top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Ujian Haji Masa Kolonial Belanda

Orang-orang yang kembali dari ibadah haji wajib mengikuti ujian. Mereka yang lolos ujian diizinkan memakai gelar dan pakaian haji.

18 Jun 2023

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Keramaian jemaah haji di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta sebelum berangkat ke Makkah, 10 Juli 1950. (ANRI).

JEMAAH dari berbagai wilayah di Indonesia telah berangkat menuju Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Keberangkatan jemaah haji tahun ini dibagi duagelombang.Gelombang pertama berakhir pada 16 Juni 2023, sementara gelombang kedua mulaiberangkat tanggal 7 hingga 22 Juni 2023.


Ibadah haji menjadi cita-cita bagi umat muslim di Nusantara sejak masa lampau. M. Dien Majid menulis dalam Berhaji di Masa Kolonial, pada akhir abad ke-19 dan awal abad 20, jemaah haji dari berbagai wilayah di Nusantara berjumlah lebih dari 40 persen dari seluruh jemaah haji dari berbagai negara di dunia. Besarnya minat umat muslim Nusantara menunaikan ibadah haji menjadi sorotan pemerintah kolonial Belanda, yang khawatir dapat mengganggu status quo mereka sebagai penguasa di wilayah koloninya.


Oleh karena itu, pemerintah kolonial menyusun sejumlah peraturan terkait pelaksanaan ibadah haji. Kees van Dijk dalam “Sarung, Jubah, dan Celana: Penampilan sebagai Sarana Pembedaan dan Diskriminasi”, termuat dalam Outward Appearances yang disusun oleh Henk Schulte Nordholt dan M. Imam Aziz, menyebut pada pertengahan abad ke-19 pihak Belanda sempat mempertimbangkan kemungkinan melarang penggunaan titel haji dan mencegah orang-orangyang telah melakukan perjalanan ke Tanah Suci memakai pakaian-pakaian khusus, yangdideskripsikan sebagai “kostum Muhammad dan turban”.



Namun, Konsul Hindia justru memutuskan sebaliknya. “Karena tidak mampu melarang para haji memakai gelar dan pakaian Arab mereka, administrasi kolonial mengembangkan undang-undang untuk memastikan setidaknya semua orang yang menyebut diri mereka haji (dan yang berpakaian dengan gaya tersebut) memang benar-benar telah melakukan perjalanan ke Tanah Suci,” tulis Van Dijk. Dengan demikian, umat muslim tidak bisa “menyebut diri mereka sendiri dengan nama haji dan mengadopsi kostumnya tanpa pernah menginjakkan kaki di Tanah Suci”.


Berdasarkan peraturan yang tertuang dalam Staatsblad voor Nederlandsch-Indie 1859 nomor 42 tersebut, orang-orang yang kembali dari perjalanan haji harus mengikuti semacam ujian yang diadakan pihak bupati maupun kepala wilayah dengan status yang setara, dan dibantu satu atau lebih haji yang memiliki nama baik, untuk mengetahui apakah orang-orang tersebut benar-benar pergi ke Makkah. Apabila orang-orang itu dinyatakan lulus ujian,maka mereka akan menerima sertifikat dan diizinkan berpakaian layaknya seorang haji.



Sementara itu, menurut Dien Majid, bila orang yang mengikuti ujian tersebut tak dapat membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah menunaikan ibadah haji di Tanah Suci, maka ia tidak berhak mendapatkan sertifikat dan tidak diizinkan untuk berpakaian layaknya seorang haji. Tak hanya itu, orang itu juga terancam hukuman denda mulai dari f.25 hingga f. 100 untuk tiap-tiap pelanggaran.


Peraturan terkait pelaksanaan ibadah haji yang disusun oleh pemerintah kolonial tak hanya mengatur tentang ujian haji, tetapi juga mewajibkan orang-orang yang baru kembali dari Tanah Suci untuk melapor kepada penguasa setempat saat pertama kali tiba untuk mendapat tanda pas jalan, yang berlaku untuk perjalanan selanjutnya menuju tempat yang telah ditentukan. Agar kebijakan ini diketahui khalayak, peraturan yang tertuang dalam Staatsblad voor Nederlandsch-Indie 1859nomor 42 itu diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan Cina.


Seiring berjalannya waktu, peraturan terkait pelaksanaan haji, tak terkecuali kewajiban mengikuti ujian haji, menuai sorotan dari sejumlah pihak, salah satunya Snouck Hurgronje. Menurut E. Gobée dan C. Adriaanse dalam Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889–1936, Snouckmengutarakan kritik terhadap peraturan ibadah haji yang disusun pemerintah kolonial pada 1859 kepada gubenur jenderal. Ia menganggappemeriksaan dan pemberian ijazah haji tidak perlu, terlebih setiap ujian haji dapat ditempuh dengan hasil baik oleh orang yang bukan haji, sementara haji yang agak pandir hanya akan lulus dengan susah payah.



Selain itu,Snouck juga menyebut kebiasaan menggunakan pakaian haji oleh orang yang belum menunaikan ibadah haji bukan tindak pidana. “Pertama, pakaian haji sulit sekali didefinisikan; dan setelah dianalisis, tidak ada yang tinggal kecuali serbannya. Namun, tutup kepala ini sejak zaman dahulu dikenakan, selain oleh para haji, oleh para pejabat pribumi dalam ibadah dua hari raya, dan juga oleh banyak penghulu yang masih berfungsi, meskipun mereka itu bukan haji. Serban juga dipakai oleh orang Arab Hadramaut yang kebanyakan belum menjalankan ibadah haji,” ungkapnya. Oleh karena itu, Snouck menilai bahwa pemakaian “tutup kepala Arab” terkadang dipandang oleh masyarakat setempat sebagai bagian dari suatu adat.


Terkait penggunaan gelar haji, Wim van den Doel dalam Snouck: Biografi Ilmuwan Christiaan Snouck Hurgronjemenulis bahwa ilmuwan dan orientalis berkebangsaan Belanda itu beranggapan pemerintah kolonial-lah yang tanpa disadari justu memberi cap kehormatan pada gelar haji. Menurut Snouck, nilai gelar dari kata haji sebagian besar disebabkan oleh kekhawatiran yang salah dari pihak kolonial, dengan begitu pemerintah malah melindungi gelar itu dan membela penyalahgunaannya. Dengan demikian, Snouck tak hanya mendorong dihapusnya kebijakan ujian haji, ia juga menyimpulkan bahwa menempatkan gelar dan pakaian haji di luar hukum merupakan satu-satunya langkah rasional yang dapat diambil oleh pemerintah kolonial hingga kemudian kebijakan itu pun dihapus pada tahun 1902.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Advertisement

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang turut berjuang dalam Perang Kemerdekaan dan mendirikan pasukan khusus TNI AD. Mantan atasan Soeharto ini menolak disebut pahlawan karena gelar pahlawan disalahgunakan untuk kepentingan dan pencitraan.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Hubungan diplomatik Indonesia dan Belgia secara resmi sudah terjalin sejak 75 tahun silam. Namun, siapa nyana, kemerdekaan Belgia dari Belanda dipicu oleh Perang Jawa.
Prajurit Keraton Ikut PKI

Prajurit Keraton Ikut PKI

Dua anggota legiun Mangkunegaran ikut serta gerakan anti-Belanda. Berujung pembuangan.
bottom of page