top of page

Hasil pencarian

9594 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Merekam Sejarah Penerbangan

    KENDATI lebih dikenal sebagai negara maritim, kedirgantaraan Indonesia mengurai kisah panjang. Tak banyak diketahui, industri penerbangan negeri ini telah dirintis sejak 1946 oleh Tentara Republik Indonesia Angkatan Udara (TRI AU). Dengan nama Biro Rencana dan Konstruksi di bawah pimpinan Opsir Udara III Wiweko Supono, industri penerbangan Indonesia bermula. Prestasi pertama biro tersebut adalah inovasi pesawat layang jenis Glider Zogling. Selanjutnya, pesawat ini dikenal dengan NWG-1, diambil dari nama pembuatnya: Opsir Muda Udara II Nurtanio yang disupervisi oleh Wiweko. "Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia yang membangun kedirgantaraannya sedari awal, sejak zaman kemerdekaan," ujar Hisar Manongam Pasaribu, pakar teknik dan penerbangan ITB pada gelaran "Ekspose Daftar Arsip PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (PT IPTN) 1950-1988" yang diselenggarakan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di hotel Amaroosa, Bandung, 19-20 Oktober 2016. Pada dekade 1950, kegiatan kedirgantaraan Indonesia terwadahi dalam Seksi Percobaan yang dilanjutkan dengan Depot Penyelidikan, Percobaan dan Pembuatan Pesawat Terbang. Dikepalai Nurtanio, seksi ini dikenal karena eksperimen pesawat dengan nama unik khas Indonesia. Beberapa di antaranya: Si Kumbang (berkapasitas satu orang), Si Belalang 85, Belalang 89, dan Si Kunang 25. Selain jenis pesawat terbang, dua jenis helikopter juga diproduksi: Si Manyang dan Kolentang. Keseriusan pemerintahan Sukarno dalam kedirgantaraan dibuktikan dengan pembentukan Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (LAPIP) tahun 1960. LAPIP bekerja sama dengan negara-negara Eropa Timur seperti Cekoslovakia dan Polandia untuk memajukan teknologi penerbangannya. LAPIP berhasil memproduksi pesawat ringan serbaguna: Gelatik sebanyak 44 unit; delapan unit pesawat latih AU jenis Belalang 90; tiga unit pesawat olahraga jenis Kunang 25. Gelatik paling populer karena multifungsi sebagai pesawat pertanian pemberantas hama, transportasi udara untuk daerah terpencil, hingga pesawat ambulans. Pada 1966, LAPIP diubah menjadi Lembaga Industri Pesawat Terbang Nurtanio (LIPNUR) sebagai penghargaan atas kepeloporan Nurtanio dalam industri penerbangan. Nahas, dia menjadi korban kecelakaan tatkala uji terbang pesawat Super Aero-45 buatan Yugoslavia pada 21 Maret 1966. Di era Orde Baru, industri penerbangan Indonesia mulai dipersiapkan menuju komersialisasi. Pada 1976 LAPIP berubah menjadi PT Industri Pesawat Terbang (IPT) Nurtanio. Helikopter menjadi produk unggulan IPT Nurtanio seperti BO-105, Puma, dan Super Puma. Beberapa pesawat penumpang sipil yang diproduksi antara lain C-212 Aviocar dan CN-235. Pada 1985, IPT Nurtanio disempurnakan menjadi PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). BJ Habibie, yang ditunjuk sebagai direktur utama IPTN, menjadi tokoh penting dibalik menggeliatnya industri penerbangan Indonesia. Menurut Hisar, di masa inilah sekira medio 1990-an, industri penerbangan Indonesia mencapai tonggak kejayaannya. IPTN berhasil memproduksi pesawat N-250 rancangan BJ Habibie. Pesawat itu menjadi kebangaan Indonesia bahkan diminati negara lain seperti Thailand. "Pesawat N-250 adalah pesawat pertama dengan teknologi turboprop untuk penerbangan sipil. Saat itu, Indonesia juga sudah mulai memasuki program pesawat jet," ujar Hisar. Namun, masa gemilang itu, lanjut Hisar, hanya berlangsung hingga tahun 1997. Krisis moneter yang melanda memutus pembiayaan untuk pengembangan IPTN. Dampaknya, industri penerbangan Indonesia terpuruk dan baru bangkit belakangan ini dengan nama PT Dirgantara Indonesia (DI). Menurut Eko Daryono, direktur SDM PT DI, arsip-arsip IPTN sangat kaya akan data-data yang merekam sejarah industri penerbangan tanah air. "Satu pesawat yang berhasil diproduksi itu bisa menghasilkan dokumen sebanyak dua lemari arsip," katanya mencontohkan. "Dokumen pesawat harus disimpan dan dijaga selama pesawatnya masih ada." Pada 23 Agustus 1997, IPTN menyerahkan arsip tekstual periode 1950-1988 kepada ANRI. Arsip-arsip IPTN sebanyak 50 boks berukuran 20 cm ini dapat diakses publik pada akhir tahun ini bersamaan dengan arsip perusahaan negara lainnya: Perusahaan Film Negara dan Bank Indonesia.

  • Sulitnya Mundur dari Dinas Militer

    MAYOR Inf. Agus Harimurti Yudhoyono, putra mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta dari Partai Demokrat. Untuk itu dia mengajukan pengunduran diri dari dinas ketentaraan. Pengajuannya diproses dengan cepat sehingga menjadi perbincangan di dunia maya. Pasalnya, proses itu biasanya memakan waktu lama, dinilai amat cepat. Setelah mendapat persetujuan dari matranya, seorang prajurit masih harus mendapatkan persetujuan dari Mabes TNI. Meski berbeda era dan aturan, Didi Kartasasmita, panglima Komandemen Jawa Barat, pernah mengalami sulitnya mundur dari dinas ketentaraan. Pengunduran Didi berawal dari ketidaksetujuannya atas langkah Presiden Sukarno yang memecat Letjen TNI Oerip Soemohardjo sebagai kepala staf oemoem TKR dan memberinya kedudukan sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung. Didi, yang sepikiran dengan Oerip, menganggap itu merupakan bentuk pembuangan. Didi juga kecewa lantaran dilangkahi perwira-perwira eks KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) lulusan Bandung seperti TB Simatupang yang jauh lebih junior. Menurutnya, sesuai etika di lingkungan perwira KNIL, pelangkahan sama saja menganggap orang yang dilangkahi tak becus. Suasana itu membuat Didi tak nyaman. Didi memutuskan menulis surat pengunduran diri kepada Presiden Sukarno pada 20 April 1947. Sambil menunggu balasan, dia tetap aktif menjalankan tugas. Tapi berbulan-bulan lamanya surat balasan yang dinanti tak kunjung tiba. “Saya akhirnya menulis surat pengunduran diri dari dinas ketentaraan untuk kedua kalinya, tertanggal 9 Februari 1948,” ujar Didi dalam biografinya, Pengabdian Bagi Kemerdekaan karya Tatang Sumarsono. Surat yang ditujukan kepada presiden itu juga ditembuskan kepada menteri pertahanan, panglima besar, dan kepala staf angkatan perang. Pada 14 Februari 1948, surat dari pemerintah akhirnya datang. Didi senang tapi hanya sebentar. Surat itu ternyata pengangkatan Didi sebagai anggota Mahkamah Tentara Agung. Badan yang baru dibentuk itu bertugas mengadili para pelaku Peristiwa 3 Juli, yaitu penculikan Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Sambil terus menanti jawaban, Didi tetap menjalankan tugasnya. Wakil KSAP TB Simatupang sempat membujuknya agar membatalkan niatnya untuk mundur tapi Didi tetap pada pendiriannya. Pada 15 Maret 1948, Didi akhirnya menerima surat balasan No. 34/A.Mil./48 yang isinya Presiden Sukarno selaku panglima tertinggi tentara menolak pengunduran dirinya. Pertimbangannya, Didi masih dibutuhkan negara. Didi tetap tak tenang. Pada 8 Mei 1948, dia mengirim surat pengunduran diri untuk ketiga kali. Tak lama kemudian surat itu berbalas. Lagi-lagi, isinya bukan persetujuan. KSAP Suryadarma, yang mengirim surat itu, justru memberi penugasan baru kepada Didi sebagai mahaguru di Pusat Pendidikan Ketentaraan di Yogyakarta. Tugas tersebut harus sudah berjalan pada 15 Mei 1948. Didi buru-buru membalasi surat itu untuk menolak. “ Pertama , saya berpangkat jenderal mayor, sedangkan direktur Pusat Pendidikan Ketentaraan hanya berpangkat kolonel. Kedua , saya tidak sanggup menjadi guru,” ujar Didi. Didi kemudian melayangkan surat pengunduran diri keempat pada 1 Juni 1948. Lantaran tak kunjung mendapat balasan, dia mengirim surat susulan pada 24 Juni 1948. Kali ini Didi agak mengancam: “apabila sampai tanggal 1 Juli 1948 tidak juga ada balasan, maka saya akan menganggap diri sudah bukan tentara lagi.” Sampai tenggat waktu yang ditentukan lewat, Didi tak juga mendapat tanggapan. Dia pun menyatakan diri sudah bukan tentara lagi. “Secara militer tindakan saya itu tidak dapat dibenarkan. Ya, seorang anggota militer tidak dibenarkan memberikan ultimatum kepada atasannya, lalu menganggap dirinya telah keluar dari dinas ketentaraan. Akan tetapi, juga secara militer tidak dapat diterima jika pemerintah tidak juga membalas surat-surat saya. Saya mesti menunggu berita lama. Hal itu sudah di luar batas disiplin.” Akhirnya, pada 31 Juli 1948, surat dari presiden tiba. Isinya, pemerintah secara resmi memberhentikannya dengan hormat dari dinas ketentaraan, dengan pangkat kolonel, atas permintaannya sendiri. “Entah apa yang menjadi dasar pertimbangan pemerintah menurunkan pangkat saya. Namun, saya tidak begitu memedulikannya. Itu kan hanya soal pangkat. Saya ikut terjun ke dalam revolusi bukan untuk mencari pangkat atau kekayaan, tapi semata-mata panggilan nurani untuk membela kemerdekaan RI,” kata Didi.

  • Amuk Karena Kentut

    H.J. Friedericy, seorang kontrolir Belanda yang bertugas di Watampone, pusat kota kerajaan Bone, Sulawesi Selatan,  tercengang ketika berkunjung ke sebuah rumah sakit pada 22 Juli 1922. Dia melihat seorang pria dengan balutan perban hampir di sekujur tubuhnya. Di ruang inap kelas bangsal itu, terdapat 24 tempat tidur. Dan terlihat beberapa pasien. Friedericy mengulik dan bertanya tentang kejadian yang menimpa sang pasien. Jawabannya, karena amukan seorang pria yang kentut di tengah keramaian dan tak kuasa menahan malu. “Bisa bayangkan bagaimana muka Friedericy saat itu,” kata Amrullah Amir, sejarawan Universitas Hasanuddin. Amrullah Amir dalam tesisnya "Penguasa Kolonial, Bangsawan dan Orang-orang Makassar: Perubahaan Sosial dan Budaya politik di Gowa 1906-1942", mengutip kejadian itu melalui catatan harian Friedericy, di mana amuk karena kentut ini bermula dalam sebuah pesta pernikahan di kampung Ujung Lamuru.  Dijabarkannya, saat pesta pernikahan telah usai dan orang-orang bersiap  istirahat dan tidur pada malam hari, tiba-tiba seorang tamu kentut dengan suara keras. Orang-orang yang hadir dan mendengar suara buang angin itu tertawa. Sontak saja, tamu yang membuang angin itu malu.  Akhirnya dalam keadaan gelap, sang tamu yang kentut mengeluarkan badik dan melakukan amuk ( jallo ). Tentu saja orang itu melakukannya dengan cara membabi buta. Akhirnya delapan orang meninggal dunia dan beberapa lainnya mengalami luka. Asisten residen yang mendengar laporan itu dari kontrolir berkata, “yang mengamuk itu sebetulnya tidak perlu malu, sebab tidak seorang pun tahu siapa yang kentut.”  Kejadian serupa  terjadi di Soppeng pada 1977. Dalam publikasi seminar "Masalah Siri’ di Sulawesi Selatan",  tim peneliti Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin mencatat, seorang laki-laki tanpa sengaja melepaskan kentut ( nakelo ettu ) di hadapan orang banyak. Merasa malu, pria itu seketika menghunus keris. Tapi, tak ada seorang pun yang mendengarkan suara kentut menengadahkan wajah. Semua orang terntunduk dan diam.  Sesampainya di rumah, sang pria berkata, “Sayang sekali, tidak ada seorang pun mengangkat wajahnya, kalau ada pasti kutikam.” Tapi anehnya, di rumah pun si pria belum bisa membendung rasa malunya. Untuk itu, dia meminta istrinya menumbuk lada sebanyak mungkin dan kemudian diulaskannya ke dubur.  Di Sulawesi Selatan, ekspresi amuk ( jallo untuk Bugis dan ajjallo untuk Makassar) memang dikenal. Amuk ini terkadang dibenarkan dalam hukum sosial dan adat karena menyangkut harga diri ( passe ) dan rasa malu ( siri ). Tak mengherankan jika seorang saudara dapat membunuh saudara perempuannya bila kawin lari ( silariang ) dengan laki-laki. Ekspresi amuk inilah yang hingga sekarang bahkan menjadi stereotipe bagi orang Sulawesi Selatan.  Antropolog Universitas Hasanuddin Ismail Ibrahim mencermatinya dalam laku kehidupan sehari-hari. Misalkan, aksi demonstrasi di Makassar selalu ditampilkan dalam keadaan rusuh dan kacau. Kalau tak rusuh bukan Makassar. “Jadi bisa saja, ada hal prinsip yang membuat kelompok dan perorangan melakukan amuk. Masyarakat luar tak memahaminya,” katanya. Amuk atau jallo dalam pandangan budaya (Bugis dan Makassar) bisa saja dibenarkan sekalipun bertentangan dengan hukum positif (negara). “Seorang yang membawa lari istri orang lain bisa saja melakukan amuk hingga membunuh, dan dalam kelompok masyarakat tertentu itu dibenarkan karena soal harga diri,” kata Ismail Ibrahim. Aturan dan tata cara dalam budaya masyarakat Sulawesi Selatan inilah yang tak jarang pula membuat pemerintah Hindia Belanda kebingungan. Ekspresi amuk masyarakat Sulawesi Selatan akan berakibat fatal bila dihubungkan dengan perempuan, di mana yang menjadi tolak ukuran harga diri dan dapat saja taruhannya adalah nyawa. Koran Pemberita Makassar pada 4 Juni 1936  menuliskan sebuah kisah memilukan. Seorang laki-laki membunuh saudara perempuannya, berstatus janda beranak satu, yang nekat kawin lari ( silariang ) dengan seorang pria. Kawin lari ini tanpa izin dari pihak keluarga. Setelah lama mencari, keberadaan sang perempuan ditemukan pada suatu siang. Tanpa menunggu waktu lama saudara laki-lakinya langsung memukulkan sebuah tongkat kayu pada perempuan tersebut, hingga tewas.  Dalam sistem hukum Belanda yang mengacu pada Wetboek van Stafrecht 1918 , budaya siri’ adalah persoalan rumit dalam penegakan hukum. Gubernur Hindia Belanda di Celebes F.C. Vortsman dalam suratnya 5 Juni 1923 mengeluhkan peristiwa itu. “Membawa lari wanita di bawah usia 21 tahun tanpa tipu daya atau kekerasan, dengan berdasar pada kepentingan wanita tersebut, kecuali didasarkan atas perzinahan, tidak dikenai hukuman. Wanita itu dianggap sudah dewasa,” tulisnya.

  • Sejarah Awal Label Halal

    Mulai 17 Oktober 2019, pemerintah mewajibkan semua produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia bersertifikat halal. Keputusan ini diatur dalam UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Selain itu, seperti diberitakan cnnindonesia.com , kewenangan sertifikasi produk halal yang sebelumnya dilakukan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM MUI), diambil alih oleh pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama. Bagaimana sejarah label halal? Dalam situs halalmui.org  disebutkan bahwa LPPOM MUI didirikan pada 6 Januari 1989 untuk melakukan pemeriksaan dan sertifikasi halal. Badan ini dibentuk setelah kasus lemak babi di Indonesia yang meresahkan masyarakat pada 1988. Pemerintah meminta MUI berperan dalam meredakan masalah tersebut. Maka, berdirilah LPPOM. Namun, penanganan label halal pada makanan sebenarnya telah dilakukan jauh sebelum LPPOM didirikan. Hal ini diungkapkan Sunarto Prawirosujanto, Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan Kementerian Kesehatan. Dia menyebutkan bahwa penanganan label halal sudah dimulai dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 280/Men.Kes/Per/XI/1976 tanggal 10 November 1976 tentang Ketentuan Peredaran dan Penandaan pada Makanan yang Mengandung Bahan Berasal dari Babi. “Konsep SK diajukan kepada Menteri Kesehatan yang waktu itu dijabat oleh almarhum Prof Dr. GA Siwabessy. Almarhum langsung menyetujuinya walaupun almarhum beragama Kristen,” kata Sunarto dalam biografinya, Rintisan Pembangunan Farmasi Indonesia. Peraturan ini, kata Sunarto, mengharuskan semua makanan dan minuman yang mengandung unsur babi ditempeli label bertuliskan “mengandung babi” dan diberi gambar seekor babi utuh berwarna merah di atas dasar putih. Bekerjasama dengan Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), label dibagikan secara cuma-cuma pada perusahaan yang memerlukan. Logo baru label halal yang ditetapkan olehBPJPHKementerian Agama pada 12 Maret 2022. (kemenag.go.id). Mengapa yang dikasih label malah makanan yang mengandung babi? “Pertimbangannya waktu itu ialah bahwa 99 persen makanan dan minuman yang beredar di Indonesia adalah halal,” kata Sunarto. “Jadi lebih praktis mengamankan yang 1 persen yang tidak halal itu dulu, termasuk makanan di restoran dan hotel.” Namun, lanjut Sunarto, perusahaan yang ingin mencantumkan label halal boleh saja asal bertanggung jawab. Kendati waktu itu belum ada undang-undang khusus yang mengatur hal itu, perusahaan yang menyebutkan produknya halal namun terbukti tidak halal dapat dituntut sebagai penipuan sesuai undang-undang yang ada. Selain itu, sambil menunggu peraturan labelisasi halal yang akan makan waktu, Sunarto mengusulkan agar perusahaan yang yakin produknya tidak mengandung bahan hewani atau alkohol diberi kelonggaran untuk mencantumkan label “tidak mengandung bahan hewani dan alkohol”. “Dengan demikian 90 persen persoalan sudah bisa diatasi,” kata Sunarto. Sepuluh tahun kemudian, pencantuman label halal baru secara resmi diatur dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Agama No. 427/Men.Kes/SKB/VIII/1985 dan No. 68 tahun 1985 tentang Pencantuman Tulisan “Halal” pada Label Makanan. Dalam peraturan yang diteken pada 12 Agustus 1985 ini, yang membuat label halal adalah produsen makanan dan minuman setelah melaporkan komposisi bahan dan proses pengolahan kepada Departemen Kesehatan. Pengawasan dilakukan oleh Tim Penilaian Pendaftaran Makanan Deirektorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan. Dalam tim ini terdapat unsur dari Departemen Agama. MUI sendiri baru terlibat dalam menangani labelisasi halal setelah dibentuknya LPPOM pada 1989 dan berakhir pada 2019 karena kewenangan sertifikasi produk halal diambil alih oleh pemerintah melalui BPJPH Kementerian Agama. Tulisan ini diperbarui pada 17 Oktober 2019 .

  • Bapak Tentara yang Dilupakan

    KENDATI 70 berlalu, Letnan Jenderal (Purn.) Sayidiman Suryohadiprojo tak melupakan sosok Jenderal (Anumerta) Oerip Soemohardjo. Baginya, Oerip patut menjadi teladan. “Di awal-awal menjadi kadet, saya pernah sekitar dua kali bertemu beliau. Kesan saya, Pak Oerip tipikal militer sejati: loyal dan penuh disiplin,” ujar Sayidiman Suryohadiprojo (98), salah satu lulusan terbaik Akademi Militer Yogyakarta tahun 1948. Sikap loyal dan disiplin Oerip bukan isapan jempol semata. Komodor Suryadi Suryadharma, kepala staf Angkatan Udara Republik Indonesia yang pertama, pernah kena sentil soal ini. Ceritanya, suatu hari Suryadharma “menolak” ditempatkan Oerip di Markas Besar Tentara Keamanan Rakyat (MBTKR) dengan alasan “lebih dibutuhkan” kawan-kawannya di Jawa Barat. Dengan marah, seperti dikisahkan Rochmah Soemohardjo Soebroto, istrinya, dalam Oerip Soemohardjo: Letnan Jenderal TNI (22 Pebruari 1893-17 November 1948) , Oerip berujar: “Kau ini berdinas untuk Jawa Barat atau untuk Republik?” Terlahir dalam nama Mochamad Sidik di Purworejo pada 22 Februari 1893, semula Oerip diarahkan orangtuanya untuk jadi pamongpraja; bupati seperti sang kakek. Namun ketertarikan pada dunia militer mendorongnya masuk Sekolah Militer Meester Cornelis di Batavia (kini, Jakarta). Kariernya di Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) terbilang moncer. Buktinya, dia berhasil meraih pangkat mayor; pangkat tertinggi di antara tentara bumiputra. Namun kariernya seakan tamat setelah Jepang masuk. Bersama puluhan ribu anggota KNIL lainnya dia jadi tawanan perang. Setelah dibebaskan, Oerip kembali menjadi warga sipil biasa. Gempita Proklamasi 17 Agustus 1945 menyeret Oerip kembali ke dunia militer. Ucapannya yang terkenal: ”Aneh, negara zonder (tanpa) tentara” menginspirasi para pendiri Republik Indonesia untuk membentuk organisasi tentara resmi, Tentara Keselamatan Rakyat (TKR). Pada Oktober 1945, Oriep didapuk sebagai Kepala Staf Oemoem (KSO) TKR. Pada 12 November 1945, Oerip membuat semacam konferensi yang dihadiri eks KNIL dan eks Peta (Pembela Tanah Air) di Yogyakarta. Dari konferensi inilah muncul nama Soedirman sebagai panglima besar TKR, sementara Oerip tetap menjabat KSO. Sebagai tentara profesional, Oerip kerap menanggung kecewa karena sikap politik pemerintah. Kekecewaan itu berujung pada niat Oerip mengundurkan diri. Namun, Presiden Sukarno keburu “memecatnya” sebagai KSO dan memindahkannya ke Dewan Pertimbangan Agung, suatu posisi yang disadari Oerip hanya untuk membuatnya “tak berdaya”. Sejak itu Si Tua melalui hari demi hari dengan memendam kecewa. Hingga, pada suatu senja 17 November 1948, Oerip Soemohardjo wafat. Perannya dalam pembentukan tentara nasional Indonesia seolah terlupakan.

  • Rekaman Sidang Letkol Untung di Mahmilub

    Letkol Untung bin Sjamsuri terduduk di kursi pesakitan. Dikawal sepasang polisi militer, dia menghadap hakim dengan wajah tegak. Terlihat hadir dalam persidangan pejabat tinggi negara seperti Adam Malik dan Jendral Basuki Rachmat. Pengadilan mendakwa Untung atas perbuatan makar: kudeta Gerakan 30 September 1965. Jelang pembacaan putusan, tak sekalipun dia mengaku bersalah. Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) menjatuhkan vonis hukuman mati. Kendati demikian, tak tampak raut getir pada diri komandan batalion Tjakrabirawa itu.  Suasana tersebut terekam dalam “Siaran Khusus” Pusat Produksi Film Negara (PPFN) tahun 1966 berjudul “Untung di Depan Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa)”. “Seri ‘Siaran Khusus’ merupakan produk dokumentasi PPFN bergenre newsreel (film berita),” ujar Azmi, direktur pengolahan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dalam “Ekspose Daftar Arsip Film PPFN: Seri Siaran Khusus 1959-1978” di Gedung ANRI, Jakarta Selatan (22/9).  “Siaran Khusus” berisi film pemberitaan mengenai aneka peristiwa bersejarah antara periode 1959-1978. Bermacam rekaman penting pada masa Presiden Sukarno sampai awal pemerintahan Presiden Soeharto termuat dalam “Siaran Khusus”. Beberapa di antaranya seperti: kunjungan tamu-tamu negara asing ke Indonesia; perjalanan Presiden Sukarno ke luar negeri; Asian Games; kampanye pembebebasan Irian Barat; Ganyang Malaysia; Mahmilub 1966; Pembangunan Lima Tahun (Pelita), ASEAN, hingga Timor-Timur.      Arsip-arsip film tersebut, pada 1981 diserahkan Direktur PPFN, G. Dwipayana kepada Kepala ANRI, Soemartini dalam bentuk release copy . Sebanyak 202 film telah diolah dan rencananya dapat diakses oleh publik pada akhir tahun ini. Rata-rata film tersebut berdurasi 7 sampai 10 menit.  Menurut Abduh Azis, direktur PPFN, film-film tersebut bukan sekadar dokumentasi semata melainkan dapat dinilai sebagai sebuah artefak kebudayaan. Sebab, dari sana tercermin potret dan semangat zaman suatu masyarakat dalam menghadapi perubahan-perubahan. “Arsip film punya makna yang lebih besar dari sekadar dokumentasi. Ia bagian strategis dalam merawat Indonesia: identitas, pengetahuan, dan gagasan,” ujar alumni sejarah Universitas Indonesia itu. Sementara itu, menurut sineas kawakan, Eros Djarot, arsip-arsip film ini dapat dijadikan alat pencerahan untuk pengenalan identitas bangsa. “Arsip ini berkaitan erat dengan pembentukan mindset. Oleh karena itu, kita sangat membutuhkannya,” ujar sutradara film Tjoet Nja’ Dien ini. Sebab, lanjut Eros, pada periode 1959-1978 ada begitu banyak tonggak-tonggak penting dalam perjalanan sejarah Indonesia modern, termasuk grey area (area abu-abu) masa peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto yang masih mengandung banyak tanya hingga hari ini.  “Arsip tidak boleh berpihak pada kekuasaan. Ia tentu harus berpihak pada realitas dan kebenaran bangsanya,” pungkas Eros.

  • Pekerjaan Paling Buruk di Dunia

    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengenai setoran dari pabrik farmasi kepada para dokter senilai Rp800 miliar. KPK pun menganalisis dan menelusuri indikasi korupsi dalam aliran dana mencurigakan tersebut. Praktik ini diduga sudah berlangsung lama.  Itulah yang dikhawatirkan oleh Prof. dr. Raden Mochtar, pendiri Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Ben Mboi, yang menerima pengajaran public health (kesehatan masyarakat) dari Dokter Mochtar, masih ingat dengan apa yang tertulis di atas papan tulis di depan kelas: “Pekerjaan dokter itu baik, berdagang itu baik, tetapi gabungan pekerjaan dokter dan berdagang adalah pekerjaan yang paling buruk di dunia.” “Melihat kondisi sekarang, di awal abad XXI ini, saya tidak yakin kata-kata Prof. Mochtar (alm.) itu masih tertulis di sana. Pasti banyak dokter menertawakan pesan slogan tersebut,” kata Ben Mboi dalam Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja .  Dalam Ensiklopedi Umum karya AG Pringgodigdo disebutkan bahwa Raden Mochtar lahir di Purwokerto, Jawa Tengah, pada 1900. Dia mengenyam pendidikan kedokteran di Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (Stovia) Batavia dan lulus pada 1924. Selama masa pendidikan, dia giat dalam gerakan pemuda. Dia mulai bekerja sebagai dokter asisten pada bagian chirurgi (bedah) rumah sakit pusat (Centrale Burgelijke Ziekenhuis) di Batavia, kemudian dipindahkan ke pelabuhan Tanjung Priok, Sumatra Barat, dan Demak. Pada 1939, Mochtar menjabat kepala bagian Medisch Hygienische Propaganda pada kantor pusat Dinas Kesehatan Rakyat (Dienst van Volksgezondheid, DVG) di Batavia. Ketika pendudukan Jepang, dia menjabat kepala bagian Pendidikan Kesehatan Rakyat. Dia sebelas kali menjadi anggota delegasi Republik Indonesia dalam konferensi internasional terkait kesehatan (1952-1959). Selain itu, dia menjadi pendiri dan pengurus besar Palang Merah Indonesia (PMI) serta anggota berbagai perhimpunan sosial/kesehatan internasional.  Mochtar banyak menulis tentang kesehatan dan pendidikan kesehatan rakyat. Dia diangkat sebagai guru besar luar biasa pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Jakarta. Dia menjadi dekan pertama Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Ben Mboi, yang menjadi dokter tentara dan gubernur Nusa Tenggara Timur ketiga (1978-1983), menyesalkan bahwa dalam 50 tahun norma-norma kedokteran berubah, terutama berkaitan dengan hubungan pasien dan dokter. “Betapa pelayanan medis berubah dari karya yang bertitik berat pada sifat karitatif bergeser menjadi karya industrial, betapa pelayanan medis menjadi komoditas dan rumah sakit menjadi bursa kesehatan. Siapa yang beruang lebih dia yang mendapat pelayanan terbaik,” kata Ben Mboi. Tepat ketika Ben Mboi di tingkat senior clerkship, pada 24 Januari 1961, pesawat Garuda jurusan Jakarta-Bandung jatuh di Gunung Burangrang. “Di dalamnya ada Prof. Mochtar dalam perjalanan ke Bandung. Dia seorang guru yang tepat sekali untuk memotivasi mahasiswa bekerja bagi masyarakat,” kenang Ben Mboi.

  • Nasib Sukarno Lebih Tragis dari Multatuli

    SEBAGAI sesama pembongkar kejahatan kolonial, Sukarno justru mengalami nasib yang lebih tragis dibanding Eduard Douwes Dekker alias Multatuli. Demikian disampaikan oleh sejarawan Asvi Warman Adam dalam simposium “Para Pembongkar Kejahatan Kolonial: Dari Multatuli Sampai Sukarno”, Sabtu, 17 September 2016 di Museum Nasional, Jakarta Pusat. Dalam ceramahnya, Asvi Warman Adam membandingkan tiga tokoh yang di akhir hayatnya mengalami perbedaan perlakuan, yakni Eduard Douwes Dekker alias Multatuli, Ernest Douwes Dekker alias Setiabudi dan Sukarno. “Multatuli meninggal di Jerman pada tahun 1887, jenasahnya dikremasi. Ernest Douwes Dekker wafat di Bandung pada tahun 1950 dan dimakamkan di Makam Pahlawan Cikutra serta jadi Pahlawan Nasional, sedangkan Sukarno meninggal pada tahun 1970 setelah ditahan dan tidak dirawat sebagaimana layaknya seorang tokoh bangsa lainnya,” kata sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia itu. Padahal Sukarno, sebagaimana dua tokoh tersebut memiliki jasa besar bagi bangsa Indonesia. Bentuk lain dari diabaikannya Sukarno menurut Asvi adalah saat proklamator kemerdekaan itu dimakamkan di Blitar, yang bukan keinginan keluarga Sukarno. “Inspektur pemakamannya pun hanya Jenderal Panggabean,” kata Asvi. Panggabean menjabat Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) periode 1969-1973. Dalam ceramahnya juga Asvi mengemukakan tentang orang yang sering keliru membedakan antara Eduard Douwes Dekker dengan Ernest Douwes Deker. “Ernest Douwes Dekker alias Setiabudi itu masih terhitung cucu Multatuli, anak dari kakak Multatuli,” kata Asvi. Sementara itu Daniel Dhakidae mengatakan novel Max Havelaar karya Multatuli, kendati ditulis dengan gaya yang buruk, pada kenyataanya bisa mengganggu jalannya sistem kolonialisme. Bahkan gangguan itu “seperti merasuk ke dalam tubuh, tulang orang-orang, seperti sinar rontgen,” kata penulis buku Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru itu. Multatuli terbukti telah membuat banyak orang saat itu berpikir ulang tentang bagaimana sistem kolonial menindas rakyat di Hindia Belanda. Menurut Daniel, Douwes Dekker yang lain, yakni Setiabudi juga memainkan peranan penting di dalam membentuk pondasi kebangsaan Indonesia. “Dia mendirikan Indische Partij, sebuah partai politik yang memperjuangkan Hindia Belanda yang tanpa diskriminasi apapun. Orang Indo masuk, orang Cina masuk, orang Mongol apapun itu masuk, selama dia tinggal di Hindia Belanda itu tak masalah. Inilah kesadaran yang tinggi tentang sebuah nasion,” kata Daniel. Pembicara lain, Ubaidilah Muchtar, guru SMP Ciseel, Sobang, Lebak mengatakan banyak orang salah paham terhadap kisah Multatuli. Atas dasar itulah dia mendirikan Taman Baca Multatuli untuk mengajak anak-anak mempelajari lagi pesan-pesan yang disampaikan di dalam roman Max Havelaar . Sebagai guru di daerah pelosok, Ubai berhasil mendorong minat baca anak-anak di desanya. Simposium yang diselenggarakan Majalah Historia bekerjasama dengan Perhimpunan Multatuli ini juga dihadiri oleh Gubernur Banten Rano Karno dan Bupati Lebak Iti Octavia. Pemda Lebak kini sedang membangun Museum Multatuli dengan bantuan dana dari pemerintah Provinsi Banten. “Demi pembelajaran sejarah bagi generasi muda, saya dukung pembangunan itu. Itu wujud dari keinginan saya agar masyarakat Banten, juga Indonesia belajar dari masa lalu bahwa kezaliman terhadap rakyat bisa saja dilakukan oleh siapapun tidak memandang unsur primordial atau rasnya,” pungkas Rano Karno dalam sambutannya.*

  • Derita Serdadu Belanda di Indonesia

    PEMERINTAH Belanda mengerahkan 220.000 serdadu ke bekas jajahannya yang telah merdeka pada 17 Agustus 1945: Indonesia. Lebih dari setengahnya pemuda berusia tak lebih dari 20 tahun. Mereka mengikuti wajib militer ke Indonesia membawa misi pemerintah Belanda: menyelamatkan negeri koloni dari tangan fasis Jepang dan kolaboratornya.    “Politik saat itu mengatakan harus perang. Namun hari ini, publik Belanda menyadari bahwa itu adalah keputusan yang salah,” ujar Gert Oostindie, sejarawan Universitas Leiden, Belanda, dalam diskusi bukunya, Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950, di Erasmus Huis, Jakarta Selatan (13/9) Gert Oostindie meneliti ribuan lembar dokumen subyektif yang ditulis langsung veteran perang Belanda saat bertugas di Indonesia. “Dokumen-dokumen ego” itu berupa buku harian, surat, kesaksian, dan memoir. Dari sumber sezaman tersebut terkuak dua hal yang kontradiktif: sejumlah kejahatan perang ( war crime ) yang dilakukan serdadu Belanda sekaligus beragam pahit getir yang dialami mereka.  Menurut Gert, kebanyakan dari tentara itu sama sekali tak mempunyai pengetahuan dan pengalaman tentang Indonesia. Mereka cuma mengira-mengira saja, barangkali apa yang mereka lakukan dapat membantu kehidupan di sana (Indonesia). Setibanya di Indonesia, realitas berbicara lain. Rasa frustrasi melanda serdadu Belanda setibanya di Indonesia maupun sesudahnya.  “Pertama-tama, mereka (serdadu Belanda) diperintahkan pergi perang yang sebenarnya tak mereka inginkan. Kedua, setelah pulang, tak ada orang yang mau mendengar kisah mereka. Ketiga, sebagian kalangan menganggap mereka sebagai bajingan, pelaku kejahatan perang. Jarang dari mereka yang mengaku diri sebagai pahlawan,” ujar Gert.   “Mereka yang tadinya tak pernah melakukan kekerasan, tetapi begitu melihat rekannya diserang, akhirnya timbul rasa dendam yang berujung menjadi kejahatan perang. Perang selalu bisa mengubah seseorang,” lanjut Gert.  Gert juga mengungkapkan, keputusan berisiko mengirimkan serdadu Belanda ke Indonesia sudah dikritisi oleh pers sosialis dan komunis di negeri Belanda. Namun euforia sebagai pemenang Perang Dunia kedua tak dapat membendung hasrat untuk menguasai kembali negeri jajahan. Menurut sejarawan Anhar Gonggong, para serdadu muda Belanda itu adalah korban dari “ilusi kolonialisme dan imperialisme pemerintah Belanda”. Pemerintah Belanda melakukan kebohongan terhadap pemuda-pemuda yang dimilisi ke Indonesia. Perang yang dipaksakan itu akhirnya tak dapat dimenangkan dan mendatangkan kekecewaan. “Perang tak memberikan apa-apa kecuali kehancuran bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya,” ujar Anhar Gonggong.  Sementara itu, menurut sejarawan Universitas Gadjah Mada, Abdul Wahid, kisah suram serdadu Belanda di Indonesia dapat membuka pintu dialog antara sejarawan Belanda dan Indonesia untuk merekonstruksi historiografi mengenai periode 1945-1950 secara lebih objektif.  “Masa lalu yang kelam seperti ini justru perlu diangkat dan harus dibicarakan agar tak menjadi duri dalam daging,” ujarnya.

  • Arsip Terjaga Menjaga Indonesia

    SEBUAH film dokumenter tentang masa awal berdirinya Republik Indonesia memperlihatkan suasana Stasiun Manggarai Jakarta dan sebuah rangkaian kereta api berlokomotif seri C-28 buatan Jerman. Itulah situs dan benda bersejarah yang menjadi saksi bisu hijrahnya pemerintahan Indonesia ke Yogyakarta pada awal 1946. “Kereta inilah yang dulu digunakan oleh rombongan Bung Karno dan Bung Hatta untuk hijrah ke Yogyakarta. Selain sumber arsip primer yang bisa bersaksi, ternyata benda ini pun juga penting,” ujar sejarawan Rusdhy Hoesein dalam diskusi “Dokumen Negara dan Ular Besi Penyelamat Republik” di Galeri Foto Jurnalistik Antara, Jakarta Pusat, 3 September 2016. Cerita soal kereta api bersejarah itu menjadi pemantik untuk menyoroti abainya pemerintah terhadap peninggalan sejarah di Indonesia. Rusdhy menunjukkan bahwa dulunya Stasiun Manggarai memiliki tiga peron yang konstruksinya berbahan kayu besi. Tetapi, kini hanya tersisa dua peron yang masih asli karena peron paling barat telah dibongkar dan diganti kostruksi besi. “Kalau peron (yang tersisa) ini dibongkar juga, habislah kenangan kita tentang Manggarai,” keluhnya. “Lokomotif bersejarah yang digunakan hijrah pun kini tidak terlacak ada di mana. Tetapi dengar-dengar Manggarai mau dibangun lagi menjadi tiga lantai.” Dari persoalan itu, Rusdhy beranjak pada tantangan kekinian dalam penulisan sejarah yang bias karena penggunaan sumber sejarah seperti arsip yang belum memadai. “Pada dasarnya peristiwa sejarah itu tetap. Tetapi berita kesejarahan disampaikan oleh orang per orang yang membawa subjektivitas tertentu,” terangnya. Oleh karena itu, dia menekankan kepada para penekun sejarah supaya berpegang kepada metodologi yang sahih dalam menulis dengan memanfaatkan sumber-sumber sejarah terutama arsip. Sementara itu, Djoko Utomo, mantan kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), mengatakan bahwa asumsi dasar yang selama ini berkembang dalam masyarakat soal arsip bahwa banyak orang terbatas menganggap arsip sebagai sumber dan bukti sejarah.  “Tetapi kalau hanya untuk sumber sejarah, lalu buat apa?” tanya kurator Museum Jenderal Soeharto itu. Sepanjang pengalamannya di ANRI, pengguna arsip memang didominasi oleh kalangan akademisi. Padahal arsip bisa lebih berguna dari itu. “Selain untuk penelitian, arsip harusnya bisa diakses oleh masyarakat luas dan berguna untuk kemaslahatan masyarakat,” terangnya. Djoko mengemukakan banyak contoh kegunaan arsip. Salah satunya untuk menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah Indonesia. Sayangnya, hal itu pernah diabaikan oleh pemangku kebijakan. “Saat Belanda pergi dari Indonesia, banyak persoalan terkait perbatasan bekas negara kolonial yang tidak diperhatikan. Lihat lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan ke Malaysia,” ujar Djoko.  Saat itu, dalam sidang Mahkamah Internasional, Malaysia memperkuat klaimnya atas kedua pulau di Selat Makassar itu berdasarkan dokumen-dokumen legal sejak masa Kesultanan Sulu, Inggris, dan Malaysia. Saat Inggris masih menguasai Malaysia, pemerintahan kolonialnya telah mengelola pulau itu sejak 1878. Sementara Indonesia, kata Djoko, lemah argumentasi hukumnya sehingga kedua pulau itu akhirnya masuk wilayah Malaysia. Berkaca dari masalah-masalah itu, Djoko mengusulkan suatu terminologi khas guna mencegah masalah seperti itu terulang kembali di masa depan. “Saat penyusunan undang-undang kearsipan saya memasukkan apa yang disebut sebagai arsip terjaga,” jelasnya. Menurut definisi dalam UU No. 43 tahun 2009 tentang Kearsipan, definisi arsip terjaga adalah arsip negara yang berkaitan dengan keberadaan dan kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dokumen yang dapat dikategorikan sebagai arsip terjaga meliputi dokumen kependudukan, kewilayah, kepulauan, perbatasan, perjanjian internasional, kontrak karya, dan masalah pemerintahan strategis.  Meskipun dalam soal kearsipan ini Indonesia telah memiliki landasan hukum yang jelas, namun realisasinya belum maksimal. “Sayang sekali tindak lanjutnya masih belum maksimal,” kata Djoko.

  • Mengungkap Struktur Dinding Benteng Rotterdam

    ISBAHUDDIN, peneliti muda jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin Makassar, membawa saya mengelilingi benteng Rotterdam di Makassar. Dia begitu piawai melihat perbedaan dasar batuan yang melengket  pada dinding benteng. “Ini batuan tufa (bahasa ilmiahnya disebut tuff ), ini andesit,” katanya. “Ini crystal tuff , yang ini victric tuff ,” lanjutnya.  Dia meraba dengan penuh ketekunan batuan dinding itu dan menjelaskannya dengan sederhana. “ Tufa , itu kalau ditumbuhi lumut, hanya menempel di permukaan. Porinya kecil, jadi akar lumut tak bisa merangsek kedalamnya,” katanya.  Kamis, 25 Agustus 2016, menjelang senja itu, beberapa pengunjung memperhatikan kami menelisik batuan dinding. Ada wajah yang penuh keheranan, ada pula pengunjung yang mendekat untuk sekadar mendengarkan Isbahuddin membuat penjelasan singkat, lalu kemudian berlalu. Dia kemudian mengangkat sebuah bongkahan batu di bagian selatan benteng. Lalu seperti mencongkelnya dengan ibu jari yang ditengkuk dengan kuat. “Ini tufa , dipegang terasa halus. Dan kalau pecah, seperti tanah,” katanya.  Mengapa penting mengetahui struktur dan bahan yang digunakan benteng? “Itu akan menjelaskan bagaimana benteng ini dibangun. Dan bagaimana kekuatannya. Mengapa dominan memilih batuan tufa , saya kira itu keuntungan besarnya. Tufa tidak mudah retak dan peluru meriam hanya akan membuat bekas lubang kecil, atau bisa saja membuat peluru melengket,” kata Isbahuddin.  Isbahuddin menelisik asal muasal bahan batuan benteng Rotterdam selama tiga tahun. Dia menelusurinya menggunakan catatan dan arsip sejarah. Salah satunya adalah kajian David Bullbeck, arkeolog dari Australia, yang menjelaskan jika beberapa batuan yang digunakan dalam struktur benteng Rotterdam berasal dari Gowa. Dan penggambaran dari catatan harian lontaraq bilang kerajaan Bone, tentang gambaran orang-orang Bone yang menyiapkan batu untuk benteng Rotterdam dari Maros.  Dari bekal pengetahuan awal itu, ditemukanlah dua lokasi dimana sampel dari struktur benteng Rotterdam dari sebuah ekskavasi di bagian dinding selatan yang sama, antara batuan yang berada di Kampung Kuri, Desa Nison Balia, Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros. Dan sampel lainnya serupa dengan batuan di wilayah Pammakulang Batua di Desa Bonto Ramba, Kecamatan Palangga, Kabupaten Gowa. Penelitian ini menggunakan analisis petrografi di laboratorium Geologi Bandung (ITB) untuk mengetahui kandungan mineral yang terkandung dalam batuan penyusun benteng Rotterdam. Analisis kedua adalah spektrometri menggunakan X-ray Fluorescence Spectrometer (XRF)di laboratorium X-ray Dissfraction Fakultan MIPA Universitas Hasanuddin untuk mengetahui kandungan senyawa dalam batuan. Ada empat buah sampel batuan yang dijadikan titik pengujian. “Hasilnya semua tufa ,” kata Isbahuddin. “Tapi lebih detilnya, tufa dari Gowa jenisnya adalah crystal tuff dan dari Maros adalah victric tuff .” Perbedaan antara crystal dan victric tuff , dapat dilihat secara kasat mata. Yang crystal , batuannya agak kasar bila diraba sementara victric lebih halus. Tapi jenis batuan tufa mengandung clay (tanah liat) yang lebih dominan. Meski demikian, Isbahuddin juga tak menampik, jika beberapa batuan penyusun dari benteng Rotterdam, terdapat juga batuan andesit dan gamping (karst). “Tapi itu hanya ada beberapa persen,” lanjutnya. Pemugaran Benteng Rotterdam dibangun pertama kali pada abad ke-15 oleh Raja Gowa X, I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung dengan gelarnya Karaeng Tunipallangga Ulaweng menggunakan gundukan tanah sebagai struktur awal. Pada pemerintahaan Raja Gowa XV, I Manggerangi Daeng Manrabia atau dikenal Sultan Alauddin, struktur benteng dilakukan pemugaran dengan menggunakan tanah liat dan beberapa balok batu. Pada 1667 Belanda mengalahkan Makassar dan menghasilkan perjanjian Bongaya. Salah satu pasal dalam perjanjian itu mengharuskan seluruh benteng pertahanan kerajaan Gowa-Tallo dihancurkan, kecuali benteng Rotterdam.  Sang penghancur adalah Cornelis Janszoon Speelman yang kelak menjadikan benteng Rotterdam sebagai pusat aktivitas pemerintahaan dan militer Belanda. Pada masa ini, perombakan terjadi dari mulai dinding yang seutuhnya menggunakan balok batu, penambahan enam menara pertahanan ( bastion ), dan pembangunan beberapa gedung dalam benteng, seperti gereja dan kediaman pejabat.  Dinding benteng Rotterdam, memiliki ketebalan sekitar 2 meter, dengan tinggi masing-masing dinding untuk menara 7 meter, dan dinding penghubung antara menara adalah 5 meter. Sementara itu, balok-balok batu yang menjadi penyusun struktur benteng ada yang terlihat vertikal ada pula yang horizontal, dengan besaran bervariasi.  Pemugaran berikutnya setelah kemerdekaan Indonesia yang dilakukan pemerintah Indonesia. Bagian dinding yang rusak ditambal menggunakan batuan andesit dari Kabupaten Jeneponto. “Kalau menurut saya, menggunakan andesit agak keliru. Karena kualitasnya tidak sama,” kata Isbahuddin.  Andesit memiliki pori lebih besar dan mudah termakan lumut. Andesit pun mudah patah meskipun sangat kokoh. “Asumsi saya, menggunakan tufa menjadi keuntungan dalam pertahanan benteng. Kalau menggunakan andesit, jika terkena meriam akan mudah pecah,” katanya. Ketika kami berjalan dan memperhatikan tembok dan struktur benteng Rotterdam, terdapat ribuan balok batu. Jika dominan bahan utamanya dari Gowa dan Maros, bagaimana para perancangnya membawa batuan tersebut ke Makassar? “Di Gowa, tempat dimana batuan itu berasal dekat dengan sungai. Di Maros, jarak dari bibir pantai hanya sekitar 100 meter. Saya kira menggunakan jalur air artinya menggunakan kapal,” katanya.  “Kemudian ada banyak pertanyaan. Bagaimana mereka membentuk balok-balok batu itu. Teknologi apa yang digunakan dalam membuat balok batu pada tahun 1600-an. Di sini, masih banyak teka-teki yang memerlukan penelitian lebih jauh,” kata Isbahuddin.

  • Kisah dari Kampung Karadenan Kaum

    DADANG Supadma, warga Kampung Karadenan Kaum Cibinong Bogor Jawa Barat menunjukkan bagan silsilah keturunan yang terpajang di Masjid Al-Atiqiyah (Masjid Kaum). Di sana ada nama Prabu Sri Baduga Maharaja Ratu Haji Siliwangi dan Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, yang kamudian bermoyangkan Nabi Muhammad Saw.  Itulah yang membuat masjid dan Kampung Karadenan Kaum menjadi istimewa. Saya dan Komunitas Ngopi (di) Jakarta (Ngojak) sengaja mendatanginya karena dibisiki kampung itu merupakan pusat perkembangan agama Islam tertua di Priangan Barat.  Dadang mengaku sebagai penyusun dan penelusur silsilah keluarga di Karadenan Kaum. Dia membutuhkan waktu dua tahun mencari buyut dan leluhur yang menurunkan warga kampung termasuk dirinya. Dia menyelesaikan pohon silsilah itu pada 2015. “Tahunya oleh orang tua dikasih nama Raden. Ketika ada pertanyaan Raden dari mana kami? Jawabannya dari Pangeran Sageri. Kan harus ada jalan ceritanya, nah itu yang kami telusuri,” tutur pria 48 tahun itu.  Pangeran Sageri berasal dari Kerajaan Muara Beres, kerajaan vasal dari Pajajaran. Awalnya, Kerajaan Muara Beres dipimpin Pangeran Sangiang atau Prabu Wisesa. Prabu Wisesa memiliki putra bernama Raden Nasib. Anaknya bernama Raden Syafe’i yang mendirikan masjid di Karadenan Kaum pada 1667. Dia penyebar agama Islam dari wilayah Karadenan sampai Depok. “Makamnya di belakang ini,” katanya sambil menunjuk arah barat masjid. Sementara, leluhur Dadang, Pangeran Sageri menikah dengan putri dari Prabu Wisesa. “Saya keturunan ke-41,” sebut Dadang sambil menunjuk namanya di papan silsilah.  Kisah penelusuran silsilah diawali ketika Dadang menemukan dokumen yang uzur dan robek. Dokumen ini dia jadikan patokan untuk membuat pohon silsilah yang lebih lengkap lagi. “Waktu pengurus masjid sebelumnya meninggal, lemari arsip di masjid dibongkar. Ternyata ada arsip yang mungkin kelupaan, dari situ baru bisa kami bikin silsilah ini,” tuturnya.  Dadang mengaku bahwa bukti-bukti kesejarahan mengenai Keradenan Kaum masih tercecer. Dia sulit mencari arsip atau bukti lain. Sejauh ini hanya mengandalkan ingatan dan cerita turun-temurun. “Saya sempat dengar ada di arsip di Pemda Bogor, tapi saya belum sempat lihat,” ujarnya. Dadang menyayangkan masjid yang seharusnya menjadi bukti otentik sejarah Kampung Karadenan Kaum justru habis-habisan dipugar. Pada 1962 masjid itu dirombak dengan alasan kayunya aus. “100 persen hilang (keasliannya, red ). Sampai sempat ditegur Dinas Kebudayaan,” ungkap Dadang. Masjid itu awalnya sebesar surau. Kini diperlebar pada bagian baratnya, hingga memotong lahan pemakaman kuno. Ciri khas masjid kuno berupa empat pilar di bagian tengah bangunan hanya tersisa dua pilar. Bahkan bukti angka tahun pendirian masjid dengan aksara Arab pun dihilangkan. “ Nggak ada dokumentasinya. Ingatan saja mungkin yang masih ada,”lanjut Dadang.  Menurut Dadang yang masih benar-benar asli adalah pajangan kaligrafi bertuliskan kalimat syahadat yang dipajang di mihrab masjid. Selain itu, mungkin satu-satunya petunjuk masjid itu kuno adalah namanya. Nama Al-Atiqiyah yang artinya antik atau unik disematkan jauh setelah masjid pertama kali dibangun. Tidak jelas nama sebelumnya masjid itu. Dadang mengungkapkan ada niat warga untuk mengembalikan wujud asli atap masjid karena bagian lain tak memungkinkan. “Justru yang disayangkan, dulu masih ada (bukti sejarah, red ) dihilangkan, sekarang sudah tidak ada baru mau digali,” sesalnya. Kendati sumber sejarah minim, budaya oral cukup mampu melestarikan sejarah asal-usul warga Kampung Karadenan Kaum. Sebab, warganya masih menjaga tradisi leluhur. “Itu keharusan yang harus dijaga,” tegas Dadang.  Di Karadenan dikenal tradisi menyimpan dan merawat pusaka leluhur. Sebagian sudah dikumpulkan dari rumah-rumah warga untuk dirawat bersama di Museum Keris di lantai dua Masjid Al-Atiqiyah. Ada pula tradisi Mauludan dan tolak bala di Bulan Sapar yang masih rutin dilakukan. “Maulid biasanya diisi ceramah, kalau di sini salawatan,” jelasnya. Ketika Maulid Nabi Muhammad Saw, warga Karadenan yang merantau pun kembali. Ritual mudik ini tak berbeda dengan saat Lebaran. Bahkan, Lebaran justru kalah ramai dibanding  peringatan hari lahir Sang Nabi Besar. Kini, di Karadenan tinggal 80 persen warga yang masih asli keturunan para bangsawan. Dari satu RW ada lima RT, kini tinggal tiga RT. Meski begitu, tanggung jawab mereka terhadap peninggalan leluhur masih tinggi. Misalnya, pemugaran dan perbaikan masjid tak pernah mereka meminta bantuan, khususnya dari pemerintah. Ini adalah cara agar kebanggaan dan rasa memiliki warga terus terjaga. Mereka saat ini lebih berharap akan adanya pihak yang mampu menunjukkan bukti peran Kampung Karadenan sebagai pembuka dakwah Islam di Priangan Barat. “Kami ingin sekali ini jadi cagar budaya,” ucap Dadang siang itu menutup perjalanan kami.

bottom of page