top of page

Sejarah Indonesia

Ada Nasution Di Balik Dekrit Presiden

Ada Nasution di Balik Dekrit Presiden

Dekrit Presiden Sukarno pada 5 Juli 1959 memuluskan jalan menuju Dwi Fungsi ABRI.

5 Juli 2019

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Jenderal TNI Abdul Haris Nasution dan Presiden Sukarno. (Perpusnas RI)

Diperbarui: 29 Jul

PRESIDEN Sukarno pernah murka kepada KSAD Kolonel Abdul Haris Nasution. Soalnya, sang kolonel dianggap sebagai biang keladi pengarahkan moncong meriam ke arah Istana Merdeka. Nasution sendiri memiliki dalih melakukan itu. Dia kecewa karena para politisi (termasuk Bung Karno) selalu mencampuri urusan internal AD. Kejengkelan Nasution ini memuncak pada percobaan setengah kudeta yang terjadi pada 17 Oktober 1952.


“Engkau benar dalam tuntutanmu, akan tetapi salah di dalam caranya,” kata Sukarno kepada Nasution dalam otobiografinya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat. “Sukarno tidak sekali-kali akan menyerah karena paksaan. Tidak kepada seluruh tentara Belanda dan tidak kepada satu batalion Tentara Nasional Indonesia,” tegasnya. Sebagai hukuman, Nasution pun dinon-aktifkan dari jabatannya.


Pada 1955, Sukarno memulihkan relasinya dengan Nasution. Untuk kedua kalinya, Sukarno mengangkat Nasution sebagai KSAD. Nasution kembali menjadi orang nomor satu di jajaran AD. Pangkatnya naik dua tingkat jadi mayor jenderal.


Hubungan keduanya kian rapat tatkala Sukarno memaklumatkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit tersebut menetapkan kembali UUD 1945 sebagai dasar negara dan dibubarkannya lembaga Konstituante. Kebijakan ini tidak lepas dari suasana kisruh dalam negeri akibat pemberontakan PRRI-Permesta. Inilah cikal bakal munculnya Demokrasi Terpimpin ala Bung Karno.


Kesediaan Sukarno dengan Nasution untuk bekerjasama telah dipemudah oleh iklim ketegangan yang terjadi sejak 1957. Sukarno memerlukan militer khususnya AD sebagai kekuatan terbesar untuk menertibkan gejolak politik. Nasution menyarankan Sukarno untuk menetapkan status negara dalam bahaya.


 “Melihat gerakan-gerakan perlawanan daerah, ia (Sukarno) tidak mempunyai pilihan lain dan menyetujui usulan Nasution,” tulis John David Legge dalam Sukarno: Sebuah Biografi Politik. Dengan demikian, TNI punya otoritas menindak pemberontakan lewat serangkaian operasi militer.


Setelah Dekrit Presiden diberlakukan, keterlibatan militer beserta wakil-wakilnya dalam politik dan lembaga politik meluas dengan cepat. Ketika Sukarno mengumumkan Kabinet Kerja pada 10 Juli 1959, sepertiganya menteri berasal dari militer. Tentara bahkan mulai merambah bidang-bidang non militer, seperti ekonomi dan sosial. Mereka dapat menangkap politisi sipil, memegang kedudukan sipil, hingga menertibkan pers yang dianggap bertentangan dengan pemerintah.


Meluasnya peran tentara tidak terlepas dari peran Nasution. Selain sebagai KSAD, Sukarno mengangkatnya menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan. Kedudukan ini memberi Nasution wewenang melakukan koordinasi antara Departemen Pertahanan, Peradilan, Kepolisian, dan Urusan Veteran.


“Saya membawahi Menteri AD, AL, AU, Polri, Veteran dan Kehakiman, sehingga soal keamanan sepenuhnya saya tangani,” kata Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 4: Masa Pancaroba Kedua.


Menurut sejarawan Asvi Warman Adam, Nasution-lah yang paling gigih mengusahakan agar dapat pemberlakuan Demokrasi Terpimpin. Nasution melihat bahwa peran militer dalam perpolitikan nasional itu harus memiliki dasar yang kuat. Kesempatan itu bisa diperoleh dengan diakuinya golongan fungsional. Dalam UUD 1945, militer termasuk golongan fungsional.


Nasution juga melakukan serangkaian tindakan strategis lainnya, seperti merumuskan konsep politik tentara yang disebutnya “Jalan Tengah”. Konsep ini memberi celah bagi tentara masuk ke dalam manajemen perusahaan asing yang dinasionalisasi pada penghujung 1950. Pada 1960, Nasution mengembangkan konsep Jalan Tengah menjadi “Dwifungsi ABRI”.


“Antara tahun 1958 sampai 1960 boleh dikatakan Nasution menjadi orang kedua setelah Sukarno,” tulis Asvi dalam dalam artikelnya "Militerisasi Sejarah Indonesia: Peran A.H. Nasution" termuat di kumpulan tulisan Perspektif Baru Penulisan Sejarah


Setelah berhasil membubarkan sistem parlementer dan mengalahkan pemberontakan daerah bergolak, Sukarno dan Nasution boleh berkonsentrasi menyibukan diri dalam kampanye pembebasan Irian Barat. Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia menggambarkan hubungan antara Sukarno dan Nasution di masa ini sebagai keseimbangan yang stabil.


Dalam otobiografinya, Sukarno menganggap Nasution seperti halnya pemuda angkatan 45 yang berkepala panas namun di kemudian hari membuktikan diri sebagai pembantunya yang baik dan loyal. Meski demikian, kemesraan Nasution dan Sukarno cepat juga berlalu. Nasution yang antikomunis menyadari bahwa Sukarno membuka ruang politik bagi PKI. Patron-klien ini makin goyang seiring munculnya seorang loyalis anyar yang disenangi Bung Karno bernama Ahmad Yani.


Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Dari Gas hingga Listrik

Dari Gas hingga Listrik

NIGM adalah perusahaan besar Belanda yang melahirkan PLN dan PGN. Bersatunya perusahaan gas dan listrik tak lepas dari kerja keras Knottnerus di era Hindia Belanda.
Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Film perdana Reza Rahadian, “Pangku”, tak sekadar merekam kehidupan remang-remang lewat fenomena kopi pangku. Sarat pesan humanis di dalamnya.
Soebandrio Tidak Menyesal Masuk Penjara Orde Baru

Soebandrio Tidak Menyesal Masuk Penjara Orde Baru

Soebandrio dikenal memiliki selera humor yang tinggi. Selama menjadi tahanan politik Orde Baru, dia mendalami agama Islam, sehingga merasa tidak rugi masuk penjara.
Khotbah dari Menteng Raya

Khotbah dari Menteng Raya

Tak hanya mendatangkan suara, Duta Masjarakat juga menjadi jembatan Islam dan nasionalis sekuler. Harian Nahdlatul Ulama ini tertatih-tatih karena minim penulis dan dana.
Lagi, Seruan Menolak Gelar Pahlawan Nasional Bagi Soeharto

Lagi, Seruan Menolak Gelar Pahlawan Nasional Bagi Soeharto

Wacana penganugerahan gelar pahlawan nasional bagi Soeharto kian santer. Dinilai sebagai upaya pengaburan sejarah dan pemutihan jejak kelam sang diktator.
bottom of page