top of page

Hasil pencarian

9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Jago Pukul Betawi

    Muali Yahya, guru silat Beksi Haji Hasbullah di Jakarta, berlatih bersama murid-muridnya. Foto: Micha Rainer Pali/Historia. MEDIA memiliki andil besar dalam membentuk gambaran yang kemudian jadi patokan untuk melihat Betawi. Salah satunya, jago pukul. Melalui berita, sinetron, dan film, televisi menampilkan jago pukul Betawi erat dengan organisasi paramiliter yang menenteng golok. Orang Betawi yang demikian tak berhak disebut jago, tapi jagoan yang ke mana-mana menebar ancaman. Sebab, seorang jago yang baik tak akan petantang-petengteng dengan golok. Demikian diungkapkan sejarawan JJ Rizal dalam diskusi “Menggali Mutiara Betawi” di Bentara Budaya Jakarta, 14 November 2013. Acara ini dimeriahkan pementasan kebudayaan Betawi: Palang Pintu, Teater Tutur (Gambang Rancak), dan Tari Kembang Topeng oleh Kartini Kisam, maestro Topeng Betawi. Menurut Rizal, sejatinya jago pukul mendapat kedudukan penting dalam masyarakat Betawi. Tak sembarang orang mampu menjalaninya. Selain mampu menguasai jurus atau main pukul, juga mendalami ilmu agama. Golok yang menjadi senjata dan identitas jago pukul tidak ditenteng sembarangan. Misalnya, pada foto penangkapan jago pukul oleh pihak kolonial di koran Pemberita Betawi , tak terpampang golok yang dipakai sang jago pukul. Golok bagi jago merupakan barang suci, tak bisa sembarang dibawa-bawa, karena biasanya memiliki wafak  (ukiran ayat suci Alquran). Itulah sebabnya membawa golok harus dalam keadaan suci. Dalam teater lenong ada aturan seorang jago boleh membawa golok tapi tak boleh keluar dari sarungnya. Namun, dalam perjalanan sejarah, ada jago yang tak lagi mempergunakan ilmu kesaktian dan bela diri untuk mencapai kesempurnaan spiritual, tapi sebaliknya disalahgunakan untuk mendapat kepuasan materi. Misalnya, pada zaman tanam paksa, sebagian besar jago lebih suka berpihak kepada kolonial atau tuan tanah ketimbang membela kaum lemah. Mereka menjadi tukang pukul untuk memaksakan kepentingan tuan tanah di wilayah tanah-tanah partikelir seperti di Tangerang, Ciomas, Bekasi, dan Cililitan. Penulis buku-buku tentang Betawi, Abdul Chaer, mengungkapkan hubungan ilmu kesaktian untuk menunjang spiritual atau kegiatan agama. Menurutnya “ngaji, berkelahi, dan pergi haji” menjadi pegangan masyarakat Betawi pada masanya. Dia menceritakan pengalaman ayahnya yang menunaikan ibadah haji pada 1927. “Waktu itu ayah saya, sebelum berangkat haji, berlatih silat di sekitar daerah Rawa Belong, karena perjalanan haji kala itu cukup berbahaya, bertemu dengan jagal,” kata Chaer. Jago pukul juga menjadi corak perlawanan orang Betawi melawan kolonial. Entong Gendut di Condet menjadi salah satunya. Namun perjuangan jago pukul dalam menghadapi kolonial tak selamanya menggunakan otot. “Perjuangan si Pitung  sendiri banyak menggunakan otak, seperti membeli senjata ke Siangapura dan mengatur strategi,” kata Rizal.

  • Peran Sang Dokter Kasunanan

    Radjiman Wedyodiningrat (kanan) di klinik Kadipolo Solo, 1915. Dia juga menjadi dokter di Rumahsakit jiwa Lawang Jawa Timur (kiri). Foto: KITLV dan commons.wikimedia.org/Tropenmuseum. WAKILNYA di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), RP Soeroso, mendapat gelar Pahlawan Nasional pada 1986. Sementara sang ketua, KRT Radjiman Wedyodiningrat, baru tahun ini mendapat gelar tersebut. “Peranannya yang terpenting sebagai ketua BPUPKI adalah memberikan arah pada seluruh wacana penyusunan dasar negara, dalam arti menyetujui atau menolak usul-usul anggota,” tulis Saafroedin Bahar, “Sumbangan Daerah dalam Proses Nation Building”, termuat dalam Regionalisme, Nasionalisme, dan Ketahanan Nasional karya Ichlasul Amal dan Armaidy Armawi. Radjiman Wedyodiningrat lahir di Yogyakarta pada 21 April 1879 dari keluarga biasa. Selagi masih kecil, dia sudah kehilangan orangtuanya. Prihatin dengan nasibnya, Dr. Wahidin Soedirohoesodo menolong pemuda berbakat dan penuh cita-cita itu untuk memperoleh pengajaran yang baik. Baca juga:  Ketika dokter menjadi pekerjaan paling buruk di dunia Menurut A.G. Pringgodigdo dalam Ensiklopedi Umum , Radjiman lulus dari Sekolah Dokter Bumiputera (Stovia) sebagai “dokter jiwa” pada 1898. Setelah beberapa tahun bekerja di Banyumas, Purworejo, Semarang, dan Madiun, dia meneruskan pendidikannya dan menjadi asisten di Stovia sampai lulus sebagai Indisch Arts. Dia kemudian bekerja di Sragen, menjadi asisten dokter istana Kasunanan Surakarta, dan dokter rumahsakit jiwa Lawang Jawa Timur –namanya kemudian dilekatkan pada rumahsakit tersebut: Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat. “Pada Oktober 1909 ia tiba di Negeri Belanda untuk melanjutkan pendidikan sebagai dokter dan untuk mengkhitan putra-putra Susuhunan,” tulis Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah, Orang Indonesia di Negeri Penjajah 1600-1950.   Dia lulus dengan “hasil cemerlang” dan bergelar Arts . “Dengan demikian kedudukan dokter Radjiman setaraf dengan dokter-dokter lulusan Universitas bangsa Belanda,” tulis Pringgodigdo, “suatu hal yang waktu itu tidak mudah dicapai oleh seorang anak pribumi, jika tidak sungguh-sungguh cemerlang kecakapan dan kepandaiannya.” Baca juga:  Achmad Mochtar, martir dunia kedokteran Indonesia Radjiman menjadi orang Indonesia kedua, setelah W.K. Tehupeiory, yang berceramah di Indisch Genootschap  (Indies Institute) pada Februari 1911. Dalam ceramahnya, dia memberikan jawaban atas pertanyaan “apakah orang Jawa dapat menerima pencerahan lebih lanjut.” Pidato Radjiman, yang dilengkapi cuplikan dari buku-buku psikologi, diterima dengan penuh pujian.  Selain di Belanda, Radjiman memperdalam keahliannya di Berlin dan Paris. “Wedyodiningrat menjadi dokter ahli bedah, ahli ilmu bersalin, dan ahli penyakit kandungan,” tulis Pringgodigdo. Sepulang dari Belanda pada pertengahan 1911, Radjiman menjadi dokter istana Kasunanan Surakarta yang pertama di Solo. Selain itu, dia kembali aktif di Boedi Oetomo sebagai wakil ketua, menjadi anggota Volksraad  (Dewan Rakyat), dan memimpin majalah tengah bulanan Timboel . Pada masa pendudukan Jepang, Radjiman menduduki jabatan-jabatan prestius tapi yang terpenting adalah ketua BPUPKI. “Apa dasar negara Indonesia jika kelak merdeka?” adalah pertanyaan yang diajukannya dalam sidang BPUPKI yang kemudian dijawab Sukarno dengan uraian mengenai Pancasila. Radjiman Wedyodiningrat wafat pada 20 September 1952. Jenazahnya dikebumikan di Desa Melati, Sleman, Yogyakarta, tempat peristirahatan terakhir bapak angkatnya, Wahidin Soedirohusodo.

  • Melawan Nazi Hingga Berdiplomasi

    LN Palar berbicara dengan Prof. Philip C. Jessup dari Amerika Serikat sebelum Sidang Dewan Keamanan PBB mengenai Indonesia di Lake Success, New York, 23 Juni 1948. Foto: KITLV. PEMERINTAH menetapkan Lambertus Nicodemus Palar bersama Tahi Bonar (TB) Simatupang dan KRT Radjiman Wedyodiningrat sebagai pahlawan nasional tahun 2013. Menurut sejarawan George McTurnan Kahin, jika ada orang yang dapat dianggap sebagai pengetua korps diplomatik Indonesia, Palar-lah orangnya. Dia diplomat yang mumpuni dan dihormati. Reputasinya yang cemerlang dalam berdiplomasi tidak lantas membuatnya tinggi hati. “Saat aku bertemu dengannya di Jakarta lima tahun lalu (1976 – red ), Palar masih terlihat sederhana, tulus dan lugas sama seperti saat aku bertemu untuk pertama kali dengannya tiga dekade lalu. Dia lebih suka dipanggil ‘Nick’ daripada ‘Mr Ambassador’ atau ‘Dr Palar’,” kenang George McTurnan Kahin dalam “In Memoriam: LN Palar,” dimuat jurnal  Indonesia Volume 32, Oktober 1981. Palar lahir di Tomohon, Manado, Sulawesi Utara, pada 5 Juni 1900. Setelah mengenyam pendidikan MULO di Tondano, AMS di Yogyakarta, dan sebentar di Technische Hoogeschool di Bandung, dia kuliah Sekolah Tinggi Hukum di Batavia. Di sini dia mendalami pandangan sosial-demokrat sejak berkenalan dengan JE Stokvis, anggota Volksraad  dan ketua Partai Sosial Demokrat Hindia (ISDP). Pada 1928, Palar pergi ke Belanda dan kuliah di Universitas Amsterdam jurusan ekonomi dan sosiologi. Menurut Harry Poeze dalam Di Negeri Penjajah Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 , awal 1930, Palar menjadi anggota Partai Buruh Sosial Demokrat Belanda (SDAP). Dengan segera dia menampakkan diri sebagai penulis dan pembicara sosial-demokrat yang dihormati. “Dialah juru penerang yang tak kenal lelah bagi para pengikut SDAP,” tulis Poeze. Atas usul Palar, SDAP dan Perserikatan Perhimpunan-Perhimpunan Sekerja Belanda (NVV) membentuk komisi kolonial dan Persdienst voor Indonesie (Persindo) agar terjalin kontak antara gerakan di Belanda dan Indonesia. Palar diangkat menjadi sekretaris komisi kolonial yang digaji sekaligus kepala Persindo. Pada 1938, Palar pulang ke Indonesia dan melakukan perjalanan keliling untuk menjalin kontak dengan gerakan nasional dan serikat pekerja. Menurut Kahin, pada tahun-tahun sebelum perang, Palar menjabat sebagai kepala bagian Indonesia dari SDAP. Ketika Jerman menduduki Belanda pada 10 Mei 1940, dia ikut perlawanan bawah tanah melawan Nazi. Tak heran jika dia meraih rasa hormat dari banyak orang Belanda, terutama di Partai Buruh Belanda. Selain itu, menurut Austin F. Cross dalam “Much-Travelled Diplomat Happy in Ottawa Setting,” The Ottawa Citizen , 2 Februari 1961, keterlibatan itu membuat Palar “terpilih”, bukan “dipilih”, menjadi anggota Parlemen Belanda (Tweede Kamer) pada 1945. Di parlemen, Palar membujuk pemerintah Belanda agar tak melancarkan agresi militer terhadap Republik Indonesia. Usahanya gagal. Bahkan Partai Buruh (PvdA) –fusi SDAP, partai liberal-progresif VDB, dan Uni Kristen Demokrat (CDU)– mendukung aksi militer itu. Sebagai bentuk protes, Palar mengundurkan diri sebagai anggota partai dan parlemen. Pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta kemudian mengundangnya ke Indonesia untuk menjadi juru bicara di Sidang Dewan Keamanan PBB. Pada akhir 1947, Palar membuka kantor perwakilan Republik Indonesia di New York. Dengan keahlian diplomatiknya, Palar menekan negara-negara anggota PBB agar membela perjuangan Indonesia. Indonesia diterima menjadi anggota PBB ke-60 pada 28 September 1950. Palar menjadi kepala delegasi Indonesia di PBB sampai 1953. Setelah itu, dia menjadi duta besar Indonesia untuk India, Uni Soviet dan Jerman Timur, serta Kanada. Palar kembali memimpin delegasi Indonesia untuk PBB pada 1962. Ketika Sukarno menyatakan keluar dari PBB, Palar menjadi duta besar untuk Washington. Pada September 1966, Palar ditunjuk untuk membawa pesan kepada Sekretaris Jenderal bahwa Indonesia ingin melanjutkan keanggotaannya di PBB. Palar tak hanya dikagumi kawan-kawan setanah airnya. Jacobus Gijsbertus de Beus, perwakilan Belanda di PBB pada masa konflik dengan Indonesia, juga memujinya: Palar secara utuh membela Indonesia, tetapi juga tidak bisa membenci Belanda sepenuhnya. “Bagaimana mungkin aku bisa membenci sebuah negeri, yang di mana aku pernah menduduki parlemennya serta juga pernah kubela saat melawan Nazi sebagai prajurit resistansi?” ujar Palar, dikutip de Beus dalam Morgen, bij het aanbreken van de dag. Setelah pensiun dari tugas diplomatiknya pada 1968, Palar tetap bergiat dalam bidang sosial. Dia meninggal dunia pada 12 Februari 1980 di Jakarta.

  • Laika Mengangkasa

    Anjing betina bernama Laika menjadi awak roket Sputnik II yang diluncurkan pada 3 November 1957. Pada 3 November 1957, Uni Soviet meluncurkan roket Sputnik II. Dunia terkejut. Terlebih roket itu diawaki seekor anjing betina bernama Laika. Laika menyisihkan dua anjing lainnya, Muska dan Albina. Dipungut dari dinginnya jalanan kota Moskow, Laika memiliki kualitas seekor anjing percobaan yang baik. Dan ia mudah dilatih. “Laika adalah anjing yang mengagumkan. Ia sangat tenang dan menyenangkan. Saya membawanya ke rumah dan membiarkannya bermain dengan anak saya. Saya ingin melakukan sesuatu yang baik untuk Laika, karena tahu hidupnya tidak akan lama lagi,” ujar Vladimir Yazdovskiy, fisikawan sekaligus pelatih Laika, dikutip David Whitehouse dalam One Small Step: Astronauts in Their Own Words . Baca juga: Mencari UFO di Langit Indonesia Selama masa persiapan, Laika yang berbobot 6 kg dilatih untuk membiasakan diri dengan kabin kecil dalam Sputnik. Kabin ini menyediakan makanan, oksigen, dan pendingin yang cukup untuk Laika bertahan hidup setidaknya selama seminggu di luar angkasa. Tubuhnya juga dioperasi untuk menempatkan sensor yang memantau kondisinya selama berada di dalam kabin. Publik kurang mengetahui program Sputnik II, terutama awaknya, Laika. Sampai akhirnya pada 27 Oktober 1957, Laika menyapa publik melalui siaran radio Moskow. Menurut Colin Burgess dan Chris Dubbs dalam Animals in Space: From Research Rockets to The Space Shuttle , Radio Moskow menyatakan persiapan peluncuran misi satelit berawak Sputnik II hampir mencapai tahap akhir. Pengumuman itu dilanjutkan dengan memperkenalkan Laika kepada publik Rusia. “Seakan mengerti antusiasme masyarakat, Laika pun membalasnya dengan cara menggonggong sepenuh hati kepada para pendengarnya,” tulis Burgess dan Dubbs. Baca juga: Planet Baru di Luar Galaksi Pada 31 Oktober 1957, Laika mulai ditempatkan di dalam kabin satelit, tiga hari lebih cepat dari waktu peluncuran. Peluncuran dilakukan di stasiun peluncuran roket Baikonur Cosmodrome Kazakhstan. Laika terlihat tenang menyambut penerbangannya. Sementara para kru dan peneliti yang terlibat dalam penelitian ini cemas karena Sputnik II tak dirancang untuk membawa Laika kembali ke bumi dalam keadaan hidup. Hitungan mundur akhirnya mencapai angka nol dan mesin roket mulai menyala. Laika panik dan terguncang. Detak jantungnya terbaca semakin cepat dalam sensor telemetri. “Namun semuanya menjadi makin tenang ketika ia memasuki luar angkasa, 900 mil di atas bumi,” tulis Chris Dubbs dalam  Space Dogs: Pioneers of Space Travel .   “Jika semuanya berjalan lancar, Sputnik yang diawaki Laika akan bergerak secepat 18.000 mil/jam dan mengelilingi bumi setiap 102 menit sekali.”   Baca juga: Yuri Gagarin Pahlawan Indonesia Keberhasilan ini menuai prestasi sekaligus kontroversi. Masalahnya, Laika disiapkan untuk mati di dalam Sputnik II karena satelit itu tidak memiliki prosedur untuk kembali ke bumi akibat pengerjaannya yang singkat. Sebagian besar yang mengecam adalah aktivis perlindungan satwa di Amerika Serikat dan sekutunya. “Ini adalah sebuah kemenangan yang besar dan tak ada yang meragukan bahwa keberhasilan ini membuat malu Amerika. Hanya British Society for The Prevention of Cruelty to Animals yang memprotes pengorbanan Laika,” tulis Boris Chertok, ahli roket Rusia, dalam Rockets and People: Creating a Rocket Industry . Tak ada yang tahu pasti kapan Laika mengembuskan nafas terakhir di dalam Sputnik II. Saat itu pihak Uni Soviet bungkam. Namun, kenyataan itu terungkap dalam World Space Conference 2002 di Houston Texas. Ilmuwan Rusia, Dimitri Malashenkov, menyatakan bahwa Laika tewas tak lama setelah peluncuran. “Laika tewas 5 sampai 7 jam setelah peluncuran akibat kepanasan dan tertekan karena kenaikan suhu di dalam kabin,” ujar Malashenkov, yang juga terlibat dalam proyek Sputnik II, seperti dikutip Burgess dan Dubbs. Baca juga: Tiket Satu Arah ke Mars Oleg Gazenko, pelatih Laika lainnya, menyatakan penyesalannya di depan publik pada 1998. “Bekerja dengan hewan begitu menyiksa kami. Mereka seperti bayi yang tak bisa berbicara. Semakin waktu berlalu, semakin saya merasa bersalah. Kami seharusnya tidak melakukan misi tersebut. Kami tak cukup belajar dari misi ini untuk sekadar membenarkan kematian Laika,” kata Gazenko, dikutip David Whitehouse. Sejak 1997, pemerintah Rusia membangun monumen untuk mengenang Laika di pusat pelatihan kosmonot di dekat kota Moskow. Sputnik II yang membawa jasad Laika berada di luar angkasa selama 162 hari dan membuat 2.750 orbit sebelum akhirnya jatuh ke bumi pada 14 April 1958. Laika menutup matanya di antara bintang-bintang. Perjalanan dan pengorbanan Laika telah memberikan data berharga untuk mewujudkan misi-misi perjalanan manusia tak lama kemudian.

  • Menyadap Angkatan Darat

    Tentara sedang menjaga demonstrasi pada Hari Buruh 1 Mei 2013. Foto: Micha Rainer Pali. MANTAN anggota CIA dan kontraktor Badan Keamanan Nasional (NSA), Edward Snowden, membocorkan informasi rahasia bahwa Amerika Serikat melakukan penyadapan terhadap negara-negara sekutu mereka di Eropa dan negara-negara di Asia tenggara. Australia menjadi bagian jaringan spionase global bersama Amerika Serikat. Seperti dilansir The Sydney Morning Herald , 31 Oktober 2013, Australia menggunakan kantor-kantor kedutaan di Asia, termasuk Indonesia, untuk menyadap telepon dan data rahasia. Data intelijen disadap dari Kedutaan Australia di Jakarta, Bangkok, Hanoi, Beijing dan Dili, juga Kantor Komisi Tinggi di Kuala Lumpur serta Port Moresby. Kedutaan Australia di Jakarta memainkan peran penting untuk mengumpulkan data intelijen terkait ancaman terorisme dan penyelundupan manusia. Namun, fokus utamanya adalah intelijen bidang politik, diplomasi, dan ekonomi. Penyadapan Amerika Serikat di Indonesia bukan barang baru. Amerika Serikat menyokong Angkatan Darat untuk menumpas Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dituduh sebagai dalang peristiwa Gerakan 30 September 1965. Menurut John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Masal Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, Angkatan Darat memerlukan peralatan komunikasi untuk menghubungkan berbagai markas di seluruh tanah air dan berkoordinasi dalam melawan PKI. “Suatu ketika pada akhir 1965 Amerika Serikat menerbangkan perangkat komunikasi radio lapangan (mobile radio)  yang sangat canggih dari Pangkalan Udara Clark di Filipina dan semuanya dikirim ke markas besar Kostrad di Jakarta. Sebuah antena dibawa masuk ke dan dipasang di depan markas besar Kostrad,” tulis Roosa. Wartawan penyelidik Kathy Kadane dalam wawancara dengan para mantan pejabat tinggi Amerika Serikat di akhir 1980-an, menemukan bahwa Amerika Serikat memantau komunikasi Angkatan Darat melalui radio-radio tersebut. CIA memastikan bahwa frekuensi-frekuensi yang akan digunakan Angkatan Darat diketahui sebelumnya oleh NSA. NSA menyadap siaran-siaran radio itu di suatu tempat di Asia Tenggara, dan sesudah itu para analis menerjemahkannya. Hasil penyadapan kemudian dikirim ke Washington. Dengan demikian, menurut John Roosa, Amerika Serikat memiliki detil bagian demi bagian laporan penyerangan Angkatan Darat terhadap PKI, misalnya, mendengar “komando-komando dari satuan-satuan intelijen Soeharto untuk membunuh tokoh-tokoh tertentu di tempat-tempat tertentu.”

  • Sindiran Sosial Dalam Canda

    Kiri-kanan: Sammy D. Putra, Maman Suherman, Hendaru Tri Hanggoro, dan Tarzan dalam diskusi "Lawak di Indonesia" di Jakarta, 26 Oktober 2013. (Micha Rainer Pali/Historia). Seorang pembantu naik ke panggung. Di pundaknya tersampir handuk. Dua tangannya memegang lap dan kemoceng. Dia membersihkan kursi majikannya, mendudukinya, dan meniru polah majikannya. Tanpa disadari pembantu, majikan muncul dari belakang dan berteriak memarahinya. Penonton pun tergelak. Adegan ini muncul dalam pementasan grup lawak Srimulat . Maman Suherman, pengamat seni, menyebut pementasan Srimulat  sering menampilkan satir terhadap pelbagai lini hidup. Mulai hubungan majikan-pembantu sampai kondisi negara. "Seperti di Amerika, lawak di Indonesia memang selalu jadi alat kaum marjinal untuk menyuarakan dirinya, mengolok-ngolok kondisi diri juga negaranya," kata Maman dalam diskusi "Lawak di Indonesia" di Jakarta, 26 Oktober 2013. Ini karena masyarakat Indonesia lekat dengan tradisi lawak. Baca juga:  Srimulat Main Film Lawak Indonesia mempunyai sejarah panjang. Beberapa prasasti —antara lain Waharu Kuti, Panggumulan, Mantyasih, dan Wukajana— menyebut kehadiran rombongan penghibur di pasar-pasar masa Mataram kuno (abad 8-10 M). Rombongan terdiri atas pemain musik, penari, dan pelawak. Mereka datang atas undangan penduduk desa setempat atau memang sengaja berkeliling sebagai kelompok seniman. Masyarakat Jawa kuno menyebut pertunjukan lawak sebagai mabanol  dan mamirus . Mabanol  mengacu pada unsur lawak dengan gerakan-gerakan, sedangkan mamirus  lebih menekankan unsur perkataan lucu. Tapi dua-duanya tetap menghibur masyarakat. Masyarakat senang dengan pertunjukan lawak. Relief Karmawibhangga di Candi Borobudur menggambarkan penonton pelbagai usia berdesakan menyaksikan pertunjukan itu. Sebaliknya para pelawak bisa menyambung hidup dari penonton atau penanggapnya. Mereka beroleh bayaran atas jasa melawak. "…pelawak bernama Paninangin (diberi upah) wdiha —semacam kain penutup badan— 1 helai," tulis Prasasti Alasantan (939 M). Baca juga:  Pelawak Zaman Kuno Kakawin Sudamala, karya sastra peninggalan Kerajaan Majapahit, juga mengabadikan sosok pelawak mitologis. Semar namanya. "Di situ telah tampak serba jelas peranan Semar sebagai panakawan dan pelawak. Segala gerak-gerik dan ucapannya serba menggelikan," tulis Slamet Muljana dalam Tafsir Negara Kretagama . Semar lalu memiliki tiga teman: Gareng, Petruk, dan Bagong. Para dalang menampikan sosok mereka dalam pertunjukan wayang kulit abad ke-16. Kemudian panakawan masuk dunia panggung. Pemain wayang orang kerap berlakon sebagai panakawan. Ini bermula pada masa awal Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Tiap panakawan muncul, penonton tergelak. Tak hanya oleh gerak dan perkataan lucu, tapi juga kritik sosialnya. Trio Los Gilos —Bing Slamet, Mang Udel, dan Mang Cepot— melanjutkan kritik sosial sebagai salahsatu bahan lawakan pada 1950-an. Mereka mengangkat perihal beban hidup keseharian masyarakat. Mereka juga mulai mengonsep lawak modern. Salahsatunya dengan membuat naskah sebelum tampil di panggung. Setelah itu grup lawak baru bermunculan. Sebut saja Srimulat,   Kwartet Jaya , dan Warkop Prambors . Sebagian mengandalkan unsur lawak fisik ( slapstick ), lainnya menonjolkan kritik.   Baca juga:  Slapstick, Kala Fisik Jadi Bahan Tawa Pemerintah tak selalu suka kritik dalam lawak. Majalah Ekspres , 8 Agustus 1970, menyebut Cak Durasim, seorang pemain ludruk di Surabaya, pernah ditahan pemerintah lantaran melontarkan kritik lewat lawak. Tapi pemerintah juga tahu potensi lawak. Maka mereka menggunakan pelawak sebagai corong kepentingannya. "Saya pernah melawak untuk ABRI. Materinya tentang bahaya komunis," kata Tarzan, pelawak Srimulat. Golongan Karya (Golkar) bahkan merekrut pelawak untuk meraup suara dalam Pemilu 1971. Para pelawak itu tergabung dalam Artis Safari. Strategi ini berhasil. Golkar memenangi Pemilu 1971. Di bawah kuasa Orde Baru, materi lawak jadi monoton. Lalu muncul kritik dari budayawan bahwa lawak Indonesia tak berkembang. Mereka menilai lawak hanya mempertunjukkan lempar-lemparan kue, jatuh-menjatuhkan kursi, dan segala unsur slapstick lainnya. "Lelucon hanya berupa fragmen dan tidak membentuk kesatuan utuh sebuah cerita," tulis Gus Dur dalam Jakarta-Jakarta,  1986. Baca juga: Panakawan Kawan Penasihat dan Pelawak Setelah reformasi, berkembang jenis lawak yang sebelumnya kurang dikenal di Indonesia, stand up comedy . Pelawak tampil solo, bukan dalam grup. Mereka mengurangi unsur slapstick  dan berusaha mengembalikan kritik dalam lawak. "Kami berusaha mengisi kekosongan lawak kritis di Indonesia dan menyasar publik yang tidak puas terhadap lawak sekarang," kata Sammy D. Putra, pelawak solo. Menurut Sammy, peluang itu terbuka. "Kritik bisa kami sampaikan secara frontal. Yang dikritik juga bisa tertawa. Tidak seperti saat zaman Mas Tarzan." Melalui lawak, masyarakat kini bisa tertawa sambil tetap merawat daya kritisnya.

  • Golkar Sebagai Pengganti Partai

    David Reeve (kiri) dan Akbar Tanjung (kanan) dalam diskusi buku "Golkar Sejarah yang Hilang: Akar Pemikiran & Dinamika", di Jakarta, 18 Oktober 2013. (Fajar Riadi/Historia). Selama hidupnya, Golkar menjadi partai dominan, terutama semasa Orde Baru. Dan meski dimusuhi pascareformasi 1998, Golkar terus bercokol sebagai salah satu partai besar di Indonesia. Namun tidak banyak yang ingat kalau Golkar dulunya adalah golongan fungsional antipartai yang digagas Presiden Sukarno. David Reeve, sejarawan Universitas New South Wales, yang menjadi pemateri dalam diskusi bukunya Golkar Sejarah yang Hilang: Akar Pemikiran & Dinamika  di Jakarta (18/10/2013) menegaskan, “Golkar adalah gagasan Sukarno.” Pada 28 Oktober 1956, Sukarno mengusulkan pembubaran partai-partai karena dianggap gagal menuntaskan revolusi. Konflik di pemerintahan yang kerap terjadi disebut sebagai akibat dari partai-partai yang cenderung mementingkan perebutan kekuasaan. Sukarno mengusulkan golongan fungsional atau golongan karya untuk menggantikan partai-partai. Baca juga:  Cerita Lawas Golkar Terpecah Belah Sukarno mendapat ilham soal golongan fungsional dari ahli hukum Profesor Djokosutono, yang kenal dekat dengan penggagas golongan fungsional lainnya, Profesor Supomo. Selain itu, Sukarno melongok Tiongkok dan Yugoslavia yang berhasil mengembangkan sistem negara dengan satu partai. Di dalam parlemen, kedua negara itu juga memiliki semacam golongan fungsional atau wadah yang mewakili golongan-golongan yang memiliki “fungsi” dalam masyarakat. Namun gagasan ini keburu diambil Angkatan Darat. “Pada akhir 1959, ketika Demokrasi Terpimpin akhirnya dimulai secara resmi, Angkatan Darat lebih dulu telah membentuk berbagai organisasi golongan karya, sedangkan Presiden Sukarno belum membentuk satu pun,” tulis Reeve. Baca juga:  Ajian Rawarontek Golkar Angkatan Darat memulainya dengan mendirikan Badan Kerja Sama (BKS) pada 17 Juni 1957. BKS menjadi wadah berhimpun Angkatan Darat dengan kelompok organisasi-organisasi pemuda, petani, jurnalis, dan sebagainya. Tapi bukannya hendak mengganti sistem kepartaian, gagasan mendirikan golongan karya tersebut semata-mata muncul karena Angkatan Darat butuh senjata untuk menandingi PKI. “Organisasi-organisasi Golkar berubah dari melawan semua partai menjadi rival politik bagi partai tunggal, yaitu Partai Komunis Indonesia,” tulis Reeve. Sejak 1960 hingga 1965, Angkatan Darat terus mengembangkan organisasi-organisasi. Misalnya, mereka mendirikan Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) sebagai tandingan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) , underbouw  PKI. “Kalau SOKSI organisasinya karyawan, dari kata karya milik Golkar, yang satunya (SOBSI) organisasi buruh,” tutur Reeve. Baca juga:  Golkar Zaman Orba: Panas di Dalam, Adem di Luar Organisasi keprofesian makin bertambah. Pada 1963, berdiri organisasi karyawan untuk petani, wanita, mahasiswa pertanian, intelektual, dan pemuda. Organisasi-organisasi ini kemudian menghimpun diri dalam Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) pada 20 Oktober 1964 –tanggal ini ditetapkan sebagai hari jadi Partai Golkar. Pemerintahan Sukarno tumbang pada 1965. Soeharto yang memimpin Orde Baru memegang kendali Sekber Golkar sebagai kekuatan untuk rezimnya. Dia memakai Sekber Golkar sebagai kendaraan politik, terutama dalam memenangkan pemilihan umum. Terbukti, Sekber Golkar menang dalam empat kali pemilihan umum selama Orde Baru. Pada pemilihan umum tahun 1971, Sekber Golkar menjadi rumah bagi 201 organisasi. Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan militer menjadi kunci pemenangan Sekber Golkar. Korps Karyawan (Kokar) yang dibentuk di departemen-departemen pemerintah, selama kampanye direorganisasi ke dalam Korps Pegawai Negeri (Korpri) “di mana semua PNS di Indonesia dianggap menjadi anggotanya”. Demikian juga tokoh-tokoh militer, biasanya yang senior, diberi jalan untuk melenggang ke dalam institusi-institusi politik dan birokrasi sipil melalui penempatan para perwiranya. Istilahnya “dikaryakan”. Baca juga:  Golkar Sepeninggal Daripada Soeharto Gelombang reformasi pada 1998 meruntuhkan Orde Baru. Banyak yang mengira Golkar akan tersapu bersama lengsernya Soeharto. Nyatanya, Golkar mampu bertahan. Bahkan terus muncul sebagai partai politik besar dalam pemilu tahun 1999, 2004, dan 2009. Hanya saja sejak 1998 hingga sekarang, Golkar telah mengubah diri menjadi sebuah partai. “Kalau Golkar tidak mau jadi partai politik (pada 1998), pasti tidak bisa survive , tidak bisa ikut dalam dinamika politik,” kata Akbar Tanjung, pentolan Golkar. Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar ini menegaskan, peralihan itu adalah wujud niat Golkar untuk ikut serta berperan dalam agenda reformasi. Kini, wujud golongan fungsional yang hendak menandingi partai sudah tak ada. Gagasannya pun sepi. Golkar yang sekarang bukanlah Golkar yang hendak menandingi partai. “Golkar sendiri ironisnya berubah menjadi sebuah partai dan diambil alih oleh para pengusaha,” tulis Reeve. “Gagasan-gagasan asli telah didorong ke pinggiran.”

  • Komat Kamit Kisah Santet

    Ilustrasi dari film Teluh. (Tangkapan layar Youtube). ISU santet beredar terkait pemanggilan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi dalam dugaan suap pemilihan kepala daerah di Kabupaten Lebak. KPK sendiri sudah menetapkan Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, adik Atut, sebagai tersangka dugaan suap terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Di Indonesia, santet atau teluh, sihir, tenung, dan hal-hal yang dipandang bersumber dari dunia lain ( otherworldly power ) sudah lama dikenal. Hampir setiap daerah memiliki tradisi mengirimkan energi negatif jarak jauh dengan maksud mencelakai orang lain. Dan Banten dianggap sebagai pusatnya. Baca juga:  Susuk di Zaman Hindu Buddha Menurut sejarawan Edi S. Ekadjati, sebagaimana dikutip A. Masruri dalam The Secret of Santet , ilmu teluh atau santet adalah warisan masa lalu yang terus bertahan dalam masyarakat Sunda hingga kini. Edi merujuk naskah lontar yang ditulis pada abad ke-6, Sanghyang Siksa Kandang Karesian . Naskah ini menyebut teluh adalah perasaan sakit hati, murung, dan tidak senang yang dialihkan kepada orang lain. Dalam disertasinya di Universitas Indonesia berjudul “Reaksi Sosial Terhadap Tersangka Dukun Teluh di Pedesaan Banten Jawa Barat (1985-1990)”, krimonolog Tb. Ronny Nitibaskara menjelaskan bahwa praktik ilmu santet atau teluh di wilayah Banten sudah dihayati dari masa ke masa sejak zaman Banten Lama atau sebelum masuknya Islam. Baca juga:  Mitos dan Tetenger Wabah Penyakit Namun, praktik itu menjadi lebih menonjol justru setelah Islam dianut oleh penduduk Banten. Ini disebabkan pada masa Hindu dan Budha, unsur-unsur praktik magis terlihat samar dan bercampur-baur dengan unsur kepercayaan animisme-dinamisme. Menurut keyakinan penduduk Banten, terdapat bermacam ilmu teluh berdasarkan caranya: teluh angin , teluh banyu , teluh geni , dan teluh pangjarahan . Dua yang pertama mengirim benda-benda seperti jarum, paku, dan beling (pecahan kaca) lewat angin dan air. Teluh geni  (api/baja) memberi hasil lebih cepat, dengan memasukkan pisau kecil ke dalam sebuah gelas, ditutup kain, dan dibacakan mantra-mantra; jika pisau hilang dan air menjadi merah pertanda korban sebentar lagi mengalami bencana. Sementara teluh pangjarahan  dilakukan dengan meminta kepada roh halus yang menempati kuburan. Baca juga:  Konsep Sakit dan Sehat dalam Primbon Ada sedikit perbedaan praktik yang dilakukan dukun teluh di Banten Selatan dengan Banten Utara. “Kalau di Banten Selatan banyak korban menderita sampai meninggal dunia, sedangkan di Banten Utara si korban hanya dibuat sakit,” tulis Ronny. Masyarakat Banten, pemuka agama, dan dukun lain memberi cap bahwa kegiatan dukun teluh bertentangan dengan agama Islam. “Apabila dalam hukum formal tidak terbukti sebagai kejahatan, dari sisi reaksi sosial hal itu paling kurang dapat dikatakan sebagai kejahatan terselubung,” tulis Ronny.

  • Ratu Banten Ditahan di Pulau Edam

    Ki-ka: Masjid dan Menara Banten. Inset: Makam Ratu Syarifah Fatimah di Pulau Edam Kepulauan Seribu. Foto koleksi Sri Rahmi Purnamasari. SULTAN Zainul Arifin memimpin Kesultanan Banten antara 1733-1748. Namun, istrinya, Ratu Syarifah Fatimah, menginginkan kekuasaannya. Untuk memuluskan tujuannya, Ratu Syarifah bersekutu dengan VOC. Ratu Syarifah merancang konflik antara Sultan Zainul Arifin dan putranya, Pangeran Gusti. Hasilnya, putra mahkota diasingkan ke Ceylon (Sri Lanka). Ratu Syarifah kemudian mendorong kemenakan laki-lakinya, Syarif Abdullah, sebagai putra mahkota yang baru pada 1747. Namun, menurut MC Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern , putra mahkota yang baru itu terlalu muda untuk memerintah, sementara Zainul Arifin menunjukkan tanda-tanda penyakit jiwa. Karenanya, atas persetujuan Ratu Syarifah, VOC menangkap dan membuang Sultan Zainul Arifin ke Ambon. Atas restu VOC, Ratu Syarifah kemudian menjadi “wali Sultan”. Namun kalangan elite Banten menentang pemerintahan Ratu Syarifah yang menindas. “Proyek-proyek pembangunannya di istana meletakkan beban (kepada) jelata maupun kaum bangsawan,” tulis Ricklefs. Penentangan memuncak dengan pemberontakan besar pada Oktober 1750 di bawah pimpinan seorang guru agama bernama Kiai Tapa. Pertempuran terjadi. Sebagian besar wilayah Banten jatuh ke tangan pemberontak. Sementara VOC hanya mampu mempertahankan dua bentengnya di dalam kota. Tak ingin menderita kekalahan di Banten dan Mataram, VOC mengambil langkah strategis dengan menangkap Ratu Syarifah dan kemenakannya, lalu menahannya di Pulau Edam Kepulauan Seribu. Rencananya, mereka akan diasingkan ke Saparua, Maluku. Namun, Ratu Syarifah keburu meninggal dan dimakamkan di Pulau Edam. “Pangeran Syarif Abdullah selanjutnya dibuang ke Banda dan hidup mewah di sana atas biaya VOC selama 39 tahun,” tulis Thomas B. Ataladjar dalam Toko Merah. VOC kemudian menyerahkan tahta Kesultanan Banten kepada Arya Adi Santika, saudara lelaki Sultan Zainul Arifin. Dia menjadi “wali Sultan” sampai kembalinya putra mahkota yang diasingkan. Pengangkatan Arya Adi Santika tak menghentikan perlawanan para pemberontak. VOC mengerahkan lebih dari seribu pasukan (Eropa dan pribumi) untuk memukul mundur pasukan pemberontak. Kiai Tapa melawannya dengan melakukan pembakaran, perampokan, dan pembunuhan di dataran-dataran tinggi Batavia. Menurut Ricklefs, Kiai Tapa dan pewaris tahta yang didukungnya, Ratu Bagus Buang, keponakan Sultan Zainul Arifin, berhasil menyelamatkan diri. Bagus Buang kemudian menghilang. Untuk beberapa waktu lamanya Kiai Tapa melancarkan serangan-serangan yang tidak teratur terhadap VOC di Selat Sunda, di dekat Bandung, dan Bogor. Sesudah itu, dia pergi ke arah timur untuk melibatkan diri dalam Perang Suksesi Jawa III (1746-1757) –perang antara Paku Buwono II dan III yang dibantu VOC melawan Pangeran Mangkubumi yang dibantu Raden Mas Said; perang ini berakhir dengan Perjanjian Giyanti yang membagi kekuasaan menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Dan, Kiai Tapa pun akhirnya menghilang. Pangeran Gusti, putra Sultan Zainul Arifin, yang diasingkan dibawa kembali dari Sri Lanka pada 1753 dan diangkat menjadi sultan dengan nama Sultan Zainul Asyikin (1753-1777). “Setelah itu,” tulis Ricklefs, “Banten secara resmi menjadi suatu wilayah jajahan VOC. Banten kembali damai tetapi perdamaian tercapai bersama-sama dengan tunduknya kepada kekuasaan VOC.”

  • Mencari Sejarah Si Pitung

    Dicky Zulkarnaen (kiri) memerankan Si Pitung (1970) karya sutradara SM Ardan. Foto dari "In Search of Si Pitung: The History of an Indonesian Legenda" karya Margreet van Till. DARI kejauhan terdengar suara tembakan memecah malam pada 30 Juli 1892. Rumah tuan tanah asal Bugis, Hadji Sapiudin, di kawasan Marunda dirampok gerombolan bersenjata. Seorang menodong Hadji Sapiudin, sisanya menguras isi rumah. Esoknya, warga heboh. Mereka percaya kelompok Si Pitung pelaku perampokan itu. Peristiwa ini terekam dalam koran Hindia Olanda , 10 Agustus 1892. Sebulan kemudian, Si Pitung ditangkap. Rumahnya digeledah. Polisi menemukan barang bukti uang sebesar 125 gulden di sebuah lubang rahasia di lantai rumah. Pitung dijebloskan ke penjara di Meester Cornelis. Namun, tak lama berselang, Si Pitung bersama gengnya, Dji’ih, Rais, dan Jebul meloloskan diri. Di kalangan warga Betawi, sosok Si Pitung dikelilingi kabut mitos. Berbagai cerita mengisahkan Pitung memiliki kekuatan supranatural untuk lolos dari kejaran polisi. “Sebagai kepala geng, Si Pitung merampok rumah-rumah tuan tanah yang kaya. Dia terkenal karena keberaniannya, yang dipercaya memiliki senjata-senjata magis dan kekuatan-kekuatan magis,” tulis Henk Schulte Nordholt dan Margreet van Till, “Colonial Criminals in Java” dalam Figures of Criminality in Indonesia, the Philippines, and Colonial Vietnam  karya Vicente L. Rafael. Baca juga:  Siapa Sebenarnya Si Pitung? Pitung bukan legenda belaka. Menurut sejarawan Belanda Margreet van Till dalam “In Search of Si Pitung: The History of an Indonesian Legend”, dimuat jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde , Vol. 152, 1996, sosok Si Pitung benar-benar berdasarkan sosok nyata yang hidup pada paruh kedua abad ke-19. Si Pitung lahir di Pengumben, sebuah desa di Rawa Belong, anak dari pasangan Bung Piung dan Mbak Pinah. Masa kecilnya dihabiskan di pesantren pimpinan Hadji Naipin. Selain mengaji, dia belajar silat. Ketika dewasa, Si Pitung terkenal di kalangan rakyat Betawi sebagai seorang jago yang baik hati. Merampok untuk dibagikan kepada rakyat miskin. Si Pitung melakukan perampokan pada 1892-1893. Aksi-aksinya terekam dalam suratkabar Hindia Olanda , disebut sebagai salah satu buronan kelas kakap polisi kolonial. “Perbedaan penyebutan namanya memperlihatkan pada saat itu dia tidak dikenal luas: kadang-kadang dia disebut ‘Si Bitoeng’, waktu lain ‘Pitang’. Setelah beberapa bulan, editor Hindia Olanda  memutuskan secara konsisten menyebutnya dengan ‘Si Pitoeng’,” tulis Margreet. Margreet juga membongkar nama asli Si Pitung. Ketika tertangkap polisi, dalam dokumen pemeriksaannya terungkap nama aslinya: Salihoen. Menurut sebuah cerita lisan, nama Si Pitung merupakan turunan dari bahasa Jawa, pituan pitulung  (kelompok tujuh). Di kalangan warga Betawi, ketika Si Pitung meninggal, berita kematiannya berkembang penuh mitos. Mereka percaya Si Pitung meninggal akibat kehilangan jimatnya, yakni rambut. Pasalnya, beberapa jam sebelum kematiannya, Si Pitung terlihat di Pasar Senen dengan rambut yang telah dipotong. Padahal, baik dipotong atau tidak, memang sudah sejak lama Pitung menjadi incaran polisi. Margreet percaya, hal inilah yang menyebabkan munculnya kepercayaan bahwa Si Pitung kehilangan kekuataanya karena rambutnya dipotong. Baca juga:  Si Pitung dari Ciamis Setelah kematiannya, Si Pitung dengan cepat dilupakan orang-orang Belanda. Tapi tidak dengan orang Indonesia. Kisah Si Pitung terawat dengan baik, lewat lenong maupun film. Bagi mereka, Si Pitung adalah Robin Hood dari Betawi

  • Mengulang Sejarah Mobil Murah

    Menteri Perindustrian dan Perdagangan Tunky Ariwibowo mencoba mobil Timor dalam pameran mobil nasional Timor di Gedung Sarinah, Jakarta, 8 Juli 1996. (Utun Kartakusumah/Repro buku Suara Pembaruan, Rekaman Peristiwa 1996). PADA 19 September 2013, beberapa produsen mobil meluncurkan mobil murah dan ramah lingkungan. Kebijakan pemerintah memfasilitasi lahirnya mobil murah menuai polemik. Salah satunya, mobil murah hanya akan memperparah kemacetan. Kebijakan mobil murah dan ramah lingkungan, dengan pemberian keringanan pajak, diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 33/M-IND/PER/7/2013. Kepada pers, Menteri Perindustrian Mohamad S. Hidayat mengatakan Permenperin dimaksudkan untuk mendorong dan mengembangkan kemandirian industri otomotif nasional, khususnya industri komponen kendaraan bermotor roda empat. Mesti ditunggu apakah kemandirian industri otomotif nasional akan terwujud? Baca juga:  Sejarah Mobil: Kereta Tanpa Kuda Kebijakan pemerintah ini seakan mengulang proyek mobil nasional berharga murah rezim Orde Baru, yang berlandaskan Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 1996 tentang pembangunan industri mobil nasional. Pemerintah berdalih, mobil nasional akan menjadi embrio kemajuan dan kemandirian bangsa dalam industri otomotif. Kenyataannya tidak demikian. Pasalnya, Presiden Soeharto menunjuk putra bungsunya, Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto untuk menggarap proyek ini. Tommy mendirikan PT Timor Putra Nasional (TPN) sebagai perusahaan yang memproduksi mobil nasional secara massal. Mobilnya diberi nama Timor, kependekan dari Teknologi Industri Mobil Rakyat. Tommy bekerja sama dengan Kia Motors, produsen mobil asal Korea Selatan. Rencananya, PT TPN akan membuat model mobil Kia Sephia versi Indonesia. Di tahun-tahun awal, mobil Timor dibuat sepenuhnya completely build up  (CBU) di Korea Selatan, lalu diimpor secara utuh ke Indonesia. "Karena fasilitas perakitan yang belum siap, generasi pertama dari mobil nasional dibuat di Korea Selatan," tulis Philippe Ries dalam Asian Storm: The Economic Crisis Examined . Baca juga:  Laporan Khusus: Berdiri di Atas Mobil Sendiri Menurut MC Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 , Tommy mengatakan bahwa dia akan mengirimkan orang Indonesia untuk bekerja di pabrik Kia di Korea, sehingga akan tepatlah mengatakan mobil itu sebagai mobil nasional. Namun, segera ketahuan bahwa usaha bersama ini sama sekali tidak akan membuat mobil nasional di Indonesia. "Malah, mobil itu jadinya buatan Kia sepenuhnya yang diberi label mobil nasional, sehingga mampu terhindar dari segala pajak dan bea masuk dan mendatangkan keuntungan besar bagi kedua belah pihak," tulis Ricklefs. Baca juga:  Cerita Pahit Mobil Rakyat Mazda MR 90 Guna memuluskan rencana impor itu, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 42 tahun 1996 yang mengizinkan PT TPN mengimpor mobil nasional tanpa dikenakan bea masuk. Mobil Timor secara resmi diluncurkan pada 8 Juli 1996 di Jakarta. Untuk mendongkrak penjualan, mobil Timor mendapatkan hak istimewa berupa pembebasan pajak barang mewah yang membuat harganya lebih murah dari mobil lainnya. "PT Timor Putra Nasional mendapatkan hak istimewa yang luar biasa berupa pembebasan pajak barang mewah sebesar 60%," tulis Philippe. "Itu berarti mobil Timor dapat dijual dengan setengah harga dari mobil-mobil kompetitor." Harga Timor hanya dibandrol Rp35 juta atau separuh dari harga mobil sekelas. Baca juga:  Kekuatan Volvo di Indonesia Jepang, Amerika Serikat, dan beberapa negara Eropa memprotes hak istimewa untuk mobil Timor. Masalah ini dibawa ke World Trade Organization (WTO). WTO memutuskan agar Indonesia mencabut keputusan penghapusan bea masuk dan pajak barang mewah mobil Timor. Pada 1997, produksi Timor dihentikan. PT TPN memiliki utang kepada negara ditambah biaya administrasi pengurusan piutang negara 10 persen sebesar Rp2,6 triliun. Pada 5 November 2021, Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia alias Satgas BLBI menyita aset jaminan PT TPN berupa tanah seluas 124 hektare senilai Rp600 miliar. Tulisan ini diperbarui pada 5 November 2021.

  • Mimpi Damai di Filipina Selatan

    Moro National Liberation Front (MNLF) MILISI Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF), kelompok separatis yang berpusat di selatan Filipina, menyerang pasukan pemerintah di Zamboanga, Mindanao, Filipina Selatan, awal September lalu. Pertempuran pun pecah. Ratusan orang tewas dan disandera pasukan MNLF. Militer bereaksi dan berhasil menangkap beberapa pemberontak. Penyerangan itu terjadi menjelang penandatanganan perjanjian damai antara pemerintah dan Front Pembebasan Islam Moro (MILF), pecahan dari MNLF. Selain mengakhiri konflik, poin perjanjian damai mencakup pembagian kekayaan sumber daya alam dan mineral serta pemerintahan otonom di Pulau Mindanao. MNLF menganggap pemerintah Filipina tak menghormati perjanjian yang ditandatangani antara MNLF dan pemerintah pada 1996. Sebagai responnya, Nur Misuari, ketua MNLF, memproklamasikan kemerdekaan Bangsamoro pada Agustus 2013 dan mendirikan Bangsamoro Republik (UFSBR). Bibit konflik mulai muncul saat Spanyol menguasai Filipina pada abad ke-16 dan menerapkan kebijakan transmigrasi dan Kristenisasi. “Sebuah upaya kuat memaksakan Katolik di seluruh kepulauan untuk mencegah penyebaran Islam di Asia Tenggara,” tulis Peter Chalk, “Militant Islamic Extremism in the Southern Phillipines”, dimuat dalam Islam in Asia: Changing Political Realities . Etnis-etnis yang berhimpun menjadi bangsa Moro dan sudah lama mendiami Mindanao dan pulau-pulau lain di selatan Filipina, mulai terdesak oleh transmigran dari pulau-pulau di utara seperti Luzon dan Visays. Mereka kehilangan tanah, mata pencaharian, dan bahkan terusir dari tanah kelahiran. Mereka pun melakukan perlawanan dan berhasil meredam Kristenisasi selama tiga abad berikutnya. Spanyol hanya bisa menguasai utara dan timur Mindanao. Setelah mengalahkan Spanyol dalam perang pada 1898, Amerika Serikat menguasai Filipina dan melanjutkan program transmigrasi agar penduduk Mindanao mendukung integrasi Filipina. Gelombang transmigran makin deras setelah Filipina merdeka pada 1946. Pada 1969, Nur Misuari dan kawan-kawan membentuk kelompok separatis MNLF, yang kemudian menjadi induk perlawanan bangsa Moro menuntut kemerdekaan. Pertempuran demi pertempuran pecah di berbagai wilayah Mindanao. Pemerintahan Ferdinand Marcos menjawabnya dengan operasi militer. Perjanjian damai Tripoli Agreement pada 1976 mengakhiri konflik. Perjanjian ini memaktubkan otonomi terhadap 13 provinsi dan 9 kota di Mindanao. Namun, di tubuh MNLF sendiri terjadi perpecahan. Hashim Salamat mendirikan MILF pada 1978 dan Khadaffy Janjalani mendeklarasikan Abu Sayyaf pada 1991. Rezim Fidel Ramos tak merealisasikan Tripoli Agreement. Pertempuran kembali pecah. Sejak 1993 Indonesia memediasi perdamaian, yang menghasilkan penandatanganan perjanjian damai pada 2 September 1996, yang juga memberikan otonomi di Filipina Selatan. Pertemuan lanjutan terus digelar untuk menilai implementasi perjanjian damai. Menurut rencana, pertemuan lanjutan dihelat di Yogyakarta pada 16 September 2013, tapi gagal karena pertempuran kembali pecah.

bottom of page