, punya pendapat berbeda mengenai jati diri Prabu Siliwangi. Dia juga meluruskan bahwa nama kerajaan yang benar adalah Sunda sedangkan Pajajaran, lengkapnya Pakwan Pajajaran, adalah ibukotanya. Ayat memiliki pendapat bertentangan setelah meneliti Naskah Wangsakerta dari Cirebon sejak akhir tahun 1970-an. Naskah berbahasa Cirebon ini ditulis selama 21 tahun (1677-1698) dengan aksara Jawa dan tebal tiap buku atau jilid sekitar 200 halaman. Para penyusunnya mengatakan bahwa Naskah Wangsakerta adalah “buku induk” riwayat Nusantara untuk menjadi pegangan bagi mereka yang ingin mengetahui riwayat dan kisah tanah kelahiran dan para leluhur mereka. “Dalam kaitannya dengan tokoh Prabu Siliwangi, naskah itu bagiku merupakan pembuka jalan untuk memasuki kegelapan mengenai tokoh itu,” kata Ayat dalam memoarnya, 65=67: Catatan Acak-acakan dan Cacatan Apa Adanya. Menurut naskah itu, kata Ayat, sebenarnya tidak ada raja Sunda bernama Prabu Siliwangi. Nama itu hanyalah julukan bagi raja-raja Sunda yang menggantian Prabu Wangi yang gugur di Bubat. Prabu Wangi sendiri nama sebenarnya adalah Prabu Linggabhuwana atau dalam Carita Parahiyangan disebut Prabu Maharaja. Julukan Prabu Wangi diberikan kepadanya oleh rakyatnya karena ketegarannya mempertahankan martabat Sunda ketika, akibat kelicikan Mahapatih Gajah Mada, bersama semua pengiring, pengawal, dan putrinya yang cantik jelita, Dyah Pitaloka, gugur dalam pertempuran melawan Majapahit pada 1357. Julukan itu sebagai penghormatan terhadap semua jasa dan pengabdian sang raja sehingga namanya menjadi wangi atau harum. “Lalu, raja-raja sesudahnya dikenal sebagai Prabu Siliwangi yang maksudnya asilih prabu wangi atau ‘menggantikan Prabu Wangi’,” kata Ayat. Ada berapa raja Sunda yang menggantikan Prabu Wangi? Menurut Ayat, Naskah Wangsakerta dan Carita Parahiyangan mencatat jumlah yang sama, yaitu delapan raja. “Di sinilah aku berbeda paham dengan sejawat peneliti sejarah Sunda. Mereka hanya mengakui Sri Baduga Maharaja (1482-1521) sebagai Prabu Siliwangi, sementara aku mengakui ada delapan orang raja berjuluk Prabu Siliwangi. Sama dengan kepercayaan orang Jawa yang menganggap bahwa ada lima raja bernama Prabu Brawijaya,” kata Ayat. Gelar Prabu Siliwangi tidak disematkan pertama kepada Mangkubumi Bunisora yang memegang tampuk pemerintahan ketika kakaknya, Prabu Linggabhuwana berada dan gugur di Bubat. Sebagai adik yang menjabat mangkubumi atau perdana menteri, Bunisora tidak dianggap sebagai pengganti Linggabhuwana karena Naskah Wangsakerta selalu menyatakan dia sebagai “raja penyelang.” Dia memegang pemerintahan karena rajanya bepergian. Para peneliti Sunda menganggap Sri Baduga Maharaja sebagai raja Sunda terbesar. Namun, Ayat mempertanyakan: mungkinkah Sri Baduga Maharaja dapat disebut sebagai raja terbesar dan masih sempat meluaskan wilayahnya, sementara itu dia harus menghadapi pasukan Islam dari Demak dan Cirebon? Bukankah untuk mempertahankan dirinya saja, dia harus mencari bantuan kepada Portugis yang menduduki Malaka sejak tahun 1511. Dari semua pengganti Prabu Wangi, dia yang kedua lamanya dalam memerintah selama 39 tahun (1482-1521). Namun, tidak mengalahkan Niskala Wastukancana yang berkuasa selama 104 tahun (1371-1475). Selain sebagai raja terbesar, para peneliti sejarah Sunda juga menyebut Sri Baduga Maharaja sebagai raja terakhir. Ayat kembali mempertanyakan: bukankah Kerajaan Sunda baru runtag (runtuh) tahun 1579, 58 tahun setelah Sri Baduga Maharaja meninggal? Sedangkan Naskah Wangsakerta menyebut bahwa raja Sunda terakhir adalah Suryakancana atau dalam Carita Parahayiangan bernama Nu Siya Mulya yang memerintah selama 12 tahun (1567-1579). “Dengan mengikuti Naskah Wangsakerta berarti raja terbesar adalah Niskala Wastukancana sebagai Prabu Siliwangi I sedangkan raja terakhir adalah Suryakancana yang berjuluk Prabu Siliwangi VIII,” kata Ayat. Ayat menyadari tidak mudah mengubah pendapat orang. Hingga sekarang pun barangkali masih banyak yang mengamini pendapat bahwa Prabu Siliwangi hanya seorang raja yaitu Sri Baduga Maharaja. “Baru mereka yang mendalami sumber sejarah secara lebih daria (sungguh-sungguh) yang mulai menerima pendapatku. Tidak apa,” kata Ayat.
- Husein Mutahar, Penggerak Nasionalisme
NAMANYA mencuat usai menjadi runner-up ajang pencarian bakat menyanyi Indonesian Idol 2014. Jalan menapaki karier musiknya pun terbuka lebar. Pada tahun itu juga Husein Alatas, penyanyi berusia 27 tahun, merilis album single berjudul Biar Cinta Bicara . Husein bukanlah sosok baru di dunia musik. Dia pernah naik-turun panggung sebagai vokalis bersama band rock Log Guns, yang dibentuk promotor-produser musik rock kenamaan Log Zhelebour, dan merilis sebuah album. Hengkang dari Log Guns, dia membentuk grup musik rock lainnya, Children of Gaza. Kini, tak cuma di dunia tarik suara, wajahnya juga kerap muncul di dunia seni peran. Dia membintangi film Ada Surga di Rumahmu (2015), 7/24 (2014), dan sinetron Elif yang tayang tahun ini (2017). Di balik kecintaannya pada musik, Husein mengagumi Husein Mutahar, seorang komponis musik Indonesia legendaris. Muhammad Husein Mutahar, kelahiran Semarang 5 Agustus 1916, termasyhur berkat lagu-lagu kebangsaan dan lagu anak-anak ciptaannya. Antara lain Hymne Syukur (1945) dan mars Hari Merdeka (1946). Karya terakhirnya, Dirgahayu Indonesiaku , bahkan menjadi lagu resmi ulang tahun ke-50 kemerdekaan Indonesia. Kepada Historia , Husein mengungkapkan rasa kagum sekaligus penasarannya terhadap tokoh ini. Husein Alatas. (Dok. pribadi). Kenapa memilih H. Mutahar? Mungkin dari rasa penasaran. Misalnya, lagu Hari Merdeka itu kan dinyanyikan tiap 17 Agustus. Sebenarnya siapa sih yang bikin? Bagaimana prosesnya? Sayangnya kok ini malah tidak terlalu dibahas sejarah ya. Bagaimana kemudian bisa menjadi kagum dengan sosoknya? Hebat ya. Dia menciptakan lagu yang bisa menjadi identitas bangsa. Karyanya begitu dikenang. Lagunya sangat berpengaruh; tua, muda, anak-anak, siapa yang tidak tahu lagunya. Apa tokoh ini memberi inspirasi dalam karier musik Anda? Jelas. Dengan karyanya, dia bisa menggerakkan semangat cinta tanah air. Salah satu ilmu yang aku ambil itu juga, ketika bikin lagu harus original, motivasinya harus jelas, harus tulus. Karya seperti ini justru bisa terus diingat. Seberapa jauh Anda mengenal sosoknya? Sayangnya aku nggak tahu persis kehidupannya. Sebenarnya sayang juga. Inginnya sih ada lebih banyak ulasan tentang dia. Selama ini sejarah kan lebih banyak menceritakan pahlawan-pahlawan populer. Siapa sih yang nggak tahu Sukarno, Jenderal Soedirman, atau M. H. Thamrin misalnya. Soal pencipta-pencipta lagu kebangsaan, saya kadang tahunya dari teman. Seolah mereka kurang penting dibanding pahlawan yang populer. Jadi, menurut Anda, H. Mutahar pantas disebut pahlawan bangsa? Iya dong. Definisi pahlawan itu kan nggak cuma angkat senjata. Misalnya bagaimana bisa tetap jadi imam masjid zaman Belanda padahal nasibnya terancam ditembak, itu juga pahlawan. Nggak cuma orang yang tergabung dalam militer, pandai merakit bom. Pencipta lagu seperti H. Mutahar, yang mampu membangkitkan jiwa nasionalisme, itu juga pahlawan.*
- Obsesi Soeharto Kepada Gajah Mada
PADA suatu hari di tahun 1980-an, Ayatrohaedi, arkeolog dan guru besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia, menerima misi penting dari Maulana Ibrahim, kepala bidang pemugaran Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala.
- Gajah Mada dan Islam di Majapahit
SETELAH wajah pada celengan kuno peninggalan Majapahit dijadikan sebagai wajah Gajah Mada oleh Mohammad Yamin pada 1945, kini Gajah Mada disebut Islam. Namanya Gaj Ahmada. Terang saja ia jadi viral di media sosial. “Yamin merasa berkepentingan, temuan miniatur tanah liat dijadikan wajah Gajah Mada agar mudah membayangkan. Nah, ini hal yang sama,” kata Daud Aris Tanudirjo, arkeolog Universitas Gadjah Mada, lewat sambungan telepon, Minggu (18/6). Selain Gaj Ahmada, si penulis juga menyebut kalau Majapahit bukanlah kerajaan melainkan kesultanan, soal penemuan koin Majapahit yang bertulis syahadat, nisan Sunan Maulana Malik Ibrahim yang bertuliskan bahwa dia seorang kadi Kerajaan Majapahit, lambang Majapahit berupa matahari dengan tulisan Arab, Raden Wijaya, pendiri kerajaan yang adalah Muslim, dan pelarian Muslim Baghdad ke Nusantara setelah diserang tentara Mongol pada 1293. Tak salah jika menyebut Islam sudah ada sejak masa Hayam Wuruk berkuasa di Kerajaan Majapahit. Sebab, jauh sebelumnya, Islam memang sudah masuk Nusantara di Barus. “Memang benar kalau saat itu sudah banyak Muslim di Majapahit. Ada catatan historisnya. Itu benar,” ucap Daud. Di Majapahit, bukti kehadiran Islam bisa ditunjukkan lewat pemakaman Islam kuno di Desa Tralaya, Trawulan, Mojokerto. Letaknya tak jauh dari lokasi yang diduga kompleks Kedaton Majapahit. Dari nisannya, makam-makam ini merujuk tahun 1203 dan 1533 saka (1281 dan 1611 M). Kesimpulannya, Islam sudah dianut oleh penduduk Majapahit pada masa kejayaannya di bawah Hayam Wuruk. “Mengingat pemakaman ini letaknya tak jauh dari kedaton, di dalam kota Majapahit, dapat disimpulkan ini adalah pemakaman bagi penduduk kota Majapahit dan keluarga raja yang telah beragama Islam,” tulis arkeolog dan efigraf Hasan Djafar dalam Majapahit Sesudah Zaman Keemasannya . Ma Huan, seorang Muslim dan penerjemah Laksamana Cheng Ho, mengunjungi Majapahit setelah mengalami kemunduran pada 1413. Dalam laporannya, Ying-yai Sheng-lan (Survei Menyeluruh Daratan-daratan Samudra), dia menyebutkan di Majapahit terdapat tiga golongan penduduk, salah satunya penduduk Muslim. Mereka adalah saudagar yang datang dari berbagai kerajaan di barat. “Klaim pada waktu itu Islam sudah cukup kuat ya tidak disanggah. Memang banyak pejabat Majapahit sudah beragama Islam. Memang tidak apa-apa. Cuma kalau ditafsirkan semuanya menjadi Islam, ya, tidak betul,” tegas Daud. Menurut Daud, interpretasi yang disebar lewat media sosial itu jelas dibuat-buat. Terkait nama Gajah Mada, dia menjelaskan, bahwa pada masa itu sudah biasa menggunakan nama hewan sebagai unsur kekuatan bagi si pemilik nama. Itu mengapa Raja Majapahit yang terkenal pun bernama Hayam Wuruk. “Banyak kan yang pakai kebo dalam namanya. Jadi tidak bisa dipisah-pisah begitu (nama Gajah Mada jadi Gaj Ahmada). Lagipula kenapa hanya Gajah Mada. Kenapa yang lain tidak?” kata Daud. Daud menilai interpretasi sejarah semacam ini muncul terkait politik identitas. Si penulis ingin mengidentifikasikan dirinya melalui akar sejarah yang sudah lama. “Bagian dari upaya dominasi pemikiran dan kekuasaan oleh mereka untuk legitimasi kalau ini sudah ada bukti sejak dulu, bahwa kerajaan yang besar itu sebenarnya Islam,” terang Daud. Legitimasi ini, menurut Daud, jelas terlihat karena identifikasi yang ada menunjuk pada satu golongan saja. Padahal, sejarah Majapahit justru sangat mungkin untuk ditafsirkan dalam kebhinekaan. “Kalau bhineka, Majapahit dapat ditafsirkan bahwa kerajaan Hindu itu memiliki para pejabat yang beragama Islam, mereka tidak masalah,” lanjutnya. Di luar itu, pada masa sekarang segala bentuk penafsiran memang sah saja. Namun, itu bukan berarti menyingkirkan keberadaan bukti yang kuat. “Kalau hanya permainan kata-kata semua bisa dipermainkan,” tegas Daud. Hal semacam ini, bisa saja memancing orang untuk makin kritis. Sayangnya, kata Daud, dengan memanfaatkan media sosial, orang seakan menjadi tak butuh bukti lagi.*
- Peraih Hadiah Gajah Mada
SETELAH menamatkan Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) di Jakarta, pada Agustus 1924 Soepomo mendapatkan beasiswa ( studieopdracht ) untuk melanjutkan pendidikan hukum ke Universitas Leiden Belanda. Dengan kecerdasan dan ketekunan, pemuda kelahiran Sukoharjo, Jawa Tengah, 22 Januari 1903 itu, berhasil menyelesaikan pendidikan master dan doktornya dalam waktu bersamaan. Soepomo memperoleh gelar Master in de Rechten (Mr) pada 14 Juni 1927 dengan predikat suma cumlaude . Dan pada 8 Juli 1927, dia mempertahankan disertasinya yang berjudul De reorganisatie van het agrarisch stelsel in het gewest Surakarta (Reorganisasi Sistem Agraria di Daerah Surakarta). “Dia juga meraih hadiah ‘Gadjah Mada’, hadiah tertinggi dalam bidangnya pada saat itu. Hal ini merupakan suatu prestasi yang luar biasa dan berarti bahwa dalam satu tahun sekaligus beliau menggondol dua gelar kesarjanaan. Gelar doktor beliau capai dalam usia yang sangat muda, yaitu 24 tahun,” tulis A.T. Soegito dalam biografi Prof. Mr. Dr. Supomo . Menurut sejarawan Harry A. Poeze, Universitas Leiden memberikan dua hadiah uang dari Leidsch Universiteits-Fonds (Dana Universitas Leiden) yang dibagikan setiap tahun kepada mahasiswa yang lulus ujian doktoral dengan nilai terbaik. Para pemenang memperoleh uang yang sangat besar, yaitu f750 dan f500. “Hadiah Kanaka dibagikan setiap tahun, sedangkan hadiah Gadjah Mada baru diberikan untuk pertama kali kepada Soepomo,” tulis Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 . Setelah kembali ke Indonesia, Soepomo menjabat Ketua Pengadilan Negeri di Yogyakarta, Purworejo, dan Purwokerto. Dia kemudian bekerja sebagai pegawai tinggi Departemen Justisi di Jakarta untuk mengadakan penelitian hukum adat di Jawa Barat. Setelah itu, dia menjadi dosen hukum adat kemudian guru besar di Rechthogeschool. “Selama masa ini Soepomo tidak aktif pada bidang politik maupun pemerintahan. Dia lebih mencurahkan perhatiannya pada bidang hukum sesuai dengan pendidikan yang diperolehnya,” tulis A.B. Lapian dalam Terminologi Sejarah 1945-1950 & 1950-1959. Pada masa pendudukan Jepang, Soepomo menduduki posisi Kepala kantor Perundang-undangan Departemen Justisi, anggota Mahkamah Agung, anggota Panitia Hukum Adat dan Tatanegara, dan Kepala Departemen Kehakiman. Pada waktu menjelang Proklamasi, Soepomo menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dia menjadi salah satu anggota Panitia Kecil UUD 1945 yang berjumlah tujuh orang. Dalam pidatonya pada 31 Mei 1945, dia mengajukan konsep negara integralistik atau negara kekeluargaan. Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Soepomo diangkat menjadi Menteri Kehakiman dalam Kabinet Republik Indonesia pertama, yaitu Kabinet Sukarno-Hatta. Dia juga menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat. Soepomo terlibat dalam berbagai perundingan dengan Belanda, seperti Renville, Roem-Royen, dan Konferensi Meja Bundar. Ketika Indonesia bebentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), dia diangkat sebagai Menteri Kehakiman Kabinet RIS yang dibentuk pada awal tahun 1950. “Dalam kaitannya dengan pembentukan RIS ini, Soepomo memegang peranan penting dalam merencanakan UUD RIS. RIS berakhir pada Agustus 1950 menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, kabinet RIS pun dibubarkan. Dengan demikian berakhir pula jabatan Soepomo sebagai Menteri Kehakiman Kabinet RIS,” tulis Lapian. Soepomo menjadi guru besar di Universitas Gajah Mada, Akademi Polisi (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian), Akademi Ilmu Politik, dan presiden (rektor) Universitas Indonesia, pimpinan Lembaga Pembinaan Hukum Nasional dan anggota Panitia Negara Urusan Konstitusi. Pada April 1954, Soepomo diangkat sebagai duta besar untuk Inggris. Empat tahun kemudian, pakar hukum adat dan tatanegara ini meninggal dunia pada 12 September 1958. Dia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 1965.*






















