top of page

Hasil pencarian

9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Asad Shahab, Jurnalis Arab Pro Republik

    Sejarah mencatat Mesir adalah negara pertama yang mengakui proklamasi kemerdekaan Indonesia. Para pelajar Indonesia yang ada di sana menerima berita tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia dari kantor berita Arabian Press Board ( APB ). Berita-berita itu diteruskan dalam konferensi Liga Arab. Walhasil, negara-negara Islam di Timur Tengah bersimpati dan memberikan dukungannya. Menurut Nabiel A. Karim Hayaze, peneliti Menara Center – Lembaga Riset Keturunan Arab – dari berita-berita itulah negara di Timur Tengah mendapat informasi tentang Indonesia; negara berpenduduk Muslim dengan presidennya yang bernama  Ahmad Sukarno. Dan sejak itu pula masyarakat Mesir memantau perjuangan Indonesia melawan Belanda yang berujung pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Mesir.     “Berita-berita APB diterjemahkan dalam bahasa Arab oleh penyiar RRI dan diterima oleh pelajar-pelajar Indonesia yang ada di Mesir. Berita yang dikirim sepotong-sepotong, kemudian dikumpulkan dan dituliskan dalam media Mesir,” ujar Nabiel dalam diskusi “Mengenang M. Asad Shahab: Arabian Press Board Mengawal Proklamasi” di Perpustakaan Nasional (11/5.) Dari beberapa kantor berita yang beroperasi di masa revolusi, APB menjadi media pro-Republik yang paling leluasa bergerak di mancanegara. Kantor berita Antara jangkauannya hanya terbatas di dalam negeri. Kantor berita Domei masih dikontrol oleh Jepang. Reuters berpihak kepada Sekutu. Sementara APB memiliki hubungan dengan jaringan ulama para imigran ke Indonesia dalam rangka berdakwah dan berdagang. Sosok penting di balik aktifitas APB menyebar berita proklamasi di luar negeri tersebutlah nama Mohammad Asad Shahab. Asad Shahab dan APB Asad Shahab lahir di Jakarta pada 23 September 1910 dari keluarga Betawi berdarah Arab. Ayahnya, Ali Shahab adalah juragan tanah yang termasuk salah seorang tokoh perintis Jamiat Kheir. Menurut Alwi Alatas, sejarawan yang mengkaji komunitas Hadrami di Indonesia, Jamiat Kheir merupakan organisasi Islam modern pertama di Hindia Belanda. Pada masa pergerakan, Asad Shahab aktif di perkumpulan Hizbu Shabab. Perkumpulan pemuda-pemuda Hadrami ini dalam bahasa Belanda disebut Partij van de Jongere Arabieren (Partai Arab Muda). Pada 1938, Asad Shahab tercatat sebagai sekretaris pertama.  “Tujuan organisasi ini cukup banyak. Memberikan bantuan beasiswa, menolong keluarga Hadrami yang miskin, melakukan pembelaan terhadap Islam, hingga mengorganisir klub sepak bola,” kata Alwi Alatas. Diskusi “Mengenang M. Asad Shahab: Arabian Press Board Mengawal Proklamasi” di Perpustakaan Nasional (11/5.). Foto: Martin Sitompul/Historia. Pada 2 September 1945, Asad Shahab mendirikan kantor berita Arabian Press Board ( APB ). Kata Arab dibubuhkan guna mengelabui Belanda yang berupaya menekan atau membubarkan setiap gerakan berbau Indonesia. Kantor berita APB terletak di Jalan Gang Tengah No. 19 yang kini dikenal sebagai kawasan Salemba. Berita yang diterbitkan APB berupa buletin harian yang diterjemahkan ke dalam tiga bahasa: Indonesia, Arab, dan Inggris. Produk media APB cukup beragam. Mulai dari buletin harian, suratkabar, dan majalah berkala. Selain koreponden di berbagai negara, pendistribusian APB terbantu oleh Kementerian Luar Negeri yang mengirimkan buletin harian ke seluruh perwakilan RI di luar negeri. Dari berita APB, negara-negara Timur Tengah mengetahui keadaan yang terjadi di Indonesia. Corong Perjuangan Sejarawan cum antropolog Belanda dari Universitas Nijmegen, Huub de Jonge menguak fakta sejarah menarik tentang APB . Menurutnya, berita-berita APB memuat informasi yang kaya rekaman sejarah. Berdasarkan sumber militer Belanda, baik arsip NICA ataupun arsip intelijen (PID) yang diteliti Jonge, menyebutkan bahwa tulisan-tulisan di koran Belanda mengambil rujukan berita dari APB . “Pemberitaan Belanda yang ada di Indonesia mengambil berita yang dikeluarkan APB dan ditulis dalam komentar yang respek,” kata Jonge. Di tengah perjuangan revolusi, salah satu pemberitaan APB menyebutkan pentingnya pencatatan populasi ternak di Indonesia. Sumber Belanda juga melansir berita APB tertanggal 20 April 1948 terkait Perjanjian Renville yang mewartakan bahwa  berita Indonesia tak seharusnya bekerja sama dengan negara asing. APB juga memberitakan tentang para pelaku pemberontakan di Madiun sudah menjadi gila. Selain itu, pasca Perjanjian Roem-Rooijen dan para tokoh Republik dikembalikan ke Yogyakarta, APB memberitakan bantuan orang kaya Arab menyumbangkan perlengkapan furnitur di Istana Yogyakarta karena kondisi finansial negara yang sulit. “Ini menunjukkan bagaimana pemberitaan APB bisa sangat detail mengenai sejarah,” ujar Jonge. Jonge juga mengimbau apabila kita bisa menemukan semua buletin yang dikeluarkan oleh APB, itu bisa digunakan untuk merekonstruksi sejarah bangsa. Semua pergerakan tertulis secara detail mengenai siapa, kapan,  dan bagaimana kejadiannya. Dokumen-dokumen APB semasa revolusi sempat lenyap. Tentara NICA melakukan penggerebekan yang mengakibatkan kantor berita APB ditutup. Siaran APB pun dibredel. Pasca pengakuan kedaulatan,  Arabian Press Board berganti nama menjadi Asian Press Board . Di masa Sukarno, APB menjadi pers yang kritis menentang komunisme dan politik Demokrasi Terpimpin. Asad Shahab menolak konsepsi Sukarno tentang Nasakom. Lagi pula, kecendrungan pers komunis saat itu tengah kuat-kuatnya. Pertentangan politik menyebabkan APB dibubarkan pada 1962 dan dileburkan ke dalam Antara . Muncul desas-desus Asad Shahab menjadi target sasaran untuk diadili. Asad Shahab kemudian meninggalkan Indonesia dan menghabiskan sekian lama waktunya di Arab Saudi. Dia berkecimpung dalam organisasi Islam Rabithah al-Alam al-Islami yang aktif dalam kegiatan dakwah. Pada 1980, Asad Shahab kembali ke Tanah Air. Di masa tuanya, dia dikenal sebagai tokoh pers pejuang sekaligus tokoh keturunan Arab terkemuka. Pada usianya yang ke-90, Assad Shahab wafat, tepatnya pada 5 Mei 2001.

  • Ketika Robby Darwis Dikerjai Malaysia

    Rivalitas Malaysia-Indonesia telah merembes ke berbagai bidang, terlebih di olahraga. Robby Darwis, stopper Persib dan timnas era 1980-an, merasakan betul hal itu. Dia tak pernah melupakan peristiwa yang dialaminya 29 tahun silam. Alih-alih mendapat senang dan kebanggaan merumput bersama klub luar, dia justru sial sejak awal gegara sebuah insiden. Pada 1989, Robby dikontrak Kelantan FC dari Persib. Bersama Kelantan, Robby bermain di Divisi 1 Liga Semi-Pro Malaysia. Robby menjalani debutnya pada 11 Juli kala timnya menghadapi Singapore FA (timnas Singapura yang “membonceng” kompetisi Liga Malaysia). “Ketika itu saya baru saja pulang dari (timnas) PSSI untuk Pra Piala Dunia, saya langsung ke Singapura. Di pertandingan lawan Singapura itulah terjadi insiden. Ada protes sampai ricuh di lapangan,” ujar Robby kepada Historia. Mengetahui ada kericuhan, Robby mendekati rekan-rekannya yang mengerubungi wasit untuk melerai. “Waktu saya lagi berusaha memisah-misahkan rekan-rekan tim, wasit kakinya ketendang ,” kenang Robby. Tendangan itu membuat wasit tersungkur dan marah. “Begitu bangun, dia (wasit) ngeluarin kartu merahnya ke saya. Saya sendiri nggak tahu pelakunya,” lanjut Robby. Skorsing Aneh Negeri Jiran Hukuman itu membuat Robby merasa dijadikan korban “konspirasi”. Pasalnya, setelah itu FAM (induk sepakbola Malaysia) membawa kasus itu ke FIFA. Berbeda dari para pemain Singapura yang disanksi hanya dengan skorsing 2-3 pertandingan, Robby dapat skorsing jauh lebih banyak. “Saya tiga-empat bulan larangan bermain. Makanya aneh di situ. Ya habis itu musim sudah selesai. Jadi sedikit sekali saya bermain di sana,” sesalnya. Skorsing itu juga membuat Robby tak bisa memperkuat timnas Indonesia di SEA Games 1989. “Tahun 1989 itu kan Malaysia tuan rumah. Sementara Indonesia juara bertahannya (cabang sepakbola SEA Games). Apalagi saya juga di tim inti timnas, jadi ya nggak tahu lah (konspirasinya). Saat itu kita masih tim kuat. Di samping fisik kita bagus, kualitasnya juga bagus-bagus,” sambung Robby. Kecurigaan Robby bukan tanpa alasan. Sebab, ingat Robby, technical meeting (TM) ASEAN Football Federation sempat membicarakan kasusnya. “Waktu rapat TM itu saya dibilangnya boleh main. Makanya waktu menjelang lawan Brunei (di penyisihan Grup B), saya sudah pemanasan. Tapi lalu saya malah nggak boleh main. Nah , habis SEA Games justru sanksi saya dicabut,” kata Robby. Sekembalinya ke Persib usai putus kontrak dengan Kelantan, Robby juga baru bisa merumput di Perserikatan 1989/1990 selepas 2 Desember, setelah FIFA mencabut sanksinya. Menurut Sekretaris Umum PSSI Nugraha Besoes, dilansir Pikiran Rakyat 1 November 1989, hukuman Robby dicabut FIFA kemungkinan besar lantaran rekaman video yang diperiksa tak menunjukkan Robby melakukan serangan fisik terhadap wasit. “Itulah makanya. Saya sendiri nggak mau mempermasalahkan yang sudah lalu. Meski pihak klub (Kelantan) juga sempat protes dan ingin melihat saya lebih sering bermain untuk mereka. Hubungan saya, pergaulan dengan rekan-rekan setim yang asli Malaysia pun baik-baik saja, nggak ada sentimen apa-apa,” ujarnya menutup pembicaraan.

  • Orang Katolik di Masa Jepang

    Umat Katolik bumiputra terasing di dua komunitas pada masa kolonial. Mereka hidup dalam masyarakat mayoritas Muslim. Sedangkan di dalam gereja, mereka terasing karena berada dalam golongan di bawah Eropa dan Tionghoa. Ketika masa pendudukan Jepang, mereka mendapatkan nasib yang tak lebih baik. Menurut Gregorius Budi Subanar, rohaniwan dan budayawan, sejumlah pemimpin Katolik bumiputra ditahan. Layanan para misionaris untuk pendidikan dan kesehatan pun nyaris macet. “Orang-orang Kristen ini dicap sebagai antek kolonial,” kata Budi Subanar, yang akrab disapa Romo Banar, kepada Historia . Di sisi lain, kata Romo Banar, ada umat Katolik yang berbalik iman, dengan mengembalikan buku doa ke gereja. Kendati demikian, pemimpin umat Katolik yang tersisa tetap berusaha turun ke daerah-daerah untuk menenangkan umat dan memberikan pelayanan. Nasib Tragis Nasib tragis juga dialami para pemimpin Katolik berdarah Belanda. Romo Banar mengatakan, mereka ditangkap dan dipenjara. Di wilayah misi di Flores, misalnya, 173 imam misionaris dimasukkan ke kamp interniran. Nasib yang sama dialami pemimpin Katolik di Langgur, Maluku Tenggara. Menurut Romo Banar, sesaat setelah tentara Jepang mendarat di Pulau Kei, Mgr. Aerts yang menjadi pemimpin gerejani Maluku dihabisi. Begitu pula dengan empat imam, delapan bruder, dan satu suster. Penangkapan-penangkapan pun terjadi di wilayah Vikariat Apostolik Semarang. Proses penahanan dimulai pada Mei 1942. Vikariat Apostolik merupakan bentuk otoritas sebuah kawasan dalam Gereja Katolik Roma, yang dibentuk dalam wilayah misi di negara yang belum memiliki keuskupan. Status Vikariat Apostolik Semarang ditingkatkan menjadi Keuskupan Agung Semarang pada 1961. Di Surakarta, tiga misionaris Serikat Jesuit dan dua misionaris Keluarga Kudus ditangkap pada 30 Mei 1942. Kemudian, pada 28 Juni 1942, para bruder anggota Tarekat Maria Yang Dikandung Tanpa Noda di Surakarta ditahan. Menyusul, sejumlah orang dari komunitas Katolik lainnya di berbagai tempat ditawan. “Saat pendudukan Jepang, Yesuit yang berkarya di Jawa ada 172 orang, 120 misionaris Eropa ditahan dalam kamp internir,” kata Romo Banar, yang menulis buku Soegija Catatan Harian Seorang Pejuang Kemanusiaan. Guna menegakkan kekuasaannya, pemerintah militer Jepang mengeluarkan sembilan undang-undang. “Dua di antaranya mengatur dan membatasi gerak lembaga agama,” ujar Romo Banar. Seluruh kegiatan di dalam gereja, baik khotbah, nyanyian, dan ungkapan religius harus menggunakan bahasa Indonesia atau daerah. “Bahasa musuh”, dalam hal ini bahasa Belanda, dilarang. Para pastor berada di bawah kontrol, dan laporan tentang mereka harus dikirim kepada pejabat Jepang setempat. “Pastor-pastor di internir banyak yang meninggal. Yang kemudian (selamat) pulang, ya gila. Stres,” kata Romo Banar. Perjuangan Soegijapranata Ketika banyak petinggi gerejani ditangkap Jepang, Soegijapranata menjadi penjaga keutuhan umat Katolik di Semarang, dan wilayah Jawa Tengah. Dia adalah sosok pemimpin umat Katolik bumiputra kala itu. Sebagai pemimpin Apostolik Semarang, Soegijapranata intens berkomunikasi dengan para aktivis gereja yang diinternir. Salah satunya dengan Mgr. P. Willekens, Vikaris Apostolik Batavia, yang kemudian dibebaskan dari tahanan setelah mendapat bantuan dari diplomat Swiss. Kedua pemimpin gereja itu menjalin relasi surat-menyurat. Bersama Rektor Seminari Kecil Mertoyudan, Jawa Tengah. Soegojapranata dan Willekens lalu berkirim surat kepada penguasa Jepang untuk meminta izin membuka kembali Seminari Menengah yang ditutup. Dalam situasi sulit, Soegijapranata mengkoordinir pelayanan dengan turun langsung ke daerah-daerah maupun lewat surat-menyurat. “Surat-surat yang saya temukan banyak. Ada ratusan. Setiap minggu selama masa Jepang dia kirim surat. Dia diplomasi, komunikasinya, secara tulisan dan lisan,” ujar Romo Banar. Komunikasi juga dilakukannya dengan Sukarno. “Jadi selama masa Jepang, Sukarno pernah ke Semarang, pidato, lalu komunikasi lewat kurir. Dia menyerukan pemuda-pemudanya, ikut gerakan Sukarno.” Setelah kemerdekaan, menurut Romo Banar, umat Katolik menyatakan 100 persen Katolik, 100 persen Indonesia. Motto ini populer di kalangan umat Katolik, sebagai upaya menepis cap lama, yakni tudingan antek kolonial, sekaligus memotivasi umat Katolik  agar berguna bagi masyarakat Indonesia.

  • Pulau Emas di Barat Nusantara

    EMAS menjadi daya tarik para pendagang datang ke Sumatra. Sehingga, pulau di barat Nusantara itu pun dijuluki Suvarnadvipa atau Pulau Emas. Kekayaan ini juga jadi motif kedatangan orang India ke Asia Tenggara. Dalam Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya Abad III-VII , OW Wolters mencatat pada pengujung abad sebelum Masehi India kehilangan sumber emas Siberia karena perpindahan bangsa barbar melintasi Asia Tengah. Pun pada pertengahan kedua abad pertama Masehi, orang Vespasia menghentikan pengiriman emas bongkahan dari Roma ke India. Hal itu diperkuat bukti kesusastraan. Karya-karya klasik India mencatat, wilayah Asia Tenggara merupakan sumber emas penting. Misalnya, dongeng-dongeng Jataka melukiskan pelayaran-pelayaran berbahaya ke Suvarnabhumi atau “Negeri Emas”. Kisah Ramayanna juga menyebut nama Suvarnadvipa . Syair cerita Tamil Pattinappalai, yang kemungkinan disusun pada abad pertama masehi, menceritakan perdagangan antara orang India dengan Kalagam yang sekarang dikenal dengan Kedah. Namun, menurut Wolters , para ahli sejarah masih meragukan sumber-sumber itu karena tak tahu pasti kapan versi teks itu ditulis, sejak kapan para pelaut memiliki informan tentang negeri-negeri itu, dan sejauh mana para penulis teks-teks itu memahami istilah-istilah geografi yang mereka gunakan. Kendati begitu, kata Suvarnadwipa dan Suvarnabhumi yang merujuk Pulau Sumatra muncul dalam Prasasti Nalanda di India (860 M), Prasasti Tanjore (1030 M) ketika memberitakan ekspedisi raja Cola ke wilayah Kerajaan Sriwijaya, dan Prasasti Padang Roco (1286 M) yang memuat pengiriman arca Amoghapasalokeswara dari Raja Singhasari Kertanegara ke Melayu Dharmasraya di Sumatra . Julukan yang mirip dipakai sebagai gelar raja pada abad 14 oleh Adityavarman, raja Minangkabau. Menurut Slamet Muljana dalam Sriwijaya, sang raja mengambil gelar Kanakamedinindra artinya “yang dipertuan di Pulau Emas’. Nama Suwarnadwipa juga digunakan pada Prasasti Pagaruyung. Sumber Tiongkok juga memuat keterangan negeri penghasil emas. Dalam catatannya, penjelajah I-Tsing memberi nama Chin-chou untuk Sumatra yang artinya Pulau Emas. Penjelajah Tome Pires dalam Suma Oriental menyebut emas datang dari pedalaman Pedir, pelabuhan yang terletak berdekatan dengan Tanjung Pidie. “Rujukan ini dapat mencerminkan kepopuleran Asia Tenggara pada masa lalu sebagai sumber emas yang penting,” tulis Wolters. Sejarawan Inggris, John Guy dalam “Tamil Merchants and the Hindu-Buddhist Diaspora in Early Southeast Asia” , mencatat bahwa wilayah barat Indonesia, khususnya Sumatra dan Kalimantan menghasilkan endapan dan kerikil bermuatan emas. “Pedagang India tertarik datang ke Asia Tenggara karena rempah-rempah, hasil hutan, dan logam mulianya, terutama emas. Mereka juga tertarik karena ini membuka jalan untuk berdagang dengan Cina,” tulis John Guy termuat dalam Early interactions between South and Southeast Asia reflections on cross-cultural exchange . Sumatra termasyur sebagai negeri emas terus berlanjut hingga kekuasaan Kesultanan Aceh. Dannys Lombard dalam Kerajaan Aceh menulis soal banyaknya pandai emas di wilayah kerajaan itu. Mereka juga sangat terampil. Bahkan, Sultan Iskandar Muda menaruh perhatian sangat besar kepada batu permata dan emas dengan mempekerjakan 300 pandai emas. Dalam Hikayat Aceh, Lombard menemukan keterangan tambang-tambang emas di Kesultanan Aceh. Pengarang menyebut satu per satu lokasinya dengan cara yang terkadang puitis. Misalnya, dalam karya klasik itu disebutkan keberadaan emas merah 24 karat dan belerang dalam tambang yang memberikan hasil tak ada habisnya. “Semua bahan berharga yang dapat dikuasai Aceh karena kedaulatannya diakui di pedalaman,” tulis Lombard. Orang Eropa mencoba mengumpulkan keterangan sebanyak mungkin mengenai keberadaan tambang-tambang emas itu. Namun, mereka sama sekali tak dapat mendatanginya. Dalam catatan Laksamana Prancis, Agustin de Beaulieu yang datang ke Aceh pada 1620, orang Aceh pun tidak bisa mengakses tambang yang berada di bawah kekuasaan seorang raja yang terletak antara wilayah Tiku dan Minangkabau. Mereka hanya bisa mengolah lapisan permukaan tanah yang mengandung emas dalam sebuah aliran yang terbawa hujan. Mereka juga hanya bisa menggali lubang kecil di tempat timbunan longsor. Dari sana adakalanya mereka menemukan gumpalan tanah bermuatan emas yang cukup besar ukurannya. “Pada umumnya emas itu berbutir dan bergumpal kecil, yang hanya sedikit sekali dijadikan batangan. Kadar emasnya sama seperti écu Prancis, namun tak sebaik dukat Kairo,” jelas Beaulieu. William Dampier, orang Inggris yang datang ke Aceh pada 1688 mencatat, hanya orang Muslim yang diizinkan pergi ke tambang. Sulit dan sangat berbahaya jika seseorang mencoba melintasi pegunungan yang menuju tambang. Jalannya begitu terjal. Di beberapa tempat bahkan orang terpaksa menggunakan tali untuk naik dan turun. Ditambah lagi, pada kaki gunung ada penjagaan serdadu yang menghalangi orang “kafir” pergi ke tambang. Mereka mengenakan biaya untuk akses ini. “Hal ini saya dengar dari Kapten Tiler yang tinggal di Aceh dan sangat fasih bicara bahasa negeri itu,” kisah Dampier. Ketika pesaingan ketat, cerita-cerita horor terkait pencarian emas kemudian disebarkan. Misalnya, soal keberadaan “orang gunung” yang mengancam para pencari emas. Tujuannya agar para pencari emas yang nekat tak meneruskan usahanya.   Meski begitu, ketika Dampier datang, citra negeri emas ini sepertinya mulai agak merosot. Jumlah pandai emas menurun seiring memudarnya kesultanan. “Dampier sudah tak memuji sedemikian hebatnya. Pandai emasnya kebanyakan orang asing, meski masih ada beberapa orang Aceh yang pandai mengolah logam,” tulis Lombard.

  • Rusuh Napi Era Revolusi

    Kedunggede dibekap ketegangan pagi itu. Suara teriakan yang bersanding dengan bunyi tembakan membuat suasana sangat mencekam. Tak ada satu pun warga yang berani keluar rumah kecuali sekelompok kecil kaum lelaki dan ribuan serdadu  Belanda bersenjata lengkap yang berderap menuju gedung penjara. “Dalam sikap siap tempur, mereka mengepung penjara Kedunggede yang sudah dikuasai kaum Republik,” kenang Haji Siddin, lelaki berusia 90 tahun. Hingga kini Siddin tak pernah mengetahui musabab pasti mengapa para napi (narapidana) itu mengamuk dan melakukan pemberontakan. Secara samar lelaki yang dulu bekas pedagang beras di Pasar Tambun tersebut hanya mendengar kerusuhan itu awalnya dipicu oleh perlakuan kasar seorang sipir kepada salah satu napi. Namun Insiden Kedunggede itu sempat dicatat oleh A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid 8 . Disebutkan pada awal September 1948, militer Belanda melakukan pembersihan  “kaum ekstrimis” di wilayah Cibarusa yang dikenal sebagai basis BBR (Barisan Bamboe Roentjing). Itu salah satu lasykar bersenjata yang tidak mengakui kesepakatan Perjanjian Renville dan memilih untuk tetap melawan Belanda. Singkat cerita, militer Belanda berhasil menangkap 1000 orang yang dicurigai sebagai anggota BBR. Mereka lantas ditempatkan di Penjara Kedunggede, Bekasi (sekarang masuk dalam wilayah Karawang) yang sebenarnya sudah tidak bisa lagi menerima tahanan. Akibatnya suasana sumpek, panas berkelindan dengan rasa marah karena diperlakukan tidak baik oleh para sipir penjara. Sabtu pagi, 4 September 1948 meledaklah kerusuhan di Penjara Kedunggede. Terjadi bentrok massal antara napi dengan para penjaga. Disebabkan kalah jumlah, para sipir akhirnya menyerah dan otomatis penjara langsung dikuasai oleh para napi. Bala bantuan pun didatangkan. Selama sehari semalam gedung penjara dikepung oleh pasukan bersenjata. Pukul 4 pagi pada 5 September 1948, para napi mencoba untuk kabur dari penjara tersebut dengan cara menyerang para pengepung secara bersama-sama. Alih-alih berhasil, yang ada mereka menjadi umpan peluru-peluru tajam. “Menurut sumber Belanda, insiden itu mengakibatkan 47 napi tewas dan 24 lainnya luka-luka. Sedangkan sisanya yang kemudian menyerah dipindahkan ke Jakarta,” ujar A.H. Nasution. Kurang lebih sebulan sebelumnya kejadian yang sama terjadi juga di Penjara Bantjeuj, Bandung. Ceritanya, suatu hari beberapa pentolan napi Penjara Bantjej mendatangi salah satu napi terkemuka yakni Kapten TNI Soegih Arto. Kepada pimpinan kaum gerilyawan di wilayah pinggiran Bandung itu, mereka menyatakan akan memberikan “kejutan” kepada pihak Belanda pas RI memperingati kemerdekannya yang ke-3. “Mereka berencana berontak dan kembali ke hutan guna meneruskan perjuangan,” ungkap Soegih Arto dalam biografinya, Pengalaman Pribadi Letnan Jenderal (Purn) Soegih Arto . Para pentolan napi itu awalnya mendapuk Soegih untuk menjadi pimpinan pemberontakan. Namun mengetahui persiapannya yang sangat minim, dia menolak permintaan mereka dan menyarankan agar rencana tersebut dibatalkan saja. Alih-alih, sebagian dari para pentolan napi itu malah menganggap Soegih sebagai seorang pengecut. Pada 17 Agustus 1948, meletuslah pemberontakan di Penjara Bantjeuj. Kerusuhan dimulai oleh para napi dari Blok J dan berhasil merebut sepucuk pistol dari seorang anggota MP (Polisi Militer). Namun para penjaga lain lebih sigap. Mereka langsung menutup akses-akses menuju keluar secara ketat. Tak beberapa lama kemudian sirene meraung-raung, diikuti oleh kedatangan bertruk-truk anggota MP. Pemberontakan pun mengalami kegagalan. Sebagai hukuman, para napi yang terlibat pemberontakan dikenakan sanksi isolasi. Jadwal jalan pagi dan jalan sore para napi ditiadakan untuk jangka waktu yang tak tentu. Kiriman dari keluarga dihentikan secara total. “Saya sendiri dipindahkan ke Blok M,” kenang Jaksa Agung Republik Indonesia periode 1966-1973 itu.

  • Raja-raja yang Bertakhta di Sriwijaya

    BARANGKALI Balaputradewa satu-satunya raja Sriwijaya yang diingat banyak orang. Dia terkenal sampai India karena membangun asrama bagi pelajar Sriwijaya di Nalanda. Padahal, Sriwijaya mulai maju sebagai kerajaan maritim paling tidak sejak abad 7. Namanya memudar pada abad 12. Sementara Balaputradewa menjadi raja Sriwijaya pada abad 9. Lantas siapa saja yang menjadi raja Sriwijaya? Pertanyaan ini cukup merepotkan para ahli. “Dalam kajian Sriwijaya yang menyulitkan kita adalah menyusun genealogi raja-rajanya, karena prasasti tak menyebut nama raja dengan terang,” kata Bambang Budi Utomo, arkeolog senior Puslit Arkenas, kepada . Tak jelas juga siapa yang memulai imperium besar ini. Informasi awal muncul dalam Prasasti Kedukan Bukit bernama Dapunta Hyang. Namun, sesungguhnya yang disebut prasasti dari tahun 682 itu hanyalah gelar. Untungnya, Prasasti Talang Tuo memperjelasnya. Ditemukan di Palembang, prasasti dari tahun 684 ini menyebut tokoh Dapunta Hyang Sri Jayanaga. Kedua tokoh itu dianggap orang yang sama karena prasasti itu dikeluarkan dalam jarak waktu berdekatan. “Kita baru tahu nama lengkapnya setelah ditemukan prasasti tentang taman, Prasasti Talang Tuo,” ujar Bambang. Menurut Slamet Muljana dalam Sriwijaya berdasarkan isi Prasasti Talang Tuwo, Dapunta Hyang Sri Jayanaga dipuja dengan doa yang muluk setelah dia memerintahkan pembuatan taman Sriksetra. Taman yang ditanami beraneka buah-buahan itu diciptakan demi kehidupan semua makhluk.    “Jadi logisnya Dapunta Hyang adalah gelar raja Sriwijaya yang bernama Sri Jayanaga,” catat Slamet Muljana. Siapa yang melanjutkan pemerintahannya? Menurut Bambang, informasinya terputus sampai muncul nama Balaputradewa. Ada petunjuk kecil dari Prasasti Ligor A dan kronik Tiongkok. Prasasti itu menyebut raja Sriwijaya menyerupai Indra yang membangun kuil di Ligor (kini, Nakhon Si Thammarat di Thailand selatan) pada 775.   Hsin-t’ang-hsu , catatan sejarah yang disusun berdasarkan berita Ch’iu T’ang Shu atau sejarah lama, ketika Dinasti Sung berkuasa pada abad 11. Tercatat Kerajaan Shih-li-fo-shih (Sriwijaya) mengirim utusan ke Tiongkok pada 670-673 dan 713-741. Pada 724, seorang utusan bernama Kiu-mo-lo (Kumara) datang ke Tiongkok. Kaisar memberi gelar jenderal padanya. Dia juga memberi gelar pada raja Sriwijaya bernama Che-li-to-le-pa-mo (Sri Indrawarman). “Jika masa pemerintahan itu kita hubungkan dengan Prasasti Ligor A, yaitu 775, maka selisih 51 tahun, mungkin Sri Indrawarman masih memerintah, mungkin juga sudah diganti putranya,” tulis Slamet. Bisa jadi raja yang dilukiskan serupa Dewa Indra oleh Prasasti Ligor A adalah Sri Indrawarman atau anaknya yang entah siapa namanya. Tak banyak lagi informasi mengenai pemegang takhta berikutnya. Permasalahan genealogi kian ruwet ketika sampai ke Balaputradewa dalam suksesi Sriwijaya. Dalam Prasasti Nalanda dari tahun 860, Balaputradewa mengaku keturunan Sailendra, sebuah wangsa di Jawa. Ini menjadi pertanyaan bagaimana seorang keturunan Jawa bisa berkuasa di Sumatra. Namun, setidaknya dia menjadi raja Sriwijaya lebih jelas. Prasasti itu menyebut namanya sebagai Maharaja di Suwarnadwipa , sebutan lama bagi Sumatra yang identik dengan Sriwijaya. Setelah Balaputradewa, ada dua nama yang disebut dalam kronik Tiongkok sebagai raja di San-Bo-Zhai (Sumatra). Namun, keduanya tak didukung data prasasti. Dalam catatan Sejarah Dinasti Song (960-1279), disebutkan pada 960, Si-ri-hu-da-xia-li-tan mengirimkan utusan ke Tiongkok. Rajanya bernama Si-ri-wu-ya. Dua puluh tahun kemudian, rajanya sudah berganti. Ha-chi atau Haji (Aji) tertulis sebagai raja yang mengirim utusan ke Tiongkok pada 980. Informasi agak terang muncul soal dua raja selanjutnya. Selain dari catatan Sejarah Dinasti Song, kedua raja ini juga disebut dalam prasasti berbahasa Tamil, Prasasti Leiden dari tahun 1005. Kronik Tiongkok menyebut pada 1003, Raja Si-ri-zhu-la-wu-ni-fo-ma-diao-hua mengirimkan utusan ke Tiongkok. Utusan ini menyampaikan kepada kaisar kalau mereka mendirikan vihara Buddha bagi sang kaisar. Untuk itu mereka memohon agar penguasa Tiongkok bersedia memberikan nama dan genta. Pada 1008, penggantinya, Se-ri-ma-la-pi juga mengirim utusan ke Tiongkok. Kedua raja itu merupakan ayah dan anak. Dalam Prasasti Leiden disebutkan Sri Marawijayotunggawarman, putra Raja Cudamaniwarman keturunan Sailendra, raja Kataha dan Sriwijaya, menghadiahkan sebuah desa di Nagippattana. Sementara sang ayah menghadiahkan sebuah biara bernama Cudamaniwarmanwihara. Hadiah ini, diberikan pada tahun pertama pemerintahan Raja Cola, Rajaraja I (1005/1006). Berikutnya, pada 1017 berita Tiongkok kembali menyebut Raja Ha-chi-su-wu-cha-pu-mi mengirimkan utusan yang membawa surat berhuruf emas dan beberapa hadiah kepada kaisar. Pada 1028, raja yang berbeda, Raja Si-li-die-hua atau mungkin dibaca Sri Deva, mengutus bawahannya ke Tiongkok. Dua tahun sebelum utusan ini datang, Sriwijaya diserang Kerajaan Cola dari India Selatan. Dalam Prasasti Tanjore (1030) disebutkan Raja Sangramawijayattungawarman ditawan. Dalam Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha, George Coedes memperkirakan raja yang ditawan itu segera diganti. Yang tercatat dalam kronik Tiongkok itu bisa jadi adalah raja yang menggantikan. Bambang menjelaskan, Sriwijaya masih tercatat mengirimkan bantuan ke Tiongkok dalam pembangunan kuil Tao di Kanton. Dalam Prasasti Kanton (1079) tercatat perbaikan kuil T’ien Ching dilakukan atas biaya raja San-fo-ts’i bernama Ti-hu-ka-lo. Nama itu mungkin yang terakhir dari berita-berita tentang penguasa Sriwijaya. Informasi penguasa di Suwarnadwipa baru muncul kembali saat di Jawa sudah berkuasa Krtanagara, raja Singhasari. Namun, agaknya kekuasaan di Sumatra sudah beralih dari Sriwijaya ke Kerajaan Melayu. Pusat kekuasaannya berubah ke Dharmmasraya di barat Sumatra. Lewat Prasasti Padang Roco (1286) yang ada di lapik arca Amoghapasa diketahui kalau Krtanagara menghadiahi rakyat Bhumi Malayu arca itu. Raja di Bhumi Malayu itu bernama Sri Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa. Gelar Srimat sebelumnya juga pernah muncul. Ia tercantum dalam Prasasti Grahi (1183) untuk raja bernama Srimat Trailokyaraja Mauplibhusanawarmadewa. Adapun prasasti ini berada di Chaiya, selatan Thailand yang sebelumnya pernah menjadi negeri bawahan Sriwijaya. Menurut Slamet Muljana, gelar Srimat dan nama Mauli hanya dikenal oleh raja-raja Melayu. Tak pernah sebelumnya digunakan oleh penguasa trah Sailendra, baik di Sumatra maupun di Jawa. “Dengan kata lain Kerajaan Sriwijaya pada 1183 sudah runtuh digantikan Kerajaan Malayu, dan wilayah Semenanjung tak lagi diperintah Sriwijaya, melainkan Kerajaan Melayu,” jelasnya.

  • Geliat Seni Rupa Semasa Pendudukan Negeri Sakura

    SEJAK didirikan Agustus 1942, Sendenbu (Departemen Propaganda) menggenjot produksi alat propaganda lewat berbagai media. Radio, film, surat kabar, serta pameran dan pertunjukan seni merupakan media propaganda Jepang di Indonesia.  Untuk memaksimalkan usaha propaganda tentang perang Asia Timur Raya, Jepang juga membentuk Biro Pengawas Siaran Jawa (Jawa Hoso Kanrikoru), Perusahaan Surat Kabar Jawa (Jawa Shinbunkai), dan Perusahaan Film Jepang (Nihon Eigasha Nichi’ei). Alhasil, banyak karya seni anak bangsa muncul semasa pendudukan Jepang. Hal itu mendorong Dewan Kesenian Jakarta membuat pameran arsip bertajuk “3,5 Tahun Bekerja”. “Arsip kesenian masa Jepang belum banyak digali. Padahal perlu adanya pembacaan ulang atas seni masa Jepang bukan hanya sebagai alat propaganda,” kata Afrizal Malna mewakili Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta kepada Historia . Wajah Lain Pendudukan Jepang Agenda propaganda Jepang di bidang seni di satu sisi merupakan alat mengagitasi massa.  Tapi di sisi lain, ia menjadi sarana hiburan dan alat untuk memperkaya budaya. Lewat praktik berkesenian dalam berbagai organisasi seperti Pusat Tenaga Raktyat (Putera), Keimin Bunka Sidhosho, dan Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa (POSD), produksi seni meningkat. Beberapa penulis dan seniman Indonesia seperti Affandi, Sudjojono, dan Emiria Sunnasa ikut dalam pusaran itu. Mereka bekerjasama dengan para seniman Jepang, seperti desainer grafis Takahashi Kono, karikaturis Seseo Ono, dan pelukis Miyamoto Saburo, Ryohei Koiso, serta  Seizen Minami. Keikutsertaan para seniman Indonesia bukan tanpa sebab. Jepang berhasil mengambil hati bangsa Indonesia, termasuk Sukarno, lewat janji kemerdekaan. Hubungan saling mendukung Jepang-Indonesia ini juga terjadi di dunia seni. Dari sisi teknis, situasi krisis yang membuat material lukis sulit didapat itu teratasi karena Jepang memberikan secara cuma-cuma. Para seniman dalam proyek propaganda menerima cat minyak, kanvas, studio, model, dan ruang pameran secara gratis. Jepang juga memberi kursus melukis dengan seniman Jepang dan seniman senior Indonesia sebagai gurunya. “Banyak hal yang tidak kita ketahui terjadi di masa Jepang, terutama seni. Karya di masa Jepang tidak hanya dilihat sebagai poster, lukisan, atau media propaganda tapi bisa dilihat lebih jauh terkait perkembangan seni rupa. Misalnya, penggunaan teknik, warna, dan gaya,” kata Antariksa, kurator pameran. Pelukis Indonesia mempelajari banyak teknik baru dari para seniman Jepang. Dari Saseo Ono, seniman Indonesia mulai mengenal mural dan belajar membuat sketsa cepat di luar ruangan. Sementara, Takahashi Kono memperkenalkan teknik montase dan kolase di bidang seni fotografi dan desain. Takahashi juga menjadi pengarah desain untuk media massa Indonesia masa Jepang semisal Djawa Baroe. “Arsip kesenian masa Jepang tidak hanya dilihat dari kacamata sejarah politik, tetapi bagaimana di masa tersebut kesenian berkembang. Juga menjadi referensi bagi seniman muda untuk memperkaya kerja penciptaan masa kini,” kata Antariksa. Hubungan seni, seniman, dan Jepang menjadi saling membutuhkan. Jepang menggunakan seni sebagai alat propaganda sementara para seniman memperoleh pendidikan, material, dan kesadaran akan kekuatan seni dalam dunia politik (kelak digunakan oleh Lekra) yang digunakan 20 tahun berikutnya. Di masa Belanda, akses untuk mendapatkan pendidikan dan material lukis hanya bisa dijangkau para bangsawan dan orang Eropa. Maka ketika Jepang memberikan semua kebutuhan untuk membuat karya secara gratis, jumlah pelukis Indonesia meningkat tajam. “Selama masa Belanda kita hanya mengenal kurang dari 10 seniman dan pelukis. Sementara di masa Jepang, ada 60-an nama yang terdaftar,” kata Antariksa.

  • Kala Arab Saudi Memesona di Piala Dunia

    Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat merupakan Piala Dunia pertama bagi Arab Saudi. Selain menjadi debut, Piala Dunia 1994 menjadi bukti prestasi baik Arab Saudi yang kala itu dilatih Jorge Solari. Di pertandingan pembuka, kontra Belanda, Arab Saudi mengagetkan publik sepakbola dunia. Skill ciamik ditambah serangan-serangan terpola Arab Saudi acap membuat barisan belakang Belanda yang dikomandani Ronald Koeman kerap kerepotan. Di menit ke-18, sayap kanan Talal Jebreen berhasil merepotkan dua bek Belanda hingga terpaksa menjatuhkannya. Tendangan bebas yang didapat Arab lalu dimanfaatkan dengan baik oleh gelandang Fuad Anwar dengan sundulan ke pojok kiri gawang Ed de Goey. Arab unggul lebih dulu. Silih berganti menyerang terus berlangsung hingga setelah Belanda menyamakan kedudukan di menit ke-50. Namun, barisan belakang Arab Saudi kerap salah koordinasi dengan barisan tengahnya. Di menit ke-86, saat ketegangan memuncak, kiper Al Deaya melakukan blunder. Bola halauannya yang gagal langsung dimanfaatkan striker Gaston Taument dengan sundulan. Gol Taument membuat Arab Saudi tak jadi mendapat poin. Pelatih Solari mengambil pelajaran dari kekalahan pertama itu dengan lebih mendisiplinkan para pemainnya kala menghadapi Maroko. Buahnya, Arab Saudi mengempaskan Maroko 2-1. Kedisiplinan itu berlanjut di pertandingan penentuan melawan Belgia. Meski mati-matian, para pemain belakang Arab Saudi berhasil membuat Belgia gagal menciptakan gol. Seiring dengan itu para pemain Arab Saudi tak sedikitpun mengendurkan serangan. Ketika pertandingan baru lima menit, para pemain Arab Saudi bahkan berhasil mengubah kurungan pemain-pemain Belgia jadi serangan balik apik dan mematikan. Begitu berhasil merebut bola, seorang bek Arab Saudi langsung mengoper kepada Saeed Owairan. Gelandang tengah ini langsung  solo run dan berhasil melewati lima pemain Belgia sebelum melesakkan bola ke gawang Michel Preud'Homme. Owairan menciptakan gol indah mirip gol kedua Maradona ke gawang Inggris di Piala Dunia 1986. “Tapi, gol al-Owairan lebih indah. Sekarang, dalam 12 detik, tiga perempat panjang lapangan, dan slalom melewati enam pemain Belgia –termasuk Michel Georges Preud’Homme, pemenang penghargaan kiper terbaik Yashin Award– ada ‘Maradona Gurun’,” tulis Michael J. Agovino dalam The Soccer Diaries: An American’s Thirty-Year Pursuit of the International Game .   "Bagi al-Owairan, gol itu mengubah hidupnya. Sekembalinya ke Arab Saudi, dia dihadiahi Rolls-Royce, dan pria yang dijuluki sebagai 'Maradona dari Arab' itu menjadi selebriti besar di tanah airnya,” tulis Mark Lomas dalam “World Cup’s Greatest Goals: Saeed Al-Owairan (1994, Saudi Arabia vs Belgium)”,  espn.com , 2 April 2014. Gol Owairan tak hanya fantastis tapi juga menentukan. “Satu-satunya gol di pertandingan itu dan membawa Arab Saudi lolos ke babak berikutnya,” lanjut Agovino. Kemenangan atas Belgia membuat Arab Saudi jadi runner up Grup F dan melaju ke babak 16 besar. Arab Saudi menjadi negeri Asia pertama yang berhasil melewati fase grup.

  • Isyarat Patahnya Kekuasaan Soeharto

    SOEHARTO terpilih kembali menjadi presiden untuk ketujuh kalinya pada 10 Maret 1998. Sehari kemudian, setelah dia disumpah dalam Sidang Umum MPR, terjadi peristiwa yang mengejutkan. Harmoko, Ketua DPR/MPR, mengetukkan palu untuk menutup sidang, namun palu itu patah.

  • Maradona-nya Indonesia Telah Tiada

    INNALILLAHI wa inna ilaihi rojiun . Sepakbola nasional kehilangan salah satu legenda terbaiknya Jumat (11/5/2018) pagi. Zulkarnain Lubis menghembuskan nafas terakhir akibat serangan jantung di Pali, Sumatera Selatan, pukul 07.45 pagi di usia 59 tahun. Dalam laman resmi PSSI, Plt. Ketum PSSI Joko Driyono menghaturkan belasungkawa untuk legenda yang juga suami mantan pesepakbola putri dan anggota Komite Eksekutif PSSI cum Ketua Asosiasi Sepakbola Wanita Indonesia (ASBWI) Papat Yunisal itu. “PSSI sangat berterimakasih atas dedikasi, komitmen, dan kontribusi besar Zulkarnain Lubis untuk sepakbola Indonesia,” ungkap Joko di pssi.org , Jumat (11/5/2018). Kemenpora tak ketinggalan mengungkapkan dukacitanya. “Karena kepiawaiannya mengolah bola, saat aktif bermain beliau dijuluki sebagai Maradona Indonesia. Jasanya untuk kejayaan negeri ini tak akan pernah kami lupakan,” cuit akun Twitter @KEMENPORA_RI. Zulkifli yang dijuluki Maradona-nya Indonesia merintis karier sejak 1970 di PSBK Binjai. Nama pesepakbola kelahiran Binjai, Sumatera Utara, 21 Desember 1958 itu meroket kala berseragam PSMS Medan. Dari sana, dia kemudian bergabung dengan Mercu Buana, Yanita Utama, Krama Yudha Tiga Berlian, Petrokimia Putra, dan PSM Makassar. Zul mengenakan seragam kebanggaan dengan logo Garuda di dada sejak 1983 sampai 1986. Di ajang terakhirnya, Asian Games di Seoul, Zul ikut mengantar Indonesia mencapai empat besar. Pencapaian di pesta olahraga terbesar se-Asia itu masih jadi rekor terbaik hingga kini. Terpuruk dan Bangkit Sebagaimana banyak atlet dalam negeri lain, Zul yang gantung sepatu pada 2000 kehidupannya sempat menukik tajam. Untuk menyambung hidup, Zul mesti pontang-panting dari berbisnis kecil-kecilan hingga berdagang nasi goreng di Cimahi. Kehidupannya baru membaik setelah diminta membantu almarhum Ronny Pattinasarani mencari bibit-bibit timnas U-15 tiga tahun kemudian. Zul setahun setelah itu juga diminta mengasuh tim putri SSB Queen milik legenda sepakbola putri Papat Yunisal. Di tahun itu juga Zul meminang Papat. “Sebenarnya sudah lama kenal, dari dulu, tapi tidak begitu akrab. Karena waktu itu (semasa di timnas)  training camp -nya bareng antara timnas wanita dengan timnas pria. Latihannya juga sama-sama di Senayan (kini Stadion Utama Gelora Bung Karno),” cetus Papat kepada Historia , akhir 2017. Sejak 2015, Zul menukangi tim PS PALI (Penukang Abab Lematang Ilir) dan dikontrak hingga 2019. Zul berhasil membawa tim itu menjuarai Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) tahun 2015. Kini, sang pengumpan matang itu telah tiada. Pihak keluarga sudah ke Pali untuk mengurus jenazahnya. Rencanya, jenazah sang legenda akan dikebumikan di Binjai dan melalui pesan singkat, Historia juga mengirim ucapan belasungkawa terdalam secara pribadi kepada Papat Yunisal, sang istri. "Terima kasih atas doa dan ucapannya maafkan segala kesalahan suami saya almarhum," tandas Papat membalas pesan singkat Historia .

  • Kerusuhan di Rumah Tahanan

    BEBERAPA hari lalu, kerusuhan meletus di rumah tahanan (rutan) cabang Salemba yang berada di lingkungan Markas Komando Brigade Mobil (Mako Brimob), Kelapa Dua, Depok. Penyebabnya: urusan makanan. Lima polisi dan satu tahanan teroris tewas. Rutan di Mako Brimob adalah tempat penahanan para tersangka tindak pidana, termasuk terorisme. Sebelumnya ia dipakai untuk menghukum anggota polisi yang nakal. Sebuah kerusuhan terjadi di lingkungan yang seharusnya memiliki tingkat pengamanan tinggi dan penjagaan ketat adalah sebuah ironi. Kelebihan kapasitas daya tampung narapidana menjadi catatan tersendiri. Namun, hal serupa juga pernah terjadi di masa lalu. Pada 30 Januari 1973, kerusuhan terjadi di rutan Komando Daerah Kepolisian (Komdak) Metro Jaya. Menurut edisi 16 Februari 1973, sebanyak 560 tahanan yang menempati sel bawah tanah Komdak Metro Jaya (sekarang Polda Metro Jaya) merusak pintu sel blok A dan B. Mereka membuat gaduh dengan berteriak-teriak dan mencorat-coret ruang tahanan. Usai lepas dari sel, mereka merusak segala barang di aula bawah tanah Komdak Metro Jaya. “Batu-batu kemudian berterbangan merusak kaca-kaca jendela dan pintu kantor yang terletak di tingkat dua,” tulis . Suasana makin mencekam. Komandan jaga lantas meminta bantuan Polisi Militer Angkatan Darat (POMAD) dan Resimen Pelopor dari Kelapa Dua. Mereka juga memanggil pemadam kebakaran dan ambulan. Pasukan bantuan yang datang memberikan tembakan peringatan ke udara. Pemadam kebakaran menyemprotkan air ke arah mereka, dan gas air mata dilepaskan. Kericuhan akhirnya teratasi menjelang pagi. Motif Kerusuhan Kerusuhan dipicu ketidakpuasan atas perlakuan buruk yang kerap diterima para tahanan. Hal ini terkait pula dengan ruang tahanan yang melebihi kapasitas. “Kapasitas sel maksimal hanya dapat menampung sebanyak 250 orang,” kata Kepala Dinas Humas Komdak Nyonya Pramono . Sementara Kepala Daerah Kepolisian (Kadapol; sekarang Kapolda) Metro Jaya Irjen Polisi Widodo Budidarmo menyebut keterlibatan orang luar. Dia mengatakan, sebelum terjadi kerusuhan, beberapa orang luar menghubungi petugas untuk meminta agar para tahanan diberi beberapa lelonggaranNamun, permintaan itu tak digubris komandan-komandan yang jaga di sana. Menurut 1 Februari 1973, Widodo menyatakan, kelonggaran yang dimaksud terkait berhubungan dan bergaul sesama tahanan. Terkait hal itu, seorang polisi wanita (polwan) senior yang pernah berdinas di rutan Komdak pada 1970-an memberikan kesaksian yang mengejutkan. Kesaksian itu dikutip Irawati Harsono dalam tulisan berjudul “Polwan Menegakkan Etika Kepedulian di Tengah Budaya Patriarki”, dimuat di buku . Menurut polwan itu, saat terjadi kerusuhan di rutan Komdak, tembok pembatas ruang tahanan laki-laki dan perempuan dijebol. Lantas, banyak tahanan perempuan diperkosa. Saat itu, ruang tahanan dibagi menjadi dua bagian terpisah. Separuh untuk tahanan laki-laki dewasa dan separuh lainnya untuk anak-anak dan perempuan dewasa. Sisa-sisa G30S Waktu itu, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) belum diundangkan –baru dilakukan tahun 1981. Akibatnya, banyak tahanan meringkuk selama bertahun-tahun, dan tak ada batasan waktu diajukan ke pengadilan. Coretan di dinding, yang ditemukan wartawan ,menyiratkan kekecewaan para tahanan itu. Salah satunya, terdapat coretan: “Kami minta agar cepat sidang.” Namun, seperti alasan yang biasa dipakai di masa Orde Baru, pihak kepolisian menyebut keterlibatan orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI). Kepala Daerah Kepolisian (Kadapol; sekarang Kapolda) Metro Jaya Irjen Polisi Widodo Budidarmo maupunNyonya Pramono menyimpulkan, “kerusuhan ini didalangi sisa-sisa G-30-S/PKI.” Yang pasti, peristiwa tersebut menimbulkan kerugian Rp300 ribu. Empat tahanan yang dituding sebagai provokator diperiksa. Menurut Widodo, pascakerusuhan diadakan pemindahan tahanan sebanyak 100 orang ke rutan Guntur, 20 orang lainnya dimutasi ke Kelapa Dua.

bottom of page