top of page

Hasil pencarian

9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Alat Batu, Teknologi Pertama Manusia

    PADA 2009, Gert van den Berg, peneliti dari University of Wollongong, Australia, melakukan penelitian di situs Talepu, lembah sungai Wallanae, Sulawesi Selatan. Temuannya ada ribuan tulang hewan dan alat batu. Beberapa alat batu yang berusia mencapai 118 ribu hingga 200 ribu tahun lalu, dipublikasikan pada Januari 2016. Secara arkeologis, artefak batu tidak hanya dilihat sebagai benda melainkan merekam perkembangan teknologi dan perkembangan kebudayaan masyarakat pembuatnya. Mark Moore, arkeolog eksperimental dari University of New England Armidale, Australia mengatakan, penggunaan batu dimulai di Afrika sekitar 3,2 juta tahun lalu. “Ini adalah ide manusia. Bukan muncul begitu saja,” katanya. Pada masa awal persebaran manusia, penggunaan alat batu digunakan secara luas, dari mulai Afrika hingga Sulawesi. Temuan alat batu di situs Leang Burung 2 dan Leang Buttue Maros, berasal dari zaman es terakhir antara 28 ribu hingga 22 ribu tahun lalu dan masa Pleistosen antara 120 ribu hingga 60 ribu tahun lalu. Sementara itu, alat batu yang ditemukan di Flores berusia hingga satu juta tahun lalu. Alat-alat batu dapat digenggam, memiliki lancipan dan di bagian tertentu terdapat sisi yang tajam –semacam mata pisau– untuk mengiris, menguliti atau merobek. Manusia pendukung kebudayaan itu diperkirakan membuat alat batu dengan cara menghantamkannya ke batu lain. Penanda lain yang digunakan para arkeolog adalah menemukan sisi lengkungan dengan istilah dataran pukul. Moore yang sejak 30 tahun terakhir bereksperimen membuat alat batu, mengatakan, bahwa perkembangan otak manusia terlihat dengan menelisik alat batunya. “Alat-alat batu ini berevolusi dari masa ke masa. Mulai alat batu yang kasar, hingga menjadi halus (yang telah diupam),” katanya. Di Maros terkenal Maros point (lancipan Maros), sebuah mata panah dari batu berukuran sekitar satu sentimeter. Pada setiap sisinya memiliki gerigi. Mata panah ini ditempelkan (diikat) pada ujung kayu dan digunakan untuk berburu. Sementara alat batu yang lebih tua, tertanam di dasar tanah. Pada lapisan tua, tinggalan alat batunya tidak begitu beraturan, sedangkan pada lapisan yang lebih muda semakin berbentuk. Moore bilang, manusia pendukung kebudayaan alat batu ini menggunakannya untuk membunuh binatang dan mengulutinya. Mungkin saja, alat batu yang lebih besar digunakan untuk menimpuk. Serpihan dari batu yang dibuat dengan sengaja untuk menguliti hewan buruan. Moore menguji analisis itu, menggunakan alat serpih batu menguliti seekor rusa muda. Hasilnya, dia membutuhkan sekitar satu jam, dengan empat alat serpih. “Cukup cepat,” katanya. Bagi Moore, alat batu yang digunakan masyarakat prasejarah adalah teknologi pertama yang diciptakan manusia melalui pemikiran. “Saya yakin, ini adalah teknologi pertama dari manusia. Alat batu. Kalau menggunakan kayu, saya tak bisa menyebutkannya karena tidak menemukan bukti dan tinggalan,” katanya. Akhirnya, seiring perkembangan evolusi manusia dan kebudayaan, perlahan-lahan alat batu mulai ditinggalkan secara massal. Namun, di beberapa tempat seperti Australia, penggunaan alat batu untuk melakukan aktivitas sehari-hari oleh masyarakat Aborigin digunakan hingga tahun 1960. Di Turki hingga tahun 1970-an. Dan di Papua untuk beberapa wilayah digunakan hingga sekarang. Apakah masyarakat yang menggunakan alat batu adalah masyarakat primitif? Moore menolaknya dengan tegas. “Tidak. Ini adalah hasil cipta manusia. Dibutuhkan keahlian dan keuletan untuk menjadikan sebuah batu layak digunakan,” katanya. “Anda bayangkan. Ketika orang menemukan besi dan membuat pisau. Untuk menggunakannya harus mengeluarkan biaya (uang). Alat batu, tidak,” kata Iwan Sumantri, arkeolog-cum-antropolog Universitas Hasanuddin, Makassar. “Saya kira alat batu, menunjukkan pada kita. Bila masyarakat pendukungnya lebih memiliki kemandirian.”

  • Intel Indonesia Dilatih CIA

    DALAM laman Badan Intelijen Negara ( bin.go.id ) disebutkan bahwa pada 1952 Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX menerima tawaran Dinas Rahasia Amerika Serikat (CIA, Central Intelligence Agency) untuk melatih calon-calon intel profesional Indonesia di Pulau Saipan, Filipina.

  • Saat Kali Bekasi Berwarna Merah

    BEKASI, 19 Oktober 1945. Senja baru saja akan mencapai ujungnya, ketika Letnan Dua Zakaria Burhanuddin mendapat instruksi penting dari Jakarta: harap membiarkan lewat serangkaian kereta api  memuat 90 anggota Kaigun (Angkatan Laut Jepang) yang akan melintas di Stasiun Bekasi beberapa saat lagi. “Rencananya tentara Jepang yang telah menyerah itu akan dibawa ke lapangan terbang Kalijati, Subang untuk selanjutnya dipulangkan ke Jepang,” tulis Ali Anwar dalam buku KH.Noeralie: Kemandirian Ulama Pejuang. Alih-alih membiarkan kereta api tersebut lewat, Wakil Komandan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) Bekasi itu malah memerintahkan Kepala Stasiun Bekasi mengalihkan jalur perlintasan kereta api dari jalur dua ke jalur satu yang merupakan jalur buntu. Akibatnya, lokomotif yang menggandeng sembilan gerbong (termasuk tiga gerbong yang memuat 90 anggota Kaigun) terpaksa berhenti, tepat di mulut Kali Bekasi. Begitu kereta api berhenti, massa rakyat dan pejuang Bekasi langsung melakukan pengepungan. Suasana mencekam saat Letnan Dua Zakaria dan beberapa pengawalnya naik ke atas kereta api tersebut dan menanyakan surat izin dari Pemerintah Republik Indonesia (RI). “Mereka menunjukan surat jalan dari Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo yang dibubuhi tanda tangan Presiden Sukarno,” tulis Ali Anwar. Di tengah pemeriksaan, tiba-tiba seorang prajurit Kaigun melepaskan tembakan pistol dari arah salah satu gerbong tersebut. Tembakan itu ibarat komando bagi massa rakyat dan pejuang untuk menyerbu. Maka tumpah ruahlah ratusan orang memasuki kereta api itu dengan membawa berbagai macam senjata. Setelah melalui pertempuran kecil, beberapa menit kemudian, massa berhasil menguasai kereta api. Mereka merampas barang-barang yang ada di dalamnya (termasuk ratusan pucuk senjata) dan memasukan 90 tawanan berkebangsaan Jepang itu ke sebuah sel yang berada di belakang gedung Stasiun Bekasi. Empat jam kemudian, tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan Komandan Resimen V TKR Mayor Sambas, massa rakyat dan pejuang lantas menggiring para tawanan perang itu ke tepian Kali Bekasi. Satu persatu, serdadu malang itu disembelih dan mayatnya dihanyutkan ke dalam sungai.  “Kali Bekasi sampai berwarna merah karena darah yang keluar dari tubuh para serdadu Jepang itu,” demikian dilukiskan oleh Dullah (89), salah seorang penduduk Bekasi yang sempat menyaksikan kejadian tersebut. Demi mengetahui peristiwa itu, Laksamana Muda Maeda menjadi berang. Dalam nada sangat marah, Komandan Penghubung Angkatan Laut dan Angkatan Darat Tentara Kekaisaran Jepang itu melayangkan protes keras kepada Pemerintah RI. Menanggapi protes keras dari Maeda, Kepala Kepolisian RI Komisaris Jenderal Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo bersama seorang staf Departemen Luar Negeri RI bernama Boediarto lantas menghadap Maeda. Dalam pertemuan itu, keduanya harus “ikhlas” menjadi sasaran amarah sang laksamana. “Kejadian ini dapat menjadi bukti kepada dunia bahwa bangsa Indonesia tidak memiliki pendirian yang teguh!” ujar Maeda. Kombes Soekanto berusaha tidak terpancing amarah yang dilontarkan Maeda itu. Setelah meminta maaf terlebih dahulu, ia kemudian mengatakan bahwa Insiden Stasiun Bekasi tersebut di luar kemampuan Pemerintah RI. “ Memang benar hanya Pemerintah RI yang memiliki hak melakukan hukuman mati, tapi seperti yang Tuan ketahui, Bekasi merupakan daerah yang belum sepenuhnya tunduk kepada hukum Pemerintah Republik Indonesia,” demikian penjelasan Soekanto seperti dikutip dalam Material on Japanese Military Administration in Indonesia yang dikeluarkan oleh Institut Ilmu Sosial Universitas Waseda, Jepang. Setelah dilakukan pendekatan politik secara intens oleh Pemerintah RI, Maeda akhirnya dapat dibuat maklum. Namun, ia memberi catatan bahwa kejadian itu harus menjadi yang terakhir dan Pemerintah RI wajib mengantisipasi terjadinya insiden serupa secara serius. “ Jika dibiarkan saja, maka tak mustahil  kejadian di Bekasi itu akan merajalela di mana-mana,” ungkap Maeda. Sebagai bentuk tanggungjawab terhadap insiden tersebut, pada 25 Oktober 1945, Presiden Sukarno berkunjung ke Bekasi. Di depan rakyat Bekasi, ia memohon agar rakyat menaati setiap perintah yang datang dari Pemerintah RI dan melarang keras para pejuang untuk melakukan lagi upaya-upaya pencegatan kereta api. Sementara itu, beberapa hari usai insiden penyembelihan tentara Jepang tersebut, masyarakat Bekasi digegerkan dengan isu berkeliarannya arwah penasaran 90 serdadu itu. Menurut Dullah, isu itu sempat mempengaruhi rakyat Bekasi (termasuk anggota TKR dan lasykar) hingga begitu memasuki malam, Bekasi menjadi kota yang sangat sunyi karena setiap orang enggan keluar rumah. Robert B. Cribb merekam gejala itu dalam bukunya Para Jago dan Kaum Revolusiener Jakarta 1945-1949 . Ia menyebutkan pasca kematian menggenaskan para serdadu Jepang itu, hampir tiap malam Bekasi dihantui terror isu arwah penasaran. Diyakini, hantu para prajurit yang terbunuh di Bekasi bangkit kembali menghantui sekitar tempat mereka meregang nyawa.          “Mereka disebutkan berbaris dalam formasi dan melintasi jembatan sementara kepala disembunyikan di balik lengan para hantu tersebut…” tulis Cribb.

  • Hikayat Sidi Mara, Bajak Laut Pantai Barat Sumatra

    Sumatra Barat terlebih pantai barat Sumatra terus memanas pasca Belanda mematahkan perlawanan kaum Paderi tahun 1837. Teror dan kegaduhan bermunculan sehingga Belanda mengeluarkan kebijakan rust en orde untuk mengontrol ketertiban dan keamanan. Kegaduhan muncul dari orang dan kelompok yang selama ini banyak membantu kaum Paderi dalam menghadapi Belanda. Pihak kolonial melabeli mereka bajak laut dan perampok. Mereka dianggap pemicu terjadinya amuk massal dan pembakaran gudang yang dikuasai Belanda. Bajak laut yang cukup disegani adalah Sidi Mara dengan 20 orang anak buah. Namanya sering disebut dalam catatan militer Belanda pada abad 19. “Nama Sidi Mara sering disebut dalam beberapa tulisan para petinggi militer Belanda yang pernah bertugas di Minangkabau,” sebut filolog Suryadi beberapa waktu lalu. Guru Besar Sejarah Universitas Andalas Gusti Asnan mengatakan, Sidi Mara salah seorang pemimpin bajak laut yang terkenal di pantai barat Sumatra, selain Panglima Mentawe, Nja’ Pakir dan Po Id. Sejatinya, Sidi Mara merupakan seorang pedagang perantara atau broker. Ketika zaman Perang Paderi, dia menjadi pedagang penghubung antara orang-orang Aceh dengan kaum Paderi. Dia memasok keperluan kaum Paderi dengan barang seperti senjata, pakaian, garam, ikan, dan lain-lain. Semua dibeli ke orang Aceh. “Dia memiliki gudang yang cukup besar di Katiagan, Pasaman,” ujar Suryadi. Kaum Paderi yang dipimpin Tuanku Imam Bonjol mulai terdesak ketika pasukan Belanda terus merangsek. Letnan Satu Infantri J.C Boelhouwer, dalam memoar “Kenang-kenangan di Sumatra Barat Selama Bertahun-tahun 1831-1834” mencatat, militer Belanda merangsek ke pusat Paderi di Bonjol. Gudang dagang yang banyak berdiri di Katiagan, tidak jauh dari Bonjol dibakar. Salah satu gudang yang ikut terbakar adalah milik Sidi Mara. Sejak itu, dia begitu marah pada Belanda. Dia dengan gerombolannya menyerang kampung-kampung yang berkongsi dengan Belanda. Gusti Asnan mengatakan aktivitas bajak laut di pantai barat Sumatra di abad 19 karena motif ekonomi dengan melakukan perompakan terhadap kapal-kapal niaga yang sedang berlayar, perkampungan penduduk, dan juga karena motif politik. Korban bajak laut banyak dialami pedagang (pecalang) Tionghoa ketimbang Eropa. Sebab, pecalang Eropa sudah memiliki persenjataan membuat bajak laut berpikir untuk menyerang. Selain itu juga perompakan terhadap kampung, bahkan menculik penduduk untuk komoditas budak. Bukan hanya Sidi Mara, keangkuhan Belanda juga memantik beberapa orang bekas pedagang terutama dari Aceh, melakukan kegaduhan terutama di kampung-kampung yang berkongsi dengan Belanda. “Beberapa laporan Belanda menyebut bahwa bajak laut lebih suka merompak perkampungan di pinggir pantai yang sudah jatuh ke tangan Belanda,” ujar Gusti Asnan yang menulis buku Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera . Menurutnya, bajak laut adalah persepsi Belanda, sementara di mata Paderi, mereka adalah pahlawan. “Belanda mengatakan pada gerombolan seperti bajak laut dengan ungkapan  anak haram Jadda ,” bilangnya. Seabrek cacatan kolonial Belanda, tidak diketahui biodata yang jelas tentang Sidi Mara. Begitu pun akhir kisahnya. “Tidak ada catatan biodata yang jelas tentang Sidi Mara. Misal tanggal, tahun lahir, kampung, dan keturunan siapa,” ujar Gusti Asnan. Namun, menurut Suryadi yang akrab dipanggil Ajo, Sidi Mara berasal dari Pariaman. Ia merupakan salah satu gelar adat di Pariaman. Sidi berasal dari kata Sayyidi (sama dengan Tuanku). Gelar ini diberikan kepada mereka yang bernasab kepada kaum ulama ( syayyid ), yaitu penyebar agama Islam di daerah Pariaman. Sidi, sama halnya dengan gelar lain seperti Sutan dan Bagindo, merupakan gelar yang disematkan pada laki-laki yang baru saja kawin di Pariaman. Gelar demikian diturunkan terus-menerus yang dipetik dari garis ayah (patrilineal). “Sidi Mara ini orang Pariaman .  Kalau tidak salah dia seorang pedagang,” imbuh Suryadi. Untuk mengantisipasi bajak laut, pemerintah Hindia Belanda mendirikan banyak pos pengaman di pelbagai kota pantai. Belanda juga sering mengirim ekspedisi militer ke kawasan utara Sumatra. “Berkat kesungguhan Belanda, tahun 1860-an, tidak ditemukan lagi laporan pemerintah †entang kegiatan bajak laut,” pungkas Gusti Asnan.

  • Wallanae, Sungai Purba di Sulawesi Selatan

    SELINTAS sungai itu seperti sungai biasa. Namun, siapa sangka pesisirnya menyimpan sejuta misteri. Bagai kotak Pandora para ilmuan, sejak 1940-an hingga tahun 2009 beberapa temuan membuat ilmu pengetahuan tercengang. Di tempat inilah, fauna-fauna purba menyeruak dari kedalaman tanah, ada gajah purba ( Elephas celebensis ), ikan pari raksasa, buaya purba ( Crocodylus sp ), babi purba ( Celebochoerus heekereni ), hingga artefak batu. Fosil-fosil fauna vertebrata ini ditemukan pertama kali tahun 1947 oleh Hendrik Robert van Heekeren, arkeolog Belanda, di kampung Beru jalan poros Cabenge-Pampanua Kabupaten Soppeng. Temuan ini, terus berkembang yang akhirnya menyibak ribuan fosil vertebrata di aliran sungai itu. Pada 1997, Gert van Den Berg, seorang peneliti dari Universitas Wolongong Australia, membagi tiga babakan migrasi fauna di Wallanae. Dari mulai masa pleistosen awal pada 2,5 juta tahun lalu, hingga masa holosen pada 10.000 tahun lalu. Dua tahun kemudian, Gert van Den Berg bersama Pusat Studi Geologi Indonesia, menyibak kembali temuannya mengenai perkakas batu di situs Talepu, Kabupaten Soppeng, pesisir Wallanae. Hasilnya pada Januari 2016, melalui serangkaian uji material menggunakan Uranium Series usia perkakas itu 118 ribu tahun lalu. Bagaimana membayangkan 118 ribu tahun lalu? Bagaimana rupa dan wajah Wallanae atau Sulawesi Selatan pada umumnya? Pada zaman Eosen awal sekitar 50 juta tahun lalu, Sulawesi masih jauh dari bentuk yang sekarang. Semenanjung Sulawesi (Sulawesi Selatan) masih merupakan garis lurus hingga ke semenanjung utara (Sulawesi Utara). Sedangkan semenanjung tenggara (Sulawesi Tenggara) masih berhubungan dengan Teluk Bone. Sementara bagian timur Kalimantan masih berhubungan dengan bagian tengah Sulawesi. Dan semenanjung timur (Banggai dan Sula) masih merupakan pulau tersendiri. Dan pada 40-30 juta tahun lalu, terjadi cekungan antara Kalimantan dan Sulawesi yang membentuk Selat Makassar. Dan pada sekitar 34 juta tahun lalu, terjadi pengangkatan daratan dan membentuk beberapa delta sungai dan menjadikan Banggai menyatu dengan pulau Sulawesi. Kondisi inilah yang diperkirakan, menjadi titik awal kedatangan fauna karena perairan dangkal Selat Makassar, sebagai jembatan darat ke Sulawesi dari Paparan Sunda. Mamalia besar seperti Babyrousa (Babi Rusa) diperkirakan telah mendiami Sulawesi bagian tengah bersama nenek moyang Tarsisus. Hingga masa Miosen akhir dan awal Pliosen antara 5 hingga 4 juta tahun lalu, Sulawesi akhirnya terbentuk menyerupai bentuknya saat ini. Sementara itu, Wallanae masih tertutup air laut dalam. Lalu pada 700.000 tahun lalu, terjadi penurunan muka laut, dan mengubah lingkungan Lembah Wallanae menjadi daratan. Dan membentuk cekungan danau Tempe. Pada periode inilah dianggap sebagai migrasi gelombang kedua fauna Asia atau Paparan Sunda memasuki Sulawesi. Pulau-pulau karang mempersempit perairan sebagai penghalang alami bagi fauna untuk mencapai Sulawesi. Diperkirakan fauna-fauna besar dari keluarga Elephantoid (Gajah Purba) mencapai Sulawesi Selatan dari arah barat daya. Arkeolog Balai Pelestarian dan Peninggalan Purbakala (BP3) Sulawesi Selatan, Rustan dalam 100 Tahun Purbakala Indonesia , menjelaskan dua alternatif migrasi fauna ke Sulawesi. Pertama dari Paparan Sunda ke Laut Kecil, Pasalima, Kalu-kalukuang, Doang-Doangan, dan kepulauan Spermonde. Sementara untuk jalur kedua, dari Madura ke Kangean, Tengah, Sabalana, dan Tanakeke. “Beberapa peneliti sepakat, bahwa Gajah masa lalu itu dapat berenang hingga puluhan kilometer,” kata Rustan. Lebih lanjut, menurut Rustan, informasi mengenai kehadiran manusia sebagai bagian dari fauna di Sulawesi pada masa ini, masih sangat minim. Temuan-temuan artefak batu yang di teras tertua Wallanae belum menunjukkan penemuan yang insitu karena bisa saja artefak batu itu dibuat oleh manusia lebih belakangan ketika teras-teras tersebut terbentuk yang diperkirakan berumur Pliosen akhir-Pleistosen awal. Artefak batu masif di Cabbenge (kawasan Lembah Wallanae) yang dikenal dengan Industri Cabbenge sejajar dengan Industri Pacitan di Jawa yang setara dengan usia 35.000 hingga 12.000 tahun lalu. “Jadi bisa saja tradisi evolusi alat batu ini sejajar dalam waktu, ataukah representasi dari adaptasi terhadap lingkungan yang berbeda,” katanya. Melimpahnya temuan artefak, baik fosil fauna dan alat-alat batu di Lembah Wallanae menyimpan pertanyaan dimanakah manusia pembuat alat batu itu? Apakah rangka manusia telah ditemukan? Rupanya, sejak puluhan tahun lalu hingga sekarang, di pesisir Wallanae belum pernah ditemukan manusia. Bahkan Sulawesi Selatan pada umumnya. Temuan perkakas batu yang diperkirakan berusia 118 ribu tahun lalu, diasumsikan sezaman dengan hominin ( Homo florensiensis ) di Flores pada 200 ribu hingga 700 ribu tahun yang lalu. “Tapi ingat, usia 118.000 tahun itu masih muda. Tidak begitu tua,” kata Iwan Sumantri, arkeolog-cum-antropolog Universitas Hasanuddin Makassar. Menurut Iwan, benda kebudayaan manusia harus dilihat dari persepektif zaman. Teknologi masa penggunaan benda kebudayaan, pada satu masa berjalan lambat dibanding migrasi manusianya. Namun, pada tahap tertentu benda kebudayaan itu, dapat dengan cepat melampui migrasi manusia itu sendiri. Sebagai perbandingan Homo erectus yang hidup sejak 1,5 juta tahun lalu dan Homo sapiens awal juga menggunakan peralatan batu sederhana. “Jadi untuk mengasosiasikan perkakas batu itu dengan manusia tertentu, itu agak sulit dan harusnya menemukan manusia pembuatnya,” kata Iwan.

  • Problem Historiografi Indonesia

    TAUFIK Abdullah membuka ceramahnya dengan menyebut Mohammad Hatta sebagai orang Indonesia pertama yang secara terbuka menyatakan sejarah nasional Indonesia. Menurutnya, hal tersebut terbaca dari pidato pembelaan Hatta pada 1928 di depan Pengadilan Den Haag, Belanda. Menurutnya, dalam pidato yang berjudul Indonesia Vrij ( Indonesia Merdeka ) itu Mohammad Hatta tak hanya memprotes pemerintah kolonial namun juga mengecam corak pelajaran sejarah yang diberikan di sekolah pemerintah di Hindia Belanda. Siswa yang bersekolah di sekolah pemerintah hanya dicekoki kisah pahlawan Eropa. “Para pelajar di sekolah-sekolah pemerintah, katanya, hanya disuruh dan dibujuk “untuk mencintai dan mengagumi pahlawan-pahlawan kemerdekaan Eropa, seperti Wilhelm Tell, Mazzini, Garibaldi, Willem van Oranye,” kata Taufik dalam ceramahnya di Salihara, 26 Januari kemarin. Sejarawan senior ini pun membandingkan pidato Hatta dengan pidato Indonesia Menggugat, pledoipembelaan Sukarno di pengadilan Bandung pada 1930. Taufik menilai dari kacamata seorang akademis, pidato Hatta jauh lebih bernilai ketimbang Sukarno. “Kalo dipandang dari sudut pandang akademis, Indonesia Vrij lebih tinggi nilainya daripada Indonesia Menggugat , karena Bung Hatta kan kuliahnya di Belanda, sedangkan Bung Karno kan hanya di Bandung,” ujarnya ditingkahi derai tawa peserta. Dalam Indonesia Menggugat , Sukarno tidak melakukan protes terhadap narasi sejarah kolonial. Dia, menurut Taufik, hanya mengisahkan pembabakan sejarah Indonesia ke dalam tiga periode yakni, masa lalu yang gemilang; masa kini yang gelap gulita; dan masa depan yang penuh harapan. Menggugat Neerlando-Sentrisme Dalam ceramahnya, Taufik juga menjelaskan sejarah historiografi di Indonesia mulai zaman Hindia Belanda. Buku F.W Stapel, Geschiedenis van Nederlandsch Indies (Sejarah Hindia Belanda) yang terbit 1939, dipandang sebagai titik puncak historiografi kolonial. Buku ini terdiri dari lima jilid: dua jilid pertama mengenai kerajaan lama di Jawa yang bercorak Hindu dan Islam dan tiga jilid berikutnya tentang peran Belanda. Buku tersebut kemudian dikritik oleh J.C van Leur karena sejarah Indonesia hanya dipandang sebagai perpanjangan tangan dari orang-orang VOC, seputar pejabat, gubernur jenderal dan orang-orang  besar lain. “Dalam hal ini orang Indonesia tidak muncul sama sekali, atau sebagai people without history jika meminjam istilah Henk Schulte Nordholt,” kata Taufik dalam makalahnya. Sekira 1950-an, zaman kembali normal setelah pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949, diskusi tentang historiografi Indonesia mulai menghangat. Mulai dari Willem Philippus Coolhaas (1899-1981), ahli sejarah kolonial sekaligus mantan pejabat kolonial, yang mengkritisi van Leur, hingga pendapat GJ Resink yang menyatakan Indonesia tidak dijajah 350 tahun. Dalam makalahnya, Taufik menulis secara agak sinis mengenai H.J De Graaf. Menurutnya, de Graaf -ahli sejarah kesultanan Mataram-, tetap terpukau dengan dinamika sejarah Jawa dan melupakan wilayah lain. Taufik lebih menyoroti karya de Graaf yang berjudul De Regering van Sultan Agung, Vorst van Mataram 1613-1645, en die van zijn Voorganger Panembahan Seda Ing Krapjak 1601-1613 , yang diterbitkan tahun 1958. Namun dia tak merujuk karya de Graaf lain yang berjudul Geschiedenis van Indonesie yang diterbitkan tahun 1949. Bahkan oleh Moh Ali, seperti ditulis dalam Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia , buku de Graaf tersebut termasuk dalam kategori karya yang progresif waktu itu, sejajar dengan buku Nusantara karya B.H.M Vlekke yang terbit 1943. Rekonstruksi sejarah otentik dengan visi nasional mulai mengemuka pada Seminar Sejarah Nasional, di kampus UGM Yogyakarta, pada 14-18 Desember 1957. Pesertanya beragam, mulai dari akademisi, pendidik, ahli arkeologi bahkan hingga politisi dari berbagai partai politik kala itu. “Ada satu orang yang kemudian terkenal, bahkan kelak ada yang membenciya dan ada pula yang menyanjungnya. Orang itu adalah Aidit (D.N Aidit - red ). Jadi ia datang di seminar sejarah itu,” kenang Taufik. Hasil utama seminar sejarah tersebut adalah ciri Neerlando-sentris dalam penulisan sejarah harus digantikan dengan visi Indonesia-sentris. Setelah Sukarno tergusur, Maret 1968, Suharto memegang tampuk. ‘Revolusi’ digantikan ‘pembangunan nasional’ ala Orde Baru. Agustus 1970, Seminar Sejarah Nasional II dihelat. Menurut Taufik, ada dua hasil penting, yaitu pembentukan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) dan penyusunan buku Sejarah Nasional Indonesia 6 jilid. Dalam kacamata Taufik, Orde Baru hanya ingin menguasai rekonstruksi dan corak interpretasi kesejarahan tentang beberapa peristiwa sejarah tertentu. “Misalnya dalam buku jilid VI buku SNI, PDRI hanya diceritakan beberapa kalimat saja. Dan tentu saja masalah G30S,” tukas Taufik. Masalah Penulisan Sejarah 1965 “Sewaktu saya SMP dua guru memberikan dua keterangan berbeda tentang pelaku G30S, dan buku cetak yang kami baca juga mengatakan hal yang berbeda. Lalu seperti apa kebenaran itu?,” tanya Fanny, seorang pelajar, kepada Taufik di sesi tanya jawab. Taufik menjawab normatif: tinggal bagaimana penyampainya atau guru yang mengajarkannya. Setelah kejatuhan Suharto 1998, masalah penulisan sejarah terutama tema G30S kembali diperbincangkan. Bukan hanya ditataran akademisi, penambahan materi tentang masalah G30S juga masuk dalam kurikulum sekolah, seperti pada kurikulum 2004 yang menyebut peristiwa itu sebagai G30S saja. Namun, pada kurikulum 2006, ditetapkan kembali istilah G30S/PKI. Kejaksaan Agung mulai mempertanyakan terbitnya buku yang tidak menggunakan istilah G30S/PKI. Bahkan Menteri Pendidikan Nasional meminta para penerbit menarik buku-buku mereka yang menggunakan istilah lain selain G30S/PKI. Pada akhir ceramahnya, model pelurusan sejarah tentang masalah G30S perlu dikaji ulang. Menurutnya, dengan nada sinis, ketika pelurusan sejarah itu diluncurkan, maka batas profesionalisme, ambisi politik, kesombongan dan kenaifan menjadi kabur. “Tidak usah berlagak i’m the truth,”, ujarnya.

  • Geco, Makanan Antik Warisan Karuhun

    SIANG yang dingin di Cianjur. Hujan turun rintik-rintik, saat dua perempuan bule terlihat kebingungan di sekitar pertigaan Masjid Agung. Seorang lelaki muda kemudian menghampiri mereka dan menyapa. Usai berbicara sekitar tiga menit, sang lelaki kemudian mengantar mereka ke suatu sudut di kawasan tersebut dan menunjuk tempat yang mereka sedang cari. “Ternyata mereka mencari tempat mangkal saya,” ujar Zainuddin (60), penjual geco terkenal di Cianjur. Geco adalah makanan lawas dan khas dari kota tauco, Cianjur. Bahan utamanya adalah tauco khusus Cianjur  yang dibungkus  karakas (daun pisang yang sudah tua), taoge segar yang direbus setengah matang, ketupat, potongan kentang kecil, potongan telur rebus, mie aci (sejenis mie yang terbuat dari kanji), cuka lahang (cairan fermentasi dari pohon enau), kecap manis dan sambal cabe rawit. Karena menggunakan bahan utama taoge dan tauco, itu sebabnya disebut geco. “Tauconya dibuat seperti saus yang diracik menggunakan bawang putih, cabe merah, ketumbar dan sedikit kemiri, kemudian disiramkan ke bahan-bahan tadi,” ungkap lelaki yang biasa dipanggil langganannya Mang Iding itu. Sudah 16 tahun Mang Iding berjualan geco. Kendati ada dua tukang geco lain di seluruh Cianjur, namun hanya geco yang diraciknya yang dikenal sebagai legenda. Itu wajar, jika mengingat racikan geco yang dikenal saat ini merupakan karya sang kakek yang bernama Noedji. Ceritanya, sekira 1930, Noedji yang merupakan penggemar tauco melakukan eksperimen dengan mencampur bahan-bahan yang sudah disebutkan di atas dengan siraman saus taco yang dibuatnya. “Saat dicicipi para tetangga dan saudara-saudara lain, ternyata mereka suka…” kenang Iding. Melihat respons yang luar biasa itu, Noedji memutuskan untuk berhenti menjadi buruh tani dan berpindah sebagai pedagang makanan hasil eksperimen-nya itu. Dengan cara dipikul, ia lantas menjajakan geco secara berkeliling. Dasar hoki Noedji memang di situ, hampir setiap hari dagangannya habis terjual. Dan peminat geco ini ternyata bukan saja dari kalangan orang-orang pribumi, para sinyo dan noni pun ikut-ikutan suka makanan tersebut. “Makanya sekarang saya sering di datangi orang-orang Belanda. Rupanya mereka itu cucu atau cicit para sinyo dan noni tersebut. Mereka penasaran akan kelezatan geco seperti diceritakan para leluhurnya,” ujar Iding sambil tertawa. Noedji baru pensiun sebagai penjual geco keliling saat dirinya sakit-sakitan pasca 1945. Saat ia meninggal pada 1947, usahanya kemudian dilanjutkan oleh salah seorang dari 12 anaknya yang bernama Abdurachman, yang dikenal orang-orang Cianjur sebagai Mang Endul. “Semua ilmu pergecoan dari kakek saya tersebut turun kepada ayah saya tersebut,” ungkap Iding. Geco Mang Endul memang sangat melegenda di kalangan orang-orang Cianjur. Dengan menggunakan bahan bakar dari kayu pohon karet dan wadah saus tauco dari tanah liat (kendil), banyak kalangan tua terkesan. Sebut saja salah satunya adalah Atikah. Perempuan sepuh asli Cianjur itu mengungkapkan bahwa tak ada penjaja makanan yang paling ditunggu orang Cianjur selain geco-nya Mang Endul. “Waktu kami muda, jajanan yang paling sering kami beli yaitu geconya Mang Endul,” ujar nenek kelahiran 1946 tersebut. Bukan hanya kalangan rakyat biasa, para pejabat dan keluarganya pun kerap membeli geco bikinan Mang Endul. Sebagai contoh, Djoearta lurah Desa Nagrak pada tahun 1950-an, kerap membeli geco Mang Endul. “Bapak tak jarang menyuruh saya membeli geco  itu ke kota,” kenang Tjutju Sondoesijah, 70 tahun, putra sang lurah tersebut. Capek memikul dagangan kemana-mana, pada 1981, Mang Endul lalu membuat sejenis kedai sederhana di sekitar pertigaan Masjid Agung Cianjur. Hoki-nya pun terus berlangsung hingga ia wafat 19 tahun kemudian. Bisnis keluarga lalu dilanjutkan oleh Iding hingga kini. “Dari sekian anak-nya Bapak, hanya saya yang sanggup meneruskan usaha ini,” ujarnya. Iding mengaku kesanggupannya tersebut lebih dikarenakan tanggungjawab moralnya sebagai salah satu keturunuan Noedji. Kendati usaha geco yang dijalaninya telah menjadikan anak-anaknya bersekolah dan berumahtangga, namun bukan semata-mata soal keuntungan yang dipikirkannya. “Geco ini sekarang sudah menjadi makanan antik dan bagi saya secara pribadi ini adalah pusaka karuhun (nenek moyang) yang harus saya lestarikan sampai mati,” kata Iding. Meskipun sudah “diserang” oleh makanan-makanan terkini, Iding tetap yakin geco akan tetap bertahan sebagai makanan khas orang-orang Cianjur. Karena itu, sebagai bentuk kesungguhannya untuk melestarikan makanan warisan para leluhurnya, ia kini tengah “menyiapkan” salah seorang putranya untuk menjadi pewaris kedai geco yang berpenampilan sangat sederhana ini. “Saya melihat dia berbakat untuk berdagang dan memasak, doakan saja…” ujarnya. Ya, semoga saja geco tetap menjadi makanan yang mengisi hari-hari orang Cianjur.

  • UU Anti-Alkohol dan Mabuk-mabukan di Amerika

    Subdit Narkoba Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) menyita minuman keras beberapa waktu lalu. Seorang anggota DPR RI memprotes keras lantaran minuman keras dari rumah bir miliknya ikut disita. Melalui telepon, anggota DPR itu mencaci-maki Kasubdit Narkoba Polda NTT, AKBP Albert Neno, yang memimpin operasi. Neno melaporkannya kepada Kapolda NTT Brigjen Pol Endang Sunjaya. Alih-alih mengusut laporan itu, Endang justru mengembalikan semua minuman keras milik anggota DPR RI itu. Selang beberapa hari kemudian, Endang kehilangan jabatannya. Kisruh seputar miras mengingatkan kekisruhan serupa, meski tak sama, di negeri Paman Sam semasa UU Larangan Alkohol diberlakukan pada 16 Januari 1920. Ada yang mendukung, tapi lebih banyak yang menentang. Undang-undang itu melalui proses lumayan panjang sebelum disahkan. Para aktivis gerakan kesederhanaan, dimotori oleh kalangan Methodist, memelopori gerakan yang bermula pada 1840-an. Mereka aktif dalam kancah perpolitikan. Sempat tenggelam setelah 1850-an, gerakan itu kembali muncul pada era 1880-an bersamaan dengan meningkatnya gerakan pemurnian yang digalang Prohibition Party (berdiri pada 1869) dan para perempuan aktivis Christian Temperance Union (berdiri 1874). Kekuatan gerakan bertambah ketika Anti-Saloon League berdiri pada 1893. Ketiganya memperjuangkan undang-undang melarang alkohol. Menurut mereka, alkohol merusak bangsa Amerika. Tuntutan mereka mulai menampakkan hasil pada awal abad ke-20. Hampir semua negara bagian dan kabupaten di Amerika Serikat mulai mengeluarkan aturan larangan alkohol. “Kebanyakan aturan hukum awal ini dikeluarkan di pedesaan selatan, ini berangkat dari keprihatinan terhadap perilaku budaya mabuk-mabukan penduduk yang terus bertumbuh di negeri, terutama imigran Eropa,” tulis Coolleen Graham dalam “The United States Prohibition of Alcohol 1920-1933”, dimuat di laman cocktails.about.com . Perang Dunia I, yang menandai keterlibatan awal AS dalam politik internasional, meningkatkan kekuatan gerakan tersebut. Selain secara praktis larangan alkohol akan meningkatkan pasokan biji-bijian penting seperti barley, konsumsi alkohol secara religi bertentangan dengan kehendak Tuhan dan secara moral, orang yang bersenang-senang menikmati alkohol amat tidak bernurani karena banyak pemuda Amerika lain sedang mempertaruhkan jiwa mereka di medan perang. Semantara itu, industri minuman keras sedang bergeliat waktu itu. Penemuan mesin pendingin pada akhir abad ke-19 menjadi pemantiknya. Dengan mesin itu, para produsen minuman keras bisa memperpendek jalur distribusi produknya dan memangkas ongkos produksi. Para produsen seperti Pabst, Annheuser, atau Busch, yang menangkap peluang bisnis itu, dengan gencar mendirikan banyak saloon (sejenis bar pada masa itu) di berbagai kota Amerika. Melalui saloon-saloon itu, bir atau whiskey tak hadir ke tangan konsumen lewat botol lagi, tapi langsung ke gelas dari tangki-tangki pendingin milik saloon . Dibanjirinya kota-kota Amerika dengan saloon membuat kompetisi dalam bisnis tersebut semakin ketat. Para pemilik saloon menekan para pegawainya untuk menarik pelanggan sebanyak mungkin. Hal itu membuat para penjaga saloon melakukan berbagai upaya kreatif untuk memikat calon konsumen, seperti dengan menawarkan fasilitas judi, adu ayam, hingga prostitusi terutama kepada pelanggan yang lelaki muda. Oleh para penentang alkohol, realitas itu dijadikan pembenar untuk menganggap bahwa alkohol sebagai pemicu lahirnya tindakan-tindakan amoral. Kampanye mereka membuat mood masyarakat berubah jadi membenci alkohol. Pada 16 Januari 1920, Kongres mengeluarkan The 18 th Amendment, yang berisi larangan memproduksi, mendistribusikan, dan menjual minuman beralkohol. Konsumsi alkohol di AS menurun. Para pendukung legislasi itu optimis “eksperimen mulia” itu akan berhasil dengan baik. Pada awal 1920-an, angka penurunan mencapai 30 persen. Namun, para penentang legislasi terus mencari “jalan tikus” untuk mendapatkan minuman keras. Penyuling minuman keras mulai bermunculan, yang menjual minuman keras mereka dalam skala kecil. Keuntungan besar dari penjualan minuman ilegal membuat rumah penyulingan minuman menjamur. Minuman ilegal menjadi ceruk bisnis yang amat menjanjikan. “Jauh lebih menguntungkan dan hemat biaya membuat dan mendistribusikan alkohol sulingan (gin, vodka, whisky, dan rum) dibandingkan bir (pabrik, red .),” tulis Jefferson M. Fish dalam Drugs and Society: US Public Policy . Pemberlakuan UU Alkohol juga menyuburkan penyelundupan. Kanada dan Meksiko, juga negara-negara Eropa, menjadi pemasok rutin minuman-minuman ilegal ke AS. Dengan adanya celah kecil dari pemberlakuannya, undang-undang tersebut juga memarakkan penyalahgunaan alkohol. “Alkohol dan wine diresepkan oleh dokter dan tersedia di apotek. Banyak orang bersertifikat pendeta dan rabi mendistribusikan ‘anggur sakramen’ dalam jumlah besar,” lanjut Fish. UU Alkohol pada gilirannya menyuburkan kriminal. Selain suap dan korupsi aparat dan pejabat, legislasi itu juga menjadi ajang persaingan para mafia dan gangster untuk menguasai distribusi minuman ilegal. Chicago menjadi pusat persaingan mereka. Al Capone, salah satu mafia terbesar yang berbasis di kota tersebut, menangguk keuntungan besar dari bisnis itu. Para penduduk memproduksi dan menjual untuk mencari tambahan penghasilan di masa sulit itu.  Minimnya jumlah aparat plus rendahnya gaji mereka serta korup membuat pengawasan terhadap jalannya legislasi memprihatinkan. Lepas dari tiga tahun pertama, konsumsi alkohol justru meningkat. “Larangan itu tak pernah benar-benar populer bagi orang Amerika. Orang Amerika suka minum dan bahkan ada kenaikan jumlah perempuan yang minum selama era berlakunya legislasi, dan ikut mengubah persepsi umum tentang arti menjadi ‘terhormat’ (istilah yang sering digunakan pendukung legislasi untuk merujuk kepada non-peminum),” tulis Graham. Setelah melalui dua tahap pengurangan, pemerintahan F.D. Roosevelt, yang mulai berkuasa pada 1933, berhasil meyakinkan Kongres untuk mengeluarkan The21 st Amendment. UU ini menghapuskan peraturan undang-undang larangan alkohol –menjadi satu-satunya UU yang menghapus UU. “Jauh setelah pencabutan, konsensus tetap menganggap bahwa larangan alkohol secara nasional merupakan kebijakan publik yang buruk. Larangan itu, bagaimanapun, menghasilkan efek samping negatif jauh lebih substansial,” tulis Fish.

  • Toleransi Gender di Masyarakat Sulawesi Selatan

    Bissu Saidi beberapa waktu sebelum dia wafat, untuk menuliskan gendernya apakah sebagai laki-laki, perempuan, atau waria. “Tidak nak. Saya ini bissu . Bissu itu sendiri,” jawabnya kepada Historia . Saidi kemudian mengangkat tangannya. Membuka telapaknya, lalu memegang jempolnya. Jempol itu, kata dia, adalah bura’ne (laki-laki), kelingking adalah makunrai (perempuan), telunjuk adalah calabai (waria), jari manis adalah calalai (tomboi), dan jari tengah untuk bissu . Pada masa lalu, bissu dianggap sebagai pranata spiritual paling vital sebagai penyambung dan penghubung antara manusia dan dewa. Bissu memiliki bahasa sendiri, yang diyakini sebagai bahasa orang-orang langit. Bahkan di beberapa kerajaan, bissu dilindungi oleh raja dan diberikan amanah dalam menjaga arajang (pusaka kerajaan). Tak hanya itu, calalai dan calabai , pun diterima di tengah masyarakat. Tak ada pertentangan atau bahkan tindakan untuk menekan. “Mereka hidup layaknya seperti orang lain,” kata peneliti sosial dan filolog Universitas Hasanuddin, Muhlis Hadrawi. Namun, perubahaan perlahan-lahan terjadi. Ketika budaya baru, dalam hal ini munculnya agama (Kristen dan Islam) menempatkan pembagian gender hanya ada dua, laki-laki dan perempuan secara kodrati. “Dari sini, calalai, calabai dan bissu , akhirnya menjadi masyarakat kelas dua,” kata Muhlis. Bahkan pada periode tertentu, saat pergolakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Sulawesi Selatan dilaksanakan Operasi Taubat. Orang-orang yang mengakui dirinya di luar dari gender perempuan dan laki-laki akan dikejar. Jika calalai akan diberikan kembali baju perempuan. Begitu pun sebaliknya untuk calabai dan bissu , diberikan baju laki-laki. Sementara itu, dosen Fakutas Imu Budaya Universitas Hasanuddin, Alwi Rachman mengatakan, kehidupan sosial di masyarakat Bugis dan Makassar (umumnya Sulawesi Selatan) sejak masa lalu mengenal lima identifikasi gender tersebut. “Secara individu per individu sikap saling menghargai itu muncul,” katanya. “Bahkan, karena tingginya toleransi di kalangan kelompok, bissu misalnya mendapatkan tempat penting dalam sebuah ritual.” Tapi bagi Alwi, budaya Bugis dan Makassar itu sangat maskulin. Karakter akan keberanian, keteguhan dan keperkasaan selalu menampilkan sosok laki-laki. Namun bukan berarti, sisi maskulinitas ini mengabaikan identitas gender lainnya. “Di Sulsel, (pada) masa kerajaan kita tidak sulit menemukan raja perempuan,” katanya. Christian Pelras dalam Manusia Bugis , menuliskan relasi gender masyarakat Bugis begitu cair. Hubungan pernikahan antara laki-laki dan perempuan tidak saling membatasi gerak. Orang Bugis tidak menganggap laki-laki atau perempuan lebih dominan satu sama lain. Pelras, mengutip Sir Stamford Raffles pada 1817 bahwa di Sulawesi Selatan perempuan “tampil lebih terhormat dari yang bisa diharapkan dari tingkat kemajan yang dicapai peradaban Bugis secara umum, dan perempuan tidak mengalami kesulitan hidup yang keras, kemelaratan, atau kerja berat, yang telah menghambat kesuburan kaum mereka di bagian dunia lain.” Namun kemudian bagi Pelras, calabai yang dituliskannya sebagai “jenis kelamin ketiga” dan calalai sebagai “jenis kelamin keempat” masing-masing memiliki peran di masyarakat. Tak jarang, calabai akan berperan dalam prosesi ritual tradisional sebagai indo’ botting (ibu pengantin yang berperan dalam menentukan langgeng tidaknya pasangan).  James Brooke dalam jurnal perjalanannya ke Wajo pada 1840 mengatakan, tentang kebiasaan seorang laki-laki yang berpakaian seperti perempuan, dan perempuan yang berpakaian seperti laki-laki; bukan hanya untuk sementara waktu, tetapi seumur hidup berperilaku seperti jenis kelamin yang mereka tiru itu. Jadi, meski perbedaan gender di kalangan orang Bugis memang ada, namun fleksibilitasnya tergambar dalam ungkapan mau’ni na woroane-mua na makkunrai sipa’na, makkunrai-mui; mau’ni makkunraina woroane sipa’na” (meskipun dia laki-laki, jika memiliki sifat keperempuanan, dia adalah perempuan; dan perempuan yang memiliki sifat kelaki-lakian, adalah lelaki).

  • Inilah Tiga Orang Jawa yang Membahayakan Portugis

    PADA 8 Januari 1515, Jorge d’Albuquerque, gubernur Portugis di Malaka menulis surat kepada Raja Portugis. Isinya menyebut tiga orang dari Jawa yang membahayakan penguasaan Portugis atas Malaka, yakni pate Quitis (Pate Kadir), pate Amoz (Pate Unus), dan Pate Rodym (Raden Patah). Pate Kadir, kepala suku Jawa di Malaka, dianggap berbahaya karena memimpin pemberontakan suku Jawa di Malaka pada 1515. Pemberontakan itu gagal. Sedangkan Pate Unus menyerang Malaka pada 1512, juga mengalami kegagalan. Akibat serangan itu, hubungan dagang antara Jawa dan Malaka memburuk. “Raden Patah sebagai sultan Demak, tetap merupakan saingan berat orang-orang Portugis di Malaka,” tulis Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Menurut Slamet Muljana, tokoh Pate Unus sejak lama dipersoalkan para sarjana yang menyelidiki sejarah Majapahit-Demak. Penjelajah Portugis, Tome Pires dalam Suma Oriental menyebut Pate Unus adalah menantu Raden Patah. Ayahnya adalah penguasa Jepara yang berhubungan baik dengan Raden Patah. Sedangkan sumber Tionghoa dari kelenteng Sam Po Kong di Semarang menyebut Pate Unus (Yat Sun) adalah putra dari Raden Patah (Jin Bun). “Dalam hal ini, berita dari kelenteng Semarang lebih banyak dapat dipercaya daripada uraian Tome Pires,” tulis Slamet Muljana yang juga menganggap informasi Tome Pires tentang asal-usul Raden Patah kurang jitu. Karena Pate Unus tidak tinggal di Demak tetapi menetap di Jepara, maka Tome Pires mengira dia bukan putra mahkota Demak. Yang dianggap putra mahkota Demak adalah Rodin Muda. Rodin adalah bentuk ubahan dari sebutan Raden. Siapakah Rodin Muda? Serat Kanda menyebut bahwa Pangeran Surya (Pate Unus) adalah anak dari Raden Adipati Bintara (Raden Patah) dengan istri tertua (anak Sunan Giri). Dia memiliki adik bernama Raden Trenggana. Sumber Tionghoa menyebut Raden Trenggana sebagai Tung Ka Lo. Babad Tanah Jawi menyebut Pate Unus sebagai Pangeran Sabrang Lor. G.P. Rouffaer dalam Wanneer is Majapahit gevallen? (Kapan Runtuhnya Majapahit?) menafsirkan sebutan itu diperolehnya akibat serangan terhadap Malaka, yang terletak di seberang utara selat. H.J. de Graaf meyakini bahwa Pangeran Sabrang Lor adalah Rodin Muda (Raden Trenggana). Sedangkan Pate Unus adalah pembesar Jepara yang berhasil menyingkirkan Rodin Muda sehingga dapat berkuasa di Demak. Berdasarkan pemberitaan sejarawan Portugis Joao de Barros dalam bukunya Da Asia , R.A. Kern menduga bahwa Pate Unus adalah raja Sunda. Menurut Slamet Muljana, berita-berita Portugis menyebut Pate Unus menunjukkan bahwa dia memilih nama Islam, Yunus. Nama ini didapatkanya dari orang-orang Jawa yang menetap di Malaka dan yang merantau ke pelbagai kota pelabuhan. Tetapi, berita Tionghoa dari kelenteng di Semarang tidak menyebutkan nama Islamnya. Pate Unus menggantikan ayahnya Raden Pateh sebagai Raja Demak, yang meninggal pada 1518. Dia tak berkuasa lama karena meninggal pada 1521 akibat sakit bengkak paru-paru. Karena tidak memiliki keturunan, dia digantikan adiknya, Raden Trenggana.*

  • Di Hadapan Lenin, Sneevliet Anjurkan Kerjasama Dengan Islam

    DALAM kongres Komintern kedua yang diselenggarakan di Moskow dan Petrograd, Juli 1920, situasi negeri-negeri jajahan di Timur, termasuk Hindia Belanda, jadi salah satu agenda utama pembahasan. Henk Sneevliet dipilih untuk menjadi ketua komisinya. Pemilihan itu menurut Ruth McVey dalam Kemunculan Komunisme di Indonesia karena melihat tujuan wewenang yang diberikan kepada Sneevliet dari organisasi-organisasi di Hindia ketika dia diusir dari Hindia Belanda.  Sedangkan menurut guru besar ilmu politik University of Waikato, Selandia Baru Dov Bing pemilihan Sneevliet karena dia dianggap berpengalaman hidup di negeri koloni seperti Hindia Belanda. “Dia tak hanya menguasai revolusi di negeri kolonial secara teoritis tapi juga punya pengalaman langsung dari tangan pertama tentang kekuatan dan kelemahan gerakan proletar di Hindia Belanda.” Bagi rekan-rekannya di Hindia Belanda, Sneevliet menjadi tumpuan untuk mewakili kepentingan partai di Komintern. Sneevliet, menurut McVey, semula bersikap ragu terhadap kerjasama semua golongan radikal di Hindia Belanda, terutama dari kalangan Islam. Namun setibanya di Belanda, dia berbalik arah dan menjadi pendukung kerjasama Islam dan komunis yang gigih karena melihat potensi kekuatan progresif dari Sarekat Islam. Dalam kongres Komintern kedua itu, Sneevliet menyampaikan argumentasinya tentang mengapa gerakan revolusioner di Hindia Belanda harus bersatu dengan Sarekat Islam. Karena walaupun nama organisasinya terdengar religius, demikian kata Sneevliet, “Sarekat Islam memiliki karakter kelas... kita dapat menghargai tugas gerakan revolusioner sosialis untuk membangun ikatan kuat dengan organisasi masssa dengan organisasi massa Sarekat Islam.” Menurut anjurannya, kaum sosialis revolusioner di Hindia Belanda harus mampu menyusun kerjasama yang lebih luas dengan kalangan Islam serta menggalang kaum proletar untuk menumbangkan kolonialisme. “Dalam kongres ISDV pada 1918 membuktikan betapa besar pengaruhnya di kalangan bumiputera. Program revolusioner sudah disepakati, tak ada jalan lain untuk meraih kemerdekaan kecuali dengan cara aksi massa sosialis,” kata Sneevliet dalam pidatonya di Komintern kedua, seperti dikutip dari Ruth McVey. Cara kerja sama ini pula disebut sebagai teori “block-within” (blok di dalam) yang bermakna bahwa kaum sosialis revolusioner harus masuk ke dalam organisasi seperti Sarekat Islam serta membawa massa organisasi tersebut ke arah yang lebih progresif dan revolusioner.   Perhatian Sneevliet pada Hindia Belanda memang tidak beranjak untuk beberapa waktu setelah pengusirannya. Setibanya di Belanda, dia masih berorientasi kepada gerakan dan memikirkan strategi  partai di Hindia Belanda. Tak lama setelah terbit artikel di harian Nieuwe Rotterdamsche Courant , 20 Januari 1924, Henk masih menyempatkan menulis tanggapannya. Menurut dia, koresponden dari koran “terpenting kaum kapitalis” itu melaporkan situasi di Jawa: tentang kemunculan sebuah gerakan rakyat sejati yang berhimpun di dalam Partai Komunis Indonesia. Sneevliet juga menulis tentang kegagalan pemimpin Sarekat Islam memperluas gerakannya karena faktor “personal karakter”, sementara Boedi Oetomo malah berubah menjadi organisasi priayi Jawa. “Tapi PKI sebagian besar terdiri dari kaum pekerja. Ada ribuan buruh keretaapi, buruh pabrik, rakyat yang terhubung dengan proses industrialisasi,” tulis Sneevliet dalam konsep tulisan yang kini tersimpan di koleksi arsip Institut Internasional untuk Sejarah Sosial, Amsterdam.   Pengalaman beberapa organisasi di Hindia Belanda yang gagal memperluas gerakan dan meningkatkan partisipasi rakyat, dijawab oleh PKI dengan meradikalisasi massa dan memobilisasi mereka sebagai kekuatan revolusioner.   Sebelum adanya disiplin organisasi yang diberlakukan Haji Agus Salim pada 1921, massa pendukung PKI juga menjadi bagian keanggotaan Sarekat Islam. Setelah pemberlakukan dispilin itu, PKI menempuh jalannya sendiri, begitu pula Sarekat Islam.

  • Tanzania Pernah Tak Akui Soeharto Sebagai Presiden Indonesia

    PRESIDEN Sukarno mengangkat Moehammad Jasin sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh untuk Mesir. Namun, pimpinan Angkatan Darat memohon agar posisi tersebut diberikan kepada Letnan Jenderal Mokoginta. Pihak kepolisian tak keberatan. Sebagai gantinya, Jasin yang saat itu menjabat ketua umum DHN Angkatan ’45, ditempatkan sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh di Tanzania.

bottom of page