top of page

Sejarah Indonesia

Gajah Mada Dan Islam Di Majapahit

Gajah Mada dan Islam di Majapahit

Rakyat dan pejabatnya ada yang beragama Islam, bukan berarti Majapahit kerajaan Islam.

18 Juni 2017

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Patung Gajah Mada sebagai lambang Kepolisian Republik Indonesia.

SETELAH wajah pada celengan kuno peninggalan Majapahit dijadikan sebagai wajah Gajah Mada oleh Mohammad Yamin pada 1945, kini Gajah Mada disebut Islam. Namanya Gaj Ahmada. Terang saja ia jadi viral di media sosial.


“Yamin merasa berkepentingan, temuan miniatur tanah liat dijadikan wajah Gajah Mada agar mudah membayangkan. Nah, ini hal yang sama,” kata Daud Aris Tanudirjo, arkeolog Universitas Gadjah Mada, lewat sambungan telepon, Minggu (18/6).


Selain Gaj Ahmada, si penulis juga menyebut kalau Majapahit bukanlah kerajaan melainkan kesultanan, soal penemuan koin Majapahit yang bertulis syahadat, nisan Sunan Maulana Malik Ibrahim yang bertuliskan bahwa dia seorang kadi Kerajaan Majapahit, lambang Majapahit berupa matahari dengan tulisan Arab, Raden Wijaya, pendiri kerajaan yang adalah Muslim, dan pelarian Muslim Baghdad ke Nusantara setelah diserang tentara Mongol pada 1293.


Tak salah jika menyebut Islam sudah ada sejak masa Hayam Wuruk berkuasa di Kerajaan Majapahit. Sebab, jauh sebelumnya, Islam memang sudah masuk Nusantara di Barus. “Memang benar kalau saat itu sudah banyak Muslim di Majapahit. Ada catatan historisnya. Itu benar,” ucap Daud.


Di Majapahit, bukti kehadiran Islam bisa ditunjukkan lewat pemakaman Islam kuno di Desa Tralaya, Trawulan, Mojokerto. Letaknya tak jauh dari lokasi yang diduga kompleks Kedaton Majapahit.


Dari nisannya, makam-makam ini merujuk tahun 1203 dan 1533 saka (1281 dan 1611 M). Kesimpulannya, Islam sudah dianut oleh penduduk Majapahit pada masa kejayaannya di bawah Hayam Wuruk.


“Mengingat pemakaman ini letaknya tak jauh dari kedaton, di dalam kota Majapahit, dapat disimpulkan ini adalah pemakaman bagi penduduk kota Majapahit dan keluarga raja yang telah beragama Islam,” tulis arkeolog dan efigraf Hasan Djafar dalam Majapahit Sesudah Zaman Keemasannya.


Ma Huan, seorang Muslim dan penerjemah Laksamana Cheng Ho, mengunjungi Majapahit setelah mengalami kemunduran pada 1413. Dalam laporannya, Ying-yai Sheng-lan (Survei Menyeluruh Daratan-daratan Samudra), dia menyebutkan di Majapahit terdapat tiga golongan penduduk, salah satunya penduduk Muslim. Mereka adalah saudagar yang datang dari berbagai kerajaan di barat.


“Klaim pada waktu itu Islam sudah cukup kuat ya tidak disanggah. Memang banyak pejabat Majapahit sudah beragama Islam. Memang tidak apa-apa. Cuma kalau ditafsirkan semuanya menjadi Islam, ya, tidak betul,” tegas Daud.


Menurut Daud, interpretasi yang disebar lewat media sosial itu jelas dibuat-buat. Terkait nama Gajah Mada, dia menjelaskan, bahwa pada masa itu sudah biasa menggunakan nama hewan sebagai unsur kekuatan bagi si pemilik nama. Itu mengapa Raja Majapahit yang terkenal pun bernama Hayam Wuruk.


“Banyak kan yang pakai kebo dalam namanya. Jadi tidak bisa dipisah-pisah begitu (nama Gajah Mada jadi Gaj Ahmada). Lagipula kenapa hanya Gajah Mada. Kenapa yang lain tidak?” kata Daud.


Daud menilai interpretasi sejarah semacam ini muncul terkait politik identitas. Si penulis ingin mengidentifikasikan dirinya melalui akar sejarah yang sudah lama. “Bagian dari upaya dominasi pemikiran dan kekuasaan oleh mereka untuk legitimasi kalau ini sudah ada bukti sejak dulu, bahwa kerajaan yang besar itu sebenarnya Islam,” terang Daud.


Legitimasi ini, menurut Daud, jelas terlihat karena identifikasi yang ada menunjuk pada satu golongan saja. Padahal, sejarah Majapahit justru sangat mungkin untuk ditafsirkan dalam kebhinekaan. “Kalau bhineka, Majapahit dapat ditafsirkan bahwa kerajaan Hindu itu memiliki para pejabat yang beragama Islam, mereka tidak masalah,” lanjutnya.


Di luar itu, pada masa sekarang segala bentuk penafsiran memang sah saja. Namun, itu bukan berarti menyingkirkan keberadaan bukti yang kuat. “Kalau hanya permainan kata-kata semua bisa dipermainkan,” tegas Daud.


Hal semacam ini, bisa saja memancing orang untuk makin kritis. Sayangnya, kata Daud, dengan memanfaatkan media sosial, orang seakan menjadi tak butuh bukti lagi.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

Sebagai murid, S.K. Trimurti tak selalu sejalan dengan guru politiknya. Dia menentang Sukarno kawin lagi dan menolak tawaran menteri. Namun, Sukarno tetap memujinya dan memberinya penghargaan.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
bottom of page