top of page

Sejarah Indonesia

Islamisasi Jawa Menurut Tome Pires

Islamisasi Jawa Menurut Tome Pires

Penjelajah Portugis ini memiliki versi sendiri soal Islamisasi di Jawa. Dia juga punya kesan buruk terhadap orang Jawa.

Oleh :
22 November 2018

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Isles de la Sonde (Kepulauan Sunda), peta yang dibuat Portugis abad 16. (Tome Pires, The Suma Oriental).

ADA beberapa teori yang dikembangkan para sejarawan soal Islamisasi di Nusantara. Penjelajah asal Portugis, Tome Pires, punya versinya sendiri. 


Sejarawan Universitas Gadjah Mada, Sri Margana, menjelaskan, petualangan Tome Pires dimulai pada masa di mana penjelajahan orang-orang Eropa berlangsung.

 

“Sejak masa Colombus, abad ke-16 adalah abad discovery. Ada kompetisi arung samudra orang barat ke timur,” kata Sri Margana dalam acara Borobudur Writers & Cultural Festival ke-7 2018, di Hotel Grand Inna Maliboro, Yogyakarta, Kamis (22/2).


Penjelajahan bangsa Eropa didorong oleh keinginan menunjukkan kehebatan mengarungi samudra. Pun juga rasa haus akan pengetahuan dunia timur. 


“Hasil arung samudra paling utama adalah pengetahuan. Segala info tentang dunia timur menjadi sesuatu yang sangat mahal harganya,” lanjutnya. 


Salah satunya Tome Pires yang menyajikan informasi lengkap tentang dunia timur. Dia mencatatnya dalam Suma Oriental. Yang paling menarik adalah pendapatnya soal hubungan komunitas Tionghoa dan Nusantara, khususnya dalam proses Islamisasi.


Ketika datang ke Jawa, Tome Pires mendapati bangsa asing: Arab, Persia, Gujarat, Bengal, dan Melayu. Para pendatang itu, kata Tome Pires, berhasil memperkaya diri dengan berdagang hingga mampu membangun masjid-masjid besar.


“Kata Pires, mereka sudah tinggal di Jawa selama 70 tahun. Ini dihitung dari waktu kunjungan Pires. Jadi sudah membawa pengaruh yang besar,” kata Sri Margana.


Menurut Tome Pires, jauh sebelum Islam datang, orang Jawa beragama pagan. Ketika bangsa Moor datang, mereka membangun benteng di sekeliling tempat tinggalnya. Mereka mengirim kaumnya untuk berdagang dengan jung, membunuh penguasa Jawa, dan mengangkat dirinya sebagai penguasa baru. 


“Dengan demikian mereka berhasil menjadikan diri sebagai penguasa dan mengambil alih kekuasaan dan perdagangan di Jawa,” tulis Tome Pires.


Jika itu benar, menurut Sri Margana, pernyataan Tome Pires meruntuhkan mitos tentang kehadiran Islam yang damai di tanah Jawa.


Penyebar Islam di Jawa


Catatan Pires juga seakan-akan mengklarifikasi tentang para penyebar Islam pertama di Jawa. Orang-orang Moor bukanlah satu-satunya penyebar Islam di Jawa, tapi juga Tionghoa.


Tome Pires menulis, para pate atau penguasa di Jawa, bukanlah orang Jawa asli yang berasal dari Jawa. Mereka melainkan Tionghoa, Keling, Persia dan berbagai negeri yang disebutkan sebelumnya. Namun, orang-orang ini sudah merasa lebih penting di kalangan bangsawan dan negeri Jawa secara kesuluruhan, bahkan melebihi orang yang tinggal di pedalaman. Itu karena mereka dibesarkan di tengah orang Jawa yang suka pamer, ditambah kekayaan yang mereka warisi dari para nenek moyang.


Pertanyaannya adalah, seberapa akurat informasi yang disebutkan Tome Pires? Dalam tulisannya, dia mengatakan sudah melakukan konfirmasi terhadap infomasi itu. 


“Pires bukan hanya mencatat yang dia lihat dan amati. Dia juga melakukan klarifikasi terhadap mitos dan kisah yang dia dengar,” kata Sri Margana.


Misalnya, soal hubungan Jawa dan Tiongkok. Menurut Tome Pires, raja Jawa dan Tiongkok tak pernah punya hubungan satu sama lain. Uang tunai Cina dibawa ke Jawa berkat perdagangan. Orang Jawa sudah melakukan perdagangan dengan komunitas Tionghoa jauh sebelum Malaka ada. 


“Kisah tentang Putri Cina menikahi orang Jawa itu jadi menurut dia (Pires, red.) bohong,” kata Sri Margana.


Menarik juga memperhatikan kesan Tome Pires terhadap orang Jawa. Katanya, soal kebaikan, harga diri, ketegasan, dan keberanian belum ditemukan di Jawa. Bahkan, keangkuhan orang Melayu, kata Pires, didapatkan dari perangai orang Jawa.


“Ini mengejutkan. Jawa selalu disebut baik, sopan, ternyata Tome Pire punya kesan sendiri,” kata Sri Margana. 


Dalam hal ini, subjektivitas muncul. Latar belakang sosial dan budaya yang dibawa Tome Pires mempengaruhi cara pandang dalam mencatat hal-hal yang dia temui dalam penjelajahannya, khususnya di Jawa. 


“Kalau mau pakai naskah ini sebagai sumber sejarah, harus kritis juga,” kata Sri Margana.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Sukses sebagai penyanyi di Belanda, Anneke Gronloh tak melupakan Indonesia sebagai tempatnya dilahirkan.
Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Film perdana Reza Rahadian, “Pangku”, tak sekadar merekam kehidupan remang-remang lewat fenomena kopi pangku. Sarat pesan humanis di dalamnya.
bottom of page