Hasil pencarian
9587 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Si Bantheng, Pengiring Diponegoro yang Paling Setia
SOSOKNYA agak samar tersaput tinta merah dalam lukisan koleksi Snouck Hurgronje, yang tersimpan di Universitas Leiden dengan codex 7398. Lukisan itu menggambarkan aktivitas Diponegoro beserta keluarganya di dalam benteng di Makassar (1833-1855). Dia sosok yang berdiri dekat Diponegoro, membantunya mengajarkan teks mistik Islam kepada putranya, Pangeran Ali Basah. Sosok yang tampil dengan figur berbeda: cebol, buncit, dan tak berbusana, itu adalah Banthengwareng. Banthengwareng (1810-1858) adalah pengiring (panakawan) Diponegoro yang paling setia. Dalam Babad Diponegoro (Manado) pada XXXVIII pupuh ( mijil ) 150, Banthengwareng disebut sebagai lare bajang , anak muda yang nakal dan bertubuh cebol. Menurut sejarawan Peter Carey, Banthengwareng kemungkinan turut dalam rombongan saat Diponegoro mendirikan markas besar pertama pada masa Perang Jawa, di Selarong, pengujung Juli 1825.Dia bergabung dengan pengiring lainnya: Sahiman alias Rujakbeling, Kasimun alias Wangsadikrama, Teplak alias Fikpak atau Rujakgadhung, dan Joyosuroto atau Roto. Sebagai pendamping yang paling intim, Banthengwareng bersama panakawan lainnya “memiliki gabungan peran; abdi pengiring, guru, penasihat, peramu obat, pembanyol, dan penafsir mimpi.” Di Selarong, Diponegoro semakin mempertebal mistik dan agamanya dengan berdiam diri di gua.Willem Andrian van Rees (1820-1898), perwira Belanda, melaporkan bahwa Diponegoro kerap ditemani pengikutnya yang paling intim ( panakawan ). Mereka tinggal di dalam gua, Guwo Secang, yang memiliki dapur. Para pengiring bertugas menyiapkan makan dan menemaninya selama puasa. Peran Banthengwareng sebagai pengiring yang setia mulai kentara, saat dirinya bersama Roto mendampingi Diponegoro, setelah lolos dari sergapan pasukan gerak cepat ke-11 di bawah komando A.V. Michiels, di wilayah pegunungan Gowong, sebelah barat Kedu, pada 11 November 1829.Diponegoro memutuskan berkelana masuk ke hutan-hutan wilayah barat Bagelen dengan hanya ditemani Banthengwareng dan Roto. Keadaan yang serba sulit itu dilukiskan dengan rinci oleh sejarawan militer Belanda, George Nypels dalam De Oorlog in Midden-Java van 1825 tot 1830 , bahwa Diponegoro bersama dua pengiringnya dalam keadaan serba kekurangan. Sering tidak mempunyai tempat berteduh dan tak cukup makanan. Diponegoro menderita luka di kakinya dan “mengidap sakit malaria yang membuat fisiknya sangat lemah,” tulis Nypels. Catatan militer Belanda lainnya, Pieter J.F. Louw dan Eduard Servaas de Klerck dalam De Java-Oorlog van 1825-1830 , menyebutkan bahwa Diponegoro berjalan terseret-seret karena kelelahan dan serangan malaria di sepanjang jalan setapak ke gubuk-gubuk petani. Di situ dia bersembunyi selama lebih dari tiga bulan, antara pertengahan November 1829 sampai pertengahan Februari 1830. Mereka menanggung derita itu dengan tabah hingga 9 Februari 1830, saat negosiasi Diponegoro dengan Kolonel Clerens dimulai. Ketika terjadi pertemuan yang berujung penangkapan Diponegoro pada 28 Maret 1830, Banthengwareng dan Roto hadir menunggu di halaman rumah residen Kedu. Kedua pengiring itu menemani di tiap jengkal perjalanan pengasingan Diponegoro (28 Maret-12 Juni 1830). Mereka hidup bersama Diponegoro dan keluarganya di tempat pembuangan, sekira tiga tahun di Manado. Pada 1839, Roto, terpaksa berpisah karena bergabung dengan Kiai Mojo ke Tondano, Sulawesi utara. Hanya Banthengwareng yang setia menemani Diponegoro ke Makassar, hingga akhir hayatnya. “Banthengwareng seringkali mengajar anak-anak Diponegoro selama berada di Makassar,” ungkap Peter Carey. Dia begitu dekat dengan Diponegoro bak keluarga sendiri. Banthengwareng memenuhi sumpah setianya hingga mati ( teguh pati ) untuk mengiringi dan mendampingi Diponegoro. Setelah Diponegoro wafat pada 8 Januari 1855, dua tahun kemudian Banthengwareng meninggal dan dikebumikan di Kampung Melayu, Makassar, di areal pemakaman Diponegoro. Makamnya berukuran laiknya bayi berumur enam tahun. Pusaranya dibelah dinding pemisah areal pemakaman keluarga Pangeran Diponegoro; setengah makamnya berada di areal pemakaman keluarga, setengah lagi berada di luar areal. "Ini menandakan bahwa Banthengwareng dianggap sebagai bagian dari keluarga Diponegoro, walaupun dia berasal dari kalangan bawah,” ujar Peter Carey.*
- Diponegoro, Ikon Perjuangan Kaum Pergerakan
SENIN, 8 Januari 1855, Pangeran Diponegoro wafat di benteng Rotterdam, Makassar. Secara resmi berita kematiannya dikeluarkan sebuah komisi beranggotakan J.G. Crudelbach (asisten residen), J.T. Lion (mayor infantri), dan F.A.M. Schnetz (perwira kesehatan kelas I). Sejak itu, tak pernah ada kabar tentang Diponegoro, baik tentang keluarga atau pengikutnya. Sekitar 20 tahun kemudian, muncul kabar tentang keturunan Diponegoro, meski bukan berita baik. Dipoatmodjo, cucu pangeran Diponegoro, ditangkap karena menjadi kepala perampok di wilayah Semarang pada September 1875. Belanda tak mengeksekusinya. Pejabat Belanda setempat menyatakan bahwa “seorang penduduk lokal, yang merupakan keturunan Pangeran Diponegoro, tidak harus mengakhiri hidupnya di tiang gantungan,” seperti dikutip dalam makalah Werner Kraus, “Diponegoro, Gerakan Nasionalis dan Seni”, yang didiskusikan di Galeri Nasional Jakarta (27/2). Setelah kematiannya, catat Werner Kraus, tidak ada perhatian terhadap Diponegoro dalam suratkabar nasional, kecuali tentang Dipoatmodjo. Memasuki awal abad ke-20, kesadaran nasional mulai bergeliat. Insulinde, organisasi lanjutan Indische Partij yang dilarang Belanda, berkongres di Semarang pada Maret 1913. Inilah kali pertama Diponegoro masuk panggung pergerakan. Rijken, anggota Insulinde dari Meester Cornelis (sekarang Jatinegara) Jakarta, menyampaikan pidato berjudul “Diponegoro sebagai Freedom Fighter”. Lima tahun kemudian, Insulinde kembali berkongres di Bandung. Kali ini Diponegoro dihadirkan dalam gambar potret. “Kita tidak tahu potret sejarah yang digunakan sebagai model. Apakah litografi setelah Bik? atau setelah de Steurs? atau menemukan poster dari seorang seniman tentang Diponegoro yang sama dengan dirinya sendiri?” tulis Kraus. F.V.H.A. de Steurs melukis litograf Diponegoro setelah penangkapannya pada 1830. Pada tahun yang sama, A.J. Bik juga menggambar litograf Diponegoro. Potret diri Diponegoro pun mulai diproduksi di mana-mana. Partai Komunis Indonesia (PKI) juga menempatkan Diponegoro sebagai simbol antiimperialisme. Henk Sneevliet, pembawa komunis ke Indonesia, menulis artikel tentang Revolusi Rusia di koran De Indier , 19 Maret 1917. Dalam artikelnya, tulis Werner Kraus, Sneevliet menyatakan bahwa orang-orang Jawa harus mengadopsi Diponegoro sebagai contoh yang ideal. Pada kongres PKI tahun 1921 di Semarang, potret diri Diponegoro bersanding bersama potret Karl Marx dan Rosa Luxemburg, di dinding aula tempat kongres digelar. Partai Nasional Indonesia (PNI) besutan Sukarno pun menjadikan Diponegoro sebagai ikon pergerakan. Dalam pertemuan Pemuda Indonesia, sayap organisasi pemuda PNI, pada 1928, nama Diponegoro dielu-elukan. Sukarno, dalam acara api unggun (kampvuurs) yang diselenggarakan gerakan kepanduan PNI di Bandung pada Februari 1929, mengatakan bahwa kisah hidup Diponegoro adalah cerita nasionalis yang heroik. Kemudian pada malam peringatan wafatnya Sun Yat Sen, gambar besar Diponegoro bersanding dengan gambar Sun Yat Sen di kantor PNI di Bandung. Golongan Islam tak ketinggalan. Dalam kongres Muhammadiyah ke-20 di Yogyakarta, 8-16 Mei 1931, gambar Diponegoro berdiri menunjuk Masjid Gede Yogyakarta. Di bawahnya tertulis huruf Arab: Hayya ‘alal falah yang berarti “mari menuju kemenangan.” “Potret dirinya yang tidak hanya di ruang kongres, tetapi juga dijual di pasar, untuk dipasang di ruang keluarga orang biasa. Indoktrinasi yang terus-menerus ini terbilang sukses,” tulis Kraus. Pemerintah kolonial di bawah Gubernur Jenderal de Jonge (1931-1936) bereaksi. Semua hal yang berbau Diponegoro dilarang. Dua guru Sarekat Rakyat (perubahan dari Sarekat Islam Merah) di daerah Salatiga dipecat karena di ruang kelasnya terdapat potret Sneevliet, Baars, Semaoen, Douwes Dekker, dan Diponegoro. Acara api unggun khas pemuda PNI juga dilarang. Apalagi peringatan Hari Diponegoro setiap 8 Februari. “Sampai dengan tahun 1945, gerakan nasionalis masih mempercayai bahwa diponegoro meninggal tanggal 8 Februari, bukan 8 Januari,” tulis Werner Kraus. “Diponegoro sebagai pahlawan nasional adalah penemuan awal nasionalis Indonesia.”*
- Detik-detik Menegangkan Saat Belanda Menjebak Diponegoro
MINGGU, 28 Maret 1830, sehari setelah Lebaran. Suasana Magelang, masih ramai. Ditambah lagi kedatangan panglima Perang Jawa, Diponegoro, ke Magelang untuk memenuhi undangan Hendrik Merkus Baron de Kock, panglima tentara Belanda dalam Perang Jawa. Diponegoro diringi pengikutnya dari Metesih ke tempat pertemuan di rumah residen Kedu. Tiga hari sebelumnya, de Kock memberikan perintah rahasia kepada dua orang perwira infanteri seniornya, Louis du Perron dan A.V. Michiels, agar mempersiapkan pasukannya ketika Diponegoro datang. Dengan demikian, menurut sejarawan Peter Carey, tentara harus tetap siaga di tangsi-tangsi mereka dan kuda kavaleri sudah dipasang pelana, sehingga begitu perintah pertama dikeluarkan, semua anggota tentara sudah dapat langsung berkumpul dengan senjata lengkap. De Kock didampingi Residen Kedu Valck, Letkol Roest (seorang perwira de Kock), Mayor F.V.H.A. de Stuers dan penerjemah bahasa Jawa, Kapten J.J. Roefs. Sementara Diponegoro didampingi tiga putranya, penasihat agama, dua punakawan, dan panglimanya, Basah Mertanegara. “Sebaiknya Tuan tidak usah kembali ke Metesih, tinggal di sini saja bersama saya,” ucap de Kock membuka percakapan. “Mengapa saya tidak diizinkan untuk kembali? Apa yang harus saya lakukan di sini? Saya hanya datang untuk beramah-tamah, seperti kebanyakan orang Jawa setelah akhir bulan puasa,” jawab Diponegoro, seperti ditulis Peter Carey dalam Raden Saleh: Anak Belanda, Mooi Indie dan Nasionalisme . De Kock mulai serius. “Saya akan menahanmu supaya masalah selama ini lekas selesai”. Suasana mulai berubah. Semua yang hadir tegang. “Ada masalah apa Jenderal? Sesungguhnya, saya tidak merasa ada masalah, saya juga tidak menaruh benci kepada siapapun,” sahut Diponegoro. Mertanegara menyela supaya masalah politik bisa diselesaikan lain waktu. “Tidak! Terserah pangeran setuju atau tidak, saya akan menuntaskan masalah politik hari ini juga!” potong de Kock dengan nada tinggi. “Heh Jenderal, kamu sangat jahat. Buru-buru memutuskan dan tidak dibicarakan selama bulan puasa. Hatimu busuk, jika tahu begini aku tidak akan membiarkan dua utusanmu (Clerens dan Ali Basah) ke Bagelen,” balas Diponegoro. Diponegoro lalu menjelaskan bahwa dirinya tidak memiliki keinginan lain, kecuali kepala agama Islam di Jawa dan gelarnya sebagai sultan. Namun, de Kock meminta Roest untuk memerintahkan du Perron menyiapkan pasukan. “Jika begini situasinya, ini karena sifat jahatmu. Saya tidak takut mati! Sekarang tidak ada lagi tersisa kecuali dibunuh. Saya tidak bermaksud menghindarinya,” ucap Diponegoro. De Kock terhenyak mendengar ucapan Diponegoro. Wajahnya tertunduk. “Memang Tuan, saya tidak ada niatan membunuhmu. Tetapi tidak tepat memenuhi semua keinginanmu di sini,” jawabnya lirih. Diponegoro cepat mengendalikan diri. “Jadi Diponegoro pernah berdebat dalam diri sendiri apakah patut dia menghunus keris dan membunuh Jenderal de Kock tapi pada akhirnya merasa bahwa itu tidak patut dan layak bahwa seorang pangeran keraton Yogya merendahkan diri dan bertindak seperti orang pengamuk, jadi dia pasrah saja kepada takdir,” tulis Peter Carey dalam surelnya kepada Historia . Diponegoro pun menghampiri beberapa pengikutnya. Semua tertunduk. Dia lalu mengambil secangkir teh, meminumnya, kemudian beranjak keluar. Kereta kuda residen yang telah dipersiapkan di depan rumah segera membawa Diponegoro menuju tanah pengasingan.*
- Kajian Ilmuwan Jinakkan Diponegoro
GERAH melihat ulah Belanda dan gaya hidup ala Barat di Kesultanan Yogyakarta, Diponegoro menyingkir. Selain menggalang kekuatan, dia mempersiapkan kebutuhan logistik. Salah satunya dengan memborong persediaan beras di pasar-pasar di daerah Kedu dan Yogyakarta. Karena menolak bertanggungjawab, Residen Yogyakarta Smissaert memerintahkan pasukannya menyerang dan membakar markas Diponegoro di Tegalrejo pada 21 Juli 1825. Tiga minggu kemudian, Diponegoro membalas dan menyerang Yogyakarta. Perang Jawa pun pecah. Menurut Saleh A. Djamhari, dosen sejarah Universitas Indonesia, dalam kurun 1825-1826, unggul jumlah pasukan, Diponegoro mengandalkan taktik ofensif. Namun, setelah pertempuran di Gawok, strategi ini tak lagi dipertahankan. Sebaliknya, karena jumlah pasukannya terbatas, Jenderal de Kock mengunggulkan strategi mobilitas melalui operasi pengejaran. Strategi ini berakibat fatal. Banyak prajuritnya tewas; bukan karena bertempur tapi kelelahan, sakit karena epidemi, cuaca buruk, dan medan yang berat. “Berdasarkan pengalaman tersebut pada 1827 Jenderal de Kock memperkenalkan strategi baru yang dikenal dengan Stelsel Benteng,” kata Saleh dalam diskusi bukunya Strategi Menjinakan Diponegoro, Stelsel Benteng 1827-1830 di Freedom Institute, Jakarta, pada 27 Agustus lalu. Dengan strategi ini, di setiap wilayah yang berhasil dikuasai, Belanda membangun benteng pertahanan; kemudian infrastruktur yang menghubungkan setiap benteng. Peter Carey, sejarawan dari Trinity College Oxford, mengatakan Stelsel Benteng merupakan kunci sukses de Kock melawan Diponegoro. Dari Mei 1827 sampai Maret 1830, de Kock membangun sekira 258 benteng –Saleh menyebut 265 benteng– di seluruh Jawa tengah dan timur, terbanyak (90 benteng) dibangun pada 1828. “Benteng Stelsel dirintis perwira kepala zeni, Kolonel Cochius, yang jauh sebelum Perang Jawa memiliki keahlian membangun sistem perbentengan semacam itu,” kata Carey. Stelsel Benteng mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro. Perlahan moril pasukan turun. “Karena itu banyak di antara pasukan Diponegoro yang terpaksa menyerah,” ujar Saleh. Bahkan Sentot Alibasah, panglima pasukan Diponegoro, menyerah kepada Kolonel Cochius pada Oktober 1829. Menurut Saleh, selama perang, peranan para ilmuwan jarang disebut. Misalnya, De Kock mengerahkan beberapa ahli yang dipimpin Rooda van Eisinga untuk melakukan kajian budaya, terutama watak dan karakter bangsawan Jawa serta nilai-nilai yang dianutnya. Hasil kajian itu memberikan kontribusi penting bagi proses pengambilan keputusan dan perlakuan terhadap Diponegoro. Tatkala menerima laporan keberadaan Diponegoro dan sisa pasukannya di hutan Remojatinegara, de Kock mengambil keputusan yang tak pernah diperkirakan bawahannya. Dia memerintahkan Kolonel Cleerens untuk membujuk Diponegoro agar mau berunding. Jawaban ya dari Diponegoro sudah cukup bagi de Kock. Dengan satu kata ya , de Kock telah memenangi peperangan dan menaklukkan orang Jawa tanpa merendahkan martabatnya. “Kesuksesan misi Cleerens membawa Diponegoro ke Magelang,” kata Saleh, “merupakan salah satu sukses kajian budaya dalam rangka Stelsel Bentang sebagai sistem senjata.” Perundingan berakhir dengan penangkapan Diponegoro pada 28 Maret 1830. Dia diasingkan ke Manado selama tiga tahun, lalu ke Makassar sampai kematiannya pada 8 Januari 1855.*
- Riwayat Sawo Kecik Pengikut Diponegoro
SETELAH Diponegoro ditangkap pada 28 Maret 1830, yang menandai berakhirnya Perang Jawa (1825-1830), pasukannya bercerai-berai. Untuk mengenali satu sama lain, mereka membuat kode khusus: menanam sawo kecik di kanan-kiri rumah mereka. Selain sawo kecik, ada juga yang menanam kemuning dan kepel atau burahol. “Mereka hingga hari ini masih merasa pengikut Diponegoro. Sawo kecik, menurut mereka, merupakan representasi sang pangeran. Sebab, pohon sawo kecik dulu sangat banyak di Tegalrejo,” ujar FX Domini BB Hera, kerap dipanggil Sisco, keturunan eks pasukan Diponegoro yang menyingkir ke Ngantang, perbatasan Blitar-Kediri, kepada Historia . Bukan hanya sebagai kode rahasia, lanjut Sisco yang sedang menempuh pendidikan master ilmu sejarah di UGM, para pengikut Diponegoro mempercayai sawo kecik akan mendatangkan kebaikan bagi penanamnya. Bagi orang Jawa, sawo kecik memiliki arti sarwa becik atau serba baik. Keraton-keraton pecahan Kerajaan Mataram, seperti Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, menanam sawo kecik. Kedudukannya sejajar dengan pohon beringin, asam, dan gayam. Pakubuwana X (memerintah 1893-1939) menanam 76 sawo kecik di lingkungan Kasunanan Surakarta. Sawo kecik juga banyak ditemukan di Kesultanan Yogyakarta. Pada masa revolusi kemerdekaan, pohon sawo kecik di belakang keraton Yogyakarta menjadi tempat berkumpul para pejuang. Menurut Hardi, salah satu tokoh Partai Nasional Indonesia dan pernah menjabat wakil perdana menteri I, jika hendak melapor Sultan Hamengkubuwana IX di keraton, para pejuang menyamar sebagai abdi dalem dengan berpakaian Jawa, lalu berkumpul di bawah pohon sawo kecik di belakang keraton. “Jika suasana dianggap aman dari incaran intelijen Belanda, baru kami buru-buru masuk keraton,” kata Hardi dalam Api Nasionalisme: Cuplikan Pengalaman . Sawo kecik memiliki kisah sendiri jelang kematian Sultan Hamengkubuwana IX. Pada 30 September 1988, keraton Yogyakarta kedatangan Kanselir Jerman Barat, Helmut Kohl. Dua putra sultan, Hadiwinoto dan Joyokusumo, bersama Poeroeboyo, kakak Sultan Hamengkubuwono IX, menerima tamu itu mewakili sultan yang sedang berobat ke Amerika Serikat. Ketika Helmut Kohl sedang melihat koleksi keraton, tiba-tiba datang beberapa ekor burung gagak dan hinggap di pohon sawo kecik di halaman keraton. “Burung gagak itu nganeh-anehi . Biasanya kalau demikian, akan terjadi sesuatu,” kata Hadiwinoto dalam Sri Sultan, Hari-hari Hamengku Buwono IX . Menurut kepercayaan orang Jawa, jika di sekitar rumah kedatangan gagak, burung pemakan bangkai, tidak lama lagi akan ada orang yang meninggal. Benar saja, Sultan Hamengkubuwono IX mangkat di rumah sakit George Washington University, Amerika serikat, pada 3 Oktober 1988. Selain bermakna filosofis, pohon sawo kecik juga bernilai guna tinggi. Para empu sering membuat pegangan keris dari kayu sawo kecik karena keras, tak mudah retak, berwarna merah kecoklatan, dan seratnya halus.*
- Roto, Jenaka Pengiring Diponegoro
SOSOK itu berdiri di pilar bagian barat pada lukisan berjudul “Penangkapan Pemimpin Jawa Diponegoro” karya Raden Saleh. Keberadaannya tersembunyi di belakang seorang pasukan Belanda yang memegang senapan. Tampak hanya kepala yang menoleh ke arah timur laut, menyorot sang tokoh sentral, Pangeran Diponegoro. Dia berada dekat sang pangeran yang dikerumuni petinggi militer Belanda di pelataran wisma residen Kedu. Sosok tak bersorban itu adalah Joyosuroto atau kerap disapa Roto, salah satu pengiring atau panakawan Diponegoro. Sebagai pendamping yang paling intim, dia bersama panakawan lainnya “memiliki gabungan peran; abdi pengiring, guru, penasihat, peramu obat, pembanyol, dan penafsir mimpi,” tulis Peter Carey, sejarawan Trinity College, Oxford, dalam “A Mischievous Young Rogue and a Dwarf; Reflections on The Role of The Panakawan in The Age of Prince Diponegoro (1785-1855).” Roto seorang warga desa sekitar Tegalrejo yang bergabung dengan Diponegoro tatkala menghimpun kekuatan di Tegalrejo, sebelum perang Jawa berkecamuk. Dia bergabung dengan pengiring lainnya guna mempersiapkan keperluan Diponegoro. Mereka disebut dalam Babad Dipanegara sebagai bocah becik (anak baik). Dari Tegalrejo, rombongan bertolak ke daerah perbukitan wilayah Selarong pada 1825. Di sana Diponegoro semakin mendalami mistik dan agamanya. Berangkat pergi ziarah dan tinggal di gua-gua. Willem Andrian van Rees (1820-1898), perwira Belanda, melaporkan bahwa Diponegoro kerap ditemani pengikutnya yang paling intim ( panakawan ). Mereka tinggal di dalam gua, Guwo Secang, yang memiliki dapur. “Bisa diduga di sanalah panakawan- nya mempersiapkan makan untuk Diponegoro dan menemaninya selama puasa,” ungkap Peter Carey. Keintiman sang pangeran dan panakawan berubah kala perang Jawa pecah dan Diponegoro mulai menerapkan tata pemerintahan keraton pada rombongannya (Oktober 1825 di Selarong dan November 1825-Agustus 1826 di Kemusuk, wilayah Kulon Progo). Panakawan tak lagi jadi karib tunggal Diponegoro. Hubungan itu kembali intim pada saat posisi Diponegoro semakin melemah. Dalam Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855 , Peter Carey menjelaskan bahwa keadaan itu bermula dari pecahnya hubungan Diponegoro dengan Kiai Mojo yang bersedia berunding dengan Belanda. Keadaan itu diperburuk dengan gugurnya panglima senior, Raden Ngabehi, beserta dua anaknya, dalam pertempuran sengit di perbatasan Bagelen-Mataram pada 21 September 1829. Tak lama setelah itu, pada 11 November 1829, pasukan gerak cepat ke-11 di bawah komando AV Michiels nyaris menangkap Diponegoro. Dia berhasil lolos dan masuk ke hutan di sebelah barat Bagelen, dengan hanya ditemani dua panakawan: Roto dan Bantengwareng. Pengembaraannya di dalam hutan begitu berat. Diponegoro berpindah-pindah ke gubug petani dalam kelelahan dan sakit malaria. Kedua panakawan mengurangi deritanya. Roto mencoba menghibur sang pangeran dengan banyolan dan tingkah lakunya yang lucu. Dia seorang penghibur dan sosok yang pandai berkisah. Dari semua panakawan , Roto adalah pengiring yang berbagi setiap tahap perjalanan Diponegoro di sisa perjalanannya sebagai tahanan menuju pembuangan. Saat di atas kereta residen Kedu menuju perbatasan Semarang, Roto bertugas membawa kotak sirih, suatu tugas pengabdian seorang abdi kepada sang raja. Tiba di semarang, Diponegoro tinggal selama seminggu di wisma residen Bojong, Semarang. “Dia bertugas menjaga sang pangeran di waktu malam. Tidur di luar pintu, memastikan sang pangeran tidak terganggu dalam menjalani ritual di malam hari,” tulis Peter Carey. Setiap hari Diponegoro makan di meja residen. Dia mulai menyukai roti putih yang baru dipanggang dan kentang walanda . Roto membuat plesetan terkait “kentang walanda menjadi kentang sabrang yang akan menjadi makanan sehari-hari selama pelayaran ke Manado,” ungkap Peter Carey. Roto tidak menyertai Diponegoro hingga ke pembuangan di Manado. Dia dikirim pemerintah Belanda ke Tondano, Sulawesi Utara, bergabung dengan Kiai Mojo pada Juni 1839. Roto pun tak berada di sisi Diponegoro pada akhir hayatnya.*
- Menghidupkan Pangeran Diponegoro
PADA 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro ditangkap Jenderal de Kock di Magelang. 27 tahun kemudian, pelukis Raden Saleh Syarif Bustaman (1807/1811-1880) melukiskan kisah penangkapan itu: Diponegoro yang berdiri dikelilingi pengiringnya mendongakkan kepalanya ke arah pejabat Belanda. Menurut kurator Jim Supangkat, lukisan Penangkapan Diponegoro yang dihadiahkan kepada Raja Belanda, Willem III, mengandung kritik tersembunyi tentang politik kolonial yang tidak etis atas penangkapan Diponegoro. Lukisan tersebut dikembalikan kepada pemerintah Indonesia pada 1979. Lukisan ini direstorasi oleh studio konservasi seni GRUPPE Köln di Cologne, Jerman, di bawah pimpinan Susanne Erhard. Sebelum direstorasi, lukisan tersebut dalam keadaan kusam dan beberapa cat mengelupas. “Bahkan suatu ketika cat yang mengelupas ini pernah dicat kembali secara serampangan oleh kurator istana,” kata Jim Supangkat dalam konferensi pers pameran “Aku Diponegoro: Sang Pangeran dalam Ingatan Bangsa dari Raden Saleh hingga Kini”, di Galeri Nasional Indonesia, Gambir, Jakarta Pusat (6/1). Penangkapan Diponegoro merupakan salah satu lukisan yang akan dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia di Jl. Medan Merdeka Timur No 14 Gambir, Jakarta Pusat, pada 6 Februari-8 Maret 2015. Pameran ini merupakan kelanjutan dari pameran “Raden Saleh dan Awal Lukisan Indonesia Modern” pada 2012. Pameran kali ini dibagi tiga bagian, masing-masing menampilkan pendekatan tersendiri terhadap sosok Diponegoro. Selain lukisan Penangkapan Diponegoro , ditampilkan juga sejumlah lukisan potret Diponegoro karya seniman ternama Indonesia seperti Soedjono Abdullah, Harijadi Sumodidjojo, Basuki Abdullah, Sudjojono, dan Hendra Gunawan. “Lukisan penting ini harus dianggap sebagai Diponegoro an-sich (Diponegoro klasik), karena lukisan tersebut telah banyak disebarluaskan dan digunakan sebagai model untuk hampir semua peringatan Diponegoro di Indonesia,” ujar kurator dan antropolog Werner Kraus dalam keterangan tertulisnya. Bagian kedua dipamerkan karya-karya para seniman seperti Srihadi Soedarsono, Heri Dono, Nasirun, dan Entang Wiharso yang memberikan pendekatan kontemporer kepada sosok Diponegoro. “Paling tidak akan ada 20 karya yang akan ditampilkan. Beberapa masih dalam proses negosiasi peminjaman baik ke beberapa kolektor atau kepada pemerintah,” kata Jim Supangkat. Bagian ketiga menghadirkan karya-karya seni low art (seni keseharian atau seni rakyat/populer) yang berkaitan dengan Diponegoro seperti fotografi, lukisan pada kaca, patung kayu, kartu, lukisan batik, komik, t-shirt , poster-poster politis, dan uang. “Dengan demikian,” tulis Kraus, “kami menantang tradisi yang cenderung menciptakan jurang pemisah antara seni ‘kelas tinggi’ dan ‘sehari-hari’.” Pameran ini juga akan menayangkan dokumentasi foto dan video restorasi lukisan Penangkapan Diponegoro . “Juga akan diadakan semacam workshop singkat mengenai teknik restorasi lukisan saat pameran digelar,” ujar Rizki Lazuardi, manajer teknis pameran dari Goethe Institute. Pameran ini menjadi lebih menarik karena ada ruangan untuk memamerkan artefak peninggalan Diponegoro: jubah putih, pakaian khas saat berperang, tombak pusaka, pelana kuda, tempat tidur, dan kursi yang dipakai di rumah residen Kedu. “Kami menganggap ruangan ini sebagai pusat spiritual pameran,” tulis Kraus. Sejarawan sekaligus kurator Peter Carey mengatakan, dengan pameran ini tugasnya sudah sampai ke “ujung jalan.” “Pameran ini akan menjadi tindakan publik terakhir saya sehubungan dengan panggilan saya sebagai penulis biografi Sang Pengaran,” kata Carey yang menghabiskan separuh hidupnya untuk meneliti dan menulis sejarah Diponegoro. Carey menilai pameran ini berhasil “jika dapat menghidupkan bahkan sebagian kecil dari kemanusiaan dan kearifan Diponegoro dan cara bagaimana karakter Sang Pangeran diingati oleh rakyat kebanyakan sepanjang abad sesudah wafatnya pada 8 Januari 1855.”*
- Kembara Pusaka Diponegoro
TEPAT di hari ulang tahun ke-44 pada 11 November 1829, Pangeran Diponegoro disergap pasukan gerak cepat ke-11 yang dipimpin Mayor A.V. Michiels, di wilayah pegunungan Gowong, sebelah barat Kedu. Diponegoro hampir tertangkap, namun berhasil lolos dari kejaran, walaupun kakinya terluka. Namun beberapa barang miliknya tertinggal: kuda, peti pakaian, dan yang terpenting pusakanya yaitu tombak Kiai Rondhan. Tombak Kiai Rondhan memiliki panjang 54 cm. Batangnya berbahan kayu, berbentuk silinder yang mengecil hingga ke leher tombak. Terdapat lempeng emas melingkar yang memisahkan bahan kayu dan lilitan kawat sampai ke leher tombak yang berhias dua batu mulia (semula empat buah) dan dibalut ukiran emas. Bilah tombaknya berbentuk segitiga dengan bahan besi. “Dipanegara percaya bahwa tombak Kiai Rondhan menolak bala,” kata Peter Carey, adjunct professor (guru besar tamu) Program Studi Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Kehilangan tombak pusaka memberinya isyarat akan timbul kesulitan dan bahaya. Setelah penyergapan itu, Diponegoro mengembara di hutan wilayah Bagelen barat dengan ditemani pengiring setianya (panakawan) , Joyosuroto atau Roto dan Bantengwareng. Hingga akhir hayatnya pada 8 Januari 1855, Diponegoro tak pernah berjumpa lagi dengan tombak pusakanya. “Justru pusaka lainnya, keris Kiai Bondoyudo, yang dibawa oleh Diponegoro ke Manado dikubur bersamanya menurut tradisi keluarga di Makassar,” ujar Carey. Tombak Kiai Rondhan beserta pelana kuda dan keris berjuluk Kiai Nogosiluman dikirim ke Belanda dan dipersembahkan kepada Raja Willem I (bertahta 1813-1840) sebagai “trofi perang”. Pusaka itu disimpan di Koniklijk Kabinet van Zeldzaamheden atau kabinet kerajaan untuk barang antik di istana Den Haag. Menurut Carey, Raden Saleh yang kala itu magang sebagai pelukis di Belanda (1830-1839) diutus untuk membuat deskripsi pusaka Diponegoro oleh R.P. van de Kasteele, kepala Koniklijk Kabinet van Zeldzaamheden , pada Januari 1831. Raden Saleh bertemu dengan keris Kiai Nogo Siluman yang diambil pasukan Belanda saat penangkapan Diponegoro di Magelang. Beberapa tahun setelahnya, keris Kiai Nogosiluman raib secara misterius, sedangkan pusaka lainnya dikembalikan ke Indonesia. Tombak Kiai Rondhan, pelana kuda, dan lukisan Raden Saleh berjudul “Penangkapan Pemimipin Jawa Diponegoro” (1857), yang tersimpan di Museum Veteran Tentara Belanda di Bronbeek, Arnhem, dikembalikan oleh Ratu Juliana (bertakhta 1948-1980) kepada pemerintah Indonesia pada 1976 di bawah ketentuan "Cultural Accord" yang ditandatangani pada 1969. Setahun kemudian diselenggarakan pameran di Museum Gajah (kini Museum Nasional). Hingga kini, tombak Kiai Rondhan tersimpan di Museum Nasional sebagai peninggalan Pangeran Diponegoro atau koleksi relik sejarah dengan nomor inventaris 270 dan pelana kuda yang kondisinya telah rapuh (nomor inventaris 271). Sementar lukisan “Penangkapan Pemimpin Jawa Diponegoro” menjadi koleksi Istana Kepresidenan di Jakarta, kemudian dipindahkan ke Istana Kepresidenan Gedung Agung di Yogyakarta. Satu lagi tongkat pusaka Diponegoro kembali ke Indonesia setelah lebih dari 183 tahun disimpan oleh keluarga Baud di Belanda. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan menerima tongkat Kiai Cokro dari keturunan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jean Chretian Baud (menjabat 1833–1836) saat pameran "Aku Diponegoro" di Galeri Nasional pada 6 Februari 2015. Lima tahun kemudian, Presiden Joko Widodo menerima keris Kiai Nogo Siluman milik Diponegoro yang diserahkan Raja Belanda Willem Alexander di Istana Bogor pada 10 Maret 2020.* Tulisan ini diperbarui pada 21 Juni 2023
- Restorasi Lukisan Penangkapan Diponegoro
SEJAK diselesaikan Raden Saleh tahun 1857, lukisan “Penangkapan Diponegoro” menetap di negeri Belanda. Baru 116 tahun kemudian lukisan ini diserahkan kepada pemerintah Indonesia dan tersimpan di Istana Negara, Jakarta. “Di istana, lukisan Raden Saleh ini diletakkan di tempat yang tidak layak untuk ukuran lukisan masterpice ,” ujar Catrini Pratihari Kubontubuh, direktur eksekutif Yayasan Arsari Djojohadikusumo. Di negeri sendiri, lukisan “Penangkapan Diponegoro” justru mengalami nasib tragis: rusak karena usia dan perlakuan salah dari kurator istana. Restorasi lukisan “Penangkapan Diponegoro” baru bisa dilakukan pada 2012 oleh Susanne Erhards dari Jerman. Restorasi ini dilakukan dengan menghilangkan lapisan vernis yang sudah kusam dan memperbaiki kembali tambalan yang dilakukan kurator istana. Susanne bertindak layaknya dokter, lengkap dengan baju putih panjang dan semacam kaca pembesar yang dipasang di kepala. Dia dengan tekun membersihkan vernis dengan zat pelarut inci demi inci. Ketika vernis terangkat, warna asli pun mulai tampak. Detail pola batik yang dipakai pengikut Diponegoro juga muncul. Selain mengangkat vernis, Susanne berusaha mengangkat lapisan cat untuk menutup kerusakan yang dilakukan kurator istana. Cat baru ini terletak di bagian pohon kelapa dan hanya bisa dilihat dengan bantuan sinar ultraviolet. “Ada kerusakan sepanjang satu sentimeter dan lebar satu milimeter, namun ukuran bagian yang ditimpa lebih besar sekitar lima kali sepuluh sentimeter. Catnya tidak bisa diangkat hanya dengan cat pelarut, sehingga harus dikupas dengan pisau bedah,” terang Susanne dalam dokumentasi tentang restorasi lukisan “Penangkapan Diponegoro” yang berdurasi sekira 12 menit. Akhirnya kerusakan asli pun tampak. Dalam film itu terlihat Susanne menambahkan cat dasar untuk menambal lapisan yang rusak. Sementara untuk melakukan tusir, Susanne cukup menggunakan cat air saja. Dengan cat air, kelak jika ada pihak yang akan melakukan restorasi terhadap lukisan tersebut, pekerjaan akan menjadi lebih mudah. Susanne memberikan resep bahwa untuk melakukan konservasi dan restorasi lukisan, harus mengunakan bahan yang berbeda dari cat aslinya. Apa yang dikerjakan Susanne bisa dinikmati dalam gelaran pameran “Aku Diponegoro: Sang Pangeran dalam Ingatan Bangsa”, 6 Februari hingga 8 Maret 2015 di Galeri Nasional, Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat. Seperti tak ingin mengulangi kesalahan pengelola lukisan istana, Susanne akan memberikan pelatihan gratis untuk orang-orang yang bergelut dengan restorasi lukisan pada 7-8 Februari 2015 di Galeri Nasional. Materi pelatihan berisi pencegahan kerusakan, teknik restorasi, dan perawatan pascarestorasi. “Ke depan akan direncanakan restorasi lukisan tradisional Kamasan dari Bali,” pungkas Ari, panggilan akrab Catrini Pratihari Kubontubuh.*
- Kopi Jawa Bikin Kecanduan Orang Eropa
JIKA berkunjung ke Cianjur, anda akan menemukan tempat bernama Salakopi (ada juga yang bilang Selakopi). Kawasan yang masuk wilayah kota ini termasuk salah satu pusat keramaian. Ada mal besar dan kafe-kafe yang setiap harinya dipenuhi muda-mudi. “Salakopi memang tempat yang nyaman buat kongkow-kongkow sambil ngopi,” ujar Adam (31), anak muda Cianjur. Namun, tak banyak orang Cianjur tahu mengapa tempat tersebut bernama Salakopi. Seorang sepuh bernama Ohim (74) yang agak paham cikal bakal nama itu. Menurutnya, saat muda dia kerap mendengar bahwa zaman baheula , Salakopi merupakan hamparan kebun kopi produktif. “Nama Salakopi itu sendiri katanya berasal dari dua kata: sela dan kopi, artinya di sela-sela tumbuhan kopi,” ungkap kakek lima cucu ini. Bisa jadi keterangan Ohim itu bukan isapan jempol. Sebab, menurut sejarawan Jan Breman, Cianjur merupakan pemasok kopi terbesar untuk VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur) pada awal abad ke-18. Bahkan pada 1711, Bupati Wiratanu III dari Cianjur merupakan penguasa lokal pertama di Priangan yang menyetor hampir seratus pikul kopi kepada VOC. “Harga yang dia peroleh dari VOC adalah 50 gulden per pikul (satu pikulan = 125 pon),” tulis Breman dalam Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870. Pasokan kopi semakin melimpah saat VOC memberlakukan sistem tanam paksa dalam nama Preanger Stelsel (Sistem Priangan) pada 1720. Itu terjadi karena “jasa” para bangsawan lokal (menak dan santana) yang menekan masyarakat untuk menjual produk mereka hanya kepada VOC dengan harga murah. Menurut Gunawan Yusuf dalam Sejarah Cianjur Bagian 7 , di bawah pengendalian Wiratanu III, pada 1724, Cianjur bahkan pernah memanen kopi sebanyak 1.216.257 pikul (setara dengan harga 202.271,25 ringgit). Jumlah yang sangat fantastik saat itu. “Setengah hingga tiga perempat perdagangan kopi dunia berasal dari VOC dan jumlah itu setengahnya dihasilkan dari Priangan bagian barat, yakni Kabupaten Cianjur,” tulis G.J. Knaap dalam Coffee for Cash. Terlebih, menurut sejarawan Saleh Danasasmita, kopi asal Priangan (baca: Cianjur) memiliki kualitas terbaik hingga menjadi andalan VOC di pasaran dunia. Akibatnya, kas keuangan pemerintah Hindia Belanda jaman Herman Willem Daendels pernah surplus. “Karena kopi Priangan pula Belanda sempat menyebut kawasan tersebut sebagai gabus pelampung Belanda di tanah Hindia,” tulis Saleh dalam Sejarah Bogor Bagian I . Keuntungan yang diraih VOC berbanding lurus dengan “percikan laba” yang didapat para bangsawan. Sebagai contoh, Breman mengungkapkan bahwa pada 1726 saat Wiratanu III meninggal, Bupati Cianjur ke-3 itu masih berhak mendapat 26.000 ringgit gulden ditambah bunga atas jumlah itu. Sejarawan C.R. Boxer dalam Jan Kompeni: Sejarah VOC dalam Perang dan Damai , menyebut sekitar empat sampai enam juta pon kopi diangkut dari Priangan menuju Belanda pada 1730. VOC sendiri tidak kesulitan dalam memasarkan bijih hitam, yang mereka sebut sebagai “kopi Jawa”, ke Eropa. Begitu populernya “kopi Jawa” di Eropa, hingga seorang pendeta, Francois Valentijn, mengeluhkan kecanduan orang-orang Eropa terhadap benda hitam dari Hindia itu. “Dia mengeluh bahwa kopi Jawa sudah menjadi begitu umum disukai hingga pelayan-pelayan wanita serta penjahit tidak mau bekerja sebelum menikmati cairan hitam tersebut,” tulis Boxer.*
- Jaksa IPT 1965: Negara Indonesia Harus Bertanggungjawab
LIMA puluh tahun lalu periode tergelap dalam sejarah Indonesia dimulai dengan pembunuhan ratusan ribu warga tak berdosa, penahanan ribuan orang, penyiksaan, penghilangan paksa, kekerasan seksual dan berbagai kejahatan di luar hukum lainnya, demikian dikatakan oleh Nursyahbani Katjasungkana, kordinator Pengadilan Rakyat Internasional kasus 1965 di Den Haag, Belanda dalam pidatonya pagi ini. “Tidak hanya kejahatan terhadap kemanusiaan yang pernah terjadi, korban dan aktivis HAM pun mendapatkan gangguan. Kekerasan tetap berlanjut, bahkan aktivis HAM saat ini dituduh sebagai bagian dari gerakan komunisme gaya baru,” ujar Nursyahbani. Rangkaian persidangan dimulai dengan pembacaan dakwaan oleh Jaksa yang dipimpin oleh advokat senior Todung Mulya Lubis. Dalam pembacaan dakwaannya, jaksa menuntut Negara Indonesia bertanggungjawab atas kejahatan dan kekerasan kemanusiaan yang diatur dalam hukum internasional. Menurut jaksa, Negara Indonesia, khususnya Angkatan Darat di bawah Jenderal Soeharto (kemudian presiden), berperan sebagaimana halnya pemerintah yang berkuasa saat itu melakukan kejahatan kemanusiaan dengan menggunakan milisi sipil. Negara Indonesia, dalam hal ini Angkatan Darat dan milisi sipil yang berada di bawah perintahnya, menurut jaksa telah melakukan pembunuhan terhadap ratusan ribu anggota dan simpatisan PKI, pemenjaraan di luar hukum, penangkapan paksa, penghilangan paksa, penyiksaan dan juga kekerasan seksual. Ada sembilan kejahatan yang dijadikan tuntutan jaksa kepada pihak Negara Indonesia, yakni pembunuhan, perbudakan (kerja paksa), pemenjaraan, penyiksaan, kekerasan seksual, penganiayaan ( persecution ) terhadap mereka yang dicabut kewarganegaraannya, penghilangan paksa, penganiayaan melalui propanda dalam penulisan sejarah, penguasaan informasi di media massa seperti film. Jaksa juga menuntut Amerika Serikat, Inggris dan Australia atas keterlibatan mereka baik secara langsung maupun tidak atas berbagai kejahatan kemanusiaan yang pernah terjadi di Indonesia pada kurun 1965-1966. Sampai dengan berita ini diturunkan, jalannya persidangan masih berlangsung untuk mendengarkan kesaksian para saksi yang datang dari kalangan peneliti dan saksi korban. Sidang yang dipimpin oleh Zak Yacoob ini akan digelar sampai 13 November mendatang. Zak adalah mantan hakim Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan yang berpengalaman menangani berbagai isu kemanusiaan di negerinya dan memiliki reputasi internasional.*
- Maria Ullfah, Advokat Kaum Perempuan
MARIA Ullfah lahir di Serang, Banten pada 18 Agustus 1911. Ayahnya, RAA Mohammad Achmad bekerja sebagai Bupati Kuningan, setelah sebelumnya sempat bertugas sebagai amtenar di Serang, di Rangkasbitung dan kemudian jadi bupati Meester (kini Jatinegara) di Batavia. Ibu kandungnya, RA. Hadidjah Djajadiningrat, anak kelima Raden Bagoes Djajawinata, Wedana Kramatwatu dan Bupati Serang. Masa kecil Maria dilewati di Serang, Banten. Maria mulai masuk sekolah dasar di Rangkasbitung, mengikuti ayahnya yang bekerja di kota yang menjadi latar belakang kisah roman Max Havelaar itu. Tak lama tinggal di Rangkasbitung, Mohammad Achmad pindah ke Batavia, di mana dia bertugas sebagai Patih di Meester (kini Jatinegara), yang dulu masih termasuk wilayah administrasi Provinsi Jawa Barat. Maria ikut pindah ke Batavia. Pada 1929 Mohammad Achmad memperoleh kesempatan belajar perkoperasian di Den Haag, Belanda. Dia mengajak ketiga anaknya. Kebetulan saat itu tiba waktunya bagi Maria untuk melanjutkan pendidikannya. Atas izin ayahnya dan pilihan Maria sendiri, dia mendaftar ke Fakultas Hukum di Universiteit Leiden. Kelak Maria menjadi sarjana hukum perempuan pertama dari Indonesia. Aktivitasnya di dalam dunia pergerakan politik dimulai saat dia bertemu Sjahrir, tokoh sosialis terkemuka yang kelak jadi perdana menteri. Melalui Sjahrir, Maria dikenalkan kepada kalangan sosialis Belanda dan diajak ke pertemuan-pertemuan kaum sosialis di sana. Ketika kembali ke Indonesia, Maria mengajar di Perguruan Rakyat dan di Perguruan Muhammadiyah. Dia mengampu tiga mata pelajaran: sejarah, tatanegara dan bahasa Jerman. Sembari mengajar, dia juga menceburkan dirinya ke dalam aktivitas pergerakan perempuan Indonesia yang pada kurun tahun 1930-an menemukan gairahnya untuk menuntut kesetaraan di tengah masyarakat. Maria menjadi salah satu pendiri organisasi Isteri Indonesia. Organisasi itu menerbitkan majalah bulanannya sendiri yang juga bernama sama dengan nama organisasinya. Dia jadi salah satu kolumnis tetap di majalah tersebut dan kerap mencurahkan pikiran-pikirannya tentang gerakan perempuan di Indonesia. Dari tulisannya, ada berbagai soal yang menjadi pokok, mulai soal keadaan umum perempuan di Indonesia, pernikahan paksa, buruh perempuan dan soal perwakilan perempuan di dalam parlemen di Hindia Belanda. Lewat Isteri Indonesia , Maria memperjuangkan gagasan perlunya perempuan Indonesia duduk di parlemen dan dewan-dewan kota ( gemeente ). Maria ialah satu dari segelintir tokoh perempuan yang memerjuangkan adanya Undang-undang pernikahan. Perdebatan itu sudah dimulai sejak Kongres Perempuan Indonesia kedua di Batavia, 20–24 Juli 1935. Dia mengajak gerakan perempuan memikirkan formulasi peraturan untuk melindungi perempuan dari penyalahgunaan hukum agama demi kepentingan sepihak kaum lelaki, khususnya dalam soal permaduan (poligami). Undang-Undang itu sendiri baru berhasil disahkan pada 1974, setelah puluhan tahun diperjuangkan sejak zaman kolonial. Adalah Maria juga yang mengusulkan pencantuman pasal kesetaraan warga negara di hadapan hukum sebagaimana tercantum dalam pasal 27 ayat 1 UUD 1945. Usulan itu disampaikannya kepada Moh. Hatta dalam kapasitas Maria sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada masa kemerdekaan, Sjahrir memintanya menjadi menteri sosial. Bagi Sjahrir, penunjukkan Maria sebagai menteri merupakan wujud sikap antifasis dan memegang prinsip demokrasi. Kiprah Maria sebagai menteri sosial menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa yang kerap dituduh merdeka atas jasa Jepang ini punya seorang menteri perempuan yang bahkan di Eropa pun belum lazim saat itu. Sebagai menteri sosial, Maria merintis usaha penyusunan Undang-Undang Perburuhan yang kemudian disahkan pada 1948 saat SK. Trimurti menjabat Menteri Perburuhan di era Perdana Menteri Amir Sjarifuddin. UU itu terbilang progresif, baik untuk zamannya maupun untuk masa sekarang. Keberpihakan kepada buruh, seperti hak upah dan cuti, diatur jelas dalam UU tersebut. Bukan saja urusan politik, pada 1950–1961 Maria pernah jadi Ketua Panitia Sensor Film Indonesia, cikal bakal Lembaga Sensor Film. Di masa senjanya dia juga menjadi Ketua Yayasan Rukun Istri yang kegiatan tetapnya mengelola panti asuhan Putra Setia di Kramat Sentiong, Jakarta Pusat. Maria juga pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung untuk periode 1968–1973.*




















