top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Tempat Jin Buang Anak

Istilah "tempat jin buang anak" digunakan masyarakat Betawi untuk menunjuk tempat-tempat di Jakarta yang masih sepi. Mengapa jin?

25 Jan 2022

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Desain ibu kota negara baru di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. (Youtube Presiden Joko Widodo).

Pernyataan Edy Mulyadi dalam video yang viral mengenai penolakannya terhadap pemindahan ibu kota negara menuai kecaman. Dia menyebut lokasi ibu kota baru di Kalimantan Timur sebagai “tempat jin buang anak”. Orang Kalimantan pun tak terima dan melaporkan Edy ke polisi.


“Bisa memahami enggak, ini ada tempat elite, punya sendiri yang harganya mahal, punya gedung sendiri, lalu dijual pindah ke ‘tempat jin buang anak’. Pasarnya siapa, kalau pasarnya kuntilanak, genderuwo, ngapain bangun di sana,” kata Edy disambut tertawa orang-orang di sekitarnya.



“Tempat jin buang anak” merupakan istilah yang digunakan masyarakat Betawi untuk menunjuk tempat-tempat di Jakarta yang masih sepi. Sebagai produk budaya, istilah ini kemungkinan terbentuk dari kepercayaan masyarakat Betawi terhadap jin.


Ensiklopedi Jakarta membahas soal kepercayaan masyarakat Betawi pada jin dalam entri “ruh”. Disebutkan bahwa masyarakat Betawi meyakini manusia bisa berhubungan dengan jin. Melalui upacara hadirin, jin bisa dipanggil dan datang meminjam raga yang memanggil. Ditilik dari sifatnya, ada jin baik dan ada jin jahat. Yang dipelihara, tentu jin baik. Jarang orang Betawi mengusir jin, kecuali jin jahat yang merasuk ke dirinya. Secara individual, mereka yang mengerti agama cenderung untuk koeksistensi damai dengan jin yang menghuni rumahnya. Orang Betawi menggunakan jasa jin untuk mengamankan sawah, empang, kebun, rumah, dan menjaga diri serta keluarga.


Menurut Ridwan Saidi, budayawan Betawi, dalam Profil Orang Betawi,Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadatnya, masyarakat Betawi punya pantangan yang dapat mengganggu jin, yaitu menguruk sumur tua. Mereka beranggapan makhluk jin senang membangun pemukiman di sumur.


“Dasar pikirannya begini, jin itu terbuat dari api, tentu saja mereka kegerahan terus, sedangkan sumur tempat yang sejuk,” tulis Ridwan.



Selain itu, lanjut Ridwan, dalam kepercayaan orang Betawi, jin adalah kekuatan nyata yang dapat diperintah dan dapat dikonservasi apakah di batu cincin atau golok.


“Pada golok berwafak juga terdapat baca’anhadirin, maka dalam bilah golok itu bersemayam makhluk jin, satu atau lebih, bahkan kadang 3000. Wafak memanggil jin juga terdapat dalam isim, yang biasanya diselipkan di gesper. Atau diraja’, artinya tubuh orang diwafak dengan cairan mistik atau buhur. Mereka yang diraja’ pada dirinya bersemayam jin,” tulis Ensiklopedi Jakarta.



Jin juga hadir dalam cerita dan teater rakyat Betawi. Jakob Soemardjo, kritikus sastra dan seni, dalam Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia menyebut bahwa lenong adalah bentuk teater rakyat yang paling populer di wilayah Betawi. Ada dua jenis lenong berdasarkan bahasa dan materi cerita, yaitu lenong dines dan lenong preman.


Lenong preman yang menggunakan bahasa Betawi sehari-hari (Melayu-Betawi) memainkan cerita kehidupan rakyat Betawi sehari-hari. Sedangkan lenong dines menggunakan dialog bahasa Melayu Tinggi yang menekankan unsur humor dan lawak.


“Lenong dines mementaskan cerita-cerita hikayat lama yang berlangsung di istana-istana dengan tokoh-tokoh raja, putri, dan jin-jin,” tulis Jakob.



Tempat-tempat Sepi


Setelah mendapatkan reaksi keras dari masyarakat Kalimantan, Edy kemudian meminta maaf. Dia beralasan bahwa “tempat jin buang anak” adalah istilah biasa di Jakarta untuk menggambarkan tempat yang jauh.Istilah ini menjadi tidak biasa dan menimbulkan masalah ketika digunakan untuk menunjuk daerah lain.


Sejak kapan istilah “tempat jin buang anak” digunakan, belum diketahui pasti. Namun, istilah ini telah jamak digunakan pada 1960-an untuk menunjuk tempat-tempat di Jakarta yang masih sepi.


Alwi Shahab, wartawan dan sejarawan Betawi, dalam Saudagar Baghdad dari Betawi, menyebut bahwa menjelang Perang Dunia II penduduk Batavia berjumlah 665 ribu jiwa. “Kala itu, Kebayoran Baru yang baru dibangun tahun 1948 masih merupakan ‘tempat jin buang anak’,” tulis Alwi.



Selain Kebayoran Baru, Alwi dalam bukunya yang lain, Robinhood Betawi, Kisah Betawi Tempo Doeloe, menyebut Kemang di Jakarta Selatan pada 1960-an dan 1970-an juga sangat sepi, hampir seluruh penduduknya orang Betawi yang menggantungkan hidup pada pertanian dan perkebunan, sedangkan pendatang bisa dihitung dengan jari.

Alwi ingat cerita ketika Mohammad Nahar, pemimpin redaksi Kantor Berita Antara, diolok-olok teman-temannya karena pindah ke Jl. Bangka, tempat paling bergengsi di Kemang saat ini: “Anda tinggal di tempat jin buang anak”.


Namun, pada 1980-an, Kemang dan Kuningan di Jakarta Selatan dibangun sebagai kota satelit baru. Willard A. Hanna, direktur Kantor Penerangan Amerika Serikat (USIS), dalam Hikayat Jakarta menyebut Kemang setaraf Forbes Park, kota satelit paling megah di Filipina. Di sini tinggal para eksekutif perusahaan-perusahaan asing, pegawai badan-badan PBB, dan anggota-anggota misi diplomatik.



Begitu pula dengan Ancol di Jakarta Utara. Kawasan ini dianggap tidak layak untuk ditempati karena menyeramkan, berawa-rawa dan bersemak-belukar sehingga menjadi sarang penyakit malaria, bahkan dikenal sebagai “tempat jin buang anak”.


“Berkat jasa beliaulah (Soekardjo Hardjosoewirjo, red.), Ancol, yang dulu oleh masyarakat Betawi dikenal sebagai ‘tempat jin buang anak’, kini berubah total menjadi kawasan permukiman, industri, dan tempat rekreasi yang indah serta nyaman bagi masyarakat Jakarta dan Indonesia pada umumnya,” tulis Yusufpadi, testimoni dalam biografi Jejak Soekardjo Hardjosoewirjo di Taman Impian Jaya Ancol.


Ancol yang mulai dibangun pada 1966 telah menjadi kawasan wisata terpadu kebanggaan ibu kota Jakarta. Sebentar lagi Ancol akan mendunia karena menjadi tempat balapan Formula E yang semula akan digelar di Monas.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Advertisement

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang turut berjuang dalam Perang Kemerdekaan dan mendirikan pasukan khusus TNI AD. Mantan atasan Soeharto ini menolak disebut pahlawan karena gelar pahlawan disalahgunakan untuk kepentingan dan pencitraan.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Prajurit Keraton Ikut PKI

Prajurit Keraton Ikut PKI

Dua anggota legiun Mangkunegaran ikut serta gerakan anti-Belanda. Berujung pembuangan.
Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Hubungan diplomatik Indonesia dan Belgia secara resmi sudah terjalin sejak 75 tahun silam. Namun, siapa nyana, kemerdekaan Belgia dari Belanda dipicu oleh Perang Jawa.
bottom of page