top of page

Hasil pencarian

9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • HUT PKI dan Pengumuman Pilpres

    “Kami semuanya teman-teman, jangan tidak percaya tanggal 22 itu juga ada beberapa informasi dari teman-teman saya jenderal bahwa ternyata tanggal 22 adalah hari ulang tahun PKI. Ini ada surat dari pemimpin PKI. Dan insya Allah kita semangat, dan berjuang sebelum tanggal 22 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno menjadi presiden dan wakil presiden…” Demikianlah perkataan Iwan Adi Sucipto Pattiwael dalam video yang viral di media sosial. Dalam video itu, dia juga melakukan provokasi yang membenturkan TNI dan Polri. Polisi telah menangkap dan menetapkannya sebagai tersangka. Iwan menyebut tanggal 22 Mei sebagai hari ulang tahun PKI. Dia hendak mengaitkannya dengan tanggal pengumuman hasil Pilpres. Namun, dia keliru karena hari ulang tahun PKI tanggal 23 Mei. PKI didirikan pada 23 Mei 1920 sebagai perubahan dari ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging). ISDV didirikan oleh Henk Sneevliet, pembawa komunisme ke Indonesia dari Belanda, bersama sekira 60 orang sosialis demokrat di Hindia Belanda. Perubahan ISDV menjadi PKI karena Sneevliet menganjurkan agar ISDV menjadi anggota Komintern (Komunis Internasional). “Untuk itu harus dipenuhi 21 syarat antara lain memakai nama terang partai komunis dan menyebut nama negaranya,” tulis Soe Hok Gie dalam Di Bawah Lentera Merah . Awalnya bernama Perserikatan Komunis Hindia . Ia menjadi partai komunis pertama di Asia dan organisasi komunis terbesar di luar blok Cina- Uni Soviet. Kongres II Juni 1924 memutuskan mengubah nama nya menjadi Partai Komunis Indonesia, sehingga menjadi partai pertama yang menggunakan nama "Indonesia". PKI berkembang pesat. Pada 1924 sudah memiliki seribu anggota. Namun, PKI memberontak terhadap pemerintah kolonial Belanda pada 1926-1927. Pemerintah kolonial pun melarang PKI dan mengasingkan ribuan orang komunis ke Boven Digul. Sejak itu, PKI bergerak di bawah tanah sehingga disebut PKI-ilegal, sampai masa pendudukan Jepang. Pada masa revolusi kemerdekaan, kaum komunis terpecah: PKI-ilegal, Partai Sosialis, Partai Buruh Indonesia (PBI), PKI Mohammad Joesoeph, dan Pesindo. Setelah Musso tiba pada 1948 dengan gagasan “jalan baru”, dilakukanlah fusi tiga partai bermazhab Marxsisme-Leninisme: PKI-ilegal, PBI, dan Partai Sosialis. Setelah Peristiwa Madiun 1948, PKI tiarap dan baru muncul lagi awal 1951 di tangan anak-anak muda seperti DN Aidit, Njoto, dan MH Lukman. Mereka berhasil membesarkan PKI. Sehingga pada Pemilu pertama tahun 1955, PKI menempati tempat keempat dengan meraih 16,4 persen suara. Riwayat PKI berakhir setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965. PKI dituding melakukan kudeta dan dalang pembunuhan para jenderal. Pemimpin, anggota, simpatisan, bahkan orang-orang yang tak tahu-menahu soal PKI, menjadi korban pembantaian sepanjang 1965-1966. PKI telah diputuskan sebagai partai terlarang. Namun PKI terus ditakuti dan diyakini masih hidup. Buktinya Iwan Adi Sucipto Pattiwael, demi membela pilihan politiknya, menyebut ada surat dari pemimpin PKI yang akan merayakan hari ulang tahun PKI bertepatan dengan pengumuman hasil Pilpres.

  • Stadion Metropolitano dan Warisan Masa Lalu

    TURNAMEN Eropa rasa Inggris. Laiknya final Europa League ketika mempertemukan Arsenal vs Chelsea di partai puncak, laga puncak Liga Champions musim ini pun bertajuk “All-England Final”. Liverpool akan berhadapan dengan Tottenham Hotspur. Kedua tim sama-sama “bangkit dari kubur”. Liverpool membalikkan keadaan usai mengalahkan Barcelona 4-0 di semifinal leg kedua. Di leg pertama, Liverpool keok 0-3. Spurs setali tiga uang. Setelah dibungkam Ajax Amsterdam 0-1 di kandang sendiri, tim besutan Mauricio Pochettino itu menang 3-2 di laga tandang. Meski agregatnya 3-3, keuntungan gol tandang cukup membuat Spurs menyingkirkan wakil Belanda itu. Namun, euforia hebat yang melanda Liverpudlian dan fans Spurs mesti dibendung dulu. Kedigdayaan sebagai jawara Eropa dan siapa yang paling berhak mewakili prestis sepakbola Inggris musim ini masih harus ditentukan di Estadio Metropolitano, Madrid, 1 Juni 2019 (2 Juni WIB) nanti. Semua mata akan tertuju ke venue tersebut untuk menyaksikan ke tangan siapa trofi “Si Kuping Besar” bakal jatuh. Momen ini juga akan jadi sejarah baru buat stadion “muda” di antara venue-venue berbintang empat kategori standar UEFA itu. Sejak 2017, stadion di ibukota Spanyol itu jadi kandang Atlético Madrid, sebagai ganti Estadio Vicente Calderón yang bakal disulap jadi taman kota. Menukil situs espanaestadios.com , 15 Desember 2018, stadion rancangan duet arsitek Antonio Cruz dan Antonio Ortiz dari firma arsitektur Cruz y Ortiz Arquitectos itu mulanya dibangun pemerintah kota pada 1990 dan rampung tiga tahun kemudian dengan memakan biaya 45 juta euro. Saat diresmikan pada 6 September 1994, stadion dinamai Estadio de la Comunidad de Madrid. Kapasitasnya kala itu hanya 20 ribu penonton. Tujuan dibangunnya stadion itu mulanya sebagai “senjata” Dewan Olahraga Kota Madrid dalam bidding tuan rumah Kejuaraan Dunia Atletik 1997. Upaya itu akhirnya gagal lantaran Federasi Asosiasi Atletik Internasional (IAAF) lebih memilih Olympic Stadium Athens, Yunani. Usaha Madrid untuk bidding Olimpiade 2016 dengan mengganti nama stadion jadi Estadio Olímpico de Madrid juga mentah karena Komite Olimpiade Internasional (IOC) menjatuhkan pilihan ke Rio de Janeiro (Brasil) ketimbang Madrid. Tiada gelaran megah di stadion ini sejak gagal jadi tuan rumah dua ajang itu. Pada 2016, kepemilikan stadion beralih ke tangan manajemen Atlético Madrid dari pemkot Madrid. Stadion lantas direnovasi dengan dana 240 juta euro. Kapasitasnya bertambah jadi 68 ribu penonton dan laga pertamanya, Atlético Madrid vs Málaga, digelar pada 16 September 2017 dengan disaksikan langsung Raja Felipe VI. Nama stadion lalu diubah lagi jadi Wanda Metropolitano. Penyematan “Wanda” merupakan kompensasi sponsorship kepada Wanda Group, perusahaan real estat asal China. Metropolitano diambil untuk menghidupkan warisan sejarah stadion tua Atlético sepanjang 1923-1946 dan 1943-1966 sebelum pindah ke Vicente Calderón yang kala itu masih bernama Estadio Manzanares. Namun, oleh masyarakat setempat stadion berkapasitas 68 ribu itu dijuluki “ La Peineta” alias sisir lantaran bentuk atapnya menyerupai sisir khas Spanyol. Saksi Bisu Perang Saudara Nama “Metropolitano” dalam stadion baru di atas berasal dari bekas stadion kedua milik Atlético yang dibangun pada 1923. Mengutip Wakil Presiden Atlético Antonio Alonso di tulisannya, “The Internationalization of Club Atlético de Madrid S.A.D”, yang dihimpun Simon Chadwick dan David Arthur dalam International Cases in the Business of Sport , stadion baru ini jadi pengganti markas pertama Atlético, Campo de O’Donnell. O’Donnell sempat jadi sengketa lantaran namanya serupa dengan kandang Real Madrid. “Stadion itu tetap terhitung jadi yang pertama setelah resmi berpisah dengan Athletic Bilbao pada 1921 dan stadion itu di masanya menjadi stadion berkapasitas terbesar di Spanyol,” sebut Alonso. Berkapasitas 25 ribu penonton dan jadi yang terbesar membuat stadion rancangan arsitek José María Castell itu jadi kebanggaan kota Madrid. Stadion yang berada di lingkungan Universitas Madrid itu pembangunannya rampung pada 13 Mei 1923. Laga perdananya, Atlético kontra Real Sociedad, berakhir 2-1 untuk tuan rumah. Dinamakan Estadio Metropolitano de Madrid lantaran stadion ini didirikan seiring pembangunan kompleks Colonia del Metropolitano. Maka selain Atlético sebagai penyewa, stadion ini juga jadi rumah bagi Racing Club de Madrid (bubar pada 1932) dan Real Sociedad Gímnastica. Kala itu Metropolitano belum sepenuhnya milik Atlético, statusnya kepemilikannya masih di bawah Konsorsium Colonia Metropolitano yang dipegang Otamendi Bersaudara: Joaquín, Miguel, José María dan Julián. Selain dipakai untuk laga-laga kandang Atlético, Metropolitano juga sempat dipakai timnas Spanyol. Dua kali laga persahabatan dihelat di stadion ini, yakni kala Spanyol menjamu Inggris pada 10 Oktober 1929 dan Austria pada 19 Januari 1936. Lima bulan setelah laga kontra Austria, Perang Saudara Spanyol pecah. Metropolitano jadi saksi bisu pertumpahan darah lantaran kompleks universitas jadi medan laga pertempuran antara Pasukan Republik dan Pasukan Nasionalis, 15-23 November 1936, yang populer dengan Pertempuran Ciudad Universitaria. “Perang Saudara pecah pada musim panas (Juli 1936) dan konflik itu menyeret Stadion Metropolitano hingga menjadikannya rusak menjadi puing-puing. Stadionnya baru kembali dibangun pada 1942,” tulis Charles Parrish dan John Nauright dalam Soccer Around the World: A Cultural Guide to the World’s Favorite Sport. Usai perang, Otamendi bersaudara tak mampu membangun kembali Metropolitano. Ia akhirnya dibeli Patronato de Huérfanos del Aire dan diperbaiki pada 1941. Atlético baru membeli stadion ini pada 15 April 1950. Empat tahun berselang Metropolitano direnovasi hingga bisa menampung 50 ribu penonton. Namun, berbarengan dengan pindahnya Atlético ke Stadion Manzanares (kemudian disebut Estadio Vicente Calderón) pada 1966, Metropolitano lantas ditinggalkan. Ia diratakan dengan tanah untuk kemudian disulap jadi gedung apartemen dan perkantoran.

  • Pemogokan Buruh Kereta Api di Bulan Puasa

    Sepuluh hari menjelang Lebaran pada Mei 1923. Buruh-buruh kereta api di Jawa murung. Biasanya mereka menyambut lebaran dengan riang. Pengaruh resesi ekonomi sejak pertengahan 1922 masih terasa. Perusahaan kereta api negara dan swasta menghapus sejumlah tunjangan dan memangkas kenaikan gaji. Hidup belasan ribu buruh tak menentu. Buruh-buruh kereta api memutuskan bertindak. Bulan puasa tahun 1923 menjadi puncak perlawanan mereka terhadap kebijakan perusahaan kereta api. Mereka mogok kerja pada 9 Mei 1923, tepat sepuluh hari sebelum Lebaran. Tuntutan buruh sederhana saja: perbaikan kesejahteraan. Selama buruh kereta api mogok kerja, layanan kereta api penumpang dan barang pun lumpuh. Perusahaan kereta api marah bukan main. Mereka mengancam para buruh dengan pemecatan. “Pada tanggal 13 Mei, Perusahaan Kereta Api Negara meningkatkan tekanan mereka dengan memerintahkan semua pemogok yang tinggal di rumah-rumah milik perusahaan kereta api untuk mengosongkannya dalam waktu 24 jam,” tulis John Ingleson dalam “Pemogokan Buruh Kereta Api Tahun 1923” termuat di Tangan dan Kaki Terikat Dinamika Buruh, Sarekat Kerja dan Perkotaan Masa Kolonial . Pemerintah kolonial turun tangan membantu. Polisi dan tentara masuk ke perkampungan buruh kereta api. Mereka menyisir rumah-rumah para buruh pemogok di Surabaya, Madiun, Semarang, dan Cirebon. Mereka juga mengejar dan menangkap para pemimpin pemogokan buruh. Peran VSTP Kebanyakan pemimpin pemogokan buruh kereta api berasal dari serikat buruh kereta api dan trem listrik (Vereniging van Spoor en Tramweg Personeel/VSTP). Beberapa namanya antara lain Semaoen (Semarang), Djaid (Cirebon), Kartaatmaja (Surabaya), dan Mohamad Sanoesi (Bandung). Sebilangan mereka juga menjadi tokoh di Partai Komunis Indonesia dan Sarekat Islam. VSTP berdiri di Semarang pada 14 November 1908. Pendiri awalnya 63 buruh Eropa dari tiga perusahaan kereta api swasta di Semarang. Masa itu kereta api bukanlah usaha monopoli pemerintah seperti masa sekarang. “Awal abad ke-20 jumlah perusahaan kereta api di Hindia Belanda telah mencapai 12 perusahaan, satu perusahaan Staats Spoorweg (SS) milik pemerintah Belanda dan 11 perusahaan lainnya adalah milik swasta yang beroperasi di Jawa dan Sumatra,” tulis Razif dalam “Buruh Kereta Api dan Komunitas Buruh Manggarai” termuat di Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa . Selain VSTP, serikat buruh kereta api lainnya adalah SS-Bond, serikat buruh kereta api milik pemerintah kolonial yang berdiri pada Oktober 1905. Kedua serikat ini sebermula memiliki persamaan: terbatas pada orang Eropa dan sebilangan kecil buruh Indonesia terampil. “Buruh terampil adalah buruh yang memiliki keahlian tertentu seperti juru tulis, tenaga administratif, teknisi, masinis, dan kondektur,” tulis Kalam Jauhari dalam Radikalisasi Buruh Kereta Api di Perkotaan 1914—1926 , tesis pada Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Gajah Mada. Tak ada keinginan dan keseriusan dari para pemimpin dua serikat buruh kereta api itu untuk merekrut buruh anak negeri rendahan. Tetapi mulai 1909, SS-Bond mulai berubah pandangan. Mereka merekrut lebih banyak buruh anak negeri. Jumlah buruh anak negeri meningkat hampir separuhnya dari total anggota SS-Bond. Perubahan ini ternyata tidak berarti banyak bagi buruh anak negeri. Aktivitas SS-Bond hanya berkutat pada persatuan di kalangan buruh kereta api milik pemerintah. Mereka tidak punya visi dan gerak untuk memperbaiki kehidupan para buruh. Akhirnya SS bubar pada 1912.   VSTP tidak seperti SS-Bond. Gagasan dan geraknya lebih dinamis. Terlebih ketika Henk Snevliet, tokoh Partai Buruh Sosial Demokrat Belanda, datang pada 1913. Inilah masa ketika perubahan terjadi dalam orientasi dan pandangan VSTP. “Dia mendesak serikat-serikat kerja di Hindia untuk tidak hanya multirasial, tetapi juga harus bekerja atas nama mayoritas masyarakat Indonesia yang dibayar rendah,” tulis John Ingleson. Gagasan Henk tembus dalam rapat-rapat eksekutif VSTP sepanjang 1913. VSTP mulai memberikan ruang lebar bagi buruh anak negeri. Bahkan VSTP juga menyediakan jatah kursi eksekutif pusat untuk mereka. Perubahan lainnya terus bergulir di VSTP. Sebelum 1913, mayoritas anggota VSTP berkebangsaan Eropa. Setelah 1913, buruh anak negeri menjadi mayoritas anggota VSTP. Sejumlah anak negeri menduduki kursi pemimpin eksekutif cabang-cabang VSTP di Jawa. Mereka punya tingkat pendidikan lebih tinggi dari rekannya sesama anak negeri. Karena itu, mereka punya kesadaran tentang eksploitasi terhadap buruh kereta api dari perusahaan. Untuk memperluas kesadaran ini pada buruh lainnya, mereka menerbitkan majalah Si Tetap pada 1915 . Mendapat simpati Si Tetap memberitakan keadaan buruh kereta api di berbagai tempat di Jawa. “ Kabar itu umumnya berisi keluhan yang membentang luas, mulai dari pengeluaran mereka untuk hidup dibanding upah, kecemburuan pada kelompok pekerja lain, dan kekerasan yang dilakukan atasan hingga masalah pakaian dan seragam kerja, kesulitan pribumi untuk buang air, penerangan, kursi, dan buffet,” tulis Kalam. Si Tetap mempunyai pengaruh cukup besar dalam menumbuhkan kesadaran buruh kereta api. Dari majalah ini diketahui bahwa tekanan buruh kereta api tidak hanya berasal dari perusahaan, melainkan juga dari peningkatan tajam biaya hidup di kota, diskriminasi rasial di segala bidang, dan sejumlah permasalahan perkotaan lainnya. Tekanan-tekanan ini kemudian menumpuk. Para pemimpin VSTP merencanakan sejumlah aksi mogok selama 1910-an. Beberapa pemogokan berlangsung, tetapi tidak cukup berhasil. Penyebabnya kurang koordinasi. Ini membuat pemimpin VSTP belajar mengoordinasikan pemogokan secara lebih luas. Resesi pada pertengahan 1922 membuka peluang mogok lebih besar. Diikuti pula oleh kebijakan-kebijakan merugikan untuk buruh kereta api. Semua tekanan ini pecah pada bulan puasa 1923. Pemogokan besar-besaran buruh kereta api berlangsung di berbagai tempat di Jawa. Dukungan pemogokan mereka datang dari serikat buruh lain, sopir taksi, tukang daging, dan tukang cetak. Buruh kereta api mogok kerja berbulan-bulan lamanya. Pemerintah dan perusahaan kereta api enggan memenuhi sebagian besar tuntutan buruh. Mereka justru menjawabnya secara represif. Pemecatan, pengusiran, dan penangkapan terjadi di banyak tempat. Tak ada perlawanan dari buruh kereta api atas pemecatan, pengusiran, dan penangkapan tersebut. Tapi para buruh menolak mentah-mentah ajakan pemerintah kolonial untuk tinggal sementara di tempat penampungan. Mereka lebih memilih berkumpul bersama teman-teman seperjuangan. Sebagian besar buruh kereta api juga menolak ajakan kembali bekerja di perusahaan kereta api. Mereka pindah kerja di bidang usaha lain, seperti di pabrik gula atau menjadi sopir oplet. Pemogokan mereka berakhir pada Agustus 1923.

  • Suatu Hari di Yerussalem

    YERUSSALEM, 637. Begitu mendengar derap kuda pasukan Arab Islam mulai mendekat, Putra Mahkota Costantine menjadi putus asa. Alih-alih melaksanakan perintah Kaisar Heraklius (yang tak lain ayah Costantine) untuk mempertahankan kota suci itu, dia justru kabur ke pelabuhan Caesarea: menyusul sang ayah menuju Costantinople lewat jalur laut. “Praktis di Yerussalem hanya menyisakan Panglima Artavon dan Patriach Sophorius sebagai wakil resmi dari bangsa Romawi,” demikian menurut The Historians of the World Vol. VII (Rome). Dalam sumber klasik yang diselia oleh Henry Smith Williams itu disebutkan, sepeninggal Costantine, terjadilah perbedaan pendapat yang tajam antara Artavon dengan Sophorius. Sebagai seorang jenderal, Artavon bersikeras akan mempertahankan Yerussalem sampai titik darah terakhir dengan mengerahkan seluruh penduduk untuk melakukan perlawanan. Sementara Uskup Agung Sophorius lebih memilih jalan damai mengingat musuh terlalu kuat dan kondisi rakyat yang sudah tidak memiliki nyali lagi untuk berperang. “Artavon dengan sisa pasukannya yang sedemikian kecil pada akhirnya kalah suara dan harus mengikuti pendapat Sophorius,” tulis Joesoef Sou’yb dalam Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin. Maka menjelang musim semi, dikirimlah seorang utusan untuk menemui pimpinan pasukan Arab Islam bernama Panglima Besar Abu Ubaidah. Dalam pertemuan itu pihak Sophorius menyatakan siap menghentikan perlawanan asalkan proses penyerahan Yerussalem harus melibatkan Khalifah Umar ibn Khattab sendiri. Syarat dari uskup agung Yerussalem itu lantas diteruskan kepada Khalifah Umar di Madinah. Usai melakukan rapat dengan para tokoh negara, atas masukan dari Ali ibn Abi Thalib, akhirnya Umar memutuskan untuk berangkat ke Yerussalem. Namun dia menyatakan keberangkatan ke kota suci itu harus hanya dengan seorang ajudan saja. Pasukan kecil yang dipersiapkan untuk mengawalnya justru malah ditolak oleh Umar. Khalifah Umar Murka Singkat cerita, setelah beberapa hari melakukan perjalanan, Khalifah Umar akhirnya sampai di gerbang Yerussalem. The Historians of the World Vol. VIII melukiskan kebersahajaan sang khalifah saat berjalan menuju pintu gerbang kota. “…Penakluk Persia dan Syiria itu datang ke Yerusalem hanya bersama seorang hamba sahaya, dengan menunggang seekor unta merah, membawa sekarung gandum,sekantung kurma, sebuah kantung terbuat dari kulit binatang, serta selembar tikar untuk shalat.” Pemandangan itu jelas membuat penduduk Yerussalem yang beragama Kristen dan Yahudi  terperangah dan lantas menaruh rasa hormat dan kagum. Mengapa? Karena sebelumnya, mereka tak pernah melihat seorang penguasa besar berpenampilan laiknya rakyat kebanyakan. Tak juga Kisra Persia dan Kaisar Romawi. Sophorius termasuk orang yang terkejut dengan kenyataan itu. Saat mendampingi tamu Arab-nya yang berpakaian lusuh itu, dia berteriak kepada khalayak dalam bahasa Yunani: “Sungguh, seperti inilah penampilan Daniel Sang Nabi saat dia mengabarkan kesederhanaan dan kegetiran hidup di kota suci ini!” demikian seperti dikutip oleh sejarawan Philip K. Hitti dalam History of the Arabs. Rasa takjub kian bertambah begitu upacara penyambutan dilaksanakan. Syahdan, kala menyaksikan para panglimanya berbaris rapi dengan menunggang kuda gagah lengkap dalam pakaian kebesaran mewah yang terbuat dari ragam sutera indah, wajah Umar memerah. Tetiba dia turun dari atas unta merahnya dan mengambil beberapa genggam pasir. Lantas dengan marah, dia melemparkannya ke arah para panglimanya. Dengan cara itu, Umar ingin mengeritik perubahan gaya hidup mereka yang dinilainya telah melupakan nilai-nilai kesederhanaan yang diajarkan Rasulullah. Tak ada satu pun panglima yang berani menghindar dari hantaman pasir yang dilontarkan Umar. Mereka tahu, Umar adalah salah seorang sahabat dekat Nabi Muhammad SAW yang berwatak keras dan lurus. Ini lah yang kemudian menjadikan Panglima Besar Abu Ubaidah secara berhati-hati memberitahu sang khalifah bahwa penampilan para panglimanya itu hanyalah sementara. Sekadar untuk menjaga harga diri para prajurit Arab Islam di depan orang-orang Yerussalem. Umar pada akhirnya bisa diyakinkan. Namun dia sendiri tetap menolak mengganti kendaraan dan menampik pakaian mewah yang khusus dipersiapkan untuk dirinya. “Dia tetap memilih untuk menaiki unta tunggangannya itu hingga sampai ke depan gerbang Stepanus, pintu utama untuk memasuki kota suci Yerussalem,” tulis Joesoef Syou’ib. Damai yang Hilang Proses upacara penyerahan Yerussalem berjalan lancar. Dengan diantar oleh para petinggi Kristen di Yerussalem, usai upacara penyerahan, Khalifah Umar mengunjungi beberapa tempat suci. Salah satunya adalah Bukit Zion, reruntuhan Bait Allah yang dibangun Nabi Sulaiman AS dan dikenal oleh umat Muslim sebagai Masjid Al-Aqsha. Saat berkeliling di Bukit Zion inilah, waktu shalat zhuhur tiba. Uskup Sophorius lantas menawarkan Khalifah Umar untuk shalat di gerejanya. Umar menolak tawaran itu. “Kalau saya shalat di situ, saya khawatir suatu hari orang-orang akan merampas gereja Tuan dan menjadikannya sebuah masjid,” kata Umar. Umar lantas memilih tempat di sisi gereja. Di sanalah kemudian sang khalifah mengimami para panglima dan prajuritnya shalat zhuhur. Kelak puluhan tahun kemudian, Khalifah Abdulmalik (685-705) dari Dinasti Umayah mendirikan sebuah masjid yang sangat megah. Hari ini gedung tersebut dikenal sebagai Masjid Umar ibn Khattab. Tiga belas abad kemudian, Yerussalem  berkutat dalam konflik berkepanjangan. Sejak jatuh ke tangan Israel pada 1967, damai di kota suci itu seolah hilang, berganti dengan darah dan pertikaian. Tak jarang bom bunuh diri pejuang Palestina dan bombardemen tentara Israel meluluhlantakan sebagian situs sejarah yang ada di sana. Belum lagi puluhan ribu orang yang menjadi korban. Soal korban manusia ini, bagi Yerussalem itu seolah menjadi kutukan sejarah. Pada awal pendiriannya, kota itu sudah mengorbankan ribuan nyawa Yahudi yang dibantai oleh balatentara Raja Nebucadnezar dari Babylonia. Bahkan pada masa Perang Salib 1096, seorang Ksatria Salib bernama Raymond dari Aguiles melukiskan genangan darah dari sekitar 75.000 orang Arab Muslim dan Yahudi, membanjiri sudut-sudut kota. “Di dalam kuil dan pelataran Sulaiman saja, genangan darah mencapai lutut dan tali kekang kuda-kuda yang kami kendarai,”ujar Raymond dalam Fall of Jerusalem karya penulis Dr. E.L. Skip Knox. Karena tiap zaman selalu mengalami pergantian kekuasaan, tak aneh jika Yerussalem memiliki ciri khas sisi keanekaragaman budaya dan agama. Itu membuat Karen Armstrong  menyebut tempat tersebut sebagai milik bersama 3 agama besar: Islam, Kristen dan Yahudi. “Saya menemukan kenyataan bahwa mustahil untuk mengabaikan ketiga keluarga Abrahamik itu di Yerussalem.Terlebih mereka adalah penyembah Tuhan yang sama,” tulisnya dalam Menerobos Kegelapan, Sebuah Autobiografi Spiritual. Kalimat yang agak mirip juga pernah dilontarkan oleh Sultan Saladin (di dunia Islam lebih dikenal dengan nama Shalahuddin al Ayubi) ratusan tahun yang lalu. Kala melakukan perundingan diplomatik dengan Richard Si Hati Singa, Saladin menolak klaim raja Inggris legendaris itu, bahwa Yerussalem semata-mata milik orang Kristen. “Yerussalem adalah milik kami seperti juga milik kalian,” katanya seperti dikutip Karen Armstromg dalam The Holy War.

  • Tatkala Uighur Mendirikan Republik Islam Turkestan Timur

    SYAHDAN, sehabis Yang Zengxin pada 7 Juli 1928 tewas ditembak dalam kudeta yang, seperti Gerakan 30 September (G30S) di Indonesia, hingga kini masih menjadi perdebatan siapa dalang sebenarnya. Jin Shuren yang –laiknya Soeharto– dicurigai berada di balik coup d’État  tersebut, segera mengambil alih posisi Yang Zengxin sebagai gubernur Xinjiang.

  • Senandung Pelipur Lara dan Pemantik Asa

    PULUHAN ribu Liverpudlian (fans Liverpool) berdiri bangga sambil mengangkat syal khas The Reds . Mereka menyanyikan “You’ll Never Walk Alone” dengan syahdu, terhanyut dalam selebrasi kemenangan tim bersama segenap pemain dan ofisial. Isak tangis ratusan fans Barcelona yang hadir di Stadion Anfield, Selasa (7/5/2019) malam waktu setempat (Rabu dini hari, WIB) tenggelam olehnya. Liverpool comeback dengan dahsyat lewat kemenangan 4-0 setelah di leg pertama dibekap 0-3. Mereka maju ke final Liga Champions berbekal keunggulan agregat 4-3. Lagu kebanggaan yang populer disingkat YNWA itu sudah jadi tradisi tak tertulis yang mesti disenandungkan pada sebelum dan setelah laga, baik saat berduka maupun bersukacita. Begitu melegendanya sampai judulnya diabadikan dalam ukiran di Shankly Gates, gerbang ikonik Stadion Anfield, sejak 1982 untuk mengenang pelatih legendaris Bill Shankly. Sebagaimana diuraikan dalam artikel sebelumnya, YNWA mulanya lagu teater musikal Broadway yang diciptakan Richard Rodgers dan Oscar Hammerstein II pada April 1945. “(Band) Gerry and the Pacemakers mengaransemen versi (lagu YNWA) dengan lebih kuat dan tulus dan ketika mulai dihayati para fans di stadion, lagu itu dijadikan anthem mereka,” ungkap Du Noyer dalam Liverpool Wondrous Place: From the Cavern to the Capital of Culture . Kritikus musik Paul du Noyer menilai, kualitas yang paling terasa adalah lagu YNWA menawarkan pesan ketegaran, daya tahan mental dan kegigihan terhadap para pendengarnya. Sebuah lagu yang sempurna untuk sebuah kota dan klub seperti Liverpool, yang memiliki solidaritas besar di antara para penghuninya. Lantunan Pembangkit Harapan Begitu meresapnya YNWA ke dalam jiwa masing-masing insan Liverpool, lagu itu seakan menjadi pemberi kekuatan magis tersendiri baik sebagai pelipur lara maupun pemantik asa. Dua momen bersejarah yang menghinggapi klub itu menjadi bukti bagaimana “kekuatan magis” YNWA membangkitkan semangat para fans Liverpool. Gerry Marsden memimpin fans menyanyikan YNWA pada peringatan 25 tahun Tragedi Hillsborough Momen pertama, di Tragedi Hillsborough. Akibat membludaknya penonton di Stadion Hillsborough saat semifinal FA Cup, 15 April 1989, membuat ratusan penonton baik dari kubu Liverpool maupun Nottingham Forest terinjak-injak dan tergencet pagar pembatas tribun –saat itu stadion-stadion di Inggris masih dipasangi pagar pembatas laiknya stadion di negara-negara lain. Catatan Taylor Report dari Panel Independen Hillsborough, korban tewas mencapai 96 orang dan 766 luka-luka. Lagu YNWA lantas jadi pengobat luka di masa berkabung yang tak hanya dinyanyikan para fans Liverpool namun juga oleh para fans Nottingham, bahkan oleh fans rival sekota, Everton, sebagai bentuk solidaritas. Nada dan liriknya begitu kuat sehingga menginspirasi untuk bangkit dari keterpurukan akibat petaka itu. “Selain dikenal sebagai lagu sepakbola, (YNWA) juga mengisi kekosongan besar bagi mereka yang kehilangan seseorang di Hillsborough. Lagu itu emosional bukan hanya karena sepakbola. Lagunya menutupi nestapa dan kesedihan dengan sukses karena maknanya adalah tentang solidaritas,” tutur legenda Liverpool (1977-1990) Kenny Dalglish, dinukil Independent , 14 April 2014. Bukti “magis” berikutnya dari lagu ini adalah ketika Liverpool di final Liga Champions, 25 Mei 2005, kontra AC Milan tertinggal 0-3 di babak pertama. Alih-alih jatuh mental, sekira 30 ribu fans Liverpool yang hadir justru menggaungkan lagu itu di waktu jeda babak pertama. “Anda tertinggal 0-3. Anda berpikir mimpi Anda luluh lantak. Anda berpikir telah mengecewakan para suporter saat istirahat babak pertama. Dan kemudian Anda mendengar refrain ‘You’ll Never Walk Alone’, mungkin yang paling lantang dan paling emosional yang pernah saya dengar,” kata kapten Liverpool saat itu, Steven Gerrard, mengenang momen bersejarah itu. Liverpool merengkuh trofi Si Kuping Besar pada Liga Champions 2005 (Foto: uefa.com) Skuad Liverpool bak bangkit dari kubur. Mereka akhirnya bisa menyamakan kedudukan 3-3 hingga pertandingan harus dientaskan lewat adu penalti. Keajaiban kembali terjadi, Liverpool menang di babak penentuan itu. Itu jadi momen terakhir Liverpool juara Liga Champions. Sebelumnya, Liverpool juara di musim 1976/1977, 1977/1978, 1980/1981, dan 1983/1984. Musim ini (2018/2019), Liverpool tinggal selangkah lagi menggamit mahkota keenam. Hanya tim sesama Inggris, Tottenham Hotspur, yang jadi penghalang antara Liverpool dan trofi “Si Kuping Besar” pada laga puncak, 1 Juni 2019 nanti. YNWA tentu akan kembali bergema mengiringi perjuangan Liverpool. Akankah ia kembali memberi tuah?

  • Soeharto Datang, Genjer-Genjer Berkumandang

    SENIN pagi, 1 April 1968. Pesawat Garuda mendarat di Phnom Penh, ibu kota Kamboja. Tamu penting dari Indonesia datang berkunjung: Presiden Soeharto dan istrinya Ibu Tien Soeharto. Bunga melati putih disebarkan di hamparan karpet merah. Ini adalah lawatan pertama Soeharto ke luar negeri setelah resmi menjabat presiden. Pangeran Norodom Sihanouk, pemimpin Kamboja berdebar-debar menanti rombongan presiden Indonesia yang baru saja dilantik itu.

  • Hilangnya Martabak India Asli

    Setiap daerah punya makanan yang menjadi identitas dan terkenal di seluruh Indonesia. Misalnya, martabak, pasti Bangka. Semua pedagang martabak melabeli gerobaknya dengan martabak Bangka, meskipun dia bukan orang Bangka. Sebenarnya martabak Bangka adalah martabak manis. Ada beberapa nama untuk martabak Bangka: Hok Lo Pan artinya kue orang Hok Lo, salah satu marga Tionghoa; Pandekuk atau Pande Coek, dan kue tabok. Selain martabak manis, pedagang juga menyediakan martabak telor. Martabak ini berasal dari India. Dalam buku kuliner, Aneka Martabak Telur Panggang, disebutkan bahwa kata martabak  ditengarai berasal dari bahasa Arab, murtabak atau mutabbaq, yang artinya lipatan. Ini tentu sesuai dengan bentuk makanannya yang dilipat menyerupai amplop. Martabak konon berasal dari India yang tersebar melalui perdagangan hingga Asia Tenggara. Selain di Indonesia, martabak juga bisa ditemukan di negara-negara lain, seperti Arab Saudi, Yaman, Thailand, dan Malaysia. Dalam Bahasa dan Bonafiditas Hantu , Agus R. Sardjono berseloroh untunglah ketika martabak diperkenalkan dari India ke Indonesia, di Indonesia belum terjangkit wabah nasionalisasi nama-nama sehingga ia tidak diubah, misalnya, menjadi loreng dagu (telor goreng dengan daging dan terigu). KBBI daring pun mengartikan martabak sebagai “makanan yang dibuat dari adonan tepung terigu (untuk lapisan luar) dan adonan telur, daging giling (cincang), dan rempah (untuk bagian isi) yang kemudian digoreng.” Martabak tak sekadar makanan. Halalbihalal, tradisi saling memaafkan di Hari Raya Idulfitri, diciptakan pedagang martabak seorang India yang berjualan di Taman Sriwedari, Solo, sekitar tahun 1930-an. Namun, ada juga kisah di balik hilangnya identitas India pada martabak. Sehingga kini kita lebih mengenal martabak Bangka. Kemana martabak India? Ceritanya bermula ketika Guru Dutt Sondhi, wakil Asian Games Federation dari India, berkunjung ke Jakarta untuk melihat persiapan Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games IV tahun 1962. “Setelah meninjau berbagai persiapan dan pembangunan sarana untuk Asian Games, rupanya dia kurang puas. Dia melihat sarananya belum siap dan panitia kurang sungguh-sungguh melakukan persiapan yang diperlukan,” kata Firman Lubis, guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dalam Jakarta 1950-an: Kenangan Semasa Remaja. Kepada media massa, Sondhi menyampaikan kekecewaannya akan kekurangan persiapan pesta olahraga se-Asia itu. Selain soal itu, dia juga menyatakan Indonesia telah melakukan diskriminasi karena tidak mengikutsertakan Taiwan dan Israel. Dia pun menyebut Asian Games IV tidak sah dan lebih pantas disebut sebagai Jakarta Games. “Rupanya pernyataan ini ditanggapi dengan sangat serius dan defensif oleh pemerintah Indonesia yang merasa didiskreditkan,” kata Firman. “Maka terjadilah demonstrasi oleh berbagai kelompok pemuda revolusioner –dengan mobilisasi tentu saja– yang intinya ganyang Sondhi.” Massa mendatangi Sondhi di Hotel Indonesia. Sondhi diamankan, dan sore harinya diterbangkan ke New Delhi. Kejadian ini dikenang sebagai Peristiwa Sondhi. Tak ada Sondhi, kedutaan dan orang-orang India jadi sasaran. “Orang-orang India di sekitar Pasar Baru yang tak tahu-menahu pesoalannya didemo para pemuda yang setengah kalap itu,” kata Firman. Mereka segera menutup toko takut terkena ganyang atau penjarahan. Mereka mengurung diri di rumah masing-masing. Menurut Firman, yang lucu para penjual martabak telor yang biasa menuliskan di kaca gerobaknya sebagai “martabak India asli” segera menghapus tulisan “India asli” agar tidak ikut menjadi korban pengganyangan. “Itulah sejarahnya mengapa hingga sekarang penjual martabak telor tidak lagi menyebut dagangannya sebagai martabak India, padahal pada 1950-an mereka selalu mengklaim martabaknya sebagai martabak India asli,” kata Firman.

  • Pepes Ikan ala Masyarakat Kuno

    Pada Bulan Magha tanggal sembilan, untuk upacara besar kepada Sang Hyang I Turuñan, penduduk Desa Turuñan mempersembahkan ikan simbur lima ekor, pepes ikan nalyan 20 buah, ikan kering dua gunja, sedangkan kepada Pracaksu diberikan dua ekor ikan simbur, 10 pepes ikan nalyan, dan ikan kering satu gunja serta air untuk menyucikan diri melebur kekotoran atau dosa. Berita dalam Prasasti Trunyan AI, dari Bali 813 Saka (891 M) itu menggambarkan penduduk Desa Turuñan yang diwajibkan untuk menghaturkan beberapa jenis makanan sebagai persembahan. Penduduk Desa Air Rawang juga diwajibkan mempersembahkan makanan serupa, sebagaimana diterangkan dalam Prasasti Turunyan B dari Bali Kuno 833 Saka (911 M). Tertulis di sana, persembahan makanan dari Desa Air Rawang berupa 30 pepes ikan nyalian, tiga gunja ikan kering, 30 butir telur dan 10 ekor ikan gabus untuk keperluan upacara pada setiap hari ke lima bulan separuh gelap pada bulan Asuji. Mereka juga diwajibkan mempersembahkan bumbu-bumbuan dan meramu bumbu tersebut oleh Lampunan Bungsu. “Keterangan dari kedua prasasti ini dapat menggambarkan bahwa dalam aktivitas keagamaan yang sangat penting di wilayah sekitar Danau Batur,” catat Luh Suwita Utami, peneliti dari Balai Arkeologi Denpasar. Menariknya, dari beberapa makanan sebagai hidangan persembahan itu, menu pepes salah satu yang disebutkan dengan jelas.Dalam artikelnya, “Aspek Kemasyarakatan di Balik Makanan Dalam Prasasti Bali Kuna” yang terbit Jurnal Forum Arkeologi Vol. 25 No. 2 Agustus2012,Luh Suwita Utamimenjelaskan, pada masa kini, pemberian jenis makanan kepada bangunan suci masih berlaku di Bali pada saat-saat tertentu. Jenis makanan sebagai persembahan di Bali saat ini seperti sate, lawar, dan aneka jajanan yang merupakan pelengkap sesajen. Ada juga yang disebut atos,  yaitu persembahan bahan makanan mentah berupa beras, telor, kelapa, dan dupa. Itu nantinya digunakan dalam upacara di tempat suci. Cara mengolah bahan makanan, khususnya ikan, dengan cara dipepes sudah biasa dilakukan masyarakat Bali Kuno. Selain itu ikan juga sering dikeringkan. Ada beberapa jenis ikan yang disebutkan dalam prasasti. Di antaranya, ikan simbur (?), dlag (ikan gabus/ Ophiocephaalus stratus ), nalyan (ikan nyalian), dan kuluma (ikan lele). "Jenis ikan-ikan ini merupakan jenis ikan air tawar yang mudah didapatkan oleh penduduk yang bertempat tinggal di tepi Danau Batur," jelas Luh Suwita. Terkait pepes ikan, beberapa jenis bumbu juga disebutkan dalam prasasti. Prasasti Turunyan B memberi keterangan bahwa untuk upacara Bhatara di Turunyan pada setiap hari ke-5 bulan separuh gelap pada bulan Asuji masyarakat Desa Air Rawang diwajibkan untuk membuat bumbu. Bumbu yang disebutkan adalah bawang merah, jahe, kapulaga, dan kemiri. Luh Suwita Utami juga menyebutkan, pada Prasasti Batur, Pura Tulukbyu A disebutkan bawang merah dan jahe ditanam di wilayah perburuan yang dianugerahkan oleh raja. “Bahkan pohon kapulaga dan kemiri adalah jenis pohon yang termasuk dalam jenis-jenis pohon yang jika ditebang oleh masyarakat harus dimintai izin kepada petugas yang berwenang,” kata Luh Suwita. Selain pengolahan makanan dengan cara dipepes dan dikeringkan, prasasti Bali Kuno tidak memberikan keterangan lain soal bagaimana cara mereka me ngolah makanan. Namun , kata Luh Suwita, tak menutup kemungkinan masyarakat waktu itu sudah mengenal pengolahan makanan dengan cara dibakar, direbus, diasap, atau diasinkan .

  • Persahabatan Suryadarma dan Perwira Belanda

    USAI berpamitan dengan istri dan kedua anaknya, KSAU Komodor Suryadarma selaku tawanan Belanda kembali mengikuti pasukan yang membawanya. Dia dibawa ke Lapangan Udara (Lanud) Maguwo. Di sana Suryadarma kembali bergabung dengan para petinggi pemerintahan Republik Indonesia lain yang juga ditawan, termasuk Presiden Sukarno dan Wapres Moh. Hatta. Tak lama setelah menginjakkan kaki di Maguwo pada 22 Desember 1948 itu, Suryadarma dikejutkan oleh kedatangan seorang perwira penerbang Belanda berbaret merah. Setelah memberi hormat, perwira itu langsung menjabat tangan Suryadarma. Campur-aduk perasaan Suryadarma ketika membalas jabatan tangan perwira Belanda itu. Suryadarma jelas tak lupa pada perwira Belanda itu. AL Cox, nama perwira Belanda tadi, merupakan komandan Skadron Air Reconnaissance ke-4 Militaire Luchvaart-Koninklijke Netherlandsch Indische Leger (ML-KNIL) yang berbasis di Semarang. Namun, bukan jabatan Cox yang membuat Suryadarma mengingatnya. Bisa jadi Suryadarma sama sekali tak tahu apa jabatan Cox ketika itu lantaran keduanya lama tak bertemu. Suryadarma ingat Cox karena keduanya bersahabat. Perkenalan keduanya dimulai saat Suryadarma dan Cox sama-sama menjadi taruna di Akademi Militer Breda. Suryadarma dan Cox berbagi kamar yang sama. Cox pula yang aktif mengajak Suryadarma berkeliling ke berbagai tempat, bahkan hingga ke Belgia atau Denmark. Suryadarma juga diperkenalkan kepada keluarga Cox dan teman-temannya. Hari-hari indah itu “terhenti” ketika Suryadarma kembali ke tanah air setelah lulus. Keduanya tak pernah lagi bersua. Cox bertugas di negerinya, sementara Letda Suryadarma menghabiskan hari-harinya di tempat tugasnya, Batalion I Infanteri Magelang. Tak dinyana, cita-cita menjadi penerbang yang diimpikan Suryadarma membawanya kembali bertemu dengan Cox. Saat dia berupaya mewujudkan mimpi itu dengan menjadi pelajar di Sekolah Penerbangan Militer Kalijati, Cox mendapat tugas menjadi instruktur penerbang di sekolah yang sama. Cox mengetahui Suryadarma amat terpukul oleh peraturan diskriminatif yang diterapkan komandan sekolah Kolonel Van Hasellen. Peraturan itu, mengizinkan hanya perwira kulit putih yang diperbolehkan menjadi penerbang, membuat Suryadarma gagal menggapai mimpinya dan hanya diterima sebagai navigator. Maka ketika sang kolonel cuti untuk pulang ke Belanda, Cox memanfaatkannya untuk memberi kesempatan pada Suryadarma belajar terbang. Sekitar 30 jam terbang diberikannya sebagai ekstra kepada Suryadarma, meliputi dual training maupun solo crosscountry . Bukan hanya itu bantuan yang diberikan Cox. Sekembalinya Kolonel Hasellen dari cuti, Cox menemuinya. Dia meminta Hasellen memberikan kesempatan pada Suryadarma melakukan flight check karena telah menjalankan ekstra flight training dan dinyatakan lulus. Alih-alih menerima saran bawahannya, sang kolonel malah naik pitam. Apa yang dilakukan Cox dianggapnya tanpa seizin dia. Setelah menemui Suryadarma, Cox langsung memeluk dan meminta maaf lalu menceritakan segalanya. “Di (Suryadi), saya sudah melakukan yang terbaik untuk kamu,” ujar Cox, dikutip Adityawarman Suryadarma dalam Bapak Angkatan Udara Suryadi Suryadarma . Suryadarma hanya bisa pasrah. Keduanya kembali berpisah setelah Suryadarma lulus dan ditugaskan ke tempat lain. Pendudukan Jepang yang datang tak lama kemudian memberi konsekuensi berbeda pada kedua perwira ML-KNIL itu. Suryadarma memilih desersi dari ML-KNIL dan beralih menjadi polisi Jepang, sementara Cox tetap di militer Belanda sehingga –bersama pasukan Sekutu– berada dalam posisi berlawanan dengan Jepang. Suryadarma dan Cox tak pernah kontak dan bertemu lagi sejak itu. Suryadarma sibuk mempertahankan kemerdekaan sambil membangun AURI begitu Indonesia merdeka.  Sementara, Cox beberapa kali pindah tugas dan menjadi andalan Belanda untuk kembali menguasai Indonesia. Bersama Letnan MWC de Jonge dan Letnan Sisselaar, Cox berangkat ke Eropa pada 12 Maret 1946 untuk meneliti tentang pembentukan pasukan para dan meminta bantuan pasukan para Inggris untuk mendukung terlaksananya pelatihan para di bekas Hindia Belanda. Cox menyelesaikan tugasnya dengan baik. Bersama pasukan para itu, Cox ikut terjun ke Lanud Maguwo. “Secara sangat mendadak, pada tanggal 19 Desember mereka melakukan serangan udara dengan sasaran Lapangan Terbang Maguwo, kemudian menduduki Yogya, ibukota Republik. Pukul 07.59 pesawat Dakota C-47 terbang dalam formasi berbanjar di atas Lapangan Udara Maguwo. Sementara itu, angkasa di atas lapangan menjadi gelap karena sebagian tertutup payung udara yang berkembang, ratusan jumlahnya,” tulis Irna HN Soewito dkk. dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950 . Kedatangan Cox di Maguwo sesaat sebelum Suryadarma dibuang bersama petinggi republik lain, mengagetkan Suryadarma. Pertemuan itu juga memberi kesan mendalam pada diri Cox. “Kegembiraan kemenangan kita pada waktu itu menjadi kesedihan karena aku harus berhadapan dengan sahabatku Suryadi, yang karena perkembangan politik, kita sekarang harus berhadapan sebagai musuh,” kata Cox dalam memoarnya, dikutip Adityawarman. Pertemuan singkat itu sekaligus menjadi perpisahan kembali Suryadarma dan Cox. Suryadarma kemudian dibuang ke Bangka mengikuti Wapres Moh. Hatta dan beberapa menteri lain, Cox sibuk dengan tugasnya mengikuti militer Belanda yang berupaya kembali menguasai Indonesia. Usai perang, Suryadarma sibuk membangun Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), sedangkan Cox pulang ke negerinya. Tanpa diduga keduanya, Suryadarma dan Cox kembali bertemu pada 1968. Usai menghadiri pameran International Post and Plihatelic di Paris, Suryadarma –saat itu menjabat sebagai presiden Philatelic South East Asia– napak tilas ke Breda dan berkunjung ke rumah J. Lukkien, pilot pesawat yang ditumpangi Suryadarma ketika menjalankan misi pemboman terhadap kapal-kapal perang Jepang. Cox ternyata ada di rumah Lukkien. Ketiganya pun bereuni. Suryadarma amat gembira. Segala hal di masa lalu yang mereka alami bersama jadi topik obrolan. Suryadarma juga menyampaikan bahwa penolakannya menerima Wing terbangnya dari pemerintah Belanda dimaksudkan untuk menunjukkan kepada AU Belanda bahwa dirinya sebagai navigator ( waarnemer ) pribumi lulusan Kalijati bukan hanya mampu jadi penerbang tapi juga membangun angkatan udara dari nol sampai menjadi yang terkuat di bumi belahan selatan. “Malam itu berakhir dengan mereka bertiga saling berpelukan dan saling berdoa Namun, ternyata malam itu merupakan malam perjumpaan terakhir mereka bertiga,” tulis Adityawarman.

  • Dari Analog sampai 4G

    TAK peduli sekitar, orang-orang asik menatap layar ponsel pintar masing-masing. Di kereta, dalam bus, atau di jalan sambil memantau peta online. Berselancar di dumay kala naik kendaraan berkecepatan tinggi dimungkinkan lantaran teknologi komunikasi generasi keempat (4G). Pemandangan itu jelas tak mungkin ditemukan di zaman dulu. Jangankan internet, komunikasi jarak jauh hanya bisa dilakukan melalui telepon, itu pun masih analog. Prinsip kerja telepon generasi pertama, sering disebut telepon engkol, yakni mengirimkan gelombang suara yang sudah diubah menjadi sinyal listrik ke transmitter. Begitu sampai di receiver yang terhubung ke speaker, sinyal listrik kembali diubah menjadi gelombang suara. Pengguna telepon engkol harus memutar tuas telepon untuk menyambungkan dengan sentral telepon. Bel kemudian berbunyi di sentral telepon. “Kalau ada yang mau menelepon, nanti terdengar ceklok, ceklok kayak ayam berkokok. Kalau sedang banyak yang pakai, suaranya ramai sekali. Kami dulu suka tertawa dengar suaranya karena lucu. Itu juga tanda kami akan dapat uang,” kata Koesmarihati, mantan pegawai di Sentral Telepon Telkom ketika masih era analog. Operator di sentral telepon lalu menghubungkan sinyal masuk tadi dengan telepon tujuan secara manual dengan mencolokkan kabel-kabel sambungan ke papan hubung telepon. Operator di sentral telepon bekerja di depan papan hubung. Sumber: Sunshine Coast Daily Sistem itu ditinggalkan ketika teknologi telepon otomat muncul. Sambungan telepon tak lagi dikerjakan manual dan telepon engkol masuk museum. Pada 1992, ketika Cacuk Sudarijanto menjadi Direktur Utama Telkom, jumlah sentral telepon otomat ditambah dalam jumlah besar. Banyaknya sentral telepon otomat ini menyuburkan pemasangan telepon rumah dan memungkinkan pengadaan telepon umum ( public payphone ). Bersamaan dengan itu, ponsel generasi pertama (1G) mulai hadir di tengah masyarakat pada 1986. Ukurannya masih sebesar koper dan teknologinya menggunakan Nordic Mobile Technology (NMT). Ponsel lebih modern, menggunakan teknologi Advanced Mobile Phone System (AMPS), muncul pada 1991. Meski ukurannya lebih kecil, tetap saja belum cukup masuk saku. Usaha pemutakhiran ponsel kembali dilakukan Telkom pada 1993 lewat proyek percontohan untuk Global System for Mobile (GSM). Teknologi yang dikembangkan di Eropa dan Amerika Serikat pada 1980 dan diluncurkan 1990-an ini disebut juga dengan 2G sama seperti CDMA dan TDMA. Sistem yang digunakan sudah digital, tidak analog seperti NMT dan AMPS. “Pertama membangun menara dulu di Batam. Ada 3 yang dibangun, selesai tahun 1994,” kata Garuda Sugardo yang menjadi Kepala Pilot Project Telkom. PT Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) menjadi operator GSM pertama di Indonesia dengan kepemilikan saham oleh Telkom, Indosat, dan Bimagraha Telekomindo. Dua perusahaan pertama merupakan BUMN sementara yang disebut terakhir ialah perusahaan milik Bambang Triharmodjo. Anak k-3 Soeharto ini menguasai 45% saham Satelindo. Telkomsel beroperasi setahun kemudian, 26 Mei 1995. Teknologi 2G berbasis kartu ini memungkinkan orang berganti perangkat (gawai) tanpa kehilangan nomor lama. Fungsi yang ditawarkan pun tak sebatas komunikasi via suara dengan kecepatan 64 kbps (kilo bit per second), tetapi juga pesan digital (SMS). “Awalnya SMS itu cuma bisa ke sesama operator, kemudian berkembang bisa ke beda operator. Berkembang lagi bisa transmisi data meskipun masih terbatas, namanya teknologi 2.5G,” kata Koesmarihati yang pada 1995-1998 menjadi Direktur Utama Telkomsel. Teknologi 2.5G memungkinkan pengiriman data dengan teknologi Global Pocket Radio Service (GPRS). Indosat menjadi pelopor layanan GPRS dan MMS (pesan gambar) lewat IM3 yang dikeluarkan pada 2001. Kasmad Ariansyah dalam “Proyeksi Jumlah Pelanggan Telepon Bergerak Seluler di Indonesia” menulis, Telkomsel mengeluarkan teknologi GPRS dengan kecepatan 144 kbps setahun kemudian. Hingga pertengahaan 2000-an, para operator seluler menawarkan alternatif teknologi 2G, yakni CDMA meskipun beberapa merek redup di pasaran. Di lain pihak, operator yang sejak semula mengusung teknologi GSM menawarkan komunikasi berbasis data cepat yang populer disebut 3G. Teknologi ini dibangun pertamakali oleh perusahan telekomunikasi Jepang NTT Docomo. Pada Mei 2001, jarngan 3G nonkomersilnya pertama kali mengudara. Jaringan komersilnya baru mengudara pada 1 oktober di tahun yang sama. Kecepatan yang ditawarkan mencapai 2 Mbps. Telkomsel mulai menguji coba 3G pada Mei 2005. Seteleah melalui proses tender, pada Februari 2006 tiga operator ditetapkan sebagai pemegang lisensi layanan 3G: Telkomsel, XL, dan Indosat. Beberapa tahun terakhir, teknologi 4G umum dipakai. Generasi keempat ini pertama dipasarkan di Norwegia dan Swedia pada 2009. Fungsi yang ditawarkan hampir sama dengan 3G namun kecepatannya jauh lebih tinggi, yakni 100 Mbps. Ini memungkinkan pengguna untuk menonton video berdimensi tinggi dan mengakses data meski sedang bergerak dalam kecepatan tinggi, semisal di kereta atau mobil. Telkomsel menjadi operator pertama di Indonesia yang menawarkan teknologi 4G pada 2014. Diprediksi, pada 2020 teknologi yang akan muncul ialah 5G. Kecepatannya mencapai 1 Gpbs. Barangkali akan bikin orang makin menempel dengan ponselnya.

  • Pindah Ibu Kota Sudah Biasa

    Wacana pemindahan ibu kota dari Jakarta kembali ramai dibicarakan usai Presiden Joko Widodo menggelar rapat tertutup di Kantor Presiden, Jakarta, akhir bulan lalu. Salah satu alasannya, wilayah Jakarta sudah penuh disesaki 30 juta penduduk atau lebih dari 10 persen populasi Indonesia. “DKI Jakarta kini memikul dua beban sekaligus: sebagai pusat pemerintahan dan layanan publik, juga pusat bisnis. Banyak negara memindahkan ibu kotanya, sementara kita hanya menjadikannya gagasan di setiap era Presiden. Menurut Anda, di mana sebaiknya ibu kota negara Indonesia?” tulis Jokowi di akun Twitter -nya, Senin (29/4). Ini bukan pertama kalinya presiden Indonesia mempertimbangkan untuk memindahkan ibu kota. Proposal untuk pemindahan ibu kota ke Palangkaraya muncul awal 1950-an, di era Soekarno. Pun pemerintahan Jokowi sudah mempelajari kelayakan pemindahan ibu kota ke Palangkaraya sejak 2017. Jauh sebelum masa itu, memindahkan ibu kota negara sebenarnya merupakan hal yang biasa terjadi, khususnya dalam sejarah Jawa. Namun pada masa lalu, keputusan itu sering kali disebabkan karena adanya invasi musuh. Epigraf Boechari dalam tulisannya, “Shift of Mataram’s Centre of Government”, menyebut hal itu masuk akal. Sebab, orang Jawa mempercayai keraton yang telah diserang musuh sudah tak suci lagi dan harus dipindah. Ada pula kepercayaan terhadap siklus yuga. Dalam ajaran Hindu ada empat jenjang masa dalam siklus yuga, yaitu Dwaparayuga, Tretayuga, Satyayuga, dan Kaliyuga. Zaman Kaliyuga disebut pula zaman kegelapan. Berdasarkan itu, penguasa yang berada di generasi keempat diharuskan untuk memindahkan kerajaannya ke tempat lain agar terhindar dari kekacauan. Hal itu terlihat ketika Sultan Agung memindahkan ibu kota ke Karta. Dia mewakili penguasa ke-4 dari Ki Ageng Pamanahan, sang pendiri dinasti. Amangkurat I juga memindahkan ibu kota dari Karta ke Plered. Dia merepresentasikan generasi ke-4 dari Panembahan Senopati, penguasa pertama Mataram Islam. Sebelum Mataram Islam, beberapa kerajaan kuno pernah memindahkan ibu kota kerajaannya, di antaranya sebagai berikut: Mataram Kuno Ibu kota Mataram Kuno atau Medang misalnya, paling tidak pernah pindah dua kali pada periode Jawa Tengah. Buktinya dalam Prasasti Siwagraha (778 Saka/856 M) dan Prasasti Mantyasih I (829 Saka/907 M) disebutkan Mamratipura dan Poh Pitu sebagai ibu kota. Dalam Prasasti Siwagraha disebutkan Dyah Lokapala ditahbiskan pada 778 Saka di Keraton Medang di Mamaratipura. Sementara Prasasti Mantyasih I mengisahkan seorang raja pada masa lalu yang tinggal di Keraton Medang di Poh Pitu. Boechari menjelaskan ada beberapa desa bernama Medang tersebar antara Purwodadi-Grobogan dan Blora di bagian utara Jawa Tengah sekarang. Namun apakah dulunya desa-desa itu bagian dari pusat Kerajaan Mataram Kuno pada masa lalu, itu belum bisa dibuktikan. Pada era Mpu Sindok atau Sri Isyana Vikramadhammatunggadeva sekira 929 M, kerajaan ini dipindahkan ke Jawa bagian timur. Banyak pendapat soal alasan kepindahannya. Kahuripan Airlangga pendiri Kerajaan Kahuripan, pernah memindahkan kerajaannya dua kali. Ibu kota pertama dibangun ketika dia ditahbiskan menjadi raja setelah hancurnya pemerintahan Dharmawangsa Tguh. Lokasinya di Wwatan Mas, sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Cane (943 Saka/1021 M). Dalam Prasasti Kamalagyan (959 Saka/1037 M), Kahuripan disebutkan sebagai lokasi keraton Airlangga. Boechari berpendapat, perpindahan ini disebabkan adanya invasi musuh. Pendapatnya didasarkan pada Prasasti Terep dari 954 Saka (1032 M). Ada kemungkinan juga kerajaan ini kembali dipindahkan ke Dahana(pura). Itu ditunjukkan dengan kemunculan kata “dahana” yang diukir dalam aksara kuadrat besar pada Prasasti Pamwatan (964 Saka/1042 M). Namun tak ada bukti soal alasan kepindahan ibu kota yang kedua ini. Majapahit Kerajaan Majapahit kemungkinan juga telah berpindah-pindah ibu kota beberapa kali. Penguasa pertamanya, Wijaya, membangun kerajaan di Tarik atau Trik yang ada di delta Sungai Brantas, sebelah timur Kota Mojokerto saat ini. Pendirian itu dikisahkan dalam naskah Pararaton, Nagakartagama, Kidung Ranggalawe, Kidung Harsawijaya , serta diabadikan dalam Prasasti Kudadu (1294 M) dan Prasasti Sukamrta (1296 M). Sedikit sekali dari ibu kota pertama Majapahit ini yang tersisa sampai sekarang. Namun, belum lama ini, warga mendapati bekas bangunan bata, fosil kayu, dan hewan di areal persawahan dan makam di Dusun Kedungklinter, Desa Kedungbocok, Kecamatan Tarik, Sidoarjo. Diduga situs ini merupakan cikal-bakal Kerajaan Majapahit. Berbeda dengan ibu kota pertamanya itu, lebih banyak bukti arkeologis ditemukan di Trowulan, Mojokerto. Hal ini yang menambah kemungkinan untuk menunjuk wilayah itu sebagai ibu kota Majapahit berikutnya. Mataram Islam Babad Tanah Jawi memberi bukti adanya perpindahan ibu kota pada masa Kerajaan Mataram Islam. Ki Ageng Pamanahan membangun sebuah permukiman di Kuta Gede, di mana Kota Gede, Yogyakarta kini berada. Kemudian anaknya, Panembahan Senapati, penguasa pertama Mataram, membangun tembok di sekelilingnya. Cucu Panembahan Senapati, Sultan Agung, membangun keraton baru di Karta. Sementara anak dan pewaris takhta berikutnya memindahkan lokasi keraton ke Plered. Pada 1677, ibu kota baru itu diserang pasukan Trunajaya yang memaksa Amangkurat melarikan diri ke barat dan tewas di Tegalarum. Setelah serangan itu, ibu kota baru dibangun di Wanakarta yang kemudian diberi nama baru Kartasura. Pada 1724, Kartasura digempur oleh Cakraningrat IV dari Madura. Kemudian setelah takhta dikuasai Susuhunan Pakubuwono II, sebuah tempat baru dibangun di Surakarta pada 1744.

bottom of page