Hasil pencarian
9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Suatu Hari di Yerussalem
YERUSSALEM, 637. Begitu mendengar derap kuda pasukan Arab Islam mulai mendekat, Putra Mahkota Costantine menjadi putus asa. Alih-alih melaksanakan perintah Kaisar Heraklius (yang tak lain ayah Costantine) untuk mempertahankan kota suci itu, dia justru kabur ke pelabuhan Caesarea: menyusul sang ayah menuju Costantinople lewat jalur laut. “Praktis di Yerussalem hanya menyisakan Panglima Artavon dan Patriach Sophorius sebagai wakil resmi dari bangsa Romawi,” demikian menurut The Historians of the World Vol. VII (Rome). Dalam sumber klasik yang diselia oleh Henry Smith Williams itu disebutkan, sepeninggal Costantine, terjadilah perbedaan pendapat yang tajam antara Artavon dengan Sophorius. Sebagai seorang jenderal, Artavon bersikeras akan mempertahankan Yerussalem sampai titik darah terakhir dengan mengerahkan seluruh penduduk untuk melakukan perlawanan. Sementara Uskup Agung Sophorius lebih memilih jalan damai mengingat musuh terlalu kuat dan kondisi rakyat yang sudah tidak memiliki nyali lagi untuk berperang. “Artavon dengan sisa pasukannya yang sedemikian kecil pada akhirnya kalah suara dan harus mengikuti pendapat Sophorius,” tulis Joesoef Sou’yb dalam Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin. Maka menjelang musim semi, dikirimlah seorang utusan untuk menemui pimpinan pasukan Arab Islam bernama Panglima Besar Abu Ubaidah. Dalam pertemuan itu pihak Sophorius menyatakan siap menghentikan perlawanan asalkan proses penyerahan Yerussalem harus melibatkan Khalifah Umar ibn Khattab sendiri. Syarat dari uskup agung Yerussalem itu lantas diteruskan kepada Khalifah Umar di Madinah. Usai melakukan rapat dengan para tokoh negara, atas masukan dari Ali ibn Abi Thalib, akhirnya Umar memutuskan untuk berangkat ke Yerussalem. Namun dia menyatakan keberangkatan ke kota suci itu harus hanya dengan seorang ajudan saja. Pasukan kecil yang dipersiapkan untuk mengawalnya justru malah ditolak oleh Umar. Khalifah Umar Murka Singkat cerita, setelah beberapa hari melakukan perjalanan, Khalifah Umar akhirnya sampai di gerbang Yerussalem. The Historians of the World Vol. VIII melukiskan kebersahajaan sang khalifah saat berjalan menuju pintu gerbang kota. “…Penakluk Persia dan Syiria itu datang ke Yerusalem hanya bersama seorang hamba sahaya, dengan menunggang seekor unta merah, membawa sekarung gandum,sekantung kurma, sebuah kantung terbuat dari kulit binatang, serta selembar tikar untuk shalat.” Pemandangan itu jelas membuat penduduk Yerussalem yang beragama Kristen dan Yahudi terperangah dan lantas menaruh rasa hormat dan kagum. Mengapa? Karena sebelumnya, mereka tak pernah melihat seorang penguasa besar berpenampilan laiknya rakyat kebanyakan. Tak juga Kisra Persia dan Kaisar Romawi. Sophorius termasuk orang yang terkejut dengan kenyataan itu. Saat mendampingi tamu Arab-nya yang berpakaian lusuh itu, dia berteriak kepada khalayak dalam bahasa Yunani: “Sungguh, seperti inilah penampilan Daniel Sang Nabi saat dia mengabarkan kesederhanaan dan kegetiran hidup di kota suci ini!” demikian seperti dikutip oleh sejarawan Philip K. Hitti dalam History of the Arabs. Rasa takjub kian bertambah begitu upacara penyambutan dilaksanakan. Syahdan, kala menyaksikan para panglimanya berbaris rapi dengan menunggang kuda gagah lengkap dalam pakaian kebesaran mewah yang terbuat dari ragam sutera indah, wajah Umar memerah. Tetiba dia turun dari atas unta merahnya dan mengambil beberapa genggam pasir. Lantas dengan marah, dia melemparkannya ke arah para panglimanya. Dengan cara itu, Umar ingin mengeritik perubahan gaya hidup mereka yang dinilainya telah melupakan nilai-nilai kesederhanaan yang diajarkan Rasulullah. Tak ada satu pun panglima yang berani menghindar dari hantaman pasir yang dilontarkan Umar. Mereka tahu, Umar adalah salah seorang sahabat dekat Nabi Muhammad SAW yang berwatak keras dan lurus. Ini lah yang kemudian menjadikan Panglima Besar Abu Ubaidah secara berhati-hati memberitahu sang khalifah bahwa penampilan para panglimanya itu hanyalah sementara. Sekadar untuk menjaga harga diri para prajurit Arab Islam di depan orang-orang Yerussalem. Umar pada akhirnya bisa diyakinkan. Namun dia sendiri tetap menolak mengganti kendaraan dan menampik pakaian mewah yang khusus dipersiapkan untuk dirinya. “Dia tetap memilih untuk menaiki unta tunggangannya itu hingga sampai ke depan gerbang Stepanus, pintu utama untuk memasuki kota suci Yerussalem,” tulis Joesoef Syou’ib. Damai yang Hilang Proses upacara penyerahan Yerussalem berjalan lancar. Dengan diantar oleh para petinggi Kristen di Yerussalem, usai upacara penyerahan, Khalifah Umar mengunjungi beberapa tempat suci. Salah satunya adalah Bukit Zion, reruntuhan Bait Allah yang dibangun Nabi Sulaiman AS dan dikenal oleh umat Muslim sebagai Masjid Al-Aqsha. Saat berkeliling di Bukit Zion inilah, waktu shalat zhuhur tiba. Uskup Sophorius lantas menawarkan Khalifah Umar untuk shalat di gerejanya. Umar menolak tawaran itu. “Kalau saya shalat di situ, saya khawatir suatu hari orang-orang akan merampas gereja Tuan dan menjadikannya sebuah masjid,” kata Umar. Umar lantas memilih tempat di sisi gereja. Di sanalah kemudian sang khalifah mengimami para panglima dan prajuritnya shalat zhuhur. Kelak puluhan tahun kemudian, Khalifah Abdulmalik (685-705) dari Dinasti Umayah mendirikan sebuah masjid yang sangat megah. Hari ini gedung tersebut dikenal sebagai Masjid Umar ibn Khattab. Tiga belas abad kemudian, Yerussalem berkutat dalam konflik berkepanjangan. Sejak jatuh ke tangan Israel pada 1967, damai di kota suci itu seolah hilang, berganti dengan darah dan pertikaian. Tak jarang bom bunuh diri pejuang Palestina dan bombardemen tentara Israel meluluhlantakan sebagian situs sejarah yang ada di sana. Belum lagi puluhan ribu orang yang menjadi korban. Soal korban manusia ini, bagi Yerussalem itu seolah menjadi kutukan sejarah. Pada awal pendiriannya, kota itu sudah mengorbankan ribuan nyawa Yahudi yang dibantai oleh balatentara Raja Nebucadnezar dari Babylonia. Bahkan pada masa Perang Salib 1096, seorang Ksatria Salib bernama Raymond dari Aguiles melukiskan genangan darah dari sekitar 75.000 orang Arab Muslim dan Yahudi, membanjiri sudut-sudut kota. “Di dalam kuil dan pelataran Sulaiman saja, genangan darah mencapai lutut dan tali kekang kuda-kuda yang kami kendarai,”ujar Raymond dalam Fall of Jerusalem karya penulis Dr. E.L. Skip Knox. Karena tiap zaman selalu mengalami pergantian kekuasaan, tak aneh jika Yerussalem memiliki ciri khas sisi keanekaragaman budaya dan agama. Itu membuat Karen Armstrong menyebut tempat tersebut sebagai milik bersama 3 agama besar: Islam, Kristen dan Yahudi. “Saya menemukan kenyataan bahwa mustahil untuk mengabaikan ketiga keluarga Abrahamik itu di Yerussalem.Terlebih mereka adalah penyembah Tuhan yang sama,” tulisnya dalam Menerobos Kegelapan, Sebuah Autobiografi Spiritual. Kalimat yang agak mirip juga pernah dilontarkan oleh Sultan Saladin (di dunia Islam lebih dikenal dengan nama Shalahuddin al Ayubi) ratusan tahun yang lalu. Kala melakukan perundingan diplomatik dengan Richard Si Hati Singa, Saladin menolak klaim raja Inggris legendaris itu, bahwa Yerussalem semata-mata milik orang Kristen. “Yerussalem adalah milik kami seperti juga milik kalian,” katanya seperti dikutip Karen Armstromg dalam The Holy War.
- Tatkala Uighur Mendirikan Republik Islam Turkestan Timur
SYAHDAN, sehabis Yang Zengxin pada 7 Juli 1928 tewas ditembak dalam kudeta yang, seperti Gerakan 30 September (G30S) di Indonesia, hingga kini masih menjadi perdebatan siapa dalang sebenarnya. Jin Shuren yang –laiknya Soeharto– dicurigai berada di balik coup d’État tersebut, segera mengambil alih posisi Yang Zengxin sebagai gubernur Xinjiang.
- Senandung Pelipur Lara dan Pemantik Asa
PULUHAN ribu Liverpudlian (fans Liverpool) berdiri bangga sambil mengangkat syal khas The Reds . Mereka menyanyikan “You’ll Never Walk Alone” dengan syahdu, terhanyut dalam selebrasi kemenangan tim bersama segenap pemain dan ofisial. Isak tangis ratusan fans Barcelona yang hadir di Stadion Anfield, Selasa (7/5/2019) malam waktu setempat (Rabu dini hari, WIB) tenggelam olehnya. Liverpool comeback dengan dahsyat lewat kemenangan 4-0 setelah di leg pertama dibekap 0-3. Mereka maju ke final Liga Champions berbekal keunggulan agregat 4-3. Lagu kebanggaan yang populer disingkat YNWA itu sudah jadi tradisi tak tertulis yang mesti disenandungkan pada sebelum dan setelah laga, baik saat berduka maupun bersukacita. Begitu melegendanya sampai judulnya diabadikan dalam ukiran di Shankly Gates, gerbang ikonik Stadion Anfield, sejak 1982 untuk mengenang pelatih legendaris Bill Shankly. Sebagaimana diuraikan dalam artikel sebelumnya, YNWA mulanya lagu teater musikal Broadway yang diciptakan Richard Rodgers dan Oscar Hammerstein II pada April 1945. “(Band) Gerry and the Pacemakers mengaransemen versi (lagu YNWA) dengan lebih kuat dan tulus dan ketika mulai dihayati para fans di stadion, lagu itu dijadikan anthem mereka,” ungkap Du Noyer dalam Liverpool Wondrous Place: From the Cavern to the Capital of Culture . Kritikus musik Paul du Noyer menilai, kualitas yang paling terasa adalah lagu YNWA menawarkan pesan ketegaran, daya tahan mental dan kegigihan terhadap para pendengarnya. Sebuah lagu yang sempurna untuk sebuah kota dan klub seperti Liverpool, yang memiliki solidaritas besar di antara para penghuninya. Lantunan Pembangkit Harapan Begitu meresapnya YNWA ke dalam jiwa masing-masing insan Liverpool, lagu itu seakan menjadi pemberi kekuatan magis tersendiri baik sebagai pelipur lara maupun pemantik asa. Dua momen bersejarah yang menghinggapi klub itu menjadi bukti bagaimana “kekuatan magis” YNWA membangkitkan semangat para fans Liverpool. Gerry Marsden memimpin fans menyanyikan YNWA pada peringatan 25 tahun Tragedi Hillsborough Momen pertama, di Tragedi Hillsborough. Akibat membludaknya penonton di Stadion Hillsborough saat semifinal FA Cup, 15 April 1989, membuat ratusan penonton baik dari kubu Liverpool maupun Nottingham Forest terinjak-injak dan tergencet pagar pembatas tribun –saat itu stadion-stadion di Inggris masih dipasangi pagar pembatas laiknya stadion di negara-negara lain. Catatan Taylor Report dari Panel Independen Hillsborough, korban tewas mencapai 96 orang dan 766 luka-luka. Lagu YNWA lantas jadi pengobat luka di masa berkabung yang tak hanya dinyanyikan para fans Liverpool namun juga oleh para fans Nottingham, bahkan oleh fans rival sekota, Everton, sebagai bentuk solidaritas. Nada dan liriknya begitu kuat sehingga menginspirasi untuk bangkit dari keterpurukan akibat petaka itu. “Selain dikenal sebagai lagu sepakbola, (YNWA) juga mengisi kekosongan besar bagi mereka yang kehilangan seseorang di Hillsborough. Lagu itu emosional bukan hanya karena sepakbola. Lagunya menutupi nestapa dan kesedihan dengan sukses karena maknanya adalah tentang solidaritas,” tutur legenda Liverpool (1977-1990) Kenny Dalglish, dinukil Independent , 14 April 2014. Bukti “magis” berikutnya dari lagu ini adalah ketika Liverpool di final Liga Champions, 25 Mei 2005, kontra AC Milan tertinggal 0-3 di babak pertama. Alih-alih jatuh mental, sekira 30 ribu fans Liverpool yang hadir justru menggaungkan lagu itu di waktu jeda babak pertama. “Anda tertinggal 0-3. Anda berpikir mimpi Anda luluh lantak. Anda berpikir telah mengecewakan para suporter saat istirahat babak pertama. Dan kemudian Anda mendengar refrain ‘You’ll Never Walk Alone’, mungkin yang paling lantang dan paling emosional yang pernah saya dengar,” kata kapten Liverpool saat itu, Steven Gerrard, mengenang momen bersejarah itu. Liverpool merengkuh trofi Si Kuping Besar pada Liga Champions 2005 (Foto: uefa.com) Skuad Liverpool bak bangkit dari kubur. Mereka akhirnya bisa menyamakan kedudukan 3-3 hingga pertandingan harus dientaskan lewat adu penalti. Keajaiban kembali terjadi, Liverpool menang di babak penentuan itu. Itu jadi momen terakhir Liverpool juara Liga Champions. Sebelumnya, Liverpool juara di musim 1976/1977, 1977/1978, 1980/1981, dan 1983/1984. Musim ini (2018/2019), Liverpool tinggal selangkah lagi menggamit mahkota keenam. Hanya tim sesama Inggris, Tottenham Hotspur, yang jadi penghalang antara Liverpool dan trofi “Si Kuping Besar” pada laga puncak, 1 Juni 2019 nanti. YNWA tentu akan kembali bergema mengiringi perjuangan Liverpool. Akankah ia kembali memberi tuah?
- Soeharto Datang, Genjer-Genjer Berkumandang
SENIN pagi, 1 April 1968. Pesawat Garuda mendarat di Phnom Penh, ibu kota Kamboja. Tamu penting dari Indonesia datang berkunjung: Presiden Soeharto dan istrinya Ibu Tien Soeharto. Bunga melati putih disebarkan di hamparan karpet merah. Ini adalah lawatan pertama Soeharto ke luar negeri setelah resmi menjabat presiden. Pangeran Norodom Sihanouk, pemimpin Kamboja berdebar-debar menanti rombongan presiden Indonesia yang baru saja dilantik itu.
- Hilangnya Martabak India Asli
Setiap daerah punya makanan yang menjadi identitas dan terkenal di seluruh Indonesia. Misalnya, martabak, pasti Bangka. Semua pedagang martabak melabeli gerobaknya dengan martabak Bangka, meskipun dia bukan orang Bangka. Sebenarnya martabak Bangka adalah martabak manis. Ada beberapa nama untuk martabak Bangka: Hok Lo Pan artinya kue orang Hok Lo, salah satu marga Tionghoa; Pandekuk atau Pande Coek, dan kue tabok. Selain martabak manis, pedagang juga menyediakan martabak telor. Martabak ini berasal dari India. Dalam buku kuliner, Aneka Martabak Telur Panggang, disebutkan bahwa kata martabak ditengarai berasal dari bahasa Arab, murtabak atau mutabbaq, yang artinya lipatan. Ini tentu sesuai dengan bentuk makanannya yang dilipat menyerupai amplop. Martabak konon berasal dari India yang tersebar melalui perdagangan hingga Asia Tenggara. Selain di Indonesia, martabak juga bisa ditemukan di negara-negara lain, seperti Arab Saudi, Yaman, Thailand, dan Malaysia. Dalam Bahasa dan Bonafiditas Hantu , Agus R. Sardjono berseloroh untunglah ketika martabak diperkenalkan dari India ke Indonesia, di Indonesia belum terjangkit wabah nasionalisasi nama-nama sehingga ia tidak diubah, misalnya, menjadi loreng dagu (telor goreng dengan daging dan terigu). KBBI daring pun mengartikan martabak sebagai “makanan yang dibuat dari adonan tepung terigu (untuk lapisan luar) dan adonan telur, daging giling (cincang), dan rempah (untuk bagian isi) yang kemudian digoreng.” Martabak tak sekadar makanan. Halalbihalal, tradisi saling memaafkan di Hari Raya Idulfitri, diciptakan pedagang martabak seorang India yang berjualan di Taman Sriwedari, Solo, sekitar tahun 1930-an. Namun, ada juga kisah di balik hilangnya identitas India pada martabak. Sehingga kini kita lebih mengenal martabak Bangka. Kemana martabak India? Ceritanya bermula ketika Guru Dutt Sondhi, wakil Asian Games Federation dari India, berkunjung ke Jakarta untuk melihat persiapan Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games IV tahun 1962. “Setelah meninjau berbagai persiapan dan pembangunan sarana untuk Asian Games, rupanya dia kurang puas. Dia melihat sarananya belum siap dan panitia kurang sungguh-sungguh melakukan persiapan yang diperlukan,” kata Firman Lubis, guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dalam Jakarta 1950-an: Kenangan Semasa Remaja. Kepada media massa, Sondhi menyampaikan kekecewaannya akan kekurangan persiapan pesta olahraga se-Asia itu. Selain soal itu, dia juga menyatakan Indonesia telah melakukan diskriminasi karena tidak mengikutsertakan Taiwan dan Israel. Dia pun menyebut Asian Games IV tidak sah dan lebih pantas disebut sebagai Jakarta Games. “Rupanya pernyataan ini ditanggapi dengan sangat serius dan defensif oleh pemerintah Indonesia yang merasa didiskreditkan,” kata Firman. “Maka terjadilah demonstrasi oleh berbagai kelompok pemuda revolusioner –dengan mobilisasi tentu saja– yang intinya ganyang Sondhi.” Massa mendatangi Sondhi di Hotel Indonesia. Sondhi diamankan, dan sore harinya diterbangkan ke New Delhi. Kejadian ini dikenang sebagai Peristiwa Sondhi. Tak ada Sondhi, kedutaan dan orang-orang India jadi sasaran. “Orang-orang India di sekitar Pasar Baru yang tak tahu-menahu pesoalannya didemo para pemuda yang setengah kalap itu,” kata Firman. Mereka segera menutup toko takut terkena ganyang atau penjarahan. Mereka mengurung diri di rumah masing-masing. Menurut Firman, yang lucu para penjual martabak telor yang biasa menuliskan di kaca gerobaknya sebagai “martabak India asli” segera menghapus tulisan “India asli” agar tidak ikut menjadi korban pengganyangan. “Itulah sejarahnya mengapa hingga sekarang penjual martabak telor tidak lagi menyebut dagangannya sebagai martabak India, padahal pada 1950-an mereka selalu mengklaim martabaknya sebagai martabak India asli,” kata Firman.
- Pepes Ikan ala Masyarakat Kuno
Pada Bulan Magha tanggal sembilan, untuk upacara besar kepada Sang Hyang I Turuñan, penduduk Desa Turuñan mempersembahkan ikan simbur lima ekor, pepes ikan nalyan 20 buah, ikan kering dua gunja, sedangkan kepada Pracaksu diberikan dua ekor ikan simbur, 10 pepes ikan nalyan, dan ikan kering satu gunja serta air untuk menyucikan diri melebur kekotoran atau dosa. Berita dalam Prasasti Trunyan AI, dari Bali 813 Saka (891 M) itu menggambarkan penduduk Desa Turuñan yang diwajibkan untuk menghaturkan beberapa jenis makanan sebagai persembahan. Penduduk Desa Air Rawang juga diwajibkan mempersembahkan makanan serupa, sebagaimana diterangkan dalam Prasasti Turunyan B dari Bali Kuno 833 Saka (911 M). Tertulis di sana, persembahan makanan dari Desa Air Rawang berupa 30 pepes ikan nyalian, tiga gunja ikan kering, 30 butir telur dan 10 ekor ikan gabus untuk keperluan upacara pada setiap hari ke lima bulan separuh gelap pada bulan Asuji. Mereka juga diwajibkan mempersembahkan bumbu-bumbuan dan meramu bumbu tersebut oleh Lampunan Bungsu. “Keterangan dari kedua prasasti ini dapat menggambarkan bahwa dalam aktivitas keagamaan yang sangat penting di wilayah sekitar Danau Batur,” catat Luh Suwita Utami, peneliti dari Balai Arkeologi Denpasar. Menariknya, dari beberapa makanan sebagai hidangan persembahan itu, menu pepes salah satu yang disebutkan dengan jelas.Dalam artikelnya, “Aspek Kemasyarakatan di Balik Makanan Dalam Prasasti Bali Kuna” yang terbit Jurnal Forum Arkeologi Vol. 25 No. 2 Agustus2012,Luh Suwita Utamimenjelaskan, pada masa kini, pemberian jenis makanan kepada bangunan suci masih berlaku di Bali pada saat-saat tertentu. Jenis makanan sebagai persembahan di Bali saat ini seperti sate, lawar, dan aneka jajanan yang merupakan pelengkap sesajen. Ada juga yang disebut atos, yaitu persembahan bahan makanan mentah berupa beras, telor, kelapa, dan dupa. Itu nantinya digunakan dalam upacara di tempat suci. Cara mengolah bahan makanan, khususnya ikan, dengan cara dipepes sudah biasa dilakukan masyarakat Bali Kuno. Selain itu ikan juga sering dikeringkan. Ada beberapa jenis ikan yang disebutkan dalam prasasti. Di antaranya, ikan simbur (?), dlag (ikan gabus/ Ophiocephaalus stratus ), nalyan (ikan nyalian), dan kuluma (ikan lele). "Jenis ikan-ikan ini merupakan jenis ikan air tawar yang mudah didapatkan oleh penduduk yang bertempat tinggal di tepi Danau Batur," jelas Luh Suwita. Terkait pepes ikan, beberapa jenis bumbu juga disebutkan dalam prasasti. Prasasti Turunyan B memberi keterangan bahwa untuk upacara Bhatara di Turunyan pada setiap hari ke-5 bulan separuh gelap pada bulan Asuji masyarakat Desa Air Rawang diwajibkan untuk membuat bumbu. Bumbu yang disebutkan adalah bawang merah, jahe, kapulaga, dan kemiri. Luh Suwita Utami juga menyebutkan, pada Prasasti Batur, Pura Tulukbyu A disebutkan bawang merah dan jahe ditanam di wilayah perburuan yang dianugerahkan oleh raja. “Bahkan pohon kapulaga dan kemiri adalah jenis pohon yang termasuk dalam jenis-jenis pohon yang jika ditebang oleh masyarakat harus dimintai izin kepada petugas yang berwenang,” kata Luh Suwita. Selain pengolahan makanan dengan cara dipepes dan dikeringkan, prasasti Bali Kuno tidak memberikan keterangan lain soal bagaimana cara mereka me ngolah makanan. Namun , kata Luh Suwita, tak menutup kemungkinan masyarakat waktu itu sudah mengenal pengolahan makanan dengan cara dibakar, direbus, diasap, atau diasinkan .
- Persahabatan Suryadarma dan Perwira Belanda
USAI berpamitan dengan istri dan kedua anaknya, KSAU Komodor Suryadarma selaku tawanan Belanda kembali mengikuti pasukan yang membawanya. Dia dibawa ke Lapangan Udara (Lanud) Maguwo. Di sana Suryadarma kembali bergabung dengan para petinggi pemerintahan Republik Indonesia lain yang juga ditawan, termasuk Presiden Sukarno dan Wapres Moh. Hatta. Tak lama setelah menginjakkan kaki di Maguwo pada 22 Desember 1948 itu, Suryadarma dikejutkan oleh kedatangan seorang perwira penerbang Belanda berbaret merah. Setelah memberi hormat, perwira itu langsung menjabat tangan Suryadarma. Campur-aduk perasaan Suryadarma ketika membalas jabatan tangan perwira Belanda itu. Suryadarma jelas tak lupa pada perwira Belanda itu. AL Cox, nama perwira Belanda tadi, merupakan komandan Skadron Air Reconnaissance ke-4 Militaire Luchvaart-Koninklijke Netherlandsch Indische Leger (ML-KNIL) yang berbasis di Semarang. Namun, bukan jabatan Cox yang membuat Suryadarma mengingatnya. Bisa jadi Suryadarma sama sekali tak tahu apa jabatan Cox ketika itu lantaran keduanya lama tak bertemu. Suryadarma ingat Cox karena keduanya bersahabat. Perkenalan keduanya dimulai saat Suryadarma dan Cox sama-sama menjadi taruna di Akademi Militer Breda. Suryadarma dan Cox berbagi kamar yang sama. Cox pula yang aktif mengajak Suryadarma berkeliling ke berbagai tempat, bahkan hingga ke Belgia atau Denmark. Suryadarma juga diperkenalkan kepada keluarga Cox dan teman-temannya. Hari-hari indah itu “terhenti” ketika Suryadarma kembali ke tanah air setelah lulus. Keduanya tak pernah lagi bersua. Cox bertugas di negerinya, sementara Letda Suryadarma menghabiskan hari-harinya di tempat tugasnya, Batalion I Infanteri Magelang. Tak dinyana, cita-cita menjadi penerbang yang diimpikan Suryadarma membawanya kembali bertemu dengan Cox. Saat dia berupaya mewujudkan mimpi itu dengan menjadi pelajar di Sekolah Penerbangan Militer Kalijati, Cox mendapat tugas menjadi instruktur penerbang di sekolah yang sama. Cox mengetahui Suryadarma amat terpukul oleh peraturan diskriminatif yang diterapkan komandan sekolah Kolonel Van Hasellen. Peraturan itu, mengizinkan hanya perwira kulit putih yang diperbolehkan menjadi penerbang, membuat Suryadarma gagal menggapai mimpinya dan hanya diterima sebagai navigator. Maka ketika sang kolonel cuti untuk pulang ke Belanda, Cox memanfaatkannya untuk memberi kesempatan pada Suryadarma belajar terbang. Sekitar 30 jam terbang diberikannya sebagai ekstra kepada Suryadarma, meliputi dual training maupun solo crosscountry . Bukan hanya itu bantuan yang diberikan Cox. Sekembalinya Kolonel Hasellen dari cuti, Cox menemuinya. Dia meminta Hasellen memberikan kesempatan pada Suryadarma melakukan flight check karena telah menjalankan ekstra flight training dan dinyatakan lulus. Alih-alih menerima saran bawahannya, sang kolonel malah naik pitam. Apa yang dilakukan Cox dianggapnya tanpa seizin dia. Setelah menemui Suryadarma, Cox langsung memeluk dan meminta maaf lalu menceritakan segalanya. “Di (Suryadi), saya sudah melakukan yang terbaik untuk kamu,” ujar Cox, dikutip Adityawarman Suryadarma dalam Bapak Angkatan Udara Suryadi Suryadarma . Suryadarma hanya bisa pasrah. Keduanya kembali berpisah setelah Suryadarma lulus dan ditugaskan ke tempat lain. Pendudukan Jepang yang datang tak lama kemudian memberi konsekuensi berbeda pada kedua perwira ML-KNIL itu. Suryadarma memilih desersi dari ML-KNIL dan beralih menjadi polisi Jepang, sementara Cox tetap di militer Belanda sehingga –bersama pasukan Sekutu– berada dalam posisi berlawanan dengan Jepang. Suryadarma dan Cox tak pernah kontak dan bertemu lagi sejak itu. Suryadarma sibuk mempertahankan kemerdekaan sambil membangun AURI begitu Indonesia merdeka. Sementara, Cox beberapa kali pindah tugas dan menjadi andalan Belanda untuk kembali menguasai Indonesia. Bersama Letnan MWC de Jonge dan Letnan Sisselaar, Cox berangkat ke Eropa pada 12 Maret 1946 untuk meneliti tentang pembentukan pasukan para dan meminta bantuan pasukan para Inggris untuk mendukung terlaksananya pelatihan para di bekas Hindia Belanda. Cox menyelesaikan tugasnya dengan baik. Bersama pasukan para itu, Cox ikut terjun ke Lanud Maguwo. “Secara sangat mendadak, pada tanggal 19 Desember mereka melakukan serangan udara dengan sasaran Lapangan Terbang Maguwo, kemudian menduduki Yogya, ibukota Republik. Pukul 07.59 pesawat Dakota C-47 terbang dalam formasi berbanjar di atas Lapangan Udara Maguwo. Sementara itu, angkasa di atas lapangan menjadi gelap karena sebagian tertutup payung udara yang berkembang, ratusan jumlahnya,” tulis Irna HN Soewito dkk. dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950 . Kedatangan Cox di Maguwo sesaat sebelum Suryadarma dibuang bersama petinggi republik lain, mengagetkan Suryadarma. Pertemuan itu juga memberi kesan mendalam pada diri Cox. “Kegembiraan kemenangan kita pada waktu itu menjadi kesedihan karena aku harus berhadapan dengan sahabatku Suryadi, yang karena perkembangan politik, kita sekarang harus berhadapan sebagai musuh,” kata Cox dalam memoarnya, dikutip Adityawarman. Pertemuan singkat itu sekaligus menjadi perpisahan kembali Suryadarma dan Cox. Suryadarma kemudian dibuang ke Bangka mengikuti Wapres Moh. Hatta dan beberapa menteri lain, Cox sibuk dengan tugasnya mengikuti militer Belanda yang berupaya kembali menguasai Indonesia. Usai perang, Suryadarma sibuk membangun Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), sedangkan Cox pulang ke negerinya. Tanpa diduga keduanya, Suryadarma dan Cox kembali bertemu pada 1968. Usai menghadiri pameran International Post and Plihatelic di Paris, Suryadarma –saat itu menjabat sebagai presiden Philatelic South East Asia– napak tilas ke Breda dan berkunjung ke rumah J. Lukkien, pilot pesawat yang ditumpangi Suryadarma ketika menjalankan misi pemboman terhadap kapal-kapal perang Jepang. Cox ternyata ada di rumah Lukkien. Ketiganya pun bereuni. Suryadarma amat gembira. Segala hal di masa lalu yang mereka alami bersama jadi topik obrolan. Suryadarma juga menyampaikan bahwa penolakannya menerima Wing terbangnya dari pemerintah Belanda dimaksudkan untuk menunjukkan kepada AU Belanda bahwa dirinya sebagai navigator ( waarnemer ) pribumi lulusan Kalijati bukan hanya mampu jadi penerbang tapi juga membangun angkatan udara dari nol sampai menjadi yang terkuat di bumi belahan selatan. “Malam itu berakhir dengan mereka bertiga saling berpelukan dan saling berdoa Namun, ternyata malam itu merupakan malam perjumpaan terakhir mereka bertiga,” tulis Adityawarman.
- Dari Analog sampai 4G
TAK peduli sekitar, orang-orang asik menatap layar ponsel pintar masing-masing. Di kereta, dalam bus, atau di jalan sambil memantau peta online. Berselancar di dumay kala naik kendaraan berkecepatan tinggi dimungkinkan lantaran teknologi komunikasi generasi keempat (4G). Pemandangan itu jelas tak mungkin ditemukan di zaman dulu. Jangankan internet, komunikasi jarak jauh hanya bisa dilakukan melalui telepon, itu pun masih analog. Prinsip kerja telepon generasi pertama, sering disebut telepon engkol, yakni mengirimkan gelombang suara yang sudah diubah menjadi sinyal listrik ke transmitter. Begitu sampai di receiver yang terhubung ke speaker, sinyal listrik kembali diubah menjadi gelombang suara. Pengguna telepon engkol harus memutar tuas telepon untuk menyambungkan dengan sentral telepon. Bel kemudian berbunyi di sentral telepon. “Kalau ada yang mau menelepon, nanti terdengar ceklok, ceklok kayak ayam berkokok. Kalau sedang banyak yang pakai, suaranya ramai sekali. Kami dulu suka tertawa dengar suaranya karena lucu. Itu juga tanda kami akan dapat uang,” kata Koesmarihati, mantan pegawai di Sentral Telepon Telkom ketika masih era analog. Operator di sentral telepon lalu menghubungkan sinyal masuk tadi dengan telepon tujuan secara manual dengan mencolokkan kabel-kabel sambungan ke papan hubung telepon. Operator di sentral telepon bekerja di depan papan hubung. Sumber: Sunshine Coast Daily Sistem itu ditinggalkan ketika teknologi telepon otomat muncul. Sambungan telepon tak lagi dikerjakan manual dan telepon engkol masuk museum. Pada 1992, ketika Cacuk Sudarijanto menjadi Direktur Utama Telkom, jumlah sentral telepon otomat ditambah dalam jumlah besar. Banyaknya sentral telepon otomat ini menyuburkan pemasangan telepon rumah dan memungkinkan pengadaan telepon umum ( public payphone ). Bersamaan dengan itu, ponsel generasi pertama (1G) mulai hadir di tengah masyarakat pada 1986. Ukurannya masih sebesar koper dan teknologinya menggunakan Nordic Mobile Technology (NMT). Ponsel lebih modern, menggunakan teknologi Advanced Mobile Phone System (AMPS), muncul pada 1991. Meski ukurannya lebih kecil, tetap saja belum cukup masuk saku. Usaha pemutakhiran ponsel kembali dilakukan Telkom pada 1993 lewat proyek percontohan untuk Global System for Mobile (GSM). Teknologi yang dikembangkan di Eropa dan Amerika Serikat pada 1980 dan diluncurkan 1990-an ini disebut juga dengan 2G sama seperti CDMA dan TDMA. Sistem yang digunakan sudah digital, tidak analog seperti NMT dan AMPS. “Pertama membangun menara dulu di Batam. Ada 3 yang dibangun, selesai tahun 1994,” kata Garuda Sugardo yang menjadi Kepala Pilot Project Telkom. PT Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) menjadi operator GSM pertama di Indonesia dengan kepemilikan saham oleh Telkom, Indosat, dan Bimagraha Telekomindo. Dua perusahaan pertama merupakan BUMN sementara yang disebut terakhir ialah perusahaan milik Bambang Triharmodjo. Anak k-3 Soeharto ini menguasai 45% saham Satelindo. Telkomsel beroperasi setahun kemudian, 26 Mei 1995. Teknologi 2G berbasis kartu ini memungkinkan orang berganti perangkat (gawai) tanpa kehilangan nomor lama. Fungsi yang ditawarkan pun tak sebatas komunikasi via suara dengan kecepatan 64 kbps (kilo bit per second), tetapi juga pesan digital (SMS). “Awalnya SMS itu cuma bisa ke sesama operator, kemudian berkembang bisa ke beda operator. Berkembang lagi bisa transmisi data meskipun masih terbatas, namanya teknologi 2.5G,” kata Koesmarihati yang pada 1995-1998 menjadi Direktur Utama Telkomsel. Teknologi 2.5G memungkinkan pengiriman data dengan teknologi Global Pocket Radio Service (GPRS). Indosat menjadi pelopor layanan GPRS dan MMS (pesan gambar) lewat IM3 yang dikeluarkan pada 2001. Kasmad Ariansyah dalam “Proyeksi Jumlah Pelanggan Telepon Bergerak Seluler di Indonesia” menulis, Telkomsel mengeluarkan teknologi GPRS dengan kecepatan 144 kbps setahun kemudian. Hingga pertengahaan 2000-an, para operator seluler menawarkan alternatif teknologi 2G, yakni CDMA meskipun beberapa merek redup di pasaran. Di lain pihak, operator yang sejak semula mengusung teknologi GSM menawarkan komunikasi berbasis data cepat yang populer disebut 3G. Teknologi ini dibangun pertamakali oleh perusahan telekomunikasi Jepang NTT Docomo. Pada Mei 2001, jarngan 3G nonkomersilnya pertama kali mengudara. Jaringan komersilnya baru mengudara pada 1 oktober di tahun yang sama. Kecepatan yang ditawarkan mencapai 2 Mbps. Telkomsel mulai menguji coba 3G pada Mei 2005. Seteleah melalui proses tender, pada Februari 2006 tiga operator ditetapkan sebagai pemegang lisensi layanan 3G: Telkomsel, XL, dan Indosat. Beberapa tahun terakhir, teknologi 4G umum dipakai. Generasi keempat ini pertama dipasarkan di Norwegia dan Swedia pada 2009. Fungsi yang ditawarkan hampir sama dengan 3G namun kecepatannya jauh lebih tinggi, yakni 100 Mbps. Ini memungkinkan pengguna untuk menonton video berdimensi tinggi dan mengakses data meski sedang bergerak dalam kecepatan tinggi, semisal di kereta atau mobil. Telkomsel menjadi operator pertama di Indonesia yang menawarkan teknologi 4G pada 2014. Diprediksi, pada 2020 teknologi yang akan muncul ialah 5G. Kecepatannya mencapai 1 Gpbs. Barangkali akan bikin orang makin menempel dengan ponselnya.
- Pindah Ibu Kota Sudah Biasa
Wacana pemindahan ibu kota dari Jakarta kembali ramai dibicarakan usai Presiden Joko Widodo menggelar rapat tertutup di Kantor Presiden, Jakarta, akhir bulan lalu. Salah satu alasannya, wilayah Jakarta sudah penuh disesaki 30 juta penduduk atau lebih dari 10 persen populasi Indonesia. “DKI Jakarta kini memikul dua beban sekaligus: sebagai pusat pemerintahan dan layanan publik, juga pusat bisnis. Banyak negara memindahkan ibu kotanya, sementara kita hanya menjadikannya gagasan di setiap era Presiden. Menurut Anda, di mana sebaiknya ibu kota negara Indonesia?” tulis Jokowi di akun Twitter -nya, Senin (29/4). Ini bukan pertama kalinya presiden Indonesia mempertimbangkan untuk memindahkan ibu kota. Proposal untuk pemindahan ibu kota ke Palangkaraya muncul awal 1950-an, di era Soekarno. Pun pemerintahan Jokowi sudah mempelajari kelayakan pemindahan ibu kota ke Palangkaraya sejak 2017. Jauh sebelum masa itu, memindahkan ibu kota negara sebenarnya merupakan hal yang biasa terjadi, khususnya dalam sejarah Jawa. Namun pada masa lalu, keputusan itu sering kali disebabkan karena adanya invasi musuh. Epigraf Boechari dalam tulisannya, “Shift of Mataram’s Centre of Government”, menyebut hal itu masuk akal. Sebab, orang Jawa mempercayai keraton yang telah diserang musuh sudah tak suci lagi dan harus dipindah. Ada pula kepercayaan terhadap siklus yuga. Dalam ajaran Hindu ada empat jenjang masa dalam siklus yuga, yaitu Dwaparayuga, Tretayuga, Satyayuga, dan Kaliyuga. Zaman Kaliyuga disebut pula zaman kegelapan. Berdasarkan itu, penguasa yang berada di generasi keempat diharuskan untuk memindahkan kerajaannya ke tempat lain agar terhindar dari kekacauan. Hal itu terlihat ketika Sultan Agung memindahkan ibu kota ke Karta. Dia mewakili penguasa ke-4 dari Ki Ageng Pamanahan, sang pendiri dinasti. Amangkurat I juga memindahkan ibu kota dari Karta ke Plered. Dia merepresentasikan generasi ke-4 dari Panembahan Senopati, penguasa pertama Mataram Islam. Sebelum Mataram Islam, beberapa kerajaan kuno pernah memindahkan ibu kota kerajaannya, di antaranya sebagai berikut: Mataram Kuno Ibu kota Mataram Kuno atau Medang misalnya, paling tidak pernah pindah dua kali pada periode Jawa Tengah. Buktinya dalam Prasasti Siwagraha (778 Saka/856 M) dan Prasasti Mantyasih I (829 Saka/907 M) disebutkan Mamratipura dan Poh Pitu sebagai ibu kota. Dalam Prasasti Siwagraha disebutkan Dyah Lokapala ditahbiskan pada 778 Saka di Keraton Medang di Mamaratipura. Sementara Prasasti Mantyasih I mengisahkan seorang raja pada masa lalu yang tinggal di Keraton Medang di Poh Pitu. Boechari menjelaskan ada beberapa desa bernama Medang tersebar antara Purwodadi-Grobogan dan Blora di bagian utara Jawa Tengah sekarang. Namun apakah dulunya desa-desa itu bagian dari pusat Kerajaan Mataram Kuno pada masa lalu, itu belum bisa dibuktikan. Pada era Mpu Sindok atau Sri Isyana Vikramadhammatunggadeva sekira 929 M, kerajaan ini dipindahkan ke Jawa bagian timur. Banyak pendapat soal alasan kepindahannya. Kahuripan Airlangga pendiri Kerajaan Kahuripan, pernah memindahkan kerajaannya dua kali. Ibu kota pertama dibangun ketika dia ditahbiskan menjadi raja setelah hancurnya pemerintahan Dharmawangsa Tguh. Lokasinya di Wwatan Mas, sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Cane (943 Saka/1021 M). Dalam Prasasti Kamalagyan (959 Saka/1037 M), Kahuripan disebutkan sebagai lokasi keraton Airlangga. Boechari berpendapat, perpindahan ini disebabkan adanya invasi musuh. Pendapatnya didasarkan pada Prasasti Terep dari 954 Saka (1032 M). Ada kemungkinan juga kerajaan ini kembali dipindahkan ke Dahana(pura). Itu ditunjukkan dengan kemunculan kata “dahana” yang diukir dalam aksara kuadrat besar pada Prasasti Pamwatan (964 Saka/1042 M). Namun tak ada bukti soal alasan kepindahan ibu kota yang kedua ini. Majapahit Kerajaan Majapahit kemungkinan juga telah berpindah-pindah ibu kota beberapa kali. Penguasa pertamanya, Wijaya, membangun kerajaan di Tarik atau Trik yang ada di delta Sungai Brantas, sebelah timur Kota Mojokerto saat ini. Pendirian itu dikisahkan dalam naskah Pararaton, Nagakartagama, Kidung Ranggalawe, Kidung Harsawijaya , serta diabadikan dalam Prasasti Kudadu (1294 M) dan Prasasti Sukamrta (1296 M). Sedikit sekali dari ibu kota pertama Majapahit ini yang tersisa sampai sekarang. Namun, belum lama ini, warga mendapati bekas bangunan bata, fosil kayu, dan hewan di areal persawahan dan makam di Dusun Kedungklinter, Desa Kedungbocok, Kecamatan Tarik, Sidoarjo. Diduga situs ini merupakan cikal-bakal Kerajaan Majapahit. Berbeda dengan ibu kota pertamanya itu, lebih banyak bukti arkeologis ditemukan di Trowulan, Mojokerto. Hal ini yang menambah kemungkinan untuk menunjuk wilayah itu sebagai ibu kota Majapahit berikutnya. Mataram Islam Babad Tanah Jawi memberi bukti adanya perpindahan ibu kota pada masa Kerajaan Mataram Islam. Ki Ageng Pamanahan membangun sebuah permukiman di Kuta Gede, di mana Kota Gede, Yogyakarta kini berada. Kemudian anaknya, Panembahan Senapati, penguasa pertama Mataram, membangun tembok di sekelilingnya. Cucu Panembahan Senapati, Sultan Agung, membangun keraton baru di Karta. Sementara anak dan pewaris takhta berikutnya memindahkan lokasi keraton ke Plered. Pada 1677, ibu kota baru itu diserang pasukan Trunajaya yang memaksa Amangkurat melarikan diri ke barat dan tewas di Tegalarum. Setelah serangan itu, ibu kota baru dibangun di Wanakarta yang kemudian diberi nama baru Kartasura. Pada 1724, Kartasura digempur oleh Cakraningrat IV dari Madura. Kemudian setelah takhta dikuasai Susuhunan Pakubuwono II, sebuah tempat baru dibangun di Surakarta pada 1744.
- Anthem Liverpool, Lagu Teater Musikal yang Mengglobal
LANTUNAN lirik lagu itu bergema di segenap pelosok Stadion Anfield. Nada dan maknanya begitu kuat hingga membuat bulu kuduk merinding. Sebuah anthem legendaris bertajuk “You’ll Never Walk Alone” mengiringi perjuangan dahsyat Jordan Henderson dkk. ketika menghadapi tim bertabur bintang Barcelona di partai leg kedua semifinal Liga Champions, Selasa (7/5/2019) malam atau Rabu (8/5/2019) dini hari WIB. Liverpool bikin geger. Setelah digilas 0-3 pada leg sebelumnya di Camp Nou, markas Barcelona, “The Reds” membalik keadaan Anfield kendati tampil tanpa trio “Firmansah” alias Firmino, Mané, Salah. “Gempa lokal” terjadi beberapakali setelah Divock Origi dan Giorginio Wijnaldum, masing-masing mencetak dua gol, bergantian menjebol gawang Marc-André ter Stegen. Alhasil, laga berakhir 4-0, “The Reds” membalikkan agregat jadi 4-3 dan melaju ke final. Penampilan itu jadi salah satu comeback terhebat Liverpool dalam sejarah Liga Champions setelah yang dilakukannya pada 2005 ketika membalik skor AC Milan di final. Klopp dan anak-anak asuhnya lantas tenggelam dalam selebrasi dan bersama saling menyanyikan anthem mereka. “ Walk on, walk on. With hope in your heart. And you’ll never walk alone…You’ll never walk alone.” ’ Lagu Teater Musikal Lagu yang populer disingkat YNWA itu aslinya merupakan salah satu lagu pengiring teater musikal Broadway bertajuk Carousel! . Diciptakan duet Richard Rodgers dan Oscar Hammerstein II pada April 1945, YNWA mengisahkan kehidupan seorang janda yang ditinggal mati suaminya akibat perang. Masa itu Perang Dunia II memasuki babak akhir. “’You’ll Never Walk Alone’ merupakan pelipur lara bagi para janda perang yang hidup sendiri untuk melanjutkan hidup bersama anak-anaknya berbekal uang pensiun mendiang suaminya,” ungkap Tim Carter dalam Rodgers and Hammerstein’s Carousel. Tembang karya Rodgers-Hammerstein itu lantas direkam Frank Sinatra di tahun yang sama. Banyak musisi lantas latah meng- cover YNWA. “Semenjak saat itu lagunya turut di- cover Elvis Presley, Ray Charles, Johnny Cash, Bob Dylan, Paul McCartney, dan Aretha Franklin. Baru pada 1960-an ketika Gerry Marsden yang tergabung di band asal Liverpool, Gerry and the Pacemakers, turut merekam lagu itu hingga menjadi lagu sepakbola ayng dikenal dunia,” tulis Daniel J. Svyantek dalam Sports and Understanding Organizations . Gerry and the Pacemakers mengaransemen ulang You"ll Never Walk Alone pada 1963 (Foto: Wikipedia/Metropolitan Photo Service) Gerry and the Pacemakers mengaransemen ulang YNWA jadi lebih nge-pop dan bernuansa Merseybeat. Hasil recording pada 2 Juli 1963 itu dirilis tiga bulan kemudian dan berhasil masuk top 10 lagu terpopuler Inggris. Saat itu, hanya Stadion Anfield yang punya disc jockey (DJ) yang acap memutar 10 lagu terpopuler lewat pengeras suara sebelum kick-off. YNWA pertamakali diperdengarkan di Anfield pada 19 Oktober 1963, jelang “ The Reds ” menjamu West Bromwich Albion. Sepuluh hari kemudian lagu itu melesat ke puncak tangga lagu. “Mereka (DJ stadion) memainkan lagu top 10 (biasanya) dari 10 ke urutan satu. Jadi ketika (You’ll Never) Walk Alone naik ke urutan nomor satu, dimainkan sebelum kick off,” ujar Marsden, dikutip Independent , 25 Oktober 2013. Pada 29 Oktober 1963, YNWA diputar persis jelang laga. Mulai saat itulah ia masuk ke relung hati para Liverpudlian. “Empat pekan lagu itu jadi yang teratas dan ketika tak lagi masuk top 10, lagu itu mulai dipinta the Kop (julukan suporter Liverpool): ‘Mana lagu kami? Mana lagu kami?’,” sambung Marsden. Hingga akhir musim di mana Liverpool juara, lagu itu “otomatis” jadi anthem klub yang sekota dengan band legendaris The Beatles itu. Lagu YNWA lantas “resmi diberikan” Gerry and the Pacemakers untuk Liverpool saat keduanya tampil bersamaan di program The Ed Sullivan Show milik CBS pada musim panas 1964. “Saya yang meminta Ed (host acara) untuk turut mendatangkan tim ke acara itu. Saat bertemu di acara itu, Bill Shankly (pelatih Liverpool) berkata: Gerry, saya telah memberi Anda sebuah tim untuk dibanggakan dan Anda telah memberi kami lagu untuk dibanggakan’,” ujarnya menirukan Shankly. Kendati YNWA lantas juga dijadikan “anthem” beberapa klub lain, seperti Glasgow Celtic (Skotlandia) atau Borussia Dortmund (Jerman), publik global lebih mengenal YNWA lekat kepada Liverpool.
- Debat Pendiri Bangsa Soal Papua
PAPUA, wilayah di ujung timur negeri ini kerap memantik silang pendapat sejak dulu hingga sekarang. Ketika para pendiri bangsa merancang luas wilayah Indonesia, debat alot bergaung saat membahas Papua. Rekaman perbincangan ini tercatat dalam dalam rapat BPUPKI pada 10—11 Juli 1945. Suara yang menyetujui masuknya Papua ke dalam wilayah Indonesia didahului oleh Kahar Muzakkar, wakil dari Sulawesi Selatan. Pendapat Kahar Muzakkar dilandasi pertimbangan pragmatis. Namun, dia tetap menghargai rakyat Papua apabila ingin bergabung, bergabunglah secara sukarela. “Biarlah yang tinggal di Papua (yang) agak lebih hitam-hitaman sedikit daripada kita, akan tetapi tanah Papua itu pula menjadi sumber kekayaan kita. Janganlah sumber kekayaan yang diwariskan nenek moyang kita hilang dengan sia-sia belaka,” kata Kahar tercatat dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945—19 Agustus 1945. Mohammad Yamin, salah satu anggota yang lain, menguraikan pendapatnya yang cukup panjang. Dia merumuskan konsep Indonesia Raya yang terbentang meliputi wilayah bekas Hindia Belanda, Borneo Utara (Sabah dan Sarawak), Malaya, Timor Portugis (kini Timor Leste), hingga Papua. Menurut Yamin, secara historis, politik, dan geopolitik, wilayah-wilayah tadi merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Soal Papua pun demikian. “Papua adalah wilayah Indonesia,” kata Yamin. Menurut Yamin, posisi Papua sebagai pintu gerbang kawasan Pasifik sangat menentukan secara geopolitik. “Sehingga untuk menyempurnakan daerah yang berarti kuat dan abadi, perlulah pulau Papua seluruhnya dimasukan ke dalam Republik Indonesia,” ujar Yamin. Yamin yang seorang ahli hukum dan pakar sejarah itu juga mengikat Papua dengan gagasan historisnya. Bahwa di masa lalu, Papua merupakan vassal (daerah penaklukkan) kerajaan Tidore di Maluku. “Sebahagian dari pulau Papua adalah masuk lingkungan dan adat kerajaan Tidore, sehingga dengan sendirinya daerah itu benar-benar daerah Indonesia,” kata Yamin. Dengan dalil itu, maka jelas sudah alasan untuk memasukan Papua ke dalam kekuasaan negara Indonesia. Keesokan harinya, sidang masih berlanjut dengan agenda pembahasan yang sama. Mohammad Hatta memajukan usulan yang berlainan dengan konsep Yamin. Gagasan “ilmiah” Yamin agak kurang masuk akal bagi Hatta. Khusus untuk Papua, Hatta tidak sepakat memasukan wilayah ini ke dalam Republik Indonesia. Menilik kesamaan etnis yang serumpun Melayu, Hatta lebih memilih Malaya dan Borneo Utara bersama dengan bekas wilayah Hindia Belanda sebagai keseluruhan Indonesia. “Sekiranya bagian Papua itu ditukar dengan Borneo Utara, saya tidak berkeberatan, malah bersyukur,” kata Hatta. “Karena, seperti saya katakan dahulu, saya tidak minta lebih dari pada tanah air Indonesia yang dulu dijajah oleh Belanda.” Mengenai Papua, Hatta mengatakan bahwa orang Papua berasal dari bangsa Melanesia, berbeda dengan Indonesia yang Melayu. Menurut perhitungannya, pemerintah Indonesia kelak masih belum cukup mapan mendidik rakyat Papua menjadi bangsa yang merdeka. Sehingga bagi Hatta, adalah lebih baik menyerahkan masa depan Papua kepada rakyat Papua sendiri atau biar ditangani saja oleh Jepang. Sukarno lalu datang menyampaikan suara yang senada dengan gagasan Yamin. Menurut Sukarno, wilayah Indonesia yang terbentang dari Sumatera hingga Papua adalah karunia Tuhan. Mengutip kitab Negarakertagama (yang dibuat cendekiawan Kerajaan Majapahit, Mpu Prapanca pada 1365), Sukarno menyatakan bahwa sejatinya kekuasaan Kerajaan Majapahit melebar hingga ke pulau Papua. Gagasan Yamin dan Sukarno tampaknya mendapat banyak dukungan dari kebanyakan anggota. Silang gagasan pun tidak terhindarkan. Tokoh senior, Agus Salim, dari kalangan Islam dan Soetardjo yang mantan anggota Volksraad prihatin menyaksikan perdebatan. Mereka mengingatkan agar persoalan Papua jangan sampai jadi bahan pertikaian pendapat. “Pada hari yang lain kita boleh membicarakan soal Papua, tetapi untuk sekarang, untuk sementara waktu, hendaknya kita tunda saja soal Papua. Tuan Ketua, satu kali terlepas dari tangan kita, nanti Papua itu menjadi benda pertikaian menjadi benda perselisihan antara saudara-saudara,” kata Soetardjo. Pun demikian dengan Alexander Maramis, anggota dari Manado, yang menganjurkan agar menunggu sikap penduduk Malaya, Borneo Utara, Timor, dan Papua untuk bergabung dengan Indonesia. Untuk memecahkan kebuntuan, Ketua BPUPKI, Radjiman Wedyodiningrat mengadakan pemungutan suara. Ada tiga opsi untuk dipilih sebagai wilayah negara Indonesia: (1) seluruh Hindia Belanda; (2) Hindia Belanda ditambah Malaya, Borneo Utara, Timor, dan Papua; (3) Hindia Belanda ditambah Malaya dan Borneo Utara minus Papua. Hasilnya, dari 66 peserta sidang, opsi nomor 1 memperoleh 19 suara, opsi nomor 2 memperoleh 39 suara, opsi nomor 3 memperoleh 6 suara, blangko 1 suara, dan lain-lain 1 suara. Pada akhirnya, gagasan kesatuan Yamin dan Sukarno memperoleh suara terbanyak. Konsep ini lah yang kemudian diterima sebagai wilayah Indonesia Raya, dari Sabang sampai Merauke. Sementara usulan Hatta dimentahkan dalam forum karena mendapat suara paling sedikit. Menurut sejarawan Belanda Pieter Drooglever, penentuan masa depan Papua yang dirembug dalam forum BPUPKI bukanlah wadah yang representatif. Pasalnya, tiada seorang pun wakil dari Papua yang menyampaikan suaranya di sana. Dilibatkan pun tidak. Wakil Papua baru tampil sebagai delegasi setahun kemudian dalam Konferensi Malino- perundingan yang diselenggarakan pihak Belanda. Mayoritas para anggota BPUPKI berasal dari Sumatera dan Jawa. Satu-satunya wakil dari kawasan paling timur adalah Johanes Latuharhary yang berasal dari Ambon. Kepentingan kaum Republikan sangat mendominasi. Hatta merupakan satu-satunya tokoh yang bersikap rasional soal Papua. “Semua ini merupakan pilihan-pilihan yang interesan, yang di dalam dasawarsa mendatang tetap akan membuat gejolak dalam percaturan politik di Asia Tenggara. Akan tetapi, untuk sementara hasilnya sedikit saja,” tulis Drooglever dalam Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri . Mufakat pendiri bangsa dalam BPUPKI itu nyatanya tetap menyisakan debat di kemudian hari. Ketika Indonesia merdeka, Latuharhary ditunjuk sebagai Gubernur Maluku, yang wilayah ampunya sampai ke Papua. Namun Latuharhary tidak pernah berada di Papua menjalankan pemerintahan. Belanda keburu datang untuk berkuasa kembali. Belanda tetap bercokol di Papua bahkan setelah pengakuan kedaulatan pada 1949. Sengketa panjang Belanda dengan Republik Indonesia pun dimulai.
- Serba-serbi Penjaga Persilangan Kereta Api
KERJA menjaga persilangan kereta dengan kendaraan bermotor sekilas terlihat mudah. Sudah ada sejumlah petunjuk teknis dan peralatan pembantu di dalam gardu jaga. Penjaga tinggal menerima sinyal otomatis tanda kereta akan lewat, menjawab panggilan telepon dari petugas stasiun, membunyikan alarm, dan menekan tombol palang penutup persilangan.





















