top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Susahnya Jadi Orang Gemuk

Orang gemuk bukan hanya menghadapi ancaman berbagai penyakit, tapi juga persepsi publik.

30 Jul 2013

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Fat Men's Clubs. Foto: www.men-in-full.livejournal.com.

Fat Men's Clubs. Foto: www.men-in-full.livejournal.com.


ALBERT Buitenhuis, seorang juru masak asal Afrika Selatan, terancam dideportasi dari Selandia Baru gara-gara obesitas. Pejabat imigrasi menyatakan bobot tubuh Albert yang mencapai 130 kg tidak memiliki “standar kesehatan yang bisa diterima”. Berat badan Albert meningkatkan risiko diabetes, penyakit jantung, kanker, dan pelemakan hati, sehingga berdampak pada tingginya biaya pelayanan kesehatan.


Menurut BBC Indonesia (28/7), Selandia Baru merupakan negara dengan tingkat obesitas tertinggi di antara negara maju. Hampir tiga puluh persen dari populasi warganya mengalami masalah kegemukan.


Albert dan istrinya menggugat putusan Departemen Keimigrasian ke pengadilan. “Kami disamakan seperti pelaku kejahatan hanya karena suami saya gemuk,” ujar Marthie.


Kasus Albert mungkin masalah hukum pertama di dunia terkait kegemukan. Namun sejarah mencatat, kegemukan sudah jadi perbincangan ramai di Barat sejak lebih dari seabad silam. Menurut Derek J. Oddy dan Peter J. Atkins dalam kata pengantar bukunya, The Rise of Obesity in Europe: A Twentieth Century Food History, kegemukan punya banyak segi: sebagai fenomena ekonomi, sosial, budaya, dan fisik/medis zaman modern. Dari kegemukan pula “diet” jadi topik perbincangan sejak akhir 1800-an.


Demi alasan kesehatan, orang-orang di masa lalu mengatur pola makan agar terhindar dari kegemukan. Alkitab, yang juga menyeru manusia untuk mengendalikan nafsu makan, menjadi salah satu faktor penting yang membentuk konstruksi “tubuh ideal”. Kala itu tubuh ideal diidentikkan dengan ramping. Dengan bertubuh ramping, orang bukan hanya menjaga kesehatan tapi juga menjalankan ajaran Kristiani –Islam, yang muncul beberapa abad setelah itu, juga mengajarkan kesehatan dengan mengatur asupan makanan selain berpuasa. Ajaran tersebut bertahan hingga ke Abad Pertengahan, di mana para pemuka Nasrani kerap menganjurkan umatnya berpuasa.


Kultur Barat mengidentikkan kegemukan dengan kerakusan makan. Maka orang gemuk bisa dikategorikan pendosa, satu definisi yang dilahirkan Thomas Wright, seorang puritan Inggris abad ke-17. Menurut Wright, salah satu bentuk dosa akibat kerakusan adalah makan melebihi kebutuhan alami tubuh.


Namun, Revolusi Industri mengubah pola hidup orang Eropa. Penemuan demi penemuan mempermudah hidup seseorang. Tak perlu keluar tenaga untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Mesin siap menggantikannya. Meningkatnya kesejahteraan kelas menengah juga mengubah gaya hidup; asupan makanan meningkat, yang memicu kegemukan. Keadaan tersebut terus berlangsung hingga berganti abad, kecuali di masa perang.


Perusahaan farmasi dan kosmetik mengambil keuntungan dari kondisi tersebut. Iklan-iklan yang menggambarkan jahatnya kegemukan memenuhi ruang-ruang publik. Persepsi publik pun terbentuk bahwa obesitas merupakan “makhluk” jahat.


Kelas menengah di Amerika Serikat, antara 1890-1910, mulai berjuang melawan kegemukan. Penelitian dan berbagai cara dilakukan untuk mengatasi kegemukan. “Belum pernah terjadi sebelumnya satu hal menjadi perhatian publik secara sistematis, diet atau rasa bersalah akibat tak diet menjadi bahan pokok peningkat kualitas kehidupan pribadi, bersamaan dengan kuatnya arus ‘cap’ menjijikkan terhadap mereka yang mengidap obesitas,” tulis Peter Stearns dalam Fat History: Bodies and Beauty in the Modern West.


Konsep mengenai kegemukan terus berjalan hingga kini. Di berbagai tempat, tak terkecuali di negara-negara berkembang, orang mati-matian menghindari obesitas. Meski secara klinis berbahaya, kegemukan juga memakan korban lain di luar konteks kesehatan. Albert hanyalah satu dari jutaan orang yang mengalami diskriminasi akibat kegemukan. Kegemukan, ujar Sander Gilman dalam Fat: A Cultural History of Obesity, menjadi target kampanye kesehatan masyarakat dan mendorong pemikiran ulang secara global.


“Kampanye yang mulanya terhadap lemak, lalu memperoleh bentuk pada 1900-an, akan tampak jinak bila dihadapkan pada standar hidup akhir abad ke-20, tapi hal itu membentuk budaya secara mendasar,” tulis Peter Stearns.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Advertisement

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang turut berjuang dalam Perang Kemerdekaan dan mendirikan pasukan khusus TNI AD. Mantan atasan Soeharto ini menolak disebut pahlawan karena gelar pahlawan disalahgunakan untuk kepentingan dan pencitraan.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Hubungan diplomatik Indonesia dan Belgia secara resmi sudah terjalin sejak 75 tahun silam. Namun, siapa nyana, kemerdekaan Belgia dari Belanda dipicu oleh Perang Jawa.
Prajurit Keraton Ikut PKI

Prajurit Keraton Ikut PKI

Dua anggota legiun Mangkunegaran ikut serta gerakan anti-Belanda. Berujung pembuangan.
bottom of page