Hasil pencarian
9593 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Hamka dan Patung Nabi Muhammad
SUATU hari Hamka benar-benar dibuat heran. Keberadaan patung Nabi Muhammad SAW di New York, di luar akal sehatnya. Dalam muhibahnya selama 4 bulan (25 Agustus–25 Desember 1952) di Amerika Serikat (AS) itu, Hamka banyak dibuat terkejut. Dan soal patung Nabi Muhammad SAW tersebut menjadi yang paling menohok baginya. Namun di lain pihak, hal itu membuatnya sadar bahwa pengetahuan tentang Islam di negeri Paman Sam saat itu masih sangat kecil. Ada rasa ironik dalam diri Hamka jika mengingat Sang Nabi yang berupaya menjauhkan umatnya dari patung-patung seperti itu sekarang malah dipatungkan. Di dalam memoarnya, 4 Bulan di Amerika , Hamka menelusuri keberadaan patung tersebut dan menghubungkannya dengan pemahaman tentang Islam di negara Barat, khususnya AS. Menurutnya kebudayaan manusia memberi wujud kepada para Nabi setelah agama Nasrani memasuki Roma. Sejak itu, banyak ahli-ahli seni yang berlomba memahat patung menyerupai Nabinya. Hamka sendiri meyakini bahwa Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Daud, Isa, dan Muhammad sangat anti kepada patung. “Seluruh Nabi itu adalah mempunyai kesatuan maksud, yakni menghancurleburkan segala sesuatu yang dijadikan rintangan untuk menghadap langsung kepada Tuhan Yang Maha Esa,” kata Hamka. Maka ketika banyak seniman yang membuat patung menyerupai Nabi, itu merupakan sebuah kesalahan. “Kita tidak dapat bersikap masa bodoh, kalau Nabi Muhammad dipatungkan pula,” lanjut Hamka. Hasil penelusuran Hamka mendapati bahwa pembuat patung itu adalah pemahat Charles Albert Lopez. Dugaannya si pemahat itu berasal dari Amerika Selatan, yang masyarakatnya saat itu umum memeluk agama Katolik. Ia tidak tahu dari mana si pemahat mendapatkan gambaran tentang Nabi Muhammad, tetapi Nabi digambarkan gagah perkasa, kejam, pakai sorban, dan memegang pedang. Hamka semakin heran karena patung Nabi Muhammad itu ada di tengah usaha AS mendekati bangsa-bangsa Timur. Terlebih ketika di International Centre di Washington, Hamka dan sejumlah pemimpin agama yang hadir mendapat sebuah buku kecil berisi propaganda AS tentang usaha negara itu dalam mendamaikan dunia. Bagi Hamka buku itu cukup bagus. Tetapi di bagian akhir terdapat gambar tiga orang Nabi: Musa, Isa, dan Muhammad. Maksudnya sebagai lambang keberagaman tiga agama: Yahudi, Nasrani, dan Islam. Namun bukankah tindakan-tindakan itu malah membuat usaha mendekati bangsa Timur, yang mayoritas Muslim, semakin jauh? Seorang pejabat Amerika lalu bertanya kepada Hamka mengenai kesannya tentang buku tersebut. Diterangkan oleh Hamka bahwa patung dan gambar Nabi Muhammad yang ada di dalam buku itu telah menghancurkan maksud baik mereka. Karena tidak ada seorang pun yang akan senang Nabinya dipatungkan. Bahkan di zaman keemasan seni Islam pun tidak ada satu seniman yang berani menggambarkan sosok Nabi Muhammad. Bukan hanya haram hukumnya, tetapi sebaik-baiknya pelukis dan pemahat tidak akan ada yang dapat membayangkan rupa Nabi Muhammad. “Syukurlah kami mengetahui bahwa maksud buku ini adalah baik, tetapi mereka tidak mengetahui bahwasanya seluruh dunia Islam tidaklah suka akan patung Nabi Muhammad. Dan sekali-kali tidak ada patung Nabi Muhammad,” kata Hamka. Hamka lalu menyarankan agar mengganti gambar Nabi Muhammad itu dengan gambar Ka’bah jika memang buku itu akan disebar. Mengenai hal itu, Hamka sempat membicarakannya dengan George Fadle Hourani, seorang profesor di Michigan University yang seorang Kristen Arab. Demi mendengar curhatan Hamka, sang profesor hanya menggelengkan kepala dan berkata: “Pengetahuan bangsa Amerika tentang kebudayaan Islam dan kebudayaan Arab masih sangat sedikit. Bagaimana Nabi Muhammad dapat dipatungkan, kami orang Arab yang berhak lebih dahulu.” “Melihat contoh kejadian ini, dan melihat dalil-dalil perbuatan bangsa Amerika disegi lain, nyatalah bahwa maksud menghina atau menyinggung perasaam muslimin tidak ada. Mereka sekarang ini sedang berusaha betul-betul hendak mendekati hati umat Islam. Tetapi karena pengetahuan mereka masih sedikit, kadang-kadang yang disangka menghormati, telah menimbulkan penghinaan,” terang Hamka.
- Gunakan Adat Jawa, Pernikahan Bung Hatta Bikin Hadirin Tertawa
SUATU hari tak lama setelah Indonesia merdeka, Hasjim Ning kedatangan pamannya, Bung Hatta. “Bung Hatta memberi tahu kepadaku bahwa ia akan menikah tanggal 18 November 1945 di Megamendung di daerah Cipayung. Dimintanya aku dan ayahku yang ketika itu menetap di Bogor agar ikut menghadiri perkawinannya,” kata Hasjim dalam otobiografi berjudul Pasang Surut Pengusaha Pejuang . Kabar dari Bung Hatta itu membuat Hasjim senang. Sanak-famili Bung Hatta, termasuk Hasjim, telah lama menanti-nanti pernikahan Bung Hatta. Namun, mereka tak berani mengungkit soal itu lantaran Bung Hatta sudah berpendirian tak akan menikah sebelum Indonesia merdeka. “Bung Hatta sadar apa yang sedang dia prioritaskan,” kata Halida Hatta, putri bungsu Bung Hatta. Maka ketika hari pernikahan Bung Hatta dan Rahmi Rachim –putri Abdul Rachim sahabat Bung Karno– tiba, mereka suka-cita menghadirinya. Tidak banyak memang yang hadir dalam resepsi pernikahan itu karena Bung Hatta ingin resepsi sederhana. “Tidak lebih dari 30 orang, kiraku. Selain dari keluarga kedua pengantin, tentu saja Bung Karno yang menjadi ‘mak comblang’ pernikahan itu ikut hadir bersama Bu Fatmawati,” sambung Hasjim. Bung Karno merupakan orang yang amat memperhatikan Hatta dalam urusan yang satu itu. “Waktu saya bertanya kepada Hatta, gadis mana yang dia pilih, jawabnya: ‘Gadis yang kita jumpai waktu kita berkunjung ke Instituut Pasteur, yang duduk di kamar sana, yang begini, yang begitu, tapi saya belum tahu namanya,” kata Bung Karno kepada R. Soeharto, dikutip dalam Saksi Sejarah . Gadis pujaan Hatta itu ternyata Rahmi Rachim, anak kawannya sendiri. Maka, Bung Karno pun mengajak R. Soeharto ke rumah Abdul Rachim guna melamar Rahmi untuk Hatta. Entah karena jasa baik Bung Karno itu atau bukan, pernikahan Hatta digelar menggunakan adat Jawa. “Aku tidak tahu siapa yang punya gagasan agar diadakan upacara adat Jawa, yakni kedua pengantin melakukan upacara menginjak telur. Mungkin gagasan itu tumbuh karena kehadiran Bung Karno saja,” kata Hasjim. Lantaran menggunakan adat Jawa itulah Hasjim ketiban sial. Tanpa pemberitahuan apapun sebelumnya, Hasjim diminta mewakili Bung Hatta menemani Titi, adik Bu Rahmi, melakukan ritual injak telur. Permintaan itu jelas membuatnya kaget lantaran sebagai orang berdarah Minang-Palembang, dia tak tahu bagaimana cara melakukan ritual itu. Hasjim terpaksa menerimanya lantaran permintaan itu datang dari Bung Hatta. “Tidak seorang pun yang memberi petunjuk bagaimana mestinya melakukannya secara khidmat, maka aku menginjaknya tak ubahnya bagai tentara Jepang yang menginjak mangsanya meski aku sudah berusaha agar seindah orang menari payung. Dengan sendirinya, upacara adat Jawa yang halus itu menjadi sebuah lelucon yang menerbitkan air mata karena tertawa yang tak tertahankan dari para hadirin,” kenang Hasjim. Setelah resepsi pernikahan selesai, Hasjim berkesempatan ngobrol santai dengan Bung Karno. Di situlah dia mengorek bagaimana Bung Karno bisa “menaklukkan” Bung Hatta sehingga mau menikah padahal banyak sanak-familinya gagal untuk urusan satu itu. “Aku menagih janjinya, yang akan menikah bila Indonesia merdeka. Sekarang kita sudah merdeka, apa lagi. Kalau ia masih menolak, itu namanya tidak normal. Indonesia sulit dipimpin oleh orang yang tidak normal,” kata Sukarno menjawab pertanyaan Hasjim. “Kenapa dengan gadis yang berbeda jauh usianya?” Hasjim bertanya lebih jauh. “Jangan berlagak bodoh, Hasjim. Apa jij kira aku tidak sebanding dengan Fatma?” sahut Sukarno. “Kenapa presiden dan wakil presiden sama-sama memilih gadis muda?” “Supaya kelihatan vitalitasnya prima,” jawab Sukarno, membuat Hasjim tertawa.
- Kemasan Anyar Nagabonar
DALAM kelamnya malam yang diselingi sambaran petir, Nagabonar lahir ke dunia. Ia tumbuh tanpa ayah. Nagabonar kecil (diperankan Azka Dimas) tampil sebagai anak nakal tukang mencuri. Namun, ajaran keras emaknya (Rita Matumona) membuatnya insyaf. Maka ketika tumbuh dewasa (diperankan Gading Marten), Nagabonar tak lagi jadi pencopet. Ketika merantau ke Medan dari desanya di tepi Danau Toba pada 1937, Naga kaget melihat perilaku culas banyak orang, termasuk kawan lamanya Lukman (Rifky Alhabsyi), di kota besar itu. Dari Lukmanlah Naga mengenal mendapat kawan-kawan baru macam Mariam (Roby Tremonti), Bujang (Ence Bagus), Murad (Fermana Manaloe), hingga Sulung Panjaitan (Donny Damara) yang oleh kawanannya dijadikan figur paling dihormati. Mereka inilah yang lantas jadi pasukan Naga saat perang kemerdekaan. Dalam perjalanannya, Naga kepincut seorang gadis indo, Kirana (Citra Kirana). Gadis yang dianggap tercantik se-dunia itu jadi rebutan Naga, Mariam, Yoshida (Harry Ponto) si jenderal Jepang, dan Bastian (Delano Daniel) si kapten Belanda. Bagaimana kelanjutannya? Ah , lebih asyik Anda tengok sendiri di bioskop-bioskop tanah air. Nagabonar: Reborn akan beredar mulai 21 November 2019. Para pemeran Nagabonar: Reborn dalam konferensi persnya, minus pemeran utama Gading Marten (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Di Bawah Bayang-Bayang Nagabonar Lawas Siapa tak kenal Nagabonar? Publik lintas generasi rasanya familiar dengan figur fiktif ciptaan Asrul Sani yang selegendaris Kabayan di cerita-cerita orang Sunda ini. Setiap penikmat filmnya punya kenangan masing-masing entah dari menonton langsung saat film pertamanya, Nagabonar (1987), ditayangkan bioskop maupun di televisi ketika film tersebut ditayangkan tiap 17 Agustus dan Hari Pahlawan 10 November di era 1990-an. Ibu saya berkisah, sehari setelah menontonnya di sebuah bioskop di Manggarai, Jakarta pada 3 Juli 1987, dia melahirkan saya yang lalu juga akrab dengan film yang diperankan Deddy Mizwar itu. Maka ketika Nagabonar: Reborn dirilis, teringat betul film Nagabonar- nya Asrul Sani itu yang tersedia di banyak situs streaming maupun YouTube . Jadi jangan heran bila banyak penonton masa kini bakal membandingkan Nagabonar milenial dengan versi lawasnya. Terutama, membandingkan Nagabonar versi Deddy Mizwar dengan versi Gading Marten. “Memang berat waktu kita punya ide mengangkat cerita Nagabonar. Karena kita tahu setiap film seperti itu (akan dibandingkan, red. ). Tapi kalau saya lihat ketika Gading memainkan peran ini total, satu menit-dua menit memang kita merasa begitu. Tetapi setelah itu hilang bayangan (Deddy Mizwar, red. ) itu. Yang kita lihat sosok Nagabonar Gading Marten,” ujar Gusti Randa, produser merangkap pemeran dokter Zulham, ayah Kirana, dalam konferensi pers screeningNagabonar: Reborn , Selasa (19/11/2019) di XXI Plaza Indonesia. Gusti Randa, produser film Nagabonar: Reborn (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Tim produksi mengklaim mereka mengangkat banyak konteks baru agar lebih dekat dengan kaum milenial sebagai sasaran. Oleh karena itu beberapa alur cerita dikembangkan lebih jauh untuk melahirkan sosok Nagabonar baru. Tim penulis skenario dan sutradara mengaku diberi kebebasan mengembangkan dasar cerita asli milik Asrul. “Ada tantangan Nagabonar harus dibungkus dan di- update supaya mendekati pada masyarakat kekinian. Juga tantangan isu-isu dan kontekstual yang relevan dengan realitas sekarang. Seperti saat dia merantau ke kota, dia menghadapi realitas majemuk hingga kemudian tumbuh menjadi seorang nasionalis sejati,” kata Fermana, anggota tim penulis skenario, menimpali. Setidaknya ada dua pesan yang ingin disampaikan sutradara dalam Nagabonar: Reborn . Pertama, soal jiwa nasionalisme seorang Nagabonar. Kedua, tentang Nagabonar sebagai seorang yang sangat menghormati perempuan, terutama sosok ibu. Jadilah Nagabonar versi anyar ini insyaf ketika masih kecil karena selalu teringat pesan ibunya. “Ada satu adegan saat perundingan garis demarkasi, di mana dia tak mau sejengkal tanah pun dikuasai Belanda. Saya mencoba menyampaikan pesan-pesan nasionalisme itu. Lalu dia sosok yang menghormati perempuan. Emaknya saat menasihati menanamkan budi baik, dia selalu berkata ‘jangan mencuri kalau kau tak mau masuk neraka.’ Mungkin bisa menjadi inspirasi bagi anak muda. Tentu ini baik untuk Indonesia maju,” ujar Dedi Setiadi sang sutradara. Dibungkus ala FTV, Apa Kata Dunia? Dari tontonan dua jam di layar bioskop, Nagabonar: Reborn menyisakan kesan sebuah suguhan FTV (film televisi). Itu tersua baik dari sisi sinematografi, music scoring , pemilihan angle , maupun alur cerita yang ke sana-sini. Celakanya, Nagabonar: Reborn tidak ditopang riset yang kuat. Properti dan wardrobe- nya sekadar mengulang kengawuran film-film bertema sejarah lain. Seragam serdadu, misalnya, tiada beda antara zaman kolonial, pendudukan Jepang, dan perang kemerdekaan. Ini didapati pada sosok Sulung Panjaitan, pengganti sosok Mayor Pohan, yang sudah berpakaian ala pejuang 1945, berkemeja dan mengenakan sidecap, meski di film tertera tulisan tahun 1937. Lebih ngaco lagi, tampak serdadu Jepang bersenjatakan Austen. Padahal, senapan otomatis asal Australia ini baru diproduksi pada 1942. Kalaupun sudah beredar, baru terbatas di lingkungan militer Australia yang baru masuk Indonesia pada 1946. Adegan tembak-menembak antara Kapten Bastian dengan Nagabonar secara historis terbalik logikanya. Bastian seorang perwira Belanda yang naik pangkat jadi mayor, namun menyandang pistol Nambu buatan Jepang. Sementara, Nagabonar menyandang dua pistol Vickers buatan Belanda. Tampilnya sejumlah tokoh tanpa kejelasan kaitan dengan kehidupan Nagabonar juga amat mengganggu. Itu terlihat misalnya di scene kemunculan eks Menko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani. Dedi mengungkapkan, dia menyampaikan pesan baru soal nasionalisme dalam adegan perundingan garis demarkasi dengan Belanda. Padahal, di Nagabonar (1987) racikan sineas M.T. Risyaf, soal ini dihadirkan lewat adegan Nagabonar enggan manut pada permintaan Belanda. Jiwa nasionalis dan patriotik yang dihadirkan Deddy Mizwar justru lebih “nendang” ketimbang Gading. Yang pasti, bumbu percintaan terlalu berlebihan ditonjolkan dalam film ini, mengalahkan tema kehidupan Nagabonarnya sendiri. Yang bikin ambyar adalah perangai Nagabonar terhadap Kirana, yang awalnya merupakan pacar kapten Belanda Bastian. Tiba-tiba, Naga menculiknya dan memaksanya jadi pacar. Hal itu bertolakbelakang dari sifat Nagabonar versi 1987, yang meski ceplas-ceplos dan konyol namun tetap tak sampai hati memaksa Kirana (diperankan Nurul Arifin) untuk menjatuhkan pilihan padanya. Tak ada adegan menculik Kirana di versi 1987, yang ada cinta itu datang dengan sendirinya tanpa paksaan. Kirana hadir di hati Naga untuk menggantikan kehilangan separuh jiwanya yang hilang, yakni si Bujang (Afrizal Anoda), sahabatnya yang gugur. Sayangnya di Nagabonar: Reborn sosok Bujang hanya jadi pelengkap. Padahal, dalam versi 1987 Bujang bukan figuran dalam hidup Naga. Suka-duka selalu dilalui bersama oleh keduanya. Ketika anak buah Naga yang lain berhamburan saat diserang Belanda, Bujang tetap di samping Naga dan tak pernah gentar menghadapi Belanda. Namun, produser punya alasan mengapa percintaan lebih ditonjolkan dalam Nagabonar: Reborn . “Karena kita tahu penonton kita adalah kaum milenial. Yang everlasting bagi kaum milenial adalah percintaan,” ujar Gusti Randa. Alasan itulah yang mungkin menjadi latar pemilihan Dedi Setiadi sebagai sutradara. Dedi malang-melintang di FTV maupun sinetron. Karena ini pula pesan-pesan nasionalisme yang disampaikannya sangat gamblang sehingga acapakali tak pas dengan suasana era 1930-an sampai era perang kemerdekaan yang jadi latar waktu film. Sekalipun begitu, Nagabonar: Reborn tetap pantas diapresiasi. Di tengah “invasi” film-film Hollywood di tanah air, ia berani muncul dengan pesan nasionalisme lewat tampilan baru. Penonton juga akan disuguhkan gambaran kehidupan dan budaya masyarakat Batak di pesisir Danau Toba yang jarang diangkat ke sebuah film. Sejumlah adegak kocak yang mengocok perut juga menjadi nilai plus tersendiri film ini.
- Ketika Cemburu Membakar Amangkurat I
SETELAH berhasil mengatasi kesedihan akibat kehilangan Ratu Malang, Amangkurat I mencoba bangkit. Ia telah kembali duduk di takhtanya dan perlahan memperbaiki pemerintahan yang sempat ditinggalkan. Amangkurat I berusaha keluar dari derita yang hampir menghancurkan Mataram tersebut. Tidak ingin larut dalam kesendirian, raja kemudian menyuruh para pejabat negerinya agar dicarikan perempuan lain yang setara dengan sang pujaan hati. Namun perkara itu tidaklah mudah. Terlebih tidak banyak perempuan di dalam negeri kala itu yang kecantikannya bisa disetarakan dengan Ratu Malang. Dikisahkan J.J. Meinsma dalam Babad Tanah Jawi: Javaanse Rijkroniek , Amangkurat I mengutus dua orang dalam misi pencarian calon kekasihnya itu, yakni Nayatruna dan Yudakarti. Sebagai petunjuk, keduanya harus bisa menemukan seorang perempuan yang “berasal dari suatu daerah dengan air sumur yang baunya segar”. Dan pencarian itupun berakhir di wilayah tepi Kali Mas, Surabaya, Jawa Timur. Di sebuah daerah yang masuk dalam kuasa Pangeran Pekik, mertua Amangkurat I, tinggal seorang mantri bernama Ngabei Mangunjaya. Sang mantri memiliki seorang putri cantik jelita yang usianya kurang lebih 11 tahun. Oyi, begitulah Mangunjaya memanggilnya. “Memang para utusan terpesona melihat gadis cantik itu, dan anak tersebut mereka bawa,” tulis H.J. De Graaf dalam Runtuhnya Istana Mataram . Para utusan lalu membawa gadis cilik itu ke hadapan Amangkurat I. Memang benar sunan langsung jatuh hati padanya, tetapi ia menilai calon istrinya itu masih terlalu kecil untuk diperistri. Maka sunan memerintahkan kepala mantri kapedhak , Ngabei Wirareja, agar mengurus Oyi hingga usianya siap untuk menjadi bagian dari keluarga inti Raja Mataram. Di sisi lain, putra Amangkurat I, Pangeran Anom, juga sedang dipusingkan dengan pencarian calon istrinya. Ia berulang kali gagal dalam memutuskan gadis yang akan dipinang. Hampir sama seperti ayahnya, Pangeran Anom agak pemilih dalam menentukan gadis pujaannya. Terakhir kali dijodohkan dengan putri Cirebon, sang pangeran malah ketakutan dengan sifat keras gadis tersebut. “Ketika pangeran melihat gadis itu, ia memuji penampilannya yang cantik, tetapi agak sedikit pemarah. Pangeran mulai khawatir gadis itu akan bersikap kasar pada suaminya,” tulis Meinsma. Pada suatu waktu, setelah rencana perjodohannya gagal, Pangeran Anom secara kebetulan pergi ke kediaman Wirareja. Babad Tanah Jawi, maupun Serat Kandha tidak secara jelas menyebut apa tujuan pangeran memasuki kediaman sang kepala mantra. Namun di sana ia bertemu dengan Oyi yang sedang membatik bersama ibu angkatnya (istri Wirareja). “Sebagaimana layaknya, larilah gadis itu ketakutan, tetapi sempat ia menoleh sebentar dan merapikan rambutnya,” kata Graaf. Gadis misterius yang jelita itupun seketika merasuk jiwa Pangeran Anom. Oyi sangat sesuai dengan kriteria gadis yang sedang dicari-carinya. Segera ia bertanya kepada Wirareja siapa gerangan yang sedang membatik tersebut. Wirareja lalu menerangkan bahwa mutiara indah itu diperuntukkan bagi ayahnya. Ia hanya sekedar mengurusi hingga usia gadis itu matang. Namun pangeran terlanjur mabuk kepayang kepada gadis “kepunyaan” ayahnya itu. Sejak itu, pikirannya terus melayang membayangi sosok Oyi. Di dalam babad, pangeran diceritakan jatuh sakit karena cintanya itu. Bahkan sampai mengurung diri di kamar, tidak makan dan tidak tidur. Melihat cucu kesayangannya dirundung sendu seperti itu, Pangeran Purbaya berusaha menghibur. Ia memutuskan akan melakukan segalanya, apapun resiko yang akan terjadi. Bersama istrinya, Purbaya lalu pergi ke rumah Wirareja. Ia meminta agar Oyi diserahkan kepadanya. Wirareja tentu menolak karena takut akan kemurkaan Amangkurat I. Namun bujukan barang-barang mewah dari Purbaya akhirnya melemahkan Wirareja. Oyi kemudian dibawa menggunakan tandu menuju kediaman Purbaya. Segera cucunya dipanggil agar keluar dari dalam kamarnya. Betapa terkejut pangeran Anom ketika menemukan Oyi sudah ada di hadapannya. Ia tidak percaya gadis pujaan hatinya bisa sedekat itu. Sang putra mahkota pun terlihat seperti hidup kembali. Namun menurut Graaf: “Sang kakek memikul segala tanggung jawab demi kegembiraan dan kebahagiaan si cucu”. Mereka tidak tahu kekejaman apa yang menanti. Benar saja, tidak lama setelah, Amangkurat I mendengar kabar penjemputan Oyi dari kediaman Wirareja. Ia begitu marah kepada putranya, Purbaya, dan Wirareja. Amangkurat I lalu memerintahkan pasukannya untuk menghancurkan kediaman Purbaya. Dalam laporan Residen Mataram 5 Juli 1669, sunan sampai menghancurkan kediaman Pangeran Anom dan membakar rumah-rumah di sekitarnya. Laporan pemerintah Belanda tahun 1670 menyebut banyak kaki tangan Pangeran Anom yang dihukum berat. Bahkan Wirareja dan keluarganya diusir ke Ponorogo, dan tidak lama kemudian keluar perintah dari sang raja untuk menghukum mati mereka. Sementara itu, Pangeran Anom sendiri dihukum dengan diusir dari keraton Mataram. Meski akhirnya diperbolehkan untuk kembali.
- Arsip Angkasa Pura Mengudara
FUNGSI bandar udara ( airport ) amat penting bagi industri penerbangan. Dalam sejarahnya, pembangunan bandar udara (bandara) di Indonesia tidak dapat terlepas dari peran PT Angkasa Pura. Itu nama badan usaha milik negara pelopor pengusahaan kebandarudaraan secara komersial di Indonesia. “Diinisiasi oleh Presiden Sukarno yang punya keinginan membangun pelabuhan udara nasional dan internasional di Indonesia,” ujar Gede Eka Sandi, Corporate Secretary PT Angkasa Pura I dalam acara “Ekspose Inventaris Arsip PT Angkasa Pura I (Persero): 1960—2011” yang diselenggarakan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) pada 19 November 2019. Embrio Angkasa Pura bermula pada 1962. Saat itu, Presiden Sukarno baru kembali dari Amerika Serikat dan menyaksikan betapa modernnya bandara disana. Sukarno menegaskan keinginannya kepada Menteri Perhubungan dan Menteri Pekerjaan Umum agar lapangan terbang di Indonesia setara dengan bandara negara maju. Ekspose Inventaris Arsip PT Angkasa Pura I (Persero): 1960—2011” yang diselenggarakan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) pada 19 November 2019. Foto: Dok. Direktorat Pengolahan ANRI. Pada 15 November 1962, dibentuklah Perusahaan Negara (PN) Angkasa Pura Kemayoran yang bertugas membangun dan mengelola Bandara Kemayoran di Jakarta. Bandara Kemayoran ini sekaligus menjadi pelabuhan udara Indonesia pertama yang dibuka untuk rute penerbangan internasional. Pada 20 Februari 1964, PN Angkasa Pura Kemayoran mengambil alih aset dan operasional Bandara Kemayoran. Tanggal itu sekaligus diperingati sebagai hari jadi perusahaan. PN Angkasa Pura Kemayoran kemudian berganti nama menjadi PN Angkasa Pura. Pergantian ini sehubungan dengan pembangunan bandara di kawasan Indonesia yang lain. Setelah Kemayoran, Angkasa Pura membangun Bandara I Gusti Ngurah Rai (Denpasar), Halim Perdanakusumah (Jakarta), Polonia (Medan), Juanda (Surabaya), Sepinggan (Balikpapan), dan Sultan Hasanuddin (Ujung Pandang). Pada 1974 status badan usaha Angkasa Pura diubah menjadi perusahaan umum (perum). Seiring waktu wilayah operasional Angkasa Pura kian meluas. Pada 1986, Angkasa Pura diubah menjadi Perusahaan Umum Angkasa Pura I. Hal ini sejalan dengan dibentuknya Perum Angkasa Pura II - sebelumnya bernama Perum Pelabuhan Udara Cengkareng – yang secara khusus bertugas mengelola Bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Pada 1992, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 5, Perum diubah menjadi Perseroan Terbatas (PT) yang sahamnya dimiliki penuh oleh negara. Sesuai peraturan ini, Angkasa Pura berganti nama menjadi PT. Angkasa Pura I. PT Angkasa Pura I mengelola bandara di regional Indonesia tengah dan timur. Sementara itu, PT Angkasa Pura II mengelola bandara di Indonesia kawasan barat Hingga kini, PT Angkasa Pura I mengelola 15 bandara sedangkan PT Angkasa Pura II mengelola 16 bandara. Di luar sektor penerbangan, Angkasa Pura juga meluaskan sayap usahanya. Anak usaha Angkasa Pura meliputi bidang logistik, properti, perhotelan, dan retail. Pada 2014 dan 2018 PT. Angkasa Pura I menyerahkan arsipnya ke pihak ANRI. Menurut Sarip Hidayat, Direktur Pengolahan ANRI arsip yang diserahkan terdiri dari 83 boks arsip tekstual, 2890 arsip foto 2890 lembar, 4000 frame arsip foto negatif, dan 293 slide arsip fotoslide . Selain itu, terdapat pula arsip-arsip visual berupa dokumentasi video. Arsip-arsip tersebut mengurai perjalanan Angkasa Pura sepanjang setengah abad mulai dari berdiri sampai 2011. Kepada Historia, arsiparis ANRI, Jajang Nurjaman yang mengelola arsip Angkasa Pura mengatakan arsip tersebut dapat segera diakses publik. Menurutnya arsip ini punya nilai penting dalam merekam sejarah penerbangan maupun industri kedirgantaraan di Indonesia. Diperkirakan, arsip Angkasa Pura telah masuk layanan ANRI pada awal tahun depan. “Harapannya supaya banyak peneliti atau masyarakat umum yang mengakses arsip terkait kedirgantaraan Indonesia, dan sebagai gerbang masuk arsip statis lain yang masih disimpan oleh perusahaan atau individu yang terkait dengan sejarah penerbangan Indonesia,” kata Jajang.
- Membaca Karya-Karya Sontoloyo
Pada 1975, diadakan pameran lukisan dalam rangka pembukaan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang baru berdiri. Gubernur Ali Sadikin yang meninjau kesiapan pameran, tiba-tiba berhenti di depan sebuah lukisan karya Srihadi Soedarsono. Lukisan Srihadi menampilkan sebuah air mancur yang dikelilingi gedung-gedung pencakar langit. Gedung-gedung itu juga dipenuhi tulisan Hitachi, Toshiba, Banzai, Toyota, Sony, Dai Nippon, hingga Bakero. Lukisan yang diberi judul “Air Mancar” dan dibuat pada tahun 1973 itu menampilkan wajah ibu kota yang semrawut. Nampaknya Ali Sadikin geram melihat Jakarta dilukiskan penuh reklame perusahaan Jepang. Ia pun lantas mencoret-coret lukisan itu dengan tulisan, “Sontoloyo!!! Apa ini reklame barang2 Jepang.” Ia kemudian juga membubuhkan tanda tangannya. Lukisan itu akhirnya tidak jadi dipamerkan untuk menghindari kemarahan Presiden Soeharto yang akan membuka acara. Pengunjung menikmati karya-karya dalam pameran "Sontoloyo". (Fernando Randy/Historia). Kejadian itulah yang kemudian menginspirasi pameran Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) bertajuk "Sontoloyo" di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki (TIM). Pameran ini menampilkan sepilihan koleksi DKJ dari pelukis seperti Basuki Resobowo, Dede Eri Supria, Djojo Gozali, Hardi, Ipe Ma’aroef, Ipung Gozali, Mardian, Muryoto Hartoyo, Nashar, Oesman Effendi, Rudi Isbandi, Wahyu Widjaja, dan Zaini. Pameran yang berlangsung mulai 15 hingga 30 November 2019 dikuratori oleh Bambang Bujono dan Lisistrata Lusandiana. Kedua kurator memilih karya-karya yang berkaitan dengan permasalahan urbanitas yang dibuat pada masa Orde Baru terutama pada dekade 1970-an hingga 1980-an. Pembacaan ulang atas karya-karya mereka ternyata memperlihatkan relasi antara seniman, kota, dan penguasa. Beberapa karya sketsa tahun-tahun itu tidak menunjukan gambaran kota yang realistis. Sementara itu garis-garis dan coretan abstrak nampaknya lebih menonjol. Pameran ini hendak membaca ulang perkembangan seni rupa masa Orde Baru. (Fernando Randy/Historia). “Semacam ada sesuatu yang mereka hindari. Yang dari bentuk, itu adalah menghindari bentuk yang realistis. Tentu saja ada pengaruh perkembangan seni rupa itu sendiri. Tetapi sebaliknya perkembangan seni rupa itu juga dipengaruhi oleh suasana lain-lain. Suasana politik, ekonomi dan sebagainya. Mengapa mereka menjadi asbtrak,” kata Bambang Bujono. Menurut Bambang, para perupa masa itu tidak ingin karyanya dihubung-hubungkan dengan sesuatu yang bisa diverbalkan. Hal ini berkaitan erat dengan peristiwa 1965. Bambang Bujono dan Lisistrata Lusandiana kedua kurator pameran Sontoloyo yang di gelar di TIM Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Pada masa sebelum tahun 1965, kebudayaan Indonesia termasuk senirupa didominasi oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Lekra dengan "politik sebagai panglima"-nya memiliki pengaruh kuat dalam perkembangan seni rupa kala itu. Pasca tragedi 1965, Lekra dilarang bersama PKI dan semua yang dianggap berkaitan dengan komunis. Masa-masa itu kemudian membawa "kebebasan" bagi para seniman yang kala itu merasa tidak bebas karena setiap karya harus politis. Pameran ini juga mempertanyakan ulang bagaimana urbanitas dibicarakan. (Fernando Randy/Historia). “Kebebasan kreatif itu dirayakan luar biasa, tetapi di bawah sadar sebetulnya ada satu ketidakbebasan, yang waktu itu belum terasa. Yaitu ketidakbebasan untuk, misalnya, mengkritik pemerintah. Kebebasan untuk berbicara seperti ketika tahun 65,” ujar Bambang. Bambang menambahkan, hal itu membuat para sketcher masa itu memiliki kecenderungan untuk mengingkari bentuk yang ada di depan mata. “Ada semacam escape , pelarian. Maka (karya) Pak Zaini misalnya, menjadi seperti abstrak,” ungkapnya. Sementara itu, karya-karya "sontoloyo" seperti milik Srihadi seringkali mendapat represi secara langsung. Salah satu contohnya adalah karya cetak saring seniman Hardi, eksponen Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRBI) berjudul Suhardi Presiden R.I Th. 2001 (1979). Ketika dipamerkan dalam pameran pelukis muda se-Indonesia, karya itu diminta diturunkan oleh pihak keamanan dan menyebabkan Hardi ditahan dua hari di Laksusda Jakarta. Dalam pameran ini, karya-karya "sontoloyo" itu disandingkan dengan karya-karya pensketsa urban masa kini sebagai upaya melihat kembali perkembangan seni rupa Indonesia beserta segala masalah kreativitasnya. Lisistrata Lusandiana menambahkan, pemilihan karya kali ini juga didasari pada ajakan untuk mempertanyakan ulang bagaimana urbanitas dibicarakan serta apakah prosesnya telah berjalan demokratis atau belum.
- Aturan Bersepeda pada Masa Lampau
Kring, Kring, Kring ada sepeda Sepedaku roda tiga Ku dapat dari Ayah Karena rajin belajar. Anda ingat penggalan lagu tadi? Lagu ciptaan Pak Kasur, pendidik anak-anak, pada 1960-an. Dia biasa menggunakan lagu ini untuk mengiringi anak-anak masuk kelas Kebun Kanak-Kanak, sebuah lembaga pendidikan buatannya. Kala itu banyak anak bersepeda dengan riang menuju Kebun Kanak-Kanak sembari membunyikan suara "kring" dari bel sepeda. Bel sepeda berguna untuk memberikan tanda kepada orang lain. Penggunaan bel meluas tak lama setelah sepeda masuk ke Hindia Belanda pada 1910-an. Bel biasanya terpasang pada sisi kanan stang. Bel masih menjadi incaran para pesepeda hingga sekarang. Bel sebenarnya tidak termuat dalam aturan kelengkapan bersepeda, tapi terpasang di banyak sepeda anak-anak atau dewasa. Berbeda dari aturan kendaraan bermotor, aturan tentang sepeda dan kelengkapannya tak banyak diketahui orang. Seiring dengan tingginya gairah bersepeda dan pembuatan lajur khusus sepeda di beberapa kota Indonesia, penting untuk mengenal aturan bersepeda. “Perlu clear lajur dan rambunya, sosialisasinya, perlengkapan safety- nya, dan kalau perlu ada lisensinya,” ujar Gamma Riantori (38 tahun), karyawan swasta penggemar sepeda. Menilik sejarah, aturan bersepeda sebenarnya sudah pernah ada dan diterapkan demi keselamatan bersama pengguna jalan. Awal sepeda masuk Hindia Belanda pada 1910-an, aturan tentang penggunaan sepeda dan alat-alatnya belum ada. Aturan terkait hal itu muncul pada 1930-an seiring dengan terbitnya Wegverkeers Ordonanntie 1933 ( Staatsblaad 1933 No. 68) atau Undang-Undang Lalu Lintas Jalan. Angkat Tangan Sebelum Belok Pokok-pokok aturan itu terangkum dalam buku karya Mr. Dr. F.J.W.H. Sandbergern berjudul Atoeran Mempergoenakan Djalan Raja terbitan 1939. Pesepeda wajib berjalan di lajur kiri jalan, di samping kanan pejalan kaki dan gerobak pedati. “Kereta angin sekali-kali tidak boleh lalu di tengah-tengah jalan,” catat Sandbergen. Kereta angin adalah sebutan untuk sepeda pada masa itu. Lajur sebelah kanan pesepeda digunakan untuk kendaraan lebih cepat seperti delman, sado, sepeda motor roda dua, dan auto (mobil). Pesepeda dilarang pula mengambil lajur pejalan kaki dan kendaraan lebih lambat. Jika pesepeda ingin berbelok ke kiri atau kanan, dia wajib mengangkat tangan ke arah tujuannya. Untuk memberitahu pengguna jalan lain bahwa pesepeda akan melambat atau berhenti, dia juga harus menggunakan tangannya sebagai isyarat. “Jika hendak melambatkan jalan, gerakkanlah tangan ke atas-ke bawah. Jika hendak berhenti, acungkanlah tangan ke atas lurus-lurus,” tulis Sandbergen. Selama melaju, pesepeda tidak boleh berpegangan pada kendaraan lain. Menurut Sandbergen, tindakan itu sangat berbahaya. “Jika tidak tergiling oleh kendaraan tempat berpegang itu, boleh jadi digiling oleh kereta yang datang dari belakang.” Larangan lain bagi pesepeda ialah membawa seorang atau lebih dalam satu sepeda jika tak ada alat boncengan. Jika seorang penumpang sepeda berdiri di atas jalu roda belakang, pesepeda akan terkena pelanggaran lalu-lintas. Demi keamanan dirinya, pesepeda wajib melengkapi kendaraannya dengan lampu putih, reflektor (mika pemantul cahaya), dan tanda khusus bagi pesepeda tuli atau kurang pendengaran. Lampu putih terpasang di bagian depan dan menyorot ke bawah. Lampu itu tidak boleh mengarah ke pengguna jalan lain. Reflektor terletak di belakang. Pemasangan reflektor tak bisa sembarangan. “Pada kereta angin hanya boleh dipakai kaca merah (reflektor) yang sudah disahkan,” sebut Sandbergen. Direktur Transportasi dan Manajemen Air ( Verkeer en Waterstaat ) Hindia Belanda menyusun senarai untuk reflektor sepeda. Senarai berisi 56 jenis reflektor dari beragam jenama dan pabrikan. Pesepeda harus memilih salah satunya. Dia tak bisa memasang reflektor di luar senarai resmi pemerintah. Pajak Sepeda Kelengkapan wajib lainnya adalah peneng atau tanda lunas pajak sepeda. Ini luput dari penjelasan Sandbergen. Padahal tanda ini wajib dipasang di depan sepeda. Sejak 1930-an, pemerintah kolonial menerapkan pajak kepada tiap pemilik sepeda. Selayaknya kepada pemilik kendaraan tak bermotor lain seperti delman, sado, dan gerobak. Pengecualian kepada pesepeda dari kepolisian dan militer. Besaran pajak sepeda berbeda di tiap wilayah, sesuai dengan semangat desentralisasi pemerintahan sejak 1905. Pemerintah kolonial menggunakan pajak ini untuk merawat jalan. Tapi pesepeda protes tersebab lajur untuk mereka mudah rusak. “Lajur yang disediakan penuh lubang,” catat P.K. Ojong dalam Kompas , 7 April 1967. Berbeda dari lajur kendaraan bermotor, mulus. Padahal sama-sama bayar pajak. Pemerintah pendudukan Jepang mempertahankan penerapan pajak. Tapi tujuannya untuk membiayai perang. Pengumuman terhadap besaran dan batas waktu pembayaran pajak sepeda kerap muncul di surat kabar. Cara ini bertahan hingga Indonesia masuk masa merdeka. Bedanya, penggunaan pajak kembali untuk perawatan jalan. Pesepeda harus membawa sepedanya ke Balai Kota atau kantor bendahara kota. Orang tak menganggap berat pajak sepeda. “Orang-orang terutama anak-anak sekolah, mengantre dengan sepedanya di Balai Kota (atau haminte ) di Jalan Kebon Sirih untuk membayar peneng,” kenang Firman Lubis dalam Jakarta 1950-an . Pesepeda memang tidak perlu surat izin mengemudi ( rijbewijs ) . Tidak pula ada batasan umur untuk pesepeda. Tapi mereka tetap wajib mematuhi aturan bersepeda dan kelengkapan sepeda. Termasuk pula pembayaran pajak. Pelanggaran terhadap aturan tersebut akan diganjar hukuman dari polisi atau pemerintah. Bentuknya bervariasi: penjara, denda, dan penghentian sementara operasional sepeda. “Semua sepeda yang tidak memakai peneng tahun 1950 yang berada di jalanan umum, akan ditahan,” ucap R. Soewirjo, walikota Jakarta dalam Java Bode , 18 April 1950. Sedangkan di Semarang, hukumannya denda sebesar 100 florin. Padahal pajaknya hanya 2,25 florin setahun. Jika tak mampu membayar denda, pemilik sepeda akan masuk penjara selama-lamanya sebulan. Demikian keterangan dari De Locomotiev , 18 Juli 1950. Penerapan pajak sepeda mulai kendor seiring menghilangnya sepeda dari jalanan kota-kota besar Indonesia pada 1970-an. Orang pun enggan membayarnya. Maka pemerintah kota menurunkan petugas hingga ke Rukun Tetangga/Kampung untuk menarik pajak sepeda. Ternyata hasil penarikan pajak sepeda lebih kecil daripada biaya operasional untuk petugas. Semangat pemerintah kota pun ikut kendor. Secara formal, pajak sepeda tidak berlaku lagi setelah terbit UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Sejumlah kewajiban pesepeda pada masa lampau juga hilang atau tak tercantum dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan. Misalnya tentang reflektor, tanda isyarat tangan, dan lampu. Tapi beberapa aturan lain masih bertahan seperti kewajiban tanda khusus untuk pesepeda tuli atau kurang pendengaran dan larangan membawa penumpang tanpa alat boncengan.
- Bukti Leluhur Austronesia Tertua di Taiwan dan Cina Selatan
Bahasa merupakan warisan utama penutur Austronesia untuk populasi seluas setengah bola dunia, khususnya yang ada di Nusantara. Selain bahasa, jejak mereka juga terlacak lewat warisan biologis dan budaya lainnya. Rumpun bahasa Austronesia bisa jadi terbesar di dunia. Ada sekira 1.200 bahasa dan sekitar 270 juta penutur. Menurut Peter Bellwood dalam “The Austronesians in History: Common Origins and Diverse Transformations”, termuat di The Austronesians, Historical and Comparative Perspectives, itu berkisar dari bahasa dengan puluhan juta penutur, seperti Melayu, Jawa, Tagalog, hingga sejumlah besar bahasa dengan hanya sedikit penutur, yaitu ratusan. “Yang terakhir ini sangat lazim di Oceania,” catat dosen arkeologi di School of Archaeology and Anthropology Australian National University itu. Orang-orang yang skeptis mungkin mempertanyakan apakah 270 juta penutur itu berbagi leluhur budaya dan biologis yang sama? Lalu bagaimana orang-orang yang berbicara bahasa dalam rumpun Austronesia saat ini tidak identik secara fisik? Menurut Bellwood pertanyaan itu sulit dijawab secara absolut karena setiap masyarakat Austronesia memiliki sejarah yang berbeda. Bagaimana pun masyarakat Austronesia juga sangat bervariasi bahkan pada masa lalu. Namun, orang pastinya harus menolak penjelasan kalau bahasa Austronesia menyebar dengan cara meminjam bahasa oleh masyarakat menetap yang sudah ada sebelumnya. Dengan kata lain, orang-orang yang menetap ini menerima keberagaman. Kendati contoh penyebaran semacam ini mungkin terjadi, terutama di Melanesia barat. Pasalnya, jika memang begitu yang terjadi, pola distribusi sebagaimana yang ditemukan tak mungkin bisa sedemikian tak terputus dan bebas kantong. Masyarakat Austronesia jelas telah menyebar dan menjadi kian beragam dengan cara yang rumit. Namun, kata Bellwood, jejak mereka tetap bisa terlacak, selain lewat bukti linguistik, juga secara biologis dan arkeologis. Bukti inilah yang menunjukkan adanya asal-usul bersama dari wilayah-wilayah penyebaran budaya Austronesia. Semuanya dapat dirunut kembali hingga sekira 6.000 tahun yang lalu. Persebaran bahasa Austronesia mulai dari Madagaskar di barat hingga ke Pulau Paskah di timur. Secara universal bahasa ini dipakai di Indonesia, Filipina, Singapura, dan Malaysia, serta penduduk asli Taiwan. Bahasa ini juga digunakan oleh populasi minoritas di Vietnam, Kamboja, dan Kepulauan Mergui di lepas pantai Myanmar. Lebih jauh ke timur, bahasa-bahasa Austronesia menempati hampir semua pulau-pulau Oceania. Ini dengan pengecualian di pedalaman dan sebagian besar wilayah pesisir pulau besar Papua. Warisan bahasa Austronesia ditandai dengan kata-kata yang mirip dalam bunyi dan makna. Beberapa kata, seperti bilangan satu sampai sepuluh di berbagai kawasan persebaran Austronesia menunjukkan adanya kekerabatan itu. Misalnya, dalam bahasa Jawa kuno, hitungan dua sampai sepuluh, yaitu: rwa, telu, pat, lima, nem, pitu, wwalu, sanga, sapuluh . Dalam bahasa Minangkabau, hitungan dua sampai sepuluh, yaitu: duo, tigo, ampek, limo, anam, tujuah, salapan, sambilan, sapuluah. Dalam bahasa Bugis, hitungannya menjadi dua, tellu, eppa, lima, enneng, pitu, aruwa, asera, seppulo . Itu tak jauh berbeda dengan bahasa Tagalog yang kini menjadi bahasa resmi di Filipina, yaitu: dalawa, tatló, ápat, lima, ánim, pitó, waló, siyám, sampû . Contoh lain lagi milsanya kata manuk dalam bahasa Jawa yang berarti burung, dalam bahasa Tagalog disebut manok. Orang Fiji menyebutnya manumanu. Sementara bagi orang Samoa itu adalah manu. Bahasa-bahasa yang mirip satu sama lain itu bisa dirunut dari induknya yang berada di Taiwan. Dalam bukunya, Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia , Bellwood menjelaskan ciri budaya dan bahasa ini telah ada di Taiwan 1.000 tahun sebelum muncul di pulau-pulau sebelah setelannya. Sebagaimana juga dijelaskan Paul Jen-kuei Li, pakar bahasa Formosa dari Institute of Lingustics, Academia Sinica, di Taipei dalam tulisannya “The Great Diversity of Foromosan Languages” yang termuat di Jurnal Language and Linguistics. Menurutnya bahasa Formosa di Taiwan sangat beragam di semua tingkat linguistik, mulai dari aspek fonologi, morfologi, sampai sintaksis. “Sebenarnya bahasa Formosa adalah yang paling beragam dari seluruh keluarga bahasa Austronesia,” katanya. “Keanekaragaman linguistik ini menunjukkan tingkat lamanya permukiman di pulau itu, yang mana menjadikan Taiwan sebagai pusat penyebaran bahasa Austronesia.” Model gerabah dari Situs Ban Chiang, Thailand. ( thaiwebsites.com ) Bukti Tertua Soal asal usul, Sofwan Noerwidi, arkeolog Balai Arkeologi Yogyakarta dalam “Migrasi Austronesia dan Implikasinya Terhadap Perkembangan Budaya di Kepulauan Indonesia” termuat di Amerta menjelaskan, teori Out of Taiwan meraih banyak dukungan. Ini sebagaimana yang didukung pula oleh Peter Bellwood. Bellwood mengajukan penjelasan kalau para penutur Austronesia tersebar dari Taiwan dan bermula dari kawasan di pantai Cina bagian selatan. Namun, kata Sofwan, ada teori asal usul Austronesia lainnya yang juga berkembang. “Ada tiga kubu model rekonstruksi, Austronesia berasal dari Pulau Taiwan, dari kawasan Asia Tenggara Kepulauan, dan dari kawasan Melanesia,” jelasnya. Teori Out of Taiwan lebih banyak pendukung karena ditopang pula oleh bukti arkeologis. Sejauh ini diketahui kalau Taiwan menyimpan bukti budaya Austronesia yang tua. Sebelum sampai dan menetap di sana, rupanya menurut Bellwood orang Austronesia pertama diyakini berasal dari wilayah Cina Selatan. Itu seperti yang ditemukan di Situs Hemudu, Teluk Hangzou, Provinsi Zhejiang, di Cina Selatan dari 7.000 tahun lalu. Di Hemudu ditemukan sisa-sisa tembikar, alat pertanian kayu dan tulang, bukti untuk pertukangan dan pembuatan kapal, dayung, kumparan pemintal benang ( spindle whorl ) untuk menenun, anyaman, tali, dan sejumlah besar padi yang dipanen. Di situs itu juga digali tulang babi peliharaan, anjing, ayam, dan kerbau peliharaan. Menurut Peter Bellwood dalam “Austronesian Prehistory in Southeast Asia: Homeland, Expansion and Transformation”, termuat di The Austronesians, Historical and Comparative Perspectives , temuan-temuan itu menunjukkan adanya pergeseran dari gaya hidup berburu yang diduga berasal dari masa Paleolitik Asia Timur ke kehidupan menetap sambil bertani dan beternak. Berikutnya, penduduk Hemudu dan permukiman pertanian Cina kontemporer lainnya pun hidup selama satu episode evolusi budaya. Ini yang pada akhirnya memiliki dampak terhadap seluruh wilayah Asia Timur dan Pasifik beriklim sedang dan tropis. “Salah satu dampak ini adalah ekspansi penutur bahasa Austronesia yang pada akhirnya fenomenal, meskipun yang mengembangkan momentum pertamanya 1.000 km atau lebih di selatan Hemudu ( Pulau Taiwan, red. ),” kata Bellwood. Sementara catatan arkeologis Neolitik di Taiwan dimulai dari sekira 5.000-6.000 tahun lalu. Itu ditunjukkan dengan kumpulan temuan arkeologis bertipe Cina Selatan. “Mungkin pada awalnya dibuat oleh sekelompok kecil pemukim pertanian yang melintasi Selat Formosa dari Fujian,” kata Bellwood. Tipe temuan Cina Selatan yang dimaksud seperti tembikar berhias motif tali, alat batu yang dipoles, dan mata tombak. Sementara barang-barang lain seperti kumparan pemintal benang ( spindle whorl ) untuk menenun, kemungkinan tiba beberapa waktu kemudian. Pun di Taiwan, ada bukti pertanian beras dari sisa serbuk sari berumur 5.000 tahun yang lalu. Juga diketahui adanya pembukaan hutan untuk pertanian. “Di Taiwan, mereka hidup relatif tidak terganggu selama beberapa waktu. Itu sebelum salah satu komunitas Taiwan-Austronesia pindah ke selatan ke Filipina,” jelas Bellwood. Sebagian para penutur Austronesia dari Taiwan kemudian bergerak menembus kepulauan Filipina. Dari sana satu kelompok bergerak ke barat daya, melalui Kalimantan dan kemudian Sumatra dan Jawa. Itu dengan cabang-cabang menembus Semenanjung Melayu, bagian timur Vietnam dan Kamboja. Kelompok lainnya dari Filipina pindah ke selatan ke Sulawesi. Rupanya Sulawesi adalah lokasi koloni Austronesia tertua di Nusantara. Berdasarkan hasil penelitian terbaru diketahui awal kolonisasi Austronesia di Kepulauan Nusantara adalah sekira 3.500 tahun yang lalu. Ini diperoleh dari pertanggalan Situs Minanga Sipakko di Sulawesi Barat. Dari Sulawesi, baru kemudian secara gradual semakin lebih muda ke barat menuju Sumatera dan Jawa. Yang ke selatan menuju Kepulauan Sunda Kecil. Sementara yang ke timur menuju Maluku dan Pasifik. Perjalanan ini diketahui berkat bukti material bertipe sama yang juga tercatat ada di pulau-pulau Asia Tenggara. Semuanya muncul di lokasi penggalian yang tersebar luas antara 6.000 dan 3.500 tahun yang lalu. Tampilan temuan itu menunjukkan tren yang mulanya berkembang di wilayah Cina, Taiwan, dan Luzon. Umur temuan yang setipe ditemukan semakin ke selatan semakin muda, yaitu menuju Indonesia dan Oseania barat. Di antaranya adalah tembikar berslip merah yang berusia 4.500-3.500 tahun lalu, muncul di daerah pesisir dan pedalaman Filipina, Sulawesi, Kalimantan Utara, dan Halmahera. Sementara penelitian serbuk sari di dataran tinggi Jawa Barat dan Sumatra menunjukkan bahwa beberapa pembukaan hutan yang cukup intensif untuk pertanian, sudah berlangsung setidaknya 4.000 tahun lalu. Bahkan mungkin sebelumnya. Pada 1.500 SM, koloni petani ini telah menyebar ke perbatasan barat Melanesia. Ekspansi terus-menerus melalui Melanesia ke Polinesia barat. Ini yang kemudian diwakili oleh budaya Lapita, khususnya berupa tembikar berslip merah dengan berbagai ukiran. Persebaran ini tampaknya lebih cepat daripada gerakan sebelumnya. “Itu mungkin karena produksi makanan yang dilakukan populasi berbahasa Papua (populasi pendahulu penutur Austronesia, red . ) sudah menempati beberapa wilayah pantai yang besar pulau New Guinea, Bismarck, dan Solomon,” lanjut Bellwood. Sementara keterkaitan dengan Austronesia yang secara biologis ditandai dengan keberadaan ras Mongoloid Selatan di wilayah persebarannya, di luar Melanesia dan sebagian Filipina. Secara genetis keterkaitan orang-orang di Nusantara khususnya di bagian barat dengan Taiwan dan Cina Selatan juga terbukti. Herawati Supolo-Sudoyo, ahli genetika dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, yang meneliti DNA sejumlah orang Indonesia, menjelaskan paling tidak DNA orang-orang Indonesia bagian barat, khususnya Kalimantan, Sumatra, dan Jawa terpengaruh oleh DNA leluhur penutur Austronesia. Ini dapat dilacak sejak 4.000 tahun yang lalu. Secara genetis, menurut Hera, datangnya penutur Austronesia ini adalah gelombang ketiga dari empat gelombang migrasi yang masuk ke Nusantara. Mereka adalah sekelompok orang yang berkelana dari Cina Selatan (Yunan) menyebar ke Taiwan, Filipina, sampai ke Sulawesi dan Kalimantan. “Termasuk dari Cina Daratan masuk ke Formosa, ke Filipina turun ke Kalimantan, yang ke barat menyebar sampai ke Madagaskar, yang ke timur menyebar ke Papua sampai ke Polinesia,” kata Hera. Warisan bersama juga terlihat lewat kebiasaan seperti seni tato, penggunaan cadik pada kano, dan karakteristik sosial seperti perhatian terhadap urutan kelahiran saudara kandung dan penghormatan untuk pendiri suku dan leluhur. Pada akhirnya setelah terpisah dan tersebar, masing-masing para penutur bahasa Austronesia mengembangkan bahasanya dan mulai meninggalkan kebiasaan lama. Seiring penyesuaian mereka dengan lingkungan dan budaya berbeda, setiap kelompok akhirnya menemukan nama baru bagi kelompoknya masing-masing.
- Kisah Cinta Rohana dan Abdul Kudus: Dua Sejoli dari Tanah Minang
SAMBIL saling menggenggam tangan, Rohana dan Abdul Kudus gelar Pamuncak Sutan barjalan beriringan berkeliling desa untuk mengunjungi rumah sanak familinya. Aktivitas bersilaturahmi sambil mengenalkan pasangan baru tersebut menjadi rutinitas Rohana dan Abdul ketika pengantin baru. Namun, tingkah pasangan pengantin baru itu justru jadi bahan gunjingan orang-orang. Di Koto Gadang saat itu amat jarang ditemui sepasang suami istri jalan beriringan sambil bergandeng tangan. Orang-orang yang tidak suka Rohana pun menjadikan hal itu sebagai “amunisi” untuk menghinanya. “Hoi, pengantin baru tapi tak punya emas berlian,” kata mereka mencibir, dikutip Fitriyanti dalam Wartawan Perempuan Pertama Indonesia: Rohana Kudus . Rohana tak ambil pusing. Cibiran itu dijadikannya sebagai bahan candaan dengan suaminya. Rohana dan Abdul menikah pada 1908. Kala itu, Rohana berusia 24 tahun. Rohana mulanya tak tahu-menahu siapa lelaki yang akan dijodohkan dengannya. Ia percaya pilihan Tuo Sini, adik neneknya, yang begitu dekat dengannya. Rohana yakin, Tuo Sini yang ia sayangi tak mungkin memilihkan lelaki yang salah, dan Abdul adalah jodoh usulan Tuo Sini yang disetujui seluruh keluarga. Abdul sebenarnya masih punya hubungan saudara dengan Rohana. Ia merupakan sepupu jauh Rohana dari pihak ayah. Abdul merupakan anak dari Sutan Dinagari Laras, seorang Hoofd IV Koto (semacam camat). Abdul juga seorang yang aktif dalam pergerakan dan partai politik. Ia lulusan sekolah hukum di Batavia dan fasih berbahasa Belanda. Begitu lulus, ia kembali ke Koto Gadang, menolak bekerja pada pemerintah Belanda dan lebih pilih jadi notaris independen. Ia juga rutin menulis di berbagai suratkabar yang terbit di Jawa dan Sumatera. Rohana hidup bahagia setelah menikah. Ia merasa amat beruntung mendapatkan “partner in crime” yang pas dengan pemikiran dan pergerakannya lantaran Abdul bukanlah tipe suami kolot yang menginginkan istri hanya menjadi buntut suami. Meski bukan orang yang berlimpah harta, Abdul lelaki progresif yang memberi Rohana kebebasan untuk mengejar cita-cita dan mendukung Rohana sepenuh hati. Dengan dukungan Abdul, cita-cita Rohana untuk memajukan nasib kaum perempuan jadi lebih besar. Namun, rumahtangga bukanlah Danau Maninjau yang tenang airnya. Keaktifan Abdul dalam pergerakan anti-Belanda menimbulkan rintangan bagi keluarga muda itu. Tulisan-tulisan Abdul seringkali mengkritik kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang tidak pro-pribumi. Tindakan itu membuat penduduk kampung khawatir anak gadis mereka terpengaruh dan aktif pula dalam oraganisasi politik yang diikuti Abdul. Rohana sempat terpuruk dengan tekanan dari masyarakat, namun keberadaan dan dorongan Abdul membuatnya kembali bersemangat. Rohana pun tak gentar meski beberapa muridnya memutuskan keluar dari sekolahnya karena tidak mendapat izin orangtua. Rohana terus berusaha membangun pendidikan yang baik untuk perempuan dan anak lelaki miskin di Koto Gadang. Ketika Rohana merasa tak cukup hanya berjuang di bidang pendidikan, ia mendiskusikannya dengan Abdul yang merupakan tempat Rohana menumpahkan segala keresahannya tentang perjuangan untuk perbaikan nasib kaum perempuan. Menurut Rohana, bila hanya mengajar di Sekolah Kerajinan Amai Setia, ilmunya hanya berguna untuk murid-muridnya saja. Rohana ingin usahanya menjangkau lebih luas. “Apa yang bisa saya bantu untuk mewujudkan cita-cita, Adik?” kata Abdul pada Rohana. “Saya ingin sekali rasanya berbagi ilmu pengetahuan dan pengalaman dengan kaum perempuan di daerah lain sehingga bisa membantu lebih banyak lagi. Bagaimana caranya?” kata Rohana. “Mungkin Adik bisa melakukannya dengan menulis di surat kabar.” kata Abdul. Menurut Abdul, dengan menulis, ilmu yang Rohana miliki akan tersebar lebih luas. Abdul pun menyarankan Rohana untuk menyurati beberapa pemimpin redaksi suratkabar. “Mungkin ada yang bisa memberikan jalan keluar,” kata Abdul. Bagi Abdul, apapun keinginan istrinya asalkan demi kemajuan perempuan Koto Gadang akan dia dukung sepenuh hati. Saran Abdul manjur. Surat Rohana, sebagaimana diceritakan Tamar Djaja dalam Rohana Kudus, Srikandi Indonesia, ditanggapi oleh pemimpin redaksi Oetoesan Melajoe Sutan Maharaja. Maharaja bahkan ingin bertemu langsung dengan Rohana. Pertemuan itulah yang menghasilkan terbitnya Soenting Melajoe, tempat Rohana mulai menulis dan menuangkan segala buah pikirnya tentang pendidikan dan kemandirian perempuan. Rohana mendapat banyak bantuan dari Abdul, yang sudah lebih dulu aktif dalam dunia literasi untuk soal tulis-menulis. Namun, penduduk Koto Gadang yang kebanyakan buta huruf dan masih kolot menganggap aneh Abdul, sebagai suami hanya berdiam di rumah dan tidak pergi bekerja di kantor, terlebih lulusan hukum. Fitnah pun mendera pasangan Rohana dan Abdul. Orang-orang menganggap Abdul hanya memanfaatkan isterinya lantaran tidak punya pekerjaan tetap. Rohana buka suara mengetahui suaminya dituduh yang bukan-bukan. Meski Abdul tidak memiliki penghasilan tetap, upah yang didapat dari layanan sebagai notaris independen dan honor tulisan-tulisannya cukup untuk membiayai kebutuhan rumahtangga mereka. Walaupun tak kaya atau berpenghasilan tetap, Abdul tak pernah terpikir untuk memperalat isterinya. Momen-momen seperti itulah yang menguji rasa cinta Rohana dan Abdul, yang tetap saling percaya dan memahami. Di masa perjuangan kemerdekaan, Rohana dan Abdul tetap saling menjaga. Sebagai anggota National Indische Partij dan juga aktif dalam gerakan bawah tanah melawan kolonial Belanda, Abdul jadi salah satu orang yang masuk daftar pencarian polisi kolonial. Rohana tak sedikitpun mengeluhkannya. Rohana sendiri menyediakan rumahnya untuk dapur umum sementara, sebuah unit perjuangan yang sering dipandang sepele namun menentukan jalan-tidaknya gerakan. Di tumpukan bahan makanan itulah Rohana menyembunyikan senjata-senjata yang diselundupkan untuk para pejuang di Bukittinggi. Kisah-kasih Rohana dan Abdul bertahan hingga akhir hayat. Abdul berpulang pada 1951 dan Rohana menyusulnya pada 1972.






















