top of page



Kisah Bupati Sepuh
Adipati Karta Nata Negara naik pangkat setelah menangkap Nyai Gamparan. Kemudian jadi musuh Multatuli, penulis Max Havelaar.


Nobar Film Terlarang di Rangkasbitung
Kendati sudah nyaris setengah abad, film Max Havelaar yang berkisah tentang derita rakyat Lebak masih aktual. Banyak fenomena sosial dari masa lebih dari seabad lalu yang masih terjadi sekarang.


Menjegal Multatuli
Meski antikolonialisme, film Max Havelaar ternyata sempat dilarang di Indonesia. Sebagian orang Indonesia tak menyukainya.


Menggoreskan Kisah Tragis Adinda dalam Lukisan
Lukisan “Kesaksian Adinda” menyajikan aneka simbol yang terlihat indah tapi memunculkan kematian bagi rakyat jelata.


Mengeksplorasi Max Havelaar lewat Karya-karya Seni Rupa
Pameran “The Book That Killed Colonialism” mengeksplorasi pahitnya kolonialisme yang pernah didengungkan Multatuli lewat karya-karya seni rupa.


Membuka Mata dan Hati Setelah Multatuli Pergi
Multatuli dengan “Max Havelaar”-nya jadi jendela memahami arti kolonialisme. Dokumenter ini menyajikan sudut lain yang tercecer setelahnya.


Ketika Paus Sastra Indonesia Menerjemahkan Max Havelaar
Selama lebih dari seabad Max Havelaar tidak diterjemahkan ke bahasa Indonesia. H.B. Jassin melakukannya dan berhasil.


Multatuli di Antara Dua Kutub
Menggemparkan sejak pertama kali terbit. Melibatkan banyak perdebatan yang berpusar pada soal fakta atau fiksi.


Yang Lestari Setelah Multatuli Pergi
Kolonialisme itu memang sudah angkat kaki. Sayangnya pergulatan dan perjuangan hidup rakyat kecil di Lebak masih lestari.


200 Tahun Multatuli, Penyadar Rakyat Indonesia
Mengapa kita harus memperingati Multatuli? Apa jasanya bagi Indonesia?


Menemukan Kembali Saidjah dan Adinda
Pengalaman seorang Belanda ke Lebak untuk membuktikan kebenaran kisah di dalam roman Max Havelaar. Sempat dipalak aparat 30 ribu perak.


Melahirkan Max Havelaar di Korea
Demi mengenal Indonesia lebih dalam, novel Max Havelaar karya Multatuli diterjemahkan ke dalam bahasa Korea.
Ads
Ads
bottom of page