Hasil pencarian
9596 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Soeharto Meminta Bantuan CIA
TELAH diketahui umum bahwa CIA (Dinas Intelijen Amerika Serikat) membantu Angkatan Darat dalam menumpas PKI pasca Peristiwa 30 September 1965. Kita mengetahuinya dari sumber-sumber CIA dan pengakuan agen-agennya. Sedangkan dari pihak Angkatan Darat hampir tidak ada pengakuan sampai seorang jenderal mengungkapkan bahwa dirinya diperintahkan oleh Mayjen TNI Soeharto untuk menghubungi CIA, para duta besar asing, dan perusahaan-perusahaan besar.
- Damai Sebagai Jalan Keluar
Mulanya nama dara cantik ini lebih dikenal di atas panggung catwalk. Namun beberapa tahun terakhir Olga Lydia justru lebih dikenal sebagai artis sinetron dan presenter. Bahkan, saat pesta rakyat menyambut presiden baru Joko Widodo, Olga turun tangan dan bergabung dalam Tim Nasional Syukuran dan Selamatan Rakyat. Finalis Wajah Femina 1994 ini memang serba bisa. Dia piawai berakting film dengan beragam genre. Sebagai pembawa acara, dia luwes masuk ke segala acara. Dari gaya hidup, olahraga, hingga parodi politik. Diam-diam Olga Lydia mengidolakan sosok Mahatma Gandhi, “Bapak Negara India”. Mohandas Karamchand Gandhi lahir di Porbandar, Gujarat, sebelah barat India, pada 2 Oktober 1869. Gandhi berasal dari keluarga bangsawan. Ayahnya perdana menteri di negara bagian tersebut, dan banyak kerabatnya bekerja untuk pemerintah kolonial Inggris. Di masa dewasa, Gandhi menentang kolonialisme Inggris. Ajarannya berupa protes tanpa kekerasan, Ahimsa, memberi pengaruh luar biasa. Akibatnya, Inggris pun hengkang. Olga Lydia bicara tentang tokoh idolanya di sesela aktivitasnya sebagai pembawa acara pemutaran perdana film Senyap atau Look of Silence karya Joshua Oppenheimer di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. Kapan mula mengagumi sosok Mahatma Gandhi? Gara-garanya saat saya menonton film berjudul Gandhi. Saya melihat dia tokoh luar biasa, yang dilahirkan dan menciptakan dirinya sendiri sebagai orang istimewa. Kenapa Gandhi? Dia, kalau boleh dibilang, bapak bangsa-nya India. Meski terlahir dari keluarga bangsawan, ternyata dalam perjalanan hidupnya, dia mampu berdiri paling depan dalam menentang kolonialisme. Dia menentang penjajahan, seperti Inggris yang kala itu menguasai India. Apa yang menarik dari perjuangan Gandhi? Dari cara dia menentang penjajahan, yaitu dengan cara damai. Bisa dibayangkan, Inggris yang kuat bisa hengkang dari India, dengan cara-cara damai yang disebar Gandhi. Dari tokoh ini saya banyak belajar bahwa selalu ada cara-cara damai untuk menyelesaikan masalah yang sedemikian besar. Adakah ucapan Gandhi yang melekat di ingatan Anda? Jika ucapannya, seingat saya, kalau tidak salah, bahwa derajat suatu bangsa dapat dinilai dari cara pandang terhadap binatang. Saya pikir ini benar juga. Di negara yang sudah maju, binatang-binatang bisa hidup berdampingan dengan manusia tanpa ada rasa takut untuk diburu. Burung bebas hinggap di mana pun ia suka. Nah, di Indonesia, belum sampai. Masih banyak orang berburu burung hanya untuk kesenangan. Apa sisi kelemahan pada dirinya? Saya belum menemukan kelemahannya. Mungkin sikap keras kepala. Tapi itu kan saat menentang kolonialisme Inggris. Dia keras kepala untuk tidak tunduk kepada penjajah.
- Logistik
HIRUK pikuk arena politik seakan tak pernah ada habisnya. Dari ratusan perhelatan pemilihan kepala daerah di negeri ini hanya Jakarta yang jadi panggung tempat pentas politik paling ramai dibicarakan. Siaran televisi, media cetak sampai media sosial membahasnya seakan Jakarta adalah Indonesia dan Indonesia hanya Jakarta. Saling serang antar pendukung persis tawuran kata-kata di media sosial. Isu yang diperbicangkan meluas mulai soal banjir, kemacetan, fasilitas sosial, penggusuran sampai soal agama yang berpotensi menimbulkan konflik. Dari sekian isu yang menjadi tema pembicaraan, ada satu hal yang pula selalu jadi bahan pembicaraan: logistik. Entah sejak kapan istilah yang merujuk kepada ketersediaan duit itu mulai digunakan. Menjelang perhelatan pemilihan kepala daerah secara serentak pada 15 Februari 2017 istilah tersebut kian sering terdengar. Ketersediaan logistik dari pasangan calon kepala daerah jauh lebih menarik diperbincangkan ketimbang program kerjanya. Bahkan di beberapa daerah isu kekuatan logistik dari pasangan calon kepala daerah dijadikan ukuran untuk memenangkan pertarungan. Misalnya di Banten, wilayah yang berbatasan langsung dengan Jakarta, desas desus tentang kekuatan duit lebih menentukan dari soal apapun. Dugaan itu diperkuat oleh hasil survey SMRC yang menyebutkan bahwa 70 persen warga provinsi di ujung barat pulau Jawa itu permisif terhadap money politic . Uang jadi faktor penentu kemenangan pada masyarakat bawah yang memang terbelit oleh masalah kebutuhan hidup sehari-hari. Isu-isu penting seperti korupsi dan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih hanya jadi konsumsi masyarakat kelas menengah. Jika demikian apakah sebetulnya yang sedang terjadi pada era demokrasi elektoral ini? Apabila analisis historis bisa diajukan sebagai alternatif memahami kekinian kita, maka hiruk pikuk demokrasi dengan segala macam problematikanya kemungkinan berakar jauh ke masa silam. Sebelum angin kebebasan politik berembus, kita semua tahu Orde Baru membatasi jumlah partai politik menjadi tiga sebagai hasil fusi partai politik pada 1973. Hanya ada Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai partai bercorak Islam, Golongan Karya partainya penguasa dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) mewakili kelompok nasionalis. Sementara itu keterlibatan rakyat di dalam politik didesain sedemikian rupa agar tak terlalu aktif bahkan cenderung dijauhkan kecuali lima tahun sekali untuk urusan Pemilu. Kebijakan massa mengambang berhasil menjadikan rakyat apolitis, tak terlibat pada urusan-urusan politik. Pengekangan kebebasan sedikit memberikan peluang kepada rakyat untuk kritis melihat kebijakan pemerintah. Setelah Soeharto lengser pada 1998, segera keadaan berubah. Partai politik bermunculan dalam sistem demokrasi elektoral. Ideologi tak lagi sekaku pada era perang dingin. Malah seringkali bersifat transaksional untuk kepentingan-kepentingan tertentu yang hendak diraih oleh partai politik. Ideologi yang kaku mendadak tampak menjadi usang. Kelenturan jauh lebih ditekankan untuk alasan eksistensi partai di atas panggung politik. Sementara itu masyarakat yang semua apolitis bahkan dibuat jauh dengan urusan politik secara formal, mendadak terseret arus politik elektoral. Partai politik membutuhkan massa, sementara massa yang apolitis disodori berbagai macam pilihan dari partai politik, baik dalam masa pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan eksekutif. Maka dalam masa-masa seperti ini, gagasan-gagasan besar hanya jadi materi kampanye. Masyarakat yang sudah dihimpit persoalan sehari-hari dan terlalu banyak dipermainkan dalam setiap perhelatan demokrasi terjatuh dalam pilihan yang pragmatis. Maka terciptalah logika pasar dalam praktik demokrasi elektoral, di mana politikus berperan sebagai pembeli dan rakyat sebagai penjual suara. Maka wajar kekuatan logistik dalam keadaan seperti ini menjadi hal yang cukup menentukan. Sedangkan masyarakat mendapat julukan “pemilih profesional” yang menentukan pilihannya berdasarkan seberapa besar uang yang diterimanya. Jika demikian, akan sesuram apakah demokrasi di Indonesia? Mungkin kelak puluhan tahun ke depan para sejarawan generasi baru akan bisa memberikan jawabannya.*
- Digulung dan Disingkirkan
SIAPAKAH sebenarnya Raden Saleh, perupa yang karyanya berjudul Boschbrand (kebakaran hutan) sempat menimbulkan keheranan karena telah dijual secara tidak menguntungkan oleh para cucu Ratu Juliana? Aneh juga kalau pelukis yang terkenal dan banyak dipuji di pentas internasional dengan karya-karya yang sekarang bernilai sampai jutaan dolar, justru bukan nama yang dikenal pada setiap rumah tangga Belanda. Kembali meningkatnya penghargaan terhadap karya-karya Raden Saleh terjadi berkat jasa pengamat seni Prancis dan terutama Jerman yang begitu fanatik memujanya. Mereka berhasil mengorbitkan Raden Saleh pada pentas internasional sebagai salah satu seniman besar abad 19, tanpa secuilpun keterlibatan Belanda. Itu jelas janggal.
- Pahlawan Tanpa Senapan
SEORANG pria terpental diterjang peluru. Tak lama kemudian bom meledak dan mengobarkan api. Korban-korban berjatuhan. Di bawah hujan peluru, empat pria berpakaian hijau sibuk mengangkat para korban. Adegan-adegan pertempuran, dari Perang Saudara hingga Perang Pasifik, menjadi pembuka film ini. Setelah itu kita dibawa ke masa lalu ( flashback ) dengan suasana alam di Pegunungan Blue Ridge, Virginia, Amerika Serikat, tahun 1929. Dua bocah Doss bersaudara, Desmond dan Harold, sering menghabiskan waktu bermain di sana. Namun sebagaimana umumnya anak-anak, keduanya juga kerap ribut dan berkelahi.
- Jenazah Kahar Muzakkar Dikenali dari Celana Dalam
PADA akhir Januari 1965, Peleton I/Kompi D seharusnya sudah kembali ke basis karena perbekalan sudah habis sehingga mereka makan dedaunan. Pasukan di bawah komandan Peltu Umar ini bagian dari Operasi Kilat yang mengerahkan empat Kompi Yon 330/Kujang, pasukan RPKAD, dan Kompi Raiders/Hasanuddin. Peltu Umar meneruskan patroli sepanjang Sungai Lasolo karena mendapat petunjuk baru letak markas Kahar Muzakkar, pemimpin DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang mendeklarasikan Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII). Markas persembunyian Kahar dibocorkan oleh perwira kepercayaannya, Letkol Kadir Junus yang menyerahkan diri kepada TNI. Dia memberitahu bahwa Kahar bersembunyi di suatu tempat di Sulawesi Tenggara, sekitar Sungai Lasolo, Kabupaten Kendari. Tetapi, menurut Brigjen TNI M. Jusuf, Panglima Operasi Kilat, kepastian persembunyian Kahar didapat setelah pasukan RPKAD menyergap sekelompok orang di sekitar Lawate pada 22 Januari 1965. Di antara dokumen yang disita terdapat surat-surat yang baru ditulis oleh Kahar kepada Mansjur. Pada awal Februari 1965, Peltu Umar dan pasukannya berhasil menangkap Menteri Kesehatan RPII dengan 144 orang penduduk dan pengikutnya. Dari mereka diperoleh informasi yang memastikan posisi markas Kahar. Keesokan hari, pasukan Peltu Umar melihat seorang membawa senjata sedang naik rakit menuju perkemahan terdiri dari bivak-bivak berjejer di tepi sungai. Mereka melihat lebih banyak lagi orang bersenjata yang mandi di sungai. “Sayup-sayup terdengar suara radio transistor, dan lagu yang keluar dari radio adalah lagu kenang-kenangan. Ini, menurut penunjuk jalan mereka, adalah lagu kesayangan Kahar,” kata M. Jusuf dalam biografinya, Panglima Para Prajurit karya Atmadji Sumarkidjo. Pada dini hari, 3 Februari 1965, Peltu Umar memerintahkan 30 orang pasukannya menyeberangi sungai dan mengepung perkemahan. Empat prajurit ditinggal di seberang sungai untuk mencegah ada yang melarikan diri. Mereka mengepung sambil menunggu terang tanah agar bisa melihat sasaran dengan lebih jelas. Pukul 4.00, beberapa orang keluar dari bivak menuju sungai. Empat prajurit menembak orang itu disusul tebakan-tembakan dari prajurit yang mengepung perkemahan. Kepanikan menyergap para penghuni bivak. Pertempuran hanya berlangsung lima menit. Mayat-mayat yang ada dikumpulkan untuk diidentifikasi. Salah satunya diyakini mayat Kahar, orang yang ditakuti sejak tahun 1950 dan mengangkat dirinya sebagai khalifah RPII. Kahar meninggal akibat tembakan peluru tepat di Hari Raya Idulfitri pada 3 Februari 1965. Mayat Kahar dinaikkan ke rakit untuk dibawa ke pos TNI terdekat. Dari pos tersebut barulah informasi kematian Kahar disampaikan melalui radiogram ke pos komando di Pakue. M. Jusuf dan Brigjen TNI Rukman kebetulan berada di sana sedang merayakan Lebaran bersama pasukannya. Jusuf lalu meneruskan berita kematian Kahar kepada Menteri/Pangad Letjen TNI Achmad Yani yang saat itu juga langsung melaporkannya kepada Presiden Sukarno. Dari pos komando Pakue, Jusuf membawa jenazah Kahar dengan helikopter Mi-4 ke bandar udara Hasanuddin di Makassar. Achmad Yani mengutus Deputi I/Pangad Mayjen TNI Moersid untuk memastikan yang mati benar-benar Kahar. Setelah melihat jenazah itu di bandara, Moersid dibekali sejumlah foto segera terbang ke Jakarta untuk melaporkannya kepada Achmad Yani. Jenazah Kahar lalu dibawa ke rumah sakit tentara di Makassar. Jusuf memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melihat jenazah itu dan memastikan sendiri bahwa yang mati benar-benar Kahar. “Sejak di Pakue saya telah memastikan bahwa yang meninggal adalah Kahar,” kata Jusuf. “Ciri utama dari Kahar adalah tahi lalat, gigi emas, dan yang paling penting adalah celana dalam dengan bordiran huruf KM (Kahar Muzakkar). Beliau tidak mau memakai sembarang celana dalam, kecuali yang dibordir khusus oleh istrinya yang keempat.” Salah satu orang yang mendapat kesempatan langka memotret jenazah Kahar adalah wartawan Boet Ph M. Rompas. Dia juga memotret celana dalam Kahar dengan inisial dua huruf KM yang jelas terlihat,” tulis Atmadji. Berpuluh tahun kemudian ketika ada yang menyebarkan isu bahwa Kahar masih hidup, foto-foto itu ditunjukkan dan menjadi bukti yang tidak bisa dibantah. Sejak diizinkan sampai petang, masyarakat, pejabat, wakil rakyat dan bekas anak buahnya, berdatangan ke rumah sakit untuk memastikan wajah Kahar. Setalah itu, Jusuf memerintahkan jenazah Kahar dikuburkan. Hanya sedikit pejabat militer yang mengetahuinya di mana Kahar dikuburkan. Jusuf dan Kolonel Solichin GP, Kepala Staf Operasi Kilat, tidak pernah menceritakan di mana Kahar dimakamkan dan siapa yang diperintahkan memakamkannya. “Jusuf sendiri tetap konsisten dengan sikapnya, dan tidak pernah mau menceritakan di mana dia memerintahkan Kahar Muzakkar dimakamkan sampai dia meninggal pada September 2004,” tulis Atmadji.*
- Barisan Jenggot Berbahaya
Laskar atau barisan perjuangan memainkan peran penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Mereka dibentuk di berbagai daerah di seluruh Indonesia dengan nama-nama yang menarik. Seperti Barisan Jenggot di Kalimantan. Dari namanya, badan perjuangan ini terdiri dari para ulama dan pengikutnya. Barisan Jenggot (Barisan Ulama), menurut Sulaiman Al-Kumayi dalam Islam Bubuhan Kumai, bermarkas di Masjid Besar al-Baidha, Kumai, selama perjuangan mengusir penjajah Belanda. Pada 14 Januari 1946, tentara Belanda (NICA atau Pemerintahan Sipil Hindia Belanda) masuk Kalimantan. Mereka berjumlah kurang lebih 250 orang dengan senjata lengkap menumpang lima kapal. Mereka menyerang daerah Kota Waringin. “Seluruh kekuatan yang ada bangkit membalas dan menyerang tentara NICA. TKR (Tentara Keamanan Rakyat), Angkatan Muda, Barisan Jenggot dan seluruh rakyat Kumai dan Pangkalan Bun bangkit melawan, melibatkan diri dalam kancah pertempuran yang sengit,” tulis JU Lontaan dalam Menjelajah Kalimantan . Pertempuran mengakibatkan 21 pejuang gugur dan 50 tentara Belanda yang tewas diangkut ke kapal. Dalam Kronik Revolusi Indonesia karya Pramoedya Ananta Toer, dkk., disebutkan bahwa pada 21 Februari 1946 enam anggota Barisan Jenggot dari Kalimantan yang dikepalai oleh Haji Abdul Kadir tiba di Yogyakarta. “Mereka berumur antara 50-60 tahun dan pernah bertempur melawan NICA yang mendarat dengan lima buah kapal di Kalimantan. Dalam pertempuran itu musuh mengalami kekalahan besar,” tulis Pram. “Mereka datang ke Jawa untuk mempelajari siasat pertempuran dan kemudian akan kembali lagi ke Kalimantan untuk berjuang dengan tekad merdeka atau syahid.” Kemungkinan juga mereka ikut parade laskar dari Kalimantan dalam pembentukan Dewan Kelaskaran Pusat dan Seberang di Yogyakarta pada 12 November 1946. Tidak hanya di Kalimantan, Barisan Jenggot juga didirikan di Semarang, Sumatera Barat, dan Aceh. Di Solo, Laskar Jenggot dan laskar-laskar perjuangan lainnya disatukan dalam Brigade XXIV di bawah Letkol Iskandar. Sedangkan di Malang, Barisan Jenggot adalah sebutan untuk Batalion E Tentara Nasional Indonesia. “Karena anggota-anggotanya sudah berjenggot dan berusia rata-rata setengah abad. Mereka bermarkas di Sumberpucung, Malang,” demikian tertulis dalam Kisah-kisah Kepahlawanan Perang Kemerdekaan 1945-1949 dan Perang Merebut Kembali Irian Barat I. Delapan orang anggota Barisan Jenggot gugur dalam pertempuran melawan Belanda. Di Taman Makam Pahlawan Malang terdapat empat makan nisan bernomor 408, 410, 412, dan 414. Setiap nisan dikubur dua jenazah, salah satunya Kasan Moestiar. Pada setiap nisan tertulis “TNI Barisan Jenggot”.
- Menjemput Tan Malaka Sang Pemimpin Adat
RASA haru memancar di mata Hengky Novaron Arsil Datuk Tan Malaka kala menyerahkan penampan berisi bendera merah putih dan kelengkapan penghulu di Ranah Minang kepada Direktur Eksekutif Tan Malaka Institute Khatibul Umam Wiranu, dalam prosesi adat penjemputan jasad Tan Malaka, di Pandam Gadang, Kecamatan Gunung Omeh, Kabupaten Limapuluh Kota, Sabtu, 14 Januari 2016.
- Operasi Onta Mencegah Masuknya Komunisme dari Timur Tengah
Rezim Orde Baru didirikan setelah menyingkirkan Sukarno dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dengan Supersemar (Surat Perintah 11 Maret), Jenderal Soeharto mengeluarkan kebijakan pertama yaitu membubarkan dan melarang PKI. Komunisme terlarang di negeri ini hingga saat ini. Rezim Orde Baru selalu mewaspadai komunisme baik di dalam maupun dari luar termasuk dari Timur Tengah. Di Irak, Suriah, Libya, Mesir, dan Yaman, komunisme pernah mendapat tempat dan memainkan peran politik penting pada 1960-an. Oleh karena itu, intelijen Indonesia menempatkan negara-negara tersebut bersama Uni Soviet, Korea Utara, dan Vietnam Utara, sebagai sumber potensial penyebaran komunisme. Mulai tahun 1969, Satuan Khusus Intelijen (Satsus Intel) di bawah Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) mengawasi kedutaan besar Irak, Suriah, Mesir, dan Yaman di Jakarta. Bahkan, pada Februari 1973, Satsus Intel menggelar operasi bersandi Onta. “Operasi Onta yaitu operasi pengintaian dan penyadapan selama sepuluh hari terhadap warga kedutaan Irak dan konsulat Yaman. Pada kwartal ketiga, dua operasi pengintaian kilat yakni Onta II dan Onta III dilanjutkan terhadap para diplomat yang sama,” tulis Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia. Masih pada September 1973, Satsus Intel menempatkan satu tim permanen di bandara internasional Kemayoran. Tim ini mengarsipkan foto berwarna paspor Arab lebih dari selusin negara dan mencocokkan nama-nama mereka dengan daftar nama yang dicurigai yang dikumpulkan berkat kerja sama dengan badan intelijen asing. “Di antara semua negara tersebut, hanya Yaman-lah yang menimbulkan kecurigaan intelijen Indonesia,” tulis Conboy. Hal ini karena Yaman terbagi dua: Yaman Utara dan Yaman Selatan. Dengan dukungan Uni Soviet, Yaman Selatan merdeka pada 1967 dan menjadi negara berhaluan Marxis-Leninis. Yaman baru bersatu setelah Uni Soviet runtuh. Menurut Conboy, Satsus Intel telah mencatat kegiatan-kegiatan mencurigakan diplomat Yaman. Mereka kerap melakukan pertemuan rutin dengan personel kedutaan Uni Soviet, Vietnam Utara, dan Korea Utara. Warga konsulat Yaman juga kerap menerima sejumlah kunjungan Indonesia keturunan Arab pada jam-jam kunjungan yang tidak lazim. Satsus Intel percaya pihak konsulat telah menjadi sponsor pembentukan Panitia Sembilan, sebuah dewan beranggotakan sembilan orang Indonesia keturunan Arab di Bogor yang bersimpati kepada pemerintah Yaman. Satsus Intel kemudian melakukan penyadapan terhadap konsulat Yaman selama satu dasawarsa dan menyalin surat-surat yang masuk dan keluar dari konsulat. Demikian juga dengan korespondensi terkait Panitia Sembilan yang isinya mendorong keterlibatan dengan masalah dalam negeri Yaman dan mendorong pembentukan partai politik Indonesia atas nama solidaritas Islam. “Belakangan, ternyata Panitia Sembilan bentukan Yaman ini tidak lebih dari omong kosong,” tulis Conboy. Ancaman komunisme dari Timur Tengah hanya ketakutan yang berlebihan. Justru, kata Conboy, “yang jauh lebih serius adalah ancaman ekspor dari Timur Tengah yang lain: terorisme internasional.”
- Abu Bakar, Pianis Hitler dari Indonesia
Hitler sering menggelar konser pribadi di rumah peristirahatannya di Obersalzberg. Dia memiliki pianis, Ernst Hanfstaengl, anak dari Franz Hanfstaengl, pengusaha penerbitan di Jerman dan Amerika Serikat, yang sering membantu keuangan Hitler termasuk menerbitkan bukunya, Mein Kampf . Bahkan, Hitler dikabarkan menikahi anak perempuan Franz, Erna Hanfstaengl. Namun, Hitler membantah dan mengatakan “aku hanya kawin dengan seluruh rakyat Jerman.” Ernst pernah studi di Universitas Harvard dan berteman dengan Franklin D. Roosevelt. Mereka anggota New York Harvard Club. Ernst lulus kuliah tahun 1909 dan melanjutkan usaha ayahnya di Amerika Serikat. Dia menikah dengan Helene Niemeyer, seorang Amerika berdarah Jerman. Pada 1919, Ernst kembali ke Jerman dan menjadi doktor ilmu filsafat dari Universitas Muenchen. Hitler menunjuk Ernst sebagai kepala Biro Pers Luar Negeri di Amerika karena relasinya yang bagus. Namun, hubungan Ernst dengan Hitler kemudian retak. Dia berbeda pendapat dengan Menteri Propaganda Goebbels yang menceritakan hal-hal buruk tentang Ernst kepada Hitler. Puncak rusaknya hubungan mereka karena Unity Mitford, perempuan cantik teman dekat Hitler dan Goebbels. Setelah bercerai dengan Helene, Ernst mendekati Unity yang membuat Hitler tidak senang. Merasa nyawanya terancam, Ernst lari ke Swiss kemudian ke Inggris. Ketika Perang Dunia II meletus, dia ditahan di Kanada. Pada 1942, dia dikirim ke Amerika atas permintaan pribadi Roosevelt. Dan Roosevelt mengangkatnya sebagai penasihat politik. Siapa yang menggantikan Ernst sebagai pianis Hitler? Dalam buku Jejak Hitler di Indonesia (2016), Horst H. Geerken mengungkap bahwa pianis pengganti Ernst adalah Abu Bakar dari Hindia Belanda (Indonesia). Sebelumnya, Geerken menulis pengalaman tinggal dan kerja di Indonesia selama 18 tahun dalam buku A Magic Gecko (baca resensinya di sini: Tokek...Tokek...Tokek... ) Geerken mengetahuinya setelah mendapatkan informasi dari Iwan Ong Santosa, wartawan Kompas yang menekuni sejarah. Iwan dan ibunya menceritakan bahwa pada 1990-an mereka ingin membeli rumah di Bogor lalu ditawari sebuah rumah di Jalan Raya Bogor milik Abu Bakar yang berusia sekitar 80 tahun. Abu Bakar mengajar les piano dan biola. “Tembok rumahnya tertutup oleh foto-foto dari guntingan koran berbahasa Jerman dan Indonesia yang memperlihatkan Abu Bakar sedang berpose bersama Hitler; dan Abu Bakar sedang memainkan piano dengan Hitler dan Eva Braun di dekatnya,” tulis Geerken. Kendati gagal membeli rumah itu karena Abu Bakar memutuskan tidak mau menjualnya, Iwan mendapatkan kisah menarik sang pemilik rumah. Abu Bakar bercerita kepada Iwan dan ibunya bahwa dia pernah tinggal di Jerman tahun 1937 dan selama perang paling lama di paviliun tambahan di kediaman Hitler di Obersalzberg. Dia secara teratur pergi menghibur Hitler dan istrinya, Eva Braun, ketika mereka bersantai dengan mendengarkan musik di petang hari. Bagaimana Abu Bakar bisa pergi ke Jerman? Menurut Geerken barangkali tidak akan pernah diperoleh jawaban yang pasti. “Dalam pikiran saya, kuncinya ada di Walther Hewel,” kata Geerken. Sampai tahun 1936, Hewel tinggal di perkebunan Neglasari (Neglasari Estate Plantation), dekat Garut, Jawa Barat. Hewel juga penggemar berat musik klasik sebagaimana terlihat dalam catatan di buku hariannya. Dia mengenal Abu Bakar karena sering konser eksklusif di hadapan bos-bos perkebunan. Hewel kemungkinan mendengar kaburnya Ernst dan mengatur agar Abu Bakar bisa berangkat ke Jerman. Abu Bakar kembali ke Indonesia setelah tahun 1950. Dia hidup membujang dan kesepian di usia tua. Dia menjual rumahnya pada 1994. Jejaknya lenyap seperti bekas rumahnya yang telah menjadi kebun penuh pepohonan. Abu Bakar tidak mendapat kekayaan dari hasil bermusik bagi elite Nazi Jerman. “Namun, masa-masa berada dekat Hitler dan kalangan elitenya, membuat dia banyak dihormati orang di Bogor dan kisah-kisahnya tentang Hitler dan Obersalzberg selalu diterima baik oleh para tetanganya,” kata Geerken.
- Rupiah Lumpuh, Sukarno Jatuh
DI depan Istana Merdeka, 17 Agustus 1965, Presiden Sukarno memperkenalkan konsep baru untuk sistem perekonomian Indonesia. “Berdikari dalam ekonomi! Apa yang lebih kokoh daripada ini, saudara-saudara,” demikian ujarnya. Di tengah situasi politik yang memanas sehubungan konfrontasi Ganyang Malaysia, Sukarno tak luput menyoroti lesunya kondisi perekonomian. Dengan tegas, Sukarno menolak modal asing dan ekonomi berbasis kapital karena hanya akan memperkaya tuan tanah, lintah darat, dan tukang ijon, alih-alih memakmurkan rakyat banyak. Oleh karenanya, dia mendambakan perekonomian Indonesia yang mandiri. Upaya perhitungan juga dialamatkan kepada Amerika Serikat (AS) yang memberikan bantuan ekonomi kepada federasi Malaysia. “Aku sudah sangat sabar, sudah kutunjukkan kesabaran seorang bapak, tetapi kesabaranku ada batasnya, apalagi kesabaran rakyat! Hanya dengan mengatasi kemacetan inilah kita bisa menterapkan asas Berdikari dalam ekonomi,” kata Sukarno dalam pidato berjudul “Capailah Bintang-bintang di Langit.” “Pada awal tahun ini,” lanjut Sukarno, “rakyat Indonesia –yang membela hak-haknya dari serangan-serangan Amerika Serikat yang memberikan active aid kepada neokolonialisme Malaysia– mengambil alih modal Amerika Serikat. Ini merupakan langkah penting bagi RI, yang dengan asas berdikari sedang menegakkan perekonomian nasionalnya sendiri.” Sukarno membuktikan ucapannya. Seminggu kemudian, 23 Agustus 1965, dia menandatangani UU No. 16 tahun 1965 tentang Pencabutan UU No. 78 tahun 1958 tentang Penanaman Modal Asing. Sebelumnya pada Maret 1965, pemerintah telah mengumumkan pengambilalihan National Cash Register Company, salah satu investor tertua Amerika di Indonesia. Sejurus kemudian, dekrit yang memerintahkan pengambilalihan manajemen semua perusahaan asing di Indonesia dikeluarkan. Untuk menyokong revolusi dan ekonomi terpimpin, bank-bank terintegrasi ke dalam satu komando bank tunggal bernama Bank Berdjoang-Bank Tunggal. “Penanaman/operasi modal asing menurut sifatnya tidak lain daripada menghisap kekayaan dari negara Republik Indonesia dan menjalankan penghisapan manusia atas manusia, dan karena itu membawa bencana bagi Rakyat Indonesia,” demikian penjelasan UU Nomor 16 mengutip Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 78 . Pemerintah AS merespons. Diplomat kawakan, Ellsworth Bunker –yang pernah memediasi sengketa Irian Barat– diutus menemui Sukarno. Bunker mengemban misi ganda: meredakan ketegangan antara Indonesia dengan Malaysia sekaligus menjaga kepentingan AS di Indonesia. Hasil laporan Bunker ke Gedung Putih menyatakan bahwa hubungan AS-Indonesia kemungkinan besar tidak membaik dalam waktu dekat. Berdasarkan penelusuran arsip NSF (National Security Files), kepada Presiden Lyndon Johnson, Bunker berpendapat, AS seharusnya bermain jangka panjang dan mempertahankan kontak dengan elemen-elemen yang memiliki kekuatan, seperti militer. “Bunker berpihak pada posisi CIA (Dinas Intelijen AS) yang lebih menghendaki kudeta militer di Indonesia sebagai cara terbaik mewujudkan kepentingan AS,” tulis sejarawan Univeritas Maryland, Bradley Simpsons dalam Economist with Guns. Pada 1 Oktober 1965, suhu politik dalam negeri mendidih. Peristiwa Gerakan 30 September 1965 mengakibatkan kondisi perekonomian Indonesia merosot drastis. Dalam bulan-bulan berikutnya, harga kebutuhan pokok meningkat. Nilai tukar rupiah merosot. Menanggulangi keadaan tersebut, pemerintah melalui Penpres No. 27, 13 Desember 1965, menerbitkan kebijakan moneter baru. Mata uang Rp1000 lama menjadi Rp1 mata uang baru. Dalam Perjuangan Mendirikan Bank Sentral Republik Indonesia yang ditulis tim riset Bank Indonesia, pada praktiknya, tujuan dari kebijakan ini tak tercapai. Penggantian mata uang 1000 lama menjadi 1 mata uang baru, justru mendorong meningkatnya inflasi sampai mencapai 635 persen yang diikuti oleh semakin melambungnya harga-harga kebutuhan pokok. Keadaan carut ekonomi kemudian mendorong gelombang demonstrasi masyarakat menentang kepemimpinan Sukarno. “Uang Rp1000 nilainya jatuh jadi seperak. Dalam hitungan lima minggu, Sukarno dijatuhkan,” ujar pengamat politik ekonomi, Ichsanuddin Noorsy dalam “Ekspose Inventaris Arsip Bank Indonesia (1956-1957) 1960-1964, di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), 31 November 2016. Ketika pemerintahan berganti, menurut Ichsanuddin, inflasi berangsur-angsur dapat dikendalikan. Pemerintahan Soeharto dengan lobi-lobi tim ahli ekonominya yang dijuluki Mafia Barkeley, lantas membuka diri terhadap investasi modal asing di Indonesia. Ekonomi Indonesia cenderung berkiblat ke Barat yang berbasis kapitalis. Pada paruh kedua tahun 1967, 250 pebisnis AS, Jepang, Australia, dan Eropa Barat bertemu dengan para pebisnis Indonesia dan sejumlah pejabat Indonesia di Jakarta. Agenda rezim Soeharto menarik modal asing dirancang dalam pertemuan itu. Untuk pertama kalinya, komunitas bisnis Amerika dan komunitas bisnis Indonesia bertemu dengan para petinggi pemerintah. Setahun berselang, UU penanaman modal asing di Indonesia diresmikan. Dengan gelontoran modal luar negeri, stabilitas ekonomi dan pembangunan berjalan beriringan dengan pemerintahan otoriter Orde Baru. Geliat rezim “ekonom bersenjata” ini terjaga selama tiga dekade. “Seperti di negara-negara lain, kepentingan ekonomi dan strategis Washington melampaui segala retorika tentang praktik demokratis,” tulis Simpsons. “Karena CIA menolak mendeklasifikasi dokumen-dokumen operasionalnya untuk Indonesia, kita hanya bisa berspekulasi tentang luasnya operasi rahasia pada tahun 1964 dan 1965.”*
- Cara Keluarga Kerajaan Belanda Perlakukan Karya Raden Saleh
DALAM kunjungan terakhirnya ke Indonesia November lalu, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte menyerahkan sebilah keris kepada Presiden Joko Widodo. Ini adalah salah satu dari 1500 barang warisan budaya Indonesia yang dikembalikan oleh Belanda. Walau demikian ada satu karya seni penting yang tidak akan dikembalikan, karena karya seni itu sekarang sudah menjadi milik Singapura.





















